Anda di halaman 1dari 11

TUGAS TARBIYAH

MARAHILUL AMAL ISLAMI


(TAHAPAN AMAL ISLAMI)
“MENGEMBALIKAN KHILAFAH ISLAMIYAH YANG TERPIMPIN”

Oleh Kelompok IV:


Winarseh
Yuli Anjarwati
MARAHILUL AMAL ISLAMI
(TAHAPAN AMAL ISLAMI)

A. Mengembalikan Khilafah Islamiyah yang Terpimpin


Mewujudkan khilafah Islam –dengan bentuknya yang syar’i dan benar- merupakan
kewajiban Umat Islam secara keseluruhan, berdasarkan kesepakatan. Umat Islam
kehilangan khilafah setelah runtuhnya daulah Utsmaniyah pada tahun 1924M.
Wajibnya mewujudkan khilafah Islamiyah tentu menjadikan hal-hal yang bertujuan
untuk mewujudkannya menjadi wajib pula. Untuk mewujudkan khilafah Islamiyah tentu
adalah dengan mengajak Ummat manusia kembali kepada Islam secara kaffah,
mengembalikan ummat berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut tentu
tidak mudah. Mengajak ummat untuk kembali kepada system khilafah Islamiyah adalah
dengan melakukan menyebarkan Islam (berdakwah) dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Dengan bergulirnya waktu, kebangkitan islam itu kini semakin tumbuh. Muncul dari
tengah-tengah negeri dan masyarakat yang masih mendengkur dalam gelapnya malam
yang panjang. Cahaya kebangkitan itu kini mulai bersinar walaupun tak seterang harapan
dan cita-cita yang diinginkan. Yang lebih menggembirakan, suara kebangkitan ini serentak
menggema tidak hanya dari negeri umat islam, namun juga dari negeri-negeri non islam.
Generasi muda tidak hanya semata semangat menuntut ilmu, atau semangat
menampakkan syiar-syiar islam diberbagai Negara, namun lebih daripada itu semangat
dakwah dan perjuangan Shahwah Islamiyah mereka kian menggema diseluruh dunia.
Sediki demi sedikit identitas umat ini kian kembali pulih. Sehingga tak sedikit kita
mendapati bahwa generasi muda umat ini dengan seluruh ulamanya semakin giat
menyampaikan risalah yang selama ini terlupakan ditengah-tengah masyarakat islam
Mewujudkan Khilafah Islamiyah adalah dengan beberapa tahapan berikut:
1. Mengajak kembali kepada system khilafah Islamiyah
Sesungguhnya ‘ubûdiyah (penghambaan kepada Allah) memiliki hakikat dan
kekuatan yang sangat besar dalam mewujudkan janji Allah bagi orang-orang yang
beriman dalam meraih kekuasaan di muka bumi dan kejayaan beragama dalam
kehidupan nyata. Barang siapa berkeinginan mencapai cita-cita yang dituju ini dan
mengembalikan kemuliaan yang telah hilang itu, maka tidak ada pilihan kecuali
menunjukkan bukti penghambaan secara benar itu. Dia harus mengetahuinya dan
bagaimana mewujudkan penghambaan itu, sebelum ia ragu atau meragukan, atau
menganggap lambat pertolongan Allah Azza wa Jalla.
Janji Allah Azza wa Jalla pasti terjadi, tidak ada yang mampu menolak; kebenaran
yang tidak bisa dipungkiri, karena merupakan janji Dzat yang tidak menyelisihi janji-
Nya, dan ketetapan-Nya tidak pernah meleset dari orang yang telah berhak
mendapatkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ
ِ‫م فِي ْاْلرْض‬
ْ ‫َخلِ َف هن ُه‬ ‫ملُوا ال ه‬
ْ ‫صالِحَاتِ لَي‬
ْ ‫َست‬ ْ ‫َّللا ال ه ِذينَ آ َم ُنوا ِم ْن ُك‬
ِ ‫م َو َع‬ ُ ‫َو َع َد ه‬
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan
mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi.” [an-Nûr/24: 55]
Istikhlâf (menjadikan penguasa) merupakan janji Allah bagi orang-orang beriman
pada setiap generasi sampai datang takdir Allah. Dia berfirman:
ْ ‫ن َق ْبلِ ِه‬
‫م‬ ِ ‫ف ال ه‬
ْ ‫ذينَ ِم‬ َ َ‫َخل‬ ْ ‫َكمَا‬
ْ ‫است‬

“Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. [an-


Nûr/24:55].
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengetahui segala yang akan terjadi, tidak ada
yang dapat menolak ketetapan-Nya, tidak ada yang dapat membatalkan hukum-Nya,
dan tidak ada yang dapat mengganti kalimat-kalimat-Nya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:

‫غا‬ ً ‫ه َذا لَب َََل‬ ‫﴾ إِ ه‬١٠٥﴿ ‫ون‬


َ َٰ ‫ن فِي‬ َ ‫ح‬ ‫ي ال ه‬
ُ ِ‫صال‬ َ ‫عبَا ِد‬ ‫الذ ْكرِ أَ ه‬
ِ ‫ن ْاْلَرْضَ يَرِثُهَا‬ ْ ‫وَلَ َق ْد َك َت ْبنَا فِي ال هز ُبورِ ِم‬
ِ ‫ن ب َْع ِد‬
ِ ِ‫لِ َق ْو ٍم َعاب‬
َ‫دين‬
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabûr sesudah (kami tulis di dalam) Lauh
Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shalih. Sesungguhnya
(apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum
yang menyembah (Allah).” [al-Anbiyâ`/21:105-106]
Sesungguhnya tanda (bukti) pemahaman terhadap istikhlâf (dijadikannya orang
beriman sebagai penguasa) yaitu firman Allah:
ْ ‫ى ل َ ُه‬
‫م‬ َ َ‫م ال ه ِذي ا ْرت‬
َٰ ‫ض‬ ْ ‫َن لَ ُه‬
ُ ‫م ِدي َن ُه‬ ‫وَلَ ُيمَكِن ه‬
“Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka”. [an-Nûr/24:55]
Sedangkan kejayaan agama dalam kehidupan manusia, sehingga agama itu
mengatur urusan-urusan manusia dan menjaganya; tidak akan terwujud kecuali jika
agama itu telah merasuk dalam hati para pemeluknya dan dapat mengatur urusan-
urusan terkecil dalam kehidupan mereka. Jika engkau telah melihat para da’inya juga
demikian, maka ketahuilah bahwa pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah
dekat.
Berdasarkan uraian ini diketahui bahwa perkataan sebagian dai “Tegakkanlah
negara Islam di hatimu, niscaya negara Islam akan tegak di bumimu”, merupakan
perkataan yang bijaksana. Karena orang yang ingin meraih pertolongan Allah Azza wa
Jalla, maka ia harus berdiri tegak melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla, jangan
sampai agama ini diserang dari arahnya. Allah berfirman:
ُ ‫ت أَ ْقدَام‬
ْ ‫َك‬
‫م‬ ْ ‫م َو ُي َث ِب‬ ُ ‫صر‬
ْ ‫ْك‬ ُ ‫َّللا يَ ْن‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا ال ه ِذينَ آ َم ُنوا إِ ْن تَ ْن‬
َ ‫ص ُروا ه‬
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. [Muhammad/47:7].
Mengapa harus demikian? Karena kekuasaan di muka bumi dan kejayaan agama
Islam merupakan buah (hasil) dari iman dan amal shalih. Dan Buah itu tidak akan
matang kecuali jika tumbuhannya telah kuat, tegak di atas batangnya, akarnya kokoh
serta cabangnya menjulang ke langit.
