Kipayatul Ahyar PDF
Kipayatul Ahyar PDF
هـ
ِ حي ْم
ِ ن الّر
ِ حم
ْ سم ِ اللهِ الّر
ْ ِب
PEMBAHASAN I
“BAB KAFARATUDZ DZIHAR”
1
catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya
Cabang Permasalahan
Semisal ada si suami berkata seorang isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku,
Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku” dilihat dulu,
jikalau ungkapan yang kedua dan ketiga itu sebagai penguat ungkapan yang pertama, maka
jatuh satu kali dzihar. Jikalau setelah ia mengungkapkan kata tersebut, tetapi masih menahan
isterinya, maka samalah ia menarik kembali ucapannya dan wajib kaffarah satu kali. Dan jika
ungkapan yang kedua atau yang ketiga itu bertujuan untuk mengungkapan dzihar yang lain,
maka kaffarahnya pun menjadi bertambah (berbilang) menurut qaul jadid. Dan jikalau ia
mengatakannya secara mutlak (sengaja), dengan tidak berniat apapun, apakah dzihar itu jatuh
satu ataukah berbilang? Ada khilaf dalam permasalahan ini, qaul adzhar (diputuskan oleh Ibnus
Shabagh dan Al-Mutawalli) mengatakan wajib satu kali dzihar, dan telah dikatakan sebelumnya,
jikalau lafadz talak diucapkan berkali-kali secara mutlak, maka talak tersebut jatuh terbilang.
Perbedaan talak dan dzihar adalah talak itu lebih kuat karena ia menghilangkan milik,
berbeda dengan dzihar (sebaliknya), karena talak itu memiliki bilangan (ketentuan) yang
terbatas, dan si suami itulah yang memiliki hak talak. Maka apabila mengulangi talak, yang
jelas dia ingin memiliki semula orang yang dimiliki si suami, maka hukumnya sesuai dengan
bab talak (yang telah dijelaskan sebelumnya). Sedangkan untuk dzihar sendiri tidak terbilang
dan tidak dimiliki si suami. Dan kalau ucapannya itu terpisah-pisah, dan dalam setiap kali
ucapan itu bermaksud dzihar baru, maka setiap kali itu menjadi unsur jatuhnya dzihar satu kali.
Wallahu a’lam
""فصـــل في اللعــان
Syaikh Abu Syujak berkata :
إل،﴿ فصل وإذا ريمى الرجل زوجته بالزنا فعليه حــد القــذف
فيقول عند الحاكم على المنــبر فــي،أن يقيم البينة أو يلعن
"أشــهد بــالله إننــي لمــن الصــادقين: جماعة يمن المســلمين
وأن هذا الولد يمــن زنــا،فيما ريميت به زوجتي فلنة يمن الزنا
ويقــول فــي الخايمســة بعــد أن، (وليس يمنــي" )أربــع يمــرات
﴾ وعلي لعنة الله إن كنت يمن الكاذبين:يعظه الحاكم
[Apabila si lelaki menuduh isterinya berzina, maka wajib atas lelaki dihukum qadhf, kecuali
ia dapat mendatangkan saksi, atau meli’an dengan berkata diatas mimbar yang berada disisi
hakim dan dalam kumpulan orang Islam, “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar
terhadap tuduhan saya kepada isteri saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina
bukan dari saya”. Ungkapan tersebut diulangi sebanyak empat kali. Dan setelah hakim
menasehatinya, ungkapan yang kelima kalinya ia berkata, “Atasku laknat Allah jika aku berdusta].
Kata اللعانadalah masdar dari kata " "لعن – يلعنyang berarti terjauh dari
rahmat Allah. Dua orang yang berli’an disebut demikian, karena ia akan mengakibatkan dosa dan
terjauh dari rahmat Allah. Karena dari keduanya berjanji li’an (hal yang tak disukai oleh Allah
SWT). Jikalau salah satu dari keduanya berdusta, maka ia statusnya menjadi ma’lun (yang dikutuk).
Ada yang mengatakan karena masing-masing dari keduanya dijauhkan dari temannya dengan
diharamkan selamanya.
Arti menurut syara’ ialah suatu ungkapan (ibarat) kata-kata tertentu yang dijadikan alasan
bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya.
