PENDAHULUAN
1.PENGERTIAN.
Konsep ‘green architecture’ atau arsitektur hijau menjadi topik yang menarik saat ini, salah
satunya karena kebutuhan untuk memberdayakan potensi site dan menghemat sumber daya alam
akibat menipisnya sumber energi tak terbarukan. Berbagai pemikiran dan interpretasi arsitek
bermunculuan secara berbeda-beda, yang masing-masing diakibatkan oleh persinggungan dengan
kondisi profesi yang mereka hadapi. Green arsitektur ialah”sebuah konsep arsitektur yang berusaha
meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan
tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber
energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal. Konsep arsitektur ini lebih bertanggung
jawab terhadap lingkungan, memiliki tingkat keselarasan yang tinggi antara strukturnya dengan
lingkungan, dan penggunaan sistem utilitas yang sangat baik. Green architecture dipercaya sebagai
desain yang baik dan bertanggung jawab, dan diharapkan digunakan di masa kini dan masa yang
akan datang.
Dalam jangka panjang, biaya lingkungan sama dengan biaya sosial, manfaat lingkungan sama juga
dengan manfaat sosial. Persoalan energi dan lingkungan merupakan kepentingan profesional bagi
arsitek yang sasarannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup.
A.Sustainable ( Berkelanjutan ).
Yang berarti bangunan green architecture tetap bertahan dan berfungsi seiring zaman,
konsisten terhadap konsepnya yang menyatu dengan alam tanpa adanya perubahan – perubuhan
yang signifikan tanpa merusak alam sekitar.
Setujunya saya akan berpendapat bahwa ‘geometri mengikat perancangan’ terkait dengan
perjalanan saya setelah melewti serangkaian proses perancangan arsitektur. Ada sebuah
kecenderungan untuk pendekatan perancangan yang mem-bypass sebuah tahapan pra-perancangan
seperti analisis site, konsep fungsi dan studi tipologi.seringkali tahapan tersebut di tempatkan
dibelakang atau sekedar dilampirkan dalam lembar peyanjian akhir sebagai formalitas belaka,
sebuah proses perancangan yang terbaik. Ironisnya, metode tersebut banyak ‘bertengger’ dalam
banyak proses perancangan, dan harus saya akui banyak metode tersebut seringkali menghasilkan
masa yang sangat kaya secara geometri, namun gagal secara makna bila dikaitkan dengan
lingkungan sekitar atau konteks tampat. D’Archy Thompson mengemukakan bahwa terbentuknya
sebuah bentuk (form) merupakan resultan dari kehadiran dari banyak force yang berada didalam
atau di sekitarnya. Bentuk akan terus ber-evolve serta beradaptasi dengan force yang ada
(Thompson, 1961:11). Bentuk geometri yang dihasilkan merupakan terjemahan dari proses evolusi
tersebut. Force sendiri di akui oleh D’Archy sebagai sesuatu yang abstrak yang sangat luas, namun
pemakaian kata force merupakan simbol dari konsep’sebab’ (Thompson, 1961:12) form yang
dijelaskan D’Archy merupakan penggambaran dari proses evolusi, bentuk dari bentuk organik
mahluk hidup. Kata form dan force akan diangkat sebagai kata kunci dalam penulisan ini.
Sekarang bagaimana dengan arsitektur?. Apakah bentuk arsitektural juga ikut dipengaruhi dari
beragam foce yang ada?. Untuk itu saya mencontohkan konsep mengenai terbentuknya bentuk
vernakular[1]. Amos Rapoport dalam buku house form and culture menyatakan bahwa terjadinya
bentuk-bentuk atau model vernacular disebabkan oleh enam faktor yang dikenal sebagai modifying
faktor (Rapoport, 1969:78) diantaranya adalah:
Amos Rapopor juga mengakui bahwa factor diatas tidak bersifat statis namun bersifat
dunamis sehingga model vernacular akan terus berevolusi seiring dengan berubahnya factor diatas.