Sungguh! Imam asy-Syafi’i rahimahullah telah berkata benar, ketika ditanya:
“Manakah yang lebih baik bagi hamba, antara kejayaan dalam beragama ataukah
ujian?”
Beliau menjawab: “Keteguhan dalam beragama itu tidak akan ada kecuali setelah
mengalami ujian”.
Ini merupakan impelementasi firman Allah Azza wa Jalla :
‫ن‬ْ ‫﴾ وَلَ َق ْد َف َت هنا ال ه ِذينَ ِم‬٢﴿ ‫ون‬ َ ‫م ََل ُي ْف َت ُن‬ ُ ‫اس أَ ْن ُي ْتر َُكوا أَ ْن ي َُقولُوا آ َم هنا َو‬
ْ ‫ه‬ ُ ‫سبَ ال هن‬ َ َ‫﴾ أ‬١﴿ ‫الم‬
ِ ‫ح‬
‫صد َُقوا وَلَي َْعلَم ه‬
َ‫َن ْال َكا ِذبِين‬ َ َ‫ذين‬ ِ ‫َّللا ال ه‬
ُ ‫َن ه‬ ‫م ۖ َفلَي َْعلَم ه‬ ْ ‫َق ْبلِ ِه‬
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya
Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta”. [al-‘Ankabût/29:1-3].
Dari sini nampak jelas urgensi penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla
sebelum diberi kekuasaan di muka bumi dan kejayaan. Bahkan dalam ayat itu (surat
an-Nûr/24 ayat 55) juga terdapat keterangan tentang penyebab diberi kekuasaan di
muka bumi dan kejayaan dalam beragama, yaitu firman Allah Azza wa Jalla :
‫ش ْي ًئا‬ َ ‫ش ِر ُك‬
َ ‫ون بِي‬ ْ ‫ي َْع ُب ُدونَنِي ََل ُي‬
“(mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku.” [an-Nûr/24:55].
Akan tetapi istikhlâf (meraih kekuasaan) memiliki kewajiban-kewajiban (yang
harus ditunaikan, Pent.) dalam jiwa dan kehidupan manusia. Yakni tidak boleh
terpedaya dan sombong; tidak mencampakkan diri ke dalam kebinasaan dengan
menunda-nunda (menjalankan kewajiban) dan cenderung kepada kemewahan dunia,
serta menyepelekan perintah Allah Azza wa Jalla. Karena banyak orang mampu
bersabar menghadapi ujian dan kesusahan, tetapi berguguran pada saat mendapatkan
kemenangan dan kenikmatan. Bukankah pemberian ujian itu (terkadang) dengan
kebaikan (perkara yang menyenangkan manusia-pent) dan terkadang dengan
keburukan (perkara yang tidak menyenangkan manusia, Pent.)?
Sesungguhnya keteguhan hati di atas al-haq setelah al-haq itu dikokohkan dan
setelah para pengikut al-haq diberi kekuasaan, merupakan kedudukan yang lebih tinggi
daripada tamkîn (kejayaan agama) dan istikhlâf (meraih kekuasaan). Keteguhan hati
itulah yang akan melindunginya, menjaganya, dan mengokohkannya. Hakikat ini
tertulis dalam Al-Qur`ân dengan huruf-huruf yang nampak jelas dalam hati hamba-
hamba ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah):
‫م فِي ْاْلَرْضِ أَ َقا ُموا ال ه‬
‫ص ََل َة‬ ْ ‫ه‬ ‫﴾ ال ه ِذينَ إ ْن م ه‬٤٠﴿ ‫َعزي ٌز‬
ُ ‫َك هنا‬ ِ ِ ‫ي‬ٌّ ‫َّللا لَ َقو‬
