Anda di halaman 1dari 4

Komunikasi Lintas Budaya

“Seina fae afu, afu tuunu sae”


A. Pendahuluan
“Sei hale hatu, hatu hale Sei. Seina fae afu, afu tuunu sae… .” Apakah masyarakat dari budaya
lain selain Maluku, akan mengerti maksud kalimat diatas? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab
kalimat tersebut merupakan peribahasa dari Maluku yang mengandung arti siapa angkat batu,
akan tertimpa batu itu dan siapa main api pasti akan terbaka. Secara harafiah peribahasa ini
dapat dijelaskan bahwa kebiasaan yang buruk akan mendatangkan malapetaka. Dengan
demikan, hal ini menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat Maluku tentang tata aturan, nilai
serta norma yang berlaku sebagai pegangan hidup masyarakat setempat. Budaya yang berbeda
tentunya akan menghasilkan bahasa, aturan dan norma yang berbeda sebagai standar nilai
dalam mengukur setiap tingkah laku dan identifikasi diri.
Keanekaragaman ini mengindikasikan eksistensi manusia sebagai mahkluk sosial yang
berbudaya. Sebagai makhluk sosial manusia tentunya harus berinteraksi antar individu, antar
kelompok atau bahkan antar bangsa. Dan dalam interaksi tersebut manusia akan saling bertukar
informasi melalui komunikasi. Liliweri (2009) mengungkapkan bahwa manusia tidak bisa
dikatakan berinteraksi sosial kalau ia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran
informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan
orang lain. Menurut Spengler, manusia adalah bagian dari kebudayaan, artinya kebudayaan
tidak pernah terelakkan dari lingkup kehidupan manusia, karena di dalam kebudayaan
manusialah yang memanifestasikan pikiran dan perasaan serta perilaku faktual (Husodo, 2010).
Manifestasi budaya tidak akan dapat ditransmisikan tanpa komunikasi. Oleh karena itu, Fiske
(20110) menyatakan bahwa komunikasi menjadi sentral bagi keberlangsungan kehidupan
budaya; tanpa komunikasi kebudayaan jenis apapun akan mati.
Komunikasi dipahami sebagai interaksi antarperibadi melalui penukaran simbol-simbol linguistik,
misalnya verbal dan nonverbal. Simbol-simbol itu kemudian dinyatakan melalui sistem yang
langsung seperti tatap muka atau media berupa tulisan, visual atau aural (Liliweri, 2009)
Liliweri (2009) juga mengartikan komunikasi antarbudaya dalam beberapa pernyataan sebagai
berikut:
1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antar-pribadi yang paling efektif antara
dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.
2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara
lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
3. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna berbentuk simbol yang dilakukan oleh
dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
proses penyampaian pesan secara lisan, tulisan ataupun simbol-simbol antar pribadi yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Santrock (2011) mendefenisikan budaya sebagai berikut:
“Culture refers to the behavior patterns, beliefs, and all other products of a particular group of
people that are passed on from generation to generation.”
Dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa budaya merujuk pada pola perilaku,
kepercayaan, dan produk dari sekelompok orang yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
Selain itu, budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
makna yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya
menampakkan diri dalam tata bahasa, dan berbagai bentuk kegiatan perilaku seperti gaya
berkomunikasi, objek materi, bentuk rumah, alat dan jenis transportasi (Sihabudin, 2011).
Karena budaya merupakan warisan turun temurun maka budaya mengatur secara ideal tentang
bagaimana sesuatu dapat diwujudkan. Abdullah (2010) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai
simbol (materi) menunjuk pada bagaimana suatu budaya “dimanfaatkan” untuk menegaskan
batas-batas kelompok. Batasan ini menegaskan teritori budaya yang tidak dapat dilanggar baik
secara interpersonal maupun intrapersonal. Sehingga apabila teritori ini dilanggar maka ada
sanksi yang diberikan sebagai konsekuensi idealisme sebuah budaya. Namun bukan tidak
mungkin jika teritori ini di jamah dan dipahami secara mendalam melalui komunikasi.
