Anda di halaman 1dari 32

1.

Umum
Sumber daya alam hutan, tanah dan air merupakan modal dasar dalam melaksanakan
pembangunan. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan
aspek kelestariannya. Salah satu cara upaya pelestarian fungsi tersebut adalah usaha
pemeliharaan kesuburan tanah dengan melaksanakan kegiatan konservasi lahan kritis.

Konservasi Lahan Kritis pada umumnya sekaligus Konservasi Sumber Daya Air yaitu
upaya manusia untuk mempertahankan, meningkatkan dan merehabilitasi lahan sesuai
dengan peruntukkannya. Usaha pemeliharaan kesuburan tanah yang merupakan salah
satu aspek konservasi lahan dan merupakan kewajiban setiap pemilik/pemakai lahan
yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan amanat yang dituangkan dalam Undang-
undang No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Oleh karena itu usaha konservasi
ini harus melibatkan berbagai elemen dan instansi yang terkait dengan segala kegiatan
yang terdapat di Daerah Aliran Sungai.

Sedang usaha-usaha tersebut meliputi:


a. Menyerap daya pukul air hujan.
b. Menyerap daya kikis aliran air.
c. Mengurangi kecepatan dan jumlah air.
d. Meningkatkan daya tahan tanah terhadap gaya erosi.
e. Mengurangi kemungkinan gerak masif tanah.
Untuk mencapai tujuan tersebut ada dua cara utama selain kimia antara lain
- Cara Vegetatif
- Cara Teknik Mekanis

1.1. Cara Vegetatif

Cara vegetatif adalah suatu usaha konservasi air dan tanah dengan subtansi
vegetasi misalnya : Reboisasi, penghijauan serta pengaturan penanaman.

Pengaturan penanaman meliputi:

1
1. Kontour Cropping yaitu penanaman secara urut menurut kontour sehingga
dapat memperkecil erosi saat hujan.
2. Stirp Cropping yaitu menanam secara jalur sejajar kontour sehingga jalur ini
dapat menahan erosi bagian diantaranya.
3. Multiple Cropping yaitu menanam secara terus menerus dengan tumpang
sari sehingga memperkecil lahan gundul.
4. Crop Rotation yaitu menanam secara tumpang gilir dengan maksud terjadi
pembentukan unsur hara secara baik sehingga dapat menyuburkan tanah.

1.2 Cara Teknis Mekanis

Cara ini dengan jalan menahan laju larian (Run Of) dengan membuat suatu
bangunan permanen maupun sementara. Seperti membuat Terassering, Sistem
Resapan Buatan, Terjunan, Chek Dam , Dam dan lain-lain.

Segala kegiatan diatas dilakukan di Daerah Aliran Sungai. Yaitu wilayah yang
terletak diatas suatu titik pada suatu sungai yang dibatasi oleh batas-batas
topografi, mengalirkan air yang jatuh diatasnya kedalam sungai yang sama dan
melalui titik-titik yang sama pada sungai tersebut. (Brown and Murphy, 1955.
Gregory & william, 1973. Cassel, 1983 dalam H. Purnomo 1983)

2. Daerah Aliran Sungai.

Menurut Surat keputusan menteri Pertanian No 251/Kpts/um/1979 pasal 1 ayat 1.


DAS adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisah alami atau topografi dan
merupakan:
1. Satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air hujan yang
jatuh diatasnya untuk kemudian mengalirkannya ke sungai utama terus ke laut.
2. Satu satuan ekosistem dengan unsur utamanya sumberdaya alam flora, fauna,
tanah dan air serta manusia dengan segala akktifitasnya yang berinteraksi satu
sama lain.

Pemisah topografi merupakan punggung-punggung bukit, sedangkan pemisah bawah


tanah terhadap aliran air bawah tanah berupa batuan-batuan kedap air atau dengan

2
perkataan lain mempunyai batas tertentu berupa batas topografi untuk aliran run-of
dan batas batuan kedap air untuk aliran bawah permukaan.

Mempunyai out let (titik pelepasan) tertentu yang berupa:


a. Suatu bangunan tertentu seperti Jembatan, Chek Dam, Bendungan, Kota dll.
b. Letaknya dapat diseberang aliran baik disungai maupun olahan lainnya.
c. Suatu daerah terhadap masalah tertentu misalnya masalah banjir dan daerah
kekeringan, masalah lingkungan/polusi dan lain-lain.

Bentuk DAS dikelompokan dalam 3 (tiga) Katagori:


a. DAS Berbentuk Bulu Burung
Anak-anak sungai terdapat dikanan-kiri sungai utama mempunyai debit banjir
yang kecil. Hal ini disebabkan karena waktu datang banjir dari anak-anak sungai
berbeda-beda dan tidak bersamaan sehingga debit banjir yang terjadi pada
sungai utama berlangsung lama.

b. DAS Berbentuk Kipas


Anak-anak sungai memusat ke satu titik secara radial, mempunyai debit banjir
yang besar didekat titik pertemuan anak-anak sungai.

c. DAS Berbentuk Paralel


Mempunyai dua jalur corak pengaliran yang bersatu dibagian hilir, menerima
banjir dari masing-masing daerah pengaliran kadang-kadang tidak bersamaan,
debit banjir yang terjadi pada titik pertemuan bisa besar apabila datangnya banjir
masing-masing daerah pengaliran bersaman.

d. Campuran dari ketiga bentuk diatas

3. Erosi tanah/lahan.

Penyebab terjadinya lahan kritis pada umumnya akibat adanya erosi di lahan. Menurut
Utomo (1987), erosi adalah proses perataan kulit bumi yang meliputi proses
penghancuran, pengangkutan dan pengendapan butir tanah tersebut.

3
Dalam hal ini Ellison (1947) dalam Morgan (1986) mengemukakan bahwa erosi tanah
adalah proses pelepasan butir-butir tanah dan proses pemindahan atau pengangkutan
tanah yang disebabkan oleh air atau angin. Khusus di Indonesia yang beriklim tropis
basah proses erosi tanah yang paling banyak disebabkan oleh air, yang diakibatkan
oleh adanya hujan yang turun diatas permukaan tanah.

Menurut Sitanala Arsyad (1976) yang dimaksud erosi oleh air adalah merupakan
kombinasi dua sub proses yaitu:
a. Penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbukan butir-
butir hujan yang jatuh menimpa tanah dan peredaman oleh air yang tergenang
(proses dispersi).
b. Pengangkutan butir-butir primer tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah.

Sedang Foster et al (1977) dalam Lane & Shirley (1982) mengemukakan proses erosi
tanah meliputi pelepasan butir-butir tanah akibat pukulan jatuhnya air hujan dan
pengangkutan butir-butir tanah oleh aliran permukaan atau limpasan permukaan
dalam alur dan pengangkutan butir-butir tanah oleh air dalam alur.

3.1. Proses terjadinya erosi.

Berdasar proses terjadinya erosi tanah, dibedakan menjadi dua bagian sbb:
a. Proses erosi tanah akibat pelapukan secara geologi.
Batuan-batuan padat atau bahan induk tanah dilapuk oleh cuaca menjadi
bagian-bagian besar dan kecil, selanjutnya melalui proses-proses secara fisik
(mekanik), biologis (aktifitas organik) dan kimia, batuan akan terurai dan lebih
lanjut akan terjadi retakan–retakan. Keadaan ini lebih diperhebat lagi dengan
adanya ayunan perubahan suhu tinggi dan suhu rendah.

