Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT JOURNAL READING

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2019


UNIVERITAS PATTIMURA

BERNAPAS PADA KEDALAMAN : FISIOLOGI DAN ASPEK KLINIS


MENYELAM SAAT BERNAPAS PADA GAS YANG TERKOMPRESI

Disusun Oleh:
Krisyel Rugebregt NIM. 2017-84-014
Feby Ilviana Hattu NIM. 2017-84-016
Raden A.Ch.U. Hasanusi NIM. 2017-84-31
Astuti C. Simanjuntak NIM. 2017-84-020
Elqadosy Sedubun NIM. 2017-84-024
Karel J. R. Souhoka NIM. 2017-84-035
Susianty Hukubun NIM. 2017-84-025
A.Mudrikah H. Dirgahayu NIM. 2017-84-027
Bryan Patty NIM. 2017-84-011
Maria H Lerebulan NIM. 2011-83-039
Teisha J V Marantika NIM. 2013-83-022
Tri Asih M W Fatubun NIM. 2013-83-025

Pembimbing:
Drg. Richard Tetelepta, Sp.Pros

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
Bernapas Pada Kedalaman : Fisiologi Dan Aspek Klinis Menyelam Saat Bernapas
Pada Gas Yang Terkompresi

Ketika menyelam, manusia akan terpapar oleh bahaya yang unik pada lingkungan
hiperbarik dan perilaku fisik gas pada tekanan tinggi di bawah laut. Hiperkapnia,
Hiperoksia, Keracunan Karbonmonoksida (CO), Narkosis gas inert (terutama nitrogen),
dan penyakit dekompresi (decompression ilness/DCI) dapat menyebabkan gangguan
kesadaran sehingga meningkatkan resiko tenggelam pada seorang penyelam saat berada
di bawah laut. Fungsi fisiologis dan adaptasi dari sistem pernapasan adalah hal paling
penting untuk diketahui guna meminimalkan risiko yang terkait dengan kompresi gas
pada saat penyelaman. Artikel ini memberikan pengantar terkait teknik menyelam, fisika,
fisiologi, dan patofisiologi terkait dengan masalah tersebut. Penyebab dari masalah medis
terkait penyelaman akan dijelaskan dengan lebih menekankan kepada fungsi fisiologi
sistem pernapasan yang mendasarinya.

Metode Penyelaman

Menyelam kini telah menjadi kegiatan rekreasi yang populer dan tidak lagi hanya
terbatas pada operasi bawah laut militer ataupun komersial seperti dahulu kala. Meskipun
jumlah penyelam untuk rekreasi (amatir) meningkat tiap waktu, jumlah penyelam
profesional cenderung sama dalam beberapa tahun terakhir. Menurut American National
Sporting Goods Association (NSGA)[1], penyelaman guna rekreasi menempati urutan
ketiga diantara aktivitas luar ruangan pada penduduk amerika dengan sekitar 2,1 juta
orang penduduk melakukan kegiatan ini pada tahun 2001.

Sejauh ini, terdapat beberapa metode penyelaman bawah air. Menyelam dari
lonceng selam (diving bell) yang berisi udara dan menyelam dengan mendapat suplai
udara melalui spinal cord dari permukaan merupakan salah satu metode penyelaman kuno
yang dikenal pada abad ke-19. Masalah terkait kegiatan penyelaman seperti penyakit
dekompresi dan barotrauma telah dikenal sejak awal abad ke-20. Pada tahun 1943,
Cousteau dan Gagnan dari angkatan laut Prancis berhasil membuat terobosan dalam dunia
selam dengan mengembangkan sebuah sirkuit terbuka yang membantu kegiatan
penyelaman. Alat pernapasan bawah air (Self-Contained Underwater Breathing
Apparatus/SCUBA) ini memungkinkan penyelam untuk dapat menghirup udara dari
tangki bertekanan yang dibawa sendiri oleh penyelam dan dihantarkan melalui pengatur
tekanan yang menyesuaikan dengan perubahan tekanan pada lingkungan sekitar. Sistem
ini memberikan kebebasan dan mobilisasi yang lebih baik dalam kegiatan penyelaman.

Dengan melakukan teknik bouncing diving (penyelam memulai penyelaman dari


permukaan dengan menggunakan peralatan SCUBA dan menghabiskan beberapa waktu
di kedalaman tertentu sebelum kembali ke permukaan) akan meminimalisir stres
dekompresi dan risiko DCI. Batas praktis tekanan yang sesuai dengan tubuh manusia
adalah pada kedalaman 50-60 meter air laut (msw). Efek narkotika dari gas nitrogen (N),
kepadatan gas yang tinggi, dan tekanan dekompresi dapat terjadi pada tubuh akibat berada
dalam kedalaman yang lebih dari batas praktis kedalaman tersebut. Efek negatif ini dapat
diminimalkan dengan mengubah campuran gas pernapasan seorang penyelam. Campuran
gas yang diperkaya dengan oksigen (O2) akan dapat mengurangi penyerapan gas inert
sehingga dengan demikian akan dapat menurunkan risiko dekompresi, sedangkan
campuran dengan helium sebagai bahan tambahan akan dapat mengurangi kepadatan gas
yang dihirup. Namun, mengingkatkan fraksi oksigen dalam campuran gas dalam jumlah
berlebih akan dapat meningkatkan risiko toksik. Pada kondisi paling buruk, keracunan
oksigen dapat bermanifestasi dalam bentuk penurunan kesadaran yang mendadak dan
kejang terutama dengan tekanan parsial oksigen yang lebih tinggi dari 150 kPa. Karena
mempertimbangkan adanya risiko serebral hipertoksik tersebut, penyelam tempur pihak
militer cenderung menggunakan oksigen murni dalam sirkuit tertutup alat bantu
pernapasan selam dan membatasi rentang kedalaman selam hanya sekitar 0-10 msw.

Pada tahun 1960 hingga 1980, sebuah teknik bernama teknik selam saturasi
(saturation diving) telah dikembangkan untuk operasi penyelaman dengan durasi yang
lama dan kedalaman yang lebih dari 50-60 msw. Para penyelam awalnya akan menjalani
kompresi di ruang hiperbarik untuk menyesuaikan tubuh dengan tekanan di dalam laut
yang ingin dicapai. Kemudian peselam akan dipindahkan di dalam lonceng selam. Tubuh
peselam akan dibiarkan terbiasa dengan campuran gas (terutama helium dan oksigen)
dengan tekanan parsial oksigen berkisar antara 35-70 kPa. Secara teoritis, peselam akan
dapat tetap berada di bawah tekanan tersebut untuk waktu yang tidak terbatas. Umumnya,
periode selam hingga 2 minggu digunakan terutama untuk kegiatan operasi ladang
minyak dan gas lepas. Waktu kerja efektif peselam di tempat kerja tidak dibatasi oleh
batasan waktu bouncing. Operasi penyelaman jenuh biasanya dibatasi hanya pada
kedalaman 100-150 msw, meskipun terdapat penelitian berbasis eksperimental yang
membuktikan bahwa teknik ini dapat digunakan hingga ke kedalaman maksimal 701
msw. Pada kisaran kedalaman yang lebih dalam dari 250 msw, risiko masalah peselam
akan meningkat terutama adalah sindrom saraf tekanan tinggi.

Prosedur dekompresi dengan teknik ini harus memperhitungkan bahwa jaringan


tubuh dapat jenuh dengan gas inert dan laju dekompresi harus dibatasi pada 25-30 m/d,
artinya beberapa operasi penyelaman mengharuskan penyelam menetap dan tinggal di
ruang hiperbarik untuk periode waktu hingga 30 hari atau lebih. Sebagian besar waktu
penyelam adalah berada di lingkungan yang kering pada ruang hiperbarik, dan beberapa
operasi di habitat kering dapat dilakukan.

Faktor Fisik Dan Faktor Fisiologis Yang Mempengaruhi Fungsi Paru-Paru Selama
Menyelam

Paparan menyelam
Penyelaman (diving) berhubungan dengan paparan yang lebih tinggi dari tekanan
ambien normal. Penyelaman biasanya ditandai oleh fase kompresi, isobarik, dan
dekompresi. Perbedaan utama antara diving yang dijelaskan dalam artikel ini dan breath-
hold diving adalah bahwa campuran gas dihirup pada tekanan sekitar yang meningkat
secara bebas di atmosfer diving bell atau ruang hiperbarik atau disuplai oleh alat bantu
pernapasan bawah air. Menyelam biasanya terjadi di bawah air, tetapi beberapa operasi
menyelam dapat dilakukan di lingkungan yang kering di ruang hiperbarik atau habitat
bawah air.
Tekanan atmosfer normal atau satu atmosfer absolut setara dengan tekanan kolom
760 mmHg atau 101,3 kPa. Satu bar ekuivalen dengan tekanan 750 mmHg, 100 kPa, atau
10 msw. Misalnya, pada kedalaman 30 msw, penyelam terkena tekanan 4 bar, dan pada
100 msw, penyelam terkena tekanan yang setara dengan 11 bar.
Konsentrasi fraksi masing-masing gas dalam campuran gas ideal tetap sama tanpa
tekanan, dan tekanan parsial masing-masing komponen gas tergantung pada konsentrasi
fraksinya dan tekanan total. Konsentrasi fraksional oksigen di udara adalah 0,21, dan pada
tekanan atmosfer normal, tekanan parsial oksigen adalah 21 kPa. Pada tekanan sekitar 4
bar atau kedalaman 30 msw, konsentrasi fraksional oksigen masih 0,21 tetapi tekanan
parsialnya adalah 84 kPa.
Gas larut dalam cairan secara proporsional dengan tekanan parsialnya dalam fase
gas, yang berarti bahwa volume gas terlarut dalam darah dan jaringan meningkat sampai
kesetimbangan dengan fase gas tercapai. Cairan tersebut kemudian penuh dengan gas.
Selama fase kompresi dan dekompresi penyelaman, proses ini mengikuti fungsi
eksponensial tingkat pertama, dengan setiap jaringan memiliki karakteristik waktu yang
konstan.
Paparan terhadap faktor-faktor yang terkait dengan campuran gas dan tekanan,
seperti hiperoksia, tekanan dekompresi, dan kepadatan gas, diketahui memiliki efek akut
pada fungsi paru yang dapat membatasi kapasitas ventilasi dan toleransi latihan. Efek dari
hiperoksia dan tekanan dekompresi bahkan mungkin beracun atau berbahaya,
menghasilkan reaksi peradangan akut dan penyakit, dan mungkin efek residual jangka
panjang. Faktor-faktor lain yang terkait dengan peralatan yang digunakan dan lingkungan
di mana penyelaman berlangsung dapat memberlakukan batasan fisiologis tambahan dari
kinerja penyelam.

Hiperoksia
Efek toksik oksigen pada paru-paru telah diketahui dengan baik dan hubungan
dosis-respons dan batas toleransi paru telah ditentukan sejauh menyangkut perubahan
dalam kapasitas vital (vital capacity/VC) [2]. Di atas ambang 50 kPa, terdapat penurunan
VC yang tergantung pada tekanan oksigen dan waktu pemaparan. Ambang batas
asimptotik ditemukan agak lebih rendah dari 50 kPa [3], dan ambang batas untuk
perubahan variabel fungsi paru selain VC pasti lebih rendah. Setelah beberapa
penyelaman saturasi di mana tekanan parsial oksigen berada pada atau lebih rendah dari
50 kPa untuk periode hingga 4 minggu [4,5] dan setelah paparan tidak ada perubahan
dalam VC yang ditunjukan atau diprediksikan, telah terjadi pengurangan transfer factor
untuk karbon monoksida (TICO) dan laju aliran ekspirasi maksimal pada volume paru-
paru yang rendah serta peningkatan kemiringan fase III dari tes pencucian nitrogen napas
tunggal[6].
Efek toksik dari oksigen dimediasi oleh oksigen reaktif, dan menginduksi
perubahan inflamasi pada parenkim paru [7]. Pertama, proses ini menimbulkan gejala
batuk non-produktif dan sensasi terbakar retrosternal sebelum terjadi reduksi VC.
Pemulihan reduksi VC sebesar 20% -30% biasanya selesai dalam 1 atau 2 minggu.
Efek toksik dari oksigen harus diperhitungkan dalam prosedur perawatan menyelam
dan hiperbarik yang praktis. Dosis toksik paru unit (the unit pulmonary toxic dose/UPTD)
adalah efek toksik yang setara dengan paparan oksigen pada 101 kPa selama 1 menit [2].
Untuk reduksi VC yang terjadi, ada hubungan hiperbolik antara waktu paparan dan
tekanan parsial oksigen. Dosis 615 UPTD menghasilkan rata-rata 2% penurunan VC, dan
dosis 1425 UPTD menghasilkan penurunan 10%. Untuk kegiatan penyelaman
operasional, penurunan 2% pada VC umumnya dianggap dapat diterima, dan untuk terapi
kompresi dan hiperbarik oksigen untuk DCI dan emboli gas arteri (arterial gas
embolism/AGE), penurunan 10% atau bahkan lebih besar pada VC dapat diterima.

