Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering di empat
dekade pertama kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama di setiap negara (Gad et al, 2012).
Sepuluh persen dari kematian di seluruh dunia disebabkan oleh trauma
(Maegel, 2010).
Diperkirakan bahwa pada tahun 2020, 8.4 juta orang akan meninggal
setiap tahun karena trauma, dan trauma akibat kecelakaan lalu lintas jalan
akan menjadi peringkat ketiga yang menyebabkan kecacatan di seluruh
dunia dan peringkat kedua di negara berkembang (Udeani, 2013).
Di Indonesia tahun 2011 jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 108.696
dengan korban meninggal sebanyak 31.195 jiwa (BPS, 2011).
Trauma abdomen menduduki peringkat ketiga dari seluruh kejadian
trauma dan sekitar 25% dari kasus memerlukan tindakan operasi
(Hemmila, 2008). Trauma abdomen diklasifikasikan menjadi trauma
tumpul dan trauma tembus. Trauma tembus abdomen biasanya dapat
didiagnosis dengan mudah dan andal, sedangkan trauma tumpul abdomen
sering terlewat karena tanda-tanda klinis yang kurang jelas (Jansen et al,
2008).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penanganan pada Trauma Abdomen?
2. Bagaimana proses Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Trauma
Abdomen?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan asuhan keperawatan
gawat darurat dengan trauma abdomen.

3. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa memahami definisi trauma abdomen
b. Agar mahasiswa mengenal anatomi fisiologi abdomen
c. Agar mahasiswa memahami mekanisme trauma abdomen
d. Agar mahasiswa memahami etiologi trauma abdomen
e. Agar mahasiswa memahami patofisiologi trauma abdomen
f. Agar mahasiswa memahami manifestasi klinis trauma abdomen
g. Agar mahasiswa memahami penanganan pada trauma abdomen
h. Agar mahasiswa memahami pemeriksaan pada trauma abdomen
i. Agar mahasiswa memahami komplikasi pada trauma abdomen

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIK


1. Definisi
Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara
diafragma pada bagian atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma
abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan
trauma tembus abdomen atau trauma penetrasi dan trauma non
penetrasi.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ.
a. Trauma Penetrasi (Trauma Tembak/Tembus)
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam
rongga peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka
tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk,
akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ
internal diabdomen.

Gambar 1: Trauma Tembak/Tembus


(https://sinta.unud.ac.id) diakses 10 april 2019
b. Trauma non-penetrasi (Trauma Tumpul)
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh
jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan
bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi,
kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
1) Kompresi
2) Hancur akibat kecelakaan
3) Sabuk Pengaman
4) Cedera Akselerasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari kontusio dan laserasi
1) Kontusio
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra
abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan
darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai
tumor yang disebabkan trauma non-penetrasi
2) Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma
penetrasi.

Gambar 2: Trauma non-penetrasi rauma tumpul


(https://sinta.unud.ac.id) diakses 10 april 2019
2. Anatomi Fisiologi
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak
diantara toraks dan pelvis. rongga ini berisi viscera dan dibungkus
dinding abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen, columna
vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu
lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian
abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang
bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang
diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga
kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua
bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan
iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale.