ِ َ‫ن ه‬ ‫ص ُر ُه ۖ إ ِ ه‬
ُ ‫َن يَ ْن‬ ُ ‫َن ه‬
ْ ‫َّللا م‬ ‫صر ه‬
ُ ‫وَلَيَ ْن‬
ُ ُ ‫ن ْال‬ ْ ِ‫ال هز َكا َة وَأَ َم ُروا ب‬
ِ‫َّلِل َعاقِب َُة ْاْل ُمور‬
ِ ‫م ْن َكرِ ۖ و ِ ه‬ ِ ‫ف َونَ َه ْوا َع‬ِ ‫الم َْع ُرو‬ ‫وَآتَ ُوا‬
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa, (yaitu) orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” [al-Hajj/22:40-41].
Yaitu tetap teguh diatas manhaj (jalan haq yang terang) setelah berjaya dan
berkuasa, sebagaimana sebelum mendapatkan kejayaan dan mendapatkan bermacam
siksaan berat yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
Dengan ini menjadi jelas bahwa ‘ubûdiyah (penghambaan diri kepada Allah)
menjadi faktor terwujudnya kejayaan dan kekuasaan. Allah k telah menjelaskan sifat
mereka sebelum berkuasa dan berjaya yaitu mereka beriman dan beramal shalih,
sebagaimana dalam surat an-Nûr. ‘Ubûdiyah (penghambaan diri kepada Allah) itu juga
sekaligus sebagai tujuan istikhlâf dan tamkîn. ‘Ubûdiyah adalah hiasan para tentara
Allah setelah istikhlâf dan tamkîn sebagaimana dalam surat al-Hajj.
Jika ‘ubûdiyah adalah sebab kejayaan generasi teladan yang pertama dan paling
utama, yaitu Nabi Muhammad n dan para sahabatnya, maka ‘ubûdiyah juga sebagai
sebab istikhlâf bagi ath-Thaifah al-Manshurah (golongan yang ditolong oleh Allah) dan
al-Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat), yaitu orang-orang yang mengikuti jalan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Jika anda ragu tentang hal itu, maka renungkanlah penjelasan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap generasi yang masih berada dalam rahim ghaib
(yaitu belum muncul, karena belum waktunya, Pent.), dan generasi itu yang akan
menghancurkan dan mencabut Yahudi yang dimurkai Allah hingga akar-akarnya, demi
membersihkan seluruh negara dan menjauhkan manusia dari tipudaya, kejelekan dan
kejahatan mereka.
Telah datang riwayat dari sahabat Abu Hurairah dan Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُّ ‫ئ ْاليَ ُهو ِد‬
‫ي‬ ْ ‫ح هتى ي‬
َ ِ‫َخ َتب‬ َ ‫ون‬ َ ‫م‬ ُ ِ‫سل‬ ْ ‫م‬ ُ ‫م ْال‬ ْ ‫ون ْاليَ ُهو َد َفي َْق ُتلُ ُه‬َ ‫م‬ ُ ‫س ِل‬ْ ‫م‬ ُ ‫ل ْال‬ َ ‫ع ُة‬
َ ِ‫ح هتى ُي َقات‬ ‫ه‬
َ ‫السا‬ ‫ََل تَ ُقو ُم‬
‫ل‬ َ ‫ي َورَائِي َف َت َعا‬ ٌّ ‫ه َذا يَ ُهو ِد‬ َ ‫َّللا‬ِ ‫م يَا َع ْب َد ه‬ ُ ِ‫سل‬ ْ ‫ج ُر يَا ُم‬ ‫ه‬
َ ‫الش‬ ‫ج ُر أَ ْو‬َ ‫ح‬َ ‫ل ْال‬ ُ ‫َالشجَرِ َفي َُقو‬
‫حجَرِ و ه‬ َ ‫ن َورَا ِء ْال‬ ْ ‫ِم‬
‫شجَرِ ْاليَ ُهو ِد‬ َ ‫ن‬ ْ ‫اق ُت ْل ُه إِ هَل ْال َغر َْق َد َفإِن ه ُه ِم‬
ْ ‫َف‬