Lafadz li’an dikecualikan dari kemarahan (ghadab) dan kesaksian (syahadah) karena li’an adalah
suatu lafadz yang ganjil (gharib), dan sesuatu barang itu terkenal sebab keasingannya. Dan ada yang
mengatakan karena li’an itu kutukan dari si lelaki seperti disebutkan sebelumnya.
Dasar tentang li’an, sesuai firman Allah SWT :
،والذين يريمون أزواجهم ولــم يكــن لهــم شــهداء إل أنفســهم
﴾6﴿ ن الصـادقين ِ َ فشهادة أحدهم أربع شـهادات بـالله إنـه ل
َ مـ
﴾ )ســورة7﴿ والخايمسة أن لعنة الله عليه إن كان يمن الكاذبين
(7-6 : النور
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tak
membawakan saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta”. (QS. An -Nuur : 6-7)
Asbabun Nuzul ayat ini ialah ketika Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan
Syarik Ibnus Samha’ kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata padanya :
"دة
ّ "فصـــل في الع
Syaikh Abu Syujak berkata :
. وغير يمتوفى، يمتوفى عنها زوجها: والمعتدة ضربان: ﴿ فصل
وإن،فالمتوفى عنهــا إن كــانت حــايمل فعــدتها بوضــع الحمــل
﴾. فعدتها أربعة أشهر وعشرا،كانت حائل
[Perempuan yang ber’iddah ada 2 macam ; 1. Perempuan yang ditinggalkan suaminya
mati. 2. Perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya. Adapun yang ditinggal mati oleh
suaminya, jikalau perempuan tersebut hamil, maka masa ‘iddahnya adalah dengan melahirkan
anak dalam kandungan. Dan jikalau tidak hamil, maka masa ‘iddahnya 4 bulan 10 hari].
‘Iddah , yaitu masa menanti yang diwajibkan atas perempuan agar diketahui kandungannya
berisi atau tidak. ‘Iddah dapat terjadi kadangkala disaat ia melahirkan, atau masa hamil beberapa
bulan, atau quru’ pada yang lain.
Tidak diragukan lagi, bahwa perempuan yang ber’iddah ada 2 macam; perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya, adakalanya
dalam hal ini, si perempuan dalam keadaan hamil ataupun tidak dalam keadaan hamil. Jikalau ia
hamil, maka masa ‘iddahnya adalah menunggu sampai dengan ia melahirkan si anak dalam
kandungannya dengan beberapa syarat yang akan dijelaskan pada masalah selanjutnya di dalam hal
‘iddah talak. Dan tak ada perbedaan antara kelahiran yang segera ataupun yang terlambat. Kata
Imam Madzahibul Arba’, jelasnya ayat yang telah menentukan wajib ber’iddah dengan masa
sekalipun si isteri hamil. Tetapi sudah ditetapkan bahwa ketika Subai’ah Al-Aslamiyah melahirkan
setengah bulan sesudah suaminya wafat, lalu Rasulullah SAW, bersabda :
()رواه اليمام البخاري وغيره ! حللت فانكحي يمن شئت
Artinya : “Engkau menjadi halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”. (HR.
Bukhari dan lain-lain)
Dan dari ‘Umar RA, ia berkata :
.لو وضعت وزوجها على السرير حلت
Artinya : “Jikalau isteri melahirkan sedangkan suaminya masih membujur di atas ranjang,
maka dia halal.”
Selanjutnya tidak ada perbedaan dalam ‘iddah hamil yang terletak pada perempuan yang
berstatus merdeka dan hamba sahaya. Jikalau perempuan itu tidak hamil, ataupun hamil yang tidak
dimungkinkan suaminya itu mati, maka perempuan merdeka ber’iddah dengan 4 bulan 10 hari,
sesuai dengan Allah SWT, yang berbunyi :
واللذين يتوفون يمنكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة
(234 : )سورة البقرة.أشهر وعشرا
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) 4 bulan 10 hari”. (QS. Al -
Baqarah : 234)
Ayat diatas menjelaskan tentang pengecualian perempuan hamil yang ditinggalkan suami.
Selain dari penjelasan ayat di atas maka tetap isteri diperlakukan dengan pengertian umum.