B. Hambatan Dalam Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi yang diharapkan dapat menjadi jembatan pemersatu budaya menjadi sulit untuk
direalisasikan sebagai akibat berdirinya dinding pemisah antara satu budaya dengan budaya lain
yang telah menetapkan batasan nilai dan norma yang berbeda sebagai sebuah kesepakatan
untuk menjadi ukuran yang berlaku pada budaya tertentu. Menurut Abdullah (2010), proses
semacam ini telah melahirkan proses ekslusi sosial dimana suatu kelompok cenderung
membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Komunikasi kebudayaan dalam hal ini tidak dapat berlangsung dengan baik untuk melahirkan
bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang komunikatif dalam seting sosial yang berbeda.
Hambatan atau juga disebut gangguang atau noise, menurut Fiske (2011) adalah segala sesuatu
yang membuat sinyal yang diharapkan lebih sulit untuk diterjemahkan secara akurat.
Shannon dan Weaver (Fiske, 2011) secara umum mengidentifikasi tiga level masalah dalam
komunikasi, masing-masing adalah.
1. Masalah teknis, yaitu masalah bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat ditransmisikan
secara akurat. Hal ini meliputi apa saja yang membuat sinyal yang diharapkan lebih sulit
diterjemahkan secara akurat. Contoh; bunyi berisik di kabel telpon, gangguan udara pada sinyal
radio atau bintik-bintik pada siaran televisi.
2. Masalah simantik, yaitu bagaimana simbol-simbol yang ditransmisikan secara persis
menyampaikan makna yang diharapkan. Masalah simantik juga dapat diartikan sebagai setiap
distorsi makna yang berlangsung dalam proses komunikasi yang tidak diharapkan oleh sumber,
namun yang mempengaruhi resepsi pesan ditempat tujuannya.
3. Masalah keefektifan, yaitu masalah bagaimana makna yang diterima secara efektif
mempengaruhi tingkah laku dengan cara yang diharapkan. Hal ini mengindikasikan komunikasi
sebagai manipulasi atau propaganda. Contohnya respon emosional yang ditunjukan penonton
terhadap suatu karya seni.
Sama halnya dengan Shanno dan Weaver, De Vito (Liliweri, 2009) menggolongkan tiga macam
gangguan yaitu:
1. Gangguang fisik berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya
desingan mobil yang lewat, dengungan komputer.
2. Gangguan psikologis yaitu interfensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias
pada sumber-penerima-pikiran yang sempit.
3. Gangguan semantik berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan,
misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan istilah yang terlalu rumit untuk
dipahami oleh pendengar.
Apabila ketiga masalah umum tersebut diatas diterjemahkan lebih spesifik maka dapat
disebutkan bahwa gangguan (noise) dalam proses komunikasi lintas budaya mencakup dua hal:
1. Masalah psikologi yang meliputi
a. Persepsi
Menurut Baron dan Byrne (2004), persepsi adalah suatu proses yang digunakan mencoba
mengetahui dan memahami orang orang lain. Persepsi dapat menjadi filter bagi informasi yang
diterima oleh seseorang. Seseorang secara cepat akan mempersepsi sebuah kepercayaan atau
nilai dari kebudayaan tertentu ketika ia membangun hubungan sosial dengan kebudayaan
tersebut, dengan demikian kesalahan dalam presepsi tentunya akan mengakibatkan sikap
negatif terhadap kebudayaan tersebut.
b. Sikap.
Sikap berarti evaluasi terhadap berbagai aspek dunia sosial, serta bagaimana evaluasi tersebut
memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial ataupun objek
(Baron & Byrne, 2004). Sikap yang positif akan menghasilkan perilaku yang positif terhadap
suatu kebudayaan demikian sebaliknya.
c. Atribusi
Baron dan Byrne (2004) mendefenisikan atribusi sebagai proses-proses untuk mengidentifikasi
penyebab-penyebab perilaku orang lain dan untuk kemudian mengerti tentang trait-trait
menetap dan disposisi mereka. Dengan kata lain perilaku seseorang dengan kebudayaan
tertentu akan cenderung diidentifikasi dan dinilai sesuai dengan standar norma budaya yang
dimilikinya namun apabila perilaku itu dinilai dari sudut pandang yang berbeda akan
menghasilkan atribut-atribut yang berbeda yang mungkin saja berdampak negatif.
d. Bahasa
Language consists of a system of symbols and rules for combining these symbols in ways that
can generate an infinite number of possible messages and meanings (Passer & Smith, 2009).
