Tugas Kelompok
Tugas Kelompok
Disusun Oleh:
Krisyel Rugebregt NIM. 2017-84-014
Feby Ilviana Hattu NIM. 2017-84-016
Raden A.Ch.U. Hasanusi NIM. 2017-84-31
Astuti C. Simanjuntak NIM. 2017-84-020
Elqadosy Sedubun NIM. 2017-84-024
Karel J. R. Souhoka NIM. 2017-84-035
Susianty Hukubun NIM. 2017-84-025
A.Mudrikah H. Dirgahayu NIM. 2017-84-027
Bryan Patty NIM. 2017-84-011
Maria H Lerebulan NIM. 2011-83-039
Teisha J V Marantika NIM. 2013-83-022
Tri Asih M W Fatubun NIM. 2013-83-025
Pembimbing:
Drg. Richard Tetelepta, Sp.Pros
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
Bernapas Pada Kedalaman : Fisiologi Dan Aspek Klinis Menyelam Saat Bernapas
Pada Gas Yang Terkompresi
Ketika menyelam, manusia akan terpapar oleh bahaya yang unik pada lingkungan
hiperbarik dan perilaku fisik gas pada tekanan tinggi di bawah laut. Hiperkapnia,
Hiperoksia, Keracunan Karbonmonoksida (CO), Narkosis gas inert (terutama nitrogen),
dan penyakit dekompresi (decompression ilness/DCI) dapat menyebabkan gangguan
kesadaran sehingga meningkatkan resiko tenggelam pada seorang penyelam saat berada
di bawah laut. Fungsi fisiologis dan adaptasi dari sistem pernapasan adalah hal paling
penting untuk diketahui guna meminimalkan risiko yang terkait dengan kompresi gas
pada saat penyelaman. Artikel ini memberikan pengantar terkait teknik menyelam, fisika,
fisiologi, dan patofisiologi terkait dengan masalah tersebut. Penyebab dari masalah medis
terkait penyelaman akan dijelaskan dengan lebih menekankan kepada fungsi fisiologi
sistem pernapasan yang mendasarinya.
Metode Penyelaman
Menyelam kini telah menjadi kegiatan rekreasi yang populer dan tidak lagi hanya
terbatas pada operasi bawah laut militer ataupun komersial seperti dahulu kala. Meskipun
jumlah penyelam untuk rekreasi (amatir) meningkat tiap waktu, jumlah penyelam
profesional cenderung sama dalam beberapa tahun terakhir. Menurut American National
Sporting Goods Association (NSGA)[1], penyelaman guna rekreasi menempati urutan
ketiga diantara aktivitas luar ruangan pada penduduk amerika dengan sekitar 2,1 juta
orang penduduk melakukan kegiatan ini pada tahun 2001.
Sejauh ini, terdapat beberapa metode penyelaman bawah air. Menyelam dari
lonceng selam (diving bell) yang berisi udara dan menyelam dengan mendapat suplai
udara melalui spinal cord dari permukaan merupakan salah satu metode penyelaman kuno
yang dikenal pada abad ke-19. Masalah terkait kegiatan penyelaman seperti penyakit
dekompresi dan barotrauma telah dikenal sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1943,
Cousteau dan Gagnan dari angkatan laut Prancis berhasil membuat terobosan dalam dunia
selam dengan mengembangkan sebuah sirkuit terbuka yang membantu kegiatan
penyelaman. Alat pernapasan bawah air (Self-Contained Underwater Breathing
Apparatus/SCUBA) ini memungkinkan penyelam untuk dapat menghirup udara dari
tangki bertekanan yang dibawa sendiri oleh penyelam dan dihantarkan melalui pengatur
tekanan yang menyesuaikan dengan perubahan tekanan pada lingkungan sekitar. Sistem
ini memberikan kebebasan dan mobilisasi yang lebih baik dalam kegiatan penyelaman.
Pada tahun 1960 hingga 1980, sebuah teknik bernama teknik selam saturasi
(saturation diving) telah dikembangkan untuk operasi penyelaman dengan durasi yang
lama dan kedalaman yang lebih dari 50-60 msw. Para penyelam awalnya akan menjalani
kompresi di ruang hiperbarik untuk menyesuaikan tubuh dengan tekanan di dalam laut
yang ingin dicapai. Kemudian peselam akan dipindahkan di dalam lonceng selam. Tubuh
peselam akan dibiarkan terbiasa dengan campuran gas (terutama helium dan oksigen)
dengan tekanan parsial oksigen berkisar antara 35-70 kPa. Secara teoritis, peselam akan
dapat tetap berada di bawah tekanan tersebut untuk waktu yang tidak terbatas. Umumnya,
periode selam hingga 2 minggu digunakan terutama untuk kegiatan operasi ladang
minyak dan gas lepas. Waktu kerja efektif peselam di tempat kerja tidak dibatasi oleh
batasan waktu bouncing. Operasi penyelaman jenuh biasanya dibatasi hanya pada
kedalaman 100-150 msw, meskipun terdapat penelitian berbasis eksperimental yang
membuktikan bahwa teknik ini dapat digunakan hingga ke kedalaman maksimal 701
msw. Pada kisaran kedalaman yang lebih dalam dari 250 msw, risiko masalah peselam
akan meningkat terutama adalah sindrom saraf tekanan tinggi.