“Hari kiamat tidak akan datang sehingga kaum muslimin memerangi orang-orang
Yahudi. Kaum muslimin akan memerangi mereka, sehingga seorang Yahudi
bersembunyi di balik batu dan pohon. Batu atau pohon itu akan berkata: “Wahai
muslim, wahai hamba Allah, ini seorang Yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah
dia,” kecuali pohon Gharqad; sesungguhnya ia termasuk pohon Yahudi”. [HR Mutafaq
‘Alaihi][1].
Pohon dan batu akan mengangkat suaranya dengan mengatakan: “Wahai muslim,
wahai hamba Allah,” ini menjelaskan bahwa para tentara pelopor iman dan batalyon-
batalyon ar-Rahman itu, muslim dan menghambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla
Rabb semesta alam.
Dari sini kita memahami urgensi mewujudkan penghambaan kepada Allah dalam
mewujudkan kejayaan umat Islam dan dalam memulai kehidupan yang lurus di atas
jalan kenabian.
Sungguh, pada saat umat Islam berjalan di atas jalan Allah, supaya agama itu
semuanya untuk Allah Azza wa Jalla, maka janji Allah Azza wa Jalla pasti terwujudkan,
yaitu dijadikan penguasa, berjaya, dan diberi rasa aman. Ingatlah! Sesungguhnya janji
Allah pasti benar, dan ingatlah bahwa syarat dari Allah Azza wa Jalla itu telah
diketahui! Maka barang siapa menghendaki janji yang mulia itu, hendaklah ia
menunaikan syaratnya dan memenuhi perjanjiannya kepada Allah Azza wa Jala.
Barang siapa memenuhi syaratnya, pastilah janji akan dipenuhi. Siapakah yang lebih
sempurna dalam menepati janjinya dibandingkan dengan Allah Azza wa Jalla ?
ِ‫ل ه‬
‫َّللا‬ ُ ‫تر‬
َ ‫َسو‬ ُ ‫م ْع‬
ِ ‫س‬َ ‫ل‬ َ ‫م َر َقا‬ َ ‫ن ُع‬ ِ ‫ن ا ْب‬ ْ ‫ َع‬n ‫م‬ ِ ‫م أَ ْذنَابَ ْالبَ َق ِر َو َر‬
ْ ‫ضي ُت‬ َ َ‫ة وَأ‬
ْ ُ‫خ ْذت‬ ْ ِ‫م ب‬
ِ ‫ال ِعي َن‬ ُ ‫ي َُقو‬
ْ ‫ إِ َذا تَبَاي َْع ُت‬:‫ل‬
ْ ‫ج ُعوا إِلَى ِدينِ ُك‬
‫م‬ ِ ‫ح هتى تَ ْر‬َ ‫م ُذَل ًّ َل َ يَ ْنزِ ُع ُه‬ ُ ‫سلهطَ ه‬
ْ ‫َّللا َعلَ ْي ُك‬ َ ‫م ْالجِهَا َد‬ ْ ‫بِال هزرْعِ َوتَر َْك ُت‬
“Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jika kamu berjual-beli ‘inah (semacam riba), kamu memegangi ekor-
ekor sapi, kamu puas dengan tanaman, dan kamu meninggalkan jihad, Allah pasti akan
menimpakan kehinaan kepada kamu, Dia tidak akan menghilangkan kehinaan itu
sehingga kamu kembali menuju agama kamu”. [Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan
lainnya dengan sanad yang hasan].[2]
Allah pasti melaksanakan urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
[Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari makalah berjudul
“Fiqhul-Istikhlâf, Âyatuhu wa Ghâyatuhu”, dari kitab al-Maqalât as-Salafiyah fil-‘Aqidah
wad-Da’wah, wal-Manhaj, wal-Waqi’, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali -hafizhahullah-
, Penerbit Maktabah al-Furqân, Cetakan I, Tahun 1422 H / 2001 M, halaman 157-160]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]
______
Footnote
[1]. HR Bukhâri, no. 2926 dan Muslim, no. 2922, dan lafazhnya milik Imam Muslim,
Pent.
[2]. HR Abu Dawud, no. 3462. Al-Baihaqi, 5/316. Ad-Daulabi di dalam al-Kuna, 2/65.
Ahmad, no. 4825, dan lain-lain. Hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga
dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, no. 11, dan Syaikh Ali bin
Hasan al-Halabi dalam al-Arba’un Haditsan fid-Da’wah wa Du’at, no. 2, Pent.
2. Persatuan negeri-negeri Islam
Khalifah Islam yang menyeluruh serta diperhitungkan harus melalui kesepakatan
seluruh negara Islam. Selain itu, khilafah ini juga dibangun berdasarkan kesepakatan
seluruh Organisasi Islam Internasional, dan melalui kesepakatan ulama kaum muslimin
di berbagai belahan dunia.
Khilafah Islam bukanlah muncul melalui cara-cara teror dan paksaan, menebarkan
ketakutan di tengah masyarakat.- Ini justru memperburuk citra Islam, ataupun atas
nama Islam!.