Sedangkan, perempuan hamil yang bukan dari suaminya, maka ia tidak boleh ber’iddah dengan
‘iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Jadi, tidak perbedaan dalam ‘iddah kematian
""فصـــل في الستبراء
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويمن استحدث يملك أيمــة حــرم عليــه: ﴿ فصل في الستبراء
الســتمتاع بهــا حــتى يســتبرئها إن كــانت يمــن ذوات الحيــض
وإن كــانت يمــن، وإن كانت يمن ذوات الشهور بشــهر،بحيضة
﴾ .ذوات الحمل بوضع الحمل
[Barag siapa yang memperoleh hamba sahaya untuk dimiliki, haram bersenang-senang
dengannya sampai ia menunggu farjinya, kalau perempuan itu termasuk perempuan yang haidh,
yaitu dengan satu kali haidh, kalau ber’iddah bulan yaitu dengan satu bulan, dan kalau lagi hamil
adalah dengan melahirkan kandungannya].
Istibra’ ialah suatu ungkapan mengenai masa menunggu yang hukumnya wajib, disebabkan
karena memiliki hamba sahaya perempuan, ketika terjadi maupun hilangnya hak (kekuasaan).
Disebut istibra’ karena ditentukan dengan masa yang paling sedikit yang menunjukkan bersihnya
kemaluan wanita tanpa ‘iddah. Dan ‘iddah itu disebut ‘iddah karena terbilangnya apa yang
menunjukkan kebersihan kemaluannya.
Apabila anda sudah mengerti hal ini, maka dasar / dalil mengenai masalah ini ialah sabda
Nabi SAW mengenai orang-orang yang ditawan dari Kabilah Awthas, sabdanya :
ول غير ذات حمل حتى تحيض،ل توطأ حايمل حتى تضع
.حيضة
Artinya : “Tidak boleh dicampuri perempuan yang hamil sampai ia melahirkan, dan (juga)
tidak boleh dicampuri perempuan yang tidak hamil sampai ia haidh satu kali haidh”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan Al-Hakim menyatakan hadits ini shahih serta berkata
hadits tersebut menurut syarat muslim. Benar, Ibnul Qutthan telah mencacatkan Syari’ Al-
Qadhi dalam sanad hadits ini, tetapi dipercayai Ibnu Mu’in dan lain-lain, dan Muslim
mengeluarkan untuknya guna menguatkan.
Dalam hal wajibnya istibra’ itu mempunyai 2 sebab;
1. Pertama, terjadinya peristiwa memiliki hamba sahaya perempuan (amah) sebagaimana yang
disebutkan oleh mushannif dengan perkataannya “Barang siapa memperoleh hamba sahaya
untuk dimiliki....”. Jadi, barang siapa memiliki budak perempuan, wajib atasnya menungguh
bersih farjinya, baik memilikinya dengan sebab diwarisi, membeli, dengan sebab pemberian,
sebab wasiat, ditawan (dalam perang), menguasai kembali sebab dikembalikan karena ada cacat,
karena berselisih, membatalkan penjualan, ataupun sebab menarik kembali pemberian. Jikalau
amah tersebut kembali kepada orang tersebut dengan sebab batalnya akad untuk menjadi budak
mukatab, atau amah tersebut murtad kemudian masuk islam semula, maka orang tersebut wajib
menunggu bersih farjinya amah tersebut, menurut qaul yang ashah, karena hilangnya hak
bersenang-senang.
Dan kalau orang mengawinkan amahnya, kemudian ia ditalak sebelum campur, apakah wajib
atas tuan menunggu bersih farjinya? Ada dua qaul. Jikalau tuan menjualnya dengan syarat
khiyar, kemudian dia dikembalikan sebab batal jual-belinya dalam masa khiyar, maka mengenai
wajibnya istibra’ terdapat khilaf. Menurut madzhab hukumnya wajib kalau kita mengatakan hak
(milik) penjual hilang dengan sebab akad jual-beli itu; dan jika kita mengatakan tidak hilang,
maka tidak wajib. Wallahu a’lam.
6
Telingkah; tidak bersatu hati; berselisih; bercekcok: suami istri itu selalu ~; dua orang tokoh yg senantiasa ~