Faktor Fisik Dan Faktor Fisiologis Yang Mempengaruhi Fungsi Paru-Paru Selama
Menyelam
Paparan menyelam
Penyelaman (diving) berhubungan dengan paparan yang lebih tinggi dari tekanan
ambien normal. Penyelaman biasanya ditandai oleh fase kompresi, isobarik, dan
dekompresi. Perbedaan utama antara diving yang dijelaskan dalam artikel ini dan breath-
hold diving adalah bahwa campuran gas dihirup pada tekanan sekitar yang meningkat
secara bebas di atmosfer diving bell atau ruang hiperbarik atau disuplai oleh alat bantu
pernapasan bawah air. Menyelam biasanya terjadi di bawah air, tetapi beberapa operasi
menyelam dapat dilakukan di lingkungan yang kering di ruang hiperbarik atau habitat
bawah air.
Tekanan atmosfer normal atau satu atmosfer absolut setara dengan tekanan kolom
760 mmHg atau 101,3 kPa. Satu bar ekuivalen dengan tekanan 750 mmHg, 100 kPa, atau
10 msw. Misalnya, pada kedalaman 30 msw, penyelam terkena tekanan 4 bar, dan pada
100 msw, penyelam terkena tekanan yang setara dengan 11 bar.
Konsentrasi fraksi masing-masing gas dalam campuran gas ideal tetap sama tanpa
tekanan, dan tekanan parsial masing-masing komponen gas tergantung pada konsentrasi
fraksinya dan tekanan total. Konsentrasi fraksional oksigen di udara adalah 0,21, dan pada
tekanan atmosfer normal, tekanan parsial oksigen adalah 21 kPa. Pada tekanan sekitar 4
bar atau kedalaman 30 msw, konsentrasi fraksional oksigen masih 0,21 tetapi tekanan
parsialnya adalah 84 kPa.
Gas larut dalam cairan secara proporsional dengan tekanan parsialnya dalam fase
gas, yang berarti bahwa volume gas terlarut dalam darah dan jaringan meningkat sampai
kesetimbangan dengan fase gas tercapai. Cairan tersebut kemudian penuh dengan gas.
Selama fase kompresi dan dekompresi penyelaman, proses ini mengikuti fungsi
eksponensial tingkat pertama, dengan setiap jaringan memiliki karakteristik waktu yang
konstan.
Paparan terhadap faktor-faktor yang terkait dengan campuran gas dan tekanan,
seperti hiperoksia, tekanan dekompresi, dan kepadatan gas, diketahui memiliki efek akut
pada fungsi paru yang dapat membatasi kapasitas ventilasi dan toleransi latihan. Efek dari
hiperoksia dan tekanan dekompresi bahkan mungkin beracun atau berbahaya,
menghasilkan reaksi peradangan akut dan penyakit, dan mungkin efek residual jangka
panjang. Faktor-faktor lain yang terkait dengan peralatan yang digunakan dan lingkungan
di mana penyelaman berlangsung dapat memberlakukan batasan fisiologis tambahan dari
kinerja penyelam.
Hiperoksia
Efek toksik oksigen pada paru-paru telah diketahui dengan baik dan hubungan
dosis-respons dan batas toleransi paru telah ditentukan sejauh menyangkut perubahan
dalam kapasitas vital (vital capacity/VC) [2]. Di atas ambang 50 kPa, terdapat penurunan
VC yang tergantung pada tekanan oksigen dan waktu pemaparan. Ambang batas
asimptotik ditemukan agak lebih rendah dari 50 kPa [3], dan ambang batas untuk
perubahan variabel fungsi paru selain VC pasti lebih rendah. Setelah beberapa
penyelaman saturasi di mana tekanan parsial oksigen berada pada atau lebih rendah dari
50 kPa untuk periode hingga 4 minggu [4,5] dan setelah paparan tidak ada perubahan
dalam VC yang ditunjukan atau diprediksikan, telah terjadi pengurangan transfer factor
untuk karbon monoksida (TICO) dan laju aliran ekspirasi maksimal pada volume paru-
paru yang rendah serta peningkatan kemiringan fase III dari tes pencucian nitrogen napas
tunggal[6].
Efek toksik dari oksigen dimediasi oleh oksigen reaktif, dan menginduksi
perubahan inflamasi pada parenkim paru [7]. Pertama, proses ini menimbulkan gejala
batuk non-produktif dan sensasi terbakar retrosternal sebelum terjadi reduksi VC.