3. Pemilihan pemimpin yang syar’i


Khilafah yang syar’i -dengan maknanya yang menyeluruh- mengharuskan adanya
kesepakatan dari seluruh kaum muslimin. Bukan hanya kelompok tertentu yang
menjajah kawasan tertentu di muka bumi ini.
Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu pernah mengatakan :”Siapa pun yang
membaiat seseorang tanpa melalui musyawarah kaum muslimin, maka orang yang
dibaiat itu tidak sah untuk dibaiat, dan demikian pula dengan orang yang membaiatnya.
Karena keduanya telah menipu diri sendiri dan orang lain, dan hal itu membuat
keduanya rentan untuk dibunuh”[1]
Yang dimaksud musyawarah adalah musyawarah ahlul halli wal ‘aqdi dari
kalangan para ulama, para tokoh, pemimpin dan orang-orang yang memiliki
pandangan yang memiliki kemampuan untuk mengikat urusan-urusan dan
melepaskannya. Yaitu orang-orang yang diikuti oleh manusia baik dari ahli agama
atau dunia. Bukan ahlul halli wal aqdi sekelompok orang yang dipilih suatu jamaah
kaum muslimin saja, baik dari kalangan jihadiyyah atau bukan, kemudian mereka
disebut ahlul halli wal aqdi. Lalu mereka ditanya, apakah Anda semua memilih si
Fulan sebagai Khalifah? Dan mereka mengatakan, “Iya.” Tidak setiap orang yang
disebut ahlul halli wal aqdi benar-benar ahlul halli wal aqdi. Nama tidak merubah
hakikat yang dinamai sama sekali. Dalam Shahih Bukhari, Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, “Barangsiapa yang membaiat seseorang tanpa musyawarah kaum
muslimin, maka ia tidak dibaiat dan tidak pula yang membaiatnya, khawatir
keduanya akan terbunuh.”
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dan “Al Fath”, 12/150: “Dalam
perkataan umar diatas terdapat isyarat agar berhati-hati dari sikap tergesa-gesa
dalam urusan seperti itu, karena tidak ada sosok yang seperti Abu Bakar yang
terkumpul padanya sifat-sifat terpuji; kepatuhan terhadap perintah Allah, lemah-
lembut terhadap kaum muslimin, akhlak yang baik, wawasan tentang politik dan
sikap warak. Orang yang tidak ada padanya seperti sifat-sifat beliau, dikhawatirnya
dengan membaiatnya tanpa musyawarah akan muncul perselisihan yang
mendatangkan keburukan.”
Sebuah kepemimpinan, walaupun seorang pemimpin kecil atas suatu negeri,
harus memiliki ahlul halliwal ‘aqdi dari kalangan para ulama dan pemimpin. Dan ini
sebagaimana yang telah lalu, berlaku dalam situasi lemah dan darurat. Setiap
negara dipimpin oleh seorang penguasa muslim lebih baik dari pada keadaan
manusia yang akan kacau tanpa aturan. Adapun kepemimpinan yang besar atau
khilafah islamiyyah, maka ia tidak sah kecuali dengan musyawarah mayoritas ahlul
halli wal ‘aqdi dari seluruh negeri. Imam Abu Ya’la dalam ‘al Ahkam al
Sulthaniyyah’, 1/23 berkata, “(Khilafah) tidak sah tanpa mayoritas ahlul halli wal
‘aqdi.” Syakhul Islam Ibnu Taimiah menyatakan dalam ‘Minhaj As Sunnah’, 1/526,
tatkala beliau membantah sebagian ahli kalam yang berpendapat keabsahan
imamah hanya dengan empat atau tiga atau kurang dari itu, beliau berkata, “Ini
bukan pendapat para ulama ahli sunnah, walaupun sebagian ahli kalam berkata,
“Imamah absah dengan baiat empat orang, sebagaimana sebagian mereka