Melalui retakan-retakan ini air dapat masuk kedalam batuan-batuan maka


lebih lanjut batuan akan pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi, ini
akan mempercepat proses penghancuran.

Namun demikian dalam kondisi proses erosi tanah akibat pelapukan atau
secara geologi, perubahan bentuk masih dalam proses keseimbangan alam
artinya kecepatan kerusakan tanah atau erosi tanah masih sama atau lebih
kecil dari kecepatan proses pembentukan tanah.
4
b. Proses erosi tanah dipercepat oleh kegiatan manusia.
Kegiatan manusia di DAS dalam mengelola tanah untuk tujuan peningkatan
produktifitas tanah dilain pihak menyebabkan terjadinya pemecahan agregat
tanah, meliputi pengangkatan dan pemindahan tanah pada saat pengolahan
tanah. Ini dapat menyebabkan meningkatnya faktor laju erosi yang disebut
faktor “erosi dipercepat”’ (acceleration erotion) artinya kecepatan kerusakan
tanah atau erosi tanah sudah sedemikian besar atau melebihi kecepatan
proses pembentukan tanah.

Melalui usaha-usaha konservasi tanah dan air diharapkan kegiatan manusia


dapat menekan atau mengurangi kerusakan tanah (resisting force) dan bukan
sebaliknya terhadap kecepatan erosi tanah atau kerusakan tanah dapat
diperlambat (retard erosion) semaksimal mungkin.

Pengelolaan tanah yang benar disamping meningkatkan produktifitas tanah


juga tanah tidak cepat rusak. Tujuan ini dimaksudkan agar tanah dapat
berproduksi sepanjang waktu atau dalam waktu yang lama.

3.2. Faktor penyebab erosi.

Menurut Hudson (1986) ada dua faktor utama penyebab terjadinya proses erosi
yaitu Erosivitas dan faktor tanah yang dinyatakan dalam Erodibilitas. Oleh
karena itu Erosi merupakan fungsi dari Erosivitas dan Erodibilitas

E = F x {(Erosivitas), (Erodibilitas)}

Dimana E adalah Erosi atau perkiraan tanah yang hilang di lahan.

Erosivitas adalah faktor yang menentukan energi Erosivitas Curah Hujan ( R )


dan faktor yang mempengaruhi besarnya energi (Bio Geofisik DAS) yaitu
Kemiringan lahan yang ditunjukkkan dalam kondisi Topografi (T), Geologi
Permukaan tanah (S) dan faktor iklim (C ) penggunaan lahan (LM). Jadi erosi
adalah faktor dari (T,S,C, LM).

Menurut Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Smith
dan Wishcheir dirumuskan sebagai berikut:

E = R x K x LS x C x P
5
Dimana
E = Jumlah tanah yang hilang maksimum dalam ton/Ha/tahun.
R = Erosivitas curah hujan.
K = Faktor erodibilita tanah.
LS = Indeks faktor panjang dan kemiringan lereng.
C = Indeks faktor pengelolaan tanaman.
P = Indeks faktor konservasi tanah.
Nilai LS, C dan P tidak mempunyai satuan.

a. Erosivitas Curah Hujan ( R )

Indeks Erosivitas curah hujan diperoleh dengan menghitung besar energi


hujan (KE) yang ditimbulkan oleh hujan maksimum selama 30 menit (EI30)
atau energi kinetik hujan yang lebih besar dari 25 mm dalam satu jam
(KE>1). Untuk menghitung EI30 atau EI>1 diperlukan data curah hujan
otomatis maupun manual.

Indeks erosivitas ini menurut Bols (1978) dirumuskan sbb:

R = 6,119(CH)1,21 x (HH)-0,47x (H24)0,53


Dimana
R = Erosivitas hujan bulanan.
CH = Curah Hujan bulanan(Cm).
HH = Banyaknya hari hujan bulanan.
H24 = Hujan harian maksimum (Cm) dalam bulan yang bersangkutan.

Peneliti yang lain yaitu Utomo, Udanarto dan Wahyu (1983) serta Utomo dan
Mahmud (1984) mendapatkan rumus untuk menghitung erosivitas hujan di
DAS Brantas dengan menggunakan data jumlah curah hujan.

R = 10,80 + 4,15 CH
Dimana
R = Erosivitas hujan bulanan.
CH = Curah Hujan bulanan(Cm).

6
Erodibilitas Tanah (K)

Erodibilitas tanah merupakan sikap karakteristik tanah yang diartikan


sebagai tingkat kepekaan atau ketahanan tanah terhadap hujan. Harga K
diperoleh dari jumlah tanah yang hilang secara potensial dari satu jenis
tanah akibat erositas hujan dalam keadaan tanah tersebut bero (tidak
ditanami sepanjang tahun) pada kemiringan lahan 9% dan panjang lereng
22,1 m. Besar nilai K ditentukan oleh : Tekstur, Struktur, Permeabilitas dan
bahan organik tanah.

Menurut Hammer (1978) erodibilitas tanah dirumuskan sbb:


K = 2,713 M1,14x10-4x (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)
Dimana:
M = (% debu + % pasir halus)/(100% liat).
a = % bahan organik.
b = Indeks struktur tanah.
c = Indeks permeabilitas tanah.
Nilai m tergantung dari tekstur tanah seperti tabel berikut.

Tabel Nilai Tesktur dan m


Klas tekstur Nilai Nilai Klas tekstur Nilai Nilai
Tekstur m Tekstur m
Lempung Berat 2 210 Pasir Geluhan 38 1245
Lempung Sedang 15 750 Geluh Lempungan 43 3770
Lempung Pasiran 16 1213 Geluh Pasiran 45 4005
Lempung Ringan 20 1685 Geluh 45 4390
Geluh Lempung 23 2160 Geluh debuan 46 6330
Pasir Lempung Debuan 26 2830 Debu 68 8245
Geluh Lempung Pasiran 13 3035 Campuran Merata 74 4000
Sumber : Hammer 1978

Kandungan Bahan Organik


Klas Penilaian Prosentase
Sangat Rendah 0 <1
Rendah 1 1–2
Sedang 2 2,1 – 3
Tinggi 3 3,1 – 5
Sangat Tinggi 4 >5
Sumber : Hammer 1978

7
Permeabilitas tanah
Klas Permeabilitas CM/jam Nilai
Cepat 35,4 1
Sedang s/d Cepat 12,7 – 25,4 2
Sedang 6,3 – 12,7 3
Sedang s/d Lambat 2,0 – 6,3 4
Lambat 0,5 – 2,3 5
Sangat Lambat 0,5 6
Sumber : Hammer 1978

b. Faktor Panjang dan kemiringan (LS)


Faktor kemiringan lereng mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan.
Pada dasarnya makin curam suatu lereng makin cepat laju limpasan, makin
kecil waktu untuk infiltrasi dan makin besar volume limpasan.

Faktor L berharga 1 (satu) untuk panjang kereng 22,1 meter, faktor S


berharga 1 (satu) untuk kemiringan 9%. Sedang batas panjang lereng
adalah panjang antara awal terjadinya aliran permukaan hingga titik dimana
mulai terjadinya pembelokan/penghambatan aliran.

Klas kemiringan lereng ditentukan dengan cara membuat jaring-jaring


dengan jarak tetap pada peta topografi.

