Anda di halaman 1dari 13

FARMAKOTERAPI TERAPAN

PENATALAKSANAAN ALERGI OBAT

Oleh :
KELOMPOK

Ni Made Dyah Listyorini (1708611028)


Simasti Ainnurrahmah (1708611030)
Gusti Ayu Prianka Adi Shaswati (1708611036)
I Putu Sudiatmika Widnyana (1708611037)
I Putu Riska Ardinata (1708611040)
I Nyoman Arya Purnata Megantara (1708611044)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

0
1. PEMAPARAN KASUS
Ny.G 42 tahun, wanita datang ke IGD dengan kondisi sesak nafas, gatal dan bentol di
seluruh tubuh. Bibir dan kelopak mata bagian bawah tampak membengkak. Mata kemerahan.
Menurut keluarga yang menghantarkan, Ny.G baru saja kontrol dari dokter keluarga tadi pagi
karena mengalami demam, batuk dan flu selama 2 hari terakhir. Sehabis mandi sore Ny.G
mulai mengeluh gatal-gatal dan akhirnya mengeluh susah bernafas dan dilarikan ke
IGD.Keluarga Ny.G juga membawa obat yang diberikan oleh dokter, yaitu amoksisilin
dengan aturan 3 x sehari 1 tablet, sanaflu 3 x 1 tablet dan grahabion 1 x sehari 1 tablet. Pasien
mengaku sempat minum obat yang diberikan oleh dokter pada siang hari jam 2.
Keluhan umum : Sesak nafas, gatal dan bentol di seluruh tubuh. Bibir dan kelopak
mata bagian bawah tampak membengkak, mata kemerahan.
Riwayat penyakit : Demam, batuk dan flu
Riwayat pengobatan : Amoksisilin dengan aturan 3 x sehari 1 tablet, sanaflu 3 x 1 tablet
dan grahabion 1 x sehari 1 tablet.
Vital Sign : BP= 100/70 mmHg, N= 60 x/m, RR= 20 x/m T= 36,5 0C, BB= 59
kg, TB=160 cm
Berdasarkan hasil assessment, dokter mendiagnosis pasien mengalami gejala alergi obat
Terapi : ABC (Airway, Breath, Circulation), RL, Ranitidine 1 ampul, Nebulizer Ventolin 5
ml, Dexamethasone injeksi 1 ampul, Ephinephrine injeksi 1 ampul

2. ANALISA KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny.G
Ruang : -
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa : Gejala alergi obat

II. SUBJEKTIF
Keluhan Utama : Sesak nafas, gatal dan bentol di seluruh tubuh. Bibir dan
kelopak mata bagian bawah tampak membengkak, mata
kemerahan.
Keluhan Tambahan : -

III. OBJEKTIF
Riwayat penyakit : Demam, batuk dan flu
terdahulu
Riwayat : Amoksisilin dengan aturan 3 x sehari 1 tablet, sanaflu 3 x
1
pengobatan 1 tablet dan grahabion 1 x sehari 1 tablet.
Hasil Pemeriksaan :