Gambar 3: Regio Andomen


(https://sinta.unud.ac.id) diakses 10 april 2019
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ:
Lobus kanan hati, kantung empedu, sebagian duodenum fleksura
hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar suprarenal
kanan.
2. Epigastrica meliputi organ:
Pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian dari hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ:
Gaster, limpa, bagian kaudal pankreas, fleksura lienalis kolon,
bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lumbalis dextra meliputi organ:
Kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan, sebagian duodenum
dan jejenum.
5. Umbilical meliputi organ:
Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum, jejenum dan
ileum.
6. Lumbalis sinistra meliputi organ:
Kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri, sebagian jejenum dan
ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ:
Sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter kanan.
8. Pubica/Hipogastric meliputi organ:
Ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ:
Kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.
3. Cedera Abdomen
Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intra-abdomen dapat
dibagi menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang
termasuk dalam organ padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa,
pankreas, kandung kemih, organ genetalia interna pada wanita, dan
diafragma, sedangkan yang termasuk organ berongga yaitu usus
(gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon, rectum), ureter, dan saluran
empedu. Beberapa cedera organ yang sering terjadi pada pasien yang
mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:
a. Lambung
Cedera pada lambung relative jarang terjadi dan biasanya
disebabkan oleh trauma tembus, terutama penusukan. Cedera
akibat trauma tumpul biasanya meningkatkan secara mendadak
tekanan intraabdomen, misalnya benturan ke perut dari stang, roda
kemudi, efek ledaakan, atau kantong udara (airbag). Lambung juga
dapat mengalami cedera ketika terjadi laserasi diafragma dan
lambung mengalami cedera ketika terjadi laserasi diafragma dan
lambung mengalami herniasi melalui robekan tersebut. Iritasi
kimia akibat kebocoran asam lambung menyebabkan nyeri
abdomen dan peritonitis. Ketidakstabilan biasanya disebabkan oleh
cidera lain yang terkait. Cedera vascular pada arteri lambung dapat
terjadi terutama pada cedera tembus.
1) Penanganan
Cedera abdomen memerlukan laparatomi dengan perbaikan
langsung atau reseksi jika diperlukan. Abdomen membutuhkan
pencucian dari kebocoran isi lambung. Slang lambung biasanya
dibiarkan terpasang selama 3 sampai 4 hari sampai gerakan
peristaltic kembali. Profilaksis ulkus lambung harus diberikan
dengan bloker H2 dan/atau sukralfat.
b. Duodenum dan Usus Kecil
Cedera pada usus kecil mirip dengan cedera lambung. Sebagai
viskus berongga, peningkatan tekanan mendadak di dalam
abdomen dapat menyebabkan rupture. Robekan dapat terjadi pada
titik tertentu di dalam usus. Sabuk pengaman yang tidak dikenakan
dengan tepat (tinggi pada perut) dapat mengakibatkan cedera usus
kecil. Kemungkinan fraktur tulang belakang lumbal dengan atau
tanpa cedera tulang belakang dapat berkaitan dengan cedera sabuk
pengaman dan hipeefleksi abdomen.
1) Penanganan
Cedera usus kecil dan cedera duodenum membutuhkan
perbaikan dengan pembedahan. Pada saat laparatomi
(celiotomi), ahli bedah mengevaluasi keseluruhan panjang usus
karena cedera dapat terjadi pada lebih dari satu tempat,
terutama pada trauma tembus. Adapun apabila terdapat usus
keluar maka dilakukan penanganan sebagai berikut yaitu
gunakan balutan steril untuk menempatkan organ yang keluar
di dekat luka (tidak ke dalam luka). Tutup organ dan luka
sepenuhnya dengan balutan lembab dan steril, jangan buat
tekanan ke luka atau organ yang keluar beri ikatan yang
longgar di sekitar luka, dan persiapkan untuk pembedahan.
Gambar 3: Ttauma tembus pada husus
(http://www.transmadura.com) diakses 10 april 2019
c. Kolon dan Rektum
Cedera usus besar memiliki efek yang sama dengan
peningkatan yang cepat tekanan intra abdomen. Kolon tranversal
rentan terhadap cedera tembus karena lokasinya yang menonjol.
Cedera pada kolon menyebebakan kontaminasi fekal yang
signifikan dan selanjutnya terjadi sepsis, yang menyebabkan cedera
mematikan jika dibiarkan tanpa disadari. Cedera rektal
ekstraperitoneal terjadi pada fraktur pelvis, serta cedera tembus.
1) Penanganan
Cedera kolon membutuhkan pembedahan sebagaimana semua
cedera viskus berongga lainnya. Laparatomi eksplorasi
memeriksa keseluruhan usus besar seperti halnya usus kecil.
Setelah kontrol perdaraha, perbaikan langsung atau reseksi
kolon dilakukan. Pencucian abdomen yang ditunda dapat
dipilih karena infeksi daeerah insisi diketahui dapat terjadi
akibat kontaminasi kotor. Anastomosis primer adlah
penatalaksanaan yang optimal untuk cedera kolon.
Cedera rektal dapat diidentifikasi dengan enema kontras larut
air pada CT. namun demikian, hal ini pun dapat membuat
cedera terlewatkan. Dokter bedah dapat memilih untuk
melakukan proktosigmoidoskopi pada saat laparatomi untuk
memeriksa rectum. Ketika cedera rektal terjadi, drainase
presakral di pasang pada saat laparatomi selain kolostomi
pengalihan
Penanganan pasca operasi meliputi antibiotic untuk mengatasi
kontaminasi fekal. Pasien dipantau untuk adanya peritonitis,
