Anda di halaman 1dari 3

Aku sedang asik menonton drama Korea di tv malam ini.

Drama Korea terbaru yang


sudah ku tunggu-tunggu, dengan sebuah cemilan yang waktu itu ku beli ternyata masih
ada. Ciki coklat kesukaan ku, yang rasanya lezat di lidah. Haha

Tiba-tiba datanglah Ardan yang langsung duduk di sebelah ku, lalu mengambil toples
ciki yang berada ditangan ku.

"Mas Ardan sudah baikan ?." Sembari menatapnya dari samping.

"Iya." Lalu memasukan beberapa ciki yang ada di tangannya ke dalam mulut.

Tunggu. Aku baru tersadar apa yang dilakukan Ardan. Ia duduk disebelah ku ? Ini
nyata kan ? Sepertinya begitu. Aku masih sedikit tidak percaya, perihalnya selama
ini ia selalu menghindari ku. Duduk bersebelahan seperti ini, bagai mimpi.

Malam semakin larut, aku juga mengantuk. Aku bangkit untuk bergegas tidur.
Meninggalkan Ardan yang masih asik menonton tv serial action.

***

Aku yang telah mandi, langsung menuju ke dapur membuat sarapan untuk ku dan Ardan.
Walau ia sudah enakan, tapi aku tetap harus memperhatikannya sampai ia benar-benar
sehat. Jujur saja aku kasihan melihatnya seperti itu. Belum sampai dapur, tercium
aroma sedap masakan. Aku mengernyitkan dahi, heran. Sepagi ini siapa yang masak ?
Apa mungkin Ardan ? Untuk menjawab pertanyaan ku, langkah kaki ini ku percepat.

Seorang lelaki yang hanya kelihatan tubuh belakangnya, sedang sibuk memasang. Aneh.
Tidak seperti biasanya Ardan memasak, ia kan selalu buru buru ke kantor untuk
menghindari ku. Ku hampiri lelaki itu.

"Seharusnya aku saja yang masak, mas. Kamu kan belum sehat benar."

"Saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir." Sembari mengaduk nasi goreng
dalam teflon.

Aku terus memperhatikannya memasak, sampai aku terkejut ketika ia memberiku


sepiring nasi goreng. Jadi, sejak awal memang ia berniat membuatkan ku makan. Manis
sekali sih. Kami makan bersama di meja makan. Tak ada yang istimewa, hanya makan
bersama disatu meja yang sama dengan sebuah keheningan.

Selesai mencuci piring masing-masing, aku berniat ke kamar sedangkan Ardan ? Tidak
tau, yang ku tau hanya ia juga menaiki tangga. Entah apa yang salah dari cari ku
melangkah, tau tau aku ingin terjatuh tapi untung saja dengan cepat Ardan menopang
tubuhku. Baru kali ini aku hampir terjatuh dari tangga.
Mata kami saling bertemu. 1 detik, 2 detik, 3 detik, 4 detik hampir kelima Ardan
menjauhkan tubuhku. Dan pergi begitu saja.

***

Siang ini aku tengah sibuk memasak bersama mama mertua yang sedang berkunjung ke
rumah. Ardan sedang menemani Nek Salma dan papa Bayu di ruangan keluarga. Aku
bahagia dapat diterima di keluarga Ardan, ya walau Ardannya sendiri tidak dapat
menerima ku. Tak apa, yang terpenting kisah hidup ku tidak begitu tragis seperti
beberapa cerita yang pernah ku baca, tidak ada yang sayang dengan tokoh utama nya.
Kesepian dan menyedihkan.

Semua makanan sudah tertata rapi di atas meja makan, aku bergegas memanggil Ardan,
nenek, dan papa. Sebelum makan, kami berdoa bersama. Terus, makan deh.
"Kapan kalian memberi papa cucu ?."

Aku yang sedang mengunyah, seketika tersedak makanan. Aku batuk batuk, lalu dengan
cepat aku minum.

"Pelan pelan dong makannya, Sa." Ujar mama yang berada di hadapan ku.

Ardan yang berada di sebelah ku hanya terdiam, tanpa khawatir sama sekali. Jangan
jangan ia malah mentertawakan ku dalam hatinya. Tunggu. Aku kembali ingat ucapan
papa. Cucu ? Anak dari ku dan Ardan ? Haha, tidak akan pernah terjadi. Kenapa tidak
? Ya karena kami tidak mempunyai gairah untuk melakukannya, kami kan tidak saling
mencintai.

"Papa, mama, apalagi nenek. Sudah semakin tua, kami ingin segera menimang cucu dari
kamu." Ucap papa.

"Iya Ar, hanya kamu harapan mama dan papa. Kamu kan satu satunya anak kami." Ujar
mama dengan ekspresi penuh harap.

