Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan
melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak, perijinan,
pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik berupa barang atau
uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri apabila ada
kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan
penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12B
pemberian gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.
Itulah sebabnya sebabnya, penulis ingin membahas sedikit mengenai Gratifikasi
karena Gratifikasi ini merupakan sebuah pembahasan yang ringan tetapi mempunyai
dampak dan efek yg besar terhadap Tindak Pidana Korupsi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gratifikasi ?
2. Apa landasan hukum tentang gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi ?
3. Apa saja kategori gratifikasi ?
4. Bagaimana dampak terhadap adanya gratifkasi ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gratifikasi
2. Untuk mengetahui landasan hukum tentang gratifikasi sebagai tindak pidana
korupsi
3. Untuk mengetahui kategori gratifikasi
4. Untuk mengetahui dampak terhadap adanya gratifkasi
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
3
awalnya hanya disebutkan saja dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam
amademen ini juga, untuk pertama kalinya istilah gratifikasi dipergunakan dalam
peraturan perundang undangan di Indonesia, yang diatur dalam Pasal 12B. Dalam
Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian
tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.
Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa
gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan,
khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur
dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya
pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai
Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan
atau bahkan dihilangkan. Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak
sedikit menghadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih mengangap
bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah.
Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga
berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat
maupun antarmasyarakat bahkan antarbangsa. Pengaturan tentang gratifikasi
diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat. melalui pengaturan ini
diharapkan penyelenggara negara atau pegawai negeri dan masyarakat dapat
mengambil langkah-langkah yang tepat, yaitu menolak atau segera melaporkan
gratifikasi yang diterimanya. Berikut penjelasan landasan hukum gratifikasi:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001,tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12B:
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
4
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika atau tanpa
sarana elektronika.
Pasal 12C:
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.
2. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
3. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
5
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 16:
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai
berikut
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi nformulir sebagaimana
ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen
yang berkaitan dengan gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurangkurangnya memuat :
1. nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasii
2. jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3. tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4. uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan nilai gratifikasi yang diterima
6
2. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap
Gratifikssi yang tidak dianggap suap yaitu gratifikasi yang diterima oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan
tidak berlawanan dengan kawajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001.
Kegiatan resmi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang sah dalam
pelaksanaan tugas, fungsi dan jabatannya dikenal dengan Kedinasan. Dalam
menjalankan kedinasannya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sering
dihadapkan pada peristiwa gratifikasi sehingga Gratifikasi yang Tidak Dianggap
Suap dapat dibagi menjadi 2 sub kategori yaitu Gratifikasi yang Tidak Dianggap
Suap yang terkait kedinasan dan Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang Tidak
Terkait Kedinasan.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap yang terkait dengan kegiatan
kedinasan meliputi penerimaan dari:
a. Pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat,
seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis;
b. Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan, seperti
honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan lainnya sebagaimana
diatur pada Standar Biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak
terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak
melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima (Komisi Pemberantasan
Korupsi RI, 2014).
1.4 Dampak Gratifikasi
Hadiah pegawai (gratifikasi) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan
dan akan mengganggu kerja pegawai. Dampak negatif tersebut antara lain:
1. Pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang
memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang
yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai
hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan
proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari
perusahaan yang mengirimnya.
7
2. Pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen mengakibatkan
dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang
mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
3. Pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari
konsumen.
8
BAB III
PEMBAHASAN
9
3.2 Pembahasan
Tindak pidana korupsi merupakan suatu sifat tercela dan sudah menjadi
fenomena sosial yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga merupakan
suatu pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Ada beberapa jenis
tindak pidana korupsi, salah satunya adalah gratifikasi.
Dalam pembahasan ini, kasus gratifikasi yang dilakukan beberapa kampus
yang akan dilakukan akreditasi oleh BAN-PT sangat merugikan. Karena dalam
hal ini penilaian BAN-PT dalam melakukan akreditasi bisa saja tidak obyektif.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B Ayat (1)
gratifikasi ini termasuk gratifikasi yang dianggap suap karena yang ditujukan
oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dalam hal ini,
kampus yang akan dilakukan akreditasi menyelipkan gelang emas dalam buku
bertujuan untuk mendapatkan nilai akreditasi yang bagus.
Dampak yang mungkin terjadi apabila kasus gratifikasi yang dilakukan
kampus berlanjut yaitu:
1. Terjadinya penurunan moral
Dampak yang kemungkinan bisa terjadi yaitu penurunan moral. Beberapa
pihak yang seharusnya menjadi panutan terutama didunia pendidikan
memiliki moral yang tidak baik karena melakukan gratifikasi
2. Tidak bekerja dengan professional
Seseorang akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang
yang memberikan kepadanya sesuatu (hadiah). Sebaliknya dia malas untuk
melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal
semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan
dari pegawai tersebut secara adil.
3. Pegawai akan cenderung bekerja secara subjektif bukan objektif
Tindakan yang dilakukan oleh ketua BAN-PT Mansyur Ramli patut
diteladani, dengan dilakukan pemberantasan terhadap gratifikasi maka
kinerja pegawai dapat dilakukan secara professional tanpa terpengaruh
terhadap imbalan atau apapun
10
11
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gratifikasi yang dilakukan oleh pihak kampus merupakan perbuatan yang tidak baik.
Apabila pihak BAN-PT melaporkan ke pihak yang berwenang sesungguhnya hal itu
juga merugikan pihak kampus karena akan menurunkan citra kampus tersebut. Dan
tindakan yang dilakukan kepala BAN-PT merupakan tindakan yang patut dicontoh
karena telah melawan korupsi. Pencabutan akreditasi terhadap kampus juga perlu di
apresiasi karena merupakan suatu sanksi yang nantinya akan membuat kampus
tersebut jera dan bisa dijadikan pelajaran oleh kampus-kampus lain. Gratifikasi harus
dihentikan sejak dini, karena salah satu dampak krusialnya adalah menjadikan
seseorang bekerja secara tidak profesional.
4.2 Saran
Gratifikasi tidak baik untuk dilakukan karena merupakan salah satu tindak korupsi dan
akan banyak menimbulkan dampak negatif serta membuat orang bekerja tidak
professional
12
DAFTAR PUSTAKA
Hartati Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Gratifikasi.pdf
13