Keenam factor diatas membuktikan bahwa bentuk geometri dari model vernacular merupakan hasil
trial dan error setelah melalui evaluasi dari beragam force yang ada. Evolusi dari model vernacular
terus berkembang menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai arsitektur modern. Diawali dari
arsitektur klasik (baroque, ecclictism, art nouveau, Victorian dll.) dan diakhiri dengan gaya arsitektur
post-modern. Keseluruhan gaya arsitektur modern diatas tidak hanya berdiri sendiri namun juga
mengalami proses trial and error menghadapi beragamnya factor atau force yang ada. Yang
membedakan arsitektur modern dengan arsitektur vernacular adalah evolusi atau berkembangnya
motivasi pembentuknya – force-nya.
TAMAN DIATAS ATAP
Taman diatas atap adalah jenis atap yang baru-baru ini berkembang dengan pesat,
digunakan baik untuk rumah tinggal maupun bangunan komersial. Tujuannya adalah agar
bisa memiliki taman meskipun berada diatas bangunan. Dalam merencanakan konstruksi
taman diatas atap, kita harus memperhatikan dahulu faktor keamanan berupa beban yang
harus dipikul oleh keseluruhan struktur yaitu dak beton itu sendiri, beban tanah dan lapisan
taman, tanaman dan juga manusia. Dalam artikel ini saya pilihkan buku yang ditulis Heinz
Frick berjudul ’Atap bertanaman ekologis dan fungsional’.
Dalam arsitektur hijau, filosofi desain struktur dan bangunan mempunyai tujuan untuk
menggunakan seminimal mungkin bahan-bahan non-renewable dan/atau bahan-bahan yang dapat
mencemari yang digunakan dalam konstruksi. Berarti arsitek yang melakukan pekerjaan mendesain
bangunan, seharusnya sudah memahami dan mengerti bahwa tahapan dari proses perencanaan dan
desain bangunannya mengikuti pemikiran tersebut. Kalau saat ini banyak digembar-gemborkan
mengenai apa itu ‘arsitektur hijau’, ‘arsitektur berkelanjutan’, dan juga ‘arsitektur ramah
lingkungan’, sudah seharusnya menjadi bagian yang perlu dipikiran oleh para arsitek saat ini. Dewas
ini, arsitektur hijau/berkelanjutan adalah interpretasi dari berbagai macam ragam. Definisi yang
paling umum adalah bahwa itu melibatkan adanya reduksi dari keseluruhan pengaruh dan proses
dari desain melalui konstruksi serta operasional bangunan pada penggunakan kembali dari struktur
dan elemen-elemennya. Hal itu mengambil beberapa dasar di antaranya: - efisiensi penggunaan site,
ruang, bahan-bahan dan energi; - mereduksi pencemaran baik internal maupun eksternal,
pemborosan, dan kesehatan lingkungan; dan – memperbaiki produktifitas pekerja, dan perlindungan
kesehatan seluruh penghuni.
Oleh karena itu, ‘arsitektur berkelanjutan’ adalah arsitektur yang didesain dengan keramahan
lingkungan. Kemudian tujuan dari ‘berkelanjutan’ atau ‘arsitektur hijau’ adalah untuk menciptakan
struktur yang indah dan fungsional, akan tetapi juga memberikan kontribusi untuk keberlanjutan
budaya dan kehidupan. Perhatian di dalam arsitektur keberlanjutan tumbuh secara radikal di awal
abad ke-21, hal ini terjadi akibat dari respon perkembangan lingkungan, tetapi pada kenyataannya
masyarakat telah membangun keberlanjutan selama ribuan tahun. Di sini ‘hijau’ atau ‘berkelanjutan’
berhubungan dengan efisiensi penggunaan bahan-bahan seperti air, energi, bahan-bahan, habitat
alam serta menyumbangkan pada lingkungan dan kesehatan manusia yang ‘well being’. Banyak
praktik kita yang sekarang adalah buta karena tidak dibimbing oleh teori atau bersandar pada teori
yang tidak mampu bertahan (viable). Penggabungan teori dengan praktik secara khusus mencolok di
dalam arsitektur (Skolimowski 2004:122). Perkembangan desain inilah yang membuat kesalahan
dalam memahami lingkungan dan alam serta kehidupan masyarakat urban dan tradisional. Tempat
menjadi sangat penting dalam mengungkapkan proses desainnya, sehingga pengalaman teori dari
pendidikan formal yang didapat para arsitek harus dapat diterjemahkan ke dalam pemikiran praksis
lingkungan alamnya. Ditambahkan oleh Skolimowski (2004:122) bahwa arsitektur membangun suatu
jembatan di antara logos dengan praksis; ia adalah suatu titik di mana kedua hal itu bertemu. Karena
alas an ini arsitektur memperlihatkan secara nyata kebesaran visi-visi kita dan juga kegagalan
konsepsi-konsepsi kita yang lebih besar. Singkatnya, di dalam arsitektur banyak ide yang didiskusikan
di dalam bab-bab sebelumnya menemukan suatu perwujudan yang dapat dilihat.
Pendapat Wines (2008) menjadi sangat jelas bahwa bangunan-bangunan telah mengkonsumsi
seperenam sumber air bersih dunia, seperempat produksi kayu dunia, dan duaperlima bahan bakar
dari fosil. Oleh karena itu arsitektur merupakan salah satu target utama dari reformasi ekologi.
Meskipun beberapa arsitek telah melakukan rancangan bangunannya yang katanya ‘environmental
friendly’, namun kenyataanya masih banyak yang belum sadar akan hal itu. Mereka tetap melakukan
rancangannya baik dengan spirit teknologi maupun mengkopi masa lalu yang dikombinasikan
dengan industrialisasi. Sebenarnya pemikiran ke depan adalah bagaimana arsitek sebagai manusia
tidak akan membiarkan sebuah bangunan yang secara estetika buruk meskipun bangunan itu dibalut
dengan nama arsitektur ‘hemat energi’ atau arsitektur ‘ramah lingkungan’. Radikalisme arsitektur
mulai berkembang dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian alam dijadikan tempat
sebagai pelampiasan inspirasi untuk merepresentasikan model karya arsitekturnya, yang dikatakan
arsitektur yang tanggap terhadap kondisi alam dan bumi saat ini. Apakah arsitektur yang
berkelanjutan itu merupakan spirit atau style dapat terintegrasi dalam sutuasi dan kondisi
lingkungan sekitarnya. Apakah arsitektur ‘hijau’ itu bagian dari perilaku manusia untuk melawan dan
mengurangi kerusakan lingkungan. “Hijau merupakan istilah yang menjadi konsep sustainable
development atau pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang diterapkan pada bangunan
industri. Arsitektur ‘hijau’ ialah arsitektur yang memepertimbangkan konsep pembangunan
berkelanjutan (Saraswati 2011:4). Jawaban itu harus dimulai sejak awal rancangan bangunan itu,
kemudian proses pembangunannya dan terakhir sesudah bangunan itu berdiri. Sebenarnya
pengertian bangunan ‘hijau’ dalam konteks arsitektur bangunan gedung tidak terlepas denga
pengertian arsitektur bioklimatik, arsitektur ramah lingkungan maupun arsitektur hemat energi
(Saraswati 2011:11). Arsitektur hijau atau desain hijau adalah sebuah pendekatan pada bangunan
yang meminimalkan efek kerusakan terkait dengan kesehatan manusia dan lingkungannya. Arsitek
hijau atau perancang berusaha untuk melindungi udara, air dan tanah dengan memilih material
bangunan ramah lingkungan dan praktek konstruksi. Bangunan hijau menggunakan konstruksi nyata
dan material yang bertanggung-jawab pada lingkungan, dan efisiensi bahan dan fase desain melalui
perawatan dan idealnya untuk merenovasi maupun dekonstruksi.
Kecenderungan saat ini banyak yang menoleh pada arsitektur vernakular dan tradisional dalam
melihat sebagai latar belakang keilmuan, dan dijadikan dasar rancangan bangunan-bangunan di
Indonesia. Bentuk-bentuk arsitekturnya menyatu dengan alam lingkungan sekitarnya, dengan
elemen-elemen ekologisnya menjadikan salah satu inspirasi yang dapat diterapkan untuk bangunan
arsitektur di Indonesia. Mereka kaya dengan tawaran tradisi bahan dan teknologi serta menawarkan
berbagai macam solusi permasalahan iklim tropis, dan yang paling utama adalah iklim panas
lembabnya. Namun sebagian besar teknologi yang berkembang saat ini dalam industri arsitektur
belum tentu cocok untuk kondisi geografis-budaya di tempat kita. Iklim tentu saja sangat
berpengaruh terhadap bahan bangunan, kemudian perilaku dan tatanan budaya juga akan
memberikan dampak besar terhadap hasil karya arstektur tersebut. Untuk itu pendidikan arsitektur
sangat berperan besar untuk mengontrol pemahaman teknik bahan dan bangunan berdasar
lingkungan tradisi budaya kita yang bersahabat dengan alam lingkungannya. Sebagai kenyataan
bangunan modern yang dirancang berdasar prinsip arsitektur berkelanjutan atau arsitektur hijau
tentunya dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur elemen yang berkaitan dengan penghawaan.
Bangunan ‘hijau’ (green building) ialah bangunan yang berkinerja tinggi (high-performance building)
yang dirancang agar responsive terhadap lingkungan, secara ekonomi cukup profit, dan sebagai
tempat yang sehat untuk ditempati dan untuk bekerja (envoronmentaly responsible, economically
profitable, and healthy places to live and work). Konsep ‘hijau’ tidak sekedar sebagai trend masa kini,
namun harus diperlakukan sebagai prinsip dasar ketika kita mulai merancang bangunan (Saraswati
2011:5-6).
Bagaimana Bangunan Menjadi Hijau
Lebih dari lima tahun terakhir beberapa penekanan telah diletakkan untuk menuju hijau. Di dalam
mendorong individu untuk mengubah kebiasaan agar mereka lebih ramah lingkungan. Disana juga
telah dilakukan tekanan besar agar mereka dapat membuat bangunan lebih hijau. Dikatakan pula
bahwa arsitektur hijau adalah tidak lebih dari percampuran cat warna kuning dan biru untuk
merapikan ruang luar dari rumah mereka. Arsitektur hijau adalah integrasi dari teknologi, dalam
teknik konstruksi dengan berpikir sehat ketika memulai merancang sebuah bangunan. Hal ini untuk
memperkecil dampak lingkungan dari struktur serta untuk mereka yang tinggal atau bekerja di
dalamnya. Bangunan hijau juga dikenal sebagai ‘konstruksi hijau’ atau ‘bangunan berkelanjutan’
berhubungan dengan sebuah struktur dan menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap
lingkungan. Efisiensi bahan melalui siklus usia bangunan dimulai dari awal ke desain, konstruksi,
operasional, perawatan, renovasi, dan demolisi. Praktik ini diperluas dan komplemen desain
bangunan klasik terdiri dari ekonomi, utiliti, daya tahan, dan kenyamanan.
Arsitektur ramah lingkungan adalah menjadi lebih popular hampir disemua Negara. Bentuk dari
bangunan yang keberlanjutan mengambil ke dalam sebuah pandangan luas dari dunia dan akibat
dari hal-hal yang telah ada di dalamnya. Arsitektur ramah lingkungan bertujuan untuk
mengendalikan keseimbangan lingkungan pada bangunan dan area yang mengelilinginya. Arsitektur
ramah lingkungan adalah kerapkali menyerah pada sebagian bangunan berkelanjutan atau desain
hijau. Struktur hijau dengan struktur paling tidak-kecil, ruang keluarga yang movabel yang
menggunakan bahan yang dapat diperbaharui. Dengan demikian arsitektur ramah lingkungan dapat
dikembangkan untuk membantu lingkungan melalui desain mereka dan memproduksi mereka
menggunakannya di dalam rumah dan pada ruang publik.
Dalam pengertian umum, arsitektur berkelanjutan dapat menjelaskan ke lingkungan mengenai
kesadaran teknik desain dalam bidang arsitektur. Keberlanjutan adalah kerangka dengan diskusi
yang luas dari ‘keberlanjutan’ dan menekankan issue ekonomi dan politik dari dunia kita. Dalam
konteks yang luas, arsitektur berkelanjutan meminta untuk mengurangi akibat negatif bangunan
terhadap lingkungan dengan menaikkan efisiensi dan tidak berlebihan dalam penggunaan material,
energi, dan pengembangan ruang. Sangatlah mudah bahwa ide dari keberlanjutan, atau desain
ekologi adalah untuk memastikan bahwa aktifitas kita dan keputusan hari ini tidak menghalangi
kesempatan generasi masa depan. Pengertian ini dapat digunakan untuk menjelaskan energi dan
sadar secara ekologis pendekatan pada desain dan lingkungan binaan. Dewas ini melalui kata-kata di
dalam arsitektur telah muncul, keberlanjutan, ramah lingkungan, hi-tech, daur-ulang, dan modern.
Semua fenomena aktual itu merupakan representasi melalui kata-kata adalah bentuk arsitektur
rumah tinggal. Keberlanjutan adalah sebuah kata yang telah menggantikan daya tahan dalam
millennium baru. Di abad ke-20 penekanan telah dilakukan pada struktur bangunan dan melakukan
segala-galanya. Arsitektur berkelanjutan termasuk inovasi desain atau usia dari desain yang telah
ribuan tahun diketemukan kembali dan akan diadaptasi ke dalam kehidupan modern untuk dan
untuk kebutuhan personal anda sementara berharap kehidupan yang berkelanjutan. Konsep
pemikiran efisiensi energi, adalah penting selama mereka dapat mengurangi kebutuhan energi dari
rumah anda menjadi nol, sesuatu yang sangat berat untuk meningkatkan kemampuan perabot yang
terdapat pada bangunan itu.
Sebagai pengguna kita sering berhadapan keputusan gaya hidup yang dapat memebrikan akibat
pada lingkungan kita. Ada beberapa pilihan dalam hidup yang akan membuat perbedaan yang mana
kualitas hidup yang akan diikuti oleh mereka. Berjalan dengan aliran dari budaya kita adalah sangat
berat untuk menghindari, dan tidak menguntungkan aliran itu tidak pada arah yang benar untuk
mengembangkan ke masa depan. Ada beberapa prinsip dari ‘arsitektur berkelanjutan’ yang
diungkapkan oleh Kelly Hart. Daftar dari tiga belas prinsip dari arsitektur berkelanjutan yang dapat
menunjukkan anda di dalam memilih rumah. Prinsip dari arsitektur berkelanjutan tersebut adalah:
small is beautiful, heat with the sun, keep your cool, let nature cool your food, be energy efficient,
conserve water, use local material, use natural material, save the forests, recycle material, build to
cast, grow your food, dan share facilities.
Belajar dari Lokalitas Arsitektur Tradisional
Pelajaran dari arsitektur tradisional dan vernakular yang terdapat di nusantara ini sebenarnya telah
banyak memberikan jawaban yang dapat digunakan dan diterapkan dalam mendesain bangunan
saat ini. Kedewasaan lokalitas arsitektur tersebut dengan segala macam bentuk fisiknya telah banyak
memberikan contoh, dan tentu saja hal itu merupakan salah satu yang dapat dikontribusikan sebagai
bagian dari perjalanan berarsitektur di Indonesia. Salah satu bentuk penerapan nilai lokalitas adalah
adaptasi tempat tinggal terhadap iklim. Menurut Skolimowski (2004:123-124) arsitektur
mengikhtisarkan kebudayaan di mana ia merupakan bagian. Di dalam suatu kebudayaan yang maju,
arsitektur ikut serta di dalam kemegahan. Kemudian ia mengungkapkan bukan hanya kekokohan dan
komoditi tetapi juga kegembiraan. Ketika sebuah kebudayaan sedang runtuh dan tak mampu
mempertahankan corak khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena
kekurangan-kekurangannya terlihat sangat mencolok dan dialami semua orang. Kita lihat konstruksi
rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai kemampuan dalam beradaptasi
terhadap iklim setempat. Karena adanya faktor adaptasi terhadap iklim tersebut mengakibatkan
adanya beberapa perubahan dan perkembangan dalam penggunaan bahan dan material bangunan
pada rumah tradisional masyarakat Suku Tengger di Desa Wonokitri dari waktu ke waktu
(Ayuninggar et al. 2011). Rumah-rumah yang terdapat di Desa Kemiren Banyuwangi sebagian besar
merupakan rumah yang usianya sudah tua, prosentase paling besar menunjukkan bahwa rumah
yang ditinggali memiliki usia lebih dari 50 tahun. Dilihat dari konstruksi rumah asli di Desa Kemiren,
hanya tersusun dari tembok berupa kayu dan gedeg, namun mempunyai kekuatan yang melebihi
rumah dari dinding bata. Meskipun konstruksinya hanya terbuat dari kayu, rumah asli bisa tahan dari
serangan binatang pengerat karena dinding kayu atau gedeg tidak menempel dengan tanah. Antara
tanah dan dinding terdapat jarak antara 5-10 cm. Hal ini merupakan salah satu faktor ketahanan
rumah Using hingga berpuluh-puluh tahun (Muktining Nur et al. 2009). Di Propinsi nanggroe Aceh
Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-
rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang
dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Tidak sekedar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh
yang kaya makna (Burhan 2008).
Kerifan lokal telah menjadi bagian yang akan mengisi arsitektur masa depan, lokalitas memberikan
sumbangan yang sangat besar melalui budaya dan tradisi dari masyarakat. Teknologi dan struktur
budaya masyarakat tradisional yang kita punyai ini mempunyai nilai sejarah dan makna arsitektural
yang besar bagi perkembangan arsitektur di masa mendatang. Kearifan lokal atau sering disebut
local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu (Ernawi 2009:7). Masih banyak lagi tradisi budaya masyarakat tradisional nusantara
Indonesia ini yang masih terpendam dan perlu untuk diungkapkan kearsitekturannya. Menjadi
tinggalan abadi yang perlu dilestarikan menjadi bagain dari apa yang sekarang banyak dibicarakan
dan menjadi bagian dalam pembelajaran berarsitektur, yaitu arsitektur keberlanjutan. Alam tropis
nusantara memberikan karunia besar bagi masyarakat dan arsitektur huniannya. Keragaman dengan
kecirian tradisi budaya yang tinggi telah membentuk fisik alam lingkungannya berdasar letak
geografisnya. Hal ini dapat terlihat dari bentuk dan teknologi masing-masing bangunannya. Alam
nusantara telah memberikan keindahan dalam berkehidupan, tradisi dan budaya menciptakan
teknoligi dan struktur ruang yang menakjubkan, sehingga dengan mempelajari hasil budaya
masyarakat masa lalu, kemudian mengambil nilai keilmuannya akan menjadi kebangkitan baru
dalam berarsitektur di nusantara Indonesia.