Data Klinik Nilai Normal Hasil Pemeriksaan Keterangan


TD (mmHg) < 120/80 100/70 mmHg Dibawah normal

S (°C) 36,4-37,2°C 36,5 °C Normal

N (...kali/menit) 60‐100 kali/menit 60 kali/ menit Normal

RR (...kali/menit) 12‐20 kali/menit 20 kali/ menit Normal

IV. ASSESMENT
4.1 Problem Medik dan DRP Pasien
Problem Subyektif dan Terapi DRP
Medik Obyektif
Gejala alergi Subyektif:  ABC (Airway, 1. Advarse drug
Sesak nafas, gatal
obat Breath, Circulation reaction
dan bentol di seluruh  RL Jika dilihat dari data
tubuh. Bibir dan  Ranitidine 1 ampul
 Nebulizer Ventolin subjektif, pasien
kelopak mata bagian
5 ml mengalami reaksi obat
bawah tampak  Dexamethasone yang tidak diinginkan
membengkak, mata injeksi 1 ampul, seperti anafilaksis
kemerahan.  Ephinephrine
yang disebabkan oleh
Obyektif: injeksi 1 ampul
BP= 100/70 mmHg, obat golongan
N= 60 x/m, RR= 20 betalaktam seperti
x/m T= 36,50C, BB= antibiotik amoksisilin
59 kg, TB=160 cm yang sebelumnya
dikonsumsi untuk
mengatasi gejala
demam. Reaksi alergi
yang sering
ditimbulkan oleh obat
golongan betalaktam
adalah immediate
DHR (segera) yang
biasanya terjadi dalam
2
1-6 jam setelah
pemberian obat
terakhir
2. Unnecesary drug
therapy
Pada kasus ini pasien
diresepkan Ranitidin
yang berasal dari
golongan H-2
Reseptor Antagonis.
Berdasarkan keluhan
yang dialami pasien,
pasien tidak
mengalami keluhan
mual muntah maupun
nyeri disekitar
abdomen sehingga
dapat dikatakan obat
ini tidak diperlukan.
Selain itu, obat
Ventolin yang
mengandung
salbutamol yang
berfungsi sebagai
bronkodilator (untuk
mengatasi gejala
sesak) tidak
diperlukan. Hal ini
dikarenakan obat
ephineprine dapat
berefek pada sistem
respirasi yang
menimbulkan efek
bronkodilator kuat.
Sehingga pemberian

3
Ventolin tidak
diperlukan.
3. Need Additional
Therapy
Pada kasus diatas,
pasien mengalami
anafilaksis yang
merupakan reaksi
hipersensitivitas.
Terapi reaksi
hipersensitivitas
segera bertujuan untuk
menghambat
degranulasi sel mast,
melawan efek
mediator sel mast dan
mengurangi inflamasi.
Histamin merupakan
mediator utama dalam
reaksi hipersensitivitas
atau reaksi alergi.
Oleh karena itu, salah
satu terapi utama
dalam alergi adalah
pemberian
antihistamin yaitu H-1
Reseptor Antagonis.
Oleh karena itu perlu
pemberian terapi
tambahan.

IV.3Pertimbangan Pengatasan DRP


1. Pada kasus diatas, pasien mengalami anafilaksis. Reaksi anafilaksis merupakan
sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat
dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit
(Pratiwi Raissa, 2014). Reaksi anafilaksis dapat disebabkan salah satunya karena
4
pemberian obat golongan betalaktam seperti amoksisilin. Hal ini sesuai dengan
kondisi yang dialami Ny. G yang mengkonsumsi amoksisilin karena sebelumnya
datang ke dokter dengan keluhan demam, batuk dan flu. Pasien mengalami gejala
sesak nafas, gatal dan bentol di seluruh tubuh. Bibir dan kelopak mata bagian bawah
tampak membengkak, mata kemerahan setelah mengkonsumsi obat amoksisilin.
Pengatasan yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan obat yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis dan memberikan penanganan syok anafilaksis seperti
penilaian A, B, C yang merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar,
terapi obat-obatan seperti epinefrin, bronkodilator, antihistamin, terapi cairan dan
kortikosteroid.
2. Pasien diresepkan obat golongan H2 Reseptor Antagonis yang memiliki mekanisme
kerja dengan menghambat kerja dari histamin secara kompetitif melalui blokade pada
reseptor H-2 sehingga dapat menekan sekresi dari asam lambung (BNF, 2009). Obat
ini biasanya digunakan untuk mengatasi gangguan di lambung seperti mual dan
muntah. Pada kasus anafilaksis, gejala-gejala yang dapat terjadi segera setelah
terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target antara lain
kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat, sistem
saluran kencing, dan sistem yang lain. Pada kasus ini pasien tidak mengalami
gangguan gastrointestinal sehingga obat ini tidak diperlukan. Selain itu pada peresepan
obat ventolin yang digunakan untuk mengatasi sesak dapat dikatakan tidak diperlukan
karena epinefrin injeksi yang telah diresepkan dapat menimbulkan bronkodilatasi kuat
dengan bekerja langsung pada otot polos bronkus (kerja β2) (Mycek et al, 2001),
sehingga dapat dikatakan obat Ventolin tidak diperlukan.