Besar kemiringan lereng didekati dengan rumus:


(n  1) xC1
S x100%
2a 2
Dimana
S = Kemiringan lereng dalam %.
n = Jumlah garis kontour yangmemotong diagonal jaring-jaring.
C1 = Interval kontour dalam meter.
a = Panjang jaring-jaring.
Sedangkan panjang lereng didekati dengan rumus:

  P x 1
10 Cos
Dimana
 = Panjang lereng sebenarnya (m).
P = Panjang lereng yang diukur pada peta (m).
 = Sudut kemiringan lereng dalam derajat.
8
Faktor panjang dan kemiringan lereng


LS  (1,38  0,965.S  0,138.S 2
 100
Persamaan tersebut berlaku untuk lahan dengan kemiringan lereng <22%,
sedang untuk kemiringan yang lebih curam digunakan rumus Gregory et al
(1977) sebagai berikut:

  
m

T   .C (Cos ) x1,503.(0,5.Sin )1,249  2,149Sin


 2,21 
Dimana
T = Panjang lereng dalam meter.
m = 0,5 untuk lereng 5% atau lebih.
= 0,4 untuk lereng 3,5% s/d 4,9%
= 0,3 untuk lereng < 3,4%
C = 34,7046
= Sudut kemiringan lereng dalam derajat.

Klas Kemiringan Lereng untuk desain


No Kemiringan % Klas Indeks S
1 0–8 1 0,4
2 8 – 15 2 1,4
3 15 – 25 3 3,1
4 25 – 45 4 6,8
5 45 5 9,5
Sumber : Bakosurtanal 1987

c. Faktor Tanaman
Menurut Syarief (1985) nilai faktor tanaman atau C adalah nisbah antara
besarnya erosi atau tanah yang hilang dari lahan yang ditanami tanaman
tertentu dengan besarnya erosi tanpa adanya tanaman pada lahan yang
sama (bero) dengan panjang dan kemiringan lereng yang sama. Faktor C ini
bukan hanya ditentukan jenis tanaman tapi juga pertumbuhan tanaman
yang justru merupakan faktor yang utama.

Nilai C yang dipergunakan untuk menentukan nilai A adalah hasil beberapa


penelitian seperti dapat dilihat pada tabel halaman berikut:

9
Tabel nilai C untuk berbagai jenis tanaman pola Pertanaman tunggal
No Jenis Tanaman Nilai C menurut
Abdurachman CS Hammer
1 Rumput tahun I 0,287 0,30
2 Rumput tahun II 0,002 0,02
3 Kacang Tunggak 0,161 -
4 Sorghum 0,242 -
5 Ubi Kayu - 0,80
6 Serai Wangi 0,434 0,40
7 Kedelai 0,399 -
8 Kacang tanah 0,200 0,20
9 Padi Lahan kering 0,561 0,50
10 Jagung 0,637 0,70
11 Padi sawah 0,10 0,01
12 Kentang - 0,40
13 Kapas, Tembakau 0,50 – 0,70 -
14 Tebu - 0,20
15 Nanas penanaman sesuai
Kontour 0,20 - 0,50 -
a. Mulsa dibakar 0,10 – 0,30 -
b. Mulsa dibenam 0,01 -
16 c. Mulsa di permukaan - 0,60
17 Pisang - 0,86
18 Talas - 0,90
19 Cabe, Jahe dll - 0,10
Kebun Campuran Rapat - 0,20
Kebun Ubi kayu + Kedelai 0,495 0,50
20 Kebun Gude + Kacang - 0,40
21 Tanah 1,00 1,00
22 Ladang berpindah - 0,95
23 Tanah kosong diolah 0,001 -
24 Tanah kosong tak diolah 0,01 -
25 Hutan tak terganggu 0,01 -
26 Hutan terganggu 0,70 -
27 Alang-alang permanen 0,51 -
28 Alang-alang dibakar sekali 0,012 -
29 Semak lantana 1,00 -
30 Albasia dg semak campuran 0,32 -
31 Albasia tanpa semak 1,00 -
32 Pohon tanpa semak 0,21 -
33 Kentang menurut lereng 0,35 -
34 Pohon dibawahnya diolah 0,80 -
Kentang menurut kontour
Bawang daun
Sumber : Roose, 1977

10
Untuk tanaman tumpangsari seperti tabel berikut:

Tabel C untuk tanaman tumpangsari


No Pengelolaan Tanaman Nilai C
1 Ubi kayu + kedelai 0,181
2 Ubi kayu + kacang tanah 0,195
3 Padi + sorghum 0,345
4 Padi + kedelai 0,417
5 Kacang tanah + gude 0,495
6 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/Ha 0,049
7 Kacang tanah + kacang tunggak 0,571
8 Padi + mulsa jerami 0,096
9 Kacang tanah + mulsa jagung 0,128
10 Kacang tanah + mulsa crotala 3 ton/Ha 0,136
11 Kacang tanah + mulsa kacang tanah 0,259
12 Kacang tanah + jerami 0,377
13 Padi + mulsa crotala 0,387
14 Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa jerami 0,079
15 Pola tanam berurutan+ mulsa sisa tanaman 0,347
16 Pola tanam berurutan 0,498
17 Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa 0,357
18 Pola tanam tumpang gilir -

d. Indek Konservasi Tanah


Nilai faktor kegiatan manusia dalam pengawetan tanah (P) adalah nisbah
perbandingan antara besarnya erosi dan tanah yang hilang pada lahan
dengan tindakan pengawetan tanah tertentu terhadap besarnya erosi tanah
pada lahan tanpa tindakan pengawetan tanah sama sekali.

Apabila semua faktor erosi telah diketahui, maka nila P dapat dirumuskan
sebagai berikut:

A
P
RxKxLSxC

Perhitungan nilai P telah ditemukan dengan berbagai macam bentuk/jenis


pengawetan tanah sbb:

11
Tabel faktor nilai P sehubungan tindakan konservasi
No Teknik Konservasi Nilai P
1 Teras bangku
a. Sempurna 0,04
b. Sedang 0,15
c. Jelek 0,35
2 Teras tradisional 0,40
3 Padang rumput
a. Bagus 0,4
b. Jelek 0,4
4 Contour Cropping
a. Kemiringan 0 – 8% 0,50
b. Kemiringan 9 –10% 0,75
c. Kemiringan >20% 0,90
5 Limbah Jerami Digunakan
a. 6 ton/HA/tahun 0,30
b. 3 ton/HA/tahun 0,50
c. 1 ton/HA/tahun 0,80
6 Tanah Perkebunan
a. Dengan penutup tanah rapat 0,10
b. Dengan penutup tanah sedang 0,50
7 Reboisasi, penutup tanah pada tahun awal 0,30
8 Strip Cropping Jagung-Kacang tanah 0,05
9 Jagung - kedelai 0,087
10 Jagung – mulsa jerami padi 0,008
11 Padi gogo – kedelai, mulas jerami 4ton/Ha 0,193
12 Kacang tanah – kacang hijau 0,730
13 Kacang tanah – kacang hijau dg mulsa jerami 0,013
14 Padi gogo-kedelai-kacang tanah +jerami 0,267
15 Jagung-padi gogo-ubi kayu-kacang tanah 0,159
16 Teras gulud: padi-jagung 0,013
17 Teras gulud: Ketela pohon 0,063
18 Teras gulud: Shorgum 0,041
19 Teras gulud: Jagung-kacang tanah 0,006
20 Teras gulud: Kacang tanah – kedelai 0,105
21 Teras gulud: Padi-jagung-kacang tunggak 0,012
22 Teras bangku: padi-ubi kayu/kedelai 0,056
23 Teras bangku: Shorgum 0,024
24 Teras bangku: kacang tanah 0,009
25 Teras bangku; tanpa tanaman 0,039
26 Serai wangi 0,537
27 Alang-alang 0,021
28 Ubi kayu 0,461
29 Shorgum 0,341
30 Crotalaria Usaramuensis 0,502
31 Padi gogo – jagung 0,209
32 Padi gogo – jagung + mulsa jerami 0,083
33 Padi gogo – jagung + kapur 2 t/Ha 0,030
34 Jagung-padi gogo-ubi kayu 0,421
35 Jagung-kacang tanah-kacang hijau+mulsa 0,014
36 Strip crotalaria-Shorgum-ketela pohon 0,264
37 Strip Crotalaria-kacang tanah-ketela pohon 0,045
38 Strip crotalaria-padi gogo-kedelai 0,193
39 Strip rumput-padi gogo 0,481