abses, dan sepsis. Kolostomi ini diobservasi untuk:
a) Warna, kelembapan
b) Retraksi
c) Prolapse
d) Nekrosis
e) Stenosis
f) Bukti kembalinya fungsi organ
d. Hati dan Kandung Empedu
Hati adalah organ padat yang terbesar dan bertanggung jawab
untuk faktor pembekuan (fibrinogen, protrombin), sintesis protein,
konversi cadangan glukosa menjadi glikogen, empedu, dan
penyimpanan darah. Hati juha memainkan peranan penting dalam
detoksifikasi darah, penyimpanan zat besi dan vitamin larut lemak
A, D, E, dan K. Cedera dapat terjadi akibat benturan langsung,
perlambatan cepat, atau cedera tembus. Kandung empedu juga
rentan terhadap efek ledakan dari luka tembak atau perangkat
ledakan. Kandung empedu adalah organ berisi cairan yang
berespons terhadap gelombang tekanan.
1) Penanganan
Cedera hati pada umumnya memerlukan manajemen
nonoperatif. Pilihannya bergantung pada stabilitas
hemodinamika. Jika terpilih manajemen non-operatif,
pemantauan meliputi hal berikut:
a) Pemantauan yang sering terhadap tanda-tanda vital dan
hematocrit
b) Lakukan pemeriksaan laktat pada saat masuk dan ulangi
jika meningkat
c) Pasien harus waspada dan kooperatif dengan serangkaian
pemeriksaan
d) Tirah baring dengan peningkatan bertahap aktivitas dan diet
e) Kontrol nyeri
f) Pengkajian ulang abdomen untuk adanya tanda-tanda atau
perubahan peritoneal
g) Frekuensi CT scan ulang bergantung pada perkembangan
pasien
e. Limpa
Limpa adalah organ lain sering mengalami cedera, terutama
akibat trauma tumpul. Limpa berfungsi dalam hematopoiesis,
penghancuran sel darah merah dan trombosit, dan memainkan
peranan fungsi imun primer dengan menghilangkan bakteri yang
menyebar melalui darah. Perdarahan dapat terjadi segera atau
muncul sebagai rupture yang tertunda. Cedera limpa dinilai
berdasarkan CT scan atau visualisasi pada saat pembedahan.
1) Penanganan
Jangan menunda pembedahan jika terdapat hipotensi yang
responsive terhadap resusitasi. Embolisasi limpa merupakan
cara efektif untuk mengendalikan perdarahan dan mencegah
tranfusi atau splenektomi. Jika tidak ada cedera viskus
berongga yang memerlukan laparatomi dan hemodinamika
pasien stabil, manajemen nonoperatif dapat dipilih.
f. Pankreas
Pankreas ini bertempat di retroperitoneum sehingga relative
terlindungi dan cedera untuk di diagnosis. Cedera disebabkan oleh
pukulan langsung, sering kali stang sepeda atau roda kemudi.
Cedera pancreas juga dapat mencakup duktus yang melepaskan
enzim ke dalam abdomen.
1) Penanganan
Cedera pancreas tingkat rendah biasanya stabil secara
hemodinamika dan dapat sembuh dengan sendirinya.
Penanganan nonoperatif untyk cedera pancreas terisolasi pada
CT scan dapat mengakibatkan terlewatnya cedera usu kecil.
Cedera pada duktus membutuhkan intervensi operasi.
g. Ginjal dan Ureter
Ginjal relative menempel di sekitar predikel. Trauma tumpul
akibat torsi pada area ini menyebabkan cedera pada ginjal itu
sendiri serta arteri dan/atau vena ginjal. Cedera tembus terjadi
akibat cedera langsung ginjal. Untuk ureter, cedera tembus adalah
yang paling sering menjadi penyebab organ retroperitoneal yang
paling sering mengalami cedera adalah ginjal. Trauma ginjal terjadi
sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian
besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara
konservatif. Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang
disebabkan oleh berbagai macam trauma baik tumpul maupun
tajam. Trauma ginjal merupakan trauma yang terbanyak pada
sistem urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma pada abdomen
mencederai ginjal. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat
trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi
bedah pada kasus-kasus trauma ginjal.
1) Penanganan
Cedera ginjal paling sering diatasi tanpa operasi. Manajemen
nonoperatifnya mirip dengan penatalaksanaan nonoperatif
untuk cedera hati dan limpa dan ditambah hal-hal berikut:
a) Pantau pengeluaran urine
b) Pantau nitrogen urea darah (blood urea nitrogen BUN) dan
kreatinin untuk fungsi ginjal
c) Pantau urinalisis
h. Kandung Kemih Dan Uretra
Kadung kemih dan uretra adalah organ pelvis serta dapat
cederaoleh pukulan lansung atau oleh fraktur pelvis. Kandung
kemih lebih rentang ketika penuh, terutama dari sabuk pengaman.
Pada anak-anak, kandung kemih berasa dalam rongga intra
abdomen dan rentan terhadap pukulan dan terutama ketika penuh.
Kandung kemih memiliki komponen intraperitoneal dan
ekstraperitoneal. Cedera intraperitoneal biasanya melibatkan
bagian kubahnya. Sampai 25% dari cedera kandung kemih dan
uretra berhubungan dengan fraktur pelvis dan terlewatkan pada
awalnya (Ziran dkk, 2015).
Diagnosis cedera kandung kemih intraperitoneal dapat tertunda
sampai 19 jam sedangkan untuk cedera kandung kemih
ekstraperitoneal penundaan dapat mencapai 6 hari. Indeks
kecurigaan yang tinggi diperlukan ketika memeriksa adanya cedera
urinaria ini.
Cedera uretra posterior paling sering berkaitan dengan fraktur
pelvis, meskipun cedera uretra anterior berhubungan dengan
mengangkat, luka tembak/tembus, dan kejadian instrumentasi yang
disebabkan diri sendiri. Cederai ini lebih banyak terjadi pada laki-
laki karena ukuranya yang panjang dan terekspos. Risiko cedera
uretra meningkat baik pada fraktur pelvis anterior maupun
posterior.
Tanda dan gejala cedera kandung kemih sebagai berikut:
a. Nyeri abdomen bagian bawah.
b. Kesulitan berkemih.
c. Hematuria.
d. Nyeri tekan pantulan, guarding.

