Anda di halaman 1dari 5

Senja di Benteng Perdamaian

Oleh : Samsidar S

Akhirnya aku dihadapkan pada sebuah masa. Masa yang telah lama aku rindukan. Terhitung
sudah sepekan aku tak bertemu Mbah Wodo. Selama sepekan itu pula, kami berdua tidak
merasakan suasana yang senggang, lengang, dan damai seperti ini. Aku melihat senyum
Mbah Wodo masih begitu muram sore ini. Mungkin beliau masih terpengaruh oleh jutaan
kisah pilu di masa lalu yang sebagian kecil telah ia ceritakan padaku. Aku tidak tahu kenapa,
Mbah Wodo merasa nyaman bercerita kepadaku. Atau mungkin hanya perasaanku saja?
Namun, Mbah Wodo sering mengatakan bahwa aku adalah pendengar yang cukup baik.

Kami hanyalah dua insan manusia yang saling kenal karena suatu pertemuan. Dua orang
asing yang dipertemukan secara kebetulan di sebuah senja. Di sebuah tempat yang bernama
Benteng Vrederburg. Benteng yang terletak di ujung Selatan jalan yang sangat tersohor itu.

Aku dikenal dengan gadis penikmat senja. Setiap hari Jum’at pada sore hari, aku akan datang
di Benteng Vrederburg untuk menikmati semilir angin yang bercampur dengan kenangan
yang telah lama aku coba singkirkan dari kepalaku. Kala itu angin sore terasa sangat
menyejukkan, seberkas cahaya yang muram masuk ke dalam penglihatanku, dan tanpa
sengaja, aku menemukan Mbah Wodo duduk sendirian tak jauh dari tempatku duduk
menikmati senja. Lalu aku mendekati Mbah Wodo yang duduk termenung di bawah pohon
dengan album foto di tangannya. Wajahnya terlihat kebingungan, rambutnya sebagian sudah
berwarna putih, matanya bulat, dan baju yang ia kenakan terlihat lusuh dan robek sana-sini.
Dia siapa? Itulah pertanyaan yang muncul di otakku saat pertama kalinya melihat Mbah
Wodo di Benteng Vrederburg.

“Mbah, sedang apa?” Dengan keberanian, aku membuka percakapan dan Mbah Wodo
mendongakkan kepalanya.

“Aku sedang menikmati senja.” Ucap Mbah Wodo dengan datar.

Semenjak pertemuan hari itu, Mbah Wodo selalu menceritakan bait-bait kisahnya di masa
lalu. Tentu saja aku mendengarkannya. Setiap Mbah Wodo membagi kisahnya, aku selalu
memperhatikan dengan seksama. Dan menatap bagaimana mata bulat lelaki tua itu terlihat
meneliti langit senja. Memandang orang-orang yang berlalu lalang yang asyik sendiri dengan
dunianya.
“Mbah, aku berjanji akan datang ke sini lagi pada senja di hari Jum’at, pada pukul lima sore.”
Ucapku kala senja itu.

Kami bertukar janji. Mbah Wodo sama sepertiku akan datang ke Benteng Vrederburg pada
hari Jum’at, pada pukul lima sore. Lalu kulihat album foto usang di genggaman tangan Mbah
Wodo yang terlihat kasar dan keriput. Sebutir keringat mengucur dari kening lebarnya itu.
Sudah berulang kali jiwa Mbah Wodo terasa sangat teriris karena mengingat wajah itu.
Wajah keluarganya yang nahas itu.

“Boleh aku lihat? Itu album foto keluarga Mbah?” Tanyaku, Mbah Wodo mengangguk,
matanya yang sayu kemudian menatap jauh ke depan sana.

Kulihat foto usang itu, masih terlihat jelas di sana terpampang jelas wajah istri, anak, dan
menantu, serta cucu Mbah Wodo yang masih berumur lima tahun. Berpose dengan senyum
kecil di Benteng Vrederburg, dan di belakangnya terlihat senja yang memancarkan
cahayanya. Bayangan cahaya senja seperti seuntai kembang api yang berpijaran dan
menampakkan warna kuning kemerahan. Bias cahaya senja menyelinap di sela-sela bangku
taman yang kami duduki.

“Semuanya sudah terjadi, Apa yang bisa dikembalikan?” pikirku.