berkata, sah dengan baiat dua orang, sebagian lagi mengatakan sah hanya dengan
baiat satu orang. Ini bukanlah perkataan para ulama sunnah. Imamah menurut
mereka hanya dinyatakan sah dengan persetujuan para tokoh. Dan seseorang tidak
menjadi seorang imam (pemimpin) yang sah, sampai ia disetujui oleh para tokoh
yang dengan mengikuti mereka dalam memilihnya tercapai tujuan dari imamah itu
sendiri. Sesungguhnya tujuan dari imamah adalah tercapainya kekuatan dan
kekuasaan. Jika ia dibaiat dan dengan baiat tersebut tercapai kemampuan dan
kekuasaan, maka ia berhak menjadi pemimpin.” Bahkan Imam
Ahmad rahimahullah, dinukil dari beliau dalam salah satu riwayat, bahwa imamah
hanya sah dengan ijmak (kesepakatan). Beliau berkata, “Barangsiapa yang menjadi
pemimpin khilafah, orang-orang sepakat dan ridha kepadanya, begitu pun dengan
orang-orang yang ditaklukkannya dengan pedang, sehingga ia menjadi seorang
khalifah dan disebut dengan amirul mukminin, maka membayarkan sedekah
kepadanya boleh, baik ia orang yang baik atau orang yang jahat.”
Beliau juga berkata dalam riwayat Ishaq bin Manshur saat ditanya tentang
hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mati dan tidak memiliki
imam, maka ia mati dengan cara jahiliyyah.” Apakah makna hadis ini? Beliau
berkata, “Apakah engkau tahu siapa itu imam? Imam adalah orang yang disepakati
oleh kaum muslimin. Seluruhnya mengatakan, “Ini adalah imam.” Ini lah makna
hadis tersebut.” (Lihat Minaaj as Sunnah: 1/530)
Disini terdapat hal yang perlu digarisbawahi, yaitu perbedaan antara baiat
sekelompok orang untuk seorang laki-laki di kalangan mereka dengan keabsahan
imamah untuknya serta terangkatnya ia menjadi khalifah untuk seluruh kaum
muslimin dan keberhakannya memegang imamah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata dalam ‘Minhaj As Sunnah’: 1/531, “Andai Umar dan sekelompok orang
yang bersamanya membaiatnya (yaitu Abu Bakar) dan para sahabat yang
lain menolak baiat tersebut, maka Abu Bakar tidak akan menjadi pemimpin dengan
hal itu. Ia hanya akan menjadi seorang pemimpin dengan pembaiatan mayoritas
para sahabat, orang-orang pemilik kemampuan dan kekuatan. Oleh karena itu
penolakan Sa’ad bin Ubadah tidak teranggap, karena hal itu tidak mencacati tujuan
dari kepemimpinan, yaitu tercapainya kekuatan dan kekuasaan yang dengan
keduanya terwujud kemaslahatan-kemaslahatan imamah. Dan hal itu, telah tercapai
dengan persetujuan mayoritas. Barangsiapa yang mengatakan bahwa seseorang
dapat menjadi seorang pemimpin hanya dengan persetujuan satu, dua atau empat
orang, dan mereka bukanlah pemilik kemampuan dan kekuatan, maka ia telah
salah, sebagaimana orang yang menganggap penolakan satu atau dua orang atau
sepuluh mempengaruhi keabsahannya pun telah salah.
DAFTAR PUSTAKA
https://almanhaj.or.id/7070-hukum-syari-terkait-khilafah-dan-bagaimana-khilafah-
diwujudkan.html
https://muslim.or.id/22428-deklarasi-khilafah-islamiyyah-antara-perspektif-syariat-dan-
realita.html
https://almanhaj.or.id/7070-hukum-syari-terkait-khilafah-dan-bagaimana-khilafah-
diwujudkan.html

Anda mungkin juga menyukai