Kalau seperti ini aku jadi terpojok. Tidak tega melihat ekspresi mama dan papa yang
begitu berharap, akan hal yang sulit terjadi. Jika pernikahan ini sejak awal
bahagia, pasti sekarang aku sedang melihat wajah bahagia papa dan mama. Tiba-tiba
aku teringat ibu, apa ibu juga menginginkan hal yang sama seperti mereka ? Jika
iya, aku pasti merasa bersalah sekali karena tidak bisa mewujudkannya, membuat ibu
bahagia. Padahal hanya dia satu satunya orang tua yang ku punya.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.30 tapi aku belum juga beranjak tidur. Yang ku
lakukan sedari tadi terduduk di tepi ranjang sembari memikirkan apa ibu juga
menginginkan seorang cucu. Ku raih handphone yang berada di atas nakas, lalu ku
cari kontak ibu, menelponnya.

"Hallo, bu."

"Iya. Biar ibu tebak, pasti kamu sedang banyak pikiran jadinya menelpon ibu jam
segini."

Aku terkekeh kecil. "Ibu tau saja.. sebenarnya ada hal yang ingin Salyra tanyakan
sama ibu."

"Apa itu ?."

"Apa... ." Tiba-tiba ucapan ku berhenti. Aku bingung harus seperti apa
menanyakannya.

"Tanyakan saja !."

"Setelah aku menikah, apa ibu mengharapkan seorang cucu ?." Dengan suara sedikit
pelan.

Ku dengar ibu terkekeh kecil, tapi entah kenapa aku merasa dibalik itu ada rasa
sedih yang terdalam.

"Kenapa kamu menanyakan hal itu ? Jika ibu bilang iya, apa kamu akan melakukan hal
yang sulit untuk kamu lakukan ?."

Damn. Pertanyaan ibu bagai tamparan keras untuk ku. Ibu benar. Ibu berkata iya pun,
mana bisa aku mengabulkan nya. Itu benar benar hal yang sulit, bahkan memikirkannya
saja hampir membuat frustasi.
"Aku hanya ingin tau, bu. Diluar sulit melakukannya."

"Dengar ibu baik-baik ! Kebahagiaan kamu diatas segalanya bagi ibu. Ibu tidak ingin
menuntut banyak, karena ibu tau betapa sulitnya kamu menjalani ini semua." Aku
terharu, sampai butiran air mata dengan tidak sabarnya, keluar.

"Maafin Salyra bu, yang belum bisa membahagiakan ibu." Sembari menghapus setiap air
mata yang membasahi pipi.

Ku lihat pintu terbuka, Ardan datang. Aku langsung mengakhiri obrolan ku dengan
ibu. Ardan menghampiri ku. Untung saja air mata ku sudah ku hapus, kalau tidak
pasti ia mengejek ku cengeng.

"Saya mau membicarakan masalah yang tadi dibicarakan papa dan mama."

Aku mengerutkan dahi. Untuk apa Ardan membahas soal anak ? Kita sudah sama sama tau
bahwa itu tidak akan pernah terjadi, jadi untuk apa di bahas. Aneh.

"Tak ada yang perlu kita bicarakan mas, aku mengantuk jadi sebaiknya mas juga
tidur."

Bukannya menghindar, hanya saja aku sudah malas mendengarnya membahas hal yang
sudah ku tau ujungnya.

"Tidak. Kita harus membicarakannya !."

Aku menghela nafas kasar. Turuti sajalah.

"Katakan apa yang ingin mas katakan !."

"Apa kamu ingin mempunyai anak dari saya ?."

Aku terdiam. Entah kenapa aku jadi bingung menjawabnya. Padahal tinggal jawab.

Aku tersenyum miris. "Kalau saja pernikahan ini bahagia sejak awal, aku pasti
bahagia bisa mempunyai anak dari mu, mas."

"Maksud mu, kalau kita punya anak dari rasa perasaan yang tidak saling memiliki
satu sama lain, kamu tidak akan bahagia ?."

"Aku bahagia telah mempunyai seorang anak, tapi aku tidak benar benar bahagia.
Tidak ada istri yang bahagia, mengetahui suaminya mencintai perempuan lain."

"Jadi, kamu tidak ingin kalau kita mempunyai anak ?."

"Mungkin aku mau. Jika kamu telah mencintaiku, mas."

Ku rasa pembicaraan ini mulai menguras emosi hatiku. Aku yang tidak ingin merasa
sakit, menyuruh Ardan keluar. Tidak perduli dibilang tidak sopan. Aku punya hati
yang harus dijaga, hatiku sendiri lebih penting.

Anda mungkin juga menyukai