Di benteng ini, semua memori pilu itu kembali membuncah. Akan ada selalu kenangan yang
terbawa di dalamnya. Banyak kisah yang masih terbayang ke dalam pikiran Mbah Wodo.
Kisah awal kehilangan sebuah keluarga kecil untuk selamanya dan Benteng Vrederburg
menjadi saksi bisunya. Mbah Wodo bersama istri dan anak semata wayangnya. Mbah Wodo
merasa terdorong oleh perasaan berdosa pada masa itu dan rasa sesal tidak mampu
menghapus semua itu.

Pada suatu waktu, ada masanya ingatan yang terlupakan akan muncul kembali dan hasrat
hanya ingin bermain-main dengannya. Delapan tahun silam, di tempat yang sama, terjadi
gempa bumi yang hanya berlangsung selama 55 detik. Tetapi menghancurkan segalanya.
Termasuk keluarga Mbah Wodo.

Sebagai petani, seusai salat Subuh Mbah Wodo berangkat ke sawah miliknya. Belum lagi ia
mengangkat cangkulnya, tiba-tiba bumi berguncang keras. Dia mendengarkan di sana-sini
suara berderak keras, bumi serasa bergeser ke kanan-kiri dengan kuat dan Mbah Wodo
menoleh ke arah pematang sawahnya berombak. Lalu Mbah Wodo mendengarkan dentuman
keras layaknya bom. Kampungnya hilang dalam lautan debu yang membumbung ke langit.

Semuanya gelap gulita dan tidak bisa melihat apapun. Nasib baik, Mbah Wodo hapal jalan
menuju rumahnya. Tanpa ampun, ia berlari menuju rumahnya. Dalam kegelapan debu dia
berlari di lorong-lorong desa. Dia sempat terhantam oleh tembok pagar yang rubuh. Tetapi
Mbah Wodo terus berlari kencang menuju rumahnya. Mbah Wodo terduduk lemas. Desanya
luluh lantah. Mbah Wodo mendapati rumahnya rata dengan tanah dan hanya meninggalkan
reruntuhan. Tangisnya tidak sendirian. Di seantero desa terdengar tangis anak-anak dan
perempuan. Di bawah reruntuhan rumahnya itu, isteri, dan anak semata wayang beserta
istrinya tertimbun oleh bangunan rumah dan tewas. Mereka tidak berhasil melarikan diri
untuk mencari selamat di luar rumah yang bebas bangunan.

Setelah kejadian gempa bumi itu, Mbah Wodo mengaku tidak makan dan minum selama tiga
hari. Dia cukup menyesal, sehari sebelum gempa ia bertengkar dengan anak dan menantunya.
Dan sempat khilaf menampar sang anak. Dia sangat menyesal dan bersimpuh di hadapan
tubuh sang anak yang telah terbujur kaku. Namun, Mbah Wodo masih memiliki seorang cucu
yang berhasil diselamatkan. Adnan, satu-satunya keluarga Mbah Wodo yang berhasil keluar
dari rumah yang runtuh akibat gempa bumi itu masih hidup.

Hidup nyatanya tidak bisa diprediksi. Kehidupan nyata yang sulit berlangsung setiap hari,
berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Mereka hidup di sebuah gubuk tua yang teronggok
di ujung jalan desa yang berdebu. Adnan yang masih kecil, ikut-ikutan merasakan
penderitaan kakeknya. Dulu, ketika keluarganya masih utuh Adnan harus mematuhi segala
perintah ayah dan ibunya. Kini dia dapat bertingkah bebas.

Ketika Mbah Wodo menyadari, kalau tubuhnya mulai lelah merawat Adnan. Mbah Wodo
memutuskan untuk menitipkan Adnan kepada seorang saudagar kaya yang belum dikaruniai
anak. Ia berharap, kehidupan cucunya akan lebih baik jika tinggal pada keluarga yang
berkecukupan. Sebuah keputusan yang tidak mudah dipercaya, seorang kakek yang rela
memberikan cucunya kepada orang lain. Seorang wanita parubaya yang rambut hitamnya
terurai hingga selangkangannya menatap dan memegang erat tangan Adnan. Dilihat dari sorot
matanya, wanita parubaya itu menyukai anak kecil seperti Adnan. Dibawanya Adnan ke
kediaman wanita parubaya itu dengan mobil kuno khas zaman dulu. Tak ada sedikit pun
penyesalan di hati Mbah Wodo saat itu. Mbah Wodo ingat betul bagaimana Adnan, dengan
mata merah dan tangan yang terkepal kuat menyimpan dendam pada kakeknya sendiri. Hal
tersebut wajar dialami oleh seorang anak kecil yang ditinggal pergi oleh keluarganya hanya
karena kondisi yang serba kekurangan.