3. Dalam kasus ini pasien mengalami anafilaksis yang disebabkan karena alergi obat
amoksisilin. Antihistamin diberikan dalam penanganan anafilaksis karena penyebab
utama dari adanya syok anafilaksis adalah adanya alergi terhadap makanan, gigitan
serangga, lateks, gigitan hewan dan obat-obatan (Davey, 2005), sehingga untuk
menangani adanya alergi tersebut perlu diberikan antihistamin yaitu H-1 Reseptor
Antagonis. Selain itu antihistamin merupakan pilihan lini kedua sebagai terapi
tambahan pada keadaan syok anafilaksis yang dapat diberikan apabila terjadi tanda-
tanda seperti hipotensi dan urtikaria pada pasien (Middleton, 2013).

V. PLAN
5.1 Care plan
A. DRP 1 diatasi dengan diatasi dengan intervensi pada :
5
 Care Giver
Pada kasus ini karena pasien mengalami anafilaksis yang merupakan gejala
alergi obat dan disebabkan oleh obat golongan betalaktam (amoksisilin), maka
pasien / keluarga pasien diberikan informasi untuk menghentikan penggunaan
obat tersebut dan pasien / keluarga pasien perlu menginformasikan kepada
tenaga kesehatan (dokter, apoteker) mengenai riwayat alergi obat dari
penggunaan obat amoksisilin untuk mencegah terulangnya reaksi tersebut.
B. DRP 2 diatasi dengan diatasi dengan intervensi pada :
 Penulis Resep
Apoteker berkonsultasi dengan dokter penulis resep mengenai peresepan obat
Ranitidin dan Ventolin untuk penanganan anafilaksis. Ranitidin merupakan H2
Reseptor Antagonis yang memiliki mekanisme kerja dengan menghambat kerja
dari histamin secara kompetitif melalui blokade pada reseptor H-2 sehingga
dapat menekan sekresi dari asam lambung (BNF, 2009), sedangkan pasien
tidak mengalami keluhan yang berkaitan dengan gangguan gastrointestinal
seperti mual muntah. Ventolin yang mengandung salbutamol bermanfaat untuk
bronkodilator. Dalam kasus ini, pasien telah diresepkan obat epinefrin yang
menimbulkan efek bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung pada otot
polos bronkus (kerja β2) (Mycek et al, 2001). Oleh karena itu perlu disarankan
kepada dokter penulis resep agar penggunaan ranitidin dan ventolin tidak
diperlukan.

 Care Giver
Memberitahu kepada pasien bahwa terdapat pengurangan jumlah obat yaitu
ranitidin dan Ventolin.
C. DRP 3 diatasi dengan diatasi dengan intervensi pada :
 Penulis Resep
Apoteker berkonsultasi dengan dokter penulis resep mengenai rekomendasi
penambahan terapi antagonis reseptor H1 seperti diphenhydramine 25-50 mg
yang diberikan melalui intravena. Antagonis H1 sering pula disebut
antihistamin klasik yaitu senyawa dalam keadaan rendah dapat menghambat
secara bersaing kerja histamin pada jaringan yang mengandung resptor H1.
 Care Giver
Memberitahu kepada pasien bahwa terdapat penambahan jumlah obat yaitu
diphenhydramine sebagai antihistamin.

5.2 Implementasi Care plan

6
a. Terapi Farmakologi
1. Dexamethasone injeksi 5 mg / 5 ml : Diinjeksikan secara intravena
untuk penanganan anafilaksis
2. Ephinephrine injeksi: Diberikan melalui intravena
3. Diphenhydramine : Diberikan melalui intravena
b. Terapi Non Farmakologi
1. Pemberian terapi cairan tambahan bertujuan untuk membantu
mempercepat proses penyembuhan. Terapi cairan tambahan yang dapat
diberikan yaitu air putih, air buah, dan sebagainya.
2. Istirahat yang cukup

V.3 Monitoring
A. Efektivitas Terapi
Pemantauan respon terapi pasien ditandai dengan perbaikan kondisi klinis,
seperti berkurangnya sesak, gatal, bentol, bengkak, tekanan darah yang
kembali normal (120/80 mmHg), serta keadaan pasien tidak lemas. Jika
reaksi anafilaksis sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diawasi atau diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.

B. Efek Samping
Pada kasus ini pasien diresepkan obat dengan rute pemberian secara intravena,
efek samping yang mungkin timbul dari rute pemberian ini adalah sakit di area
penyuntikan.

C. PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini, pasien Ny.G 42 tahun datang ke IGD dengan kondisi sesak nafas, gatal
dan bentol di seluruh tubuh. Bibir dan kelopak mata bagian bawah tampak membengkak.
Mata kemerahan. Menurut keluarga yang menghantarkan, Ny.G baru saja kontrol dari dokter
keluarga tadi pagi karena mengalami demam, batuk dan flu selama 2 hari terakhir. Sehabis
mandi sore Ny.G mulai mengeluh gatal-gatal dan akhirnya mengeluh susah bernafas dan
dilarikan ke IGD.Keluarga Ny.G juga membawa obat yang diberikan oleh dokter, yaitu
amoksisilin dengan aturan 3 x sehari 1 tablet, sanaflu 3 x 1 tablet dan grahabion 1 x sehari 1
tablet. Nilai tanda-tanda vital pasien Berdasarkan kondisi tersebut pasien didiagnosis
mengalami gejala alergi obat yaitu anafilaksis. Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis
akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat
menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup
hebat sehingga menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaksis yang dapat berakibat fatal
(Pratiwi Raissa, 2014). Penanganan untuk reaksi anafilaksis adalah :

7
1. Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
2. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
3. Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0,01
μg/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit
sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2 – 4 μg/menit.
4. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 – 10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaksis
atau syok yang membandel.
5. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
- A. Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
- B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaksis yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
- C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang
penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaksis.
(Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007).
Terapi yang diberikan untuk penanganan pasien adalah penilaian ABC (Airway,
Breath, Circulation), RL, Ranitidine 1 ampul, Nebulizer Ventolin 5 ml, Dexamethasone
injeksi 1 ampul, Ephinephrine injeksi 1 ampul. DRP yang terdapat pada kasus ini adalah
adanya ADR yang disebabkan oleh pemberian amoksisilin. Reaksi alergi yang sering
ditimbulkan oleh obat golongan betalaktam adalah immediate DHR (segera) yang
biasanya terjadi dalam 1-6 jam setelah pemberian obat terakhir. Pengatasan yang dapat
diberikan adalah dengan menghentikan penggunaan obat yang menimbulkan reaksi

8
anafilaksis dan memberikan terapi seperti ephineprin, kortikosteroid, antihistamin, terapi
cairan. Kerja utama epinefrin adalah pada sistem kardiovaskular. Senyawa ini
memperkuat daya kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif: kerja β1) dan
mempercepat kontraksi miokard (kronotropik positif : kerja β1). Oleh karena itu, curah
jantung meningkat pula. Akibat dari efek ini maka kebutuhan oksigen otot jantung jadi
meningkat juga. Epinefrin mengkonstriksi arteriol di kulit, membrane mukosa, dan visera
(efek α) dan mendilatasi pembuluh darah ke hati dan otot rangka (efek β2). Aliran darah
ke ginjal menurun. Oleh karena itu, efek kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan
sistolik bersama dengan sedikit penurunan tekanan diastolik (Mycek et al, 2001).
Pada jantung, adrenalin atau epinefrin bekerja meningkatkan kekuatan kontraksi
dan frekuensi jantung. Curah jantung akan naik. Selama tekanan darah ratarata (harga
rata-rata antara tekanan sistol dan tekanan diastol) tidak naik, tidak terjadi pengaturan
lawan reflektrolik dari parasimpatis. Pada penggunaan adrenalin, harus pula
dipertimbangkan bahwa senyawa ini akan meninggikan pemakaian oksigen dan oleh
karena itu walau terjadi dilatasi arteria koronaria, dapat timvbul serangan angina pektoris
(Mutschler, 1991). Epinefrin dapat menimbulkan efek pada sistem respirasi sebagai
bronkodilator. Pada kasus ini pasien diresepkan Ventolin nebulizer yang mengandung
salbutamol (bronkodilator). Pemberian Ventolin merupakan DRP Unnecesary drug
therapy karena obat epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung
pada otot polos bronkus (kerja β2). Pada kasus syok anafilaksis, obat ini dapat
menyelamatkan nyawa (Mycek et al, 2001), sehingga perlu dikomunikasikan dengan
dokter terkait pemberian ventolin.
Pemberian terapi lain dalam kasus anafilaksis adalah antihistamin dan kortikosteroid
untuk penanganan inflamasi. Anafilaksis merupakan terapi reaksi hipersensitivitas segera
bertujuan untuk menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel mast dan
mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi hipersensitivitas
atau reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian
antihistamin. Antagonis H1 sering pula disebut antihistamin klasik yaitu senyawa dalam
keadaan rendah dapat menghambat secara bersaing kerja histamin pada jaringan yang
mengandung resptor H1 (Simons, 1995). Pada kasus ini pasien diresepkan ranitidine yang
merupakan golongan H2 Reseptor Antagonis yang memiliki mekanisme kerja dengan
menghambat kerja dari histamin secara kompetitif melalui blokade pada reseptor H-2
sehingga dapat menekan sekresi dari asam lambung (BNF, 2009). Obat ini biasanya
digunakan untuk mengatasi gangguan di lambung seperti mual dan muntah, jadi dapat
dikatakan obat ini tidak diperlukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena
9
itu perlu penambahan terapi antihistamin golongan Antagonis H1 seperti
diphenhydramine.
Terapi lain yang dibutuhkan untuk pasien adalah dengan pemberian cairan intravena.
Pada kasus pasien diberikan terapi Ringer Laktat. Komposisi Cairan Ringer Laktat adalah:
Natrium klorida USP 0,6 gram, Natrium laktat 0,31 gram, Kalium klorida USP 0,03 gram,
Kalsium klorida dihidrate USP 0,02 gram, WFI (Water for Injection). Pemberian cairan
akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat
(Spasovski et al., 2014).
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan adalah denganpemberian terapi cairan
tambahan bertujuan untuk membantu mempercepat proses penyembuhan. Terapi cairan
tambahan yang dapat diberikan yaitu air putih, air buah, dan sebagainya dan istirahat yang
cukup. Pemantauan yang perlu dilakukan adalah pemantauan respon terapi pasien ditandai
dengan perbaikan kondisi klinis, seperti berkurangnya sesak, gatal, bentol, bengkak,
tekanan darah yang kembali normal (120/80 mmHg), serta keadaan pasien tidak lemas.
Jika reaksi anafilaksis sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi atau diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.

10
DAFTAR PUSTAKA

Pratiwi Raissa Windiani. 2014. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik. Jakarta:
UI Press.
BNF. 2009. British National Formulary 57. London: BNF Group.Browne D.L.
Mycek, 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta : Widya Medika. Hal. 304, 307-309,
318, 328-329.
Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Middleton, R, K. 2013. Anaphylaxis and Drug Allergen In: Koda Kimle & Youngs : Applied
Therapeutic The Clinical Use of Drug.10 ed, P. 42.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Simons F.E.R. 1995. A New Classification of H1-Receptor Antagonists. Allergy. 50:7-11
Spasovski, G. et al. 2014. Clinical practice guideline on diagnosis and treatment of
hyponatraemia. Intensive Care Med, 40:320–331.

Anda mungkin juga menyukai