Pemulihan reduksi VC sebesar 20% -30% biasanya selesai dalam 1 atau 2 minggu.
Efek toksik dari oksigen harus diperhitungkan dalam prosedur perawatan menyelam
dan hiperbarik yang praktis. Dosis toksik paru unit (the unit pulmonary toxic dose/UPTD)
adalah efek toksik yang setara dengan paparan oksigen pada 101 kPa selama 1 menit [2].
Untuk reduksi VC yang terjadi, ada hubungan hiperbolik antara waktu paparan dan
tekanan parsial oksigen. Dosis 615 UPTD menghasilkan rata-rata 2% penurunan VC, dan
dosis 1425 UPTD menghasilkan penurunan 10%. Untuk kegiatan penyelaman
operasional, penurunan 2% pada VC umumnya dianggap dapat diterima, dan untuk terapi
kompresi dan hiperbarik oksigen untuk DCI dan emboli gas arteri (arterial gas
embolism/AGE), penurunan 10% atau bahkan lebih besar pada VC dapat diterima.
Transportasi gas di alveoli dilakukan dengan difusi. Campuran helium dan oksigen
yang dihirup dalam percobaan penyelaman saturasi yang dalam untuk tekanan yang
sesuai dengan kedalaman 500 - 700 msw memiliki konsentrasi fraksional oksigen kurang
dari 2%, dengan sisanya menjadi helium dan, kadang-kadang, beberapa nitrogen.
Kepadatan bisa setinggi 8-10 kali lipat dari udara pada tekanan atmosfer. Ada beberapa
keterbatasan difusi alveolar-kapiler oksigen dalam fraction of inspired oxygen (FIO2)
memberikan kontribusi untuk pembatasan pertukaran gas paru pada penyelaman
dalam.[15] Namun, pada kedalaman yang dapat diakses dengan teknik menyelam saat ini,
efek ini kecil dan diperkirakan dapat menekan tekanan oksigen alveolar hanya dengan
beberapa kilo pascal saja.
Resistensi terhadap pernapasan selanjutnya meningkat oleh alat bantu pernapasan
eksternal dan efek pemuatan statis paru-paru disebabkan oleh perendaman. Kombinasi
dari peningkatan resistensi pernapasan internal dan eksternal dan pemuatan statis paru-
paru dapat memicu terjadinya edema paru-paru berhubungan dengan menyelam dan
berenang, terutama di lingkungan yang dingin dan dengan intensitas latihan yang
tinggi.[16,17]
Gas inhalasi dipanaskan dan dilembabkan selama perjalanan melalui saluran udara.
Energi yang diperlukan untuk memanaskan gas tergantung pada karakteristik fisik
campuran gas, termasuk suhu, kepadatan, dan panas spesifik serta kebutuhan fisiologis
untuk ventilasi. Sebagian energi yang digunakan untuk memanaskan gas yang diperoleh
kembali pada saluran udara bagian atas selama pernafasan. Suhu rata-rata gas yang
dihembuskan biasanya lebih rendah dari suhu tubuh tetapi lebih tinggi dari suhu sekitar.
Energi yang dibutuhkan untuk melembabkan gas diasumsikan tidak tergantung pada
tekanan, tetapi campuran gas yang kering digunakan untuk penyelaman sehingga
mencegah lapisan es di jalur pasokan gas. Kapasitas panas spesifik untuk helium lima kali
lebih besar daripada untuk nitrogen, 5,19 dan 1,04 J/g-1 /K-1, tetapi kerapatan hanya 0,18
g/L-1 untuk helium dan 1,25 g/L-1 untuk nitrogen. Oleh karena itu, kehilangan panas
pernapasan saat menyelam dengan udara tetap lebih tinggi dibandingkan dengan
menyelam dengan campuran helium-oksigen, karena itu adalah produk padat dan
kapasitas panas spesifik yang menentukan kehilangan panas. Kehilangan panas
pernapasan saat menyelam selalu lebih besar daripada tekanan atmosfer normal apapun
campuran gasnya, dan kehilangan panas serta hilangnya air untuk pelembapan gas dapat
memicu respons bronkomotor.[18,20]
Masalah termal yang terkait dengan teknik penyelaman saturasi dengan campuran
helium dan gas oksigen terutama disebabkan oleh peningkatan kehilangan panas di
permukaan kulit dalam lingkungan oksigen helium kering, yang merupakan fungsi dari
konduktansi panas daripada kapasitas panas. Konduktansi panas untuk helium adalah 1,51
W/m-1/K-1, dan untuk nitrogen, itu adalah 0,26 W/m-1/K-1. Kisaran suhu yang nyaman di
lingkungan ini biasanya 27oC - 29oC dibandingkan dengan 20oC - 22oC di udara pada
tekanan atmosfer.
