Glaukoma adalah penyakit mata yang menyerang saraf optic yang menyebabkan
menyempitnya lapang pandang dan hilangnya fungsi penglihatan. Kondisi ini disebabkan oleh
tekanan intraokuler bola mata yang meninggi yang biasanya disebabkan oleh terhambatnya
pengeluaran cairan bola mata (humour aquous). (*infodatin) Tekanan Intraokular (TIO) adalah
tekanan yang dihasilkan oleh cairan dalam bola mata, kisaran normalnya adalah 10-21 mmHg.
Jika tekanan melebihi batas normal maka akan menimbulkan masalah pada mata seperti
penyempitan lapang pandang, hingga penurunan tajam penglihatan akibat tekanan pada saraf
optik.( Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ke-5. Jakarta ; FKUI; 2015 h.222-34) Penyebab lain
kerusakan saraf optik, antara lain gangguan suplai darah ke serat saraf optik dan
kelemahan/masalah saraf optiknya sendiri.
Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996 melaporkan, sebesar 1,5% penduduk Indonesia
mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan akibat glaukoma sebesar 0,20%. Prevalensi
glaukoma hasil Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008 adalah glaukoma primer sudut
tertutup sebesar 1,89%, glaukoma primer sudut terbuka 0,48% dan glaukoma sekunder 0,16%
atau keseluruhannya 2,53%. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, responden yang
pernah didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar 0,46%, tertinggi di Provinsi DKI
Jakarta (1,85%), 2 berturut-turut diikuti Provinsi Aceh (1,28%), Kepulauan Riau (1,26%),
Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatera Barat (1,14%) dan terendah di Provinsi Riau
(0,04%)(Depkes RI 2008).
Pada tahun 2020, diperkirakan bahwa 58 juta orang akan mengalami glaukoma primer
sudut terbuka, dengan 10% diantaranya menderita kebutaan pada kedua matanya (Quigley &
Broman, 2006). Meskipun kebutaan merupakan keluaran komplikasi yang paling ditakuti,
gangguan penglihatan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Lebih dari 10%
pasien terdiagnosis glaukoma yang menjalankan pengobatan dan evaluasi rutin masih mengalami
gangguan fungsi penglihatan yang signifikan dalam kehidupan sehari-harinya (McKean-Cowdin
et al., 2007). Oleh karena sifat kerusakan yang ditimbulkan irreversible (tidak dapat sembuh
kembali), sangatlah penting untuk mendeteksi glaukoma sedini mungkin, sehingga resiko
gangguan penglihatan dan morbiditas yang terkait dapat di minimalisasi.
Salah satu klasifikasi Glaukoma adalah Glaukoma primer sudut terbuka. Glaukoma
primer sudut terbuka dikaitkan dengan berbagai gangguan vaskular dan endokrin seperti
Diabetes Melitus. Hal ini dihubungkan dengan suplai darah terhadap saraf optik yang
Mengakibatkan lebih rentan terhadap kerusakan glaukomatus.(1)
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes mellitus (DM)
adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan dari berbagai organ -
organ terutama pada mata, ginjal, syaraf, hati dan pembuluh darah.(2) IPD
Diabetes Melitus apabila tidak diobati dengan baik maka akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi
kronik dari mikroangiopati, salah satunya pada bagian mata. Kelainan ini berhubungan dengan
suplai darah terhadap saraf optik yang mengakibatkan lebih rentan terhadap glaukomatosus.
Suplai darah menurun akibat adanya sumbatan pada pembuluh darah kapiler yang kemudian
menyebabkan iskemik pada daerah mata maupun saraf optik.(1)
Oleh karena tingginya angka prevalensi kebutaan akibat glaukoma dan berhubungan
dengan riwayat diabetes melitus , peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara
glaukoma dengan riwayat diabetes mellitus di RSU UKI, Jakarta.
Apakah ada hubungan antara glaukoma dengan riwayat diabetes mellitus di RSU UKI,
Jakarta.
Untuk mengetahui hubungan antara diabetes melitus dengan tekanan intraokuli pada
pasien glaukoma di Poliklinik Mata RSU UKI periode Juli 2011- Agustus 2011.
1. Bagi Rumah Sakit Penelitian ini diharapakan dapat menjadi data sumber
prevalensi penyakit glaukoma dan untuk meningkatnya kualitas pelayanan
terhadap pasien tersebut.
2. Bagi Kalangan Medis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penelitian
sekunder bagi penelitian-penelitian kesehatan selanjutnya. Selain itu, juga
diharapkan dapat memperluas wawasan di bidang kesehatan, terutama mengenai
glaukoma.
4. Bagi Peneliti Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
peneliti dalam memperluas wawasan dan meningkatkan pengetahuan di bidang
penelitian.
2.1. Glaukoma
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis glaukoma dapat ditegakkan berdasasarkan pemeriksaan secara
menyeluruh, mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan fisik. Pada anamnesis,
adapun hal-hal yang perlu ditanyakan adalah sesuai dengan basic four dan sacred
seven, misalnya apakah terdapat riwayat keluarga yang menderita hal yang sama,
apakah ada riwayat penyakit lain dan kebiasaan mengkonsumsi obat-obat tertentu.
Setelah dilakukan anamnesis untuk menggali informasi lebih dalam, jika pasien
dicurigai menderita glaukoma, maka ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis glaukoma antara lain:
A. Tonometri
Tonometri adalah pengukuran tekanan intraokular bola mata.