1) Penanganan
Rupture andung kemih ekstraperitoneal ditunjukan dengan
ekstraasasi berbentuk api dari kontras pada sitogram
(figure, 8-2) rupture tersebut diatasi secara nonoperatif.
Sitogram halus diulang kemudian untuk menebtukan
penutupan rupture. Kateter foley adalah manajemen yang
paling kuat untuk mengeluarkan urin dn menghasilkan hari
kateterisasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
manajemen menggunakan slang suprapubik. Rupture
kandung kemih intraperitoneal memerlukan perbaikan
operasi dan drainase urin yang merembes. Hematoma
pelvis dibiarkan utuh.
Jika diduga terjadicedera uretra, kateter foley tidak
dipasang untuk menghindari memburunya cedera parsial
menjadi robekan penuh. Cedera uretra anterior diatasi
secara nonoperatif dengan pemasangan kateter dan slang
suprapubik. Cedera uretra posterior dapat diatasi dengan
rekontruksi perineum tertunda atau reposisi endoskopi
primer. Repsisi primer lebih sederhana memberikan waktu
yang lebih singkat untuk berkemih sepontan, dan
penurunan insiden striktur, sehingga menghindari
uretroplasti bedah dimasa yang akan datang.
i. Gentalia Pria.
Testis, skrotum, dan penis sebagai satu kesatuan yang jarang
mengalam cedera sekalipun rentan terhada trauma tembus.
Identifikasi cepat cedera testis sangat penting untuk
menyelamatkan testisitu sendiri. Cedera penis, meskipun jarang,
juga dapat terjadi akibat terjepit dan dapat menyebabkan amputasi.
1) Penanganan: Cedera testis akan mumbutuhkan intervensi bedah
segera untuk mengevakuasi bekuan darah, memeriksa tingkat
cedera, dan perbaikan terkadang orkiektomi diperluka jika
cedera tidak dapat diperbaiki. Keterlambatan pengobatan dapat
mengakibatkan atrofi testis atau infeksi.
Pada cedera skrotum dapat dilakukan perbaikan atau
rekontruksi. Jika avulsi skrotum tidak dapat diperbaiki,
implantasi bedah testis kedalam paha memungkinkan
penyelamatanya dalam situasi ini. Skrotum juga harus
ditinggikan pada gulungan handuk dan dipantau untuk
mencegah dekubitus dengan pembengkakan. Peembengkakan
skrotum juga dapat terjadi pad fraktur pelvis tanpa cedera
lansung pada skrotum. Perawatan yang sama juga harus di
berikan. Cedera penis sangat berkaitan dengan cedera intra
abdomen. Pengkajian abdomen total tidak boleh diabaikan
dengan adanya cedera penis. Cedera penis dapat diatasi secara
nonoperatif dengan elevasi kompres es, dan obat anti inflamasi.
Analgesic untuk nyeri juga penting. Hematoma mungkin
memerlukan evakuasi bedah. Komplikasi meliputi devormitas
permanen, dan/atau ereksi yang tidak adekuat. Dukungan
psikososial mungkin diperlukanuntum menghadapi perubahan
citra diridan fungsi seksual
j. Cedera Diafragma
Pada trauma tumpul abdomen, robekan diafragma dapat
terjadi pada bagian manapun pada kedua diafragma. Yang paling
penting dan berbahaya jika mengenai diafragma kiri, berhubungan
dengan organ sekitarnya. Lokasi cedera biasanya pada daerah
paskaero lateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak
awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun kabur,
biasanya berupa hematoraks, ataupun adanya bayangan udara yang
membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT
yang terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil
foto thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan. Cedera
diafragma dapat dilihat dari pemeriksaan CT scan abdomen pada
pasien trauma tumpul abdomen.
4. Etiologi

