Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

PENATALAKSANAAN OPERASI PTERYGIUM

DI RUANG IBS OK 6 RSUD DR.MOEWARDI

Disusun Oleh :

AMIN DIAH RAHAYU

PELATIHAN KAMAR OPERASI ANGKATAN XXIV


RUMAH SAKIT Dr.MOEWARDI SURAKARTA
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PENATALAKSANAAN OPERASI PTERYGIUM
DI RUANG IBS OK 6 RSUD Dr.MOEWRDI SURAKARTA

A. Pengertian
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing).
Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva
dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya
berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap
lipatan semilunar pada cantus.
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.
Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan,
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak
segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke puncak pterigium. Pada
kornea penjalaran ini mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran bowman.

B. Klasifikasi
Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :
a. Tipe I
Meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker’s lone atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimtomatis meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
b. Tipe II
Menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan atigmatisma.
c. Tipe III
Mengenai kornea lebih 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama
yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
a. Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
b. Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea.
c. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
d. Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).
b. Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa
dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:
a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

C. Etiologi
Etiologi belum diketahui pasti. Namun ada teori yang dikemukakan :
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan
terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada
populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang
menghabiskan banyak waktu di lapangan.
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal.
Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu). Faktor lainnya yang berperan dalam
terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin,
debu, polutan).

faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

a. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
b. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
c. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah
abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian
pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan
5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko
penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
e. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
f. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.

D. Manifestasi Klinik
1. Mata irritatatif, merah gatal dan mungkin menimbulkan astigmatisme
2. Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
3. Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi
yang terletak di ujung pteregium.
4. Gangguan penglihatan

E. Patofisiologi
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan
sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan
degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular.
Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan
proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang
akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman
yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan
inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari
kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan
histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut
ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan
lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

F. Pemeriksaan Penunjang
Topografi kornea dapat sangat bergunadalam menetukan derajat astigmatisme ireguler
yang disebabkan oleh pterygium.
G. Penatalaksanaan
1. Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung anti UV. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan/topicallubricating drops dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor
maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan
dihentikan.
2. Pterigium dengan inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi
dekongestan/antihistamin (seperti Naphcon-A) dan/atau kortikosteroid topikal potensi
sedang (seperti FML, Vexol) 4 kali sehari pada mata yang terkena.
3. Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya
gangguan penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan
bola mata yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis
visual.
4. Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara
topografi membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan
adalah menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata
menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai dilakukan diseksi ke bawah bare
sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon, karena
kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi,
biasanya dilakukan kauter untuk hemostasis sclera.
H. Jenis Pembedahan Pterygium
Ada Beberapa Teknik operasi :
1. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area
sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% – 50%).
2. Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
3. Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
4. Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
5. Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi
sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit.
I. Teknik Bare Sclera
Teknik Bare sclera
a. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang
diteteskan maupun dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan
subkonjungtiva dengan lidokain 1-2 % .
b. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.
c. Siapkan lid spekulum
d. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterigium.
e. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan jam 12.
f. Posisi mata pada jahitan korset.
g. Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.
h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang
dilakukan pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.
i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan
menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan
pengangkatan pterigium.
j. Bebaskan sklera dari pterigium.
1) Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery.
2) Kikislah pterigium dengan gunting.
3) Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp
sehingga tampak jaringan sklera yang telanjang.
4) Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk
menghindari kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik.
k. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.
l. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.
m. Menghaluskan sekeliling tepi limbus.
1) Dengan menggunakan burr intan
2) Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.
n. Berikan antibiotik dan steroid topikal.
o. Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.

J. Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
1. Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan
2. Kemerahan.
3. Iritasi.
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
5. Astigmatisme
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi
kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya
menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan
pembedahan.
Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea
mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi post operasi pterygium meliputi :
1. Infeksi
2. Diplopia
3. Perforasi bola mata
4. Perdarahan vitreous

K. Teknik Intrumen Pada Operasi Ektirpasi


 Pengertian : Eksisi / ekstirpasi adalah suatu tindakan untuk megambil pterigium
yaitu adanya perluasan jaringan fibravaskuler, subkonjungtiva berbentuk segitiga ke
kornea dengan puncaknya mengerah ke pupil dibagian nasal atau temporal
 Tujuan :
1. Mengatur alat secara sistematis di meja instrument
2. Memperlancar handling instrument
3. Mempertahankan kesterilan alat-alat instrument
 Catat nama petugas
1. Operator
2. Instrument 1
3. Instrumen 2
4. Sirkulator
 Persiapan Alat
a. Alat steril
Set Pterygium (Basic Instrumen Set)
1. Handlee No.3 1
2. Spekulum mata 1
3. Nalvoder 2
4. Gunting konjungtiva 1
5. Pinset sirurgi 1
6. Pinset kornea 1
7. Pinset kalibri 1
8. Bengkok 1
9. Kom kecil 2

Set Linen dan bahan penunjang operasi/ bahan habis pakai

1. Linen set
2. Sarung tangan bermacam - macam ukuran
3. Desentifektan dengan RL+gentamicyn+epineprin
4. Drape 1
5. Spuit 5cc 1
6. Spuit 1cc 1
7. Mess no.15 1
8. Pantokain 2% 1
9. Lidokain 1
10. Gentamixin
11. Ringer Laktat
12. Benang silk 5.0 1
13. Benang vio 8.0 1
14. Salep chloramphenicol

b. Alat Tidak Steril


1. Plester, hipafix
2. Gunting perban
3. Lampu operasi
4. Meja mayo
5. Meja operasi
6. Meja instrument
7. Mikroskop
8. Kolter Bipolar
9. Monitor set
10. Standart infus
11. Tempat sampah medis dan non medis
12. Tempat linen
 Persiapan Pasien
1. Persetujuan pasien
2. Alat dan obat - obatan
3. Tidak perlu puasa
4. Diharapkan sebelum operasi BAK dulu
 Setelah pasien dilakukan anestesi
1. Mengatur posisi supinasi
2. Pasang kanul O2
3. Pasang alat tekanan darah
4. Pasang SpO2
 Prosedur
1. Operator dan perawat instrument cuci tangan
2. Operator dan perawat instrument memakai baju steril dan sarung tangan steril
3. Sirkulator membantu menalikan tali gaun yang bagian belakang
4. Perawat instrument mengatur alat instrument di meja mayo sesuai kebutuhan
5. Meja mayo dekatkan ke pasien dan operator
6. Teteskan pantokain kedua mata pasien
7. Berikan pinset sirurgi dan deper desintifikan untuk desinfeksi medan operasi, tutup
pakai duk berlobang
8. Spuiling bola mata dengan betadine, drapping.
9. Berikan spekulum mata ke operator untuk dipasangkan
10. Berikan injeksi lidokain 2% pada daerah intrapregium
11. Berikan handlee mess untuk eksisi / ekstirpasi pterygium dengan metode : bare
sclera / konjungtiva autograf
12. Atasi pendarahan, pakai nalvoder dengan benang 8.0
13. Spekulum mata dilepas
14. Berikan salep chloramphenicol, bebat perban/ plester
15. Cuci tangan, cuci instrument dan setting kembali
16. Operasi, selesai.
 Evaluasi
1. Kelengkapan Instrumen
2. Proses operasi
3. Bahan pemeriksaan

Anda mungkin juga menyukai