Efek Pernapasan dari Penyelaman Tunggal
Segera setelah menyelam, perubahan dalam fungsi paru dapat ditunjukkan yang
merupakan efek gabungan dari semua faktor paparan spesifik yang terkait dengan
penyelaman. Setelah melakukan penyelaman saturasi ke kedalaman 300 m atau lebih,
pengurangan TICO sebesar 10%-15% dan pengurangan penyerapan oksigen maksimal
telah secara konsisten ditunjukkan dalam beberapa penelitian.[21,23] Paparan terhadap
hiperoksia dan VGM telah terbukti berkontribusi terhadap efek ini.[4,5,12,13] Namun,
pengurangan VC akibat keracunan oksigen belum terbukti. Sebaliknya, sedikit
peningkatan VC terlihat setelah beberapa kali penyelaman. Hal ini dapat disebabkan oleh
efek berlawanan dari hiperoksia dan latihan otot pernapasan yang disebabkan oleh efek
peningkatan kepadatan gas. Waktu pemulihan untuk perubahan TICO adalah 4 - 6 minggu.
Setelah melakukan short air bounce dives, pengurangan kecil dalam TICO dan VC
serta penurunan konduktansi jalan nafas juga telah ditunjukkan, [24,25] tetapi waktu
pemulihan setelah penyelaman ini dalam durasi singkat (yaitu, jam) dibandingkan dengan
beberapa hari pada penyelaman saturasi jauh lebih pendek, hanya 1-2 hari. Dalam
penyelaman ini, efek perendaman dan pemuatan statis paru-paru serta efek panas
pernapasan dan kehilangan air diyakini berkontribusi signifikan terhadap perubahan
fungsi paru-paru.
Masalah Klinis
Masalah klinis penting yang dihadapi dalam pengobatan selam tercantum dalam
kotak 1, dan dijelaskan dan dibahas disini.
Kotak 1. Masalah klinis mayor yang berhubungan dengan selam
A. Barotrauma pulmoner
Pneumothorax
Enfisema interstisial
Pneumomediastinum
Pneumoperitoneum
B. DCI
AGE
DCS
1. Kutaneus
2. Musculoskeletal
3. Audiovestibuler
4. Penyakit respiratori
5. Emboli gas vena
6. Emboli gas paradoksik
C. Edema pulmoner
Barotrauma Paru
Meskipun paru-paru bisa bertahan dalam tekanan ambien absolut yang tinggi yang
tidak membahayakan, pajanan terhadap perubahan tekanan yang tiba-tiba bisa sangat
parah mempengaruhi paru-paru dan bahkan pada perbedaan tekanan yang kecil sekalipun.
Istilah barotrauma paru (PBT) mengacu pada cedera paru-paru yang disebabkan oleh
perubahan tekanan intrapulmoner relatif terhadap tekanan sekitar. Astronot, penerbang,
pekerja udara terkompresi dan penyelam secara inheren terkena perubahan tekann ambien
yang cepat dan karenanya berisiko mengalami PBT. Tulisan ini berfokus pada PBT
terkait selam, yaitu dikhawatirkan komplikasi penyelaman gas terkompresi dan secara
konsisten menempati urutan kedua diantara semua penyebab kematian saat menyelam.
Tabel 1. Studi sistematis yang melaporkan bukti klinis dan radiologis dari barotrauma paru dalam
serangkaian kasus penyelam / peserta pelatihan melarikan diri dari kapal selam yang menderita PBT dengan
atau tanpa emboli gas arteri
Posisi kepala selama menyelam naik sehubungan dengan batang tubuh, daya apung
gelembung gas, dan dinamika aliran darah mendukung distribusi gelembung gas ke otak.
Karena toleransi hipoksia pada sistem saraf pusat yang sangat singkat, cedera kritis dapat
terjadi tergantung pada kuantitas absolut gas dan area yang terkena. Gelembung gas kecil
dapat dengan cepat diserap dan hanya mengganggu aliran darah sebentar. Gelembung gas
yang lebih besar dapat menyebabkan kerusakan parah oleh cedera sel iskemik dan
gangguan barier darah otak. Perubahan patologis segera ditandai dengan peningkatan
tekanan cairan serebrospinal, hipertensi sistemik, penghentian aktivitas neuron, dan
perubahan permeabilitas pembuluh darah. Respons seluler dan humoral yang disebabkan
oleh efek gas dalam darah serta pertemuan gas-endotel berkontribusi terhadap peradangan
yang menetap bahkan setelah gas diserap.
Berbeda dengan PBT yang diinduksi oleh ventilasi mekanis, AGE adalah sekuel
paling sering dari PBT yang terkait dengan penyelaman (Tabel 1). Arah dan jumlah
tekanan transpulmonar yang dihasilkan oleh dekompresi cepat selama menyelam dapat
menjelaskan perbedaan ini. Seringkali, AGE dikombinasikan dengan
pneumomediastinum (Gambar 1), dan kasus PBT yang parah telah dilaporkan di mana
gas beredar di pembuluh darah menyebabkan AGE masuk ke dalam ruang pleura dan
mediastinum. Pada kasus PBT yang fatal, kematian dapat terjadi akibat penyumbatan di
jantung (pneumocardium) dan sirkulasi sentral setelah AGE masif. Namun, perubahan
patofisiologis terperinci yang menyebabkan kematian pada manusia, belum sepenuhnya
dipahami.
PBT juga dapat terjadi dengan penggunaan gas pernapasan selain udara. Ada dua
laporan kasus PBT dengan dan tanpa AGE pada penyelam yang menggunakan alat selam
rebreathing oksigen sirkuit tertutup. Hebatnya, fraksi oksigen yang sangat tinggi mungkin
telah mempercepat resorpsi gas ekstra-alveolar dalam kasus-kasus ini, di mana gejalanya
dilaporkan telah hilang dengan cepat. Karena sering adanya kesalahpahaman umum
bahwa kecelakaan menyelam tidak terjadi di air dangkal, maka perlu ditekankan bahwa
risiko untuk PBT paling besar adalah di bawah permukaan, karena tekanan sekitar dua
kali lipat antara 0 dan 10 msw dan perubahan relatif dalam volume maksimal ada pada
rentang kedalaman itu. Dengan demikian, kasus AGE parah dilaporkan terjadi selama
penyelaman air dangkal kurang dari 5 msw dan bahkan selama berenang.
PBT terkait dekompresi tidak terbatas pada scuba diving saja. Ini dapat terjadi
selama pendakian pesawat komersial ketika tekanan kabin penumpang berkurang sekitar
26,7 kPa (200 mm Hg) atau selama pelatihan ruang hipobarik yang dilakukan untuk
anggota awak udara militer di seluruh dunia. AGE serebral setelah PBT telah dilaporkan
pada anggota awak pemeliharaan darat setelah tes tekanan kabin hingga sekitar 55 kPa
(413 mm Hg). Beberapa kasus telah terjadi selama terapi oksigen hiperbarik di ruang
hiperbarik. Semua paparan ini memiliki kesamaan fakta bahwa perubahan tekanan selama
pendakian adalah besarnya kecil dan terjadi lebih lambat jika dibandingkan dengan
kenaikan scuba diving. Dengan demikian, PBT jarang terjadi dalam pekerjaan ini.
Hebatnya, temuan patologis paru yang sudah ada telah dijelaskan lebih sering dalam
kasus-kasus ini, mendukung konsep bahwa lesi paru yang menjebak udara meningkatkan
risiko PBT.
Gambar. 1. CT scan seorang penyelam scuba Angkatan Laut berusia 23 tahun yang mengalami nyeri dada
dan mual saat melakukan pelatihan pendakian gratis dari kedalaman 11 msw. Pemindaian diambil setelah
perawatan rekompresi pertama. Rontgen dada tidak biasa. MRI neurokranium mengungkapkan infark
serebelar besar.
Tabel 2. Gejala yang paling sering adalah emboli gas arteri dan barotrauma paru
Gejala Range (%)
Ketidaksadaran 17- 81
Parestesi dan / atau kelumpuhan 23- 77
Pusing 10–43
Mual dan / atau vertigo 9–39
Gangguan visual 13-26
Kejang 0–31
Sakit kepala 0– 26
Gambar 3. Ct-scan pada babi yang menjalani paparan hiperbarik dengan 50 msw selama 24 menit
menunjukkan sejumlah besar gas ektopik di sisi kanan jantung.
DCS neurologis dapat mencakup keseluruhan tanda dan gejala tergantung pada
lokalisasi, jumlah gelembung, dan jenis jaringan yang terkena. Gejala sensorik, termasuk
mati rasa, kesemutan, parestesia, dan sensasi abnormal, jauh lebih umum daripada gejala
neurologis yang lebih parah [26]. Biasanya, gejala-gejala ini berkembang secara
progresif, dimulai dengan parestesia ringan, diikuti oleh mati rasa regional, kelemahan,
dan, kadang-kadang, paresis pada tungkai yang terkena. Gejala biasanya terjadi dalam
beberapa jam setelah dekompresi, tetapi dalam kasus yang parah, dapat muncul segera
[26]. Dengan demikian, diagnosis klinis DCS mungkin sulit ditegakan, dan gejala klinis
mungkin tumpang tindih dengan gejala-gejala AGE. Selanjutnya, kasus-kasus anatar DCS
dan AGE telah dilaporkan [107].
Risiko DCS dapat diabaikan pada kedalaman air dangkal 0-10 msw, karena pasokan
gas yang terbatas dari peralatan scuba mencegah tubuh dari penyerapan gas inert yang
signifikan. Melampaui kedalaman itu, bagaimanapun, risiko meningkat dengan tekanan
dan waktu yang dihabiskan pada tekanan itu. Waktu yang dibutuhkan untuk desaturasi
pada pendakian meningkat seiring dengan pendakian. Telah ditunjukkan pada manusia
setelah penyelaman scuba bahwa keberadaan gelembung intravaskular berkorelasi dengan
tingkat kenaikan [91]. Dalam model babi DCS, penggunaan profil pendakian nonlinear
dengan gabungan cepat / lambat dikaitkan dengan pengurangan 30% dari tingkat DCS
[108]. Komputer selam modern menggunakan algoritma yang mempertimbangkan
kinetika desaturasi jaringan yang berbeda dan menghitung interval permukaan yang harus
dijaga sebelum penyelaman berikutnya. Namun demikian, DCS dapat terjadi tanpa dapat
diprediksi bahkan ketika secara ketat mengikuti persyaratan dekompresi. Insiden 0,003%
dari DCS pada penyelaman scuba tanpa faktor risiko yang jelas telah dilaporkan [73].
Terdapat faktor lingkungan dan individu yang dapat menjadi risiko terjadinya DCS.
Suhu dan olahraga mempengaruhi perfusi jaringan dan dengan demikian dapat
mempengaruhi kemungkinan pembentukan gelembung. Analisis catatan kecelakaan dari
Royal Navy Institute of Naval Medicine mengungkapkan hubungan yang signifikan
antara paparan dingin dan terjadinya DCS [109]. Peningkatan pertukaran gas paru selama
latihan di kedalaman mungkin merugikan, karena jaringan menyeimbangkan lebih cepat
dengan peningkatan aliran darah. Baru-baru ini ditunjukkan pada subjek yang melakukan
latihan lengan atau kaki selama dekompresi yang dimulai pada 9 msw setelah 30 menit
menyelam pada 450 kPa bahwa ada gelembung gas vena yang secara signifikan lebih
kecil yang dapat dideteksi oleh USG Doppler dibandingkan dengan penyelam yang
menetap [110] . Selain itu, pada model hewan, olahraga sebelum menyelam terbukti
memiliki efek menguntungkan. Pada babi, pengkondisian latihan prediktif sekitar 20 sesi
pada treadmill mengurangi tingkat DCS sebesar 31% dibandingkan pada hewan kontrol
[111]. Data terbaru pada tikus menunjukkan bahwa hal tersebut bukanlah kapasitas
aerobik per se tetapi efek akut dari olahraga yang memberikan kontribusi terhadap
pengurangan risiko. Tikus yang melakukan pertarungan latihan tunggal yang berlangsung
selama 1,5 jam, dengan 20 jam istirahat sebelum menyelam, terlindung dari pembentukan
gelembung, seperti juga mereka yang telah berlatih secara teratur selama 2 minggu [112].
Efek tersebut baru-baru ini dikonfirmasi pada subjek manusia yang menjalani dua kali
penyelaman di dalam ruang eksperimen menjadi 280 kPa selama 80 menit dengan mode
cross-over sambil melakukan latihan interval tunggal 24 jam sebelum salah satu
penyelaman. Ada gelembung yang secara signifikan lebih sedikit dan penurunan tingkat
gelembung maksimum yang terdeteksi setelah penyelaman dengan latihan predive
dibandingkan dengan penyelaman tanpa latihan predive [113]. Alasan untuk efek
menguntungkan dari latihan prediktif tunggal dalam tingkat DCS terkait menyelam tetap
spekulatif. Sebuah teori yang menarik adalah bahwa populasi gas mikronukleus dapat
dihabiskan dengan berolahraga, sehingga mengurangi perubahan gelembung gas pada
nukleus [114].
Faktor individu juga berkontribusi terhadap risiko pembentukan gelembung dan
DCS. Studi pengamatan dari populasi selam mengungkapkan bahwa obesitas mungkin
berkontribusi terhadap terjadinya DCS [115]. Faktanya, investigasi USG Doppler pada
penyelam mengkonfirmasi hubungan yang signifikan antara tingkat gelembung postdive
yang terdeteksi dengan berat badan [116]. Selain itu, kebugaran fisik umum, seperti yang
ditunjukkan oleh pengambilan oksigen maksimal, tampaknya mencegah pembentukan
gelembung pada manusia [91]. Usia dan jenis kelamin secara historis dianggap sebagai
faktor risiko untuk DCS [117], tetapi data yang bertentangan dengan teori ini telah
ditunjukan baru-baru ini. Dalam sebuah studi lapangan yang memantau emboli gas vena
setelah penyelaman didapatkan, penyelam pria dan lebih tua memiliki insiden yang lebih
tinggi memiliki tingkat gelembung yang tinggi oleh Doppler ultrasound [118]. Namun
penyelam yang teliti memiliki usia rata-rata yang relatif tinggi, dan penyelam hanya
dipantau satu kali. Dalam sebuah studi kohort retrospektif dari instruktur selam di
Swedia, kejadian gejala DCS yang dilaporkan sendiri di antara penyelam muda berusia
18-24 tahun sama dengan di antara mereka yang berusia lebih dari 25 tahun [119]. Dalam
sebuah survei di antara penyelam rekreasi di Inggris, tingkat DCS yang dikonfirmasi
dokter adalah 0,026% pada wanita dibandingkan 0,016% pada pria, menunjukkan tingkat
DCS 1,67 kali lipat lebih besar pada wanita [120]. Namun, ketika menyesuaikan angka ini
dengan pengalaman menyelam, perbedaan jenis kelamin menjadi tidak signifikan.
Tingkat DCS keseluruhan pada penyelam pria dan wanita adalah 0,02%, yang berada
dalam kisaran yang dilaporkan dari sumber lain [26,73,119]. Statistik kecelakaan
menyelam baru-baru ini menunjukkan distribusi bell-shaped pada rentang usia yang
memuncak pada usia 38 tahun, dan distribusi jenis kelamin penyelam yang terluka
mencerminkan distribusi di antara total populasi penyelaman [26]. Oleh karena itu, usia
dan jenis kelamin sangat kecil kemungkinannya mempengaruhi risiko DCS terkait
menyelam.
Terdapat sekitar seperempat penyelam yang terluka menunjukkan bahwa mereka
telah terpapar ketinggian setelah menyelam [26], hal ini membenarkan konsep teoretis
bahwa dekompresi dari tekanan permukaan laut memperburuk pembentukan gelembung.
Sebuah studi kasus-kontrol menggunakan profil penyelaman rekreasi menemukan bahwa
peluang relatif DCS meningkat dengan penurunan interval permukaan preflight [121].
Pada kebanyakan penyelam yang mengalami gejala DCS selama atau setelah
penerbangan, interval permukaan preflight kurang dari 12 jam [26]. Mekanisme ini juga
berlaku bagi mereka yang mengekspos diri ke ketinggian saat berkendara melintasi
pegunungan setelah menyelam. Dengan demikian, untuk berada di sisi yang aman,
interval minimum 24 jam disarankan sebelum terbang ketika melakukan penyelaman
tidak membutuhkan penghentian dekompresi [122].
Edema paru
Edema paru baru-baru ini dikenali sebagai masalah klinis terkait penyelaman,
mungkin disebabkan oleh fakta bahwa individu yang terkena dapat pulih secara spontan;
oleh karena itu, sebagian besar tidak dilaporkan dalam scuba diving. Selain itu, kasus
edema paru mungkin telah disalahartikan sebagai DCI.
Pengamatan pertama adalah pada 11 penyelam yang mengalami edema paru saat
scuba diving di perairan Inggris yang dingin. Diasumsikan bahwa peningkatan abnormal
pada resistensi vaskuler terhadap paparan dingin mungkin memicu edema dengan
meningkatkan preload dan afterload, karena pada kontrol yang sehat tidak menunjukkan
peningkatan resistensi vaskular pada lengan yang sama dengan paparan dingin
eksperimental. Peningkatan tekanan parsial oksigen pada kedalaman mungkin memiliki
kontribusi, tetapi pada 2 penyelam, episode edema paru telah terjadi bahkan selama
berenang di permukaan. Selama follow-up penyelam, kebanyakan dari mereka menjadi
hipertensi, sehingga menunjukkan bahwa reaktivitas vaskular yang abnormal dapat
menjadi prediksi yang menyebabkan hipertensi. Sebuah studi selanjutnya melaporkan
pada empat subjek yang telah mengalami edema paru saat scuba diving atau berenang.
Dengan distribusi kuesioner yang membahas kemungkinan gejala edema paru, satu subjek
tambahan (0,22%) dari 460 responden diidentifikasi memiliki riwayat edema. Semua
subjek yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau paru tidak menunjukkan
reaktivitas vaskular yang abnormal bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Dengan
demikian berspekulasi bahwa kombinasi faktor, seperti perendaman dan paparan dingin,
bersama dengan peningkatan curah jantung, dapat menyebabkan peningkatan berlebihan
pada tekanan kapiler paru. Secara bersamaan, penelitian lain melaporkan pada
sekelompok delapan subyek militer yang mengalami hemoptisis dan batuk saat terlibat
dalam kompetisi renang laut terbuka di air hangat (23°C). Para peneliti menyarankan
bahwa kombinasi perendaman, olahraga, dan overhidrasi telah meningkatkan tekanan
kapiler paru dan akhirnya menyebabkan edema. Selanjutnya, lebih banyak kasus
dilaporkan yang terjadi selama menyelam di perairan hangat, sehingga mengurangi
hipotesis air dingin. Dalam pelatihan militer Israel yang berpartisipasi dalam kebugaran 2
bulan program dengan berenang jarak 2,4 dan 3,6 km, ada 29 peristiwa edema paru pada
21 orang (yaitu, 60% dari kelompok studi). Para penulis berpendapat bahwa stres berat
pada kapiler paru selama berenang mempercepat kejadian dan bahwa perendaman
berkontribusi pada mekanisme ini secara signifikan. Faktanya, perendaman menimbulkan
beragam efek kardiovaskular dan ventilasi yang dapat meningkatkan tekanan transmural
kapiler (misalnya, perpindahan darah ke paru-paru, peningkatan preload, ventilasi-perfusi
mismatch). Barrier darah-gas manusia sangat tipis untuk memungkinkan pertukaran gas
yang cukup untuk terjadi difusi pasif, dan untuk menahan tekanan kapiler yang lebih
tinggi terutama disediakan oleh matriks ekstraseluler. Akibat matriks kolagen tipe IV
sehingga memungkinkan gangguan intraseluler dari sel epitel endotel dan alveolar kapiler
terjadi. Edema paru sangat jarang terjadi pada atlet sehat di lingkungan kering, meskipun
ada bukti dari spesies hewan bahwa kerusakan kapiler dengan pendarahan alveolar terjadi
secara rutin pada tingkat latihan yang tinggi. Pada pengendara sepeda kompetisi elit,
sebenarnya bisa ditunjukkan bahwa barrier darah-gas dapat diubah dengan latihan
maksimal, namun barrier tidak berubah ketika berolahraga di 77% dari konsumsi oksigen
maksimal mereka. Dengan demikian, latihan yang lengkap menghasilkan sedikit
perubahan pada barrier darah-gas yang dapat parah di lingkungan basah. Baru-baru ini,
dilaporkan dari US Naval Medical Center di San Diego bahwa ada lebih dari 20 kasus
edema paru yang disebabkan karena berenang setiap tahun, menggarisbawahi tingginya
insiden edema paru yang disebabkan oleh berenang selama latihan berat di dalam air.
Dispnea dan batuk merupakan keluhan yang paling sering dan dapat disertai dengan
hemoptu, hipoksemia, peningkatan frekuensi pernapasan. Temuan radiografi, seperti garis
Kerley-B dan konsolidasi ruang udara (Gbr.4), biasanya menjadi normal dalam waktu 48
jam. Gejala klinis sering membaik hanya dengan mengeluarkan pasien dari air dan
dengan pengobatan yang mendukung, sehingga diuretik sebagian besar superfluous.
Hebatnya, pada perenang tempur yang terutama berenang dalam posisi dekubitus lateral
untuk memungkinkan kontak mata yang konstan dengan pasangan dan untuk
mempertahankan profil permukaan rendah, itu adalah paru-paru yang tenggelam yang
lebih sering terkena edema paru jika dilakukan radiografi dada. Edema paru baru-baru ini
dideskripsikan pada seorang perenang tempur Israel menggunakan alat bantu pernapasan
oksigen sirkuit tertutup. Dalam hal ini, oksigen mungkin berkontribusi terjadinya edema
akibat efek vasokonstriktifnya. Sebagai kesimpulan, berbagai macam faktor yang berbeda
dapat memicu edema paru selama scuba diving atau berenang, dan tidak ada bukti edema
paru disebabkan oleh satu faktor risiko saja. Penggunaan tenaga pada keadaan tenggelam
mungkin merupakan faktor penyebab utama dalam edema paru yang disebabkan oleh
berenang, sedangkan latihan berat jarang dilaporkan dalam kasus edema paru yang
dipublikasikan selama scuba diving. Hebatnya, usia lanjut terlihat jelas pada subjek yang
terakhir (Tabel 3). Diduga bahwa faktor-faktor individual berkontribusi terjadinya edema
paru akibat menyelam, karena subjek yang terkena dampak sekali saja berisiko
mengalami insiden lebih lanjut. Dengan demikian, subjek ini harus disarankan untuk tidak
menyelam lagi. Bagi mereka yang menolak untuk menerima saran ini, pemberian
nifedipine (5 mg) sebelum menyelam dapat mencegah kekambuhan. Edema paru selama
scuba diving atau berenang lebih sering dari yang diperkirakan sebelumnya dan harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari cedera yang terkait dengan menyelam.
Gambar 4. Foto dada anggota militer US usia 28 tahun dengan keluhan batuk darah setelah berenang
dengan kedalaman 1000 m menggunakan wetsuit dan fins di lingkungan yang dingin (14,4 C/58 F) di
samudra pasifik.