Stress dekompresi dan mikroemboli gas vena


Pada fase dekompresi, darah dan jaringan penuh dengan gas inert dari atmosfer. Ini
memberikan gradien tekanan untuk difusi gas keluar dari fluida, tetapi fluida tak jenuh
secara inheren tidak stabil dan ada risiko gas bebas berevolusi dalam gelembung gas.
Gelembung gas dapat terbentuk secara interstisial dalam jaringan atau, mungkin lebih
sering, intravaskular dalam darah vena. Karena pembongkaran gas inert di paru-paru
selama fase dekompresi, gelembung tidak terbentuk dan tumbuh dalam sirkulasi arteri.
Namun, gelembung dapat memperoleh akses ke sirkulasi arteri jika gelembung vena
melewati pulmonary capillary bed. Pirau kanan-ke-kiri ini dapat terjadi sebagai pirau
intrakardiak atau sebagai malformasi arteriovenosa intrapulmoner dan dapat berkontribusi
pada AGE (dibahas di bagian lain artikel ini).
Dengan infus terkontrol gelembung gas dalam sirkulasi vena pada domba, ada
peningkatan segera dalam tekanan arteri paru dan gangguan fungsi pertukaran gas yang
konsisten dengan efek mekanis dari mikroembolisasi [8]. Beberapa jam kemudian, ada
peningkatan transpor cairan melintasi kapiler, dengan peningkatan kandungan protein
dalam cairan limfatik yang mengindikasikan kerusakan pada endotel kapiler [9]. Proses
inflamasi yang dimediasi oleh leukosit teraktivasi berkontribusi terhadap kerusakan
endotel ini [10]. Peningkatan besar dalam tekanan arteri pulmonal, yang dapat merupakan
hasil dari sejumlah besar microemboli gas vena (VGM), dapat menyebabkan limpahan
gelembung gas ke vena paru [11].
VGM sering terdeteksi oleh pemantauan ultrasonografi Doppler. VGM biasanya
diamati dengan prosedur dekompresi yang diterima secara umum tetapi tidak selalu
menyebabkan DCS klinis.
Segera setelah air bounce dive [12,13] dan penyelaman saturasi di mana VGM
terbukti selama dan setelah fase dekompresi, menunjukan bahwa penurunan TlCO dan
pengambilan oksigen maksimal berkorelasi dengan beban kumulatif VGM.

Kepadatan Gas dan Beban Mekanis Pernapasan


Untuk campuran gas tertentu, kepadatannya meningkat secara proporsional dengan
tekanan. Resistensi saluran napas sebanding dengan kepadatan dan karakteristik aliran
turbulen, dan laju aliran ekspirasi maksimal berbanding terbalik dengan kuadrat
kepadatan gas root, yang telah terbukti secara eksperimental untuk maximum voluntary
volume dan forced expiratory volume in 1 second (FEV1) juga. Ketika menghirup udara
pada tekanan 4 bar, sesuai dengan kedalaman 30 msw, kepadatan gas adalah empat kali
normal dan maximum voluntary volume (MVV) dan FEV1 dikurangi dengan 50% dari
normal. Kapasitas ventilasi kemudian membatasi kinerja latihan. Karena peningkatan
tekanan parsial oksigen dalam gas pernapasan dan beberapa retensi karbon dioksida,
bagaimanapun, penyerapan oksigen puncak yang ditoleransi tidak berkurang secara
signifikan pada subjek yang sehat.

Untuk mengurangi resistensi internal campuran gas pernapasan, helium biasanya


digunakan sebagai pengganti udara saat penyelaman yang lebih dalam dari 50 - 60 msw
saat teknik penyelaman saturasi lebih disukai. Bahkan hidrogen telah digunakan secara
eksperimental tetapi dikaitkan dengan masalah karena efek narkotika dan bahaya
kebakaran.

Transportasi gas di alveoli dilakukan dengan difusi. Campuran helium dan oksigen
yang dihirup dalam percobaan penyelaman saturasi yang dalam untuk tekanan yang
sesuai dengan kedalaman 500 - 700 msw memiliki konsentrasi fraksional oksigen kurang
dari 2%, dengan sisanya menjadi helium dan, kadang-kadang, beberapa nitrogen.
Kepadatan bisa setinggi 8-10 kali lipat dari udara pada tekanan atmosfer. Ada beberapa
keterbatasan difusi alveolar-kapiler oksigen dalam fraction of inspired oxygen (FIO2)
memberikan kontribusi untuk pembatasan pertukaran gas paru pada penyelaman
dalam.[15] Namun, pada kedalaman yang dapat diakses dengan teknik menyelam saat ini,
efek ini kecil dan diperkirakan dapat menekan tekanan oksigen alveolar hanya dengan
beberapa kilo pascal saja.
Resistensi terhadap pernapasan selanjutnya meningkat oleh alat bantu pernapasan
eksternal dan efek pemuatan statis paru-paru disebabkan oleh perendaman. Kombinasi
dari peningkatan resistensi pernapasan internal dan eksternal dan pemuatan statis paru-
paru dapat memicu terjadinya edema paru-paru berhubungan dengan menyelam dan
berenang, terutama di lingkungan yang dingin dan dengan intensitas latihan yang
tinggi.[16,17]

Panas Pernapasan dan Kehilangan Air

Gas inhalasi dipanaskan dan dilembabkan selama perjalanan melalui saluran udara.
Energi yang diperlukan untuk memanaskan gas tergantung pada karakteristik fisik
campuran gas, termasuk suhu, kepadatan, dan panas spesifik serta kebutuhan fisiologis
untuk ventilasi. Sebagian energi yang digunakan untuk memanaskan gas yang diperoleh
kembali pada saluran udara bagian atas selama pernafasan. Suhu rata-rata gas yang
dihembuskan biasanya lebih rendah dari suhu tubuh tetapi lebih tinggi dari suhu sekitar.
Energi yang dibutuhkan untuk melembabkan gas diasumsikan tidak tergantung pada
tekanan, tetapi campuran gas yang kering digunakan untuk penyelaman sehingga
mencegah lapisan es di jalur pasokan gas. Kapasitas panas spesifik untuk helium lima kali
lebih besar daripada untuk nitrogen, 5,19 dan 1,04 J/g-1 /K-1, tetapi kerapatan hanya 0,18
g/L-1 untuk helium dan 1,25 g/L-1 untuk nitrogen. Oleh karena itu, kehilangan panas
pernapasan saat menyelam dengan udara tetap lebih tinggi dibandingkan dengan
menyelam dengan campuran helium-oksigen, karena itu adalah produk padat dan
kapasitas panas spesifik yang menentukan kehilangan panas. Kehilangan panas
pernapasan saat menyelam selalu lebih besar daripada tekanan atmosfer normal apapun
campuran gasnya, dan kehilangan panas serta hilangnya air untuk pelembapan gas dapat
memicu respons bronkomotor.[18,20]

Masalah termal yang terkait dengan teknik penyelaman saturasi dengan campuran
helium dan gas oksigen terutama disebabkan oleh peningkatan kehilangan panas di
permukaan kulit dalam lingkungan oksigen helium kering, yang merupakan fungsi dari
konduktansi panas daripada kapasitas panas. Konduktansi panas untuk helium adalah 1,51
W/m-1/K-1, dan untuk nitrogen, itu adalah 0,26 W/m-1/K-1. Kisaran suhu yang nyaman di
lingkungan ini biasanya 27oC - 29oC dibandingkan dengan 20oC - 22oC di udara pada
tekanan atmosfer.
Efek Pernapasan dari Penyelaman Tunggal

Segera setelah menyelam, perubahan dalam fungsi paru dapat ditunjukkan yang
merupakan efek gabungan dari semua faktor paparan spesifik yang terkait dengan
penyelaman. Setelah melakukan penyelaman saturasi ke kedalaman 300 m atau lebih,
pengurangan TICO sebesar 10%-15% dan pengurangan penyerapan oksigen maksimal
telah secara konsisten ditunjukkan dalam beberapa penelitian.[21,23] Paparan terhadap
hiperoksia dan VGM telah terbukti berkontribusi terhadap efek ini.[4,5,12,13] Namun,
pengurangan VC akibat keracunan oksigen belum terbukti. Sebaliknya, sedikit
peningkatan VC terlihat setelah beberapa kali penyelaman. Hal ini dapat disebabkan oleh
efek berlawanan dari hiperoksia dan latihan otot pernapasan yang disebabkan oleh efek
peningkatan kepadatan gas. Waktu pemulihan untuk perubahan TICO adalah 4 - 6 minggu.

Setelah melakukan short air bounce dives, pengurangan kecil dalam TICO dan VC
serta penurunan konduktansi jalan nafas juga telah ditunjukkan, [24,25] tetapi waktu
pemulihan setelah penyelaman ini dalam durasi singkat (yaitu, jam) dibandingkan dengan
beberapa hari pada penyelaman saturasi jauh lebih pendek, hanya 1-2 hari. Dalam
penyelaman ini, efek perendaman dan pemuatan statis paru-paru serta efek panas
pernapasan dan kehilangan air diyakini berkontribusi signifikan terhadap perubahan
fungsi paru-paru.

Masalah Klinis
Masalah klinis penting yang dihadapi dalam pengobatan selam tercantum dalam
kotak 1, dan dijelaskan dan dibahas disini.
Kotak 1. Masalah klinis mayor yang berhubungan dengan selam
A. Barotrauma pulmoner
Pneumothorax
Enfisema interstisial
Pneumomediastinum
Pneumoperitoneum
B. DCI
AGE
DCS
1. Kutaneus
2. Musculoskeletal
3. Audiovestibuler
4. Penyakit respiratori
5. Emboli gas vena
6. Emboli gas paradoksik
C. Edema pulmoner
Barotrauma Paru
Meskipun paru-paru bisa bertahan dalam tekanan ambien absolut yang tinggi yang
tidak membahayakan, pajanan terhadap perubahan tekanan yang tiba-tiba bisa sangat
parah mempengaruhi paru-paru dan bahkan pada perbedaan tekanan yang kecil sekalipun.
Istilah barotrauma paru (PBT) mengacu pada cedera paru-paru yang disebabkan oleh
perubahan tekanan intrapulmoner relatif terhadap tekanan sekitar. Astronot, penerbang,
pekerja udara terkompresi dan penyelam secara inheren terkena perubahan tekann ambien
yang cepat dan karenanya berisiko mengalami PBT. Tulisan ini berfokus pada PBT
terkait selam, yaitu dikhawatirkan komplikasi penyelaman gas terkompresi dan secara
konsisten menempati urutan kedua diantara semua penyebab kematian saat menyelam.

Definisi dan Mekanisme


PBT terkait selam dapat terjadi selama penurunan dari nafas penyelam ketika
volume gas intratoraks residual dan tekanan intratoraks menjadi relatif negatif terhadap
tekanan hidrostatik. Komplikasi ini, juga dikenal sebagai paru-paru yang terperas, namun
jarang disebutkan. PBT selama penyelaman naik, didefenisikan sebagai pecahnya paru-
paru yang terjadi selama dekompresi. Ketika tekanan ambien menurun. Menurut hukum
Boyle, volume suatu gas tertutup mengembang dengan penurunan tekanan.
Pengembangan gas intrapulmoner selama penyelaman naik harus dihembuskan dengan
benar. Jika tingkat penurunan tekanan selama penyelaman ini melebihi tingkat dimana
gas yang mengembang dapat keluar melalui saluran pernapasan, distensi berlebihan pada
alveolus dan bronkus dapat menyebabkan ruptur paru. Penutupan saluran pernapasan
bagian atas oleh, misalnya, menahan napas, obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
perubahan patologis paru, atau keduanya, dapat memicu patofisiologi ini. Anjing yang
tidak terlindungi, dengan trakea yang tertutup sering mengalami dekompresi dari tekanan
ambien 306,3 atau 612,6 kPa, setara dengan kedalaman sekitar 31-62 msw, PBT terjadi
ketika tekanan intratrakeal mencapat tingkat kritis sekitar 10,7 (80 mmHg). Hal ini dapat
dicegah dengan mengaplikasikan pengikat thorakoabdominal, meskipun terjadi
peningkatan tekanan intratrakeal hingga 24 kPa (80 mmHg). Sedangkan, eksperimen
dengan mayat manusia atau kadaver menunjukkan bahwa barotrauma paru terjadi pada
tekanan intrapulmoner sekitar 9,7-10,7 kPa (73-80 mmHg). Pengikatan pada dada dan
perut membutuhkan tekanan yang lebih tinggi dari 17,7- 25,3 kPa (133-190 mmHg).
Setelah diamati lebih lanjut terjadi ruptur pleura viseral ketika terjadi adhesi pleura basal.
Dengan demikian, tekanan transpulmoner (yaitu, perbedaan antara tekanan intratrakeal
dan tekanan intrapleural) merupakan faktor yang penting dalam terjadinya PBT
dibandingkan tingkat absolut pada tekanan intratrakeal.
Terjebaknya udara intrapulmoner saat penyelaman naik dapat terjadi pada area paru
tertentu. Distensi berlebihan yang terlokalisasi pada paru mengakibatkan meningkatnya
tekanan lokal transpulmoner diikuti dengan rupturnya dinding alveolar. Setelah terjadi
ruptur, gas tersedot masuk ke jaringan melalui proses pernapasan dan menyebabkan
pneumomediastinum dengan emfisema pada leher. Alternatif lain yang dapat dilakukan
adalah diseksi dari perifer paru, melalui pleura hingga masuk dalam ruang pleura.
Mekanisme tersebut didukung oleh pengamatan pada studi hewan eksperimental yang
menunjukkan bahwa setelah dilakukan diseksi gas terperangkap dalam mediastinum dan
menyebabkan pneumotoraks. Selain itu, gas ekstra alveolar dapat melewati diafragma
melalui esofagus ke rongga peritoneal dan menyebabkan pneumoperitoneum. Gas juga
dapat berdistribusi sepanjang selubung perivaskuler dari arteri pulmoner dan masuk serta
bergerak ke arah hilus dan masuk ke vena paru yang berdinding lebih tipis. Akibatnya,
gas dengan cepat memasuki sirkulasi sistemik dan menyebabkan emboli udara (AGE),
suatu kondisi klinis dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Gradien tekanan
antara udara yang masuk dengan atrium kiri yang lebih dari 8kPa (60 mmHg) diketahui
memungkinkan pemindahan gas ke dalam vaskuler. Jika gas masuk kedalam sisi kiri
jantung melalui vena pulmoner, gas tersebut dapat terdistribusi ke hampir seluruh organ
dan dapat menyebabkan oklusi emboli arteri.

Tabel 1. Studi sistematis yang melaporkan bukti klinis dan radiologis dari barotrauma paru dalam
serangkaian kasus penyelam / peserta pelatihan melarikan diri dari kapal selam yang menderita PBT dengan
atau tanpa emboli gas arteri

Posisi kepala selama menyelam naik sehubungan dengan batang tubuh, daya apung
gelembung gas, dan dinamika aliran darah mendukung distribusi gelembung gas ke otak.
Karena toleransi hipoksia pada sistem saraf pusat yang sangat singkat, cedera kritis dapat
terjadi tergantung pada kuantitas absolut gas dan area yang terkena. Gelembung gas kecil
dapat dengan cepat diserap dan hanya mengganggu aliran darah sebentar. Gelembung gas
yang lebih besar dapat menyebabkan kerusakan parah oleh cedera sel iskemik dan
gangguan barier darah otak. Perubahan patologis segera ditandai dengan peningkatan
tekanan cairan serebrospinal, hipertensi sistemik, penghentian aktivitas neuron, dan
perubahan permeabilitas pembuluh darah. Respons seluler dan humoral yang disebabkan
oleh efek gas dalam darah serta pertemuan gas-endotel berkontribusi terhadap peradangan
yang menetap bahkan setelah gas diserap.
Berbeda dengan PBT yang diinduksi oleh ventilasi mekanis, AGE adalah sekuel
paling sering dari PBT yang terkait dengan penyelaman (Tabel 1). Arah dan jumlah
tekanan transpulmonar yang dihasilkan oleh dekompresi cepat selama menyelam dapat
menjelaskan perbedaan ini. Seringkali, AGE dikombinasikan dengan
pneumomediastinum (Gambar 1), dan kasus PBT yang parah telah dilaporkan di mana
gas beredar di pembuluh darah menyebabkan AGE masuk ke dalam ruang pleura dan
mediastinum. Pada kasus PBT yang fatal, kematian dapat terjadi akibat penyumbatan di
jantung (pneumocardium) dan sirkulasi sentral setelah AGE masif. Namun, perubahan
patofisiologis terperinci yang menyebabkan kematian pada manusia, belum sepenuhnya
dipahami.
PBT juga dapat terjadi dengan penggunaan gas pernapasan selain udara. Ada dua
laporan kasus PBT dengan dan tanpa AGE pada penyelam yang menggunakan alat selam
rebreathing oksigen sirkuit tertutup. Hebatnya, fraksi oksigen yang sangat tinggi mungkin
telah mempercepat resorpsi gas ekstra-alveolar dalam kasus-kasus ini, di mana gejalanya
dilaporkan telah hilang dengan cepat. Karena sering adanya kesalahpahaman umum
bahwa kecelakaan menyelam tidak terjadi di air dangkal, maka perlu ditekankan bahwa
risiko untuk PBT paling besar adalah di bawah permukaan, karena tekanan sekitar dua
kali lipat antara 0 dan 10 msw dan perubahan relatif dalam volume maksimal ada pada
rentang kedalaman itu. Dengan demikian, kasus AGE parah dilaporkan terjadi selama
penyelaman air dangkal kurang dari 5 msw dan bahkan selama berenang.
PBT terkait dekompresi tidak terbatas pada scuba diving saja. Ini dapat terjadi
selama pendakian pesawat komersial ketika tekanan kabin penumpang berkurang sekitar
26,7 kPa (200 mm Hg) atau selama pelatihan ruang hipobarik yang dilakukan untuk
anggota awak udara militer di seluruh dunia. AGE serebral setelah PBT telah dilaporkan
pada anggota awak pemeliharaan darat setelah tes tekanan kabin hingga sekitar 55 kPa
(413 mm Hg). Beberapa kasus telah terjadi selama terapi oksigen hiperbarik di ruang
hiperbarik. Semua paparan ini memiliki kesamaan fakta bahwa perubahan tekanan selama
pendakian adalah besarnya kecil dan terjadi lebih lambat jika dibandingkan dengan
kenaikan scuba diving. Dengan demikian, PBT jarang terjadi dalam pekerjaan ini.
Hebatnya, temuan patologis paru yang sudah ada telah dijelaskan lebih sering dalam
kasus-kasus ini, mendukung konsep bahwa lesi paru yang menjebak udara meningkatkan
risiko PBT.

Gambar. 1. CT scan seorang penyelam scuba Angkatan Laut berusia 23 tahun yang mengalami nyeri dada
dan mual saat melakukan pelatihan pendakian gratis dari kedalaman 11 msw. Pemindaian diambil setelah
perawatan rekompresi pertama. Rontgen dada tidak biasa. MRI neurokranium mengungkapkan infark
serebelar besar.

Manifestasi klinis dari barotrauma paru


Manifestasi klinis PBT terkait menyelam sangat tergantung pada fitur dan lokalisasi
cedera. Gejala paru saja dapat hadir dalam kasus dengan pneumotoraks atau emfisema
mediastinum tanpa emboli gas bersamaan. Pneumomediastinum telah terdeteksi oleh
rontgen dada bahkan pada subjek tanpa gejala setelah kenaikan yang ringan. Suara serak
saja atau suara aneh dengan nyeri dada ringan harus mendorong dokter untuk
mempertimbangkan PBT dalam diagnosis banding setelah penyelaman scuba. Gejala paru
yang lebih menonjol dilaporkan dari serangkaian kasus yang lebih besar terdiri dari rasa
tidak nyaman di dada, nyeri atau sesak dada, dispnea atau apnea, dan hemoptosis. Di
antaranya, nyeri dada dan dispnea adalah yang paling sering dan menyumbang sekitar
masing-masing 25% dan 13% dari semua kasus gabungan PBT dan AGE.
Dalam kebanyakan kasus, bagaimanapun, gejala neurologis hadir sebagai
konsekuensi dari AGE (Tabel 2). Sebuah sindrom strokelike dengan gejala neurologis
unilateral telah dianggap khas untuk AGE terkait menyelam. Presentasi yang kurang khas
dengan gejala bilateral juga dapat dilihat; oleh karena itu, AGE tidak dikecualikan. Gejala
kognitif dan ketidaksadaran paling sering ditemukan, sedangkan kejang, defisit motorik
fokus, gangguan penglihatan, vertigo, dan perubahan sensorik juga sering terjadi (lihat
Tabel 2). Yang paling penting, gejala-gejala ini muncul pada atau segera setelah muncul
dalam 5 menit (> 90% dari kasus). Namun, waktu untuk timbulnya gejala dapat memakan
waktu lebih dari 10 menit, dan ada laporan kasus dengan onset tertunda setelah jam
hingga beberapa hari. Gejala umumnya berkembang dengan cepat ketika tidak diobati,
tetapi pemulihan spontan dapat terjadi dan telah dilaporkan bahkan setelah resusitasi
setelah apnea awal dan denyut nadi. Sejumlah kecil, tetapi penting (sekitar 4%) pasien
datang secara fatal dengan ketidaksadaran langsung dan henti jantung paru. Radiografi
postmortem pada AGE fatal mengungkapkan gas besar di ruang jantung dan pembuluh
toraks besar dalam kasus ini. Namun, beberapa kematian mungkin disebabkan oleh
tenggelam setelah hilangnya kesadaran di bawah air; dengan demikian, kejadian PBT dan
/ atau AGE yang sebenarnya dapat diremehkan.

Tabel 2. Gejala yang paling sering adalah emboli gas arteri dan barotrauma paru
Gejala Range (%)
Ketidaksadaran 17- 81
Parestesi dan / atau kelumpuhan 23- 77
Pusing 10–43
Mual dan / atau vertigo 9–39
Gangguan visual 13-26
Kejang 0–31
Sakit kepala 0– 26

Faktor risiko terjadinya barotrauma paru


Statistik insiden menunjukkan bahwa teknik penyelaman naik (yaitu prosedur
dekompresi yang dihadapkan pada tubuh) adalah faktor risiko utama. Pada kedalaman,
penyelam menghirup gas dari peralatan scuba pada volume paru normal. Ketika menuju
ke permukaan dari kedalaman selama penyelaman naik bebas (yaitu, tanpa bernapas dari
peralatan scuba), gas yang mengembang harus dihembuskan terus-menerus. Dengan
demikian, teknik-teknik penyelaman tertentu, seperti pelatihan darurat kehabisan udara,
bernapas dari tabung teman selama penyelaman naik, atau penyelaman naik darurat
selama pelatihan penyelamatan bawah laut, menimbulkan risiko yang meningkat secara
signifikan bagi subjek. Sejalan dengan itu, insiden yang dilaporkan per jumlah
penyelaman adalah 0,04% - 0,06% untuk pelatihan penyelaman naik apung dan 0,005%
untuk penyelaman scuba militer.
Di antara faktor-faktor individu yang berkontribusi terhadap risiko barotrauma paru,
kondisi-kondisi yang menjadi predisposisi terperangkapnya udara intrapulmoner
memainkan peran utama. Sebuah studi otopsi pada 13 kematian akibat selam
mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus dengan pneumotoraks yang fatal terjadi
selama proses penyelaman naik dari kedalaman antara 10 dan 40 msw, tempat terjadinya
ruptur berkaitan dengan adhesi pleura dan bula paru-paru. Namun, adhesi semacam itu
juga terdapat pada 26% paru yang diselidiki yang bukan barotrauma paru. Struktur
intrapulmoner yang berventilasi buruk, seperti bula paru-paru atau kista udara, dapat
menghalangi gas yang mengembang agar tidak dihembuskan dengan benar atau hanya
menjadi locus minor resistentiae. Karenanya, mekanisme “buka-tutup” telah dijelaskan
dari lesi emfisematosa yang dapat mendukung terperangkapnya udara selama ekspirasi.
Terdapat laporan kasus barotrauma paru dimana gambaran foto polos menunjukkan bukti
kista paru dengan ukuran besar yang sudah ada sebelumnya yang dianggap terkait dengan
cedera. Memang, dalam satu laporan kasus emboli udara yang fatal ditemukan dalam
proses penurunan penerbangan komersial, pecahnya kista udara intrapulmoner besar yang
sudah ada sebelumnya dikonfirmasi oleh otopsi. Studi yang lebih baru menggunakan CT-
scan dada telah sering mendeteksi bula dan kista yang tidak terbaca oleh radiografi dada
dan dengan demikian mendukung hipotesis bahwa dalam kasus-kasus barotrauma paru
terkait menyelam dengan radiografi foto polos dada tidak ditemukan adanya kelainan, lesi
paru halus yang ada mungkin masih berpotensi terlibat dalam cedera (Gbr. 2). Beberapa
keraguan tetap ada mengenai apakah bula ini terdeteksi oleh radiologi post-injury apakah
memang sudah ada sebelumnya. Kegigihan dalam follow-up jangka panjang dapat
mendukung asumsi ini.
Gambar 2. (A) Rontgen dada penyelam olahraga scuba berusia 38 tahun yang mengeluhkan kelumpuhan
kaki tiba-tiba dan sesak pada dada sisi kanan setelah penyelaman 25 m tanpa gangguan dengan 20 menit
waktu di bawah di Laut Merah. Radiografi diambil setelah perawatan awal untuk penyakit dekompresi dan
repatriasi. CT scan dada dari penyelam yang sama menunjukkan bula paru bilateral di lobus kanan atas (B)
dan di lobus kiri bawah (C). (Atas perkenan Armin Kemmer, MD, Murnau, Jerman.)

Sebuah analisis dari database Royal Navy Institute of Naval Medicine


mengungkapkan serangkaian 140 kasus barotrauma paru dengan dan tanpa AGE, dimana
8% adalah insiden berulang. Dalam kasus ini serta dalam kasus lain yang dilaporkan,
tidak ada temuan predisposisi yang dapat diidentifikasi. Namun, CT-scan dada hanya
tersedia dalam kasus terakhir. Diketahui ada penyelam wanita berusia 26 tahun yang
meminta konsultasi setelah menderita dua kali gejala neurologis unilateral dan mual
setelah naik secara darurat dari penyelaman scuba air terbuka dalam waktu 2 tahun.
Hanya setelah kejadian kedua CT dada dilakukan, yang mengungkapkan bula subpleural
di lobus kanan bawah.

Beberapa penelitian menyelidiki gagasan bahwa barotrauma paru mungkin dapat


diprediksi melalui pengujian fungsi paru. Dalam studi terkontrol dari 14 penyelam yang
menderita barotrauma paru yang dididagnosis secara klinis atau dengan radiografi dada,
konduktansi paru dan tekanan pengisian statis diukur pada rata-rata 0,8 tahun setelah
cedera, ditemukan bahwa indeks dari distensibilitas paru menurun secara signifikan pada
kelompok dengan barotrauma paru dibandingkan dengan 10 penyelam sehat dan 34
penyelam terkontrol. Para penulis berpendapat bahwa tekanan dalam jaringan alveolar
peribronkial akan diperbesar mendekati kapasitas paru total jika bronkus relatif lebih
kaku. Keterbatasan penelitian tersebut adalah ditemukannya perbedaan yang signifikan
dalam indeks distensibilitas paru antara penyelam kontrol dan penyelam sehat yang tidak
merokok dalam pengukuran yang mencakup rentang waktu lebih dari 10 tahun. Dalam
tinjauan retrospektif dari serangkaian besar insiden penyelaman naik selam yang terjadi di
Royal Navy selama periode 22 tahun, hanya ada enam kasus di mana ada bukti radiologis
atau klinis gas ekstra-alveolar dan empat kasus tambahan yang dianggap terkait dengan
barotrauma paru karena alasan lain. Residu terstandarisasi dihitung untuk FEV1 dan
kapasitas vital paksa (FVC) serta terrhadap hasil bagi FEV1/FVC. Para penulis
menemukan hubungan yang signifikan antara nilai-nilai FVC dan FEV1 di bawah yang
diprediksi dan barotrauma paru (masing-masing P <0,01 dan P <0,05) tetapi tidak untuk
FEV1 / FVC. Yang mengejutkan, penelitian ini mengungkapkan beberapa korelasi antara
indeks paru restriktif dan risiko barotrauma paru daripada indeks obstruksi. Dengan
demikian, individu dengan paru-paru kecil dan kaku mungkin berisiko lebih tinggi
mengalami barotrauma paru. Dalam studi retrospektif lain dari 15 penyelam scuba yang
secara berturut-turut menderita barotrauma paru dengan atau tanpa AGE, bagaimanapun,
aliran ekspirasi pada volume paru-paru ditemukan kurang dari yang diperkirakan dan
secara signifikan lebih kecil dari nilai-nilai kelompok kontrol penyelam yang telah
mengalami cedera penyelaman selain barotrauma paru. Dengan demikian, keterbatasan
aliran udara perifer mungkin mengindikasikan penyakit paru obstruktif pada beberapa
kasus ini. Masalah dengan studi terakhir ini adalah bahwa perbedaan dari populasi kontrol
agak kecil (yaitu, dalam dua kali standar deviasi); sebenarnya, ada sejumlah besar subjek
yang menyelam dengan aman dengan indeks spirometrik dalam kisaran itu.
Kesimpulannya, belum ada data meyakinkan yang menunjukkan fungsi paru sebagai
prediktif untuk mendeteksi penyelam yang berisiko mengalami barotrauma paru, sebagian
besar karena sampel kecil yang diselidiki.
Penyakit Dekompresi

Gambaran umum patofisiologi


Cedera parah akibat scuba diving sebagian besar disebabkan oleh patofisiologi
terkait dekompresi. Istilah ‘‘Penyakit Dekompresi” telah diperkenalkan mencakup jenis
penyakit yang berbeda yang mungkin diakibatkan oleh kerusakan jaringan oleh kelebihan
gas di dalam tubuh selama dan setelah dekompresi [87]. Termasuk dalam definisi yang
lebih luas dari penyakit dekompresi/ decompression ilness (DCI) adalah arterial gas
embolism (AGE), yang terjadi sebagai konsekuensi dari pulmonary barotrauma (PBT),
dan decompression sickness (DCS), gangguan sistem multiorgan yang dihasilkan dari
pembentukan gelembung nitrogen mikro-makroskopik ketika tekanan sekitar berkurang
pada permukaan.
Sebagaimana diuraikan dalam bagian dari paparan selam, jaringan tubuh menjadi
jenuh pada kedalaman oleh molekul gas nitrogen sebagai suatu fungsi waktu, tekanan
parsial gas dalam pernapasan, dan konstanta tergantung pada jenis jaringan [88]. Pada
saat naik dari penyelaman scuba, jumlah dari tekanan gas jaringan dan tekanan uap
mungkin melebihi tekanan sekitar (jaringan tubuh menjadi jenuh). Gas inert terlarut
dalam jaringan dan darah membentuk fase gas bebas untuk menyamakan tekanan. Teori
saat ini mendukung hipotesis bahwa gelembung didominasi oleh inti gas kecil yang sudah
ada sebelumnya yang biasanya terkandung dalam jaringan tubuh. Pembentukan
gelembung spontan dapat berkontribusi pada proses ini. Setelah nukleasi, gelembung gas
dapat terjadi difusi dan perfusi jaringan. Perbedaan tekanan antara tekanan parsial gas
inert terhadap gas alveolar mengakibatkan gas inert berpindah dari jaringan. Kelebihan
gas inert secara fisiologis akan mencapai paru-paru dengan aliran balik vena, di mana ia
terperangkap dalam mikrovaskulatur paru-paru dan dikeluarkan oleh difusi ke dalam
ruang alveolar [89].
Dengan diperkenalkannya metodologi ultrasonografi Doppler, gelembung gas
intravaskular dapat diamati pada dekompresi. Paparan hiperbaria bahkan ringan dari 138
kPa tekanan ambien (3,8 msw) selama 48 jam mampu mendeteksi emboli gas vena
beberapa jam setelah pendakian langsung dalam 20% dari subyek tanpa gejala, dan
gelembung bahkan dapat dideteksi setelah 12 jam pada subjek yang naik dari 4,8 msw
[90]. Gelembung gas intravaskular sering muncul tanpa adanya gejala setelah penyelaman
scuba [90-93]. Gelembung ini dapat menimbulkan respons pernapasan akut, seperti
penurunan TlCO [12,13]. Dalam hewan coba, gelembung udara intravaskular telah terbukti
memberikan efek patofisiologis yang beragam. Perubahan hemodinamik setelah emboli
gas vena terdiri dari peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan resistensi vaskular paru
serta penurunan tekanan oksigen arteri [94-96]. Perubahan humoral dan seluler secara
umum menyangkut aktivasi sistem komplemen dan leukosit [97,98]. Efek-efek ini
menginduksi agen-agen proinflamasi yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan
kebocoran endotel vaskular [9,99]. Besarnya perubahan ini tergantung pada jumlah
emboli gas vena, dan jumlah gelembung kecil kemungkinan menghasilkan kelainan
hemodinamik atau cairan. Apakah yang disebut 'silent bubbles' yang menyebabkan efek
jangka panjang pada organisme belum diketahui. Selain itu, faktor-faktor yang
menentukan apakah pembentukan gelembung menjadi patologis masih harus dijelaskan.

Gambaran klinis penyakit dekompresi


Istilah 'penyakit dekompresi' berhubungan dengan gangguan sistem multiorgan
yang diakibatkan oleh pembentukan gelembung nitrogen mikro-makroskopik ketika
tekanan sekitar berkurang pada permukaan. Dengan demikian, keberadaan gelembung
patologis ini sendiri tidak dapat memprediksi manifestasi klinis dari DCS tetapi sangat
penting untuk diagnosis patologisnya.
Salah satu manifestasi klinis utama DCS yaitu pada gejala muskuloskeletal atau
kulit dan juga dikenal secara umum dengan istilah awam "the bends". Dasar patofisiologis
untuk manifestasi ini, telah diklasifikasikan sebagai DCS tipe I. Diketahui bahwa
selubung tendon atau kapsul sendi dapat teriritasi oleh gelembung gas yang terbentuk di
jaringan. Gelembung juga dapat berada di dalam sumsum tulang, menyebabkan
peningkatan tekanan intermedular, atau dapat ditransfer melalui darah ke bagian-bagian
tertentu. Hipotesis ini didukung oleh pengamatan bahwa nyeri tungkai, sendi, atau otot
segera responsif terhadap kompresi ulang pada kebanyakan kasus. Manifestasi kulit DCS
antara lain rasa gatal dan ruam. Pada hewan coba, diperlihatkan bahwa warna lesi yang
kasar kemungkinan disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah yang lebih dalam pada
dermis dan subkutis, dan inflamasi vaskular tampak pada mikroskop elektron [100].
DCS yang lebih parah telah diklasifikasikan sebagai tipe II yang ditandai oleh
manifestasi neurologis, audiovestibular, atau pernapasan. Saturasi dan eliminasi partikel
nitrogen tertentu dari jaringan saraf dan toleransi iskemik minimalnya mengarah kepada
perkembangan gejala neurologis dalam derajat DCS. Cedera neurologis diduga
disebabkan oleh efek trombogenetik dari gelembung gas vena di pleksus vena epidural
yang mengelilingi medula spinalis, menyebabkan stasis vena dan iskemia medula spinalis
di regio toraks. Terdapat bukti adanya pembentukan in situ dari 'gelembung
autochthonous' di dalam jaringan sumsum tulang belakang karena kelarutannya yang
tinggi untuk gas inert [101.102]. Namun, baru-baru ini, ditunjukkan pada kambing yang
didekompresi bahwa gelembung autochthonous muncul sebagai suatu objek atau temuan
dan bahwa sifat lesi pada sumsum tulang belakang adalah infark atau nekrosis setelah
kejadian yang terjadi pada pembuluh lokal [103]. Pada babi yang menjalani paparan
hiperbarik hingga 612,6 kPa, setara dengan 50 msw, selama 24 menit, 67,2% hewan
mengalami DCS neurologis atau mati [104].
Pemeriksaan histopatologi mengungkapkan hubungan antara perdarahan dalam
bagian nukleus atau grey matter sumsum tulang belakang terhadap meningkatnya
keparahan penyakit [105]. Lesi otak didapatkan pada 23% babi, sedangkan lesi tali pusat,
serta sebagian toraks, didapatkan pada 63% babi dan pada 23% yang tidak terpengaruh
secara klinis. Menggunakan model hewan yang sama untuk DCS neurologis, penelitian
lain mengungkapkan tingginya tingkat sinyal ultrasonik Doppler mikroembolik pada
hewan yang mati dalam 1 jam setelah menyelam [106]. CT dada dilakukan 20 menit
setelah penyelaman menunjukkan sejumlah besar gas ektopik di sisi kanan jantung, yang
mungkin menyebabkan kematian oleh obstruksi aliran keluar mekanis pada beberapa
hewan ini (Gbr. 3). Sebagai kesimpulan, percobaan hewan ini mengkonfirmasi
pengamatan dari manusia bahwa ada rentang keparahan antarindividu pada DCS yang
berhubungan dengan stres dekompresi yang sama.

Gambar 3. Ct-scan pada babi yang menjalani paparan hiperbarik dengan 50 msw selama 24 menit
menunjukkan sejumlah besar gas ektopik di sisi kanan jantung.
DCS neurologis dapat mencakup keseluruhan tanda dan gejala tergantung pada
lokalisasi, jumlah gelembung, dan jenis jaringan yang terkena. Gejala sensorik, termasuk
mati rasa, kesemutan, parestesia, dan sensasi abnormal, jauh lebih umum daripada gejala
neurologis yang lebih parah [26]. Biasanya, gejala-gejala ini berkembang secara
progresif, dimulai dengan parestesia ringan, diikuti oleh mati rasa regional, kelemahan,
dan, kadang-kadang, paresis pada tungkai yang terkena. Gejala biasanya terjadi dalam
beberapa jam setelah dekompresi, tetapi dalam kasus yang parah, dapat muncul segera
[26]. Dengan demikian, diagnosis klinis DCS mungkin sulit ditegakan, dan gejala klinis
mungkin tumpang tindih dengan gejala-gejala AGE. Selanjutnya, kasus-kasus anatar DCS
dan AGE telah dilaporkan [107].
Risiko DCS dapat diabaikan pada kedalaman air dangkal 0-10 msw, karena pasokan
gas yang terbatas dari peralatan scuba mencegah tubuh dari penyerapan gas inert yang
signifikan. Melampaui kedalaman itu, bagaimanapun, risiko meningkat dengan tekanan
dan waktu yang dihabiskan pada tekanan itu. Waktu yang dibutuhkan untuk desaturasi
pada pendakian meningkat seiring dengan pendakian. Telah ditunjukkan pada manusia
setelah penyelaman scuba bahwa keberadaan gelembung intravaskular berkorelasi dengan
tingkat kenaikan [91]. Dalam model babi DCS, penggunaan profil pendakian nonlinear
dengan gabungan cepat / lambat dikaitkan dengan pengurangan 30% dari tingkat DCS
[108]. Komputer selam modern menggunakan algoritma yang mempertimbangkan
kinetika desaturasi jaringan yang berbeda dan menghitung interval permukaan yang harus
dijaga sebelum penyelaman berikutnya. Namun demikian, DCS dapat terjadi tanpa dapat
diprediksi bahkan ketika secara ketat mengikuti persyaratan dekompresi. Insiden 0,003%
dari DCS pada penyelaman scuba tanpa faktor risiko yang jelas telah dilaporkan [73].
Terdapat faktor lingkungan dan individu yang dapat menjadi risiko terjadinya DCS.
Suhu dan olahraga mempengaruhi perfusi jaringan dan dengan demikian dapat
mempengaruhi kemungkinan pembentukan gelembung. Analisis catatan kecelakaan dari
Royal Navy Institute of Naval Medicine mengungkapkan hubungan yang signifikan
antara paparan dingin dan terjadinya DCS [109]. Peningkatan pertukaran gas paru selama
latihan di kedalaman mungkin merugikan, karena jaringan menyeimbangkan lebih cepat
dengan peningkatan aliran darah. Baru-baru ini ditunjukkan pada subjek yang melakukan
latihan lengan atau kaki selama dekompresi yang dimulai pada 9 msw setelah 30 menit
menyelam pada 450 kPa bahwa ada gelembung gas vena yang secara signifikan lebih
kecil yang dapat dideteksi oleh USG Doppler dibandingkan dengan penyelam yang
menetap [110] . Selain itu, pada model hewan, olahraga sebelum menyelam terbukti
memiliki efek menguntungkan. Pada babi, pengkondisian latihan prediktif sekitar 20 sesi
pada treadmill mengurangi tingkat DCS sebesar 31% dibandingkan pada hewan kontrol
[111]. Data terbaru pada tikus menunjukkan bahwa hal tersebut bukanlah kapasitas
aerobik per se tetapi efek akut dari olahraga yang memberikan kontribusi terhadap
pengurangan risiko. Tikus yang melakukan pertarungan latihan tunggal yang berlangsung
selama 1,5 jam, dengan 20 jam istirahat sebelum menyelam, terlindung dari pembentukan
gelembung, seperti juga mereka yang telah berlatih secara teratur selama 2 minggu [112].
Efek tersebut baru-baru ini dikonfirmasi pada subjek manusia yang menjalani dua kali
penyelaman di dalam ruang eksperimen menjadi 280 kPa selama 80 menit dengan mode
cross-over sambil melakukan latihan interval tunggal 24 jam sebelum salah satu
penyelaman. Ada gelembung yang secara signifikan lebih sedikit dan penurunan tingkat
gelembung maksimum yang terdeteksi setelah penyelaman dengan latihan predive
dibandingkan dengan penyelaman tanpa latihan predive [113]. Alasan untuk efek
menguntungkan dari latihan prediktif tunggal dalam tingkat DCS terkait menyelam tetap
spekulatif. Sebuah teori yang menarik adalah bahwa populasi gas mikronukleus dapat
dihabiskan dengan berolahraga, sehingga mengurangi perubahan gelembung gas pada
nukleus [114].
Faktor individu juga berkontribusi terhadap risiko pembentukan gelembung dan
DCS. Studi pengamatan dari populasi selam mengungkapkan bahwa obesitas mungkin
berkontribusi terhadap terjadinya DCS [115]. Faktanya, investigasi USG Doppler pada
penyelam mengkonfirmasi hubungan yang signifikan antara tingkat gelembung postdive
yang terdeteksi dengan berat badan [116]. Selain itu, kebugaran fisik umum, seperti yang
ditunjukkan oleh pengambilan oksigen maksimal, tampaknya mencegah pembentukan
gelembung pada manusia [91]. Usia dan jenis kelamin secara historis dianggap sebagai
faktor risiko untuk DCS [117], tetapi data yang bertentangan dengan teori ini telah
ditunjukan baru-baru ini. Dalam sebuah studi lapangan yang memantau emboli gas vena
setelah penyelaman didapatkan, penyelam pria dan lebih tua memiliki insiden yang lebih
tinggi memiliki tingkat gelembung yang tinggi oleh Doppler ultrasound [118]. Namun
penyelam yang teliti memiliki usia rata-rata yang relatif tinggi, dan penyelam hanya
dipantau satu kali. Dalam sebuah studi kohort retrospektif dari instruktur selam di
Swedia, kejadian gejala DCS yang dilaporkan sendiri di antara penyelam muda berusia
18-24 tahun sama dengan di antara mereka yang berusia lebih dari 25 tahun [119]. Dalam
sebuah survei di antara penyelam rekreasi di Inggris, tingkat DCS yang dikonfirmasi
dokter adalah 0,026% pada wanita dibandingkan 0,016% pada pria, menunjukkan tingkat
DCS 1,67 kali lipat lebih besar pada wanita [120]. Namun, ketika menyesuaikan angka ini
dengan pengalaman menyelam, perbedaan jenis kelamin menjadi tidak signifikan.
Tingkat DCS keseluruhan pada penyelam pria dan wanita adalah 0,02%, yang berada
dalam kisaran yang dilaporkan dari sumber lain [26,73,119]. Statistik kecelakaan
menyelam baru-baru ini menunjukkan distribusi bell-shaped pada rentang usia yang
memuncak pada usia 38 tahun, dan distribusi jenis kelamin penyelam yang terluka
mencerminkan distribusi di antara total populasi penyelaman [26]. Oleh karena itu, usia
dan jenis kelamin sangat kecil kemungkinannya mempengaruhi risiko DCS terkait
menyelam.
Terdapat sekitar seperempat penyelam yang terluka menunjukkan bahwa mereka
telah terpapar ketinggian setelah menyelam [26], hal ini membenarkan konsep teoretis
bahwa dekompresi dari tekanan permukaan laut memperburuk pembentukan gelembung.
Sebuah studi kasus-kontrol menggunakan profil penyelaman rekreasi menemukan bahwa
peluang relatif DCS meningkat dengan penurunan interval permukaan preflight [121].
Pada kebanyakan penyelam yang mengalami gejala DCS selama atau setelah
penerbangan, interval permukaan preflight kurang dari 12 jam [26]. Mekanisme ini juga
berlaku bagi mereka yang mengekspos diri ke ketinggian saat berkendara melintasi
pegunungan setelah menyelam. Dengan demikian, untuk berada di sisi yang aman,
interval minimum 24 jam disarankan sebelum terbang ketika melakukan penyelaman
tidak membutuhkan penghentian dekompresi [122].

Penyakit dekompresi respiratori


Efek dari gelembung gas terhadap respiratori telah ditemukan pada berbagai spesies
hewan. Pada anjing yang mendapat anestesi yang didekompresi melalui paparan
hiperbarik selama 17 menit pada 90 msw, mengalami hipertensi paru, hipotensi sistemik,
hemokonsentrasi, dan hipoksia [123]. Selain itu, ditemukan penurunan pemenuhan paru
tetapi setelah diukur resistensinya tidak berubah. Terdapat temuan patologis edema paru
tanpa adanya peningkatan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri. Para penulis berpendapat
bahwa terjadi perubahan permeabilitas mikrovaskular akibat adanya gelembung emboli
vena yang terbentuk selama dekompresi. Pada anjing yang dianestesi ventilasi dilakukan
dengan menggunakan oksigen dan nitrogen (rasio 30% : 70%), menunjukkan bahwa
emboli gas vena dapat tetap berada dalam pembuluh darah paru sebagai gelembung
diskrit dan dapat bertahan hingga 43 ± 11 menit setelah infus udara dengan laju 0,25 mL /
kg-1 / menit -1 dan bahwa dosis udara yang dimasukkan berkorelasi dengan waktu tinggal
gelembung [124]. Pada domba, banyaknya kerusakan mikrovaskular paru dapat
dikendalikan melalui laju emboli gas vena dan kembali dalam 1-2 hari [99]. Pada sampel
domba lain dari percobaan DCS respiratori, diberi papaparan udara dengan tekanan 230
kPa selama 22 jam, diikuti oleh ketinggian simulasi pada 76 kPa (570 mm Hg) [125].
Dalam studi itu, hasilnya menunjukkan adanya korelasi antara temuan klinis dengan
perubahan patofisiologis. Peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-rata setelah deteksi
kadar gelembung prekordial yang tinggi berhubungan dengan timbulnya kegelisahan,
kesulitan bernafas, dan kolaps. Hasil radiologi menunjukkan adanya edema paru
interstitial pada lima hewan dan infiltrat yang tidak merata serta efusi pleura pada dua
hewan. Disimpulkan bahwa embolisasi kapiler paru yang masif memicu DCS respiratori.
Perubahan-perubahan ini disertai dengan adanya gangguan fungsi endotel [126.127] yang
dapat dicegah dengan pemberian antibodi pada faktor-faktor komplemen, seperti C5a
pada kelinci [128].
Saat menyelam DCS respiratori jarang terjadi, mungkin karena profil selam scuba
umumnya tidak memberikan tekanan dekompresi yang signifikan ke paru-paru untuk
menimbulkan manifestasi paru-paru. Gejala klinis ditandai dengan peningkatan frekuensi
pernapasan, batuk, sianosis, dan rasa tidak nyaman atau nyeri dada. Gejala ini juga
disebut “the chokes” Terdapat sebuah laporan kasus mengenai seorang wanita berusia 40
tahun yang sebelumnya sehat mengalami keluarnya dahak putih berbusa dan batuk segera
setelah dia melakukan penyelaman ketiga pada hari yang sama [129]. Hasil foto thorax
menunjukkan adanya konsolidasi udara pada lobus bawah bilateral, yang sepenuhnya
sembuh 5 jam setelah perawatan. Berbeda dengan menyelam, kejadian “the chokes” di
DCS daerah ketinggian dilaporkan mencapai 6% [130].

Emboli gas paradoksik


Embolis gas paradoksik dapat terjadi ketika gas yang telah memasuki sirkulasi vena
memperoleh akses ke arteri pada sirkulasi sistemik. Rute untuk aliran gelembung gas
vena transpulmonary termasuk kapiler paru dan pirau kanan-ke-kiri intra atau
ekstrapulmoner.
Dalam keadaan sehat paru-paru berfungsi sebagai filter yang sangat baik untuk
gelembung mikro. Kapasitasnya untuk menyaring gelembung gas secara efektif
tergantung pada ukuran, lokasi, dan jumlah gelembung yang terperangkap dalam sirkulasi
paru-paru dan mungkin dapat terganggu oleh pemberian vasodilator paru, seperti
aminofilin [131]. Pada anjing, ambang batas overload pembuluh darah paru dapat
ditentukan dengan laju infus 0,3 mL/kg -1/menit -1
[131]. Dosis infus yang lebih tinggi
dari 0,35 mL/kg-1/menit-1 menghasilkan gelembung arteri yang dapat dideteksi dengan
Doppler sonografi pada lebih dari 50% anjing. Peningkatan tekanan arteri pulmonalis
akan terjadi sebelum adanya peningkatan gelembung gas vena, dengan gradien tekanan
52 mmHg antara tekanan arteri pulmonalis dan tekanan atrium kiri [11]. Pada babi,
-1
pemecahan gelembung sudah terlihat dengan laju infus 0,1 mL/ kg / menit-1 dan
mengalami penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan arteri pulmonalis akan kembali
normal [132]. Waktu yang diperlukan untuk perubahan pada tekanan arteri pulmonalis
rata-rata setelah paparan dekompresi cepat sekitar 30 menit dengan 500 kPa berhubungan
dengan jumlah gelembung di arteri paru yang terbaca pada Doppler sonografi, dengan
besar gelembung yang bervariasi [133]. Kesimpulannya, stress dekompresi yang
signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko kelebihan gelembung gas vena masuk
ke arterial di sirkulasi, dan pada babi jumlah gelembung gas arteri sesuai dengan dengan
jumlah gelembung di vena [106.134].
Pirau kanan-ke-kiri ekstrapulmoner mewakili jalur lain untuk emboli gas paradoks.
Foramen ovale paten, sebagai pirau kanan-kiri yang paling umum, telah terbukti
berhubungan dengan DCI lainnya yang tidak dapat dijelaskan dalam penyelaman [135–
137]. Biasanya, fossa ovalis, menutup saat lahir karena adanya peningkatan tekanan
atrium kiri postnatal dan menutup dalam 2 tahun pertama kehidupan. Pada sekitar
sepertiga populasi, penutupan tidak terjadi, karena tekanan atrium kiri yang tinggi
memaksa katup interseptal berlawanan septum. Namun, pada penyelam, manuver Valsava
atau prosedur lain yang meningkatkan tekanan intraabdomen selama dan setelah
menyelam menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan secara bersamaan dan
akhirnya memungkinkan keluarnya gelembung gas melalui foramen ovale. Dengan
demikian, pirau gelembung vena dapat ditunjukkan oleh USG Doppler transkranial pada
penyelam dengan foramen ovale paten yang telah mengembangkan emboli gas vena
setelah dua percobaan penyelaman chamber [138]. Dalam sebuah studi lapangan terhadap
penyelam rekreasi setelah scuba diving, dengan menggunakan USG doopler transkranial
mendeteksi adanya mikroemboli arteri pada 6 dari 40 penyelam tanpa gejala yang juga
memiliki gelembung vena yang signifikan [93]. Sebaliknya, dalam studi lapangan lain
menggunakan ultrasonografi Doppler transkranial, tidak ada bukti AGE yang terdeteksi
setelah beberapa kali penyelaman pada penyelam komersial dengan foramen ovale paten
[139]. Para penulis menyimpulkan bahwa kepatuhan ketat terhadap prosedur dekompresi
mencegah penyelam dari pembentukan gelembung intravaskular yang signifikan. Studi
terakhir jelas terungkap bahwa itu bukan foramen ovale paten tetapi kehadiran gelembung
gas inert yang mendorong temuan patologis dari pirau kanan-ke-kiri dalam menyelam.
Konsep ini didukung oleh insidensi AGE secara keseluruhan oleh pirau kanan-ke-kiri:
prevalensi foramen ovale paten di antara populasi penyelaman sama dengan populasi total
[93.137.139]. Sebuah meta-analisis dari tiga studi yang melaporkan insiden DCI dan
keberadaan echocardiographic foramen ovale paten dalam populasi penyelaman yang
berbeda menunjukan 2,6 kali lipat berisiko mengalami DCS, [140]. Insiden DCI pada
populasi tersebut rata-rata 0,02%; dengan demikian, peningkatan risiko kejadian dengan
adanya foramen ovale paten tetap kecil.

Penatalaksanaan penyakit dekompresi


Seperti yang diuraikan sebelumnya, DCI memiliki pola penyakit yang berbeda
dalam hal patofisiologi dimana terjadi perubahan patologis yang disebabkan oleh
kelebihan gas intracorporeal. Mungkin terdapat gejala yang tumpang tindih diantara
beberapa penyakit sehingga mempersulit diagnosis. Didapatkan bukti dari percobaan pada
hewan dan pengalaman manusia bahwa algoritma pengobatan yang sama berlaku untuk
DCI terlepas dari cara bagaimana kelebihan gas tersebut terjadi pada tubuh. Ini sangat
membantu mengingat fakta bahwa keterlambatan pengobatan berbanding terbalik dengan
hasil dan prosedur diagnostik yang memakan waktu harus ditunda sampai pengobatan
dimulai.
Diagnosis DCI terutama bergantung pada pemeriksaan yang cermat dan riwayat
medis yang terperinci, termasuk riwayat penyelaman sebelum kejadian. Penyakit lain
yang mungkin menyerupai DCI, seperti penyakit kardiovaskular atau serebrovaskular,
harus dipertimbangkan mengingat gejalanya saat ini. Evaluasi laboratorium dan
radiografis hanya boleh diterapkan di awal jika tersedia. Hasil laboratorium berguna
untuk menilai hemokonsentrasi dan dehidrasi, dan peningkatan kadar kreatin kinase
serum telah terbukti berkaitan dengan ukuran dan keparahan AGE. Rontgen dada dapat
membantu dalam mengevaluasi keberadaan pneumotoraks, yang harus dirawat sebelum
terapi rekompresi dimulai. Radiografi yang mahal, seperti CT atau MRI, dapat diterapkan
setelah perawatan awal. MRI telah terbukti berguna dalam evaluasi lebih lanjut dari DCI
neurologis tetapi mungkin tidak sensitif dalam beberapa kasus. Penilaian kebugaran lebih
lanjut untuk menyelam setelah mengalami DCI sebelumnya, adalah wajib untuk
mengevaluasi kondisi paru-paru yang meningkatkan risiko barotrauma (misalnya, dengan
CT dada dan pengujian fungsi paru) serta kondisi kardial yang cenderung mengalami
shunting kanan-ke-kiri.
Perawatan efektif pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh gas berlebih
adalah eliminasi gas yang cepat dan koreksi hipoksia jaringan. Ini paling baik dicapai
dengan penerapan oksigen pada tekanan ambien yang meningkat, yaitu terapi oksigen
hiperbarik. Untuk mempercepat eliminasi gas, dengan meningkatkan tekanan sekitar dan
dengan menciptakan hiperoksia sistemik. Pengobatan saat ini menempatkan pasien di
lingkungan bertekanan dua atau tiga kali tekanan permukaan laut saat menghirup oksigen
100%, yang menghasilkan tekanan oksigen arteri lebih dari 2000 mm Hg (267 kPa).
Algoritma pengobatan yang paling umum digunakan untuk DCI adalah US Navy Table 6,
dengan siklus oksigen bernapas pada 18 msw selama sekitar 75 menit dan pada 9 msw
selama sekitar 3 jam, dengan udara jeda di antara untuk meminimalkan efek oksigen yang
merugikan. Sekitar 40% penyelam yang terluka menunjukkan penyembuhan sempurna
setelah perawatan pertama, dan hanya 20% yang membutuhkan lebih dari tiga perawatan.
Jika terapi oksigen hiperbarik tidak segera tersedia (misalnya, di lokasi terpencil),
pemberian awal oksigen 100% telah terbukti meningkatkan hasil klinis secara signifikan.
Seperti halnya keadaan darurat medis, resusitasi kardiopulmoner dan terapi
tambahan mungkin diperlukan, dan transportasi pasien dengan DCI memerlukan
prasyarat tertentu. Ulasan yang lebih rinci tentang perawatan DCI tidak dibahas di artikel
ini dan dapat ditemukan di tempat lain.

Edema paru
Edema paru baru-baru ini dikenali sebagai masalah klinis terkait penyelaman,
mungkin disebabkan oleh fakta bahwa individu yang terkena dapat pulih secara spontan;
oleh karena itu, sebagian besar tidak dilaporkan dalam scuba diving. Selain itu, kasus
edema paru mungkin telah disalahartikan sebagai DCI.
Pengamatan pertama adalah pada 11 penyelam yang mengalami edema paru saat
scuba diving di perairan Inggris yang dingin. Diasumsikan bahwa peningkatan abnormal
pada resistensi vaskuler terhadap paparan dingin mungkin memicu edema dengan
meningkatkan preload dan afterload, karena pada kontrol yang sehat tidak menunjukkan
peningkatan resistensi vaskular pada lengan yang sama dengan paparan dingin
eksperimental. Peningkatan tekanan parsial oksigen pada kedalaman mungkin memiliki
kontribusi, tetapi pada 2 penyelam, episode edema paru telah terjadi bahkan selama
berenang di permukaan. Selama follow-up penyelam, kebanyakan dari mereka menjadi
hipertensi, sehingga menunjukkan bahwa reaktivitas vaskular yang abnormal dapat
menjadi prediksi yang menyebabkan hipertensi. Sebuah studi selanjutnya melaporkan
pada empat subjek yang telah mengalami edema paru saat scuba diving atau berenang.
Dengan distribusi kuesioner yang membahas kemungkinan gejala edema paru, satu subjek
tambahan (0,22%) dari 460 responden diidentifikasi memiliki riwayat edema. Semua
subjek yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau paru tidak menunjukkan
reaktivitas vaskular yang abnormal bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Dengan
demikian berspekulasi bahwa kombinasi faktor, seperti perendaman dan paparan dingin,
bersama dengan peningkatan curah jantung, dapat menyebabkan peningkatan berlebihan
pada tekanan kapiler paru. Secara bersamaan, penelitian lain melaporkan pada
sekelompok delapan subyek militer yang mengalami hemoptisis dan batuk saat terlibat
dalam kompetisi renang laut terbuka di air hangat (23°C). Para peneliti menyarankan
bahwa kombinasi perendaman, olahraga, dan overhidrasi telah meningkatkan tekanan
kapiler paru dan akhirnya menyebabkan edema. Selanjutnya, lebih banyak kasus
dilaporkan yang terjadi selama menyelam di perairan hangat, sehingga mengurangi
hipotesis air dingin. Dalam pelatihan militer Israel yang berpartisipasi dalam kebugaran 2
bulan program dengan berenang jarak 2,4 dan 3,6 km, ada 29 peristiwa edema paru pada
21 orang (yaitu, 60% dari kelompok studi). Para penulis berpendapat bahwa stres berat
pada kapiler paru selama berenang mempercepat kejadian dan bahwa perendaman
berkontribusi pada mekanisme ini secara signifikan. Faktanya, perendaman menimbulkan
beragam efek kardiovaskular dan ventilasi yang dapat meningkatkan tekanan transmural
kapiler (misalnya, perpindahan darah ke paru-paru, peningkatan preload, ventilasi-perfusi
mismatch). Barrier darah-gas manusia sangat tipis untuk memungkinkan pertukaran gas
yang cukup untuk terjadi difusi pasif, dan untuk menahan tekanan kapiler yang lebih
tinggi terutama disediakan oleh matriks ekstraseluler. Akibat matriks kolagen tipe IV
sehingga memungkinkan gangguan intraseluler dari sel epitel endotel dan alveolar kapiler
terjadi. Edema paru sangat jarang terjadi pada atlet sehat di lingkungan kering, meskipun
ada bukti dari spesies hewan bahwa kerusakan kapiler dengan pendarahan alveolar terjadi
secara rutin pada tingkat latihan yang tinggi. Pada pengendara sepeda kompetisi elit,
sebenarnya bisa ditunjukkan bahwa barrier darah-gas dapat diubah dengan latihan
maksimal, namun barrier tidak berubah ketika berolahraga di 77% dari konsumsi oksigen
maksimal mereka. Dengan demikian, latihan yang lengkap menghasilkan sedikit
perubahan pada barrier darah-gas yang dapat parah di lingkungan basah. Baru-baru ini,
dilaporkan dari US Naval Medical Center di San Diego bahwa ada lebih dari 20 kasus
edema paru yang disebabkan karena berenang setiap tahun, menggarisbawahi tingginya
insiden edema paru yang disebabkan oleh berenang selama latihan berat di dalam air.
Dispnea dan batuk merupakan keluhan yang paling sering dan dapat disertai dengan
hemoptu, hipoksemia, peningkatan frekuensi pernapasan. Temuan radiografi, seperti garis
Kerley-B dan konsolidasi ruang udara (Gbr.4), biasanya menjadi normal dalam waktu 48
jam. Gejala klinis sering membaik hanya dengan mengeluarkan pasien dari air dan
dengan pengobatan yang mendukung, sehingga diuretik sebagian besar superfluous.
Hebatnya, pada perenang tempur yang terutama berenang dalam posisi dekubitus lateral
untuk memungkinkan kontak mata yang konstan dengan pasangan dan untuk
mempertahankan profil permukaan rendah, itu adalah paru-paru yang tenggelam yang
lebih sering terkena edema paru jika dilakukan radiografi dada. Edema paru baru-baru ini
dideskripsikan pada seorang perenang tempur Israel menggunakan alat bantu pernapasan
oksigen sirkuit tertutup. Dalam hal ini, oksigen mungkin berkontribusi terjadinya edema
akibat efek vasokonstriktifnya. Sebagai kesimpulan, berbagai macam faktor yang berbeda
dapat memicu edema paru selama scuba diving atau berenang, dan tidak ada bukti edema
paru disebabkan oleh satu faktor risiko saja. Penggunaan tenaga pada keadaan tenggelam
mungkin merupakan faktor penyebab utama dalam edema paru yang disebabkan oleh
berenang, sedangkan latihan berat jarang dilaporkan dalam kasus edema paru yang
dipublikasikan selama scuba diving. Hebatnya, usia lanjut terlihat jelas pada subjek yang
terakhir (Tabel 3). Diduga bahwa faktor-faktor individual berkontribusi terjadinya edema
paru akibat menyelam, karena subjek yang terkena dampak sekali saja berisiko
mengalami insiden lebih lanjut. Dengan demikian, subjek ini harus disarankan untuk tidak
menyelam lagi. Bagi mereka yang menolak untuk menerima saran ini, pemberian
nifedipine (5 mg) sebelum menyelam dapat mencegah kekambuhan. Edema paru selama
scuba diving atau berenang lebih sering dari yang diperkirakan sebelumnya dan harus
dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari cedera yang terkait dengan menyelam.

Gambar 4. Foto dada anggota militer US usia 28 tahun dengan keluhan batuk darah setelah berenang
dengan kedalaman 1000 m menggunakan wetsuit dan fins di lingkungan yang dingin (14,4 C/58 F) di
samudra pasifik.

Kebugaran Untuk Menyelam Pada Penderita Penyakit Respiratori


Untuk memenuhi keadaan fisiologis tertentu pada lingkungan bawah air secara
adekuat, kondisi kesehatan yang layak diperlukan untuk selam skuba. Kondisi medis
tertentu malah membahayakan keselamatan individu tersebut dan rekan selamnya (buddy)
dan dapat diperburuk oleh efek kesehatan dari suatu penyelaman.
Sistem pernapasan sangat penting dalam hal kebugaran medis untuk menyelam.
Pertama, kapasitas olahraga seseorang pada kedalaman terutama ditentukan oleh
kapasitas ventilasi karena kerja pernapasan meningkat pada kepadatan/densitas gas yang
lebih tinggi. Kedua, fungsi ventilasi, pertukaran gas, dan perfusi paru-paru berperan
utama dalam pengambilan dan eliminasi gas inert. Gangguan pada fungsi-fungsi tersebut
dapat meningkatkan risiko DCI. Ketiga, sebagai rongga tubuh terbesar yang dipenuhi gas,
paru-paru cenderung mengalami perubahan tekanan yang cepat dan dengan demikian
dapat rentan terhadap barotrauma. Setiap kelainan sistem pernapasan yang berhubungan
dengan air trapping meningkatkan risiko cedera yang berpotensi mengancam jiwa ini.
Sudut pandang yang berbeda diperlukan sewaktu menilai sistem pernapasan
seseorang terkait kebugaran dirinya untuk menyelam tergantung jenis penyelamannya,
yaitu untuk penyelaman skuba rekreasi versus penyelaman komersial atau militer. Dalam
penyelaman komersial atau militer, pemeriksaan kesehatan menyelam dilakukan untuk
memilih kandidat menyelam dan untuk evaluasi kesehatan mereka selama melakukan
pekerjaan tersebut. Dengan demikian, para pemberi kerja berhak untuk memberi larangan
menyelam bagi orang-orang yang memiliki kondisi medis yang terkait dengan
peningkatan risiko komplikasi medis yang berhubungan dengan menyelam secara
signifikan. Sebaliknya, tanggung jawab untuk penyelaman rekreasi bersifat
individualistis, dan kondisi lingkungan dari penyelaman tersebut dipilih sendiri. Penyelam
rekreasi harus berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan nasihat medis tentang
risiko signifikan yang terkait jika ada kondisi medis yang dapat mempengaruhi
keselamatan saat menyelam. Harus diakui, beberapa individu berkonsultasi dengan dokter
hanya untuk mendapatkan izin medis. Karena itu penting untuk memastikan bahwa
individu tersebut mengakui dan memahami risiko yang terkait dengan penyelaman skuba.
Pada sebagian besar cedera selam rekreasional, tidak dijumpai adanya masalah
kesehatan yang sudah ada sebelumnya, sehingga muncul pertanyaan tentang mengapa
perlu pembatasan orang yang ingin menyelam. Scuba diving telah menjadi kegiatan
rekreasi yang populer di seluruh dunia, dan tidak menutup kemungkinan orang dengan
penyakit paru yang sangat lazim, seperti asma bronkial, juga ingin mulai menyelam.
Semakin banyak data mulai bermunculan tentang subpopulasi penyelam dengan penyakit
tertentu yang dapat melakukan penyelaman dengan aman, namun bukti peningkatan risiko
yang signifikan untuk cedera terkait selam dalam populasi ini masih kurang. Hal ini telah
menyebabkan perubahan pandangan tentang penyelaman pada orang dengan penyakit
pernapasan selama dekade terakhir. Beberapa perhimpunan torasik telah menerbitkan
rekomendasi tentang aspek pernapasan dalam kebugaran untuk menyelam. Semakin
banyak artikel peer-reviewed telah membahas sistem pernapasan dan scuba diving secara
umum atau asma pada khususnya. Sebagai contoh, secara historikal seseorang yang
terdiagnosis asma merupakan kontraindikasi absolut untuk menyelam. Pada rekomendasi-
rekomendasi terbaru, pendekatan yang berbeda dilakukan sehingga aturan-aturan tersebut
cenderung tidak terlalu ketat. Namun, diskusi mengenai kebugaran untuk menyelam
dengan penyakit pernapasan masih kontroversial, sebagian besar karena masalah
pertimbangan etis yang menghalangi uji coba terkontrol secara acak (randomized
controlled trials; RCT) pada manusia. Oleh karena itu, sebagian besar analisa risiko
bergantung pada data yang diperoleh secara empiris dan laporan anekdotal.

Menyelam dengan penyakit pernapasan: epidemiologi dan pertimbangan klinis


Di antara berbagai risiko bahaya bagi subjek yang menyelam dengan penyakit
pernapasan, risiko DCI menjadi perhatian utama. Statistik kecelakaan selam dapat
membantu untuk mengevaluasi ada tidaknya peningkatan risiko. Sayangnya, tidak ada
database di seluruh dunia tentang kecelakaan penyelaman rekreasi, dan banyak laporan
hanya mengandalkan perkiraan atau survei populasi. Divers Alert Network (DAN), yang
berlokasi di Duke University di Durham, North Carolina, secara prospektif menyelidiki
profil penyelaman, riwayat kesehatan, dan hasil keluaran para penyelam mengingat
semakin banyak penyelam scuba rekreasi di Amerika Utara. Data sekarang ini mencakup
dari lebih dari 36.000 penyelaman oleh 3750 penyelam. Insiden DCI saat ini adalah
0,06% penyelaman, atau 0,59% penyelam, dengan satu kasus kematian dilaporkan (0,03%
penyelam). Angka-angka ini sedikit lebih tinggi daripada yang sebelumnya telah
diperoleh dari survei dan perkiraan pasien, tetapi cocok dengan yang dilaporkan dari
operasi tunggal dalam penyelaman scuba militer dan/atau komersial, seperti pemulihan
Trans World Airways Flight 800, yang jatuh di lepas pantai Long Island pada tahun 1996.
Angka insiden 0,05% telah dilaporkan untuk 3992 penyelaman scuba dengan kedalaman
rata-rata 35 msw yang dilakukan oleh 350 penyelam. Karena sebagian besar kondisi
medis pernapasan telah menjadi kontraindikasi absolut untuk penyelaman militer atau
komersial, data epidemiologis tentang subyek penyelaman dengan penyakit pernapasan
hanya tersedia untuk scuba diving rekreasional saja. Data statistik kecelakaan DAN
sebelumnya menunjukkan odds ratio 1,98 untuk AGE (Arterial Gas Embolism) dan 1,16
untuk DCS (Decompression Sickness) pada penderita asma saat ini dibandingkan dengan
kontrol kasus, tetapi data tidak mencapai signifikansi statistik. Dari kasus-kasus cedera
yang dilaporkan setiap tahun ke DAN oleh fasilitas hiperbarik, ada sekitar 6% penderita
asma, dan asma ditemukan pada kurang dari 0,5% kematian akibat penyelaman.
Hebatnya, tidak ada data yang tersedia untuk kondisi pernapasan lain dengan prevalensi
yang sama, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), meskipun hingga 20%
penyelam merokok aktif.
Survei populasi menunjukkan bahwa ada penyelam dengan penyakit pernapasan
yang tetap melakukan penyelaman. 9,7% dari subyek yang menyelam di Australia Barat
dilaporkan memiliki asma saat ini, hanya 0,6% diantaranya dilaporkan memiliki PPOK.
Penelitian lainnya yang diambil dari penyelam scuba olahraga di Amerika Serikat terus
menerus menemukan bahwa sekitar 4% penyelam saat ini menderita asma dan 4%
lainnya hanya menderita asma pada masa kanak-kanak. Sebuah tinjauan yang dilakukan
pada penyelam olahraga Inggris mendapatkan adanya penderita asma yang menyelam
tanpa ada masalah, termasuk diantaranya yang melaporkan mengalami gejala asma setiap
hari. Yang mengejutkan, lebih dari separuh responden tidak tahu atau bahkan
mengabaikan rekomendasi saat ini untuk penyelaman yang aman. Dalam sebuah tinjauan
baru-baru ini di antara penyelam olahraga dari benua Eropa, menunjukkan bahwa 8,7%
dari responden mengidap asma dan melakukan penyelaman dan 42,4% dari para penderita
asma tersebut menggunakan obat-obatan pengendali asma secara reguler. Dalam populasi
tersebut, ada subjek yang menggunakan obat-obatan tanpa efek bronkodilatasi sebagai
profilaksis sebelum menyelam dan ada pula subjek lainnya yang melaporkan mengalami
dispnea terus menerus tetapi tidak menggunakan bronkodilator, sehingga diperlukan
adanya edukasi dan manajemen yang lebih baik lagi terhadap penyelam pengidap asma.
Ada beberapa data tentang subjek penyelam dengan kelainan pernapasan yang lebih
jarang. Survei populasi di antara penyelam olahraga Australia dan Eropa menunjukkan
bahwa ada beberapa subjek penyelam dengan riwayat pneumotoraks spontan atau
traumatis atau bronkitis kronis dan terdapat penyelam melaporkan riwayat pneumonia
hingga 5%. Di luar data epidemiologi, beberapa hal dapat ditemukan dalam literatur. Ada
satu laporan kasus dari seorang pria berusia 28 tahun dengan pneumotoraks yang
menyelam tanpa kesulitan selama beberapa bulan pada kedalaman antara 3 dan 50 msw.
Sesuai dengan apa yang diharapkan dari proses fisiologi, penyelam tersebut
mendeskripsikan dirinya merasa paling baik saat menyelam, dan dia bahkan merasa lebih
baik semakin dalam dia menyelam. Seorang pria berusia 58 tahun dilaporkan menyelam
dengan baik kecuali saat "keeling", atau berenang dengan miring terkait daya apung,
setelah dia menjalani pneumonectomy paru kanan untuk karsinoma sel skuamosa paru-
paru. Dia telah mampu menghindari daya apung asimetris dengan menggunakan bobot
yang melekat di sisi kiri. Ada subjek yang menyelam dengan penyakit paru fibrosis,
seperti sarkoidosis, tetapi tidak ada laporan yang menyediakan data tentang hasil atau
dampak penyelamannya. Satu kasus telah dilaporkan, dengan penyelam dengan
sarkoidosis stadium III, yang menderita gejala yang sesuai dengan AGE sewaktu proses
dekompresi dari paparan ruang hiperbarik 50 msw. Melanggar advis medis, penyelam itu
terus menyelam dan memiliki insiden berulang 2 tahun kemudian setelah menyelam
hingga 30 msw di sebuah danau. Sayangnya, gejala residu tetap ada bahkan setelah
perawatan oksigen hiperbarik berulang (Hanjo Roggenbach, MD, komunikasi pribadi,
2004).

Penilaian kebugaran sistem pernapasan untuk menyelam


Oleh karena kelainan pada sistem pernapasan jelas berhubungan dengan
peningkatan risiko mengalami bahaya dalam air, seperti penyakit dekompresi (DCI) atau
tenggelam, evaluasi fungsi paru-paru patut mendapat perhatian khusus. Penilaian rutin
harus mencakup riwayat kesehatan (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan spirometri. Perlu
tidaknya pemeriksaan medis rutin baru-baru ini dipertanyakan, karena sebagian besar
kondisi yang dapat mencegah seseorang dari penyelaman dideteksi berdasarkan
kuesioner, sedangkan pemeriksaan fisik diperlukan untuk menggambarkan keadaan fisik
pada fase awal menyelam dan untuk mengevaluasi kemungkinan kelainan selama follow
up. Pada kenyataannya, hal tersebut memiliki implikasi legal dalam kasus adanya
kelainan-kelainan residual akibat cedera menyelam. Spirometri diperlukan untuk
menyingkirkan adanya kelainan ventilasi. Tidak ada konsensus umum yang menentukan
tentang batasan tertentu; namun, yang paling masuk akal, FEV1 dan FVC harus melebihi
80% dari nilai prediksi masing-masing. Hasil bagi FEV1/FVC harus lebih besar dari 70%,
tetapi harus diingat bahwa menyelam dapat meningkatkan VC (kapasitas volume) karena
latihan otot pernapasan, dan rasio FEV1/FVC yang lebih rendah dari yang diperkirakan
ditemukan pada penyelam komersial yang berpengalaman.
Setiap riwayat atau deteksi kelainan pernapasan harus segera dinilai lebih lanjut.
Faktanya, sekitar 30% dari kandidat penyelam dilaporkan dirujuk kepada spesiali untuk
mendapat opini terkait kondisi sistem pernapasannya. British Thoracic Society baru-baru
ini menyarankan algoritma penilaian lebih lanjut, yang merekomendasikan radiografi
toraks jika ada gejala pernapasan saat ini atau riwayat penyakit paru-paru atau trauma
dada. Jika radiografi, dalam kombinasi dengan pemeriksaan fisik dan spirometri,
menunjukkan hasil normal, kandidat dapat diizinkan untuk menyelam kecuali terjadi
kondisi pernapasan tertentu. Kondisi-kondisi tersebut terdiri dari, namun tidak hanya
terbatas pada penyakit saluran napas obstruktif, seperti asma dan PPOK, fibrosis paru,
sarkoidosis, penyakit menular, dan trauma dada sebelumnya. Asma adalah kondisi yang
paling umum dijumpai dan dengan demikian menjadi kondisi paru klinis yang paling
penting dalam pertimbangan penilaian kebugaran untuk menyelam; oleh karena itu,
pendekatan yang berbeda untuk menilai kelayakan penyelaman saat ini sangat
direkomendasikan. Tabel 4 memberikan rekomendasi tentang kebugaran untuk menyelam
pada pengidap asma berdasarkan klasifikasi tingkat keparahan saat ini yang diterbitkan
oleh National Institutes of Health. Namun, faktor individu, seperti penatalaksanaan
mandiri dari penyakit dan kepatuhan terhadap pengobatan, harus dipertimbangkan ketika
menilai kebugaran untuk menyelam, dan rekomendasi ini hanya bersifat sebagai panduan
atas saran dokter. Kandidat penyelam dengan asma harus menyadari risiko dan
melakukan penyelaman yang sesuai (yaitu, hindari kenaikan atau ascending yang cepat
dan eksersi atau pengerahan tenaga yang menyebabkan terengah-engah).
Hiperresponsivitas jalan nafas dengan respons signifikan terhadap hiperpnea atau aerosol
hipertonik merupakan hal yang dapat menghalangi proses penyelaman akibat rangsangan
yang dialami penyelam, seperti hiperpnea gas kering selama latihan dan kemungkinan
aspirasi air laut. Indirect bronchial challenge, seperti hiperpnea volunter eucapnic, lebih
dipilih daripada uji farmakologis langsung, karena uji yang terakhir kurang spesifik untuk
mengidentifikasi asma dan bronkokonstriksi yang dipicu oleh olahraga. Riwayat atopi
saja (tanpa gejala pernapasan dan dengan fungsi paru normal) tidak menjadi perhatian
khusus saat evaluasi kebugaran dalam menyelam; pada kenyataannya, ada banyak subjek
yang menyelam dengan tenang yang memiliki sensitisasi terhadap aeroalergen umum.
Satu studi eksperimental pada manusia menunjukkan perubahan fungsi paru pasca
menyelam pada subjek asimtomatik dengan rinitis alergi dan hiperreaktivitas saluran
napas terhadap metakolin, namun demikian, terdapat studi lain yang menunjukkan
peningkatan respons pasca menyelam terhadap challenge metakolin pada subjek dengan
riwayat atopi.

Tabel 4. Rekomendasi kebugaran untuk menyelam pada asma


Tingkat Gejala PEF atau Kebugaran untuk menyelam
Keparahan (siang/malam hari) FEV1
(Variabilitas
PEF %)
Masa Tidak ada ≥80 Ya
kanak- <20
kanak
Intermiten ≤2 hari/minggu ≥80 Ya, jika >48 jam sejak reliever terakhir
ringan ≤2 malam/bulan <20 dikonsumsi
Persisten < tiap hari ≥80 Ya, jika mendapat medikasi controller
ringan >2 malam/bulan 20-30 dan >48 jam sejak reliever terakhir
dikonsumsi
Persisten Setiap hari <80 Tidak
sedang Malam hari >30
>1malam/minggu
Persisten Siang hari terus ≤60 Tidak
berat menerus >30
Malam hari sering
timbul

Penyelam harus memiliki kapasitas aerobic tertentu untuk dapat mengatasi


peningkatan kerja sistem pernapasan pada kedalaman, yang dapat diperburuk dengan
olahraga (misalnya, ketika berenang melawan arus dalam air yang kuat). Dengan
demikian, pemeriksaan lebih lanjut pada kandidat penyelam dengan riwayat penyakit
pernapasan atau gejala atau kelainan selama penilaian rutin harus mencakup pengujian
latihan kardiopulmoner. Penyelaman harus dicegah apabila ditemukan kelainan ventilator
atau gangguan pertukaran gas selama latihan, dan pengambilan oksigen puncak sedikitnya
25 dan 27 mL/kg-1/min-1 masing-masing harus dicapai pada perempuan dan laki-laki.
Merokok berhubungan dengan perubahan saluran napas akibat inflamasi bahkan
dalam keadaan tanpa gejala, dan persentase tertentu dari perokok mengalami PPOK. Oleh
sebab itu, patut dipertanyakan apakah seorang perokok cocok untuk melakukan
penyelaman. Sebuah analisis baru-baru ini dari kasus penyakit dekompresi dalam
database DAN daritahun 1989 hingga 1997 mengungkapkan bahwa perokok dengan
penyakit dekompresi cenderung menunjukkan gejala yang lebih parah dari pada rekan
mereka yang tidak merokok. Selain itu, ditemukan adjusted odds ratio yang signifikan
untuk perbandingan perokok berat, didefinisikan sebagai perokok dengan riwayat lebih
dari 15 bungkus/tahun, dengan mereka yang tidak pernah merokok menunjukkan
beberapa korelasi atau hubungan dengan tingkat keparahan penyakit dekompresi dengan
cara yang tergantung pada dosis. Oleh sebab itu, disarankan bahwa riwayat merokok
dapat menjadi alasan dilakukannya evaluasi pneumatologis lebih lanjut pada kandidat
penyelam.
Efek Jangka Panjang Dari Penyelaman Terhadap Paru-Paru
Menyelam berhubungan dengan paparan dari beberapa faktor, yang secara
independen memiliki hubungan satu sama lain. Dimana faktor-faktor tersebut telah
terbukti memiliki efek pada fungsi paru. Beberapa diantaranya, seperti hiperoksia dan
VGM yang difilter di dalam sirkulasi paru, yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi
peradangan di paru-paru, sedangkan faktor lainnya, seperti peningkatan resistensi
pernafasan, redistribusi darah dan atau cairan selama perendaman, dapat menyebabkan
stress mekanik atau fisiologis tanpa menyebabakan adanya kerusakan jaringan.
Beberapa studi eksperimental tentang penyelaman telah memberikan wawasan
mengenai mekanisme perubahan fungsi paru terkait dengan penyelaman dan waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya perubahan. Keadaan ini disebabkan oleh faktor paparan yang
berbeda. Studi seperti ini tidak cocok untuk memprediksi adanya efek jangka panjang,
dikarenakan efek dari penyelaman selanjutnya menambah efek dari penyelaman
eksperimental. Sangat mudah untuk memantau eksposur dari penyelaman eksperimental
yang terkontrol dengan baik, akan tetapi suatu studi epidemiologi memiliki kendala yang
besar dalam menentukan besarnya paparan secara kumulatif, dari waktu ke waktu dimana
ukuran hasil tersebut dapat berhubungan satu sama lain.
Parameter fisik dasar dari penyelaman menggambarkan bahwa penyelaman
merupakan suatu tekanan, waktu, dan campuran gas. Parameter ini tidak tergantung pada
metode penyelaman dan merupakan dasar untuk perhitungan paparan saat menyelam,
termasuk paparan oksigen, stres dekompresi, dan beban pernapasan mekanik. Perbedaan
antara metode penyelaman bersifat kuantitatif daripada kualitatif. Dalam studi
epidemiologi, ada kesulitan dalam mendapatkan estimasi akurat dari eksposur kumulatif,
bahkan dalam studi prospektif longitudinal. Hingga saat ini data-data yang dapat
diperoleh dari laporan suatu studi epidemiologi adalah meliputi jumlah penyelaman yang
diperoleh dari berbagai metode penyelaman, jumlah banyaknya hari menyelam, atau
lamanya menjadi seorang penyelam. Langkah-langkah paparan yang sederhana ini terkait
dengan parameter fisik dasar penyelaman, dan mencerminkan eksposur kumulatif dengan
faktor paparan yang lebih spesifik dalam beberapa cara.
Penelitian pertama menggambarkan fungsi paru pada penyelam memiliki prediksi
VCs yang lebih besar. Terdapat korelasi yang signifikan antara FVC dan kedalaman
maksimal penyelaman dengan usia penyelam hingga 30 tahun, sesuai dengan efek
pelatihan dari otot pernapasan. Setelah usia 30 tahun, FVC menurun meski terus
menyelam. Namun, FEV1 tidak bertambah proporsi ke FVC, sehingga menghasilkan
rasio yang lebih rendah dari perkirakan FEV1 / FVC. Awalnya ini tidak dipertimbangkan
sebagai akibat dari adanya obstruksi jalan napas, tetapi penelitian yang sama
menunjukkan prediksi ekspirasi maksimal yang lebih rendah dari laju aliran pada volume
paru-paru yang rendah. Kemudian suatu penelitian cross sectional telah menunjukkan
FEV1 yang lebih rendah dan laju aliran ekspirasi maksimal pada volume paru-paru yang
rendah. Variable-variabel ini dibandingkan antara kelompok kasus dan kelompok kontrol
yang disesuaikan dengan kumulatif paparan penyelaman, baik saturation divers serta
bounce divers. Besarnya VC pada penyelam, dapat menjadi subyek terhadap besarnya
paru-paru atau adanya adaptasi dengan lingkungan hiperbarik yang disebabkan oleh
peningkatan aktifitas pernapasan dan pergerakan otot pernapasan. Dalam sebuah
penelitian pada sekelompok apprentice divers, FVC pada penyelam yang baru belajar
lebih besar dari yang diperkirakan dan tanpa adanya perbedaan antara kelompok yang
berpengalaman dan tidak. Ada sedikit peningkatan pada FVC di tahun pertama
penyelaman dan tidak berubah setelah 3 tahun.
Hasil dari penelitian longitudinal selama 6 tahun terhadap apprentice divers telah
mengkonfirmasi hasil dari studi cross-sectional sebelumnya yaitu berkurangnya FEV1
dan laju ekspirasi maksimal pada penyelam tersebut selama periode follow-up, yang
dimana dipengaruhi oleh faktor paparan saat menyelam. Hal ini dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Studi longitudinal pada suatu kelompok kecil penyelam juga mendukung temuan
penelitian pada apprentice divers. Terdapat 26 penyelam eksperimental yang menyelam
hingga kedalaman 300 meter air laut atau lebih, setelah itu mereka diamati selama 4 tahun
dan dibandingkan dengan kelompok saturation divers sebanyak 28 orang yang menyelam
pada kedalaman yang tidak melebihi 180 meter air laut atau lebih. Satu tahun setelah
penyelaman tersebut, terdapat penurunan yang signifikan pada FEV 1 dan laju aliran
ekspirasi maksimal pada volume paru yang rendah, dimana tingkat perubahannya tidak
berbeda antara kedua kelompok. Penurunan FEV 1 sebagai konsekuensi dari paparan
hyperoxia, sama seperti pada saturation divers, telah terbukti bertahan selama 3 tahun
pada subjek yang tidak melakukan penyelaman selama masa follow-up. Penelitian
tersebut menunjukkan paparan hyperoxia berkontribusi secara signifikan terhadap efek
jangka pendek serta jangka panjang pada fungsi paru-paru akibat menyelam.
Ada beberapa studi tentang variabel fungsi paru-paru selain FVC, FEV1, dan laju
aliran ekspirasi maksimal, tetapi tampaknya terdapat pula faktor penurunan dalam transfer
untuk karbon monoksida, yaitu terkait dengan paparan kumulatif pemyelaman. Kapasitas
latihan dan penyerapan oksigen puncak tampaknya tidak berkurang pada kelompok
penyelam, tetapi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, penyelam memiliki
ventilasi yang lebih besar untuk penyerapan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida.
Perubahan jangka panjang, meskipun kecil dan hampir tidak mempengaruhi kualitas
hidup penyelam aktif profesional yang menjadi sasaran studi, mungkin memiliki beberapa
konsekuensi, namun, berkurangnya FEV 1 dikaitkan dengan berkurangnya kapasitas
ventilasi, bahkan lebih sehingga ketika kepadatan gas meningkat di bawah tekanan, akan
melebihi batas kapasitas latihan penyelam dibawah air. Berkurangnya FEV1 juga dapat
meningkatkan risiko pulmonary barotrauma, setidaknya secara teoritis.
Pada studi epidemiologi yang dilakukan pada penyelam aktif professional, apabila
didapatkan penurunan FEV 1 yang berlanjut sampai saat penyelam tersebut pensiun,
maka diperkirakan peningkatan gejala pernapasan dikarenakan bertambahnya usia. Pada
kelompok pensiunan penyelam yang bekerja di laut utara Norwegia sebelum tahun 1990
dan telah melakukan saturation divers maupun bouncing gas diving, didapatkan
prevalensi gejala pernapasan dan keterbatasan aliran udara pada uji spirometri dengan
rasio FEV 1 / FVC kurang dari 70% dan FEV 1 kurang dari 80%, hampir dua kali lipat
dari populasi umum, dan itu tidak berhubungan dengan kebiasaan merokok, atopi, atau
kegiatan pekerjaan lain seperti pengelasan. Usia rata-rata pensiunan penyelam adalah 52
tahun, dan waktu sejak pensiun dari menyelam adalah 12 tahun. Sehingga, follow up
untuk kelompok penyelam sampai pada waktunya pensiun dianggap perlu.

Anda mungkin juga menyukai