Atau dengan kata lain bahasa terdiri dari sistem simbol dan aturan mengkombinasikan simbol-
simbol tersebut sehingga menghasilkan berbagai pesan dan arti yang tidak terbatas.
Santrock (2011) mendefenisikan bahasa Dalam hal ini Bahasa berarti bentuk dari komunikasi
baik lisan, tulisan atau tanda sesuai dengan sistem simbol yang berlaku. Bahasa terdiri dari
penggunaan kata dalam suatu masyarakat (kosa kata) dan aturan untuk mengkombinasikan nya
(grammar dan sintaks)
Bahasa merupakan pembeda yang sangat signifikan antar budaya yang satu dengan budaya
yang lain.
e. Paralinguistik
Paralinguistik diartikan sebagai cara bagaimana seseorang mengucapkan lamaing-lambang
verbal. Hal ini meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara, dialek dan interaksi (Rakhmat,
2009)
2. Masalah simantik yaitu
a. Sterotype akan menghasilkan Etnosentrisme
Stereotip melibatkan bentuk kategorisasi yang mengatur pengalaman dan panduan perilaku kita
terhadap kelompok etnis dan nasional. Stereotip pernah menggambarkan perilaku individu,
melainkan, mereka menggambarkan norma perilaku bagi anggota kelompok tertentu (Adler,
1991). Komunikasi yang dilandasi oleh stereotype akan cenderung ditandai dengan retorika
“kami benar” dan “mereka salah” atau dengan kata lain, setiap kelompok budaya cenderung
etnosentrik (Sihabudin, 2011). Etnosentrik dapat diartikan sebagai paham dimana para penganut
suatu kebudayaan atau suatu kelompok suku bangsa merasa lebih superior daripada kelompok
diluar mereka (Liliweri, 2009)
b. Misinterpretation
Salah tafsir yang dapat disebabkan oleh persepsi yang tidak akurat dari seseorang atau situasi
yang muncul dari apa yang tidak terlihat (Adler, 1991). Salah tafsir bisa berupa persepsi
seseorang tentang makna bahasa, intonasi suara atau persepsi seseorang tentang mimik wajah.
C. Cara Mengatasi Masalah Komunikasi Lintas Budaya
Jelas bahwa masalah komunikasi lintas/antar budaya haruslah di atasi dengan meningkatkan
kesadaran setiap individu dalam sebuah kebudayaan bahwa betapa pentingnya pengenalan akan
budaya lain sebagai bentuk kekayaan yang dapat diterima sebagai identitas pluralisme. Adapun
beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengatai masalah tersebut, antara lain:

 Bersikap toleransi terhadap semua budaya dan menghindari kebiasaan labelling terhadap
budaya tertentu. Dalam hal ini tidak menganggap perbedaan budaya sebagai sebuah
problem akan tetapi sebuah keunikan yang dapat diterima untuk memperkaya khasanah
budaya nasional.
 Menumbuhkan sikap terbuka yaitu dengan: menilai pesan secara objektif, berorientasi
pada isi, mencari informasi dari berbagai sumber, bersifat professional dan bersedia
mengubah atau menyesuaikan kepercayaannya, serta mencari pengertian pesan yang
tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya (Rakhmat, 2009).
 Memunculkan rasa percaya. Secara ilmiah percaya didefenisikan sebagai mengandalkan
perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki yang pencapaiannya tidak pasti
dan dalamsituasi yang penuh resiko. Percaya akan meningkatkan komunikasi
interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan
penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai
maksufnya (Rakhmat, 2009).
 Menghargai budaya lain dan menghindari eksklusifisme yang menganggap bahwa hanya
budaya tertentu saja yang dapat diterima sebagai sebuah budaya yang dominan.
 Mengenal lawan bicara, sebelum seseorang menyampaikan pesan hendaknya terlebih
dahulu mengenali kepada siapa pesan tersebut akan disampaikan, dengan demikian ia
akan cenderung menggunakan bahasa dan intonasi yang tepat.
 Mampu beradaptasi dengan baik. Pemahaman strategi adaptasi sekelompok budaya
didalam proses integrasi sosial dimana ia menjadi bagian dari sebuah sistem general
(Abdullah, 2010). Hal ini mengacu kepada pepatah usang yang mengatakan bahwa
dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Selaku makhluk sosial manusia tentunya
diberikan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana ia tinggal, dengan
demikian ia juga akan mengetahui dan memaknai budaya setempat.
 Meningkatkan Budaya Kesadaran Diri.

Adler (1991) mengemukakan bahwa pada umumnya seseorang tidak menyadari karakteristik
budaya yang dimilikinya sehingga ia akan terkejut ketika mendengar masukan dari orang lain
tentang budayanya. Contoh: masyarakat Amerika tidak pernah tahu bahwa mereka adalah
masyarakt yang sangat terburu-buru sampai mereka mendengar hal itu dari orang lain.
Jika masalah lintas budaya ini dapat diatasi maka dapat menghindari terjadinya chaos dan
budaya dapat ditempatkan sebagai kekayaan alam yang menjadi milik bersama sebagai sebuah
bangsa yang berbudaya.
D. Hal yang Perlu Dikembangkan dalam Komunikasi Lintas Budaya
Perihal yang dapat dikembangkan dalam komuniklasi lintas budaya adalah menjadikan budaya
sebagai sarana pemersatu bangsa, dengan demikian pemerintah hendaknya menjadi mediator
yang dapat memediasi terciptanya komunikasi lintas budaya lewat berbagai pagelaran budaya,
dialog lintas budaya dan meningkatkan sikap nasionalisme masyarakat sebagai pemersatu
budaya, sikap ini dikonsepkan sebagai “sikap dan bahasa universal” yang dapat dimengerti oleh
semua kalangan budaya, sehingga simbol-simbol komunikasi yang telah dibangung bersama itu
bisa ditanamkan dan dipelihara dalam suatu ruang publik yang keberadaannya juga
dinegosiasikan dalam serangkaian interaksi (Abdullah, 2010).
Alat komunikasi modern seperti telepon, televisi, radio dan internet juga hendaknya digunakan
sebagai media penyampaian informasi budaya yang dapat memperkaya pengetahuan lintas
budaya. Menurut Abdullah (2010) media merupakan saluran yang berpengaruh dalam distribusi
kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup. Jika demikian maka media
juga dapat menjadi sarana yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya isolasi budaya.
Apabila setiap aspek ini dapat dipenuhi maka kebudayaan tidak lagi bersifat etnosentrik tetapi
lebih kepada sifat kebangsaan. Kesatuan kebudayaan setiap suku atau etnik akan
menjadikannya budaya bangsa sesuai isi “sumpah pemuda”. Dengan demikian diakhir dari
kehidupan yang harmonis akan mencipakan kesejahteraan dan kedamaian lewat komunikasi
yang saling terbuka tanpa rasa curiga antar budaya. “Pattimura makan Gudeg” merupakan
sebuah indikasi keberanekaragaman budaya dapat diterima sebagai budaya nasional.
Makin banyak seseorang berbagi kode yang sama kepada orang lain, maka makin banyak
mereka menggunakan sistem tanda yang sama, sehingga makin dekatlah makna bahasa yang
disampaikan kepada orang lain (Fiske, 2011).
E. Kesimpulan
Tidak bisa disangkal bahwa komunikasi lintas budaya memiliki peran yang sangat penting dalam
rangka melestarikan nilai-nilai budaya sekaligus menjadi pemersatu budaya nasional sebagai
bentuk asimilasi berbagai budaya. Komunikasi lintas budaya ini hanya dapat dilaksanakan
apabila setiap individu dari suatu budaya dapat bersikap toleransi, saling menghargai terbuka
dan tidak bersikap ekslusif. Dan dapat menerima keanekaragaman budaya lain tanpa rasa curiga
akan adanya sikap monopoli budaya yang cenderung lebih menguntungkan sebagian pihak.
Selain itu pemerintah sebagai instansi yang menaungi budaya dapat menjadi media
penyelenggaraan seminar budaya dalam rangka konsolidasi dan komunikasi budaya dalam
membangun budaya nasional. Media sebagai sarana informasi juga hendaknya berperan sebagai
penyalur informasi budaya yang memungkinkan setiap individu lebih memahami budaya yang
berbeda sebagai cirri khas bangsa yang majemuk. Pada akhirnya penerimaan keanekaragaman
budaya menjadi kekuatan pemersatu yang menjadikan bangsa ini bangsa yang berbudaya.

Anda mungkin juga menyukai