Sore itu, di sore yang gelap dan buta, di mana matahari menyembunyikan secercah
cahayanya, aku sudah harus pulang ke rumah. Jarak antara rumahku dengan Benteng
Vredeburg cukup dekat. Tak heran jika aku hanya berjalan kaki sambil menikmati gaduhnya
perjalanan pulang. Jalanan masih saja ramai lalu lalang kendaraan, simpang siur, riuh, dan
gaduh. Derum dan bising kendaraan benar-benar tidak mengganggu pikiranku yang sedang
berkelana jauh.

Di perjalanan pulang itu, seorang itu berwajah reot, rambutnya ikal tidak rapi dan bibirnya
hitam legam akibat rokok yang dihisapnya. Dua kawannya berambut gondrong dan acak-
acakan pula. Tiga manusia itu terus menyiksa seorang anak kecil yang terlihat duduk
bersimpuh di hadapan mereka. Awalnya aku hanya diam, menatap tingkah mereka di balik
pohon kersen. Dari kejauhan, mereka terlihat membuka lebar-lebar mulutnya. Tertawa
terbahak-bahak. Entah apa yang mereka sedang bicarakan. Dilemparkannya botol minuman
ke arah wajah anak kecil tak berdosa itu. Sontak, aku berteriak memanggil warga sekeras
mungkin. Ketiga manusia bejat itu lari kalang kabut meninggalkan anak kecil yang sudah
berlumuran darah pada wajahnya. Aku bingung. Jika diperhatikan, wajah anak kecil itu
sangat mirip dengan anak kecil yang ada di album foto keluarga Mbah Wodo. Aku sangat
yakin anak kecil itu adalah Adnan, cucu Mbah Wodo yang dititipkan kepada orang lain.
Hidungnya mancung, pipinya gempal dan bulat. Rambutnya pendek dan daun telinganya
lebar. Gurat-gurat wajahnya pun mirip.

Dengan perasaan iba, aku bergegas menuju rumah Mbah Wodo yang lebih mirip seperti
gubuk-gubuk kambing. Di sekitarnya hanya terlihat remang lampu jalanan membentuk bulat
cahaya di aspal yang disorotinya. Pohon-pohon terlihat seperti bayangan, direngkuh
kegelapan malam itu.

“Mbah, cepat turun! Ini Adnan, cucu Mbah.” Teriakku kepada Mbah Wodo. Mbah Wodo
hanya membalas teriakanku dengan senyum yang semu, lalu ia menendang kursi yang ada di
bawah kakinya. Mbah Wodo tergantung kuat, dan dadanya mulai sesak. Mbah Wodo
meronta-ronta, tapi tali itu terlampau beringas menjerat lehernya. Seutas tali itu sedikit demi
sedikit menggesek kuat seutas nyawa Mbah Wodo yang hanya tinggal menunggu putus saja.
BIODATA PENULIS

Samsidar. S, sangat kagum dipanggil dengan nama pena Sidar Lucid. Lahir 18 tahun
yang lalu tepat tanggal 26 Februari di Kota Kalong, Watansoppeng. Saya lahir sebagai anak
bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Syaharuddin, S.Pd dan Ibu Darmiah, S.Pd.

Saya lulus di SD Inpres 10/73 Turucinnae pada tahun 2013, melanjutkan sekolah
menengah pertama di SMP Negeri 2 Marioriwawo lulus pada tahun 2016, dan sekarang
tengah melanjutkan sekolah menengah atas di SMAN 4 Soppeng dan sekarang masih duduk
di kelas XII. IPS 1.

Dengan nama kecil Sidar, saya tumbuh menjadi remaja yang menyukai dunia
menulis. Selain menulis cerpen, saya juga rajin menulis karya ilmiah dan artikel. Namun,
tugas yang menumpuk menjadikan alasan saya tidak menulis selama sebulan lamanya.
Namun, saya sadar bahwa keterampilan dalam menulis cerpen akan berkurang atau bahkan
hilang jika tidak dilatih.

Social Media :

Whatsaap : 085254077740

Facebook : Samsidar S

E-mail : ssamsidar47@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai