DISUSUN OLEH:
Ervina Ruth Priya Sambada G991902018 / H8
Farhah Millata Hanifa G99181029 / H9
PEMBIMBING:
M. Riza, dr., Sp.A(K), M.Kes.
Pembacaan jurnal ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Pembacaan jurnal dengan judul:
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Anemia Pada Anak Di Brazil
Oleh :
Abstrak
Latar belakang : Anemia adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar
pada anak, terutama pada anak dibawah 24 bulan. Meskipun ada perbaikan pada
strategi kesehatan masyarakat untuk mencegah dan mengendalikan anemia pada anak
di brazil pada dekade terakhir, beberapa studi telah menilai beberapa predictor untuk
kondisi ini pada fasilitas kesehatan primer. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan
untuk menilai factor apa saja yang berhubungan dengan anemia pada anak-anak muda
yang mengunjungi fasilitas kesehatan primer di Brazil.
Metode : Sebuah studi cross-sectional dilakukan dengan 520 anak berusia 11 hingga
15 bulan yang berkunjung fasilitas keshatan primer di empat kota di Brazil. Anemia
didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin <110 g / L dalam sampel darah vena.
Model regresi Poile bertingkat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara
anemia dan variabel independen.
Hasil : Frekuensi kejadian anemia adalah 23,1%. Frekuensi yang lebih tinggi diamati
pada anak-anak yang hidup dengan lebih dari satu anak di bawah 5 tahun di rumah
(Prevalence Ratio [PR] 1.47; 95% Confidence Interval [CI] 1.01 ± 2.14), yang mulai
menerima buah dan sayuran setelah 8 bulan (PR 1.92; 95% CI 1.19 ± 3.10), yang
pendek (PR 2.44; 95% CI 1,32 ± 4,50), yang dirawat di rumah sakit setidaknya sekali
dalam hidup mereka (PR 1,55; 95% CI 1,03 ± 2,33) dan yang berada di tertile lebih
rendah dari konsentrasi folat serum (PR 2.24; 95% CI 1,30 ± 3.85).
Pengumpulan Data
Dari Juni 2012 hingga Januari 2013, pengasuh anak yang mengunjungi pusat
fasilitas kesehatan primer diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Selama
pendaftaran, peneliti menerapkan kuesioner terstruktur melalui wawancara secara tatap
muka dengan pengasuh masing-masing anak, yang berisi informasi tentang
karakteristik sosial ekonomi, lingkungan dan demografi anak, serta informasi tentang
kelahiran anak, data ibu, praktik pemberian makan bayi, suplementasi dan morbiditas.
Setelah wawancara, panjang badan setiap anak diukur oleh asisten peneliti
menggunakan prosedur standar dan peralatan yang dikalibrasi. Anak-anak diukur pada
permukaan datar, menggunakan papan pengukur bayi portabel (model ES-2000,
Sanny, Los Angeles, AS). Setiap pengukuran diulangi, dan nilai rata-ratanya.
Pengukuran yang dapat diterima di mana variasi panjang maksimum adalah 0,5 cm. Z-
skor panjang / tinggi untuk usia (HAZ) dihitung menurut WHO Child Growth Standars
dan mereka yang dengan Z-skor 4 atau -4 dikeluarkan dari analisis. Stunting
didefinisikan dengan HAZ <-2 .
Sampel darah vena puasa dikumpulkan oleh teknisi yang terlatih hingga satu
minggu setelah wawancara. Sampel tersebut dikumpulkan di pagi hari pada hari yang
sebelumnya dijadwalkan dengan pengasuh. Di laboratorium, konsentrasi hemoglobin
ditentukan pada saat pengumpulan darah denga hemoglobinometer portabel (Hb301;
HemoCue, Angelholm, Swedia). Sampel darah tersebut dilindungi dari cahaya dan
disentrifugasi dalam 1 jam. Setelah sentrifugasi, sampel serum dan plasma dipisahkan
dalam mikrotube dan dibekukan pada -20ºC sebelum dikirim ke Laboratory of Human
Nutrition in the School of Public Health, São Paulo, di atas es kering dan dipertahankan
pada -70ºC hingga analisis lebih lanjut.
Di São Paulo, konsentrasi ferritin plasma dan reseptor transferin terlarut
(sTfR) diukur menggunakan immunoassays enzim yang tersedia secara komersial
(Ramco, Houston, TX, USA). Konsentrasi serum retinol diukur dengan Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi Metode (HPLC) (Sistem HPLC 1100, Hewlett Packard, Palo Alto,
California, AS) seperti yang dijelaskan sebelumnya, dan konsentrasi folat serum diukur
menggunakan komersial fluoroimmunoassays (PerkinElmer, Wallac Oy, Turku,
Finlandia). Protein C-reaktif (CRP) dan alpha-1-acid glycoprotein (AGP) dalam
plasma ditentukan menggunakan IMMAGE Immunochemistry Sistem (Beckman
Coulter, Brea, CA, USA).
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin <110 g / L
sebagaimana ditetapkan oleh WHO. Anemia ringan, sedang, dan berat didefinisikan
sebagai konsentrasi hemoglobin masing-masing 100 ± 109 g / L, 70 ± 99 g / L dan
lebih rendah dari 70 g / L [1]. Kekurangan zat besi didefinisikan sebagai konsentrasi
feritin plasma <12 μg / L dan / atau sTfR> 8,3 mg / L [19] dan anemia defisiensi besi
didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin <110 g / L dengan ferritin plasma <12
μg / L dan / atau sTfR> 8,3 mg / L. Anak-anak dengan konsentrasi serum retinol <1,05
μmol / L dianggap memiliki status vitamin A marjinal. Konsentrasi folat serum
dianalisis dalam tertil. Konsentrasi CRP> 5 mg / L dan AGP> 1 g / L dianggap
mengindikasikan adanya peradangan. Anak-anak yang mengalami anemia atau
kekurangan gizi didiagnosis selama penelitian dan dirujuk untuk perawatan ke fasilitas
kesehatan primer.
Analisis Statistik
Software statistik stata 12.0 (Statacorp, College Station, Texas, USA)
digunakan untuk analisis data. Variabel dependen utama adalah anemia dan variabel
independen adalah: jenis kelamin dan usia anak; etnis anak (diklasifikasikan
berdasarkan warna kulit seperti yang digunakan di Brasil sensus); pendidikan ibu, usia
dan status perkawinan; pasokan air, dikategorikan sebagai tidak ada jaringan publik
dan ada jaringan publik; pengolahan air minum, dikategorikan tidak memadai (tidak
diobati atau diklorinasi) dan memadai (disaring, direbus atau mineral); selokan sanitasi,
dikategorikan sebagai tidak ada kotoran publik atau adanya kotoran publik; jumlah
anak berusia di bawah 5 tahun yang tinggal di rumah anak; berat lahir anak; menyusui
di jam pertama kehidupan;
lama masa menyusui; waktu pengenalan buah-buahan dan / atau sayuran, daging dan
kacang-kacangan, didefinisikan sebagai awal (<6 bulan), memadai (6 bulan- <8 bulan)
dan terlambat (8 bulan); suplemen zat besi dan vitamin A plus D; stunting; rawat inap
setidaknya sekali dalam hidup; adanya diare, demam dan mengi dalam 15 hari terakhir;
diagnosis anemia sebelumnya; adanya peradangan; defisiensi besi; status vitamin A
marginal dan folat pada tertile.
Rasio Prevalensi (PR) diperkirakan menggunakan model regresi Poisson
multilevel efek campuran. Untuk analisis ini, model kerangka kerja hierarki tiga level
digunakan untuk pemilihan variabel independen, seperti yang diusulkan oleh Cardoso
et al. Variabel dengan tingkat paling rendah adalah sosial ekonomi, demografi dan
karakteristik lingkungan; variabel tingkat menengah seperti kelahiran, praktik
pemberian makan bayi dan penggunaan suplemen; dan variable dengan tingkat paling
tinggi yaitu antropometri, morbiditas dan indikator biokimia. Analisis yang mengontrol
kota (sebagai variabel pengelompokan), usia anak dan jenis kelamin dilakukan untuk
memilih variabel yang akan diuji dalam beberapa model (P <= 0,20). Lalu di setiap
tingkat penentuan, variabel dipertahankan jika sesuai dengan nilai P <0,10 atau jika
mereka dapat mengubah PR sebesar 10% atau lebih. Prediktor anemia dipertimbangkan
jika setelah penyesuaian untuk faktor potensial dilevel yang sama dan level yang lebih
superior secara hierarki, didapatkan nilai akhir P <0,05. Untuk semua variabel dengan
data yang hilang (<5%), kategori nilai yang hilang dimasukkan dalam beberapa model
untuk menjaga semua peserta dalam analisis data statistik.
Hasil
Sebanyak 520 anak usia 11 hingga 15 bulan dilibatkan dalam penelitian ini.
Karakteristik anak-anak ditunjukkan pada Tabel 1. Usia rata-rata (standar deviasi)
peserta adalah 13,5 (1,0) bulan, 50,6% adalah laki-laki dan 76,5% diklasifikasikan
sebagai etnis campuran. Para ibu dari hampir 80% anak-anak memiliki pendidikan
lebih dari 7 tahun. Sekitar 5% dari anak-anak pendek dan 14,6% memiliki tanda-tanda
peradangan.
Tabel 2. Frekuensi anemia, anemia defisiensi besi, dan keparahan anemia pada
anak muda di Brazil yang mengunjungi fasilitas kesehatan primer
Diskusi
Pada studi ini, 23,1% anak-anak berusia 11-15 bulan yang mengunjungi
fasilitas pelayanan kesehatan primer di Brazil mengalami anemia. Faktor utama yang
berhubungan anemia pada studi ini adalah anak yang tinggal dengan lebih dari satu
anak yang kurang dari 5 tahun di rumah, mereka yang mulai menerima buah dan/atau
sayuran setelah usia 8 bulan, pernah dirawat inap setidaknya sekali selama hidup
mereka, stunted, dan mereka yang berada pada tertile terendah dari konsentrasi folat.
Frekuensi anemia pada studi ini lebih rendah daripada prevalensi yang
ditemukan di studi lain yang dilakukan di Brazil pada anak yang berusia kurang dari
24 bulan. Sebuah systematic review yang dilakukan terhadap studi yang dipublikasikan
dari tahun 1996 hingga 2006 menemukan bahwa, diantara anak-anak Brazil yang
mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan, prevalensi anemia berkisar antara 55,6%
hingga 65,4% pada anak usia dibawah 12 bulan, dan dari 55,1% hingga 89,1% pada
anak berusia 12 sampai 24 bulan. Sebuah studi yang berbasis populasi yang dilakukan
pada 2006-2007 di Brazil selatan menunjukkan bahwa 76% anak berusia 18-23 bulan
memiliki anemia dan sebuah studi yang dilakukan di Acrelandia (Brazilian Amazonia
Barat) pada 2007, mengidentifikasi adanya anemia pada 40% anak yang berusia 6-24
bulan. Pada 2015, sebuah survey rumah tangga cross-sectional yang dilakukan di
Negara bagian Alagoas (Brazil timur laut) menemukan bahwa 47,9% dan 37,2% anak
yang berusia 6-12 bulan dan 13-24 bulan memiliki anemia.
Penjelasan yang mungkin untuk frekuensi anemia yang lebih rendah yang
dicatat dalam studi ini mungkin dikarenakan investasi dan perhatian yang lebih besar
oleh pemerintah Brazil dalam hal tindakan untuk meningkatkan kesehatan anak dalam
tiga dekade terakhir. Hipotesis ini dikuatkan dengan sebuah studi yang didasarkan pada
dua survei rumah tangga cross-sectional yang dilakukan di Brazil Timur Laut yang
mengidentifikasi penurunan prevalensi anemia dari 45,1% ke 27,4% pada anak berusia
6-60 bulan antara tahun 2005 dan 2015.
Di Brazil, salah satu strategi utama unuk mencegah dan mengendalikan anemia
pada anak-anak muda dipromosikan oleh National Program of Iron Supplementation,
yang dibuat pada tahun 2005, yang mendistribusikan suplementasi besi untuk semua
anak berusia 6-24 bulan, dan wanita hamil serta menyusui. Meskipun beberapa
penelitian telah menunjukkan efikasi dari suplemen besi untuk mencegah anemia
defisiensi besi pada anak-anak, tantangan utama dari strategi ini efektivitasnya yang
rendah dikarenakan efek samping dari asupan suplemen besi, yang sering dikaitkan
dengan intoleransi gastrointestinal. Dalam penelitian ini, suplementasi besi tidak
berhubungan secara signifikan dengan anemia. Sayangnya, kami tidak memiliki data
tentang kepatuhan terhadap pemakaian ferrous sulfat untuk mencoba menjelaskan
kurang kuatnya hubungan ini, tetapi sebuah studi yang dilakukan pada anak berusia
antara 6-12 bulan yang mengunjungi fasilitas kesehatan publik di VicEosa, Brazil,
mengamati bahwa anak-anak yang tidak menerima suplementasi besi memiliki
kesempatan yang 2,39 kali lebih besar untuk memiliki anemia dibanding mereka yang
mendapatkan suplementasi.
Dalam studi ini, anak-anak yang pernah dirawat di rumah sakit setidaknya
sekali selama hidupanya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami anemia
dibanding mereka yang tidak pernah dirawat di rumah sakit. Selain itu, mereka yang
memiliki infeksi saat ini juga memiliki resiko anemia yang tinggi dibandingkan dengan
mereka yang sehat, meskipun hal ini hanya signfikan secara marjinal (P= 0,065). Di
Brazil, penyebab utama rawat inap pada anak di bawah 4 tahun adalah penyakit
pernapasan yang diikuti oleh penyakit infeksi parasit. Menurut literature, penyakit
menular adalah penyebab umum anemia pada masa kanak-kanan, dan anak-anak yang
mengalami anemia lebih rentan terhadap penyakit menular. Selain itu, durasi dan
tingkat keparahan infeksi juga sangat terkait dengan perkembangan anemia. Penyakit
menular adalah penyebab penting anemia karena mereka mengurangi asupan makanan
dan penyerapan nutrisi, dan menguras simpanan zat besi dan mikronutrien lainnya di
tubuh. Namun, kekurangan zat besi juga dapat meningkatan risiko infeksi karena zar
besi diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh yang normal, menciptakan lingkaran
setan antara anemia dan penyakit menular.
Meskipun tidak dinilai dalam studi ini, keberadaan infeksi parasite juga terkait
dengan anemia. Infeksi yang disebabkan oleh cacing dapat menyebabkan anemia
karena kehilangan darah usus kronis dan dengan mengurangi nafsu makan serta
penyerapan nutrisi dalam usus, dan schistosomiasis dapat menyebabkan anemia
melalui 4 mekanisme yang mungkin termasuk kehilangan zat besi dalam feses,
splenomegaly yang menyebabkan sekuestrasi dan kerusakan eritrosit, hemolysis
autoimun, dan inflamasi. Penting untuk digarisbawahi bahwa pengobatan antihelmintik
tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan kesehatan primer di Brazil.
Stunting juga dikaitkan dengan anemia pada studi ini. Meskipun hanya kurang
dari 5% anak yang mengalami stunting (didefinisikan sebagai HAZ <-2), anak yang
stunted memiliki risiko yang 2,4 kali lebih tinggi untuk mengalami anemia
dibandingkan dengan mereka yang tidak stunted. Temuan ini sesuai dengan studi lain
yang diterbitkan dalam literatur. Menurut Woldie et al, hubungan ini dapat dijelaskan
dengan mencatat tiga aspek : 1) anak-anak kurang gizi sering mengalami anemia, 2)
konsentrasi hemoglobin yang rendah dapat menganggu pertumbuhan linier, dan 3)
koeksistensi kekurangan mikronutrien lainnya dan stunting dapat meningkatkan
perkembangan anemia oleh asosiasi sinergis. Dengan demikian, tindakan untuk
mencegah stunting pada anak-anak juga akan berkontribusi pada pengurangan angka
anemia pada anak-anak.
Diperkirakan 50% kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi. Dalam
penelitian kami, kami menemukan bahwa 43% anemia disebabkan oleh kekurangan zat
besi, yang sangat dekat dengan perkiraan WHO. Dalam beberapa analisis, frekuensi
anemia pada anak-anak yang kekurangan zat besi adalah 35% lebih tinggi daripada
mereka yang tidak mengalami kekurangan zat besi, tetapi hal tersebut hanya signifikan
secara marjinal. Dalam analisis kasar status vitamin A marjinal secara signifikan
berkaitan dengan anemia tetapi kehilangan keterkaitan dalam analisis multipel. Adapun
untuk konsentrasi folat, kami mengamati risiko tinggi anemia pada anak di tertil
terendah konsentrasi folat bila dibandingkan dengan anak-anak di tertil tertinggi
konsentrasi folat. Temuan ini menguatkan bukti bahwa defisiensi mikronutrien
multipel merupakan faktor risiko penting untuk anemia.
Berdasarkan bukti ini dan tujuan untuk memperkuat strategi saat ini untuk
mencegah dan mengendalikan anemia pada masa kanak-kanak, Kementerian
Kesehatan Brasil meluncurkan NUTRISUS (strategi beberapa mikronutrien dalam
Fortifikasi Bubuk), yang terdiri dari penambahan sachet yang mengandung campuran
vitamin dan mineral dalam bentuk bubuk untuk ditambahkan ke satu makanan yang
ditawarkan setiap hari untuk anak-anak berusia 6 hingga 36 bulan yang mengunjungi
pusat day care umum. Strategi ini direkomendasikan oleh WHO dalam pengaturan di
mana prevalensi anemia pada anak di bawah 2 tahun atau di bawah 5 tahun adalah 20%
atau lebih tinggi dan didasarkan pada bukti yang menunjukkan bahwa strategi ini
efisien untuk mengurangi anemia sebesar 26% dan kekurangan zat besi sebesar 52%
pada anak-anak muda dari usia 6 hingga 23 bulan. Namun, sejak 2016, krisis politik
dan ekonomi Brazil telah secara drastis mengurangi akses ke barang-barang dasar, dan
layanan kepada populasi yang rentan melalui banyak program kesehatan primer,
memperburuk morbiditas dan mortalitas anak dalam dekade berikutnya.
Meskipun bukan fokus dari penelitian ini, ada beberapa bukti yang
menunjukkan hubungan defisiensi zat besi ibu selama kehamilan dan menyusui dan
defisiensi zat besi pada anak-anak. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kumar et al. [39]
menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi ibu yang parah mempengaruhi status darah
tali pusat dan zat besi, yang dapat memiliki konsekuensi serius bagi bayi pada saat
kebutuhan zat besi tinggi. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa kekurangan zat besi
ibu mengganggu kognisi ibu dan perilaku interaktif, yang dapat mempengaruhi
perawatan anak. Karena alasan ini, penting untuk memastikan status gizi ibu yang
memadai selama jendela peluang penting ini yang mendukung perkembangan yang
memadai bagi anak-anak.
Kesimpulan
I. Metode Penelitian
Desain studi : Studi cross-sectional
Subjek : Anak-anak berusia 11-15 bulan yang
berkunjung ke fasiltas kesehatan primer
Lokasi : Fasilitas kesehatan primer di empat kota di
Brazil
Waktu : Juni 2012 – Januari 2013
Analisis Statistik : Analisis data dilakukan untuk menyelidiki
hubungan variabel dependen dan independen. Analisis yang mengontrol
kota (sebagai variabel pengelompokan), usia anak dan jenis kelamin
dilakukan untuk memilih variabel yang akan diuji dalam beberapa
model (P <= 0,20), selanjutnya variabel dipertahankan jika sesuai
dengan nilai P <0,10 atau jika mereka dapat mengubah PR sebesar 10%
atau lebih. Nilai P <0,05 diterima sebagai signifikan secara statistik
untuk semua analisis. Semua analisis dilakukan dengan perangkat lunak
statistik 12.0 (Statacorp, College Station, Texas, USA).
Apakah ukuran sampel cukup besar Cukup, sampel berjumlah 520 pasien.
untuk mendeteksi hubungan atau
perbedaan yang signifikan secara
statistik?
Apakah ada sumber bias potensial? Ya, studi yang bersifat cross-sectional
merupakan suatu keterbatasan
potensial karena jenis studi ini tidak
memungkinkan seseorang untuk
menyimpulkan hubungan sebab
akibat dan hasilnya harus
ditafsirkan dengan hati-hati.
Importance
Apa temuannya? Faktor risiko yang berhubungan
anemia pada anak, serta strategi
untuk mencegah dan
mengendalikan anemia pada anak
Applicability
Apakah ada hubungan antara temuan Ya
terhadap praktik kesehatan?
Bagaimana temuan tersebut bisa Strategi yang dilakukan untuk
diterapkan pada praktik? mencegah dan mengendalikan anemia
pada anak dalam studi tersebut dapat
diaplikasikan pada populasi lain