4.3.3 Macam/bentuk Erosi Tanah


12
a. Erosi Percikan
Erosi percikan adalah erosi tanah akibat adanya pukulan jatuhnya air hujan
diatas permukaan tanah, meliputi proses penghancuran atau pelepasan butir-
butir tanah dan proses pemindahan tanah oleh percikan air hujan.
Kemampuan air hujan melepaskan butir-butir dan memindahkannya
tergantung dari ukuran besar butir hujan. Kemampuan curah hujan mengerosi
tanah disebut erosivitas seperti tersebut diatas. Sifat hujan yang penting
hubungannya dengan proses erosi tanah adalah energi kinetik hujan yang
dapat menghancurkan agregat tanah dan memindahkan atau mengangkut
butir-butir tanah yang terlepas.

Energi Hujan (E) ditentukan dengan energi kinetik dari intensitas hujan erosif
dengan persamaan menurut Wischmeier dan Smith dalam Morgan (1986)
dirumuskan sbb:

E = R(11,9 + 8,7 log I)

Intensitas hujan erosif untuk daerah sedang adalah 11,00 mm/jam. Untuk
daerah tropis 25 mm/jam dan untuk daerah dengan hujan yang lebih erosif
seperti daerah mediterania 30 mm/jam.

b. Erosi Permukaan
Erosi permukaan yaitu erosi tanah yang terjadi pada permukaan tanah yang
disebabkan oleh kikisan aliran permukaan. Daya limpasan aliran permukaan
ini terutama dipengaruhi oleh kecepatan aliran permukaan yang dapat
mengangkat butir-butir tanah hasil erosi percikan. Aliran permukaan ini
disamping mengangkat dan mengangkut butir-butir tanah juga dapat
menyebabkan erosi tanah pada permukaan tanah.

c. Erosi Alur
Erosi alur adalah erosi yang terjadi pada alur-alur akibat terkikisnya
permukaan tanah (alur) oleh kikisan akibat aliran air yang terkumpul didalam
alur tersebut.

d. Erosi Selokan atau Parit

13
Proses erosi yang terjadi di selokan atau parit merupakan lanjutan dari erosi
alur, akibat konsentrasi air yang terus menerus baik debit aliran maupun
kecepatan aliran akan menjadi besar. Hal ini menyebabkan terkikisnya alur-
alur tersebut dan menyebabkan alur menjadi lebar dan menjadi parit atau
selokan.

e. Erosi Tanah Longsor


Tanah longsor adalah peristiwa pergerakan masa tanah. Hal ini akibat adanya
kikisan air didalam alur dan parit yang terjadi didasar alur dan tebing,
sehingga terjadi lereng-lereng tebing yang curam atau melewati batas lereng
yang diijinkan sehingga dapat menyebabkan pergerakan masa tanah secara
gravitasi kebawah atau tanah longsor.

Juga lereng bekas galian pembuatan jalan-jalan dan tebing-tebing yang


gundul akan mudah runtuh atau longsor hal ini disebabkan faktor ketahanan
tanah atau kestabilan tanahnya kecil. Untuk meningkatkan ketahanan tanah
terhadap bahaya erosi tanah longsor dapat dilakukan penanaman rumput,
bangunan-bangunan pelindung lereng baik secara sederhana yang dibuat dari
kayu, bambu, konstruksi pasangan batu kali, konstrukksi beton dll.

3.4. Modifikasi Model Erosi

A. Modifikasi Persamaan Umum Kehilangan Tanah.


Menurut Foster (1982) memberikan faktor erosivitas untuk menghitung
kehilangan tanah dari kejadian hujan tunggal.

Rm = 0,5 Rst + 0,35 Vu pu


Dimana
Rm = Faktor erosivitas yang dimodifikasi.
Rst = EI30 (N/jam).
Vu = Volume limpasan (mm).
pu = Laju puncak dari limpasan (mm/jam).

Modifikasi lainnya yang dilakukan oleh William (1975) yang mengembangkan


MUSLE (Modifikasi Universal Soil Loss Equation) dengan menggantikan energi
hujan dari persamaan umum kehilangan tanah dengan faktor energi limpasan.
14
Faktor energi limpasan dari MUSLE merupakan fungsi dari volume limpasan
dan laju puncak limpasan untuk hujan tunggal. Menurut William (1975)
manfaat penggantian faktor energi hujan dengan faktor limpasan sbb:
1. Meningkatkan ketetapan pendugaan karena limpasan umumnya
menjelaskan lebih banyak variasi dalam hal hasil sedimen dibandingkan
faktor hujan saja.
2. Menghilangkan kebutuhan adanya ratio penghantaran sedimen (SDR)
karena faktor limpasan sudah menggambarkan energi yang digunakan
dalam pengangkutan dan pengahancuran.
3. Bisa digunakan untuk hujan tunggal.

Formula MUSLE sbb:


Y = 11,8 (Vqp)0,56 K .C. P. LS

Dimana:
Y = Volume limpasan permukaan (m3)
Vqp = Laju puncak limpasan (m3/dt)
K = Faktor erodibilitas
C = Faktor pengelolaan crop
P = Faktor pengendalian praktis
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng

B. Model Morgan

Dalam pendugaan erosi, Morgan membagi dalam dua fase yaitu fase air dan
fase sedimen (lihat gambar diatas). Parameter yang digunakan sebanyak 15
(lima belas) dan enam persamaan. Dalam fase sedimen, erosi dianggap
mulai dari penghancuran tanah oleh pukulan air hujan dan pengangkutan
partikel-partikel ini oleh aliran. Proses penghancuran oleh percikan air hujan
dan pengangkutan oleh limpasan diabaikan. Oleh karena itu fase sedimen
mempunyai 2 persamaan penduga yaitu laju penghancuran oleh percikan air
hujan dan kapasitas penghancuran oleh limpasan. Masukan-masukan untuk
energi air hujan dan volume limpasan masing-masing diperoleh dari fase air.

15
Menurut Morgan Pendugaan kehilangan tanah seperti gambar berikut:

Rainfall Rainfall Number of Top Soil Depth


intensity Volume Rain Days

Soil Moisture at
field capacity
Mean Rain per
Rain day

Bulk Density
Soil Moisture
Storage
Rainfall energy Et/Eo ratio
Capacity

Soil Volume of overland flow


datachability

Crop management
Rainfall
interception
Slope steepness

Splash datachment rate Compare Transport capacity

Soil renewal rate Soil erosion rate

Change in top soil depth

Gambar Bagan alir pendugaan erosi menurut Morgan (1986)

16
Parameter masukan yang digunakan oleh Morgan
No Parameter Keterangan
1 MS Kadar lengas tanah dalam keadaan kapasitas lapang atau
tekanan 1/3 bar
2 BD Berat volume lapisan atas tanah
3 RD Kedalaman perakaran (m), yaitu kedalaman tanah dari
permukaan sampai lapisan impermeable atau berbatu
sampai dengan bawah horisontal, sampai dengan lapisan
banyak akar tanaman: atau sampai dengan kealaman 1,0 m.
Biasanya 0,05 m untuk rumput dan crop biji-bijian dan 0,10
m untuk crop pohon-pohonan.
4 SD Kedalaman tanah total (m), yaitu mulai permukaan tanah
sampai batuan dasar
5 K Indeks penghancuran tanah (g-1) yaitu berat tanah yang
dihancurkan dari massa tanah per unit energi hujan
6 W Laju peningkatan kedalaman tanah karena proses pelapukan
pada pertemuan tanah batuan (mm/tahun) sebagai hasil
pengelolaan crop dan pelapukan alami bagian vegetatif
tanaman menjadi humus
7 V Laju peningkatan lapisan perakaran (mm/tahun) sebagai
hasil pengelolaan tanaman dan pelapukan alami bagian
vegetatif tanaman menjadi humus
8 S Kemiringan lereng, merupakan sudut lereng
9 R Hujan tahunan
10 Rn Jumlah hujan dalam satu tahun
11 I Intensitas hujan erosif (mm/jam)
12 p Persen (%) hujan yang diintersepsi secara permanen dan
yang mengalir di btang
13 Et/Eo Ratio evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial
14 C Faktor pengelolaan crop. Kombinasi faktor C dan P dalam
persamaan umum kehilangan tanah dibawah pengelolaan
tertentu dengan kehilangan tanah dari bawah kondisi bero
dan pengolahan searah kemiringan
15 N Jumlah tahun dimana model dioperasikan

Parameter dasar sebagai masukan dalam fase air adalah curah hujan tahunan
(R). Energi hujan (E) ditentukan dengan menghitung energi kinetik dari
intensitas hujan erosif dengan persamaan sbb:
KE = R(11,9 +8,7 log I)
Intensitas hujan erosif untuk daerah sedang 11,0 mm/jam, untuk daerah
tropis 25 mm/jam dan untuk daerah dengan hujan yang lebih erosif seperti
daerah mediteran 30 mm/jam. Tetapi apabila sudah ada penelitian mengenai
hujan erosif didaerah studi akan lebih baik.
17
Persamaan/rumus erosi yang digunakan oleh Morgan, Morgan dan Finney sbb
Fase air
E = R(11,9 + 8,7 Log I)
Q = R exp(-Rc/R0)
Rc = 1000 MS x BD x RD (Et/E0)0,5
R0 = R/Rn
Fase Tanah
F = K(Ed.e-ao)b x 10-3
G = C Q Sin
Dimana
E = Energi kinetik hujan (J/m2).
Q = Volume limpasan permukaan (mm).
F = Laju penghancuran dari percikan hujan (kg/m2).
G = Kapasitas pengangkutan dari limpasan permukaan (kg/m2).
Nilai-nilai eksponen a=0,05; b=1,0; d=2,0

Volume tahunan dari aliran permukaan diduga dari hujan tahunan dengan
menggunakan persamaan yang diajukan oleh Kirkby (1976). Ia menduga
bahwa limpasan permukaan terjadi bila total hujan harian telah dilampaui
suatu nilai kritis yaitu kapasitas penampungan/penyimpanan lengas tanah
(Rc) pada suatu penggunaan lahan tertentu dan jumlah hujan harian
mendekati distribusi frekuensi eksponensial. Nilai Rc ditentukan menurut
Withers dan Vipond dalam Morgan (1986) dari parameter tanah dan
disesuaikan dengan adanya pengaruh evapotranspirasi dengan menggunakan
prosedure yang dilakukan oleh Kirkby. Nilai tipikal untuk parameter tanah
seperti tabel dan Et/Eo seperti berikut:
Tabel Nilai tipikal MS, BD dan K
No Jenis Tanah MS BD K
1 Liat 0,45 1,1 0,02
2 Lempung berliat 0,40 1,3 0,40
3 Liat berdebu 0,30 - -
4 Lempung berpasir 0,28 1,2 0,3
5 Lempung berdebu 0,25 1,3 -
6 Lempung 0,20 1,3 -
7 Pasir halus 0,15 1,4 0,2
8 Pasir 0,08 1,5 0,7
18
Tabel nilai P(%), Et/Eo dan C
No Tanaman P(%) Et/Eo C
1 Padi sawah 1,35 0,1-0,2
2 Gandum 43 0,59-0,61 0,1-0,2 (Winter Sown)
0,2-0,4 (Spring Sown)
3 Jagung 25 0,67-0,70 0,2
4 Barley 30 0,56-0,60 0,1-0,2
5 Millet/Sorghum 0,62 0,4-0,5
6 Casava/yam 0,2-0,8
7 Kentang 12 0,70-0,80 0,2-0,3
8 Bean 20-25 0,62-0,69 0,2-0,4
9 Kacang Tanah 25 0,50-0,87 0,2-0,8
10 Kobis 17 0,45-0,70 -
11 Pisang - 0,70-0,77 -
12 The 0,85-1,00 0,1-0,3
13 Kopi 0,50-1,00 0,1-0,3
14 Coklat 1,00 0,1-0,3
15 Tebu 0,68-0,80
16 Bit gula 12-22 0,73-0,75 0,2-0,3
17 Rumput savana 25-40 0,80-0,95 0,01-0,1
18 Hutan 25-35 0,90-1,00 (tropika) 0,001-0,002 (dg semak)
15-25 (daerah sedang) 0,001-0,004(non semak)
19 Tanah bero 0 0,25 1,00
Catatan

Nilai C harus dikonversi dengan ratio P bila dilakukan konservasi mekanis


yaitu; konservasi secara kontour dikalikan dengan 0,6. Untuk kontour strip
cropping dikalikan 0,35 dan untuk terasering dikalikan 0,15.

Fase sedimen dibagi menjadi komponen penghancuran oleh percikan hujan


dan komponen pengangkutan oleh limpasan. Proses penghancuran
menggunakan model fungsi dari energi hujan (menggunakan hubungan
dengan eksponen b=1) dan indeks penghancuran tanah (K) Morgan.
Hubungan ini dimodifikasi dengan memasukkan pengaruh intersepsi hujan
oleh crop, yang menduga bahwa energi hujan direduksi secara eksponensial
dengan meningkatnya intersepsi dengan nilai 0,05 untuk eksponen a.

Kapasitas aliran permukaan dalam mengangkut partikel-partikel tanah


ditentukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Kirkby dalam Morgan
(1986), yang merupakan fungsi dari volume aliran permukaan, kemiringan
dan penutupan lahan dapat dimasukkan kedalam model dengan fase yang
terpisah. Sebagai ilustrasi cara-cara bercocok tanam yang mengendalikan
19
erosi akan merubah evapotranspirasi, intersepsi dan pengolahan crop,
sehingga akan mempengaruhi volume limpasan, laju penghancuran dan
kapasitas pengangkutan.

