Anda di halaman 1dari 3

Idealisme Yang Tak Kunjung Padam

Kepada Yth,
Kepala Panitia Penerimaan Beasiswa Djarum
Di tempat
Jangan berusaha. Itulah sekiranya yang saya baca dari bab 1 karya Mark Manson. Buku terlaris menurut New
York Times, Globe, & Mail. Sejujurnya, saya kurang percaya dengan buku self-improvement karena selalu
menyodrkan solusi atau saran yang kurang masuk akal dan susah dilakukan. Namun, kali ini berbeda. Buku
berjudul “The Subtle Of Not Giving a F*ck” saya kira telah mengubah cara berpikir saya bahkan jati diri saya.
Mark Manson memaksa saya untuk menjadi diri sendiri ketimbang menjadi orang lain. Lantas ia memberikan
solusi yang lebih masuk akal seperti yang ia katakan bahwa sikap bodo amat adalah nyaman menjadi berbeda.
Dan bahwasanya rasa bahagia hanya sementara maka dari itu tidak ada orang yang benar-benar bahagia. Saya
menganggap kebahagiaan itu berbahaya membuat kita menjadi lemah dan candu meskipun saya mengerti hari
esok tak mesti sama dengan hari ini.

Sebelumnya, saya selalu terkagum dengan sosok yang mendapati kemewahan idealisme.seperti Soe Hok Gie &
Chairil Anwar. Dan yang pasti saya telah membaca Catatan Seorang Demonstran & Aku. Gie misalnya, di
zaman peralihan tahun 1969, masalah tersebut dialami teman seperjuangan Soe hok gie yang tengah duduk
nyaman menikmati kursi Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPR GR) sehabis perjuangan menumbangkan
Soekarno. Lantas, Gie mengumpulkan barang tak lazim untuk dimilikinya seperti gincu, bedak, dan kutang.
Semua barang tersebut ia bagikan pada teman-temanya sesama aktivis ‘66 sebagai bentuk pertanyaan
perjuangan kemanusian mereka dan rasa kemanusian pada tragedi pembantaian mengerikan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Meskipun seringkali menghadiri diskusi anti-PKI Gie yang antikomunis tetap menjunjung
kemanusiaan setinggi-tingginya. Ia berani mengungkapkan pembantaian kepada mereka yang dituduh terlibat
dengan PKI. Beberapa kali mendapat ancaman dan tekanan namun, Komitmenya terhadap kemanusiaan masih
terikat erat pada jantung hatinya. Lain dengan teman seperjuanganya, rasa kemanusian yang terhenti oleh
jabatan dan kemewahan.

Lalu, Chairil penyair sekaligus seniman bombastis, pelopor angkatan 45, yang semasa hidup tak pernah
dihargai oleh para kritikus sastra. Identik dengan nilai sastra dengan bahasa yang lugas dan tak sedikitpun
dihias-hias, seolah merusakkan nilai sastra itu sendiri. Lain lagi setelah binatang jalang ini wafat, tak ada
kritikus yang tak memuji-muji setengah mati sampai mengakui sebagai peolopor pembaruan seni sastra di
Indonesia. Memulai karirnya pada masa penjajahan jepang, diinterogasi, disiksa sampai wajahnya penuh luka
tak terlihat punya siapa. Menolak tawaran hidup bersama ayahnya yang telah memadu ibunya. Sastrawan yang
tak bisa terdiam sunyi melihat apapun yang ia lihat. Tak seperti yang lain, Chairil lebih memilih mekonsumsi
buku ketimbang nasi. Disaat penyair lain dizamanya dengan senang menikmati faislitas-fasilitas yang diberi
Nippon, Chairil malah meludahinya dengan tak ikut serta. Kemerdaan bukan hanya sekedar kata-kata yang
terucap baginya, kemerdekaan menjadi puncak Everest dalam kata-kata pada semangat kapalnya yang berlayar
pada uratnya. Pada saat dimana semua orang bekerja tetap, berangkat pagi jam tujuh dan pulang jam dua,
Chairil lebih memilih hidup melepas bebas karena “Sekali berarti, sudah itu mati.”

Namun setelah tahun kian berganti, saya mulai sadar akan idealisme ini malah membentuk pribadi yang
ceroboh dan arogan. Saya selama ini telah dipengaruhi dan diatur oleh idealisme saya sendiri. Idealisme ini
telah menjelma menjadi ego dan tak seharusnya mengatur saya. Saya lah yang harus mengatur idealisme saya
sendiri.

Latar belakang dari keinginan saya untuk mendaftar beasiswa Djarum ini terutama untuk meringankan
beban orang tua dalam membayar biaya pendidikan saya selama di Universitas Brawijaya. Saya memerlukan
bantuan beasiswa ini agar dapat menyelesaikan serta menuntaskan kuliah dalam rangka mewujudkan cita-cita
saya. Melalui beasiswa Djarum ini, saya yakin mampu mencapai dan merealisasikan harapan besar saya. Dari
pengalaman yang telah saya peroleh, saya percaya bahwa saya orang yang dapat diandalkan dan mampu
bekerjasama dalam tim dengan baik.
Demikian surat motivasi ini saya buat, untuk memenuhi persyaratan dari Beasiswa Djarum 2019 dan besar
pula harapan saya untuk dapat bergabung menjadi salah satu penerima beasiswa Djarum ini.

Hormat saya

(Nuh Titang Salyowioso)

Anda mungkin juga menyukai