Selanjutnya model membandingkan antara pendugaan penghancuran oleh


percikan hujan dengan pendugaan kapasitas pengangkutan dari limpasan dan
menentukan mana yang paling rendah dari kedua hasil tersebut. Nilai
pendugaan yang paling rendah adalah merupakan pendugaan laju kehilangan
tanah tahunan. Serta akan menunjukkan apakah penghancuran atau
pengangkutan yang merupakan faktor pembatas.

Pendugaan yang diperoleh model sangat sensitif terhadap perubahan hujan


tahunan dan parameter tanah bila erosi yang terjadi merupakan “transport
limited” dan sensitif terhadap perubahan intersepsi hujan tahunan jika erosi
yang terjadi merupakan “detachment limited”.

Kelebihan inilah pendugaan erosi menurut Morgan, Morgan Finney dapat


mengetahui faktor apa yang menjadi dalam proses erosi yang telah terjadi.

C. Model ANSWERS

Model ANSWERS (Area Point Source Watershed Environment Respon


Simulation) adalah suatu model yang dikembangkan sebagai usaha untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan tentang pengaruh penggunaan lahan,
pengelolaan lahan dan konservasi di lahan pertanian dan nonpertanian di
suatu DAS (Beasley, Huggins dan Monkey, 1980)

Model ini adalah model Deterministik yang berdasarkan pada hipotesa-


hipotesa fundamental dimana: “Pada Setiap titik didalam DAS, terdapat
hubungan fungsional antara laju aliran air dengan komponen-komponen yang
sesuai sebagai dasar modeling fenomena transport lainnya seperti erosi
tanah, pergerakkan polusi kimia di dalam DAS”. Hal terpenting dalam hipotesa
ini adalah penggunaan model pada “point basis” (Beasley dan Huggins,
1982).

20
DAS dibagi menjadi beberapa elemen

Elemen didifinisikan sebagai area dimana semua parameter hidrologinya


seragam. Elemen ini harus cukup kecil sehingga perubahan yang tidak
diinginkan pada nilai parameter dari elemen tunggal, pengaruhnya terhadap
seluruh DAS dapat diabaikan.

Adapun proses yang ada didalam ANSWERS adalah sebagai berikut:


Proses hidrologi merupakan tenaga penggerak (driving force). Proses
hidrologi model ANSWERS dapat pada gambar berikut:

RAINFALL RATE RUN OF


RATE PER UNIT AREA

TOTAL OUT FLOW

SUBSURFACE DRAINASE

WAKTU

Hubungan pergerakan air di DAS

Sesudah hujan mulai turun sebagian air akan diintersepsi oleh kanopi
tanaman sampai dicapai potensial penyimpanan intersepsi. Bila hujan turun
melampaui laju intersepsi maka mulailah terjadi proses infiltrasi kedalam

21
tanah. Laju infiltrasi akan menurun secara eksponensial dengan meningkatkan
penyimpanan air tanah. Bila laju hujan melebihi laju infiltrasi dan intersepsi
maka air mulai menggenang di permukaan di cekungan-cekungan kecil (micro
depresion). Bila retensi permukaan melampaui kapasitas depresi mikro maka
mulailah terjadi limpasan dan disebut detensi permukaan (surface detention).
Drainase dibawah permukaan mulai terjadi bila potensial tekanan
groundwater disekeliling drainase lebih besar daripada potensial atmosfeer.
Bila durasi dan intensitas hujan cukup besar sampai dicapai laju infiltrasi yang
steady state.
Pada saat hujan berhenti, detensi permukaan mulai berkurang sampai
limpasan permukaan berhenti. Akan tetapi infiltrasi tetap berjalan terus
sampai air dicekungan habis. Kemudian dihasilkan kurva resesi yang panjang
pada hidrograf aliran. Proses erosi penghancuran dan pengendapan sangat
dipengaruhi oleh kondisi hidrologi di DAS.
Informasi yang dibutuhkan untuk model ANSWERS
- Kebutuhan simulasi
- Intensitas hujan
- Tanah (lengas, infiltrasi, respons drainase, erodibilitas )
- Penggunaan lahan
- Affur
- Kedudukan DAS

3.5 Proses Sedimentasi

Proses sedimentasi yaitu proses terkumpulnya butir-butir tanah. Keadaan ini dapat
terjadi karena kecepatan aliran tidak kuat lagi mengangkut sedimen sampai terjadi
pengendapan (silting velocity). Sedimentasi dapat terjadi dimana saja baik di lahan
pertanian, sepanjang alur sungai, dasar waduk, muara dsb.

a. Proses terjadinya sedimentasi


Seperti proses erosi tanah proses sedimentasi penyebabnya dapat dibedakan
menjadi dua bagian;

22
1. Karena proses geologi yaitu proses erosi dan sedimentasi yang normal atau
berlangsung secara geologi, artinya proses pengendapan berlangsung masih
dalam batas yang diperkenankan atau dalam keseimbangan alam.
2. Proses sedimentasi dipercepat yaitu proses terjadinya sedimen yang
menyimpang dari proses secara geologi dan berlangsung dengan demikian
cepat dan merusak atau merugikan dan dapat mengganggu kelestarian
lingkungan.

b. Faktor yang berpengaruh dalam proses sedimentasi


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sedimentasi seperti pada erosi al.
1. Iklim
Secara karakteristik curah hujan yang jatuh ke bumi tergantung dari iklim.
Sehingga proses erosi dan sedimentasi yang paling banyak terjadi pada
musim hujan.
2. Tanah
Jenis tanah yang berbeda akan berbeda pula dalam pengaruhnya terhadap
laju sedimentasi. Menurut Suyono Sosrodarsono dan Takeda (1977) kondisi
geologi dan karakteristiknya sangat berpengaruh dalam proses sedimentasi
dan erosi.
3. Topografi
Ketinggian suatu daerah aliran sungai, kondisi perbukitan, pegunungan dan
tingkat kemiringan lerengnya akan berpengaruh pada tingkat erosi tanah
yang merupakan sumber sedimen. Disamping kondisi fisik, juga luas DAS.
4. Tanaman
Tanaman dapat menutup atau melindungi dari pukulan air hujan secara
langsung sehingga dapat mengurangi erosi sebagai sumber dari sedimentasi.
5. Penggunaan lahan
Pengguanaan lahan berbeda akan menyebabkan proses sedimentasi dan
erosi berbeda pula.
6. Kegiatan manusia

23
Kegiatan manusia di DAS sangat berpengaruh dengan proses dan laju
sedimentasi seperti kegiatan pengolahan tanah untuk pertanian,
pembangunan sarana dan sarana hidup di DAS dll
7. Karakteristik Hidrolis Sungai
Karakteristik sungai seperti debit, kecepatan aliran, penampang memanjang
dll. Sangat mempengaruhi proses sedimentasi maupun erosi. Untuk sungai
berbelok-belok erosi tebing pasti akan terjadi.
8. Penampungan sedimen
Seperti daerah cekungan alam maupun buatan manusia seperti Cek Dam
Waduk dll. Dapat mempengaruhi laju sedimentasi.
9. Kegiatan gunung berapi
Pada saat terjadi letusan gunung api bahan–bahan erupsi menjadi sedimen
yang kejadiannya tidak dapat diduga dan umumnya material yang ada
berbeda daripada erosi akibat air. Disini biasanya dibuat Sabo DAM, Sand
Pocket dsb.

c. Pengangkutan Sedimen
Mekanisme pengangkutan sedimen yang dibawa oleh air yang mengalir
digolongkan sbb:
1. Wash Load
Butir- butir tanah yang sangat halus berupa lumpur yang bergerak bersama-
sama dalam aliran air biasanya konsentrasinya merata. Bahan wash load
berasal dari pelapukan lapisan permukaan tanah yang berupa debu sehingga
pada awal musim hujan jumlah wash load lebih banyak daripada yang lainnya.
2. Suspended Load
Butir-butir yang bergerak melayang dalam aliran air. Gerakan ini terus
menerus dikompensir oleh gerakan turbulensi aliran sehingga bahan sedimen
ini terus melayang diatas dasar saluran. Bahan sedimen ini umumnya dari
pasir halus.
3. Saltation Load
Pergerakan butir- butir tanah antara bed load dan suspended load. Sehingga
sedimen ini dalam aliran meloncat-loncat (skip) dan melambung (baunce)

24
dalam saluran tanpa menyentuh dasar. Bahan sedimen ini terdriri dari pasir
halus sampai kasar.

4. Bed Load Movement


Merupakan angkutan butir tanah berupa pasir kasar (course sand) yang
bergerak secara mengelinding (rolling) mendorong dan menggeser (pushing
and sliding) terus menerus didasar saluran, pergerakkanya dipengaruhi oleh
gaya seret (drag force)

3.6 Geologi

Suatu proses erosi permukaan tidak terlepas dari pengaruh kondisi geologi DAS.
Faktor tersebut antara lain:
1. Jenis batuan (litologi). Jenis atau macam batuan yang terdapat di DAS akan
mempengaruhi cepat lambatnya proses erosi.
2. Struktur geologi, jelas sekali bahwa struktur geologi DAS. DAS yang
mempunyai struktur geologi yang komplek akan mudah lapuk dan tererosi.
3. Stadia/tingkat erosi, seberapa jauh proses-proses eksogen telah bekerja
pada DAS. Suatu DAS mempunyai stadia muda akan relatif sulit tererosi.

3.7 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya


Selain pertimbangan fisik didalam penentuan bangunan dan sistem pengendalian
erosi harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
di DAS yang bersangkutan.

Keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya penduduk dalam DAS sangat
berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi DAS yang bersangkutan. Karena
sebagian besar penduduk menempati dan menggantungkan hidupnya dengan
mengekploitasi sumber daya alam yang terdapat pada DAS tersebut.

Sebagai ilustrasi jika pertambahan penduduk cukup besar, maka kebutuhan


hidup penduduk meningkat. Seperti lahan untuk permukiman, lahan untuk
sumber kehidupan, air dsb.

Untuk mengantisipasi hal tersebut masalah sosial harus menjadi pertimbangan


yang utama dalam penentuan kebijakan Rehabilitasi lahan.

25
A. Sosial ekonomi
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan kebijakan didasarkan pada :
- Kependudukan (Jumlah, Jenis, Laju pertumbuhan) dan Beban
ketergantungan.
- Mata Pencaharian Penduduk (petani, non petani dan ketergantungannya).
- Pemilikan lahan Petani (sawah, ladang, lainnya).
- Pendapatan petani.
- Tekanan penduduk.
- Pusat pertumbuhan desa.
Data tesebut biasanya didapat dari berbagai intansi antara lain BPS, Bappeda,
Dir Pemdes, BPN dll.

Dari data-data tersebut dapat dianalisa antara lain:

a. Analisa kegiatan Dasar Desa


Data kependudukan yang dianalisa adalah data penduduk, baik jumlah,
nisbah jenis, laju pertumbuhan dan beban ketergantungan. Demikian halnya
untuk mata pencaharian dan ketergantungan penduduk terhadap mata
pencaharian tersebut.

Berdasar data yang ada dapat diketahui kecenderungan penduduk selama


pereode tertentu yang akan memberikan indikasi terhadap pemanfaatan
lahan maupun kesejahteraan penduduk yang bersangkutan. Untuk mencari
ketergantungan penduduk terhadap mata pencaharian (LQ), mata
pencaharian penduduk dikelompokan kedalam penduduk yang bermata
pencaharian petani dan non petani. Ketergantungan penduduk terhadap
mata pencaharian didekati dengan persamaan sebagai berikut:

M1 / M
LQ 
R1 / R
dimana
LQ = Ketergantungan penduduk terhadap mata pencaharian di suatu
lokasi.
M1 = Jumlah tenaga kerja yang terlibat pada sektor 1.
R1 = Total tenaga kerja yang terlibat pada sektor 1.
26
R = Jumlah tenaga kerja keseluruhan dari seluruh sektor (R1+R2+... Rn)

b. Analisa Pertumbuhan Desa


Analisa pertumbuhan desa dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan
informasi dari desa yang bersangkutan tentang pertumbuhan dan kaitannya
perkembangan dengan desa lain dalam wilayah tsb. Parameter yang
dianalisa adalah parameter-parameter yang diharapkan dapat mendukung
kelancaran upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah.

Parameter yang dianalisa tersebut terdiri dari prasarana ekonomi, pasar,


transformasi, pelayanan pendidikan, koperasi dan lain-lain. Untuk
mempermudah pengambilan kesimpulan terhadap parameter tersebut
tersebut diberi bobot (skore) jika pada suatu desa terdapat fungsi pelayanan
yang dianalisis maka terhadap sarana atau prasarana tersebut diberi skore 1,
sedangkan apabila tidak ada diberi skore 0. Jumlah skore pada masing-
masing desa yang diamati dapat memberikan gambaran relatif tentang pusat
pertumbuhan desa antara desa yang satu dengan desa yang lain.

Bila jumlah skore suatu desa tinggi maka semakin tinggi fungsi pelayanan
pada daerah yang diamati. Agar mempermudah didalam analisis maka
dibuat tabel sebagai penentu kebijakan managemen.

c. Analisa Tekanan Penduduk


Tekanan penduduk terhadap lahan secara hipotesis dapat dikemukakan,
makin tinggi tekanan penduduk di pedesaan akan berakibat penggarapan
lahan marginal berlereng curam, bahkan mungkin pengrusakan lahan hutan
di satu pihak dan lain pihak pemacuan urbanisasi akan menimbulkan
dampak terhadap lingkungan yang berantai panjang dan berakhir dengan
kerusakan lingkungan dan sumber daya alam.

Tekanan penduduk terhadap lahan dihitung melalui pendekatan persamaan


yang dikembangkan oleh Otto Sumarwoto (1983), sebagai berikut:

f .Po.(1  r ) t
TP  Z
Lt
dimana
27
TP = Tekanan penduduk terhadap lahan.
Z = Luas lahan minimal untuk hidup layak.
f = % petani dalam populasi.
Po = Populasi penduduk pada waktu t=0.
r = Laju pertumbuhan penduduk/tahun.
t = Waktu pereode hitungan.
Lt = Luas lahan pertanian.
Dimana Z dihitung dengan pendekatan persamaan sebagai berikut:
 A1 xZ1  A2 xZ2  ........  AnxZn
Z
A
n
1
dimana

Z = Nilai rata-rata.
A1...An = Luas masing-masing penggunaan lahan dengan pola tanaman
tertentu.
Z1…Zn = Koefisien nilai Z dari tekanan penduduk pada standart setara
kebutuhan beras/kapita/tahun.

Koefisien nilai Z dari tekanan penduduk pada berbagai pola penggunaan lahan
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Koefisien nilai Z


No Pola Penggunaan Lahan Komoditi Nilai Z
1 Padi Padi 0,55
2 Padi-Padi Padi 0,30
3 Padi-Padi-Ikan Padi & Ikan 0,24
4 Padi-Palawija Padi & Tanaman Lain 0,26
5 Palawija Ketela Pohon 0,57
Ubi Jalar 0,49
Kacang Tanah 0,46
Kacang Kedelai 0,64
Karet 0,26
Pisang 0,53
Jeruk 0,16
6 Kolam Ikan 0,17
7 Kolam Air Deras Ikan 4x10-4
8 Anggrek Anggrek 240x10-4
9 Ternak Telur 10-36x10-4
Sumber : Otto Sumarwoto

28
d. Analisa Pendapatan.
Data pendapatan petani, pemilikan lahan, sikap dan perilaku petani,
peranan tokoh masyarakat dan dinamika kelompok di kawasan SWS.

Dari data diatas dapat diberikan arah yang jelas untuk merekomendasikan
lahan yang terdiri 9 (sembilan) matrik seperti tabel berikut:

Arahan Pengunaan Lahan


Kondisi pemanfaatan Lindung Penyangga Budidaya
Lahan saat ini
Lindung Arahan lindung. Arahan penyangga Arahan Budidaya
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
lindung lindung lindung
Penyangga Arahan lindung. Arahan penyangga Arahan Budidaya
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
Penyangga Penyangga Budidaya
Budidaya Arahan lindung. Arahan penyangga Arahan Budidaya
Kondisi saat ini Kondisi saat ini Kondisi saat ini
Budidaya Budidaya Budidaya

B. Sosial Budaya
Keadaan Sosial Budaya yang dianalisis antara lain.
a. Sikap dan Perilaku Petani.
b. Peranan tokoh masyarakat.
c. Dinamika Kelompok.

29
4. KESEIMBANGAN AIR

Keseimbangan air diwilayah DPS didasarkan atas kondisi kebutuhan air dan
keterdiaan air pada saat ini serta kebutuhan air dan ketersediaan air pada proyeksi
dimasa yang akan datang.

4.1. Potensi Air / Ketersediaan Air


Potensi air / debit andalan merupakan debit yang tersedia guna keperluan tertenu
(irigasi, air minum industri maupun PLTA dan lain-lain) dengan resiko kegagalan yang
telah diperhitungkan. Dalam study ini perhitungan potensi air digunakan untuk
mengetahui potensi sumber daya air secara makro di wilayah Kabupaten/DPS (salah
satu parameter dalam penentuan karakteristik DPS).

4.2. Karakteristik Wilayah atau Daerah Pengaliran Sungai (DPS.)


Sebagai gambaran praktis untuk mengetahui karakteristik suatu wilayah yang terdiri
atas satu atau beberapa DPS, maka dalam studi ini disajikan suatu grafik radar yang
merupakan hubungan antara empat (4) parameter pokok yaitu : luas hutan, curah
hujan, luas lahan irigasi dan populasi penduduk.

Tabel Karakteristik Daerah Pengaliran Sungai


Parameter Rincian Range
1. Hutan Perbandingan antara luas hutan 12,5 % - 80 %
dengan luas DPS 1.
2. Curah Hujan Curah hujan tahunan 1.500 – 3.000
mm/tahun
3. Irigasi Perbandingan antara luas daerah 0 %R – 15 %
irigasi dengan luas sub DPS
4. Populasi Kerapatan penduduk 0 – 250 orang /km2
Selanjutnya keempat paramater tersebut dibagi dalam lima kelas:
Tabel Pembagian Kelas Parameter
Kelas Hutan Irigasi Populasi Hujan
(%) (%) (Orang/km2) (mm/tahun)
1 12,5 – 30,0 0 – 2,5 0 – 25 < 1.500
2 30,0 – 46,0 2, 5 – 5,0 25 – 75 1.500 – 2.000
3 46,0 – 63,0 5,0 – 10,0 75 – 150 2.000 – 2.500
4 63,0 – 80,0 10,0 – 150 – 250 2.500 – 3.000
15,0
5 > 80,0 > 15,0 > 250 > 3.000

30
Dengan menggunakan keempat parameter tadi diperoleh tujuh (7) jenis klasifikasi
DPS, sebagai mana disajikan seperti pada Gambar berikut :

1. Jenis Rerata
Hutan

Penduduk Irigasi

Hujan

Tipe Vertikal mempunyai potensi air Besar

2. Jenis tidak berkembang 3. Jenis Rural A 4. Jenis Urban A

Tipe Horisontal mempunyai potensi air Kecil

5. Jenis berkembang 6. Jenis Rural B 7. Jenis Urban B

Gambar : Jenis Klasifikasi DPS

Untuk mengetahui kondisi suatu DPS (tingkat kemajuan sosial ekonomi), masing-
masing kelas tersebut diberi penilaian. Nilai untuk parameter hujan, irigasi dan
populasi mempunyai rentang dari 1 untuk kelas terendah (1) sampai 5 untuk kelas
tertinggi (5), hal ini mengingat bahwa semakin tinggi kelas semakin baik pula kondisi
DPS tersebut. Sedangkan nilai hutan adalah – 1 untuk kelas terendah (1) dan – 5
untuk kelas tertinggi (5).

Berdasarkan Tabel diatas maka dibuat predikat berdasarkan jumlah nilainya.


Pemberian predikat nilai ini seperti terlihat pada Tabel berikut :

Tabel : Klasifikasi Predikat DPS


31
Jumlah Nilai Predikat
 12 Sangat Berkembang
10 < nilai  12 Berkembang
8 < Nilai  10 Sedang berkembang
6 < nilai  8 Kurang Berkembang
6 Belum Berkembang

4.3 Kebutuhan Air Untuk Pemeliharaan Sungai

Perkiraan kebutuhan air untuk pemeliharaan didasarkan pada studi yang dilakukan
oleh IWRD (FIDP), yaitu perkalian antara jumlah penduduk perkotaan dengan
kebutuhan air untuk pemeliharaan atau penggelontoran sungai per kapita. Menurut
IWRD, besar kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai adalah 330 It/kapita/hari.
Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai selanjutnya dapat dihitung sebagai berikut :

Qf = 364 hari x (q(f) / 1000) x P(u)


Dimana :
Qf = Jumlah kebutuhan air untuk pemeliharaan atau penggelontoran sungai
(m3/thn)
q (f) = Kebutuhan air untuk pemeliharaan atau penggelontoran sungai (330
It/kapita/hari)
P (u) = Jumlah Penduduk kota (jiwa)

4.4 PENGEMBANGAN SDA

Sistematisasi dari pekerjaan penyusunan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :


 Persiapan
 Inventarisasi data dan kompilasi
 Analisis data sumberdaya air
 Perumusan draft studi penatagunaan dan perencanaan sumberdaya air
 Diskusi/PKM (Pertemuan konsultasi masyarakat)
 Perumusan studi penatagunaan dan perencanaan sumberdaya air

32

Anda mungkin juga menyukai