a. Penyebab Trauma Penetrasi


1) Luka akibat terkena tembakan
2) Luka akibat tikaman benda tajam
3) Luka akibat tusukan
b. Penyebab Trauma Non-Penetrasi
1) Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
2) Hancur (tertabrak mobil)
3) Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
4) Cidera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olahraga.
5. Mekanisme Trauma
a. Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang
mengakibatkan luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke
dalam rongga peritoneum yang disebabkan oleh tusukan benda
tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga bentuk luka
yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).
Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang
lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan
berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat.
Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam
rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.

b. Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang
jelas pada permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera
berupa kerusakan daerah organ sekitar, patah tulang iga, cedera
perlambatan (deselerasi), cedera kompresi, peningkatan mendadak
tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau laserasi
jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan
adanya Deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak
mempunyai kelenturan (non complient organ) seperti hati, lien,
pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme terjadinya trauma
tumpul abdomen yaitu:
1) Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di
antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan
menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ
visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distal
organ yang terkena. Contoh pada aorta distal yang mengenai
tulang torakal mengakibatkan gaya potong pada aorta dapat
menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada
pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
2) Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior
dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat
menyebabkan ruptur, biasanya terjadi pada organ-organ padat
seperti lien, hati, dan ginjal.

6. Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non penetrasi kemungkinan
terjadi perdarahan intra abdomen yang serius, pasien akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel
darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila
suatu organ visceral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi,
tanda-tanda iritasi peritoneum cepat tampak. Tanda-tanda dalam
trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri
lepas, dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi
peritonitis umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami
takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis.
Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase
awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila
terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdiomen, maka operasi
harus dilakukan.
Patofisiologi cedera intra-abdomen pada trauma tumpul abdomen
berhubungan dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang
mengalami trauma dengan energi yang tinggi akan mengalami
goncangan fisik yang berat sehingga menyebabkan cedera organ.
(Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa mekanisme cedera
pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera organ
intra-abdomen, yaitu:
a. Benturan langsung terhadap organ intra-abdomen diantara dinding
abdomen anterior dan paskaerior
b. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada
kecelakaan dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian.
Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi
vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-
struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang
dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik.
c. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan
intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya
menyebabkan cedera organ berongga. Berat ringannya perforasi
tergantung dari gaya dan luas permukaan organ yang terkena
cedera
d. Laserasi organ intra-abdomen yang disebabkan oleh fragmen
tulang (fraktur pelvis, fraktur tulang iga)
e. Peningkatan tekanan intra-abdomen yang masif dan mendadak
dapat menyebabkan cedera diafragma bahkan cedera kardiak.
Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan
rusaknya organ intra-abdomen yang tidak mempunyai kelenturan
(noncomplient organ) seperti hati, limpa, ginjal dan pankreas. Pola
injuri pada trauma tumpul abdomen sering disebabkan karena
kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan
benda tumpul. Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi
langsung abdomen dengan objek padat yang mengakibatkan
robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa. Bisa juga
karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan
pembuluh darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau
arteri renalis). Atau bisa karena kompresi eksternal yang
menyebabkan peningkatan intraluminal yang menyebabkan cedera
organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang
mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati
35% - 45% dan usus halus 5%-10%.

7. Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis
menurut Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah
abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah,
takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
a. Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
b. Terjadi perdarahan intra abdominal.
c. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga
fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan
peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
d. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam
setelah trauma.
e. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio
pada dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
a. Terdapat luka robekan pada abdomen.
b. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
c. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
perdarahan/memperparah keadaan.
d. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam
andomen.
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen,
yaitu:
a. Nyeri
b. Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat.
Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat
nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
c. Darah dan cairan
d. Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
e. Cairan atau udara dibawah diafragma
f. Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa.
Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
g. Mual dan muntah
h. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
i. Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal
shock hemoragi.
8. Penatalaksanan
a. Pre-hospital untuk trauma tajam dan tumpul.
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi
di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah
ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus
segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABCDE jika
ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan jalan napas.
Primari survey:
1) Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas
menggunakan
teknik ‘head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan
mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan,
darah atau benda asing lainnya.
2) Breathing.
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak.
Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban
(kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).

3) Circulation.
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban
tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan
resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan
bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30 kali kompresi dada
dan 2 kali bantuan napas).
4) Disabillity
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis.
Selaluh priksa tingkat kesadaran (den GCS) dengan laterallisasi
(pupil anisokor dan motoric yang lebih lemah suatu sisi).
5) Exposure
Apabilah ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi),
cukup menutupnya dengan kasa steril supaya usus tidak kering.
Apabilah ada benda menacap jamgan dicabut, tetapi lakukan
fiksasi pada benda tersebut terhadap dinding perut.
Untuk penanganan awal trauma abdomen, dilihat dari trauma
nonpenetrasi dan trauma penetrasi, yaitu:
Penanganan awal pada trauma abdomen non-penetrasi
1) Stop makanan dan minuman
2) Imobilisasi
3) Kirim kerumah sakit
4) Diagnostik Peritoneal Lavage
Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen,
dengan tujuan untuk mengetahui lokasi perdarahan. Indikasi untuk
dilakukan DPL, antara lain:
1) Nyeri abdomen yang tidak dapat diterangkan sebabnya
2) Trauma pada bagian bawah dari dada
3) Hipotensi, hematocrit turun tanpa alasan yang jelas
4) Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alcohol, cedera otak)
5) Pasien cedera abdominalis dan cedera medulla spinalis
6) Patah tulang pelvis
Pemeriksan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapat darah segar
dalam BAB atau daerah sekitar anus maka berarti ada perdarahan
di bagian kolon atau usus besar akibat trauma non penetrasi
(trauma tumpul). Adapun kontra indikasi tindakan DPL yaitu:
1) Hamil
2) Pernah operasi abdominal
3) Penolong tidak berpengalaman
b. Penanganan awal pada trauma abdomen penetrasi (trauma tajam)
1) Bila terjadi luka tusuk, maka pisau atau benda yang tertusuk
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis di rumah
sakit
2) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan
dengan kain kasa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi
pisau agar tidak memperparah luka/perdarahan
3) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut
tidak di anjurkan di masukkan kembali kedalam tubuh, akan
tetapi di balut dengan kain bersih atau bila ada perban steril
4) Imobilisasi pasien
5) Tidak dianjurkan memberi makan dan minum
6) Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan
menekan
7) Bawa ke rumah sakit
Secondary survy:
Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABCDE pasien sudah stabil.
Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita
harus kembali mengulangi Primary Survey. Semua prosedur yang
dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala
sampaike jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama:
1) Pemeriksaan kepala.
a) Kelainan kulit kepala dan bola mata
b) Telinga bagian luar dan membrana timpani
c) Cedera jaringan lunak periorbital
2) Pemeriksaan leher
a) Luka tembus leher
b) Emfisema subkutan
c) Deviasi trachea
d) Vena leher yang mengembang
3) Pemeriksaan neurologis
a) Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
b) Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motoric
c) Penilaian rasa raba / sensasi dan reflex
4) Pemeriksaan dada
a) Clavicula dan semua tulang iga
b) Suara napas dan jantung
c) Pemantauan ECG (bila tersedia)
5) Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
a) Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
b) Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul
abdomen kecuali bila ada trauma wajah
c) Periksa dubur (rectal toucher)
d) Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus
externus
6) Pelvis dan ekstremitas
a) Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan
melakukan tes gerakanapapun karena memperberat
perdarahan)
b) Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
c) Cari luka, memar dan cedera lain

7) Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan):


a) Foto atas daerah abdomen yang
b) cedera dilakukan secara selektif.
c. Penanganan Di Rumah Sakit Hospital
1) Trauma Non Penetrasi
a) Pengambilan contoh darah dan urine.
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk
pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk
pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan
darah lengkap, potassium, glukosa, dan amylase.
b) Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior
dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukabn pada
penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk
mengetahui ekstraluminal di retroperitoneum atau udara
bebas dibawah diafragma, yang keduanya memrlukan
laparatomi segera
c) Study Kontras Urology dan Gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum,
kolon ascendens dan dubur
2) Trauma Penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen,
seorang ahli bedah yang berpengalaman akan memeriksa
lukanya secara local untuk menentukan dalamnya luka.
a) Skrinning pemeriksaan rontgen.
Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan hemoo atau pneumotoraks atau untuk
menemukan adanya udara intreperitoneum. Serta rontgen
abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan
peluru atau adanya udara peritoneum.
b) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning ini
dilakukan untuk mengetahui jenis cedera ginjal yang ada.
c) Uretrografi
Dilakukan untuk mengetahui adanya tupture uretra
d) MSistografi
Ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya cedera pada
kandung kemih.
9. Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-
abdomen harus dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang
objektif dibandingkan hanya dengan pemeriksaan fisis sendiri bila
didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai dengan penurunan
kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi
abdomen adalah
a. Computed Tomography (CT) abdomen
Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk
diagnostik cedera organ intra-abdomen dengan hemodinamik
stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras intravena, sehingga
14 pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan dapat mengevaluasi
masing-masing organ, termasuk struktur organ retroperitoneal.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan
pemeriksaan CT abdomen, yaitu:
1) Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik
tidak stabil.
2) Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum,
maka pemberian kontras peroral dapat membantu diagnosis.
3) Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan
adanya darah pada pemeriksaan rektum, pemberian kontras
melalui rektum dapat membantu.

b. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)


Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu
pemeriksaan yang mendeteksi ada tidaknya cairan
intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang
aman dan cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari. Pada
pemeriksaan FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium,
hepatorenal, splenorenal, parakolik gutter kanan dan kiri, dan
rongga pertioneaum di daerah pelvis.
1) Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang
digunakan untuk menilai adanya darah di dalam abdomen.
Gastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung
danpemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung
kemih. Sebuah kanul dimasukkan di bawah umbilicus,
diarahkan ke kaudal dan posterior.
2) Laparotomi eksplorasi
Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling
akhir. Indikasi dilakukan laparotomi eksplorasi adalah:
a) Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya
b) Perdarahan tidak terkontrol
c) Tanda-tanda peritonitis
d) Luka tembak pada abdomen
e) Ruptur diafragma
f) Pneumoperitoneum
g) Eviserasi usus atau omentum.
h) Indikasi tambahan
Perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau
rectum, perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk
dengan cedera vascular, bilier, dan usus.
Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah:
a) Menemukan dan mengontrol perdarahan.
b) Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi
feses.
c) Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya.
d) Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya.
10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat disebabkan karena trauma
abdomen adalah:
a. Perforasi
Gejala perangsangan peritoneum yang terjadi dapat disebabkan
oleh zat kimia atau mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian
atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat kimia
segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila
perforasi terjadi dibagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul
gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala-gejala akut
abdomen karena perangsangan peritoneum. Kolon merupakan
tempat bakteri hasil dan akhirnya adalah feses, maka jika kolon
terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan
pembedahan. Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritoneum
akan terkontaminasi oleh bakteri dan feses. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang bisa memberikan dampak lebih
berat.
b. Perdarahan dan Syok Hipovolemik
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul dan trauma tembus) dapat
menimbulkan perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan
pada trauma adalah alat-alat parenkim, mesenterium dan ligament;
sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul biasanya
tidak terkena. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih
sulit dibandingkan dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf
permulaan. Dalam taraf pertama darah akan berkumpul dalam
sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan
peritoneal belum ada sama sekali. Apabila perdarahan tidak segera
ditangani dengan baik dan tepat maka dapat terjadi syok
hipovolemik yang ditandai dengan hipotensi, takikardia, dehidrasi,
penurunan turgor kulit, oliguria, kulit dingin dan pucat.
c. Penurunan atau menghilangnya fungsi organ
Penurunan fungsi organ dapat disebabkan karena terjadinya
perdarahan yang massif tanpa penanganan yang adekuat sehingga
pasokan darah ke organ tertentu menjadi berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan fungsi organ, bahkan fungsi organ bisa
menghilang.
d. Infeksi dan Sepsis
Peradangan dan penumpukan darah dan cairan pada rongga
peritoneal dapat menyebabkan mudahnya bakteri untuk
menginfeksi sehingga resiko terjadinya infeksi sangat tinggi dan
apabila infeksi tidak terkendali, mikroorganisme penyebab infeksi
dapat masuk ke dalam darah dan mengakibatkan syok sepsis
Komplikasi organ lainnya
1) Pankreas: pankreatitis, pseudocyta formasi, fistula pankrea-
duodenal, dan perdaragah
2) Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral
dingin, diaphoresis dan syok
3) Usus: Obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan
syok
4) Ginjal: gagal ginjal akut

A. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian Primer
a. Airway
1) Jalan nafas bersih terdapat penumpukan secret
2) Terdengar ada tidaknya bunyi nafas (Ronchi, Wheziing)
3) Lidah tidak jatuh kebelakang
b. Breathing
1) Peningkatan frekuensi pernafasan (N: 16-22 x/menit)
2) Menggunakan otot-otot pernapasan (abdomen, thoraks)
3) Irama nafas (teratur, dangkal, dalam)
4) Distress pernapasan (pernapasan cuping hidung, takipneu,
retraksi)
5) Suara nafas (vesikuler, bronchial, bronkovesikuler)
6) Terapioksigen: Nasal canul, NRM (Non Rebreathing Mask),
RM (Rebreathing Mask), inhalasi Nebulizer
7) SpO2: 95%
c. Circulation
1) Nadi karotis dan nadi perifer teraba (kuat, lambat)
1) Penurunan curah jantung (gelisah, letargi, takikardia)
2) Capillary refill kembali dalam 3 detik
3) Akral (dingin, hangat)
4) Tidak sianosis
5) Kesadaran somnolen
6) Tanda-tanda vital: TD (Tekanan Darah): 110/70-120/80 mmHg
N (Nadi): 60-100 x/menit RR (Respiratory Rate): 16-22 x/menit
S (Suhu): 36,5-37,5 derajat C
d. Disability
Kesadaran compos mentis dengan GCS = E4, V5, M6 = 15
e. Exposure
1) Integritas kulit baik
2) Ada/tidak luka bekas post operasi laparatomi
3) Capillary refill kembali dalam 3 detik.
2. Pengkajian Sekunder
a. Ampele
1) Alergi
Klien tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan, makanan,
minuman dan lingkungan.
2) Medikasi
Sebelum di bawa ke RS (Rumah Sakit), klien tidak
mengkonsumsi obat-obatan apapun dari dokter maupun apotik.
3) Past ilness
Sebelum di bawa ke RS, klien tidak mengalami sakit.
4) Last meal
Makanan dan cairan
5) Environment
Klien tinggal di rumah bersama siapa (sendiri, bapak/istri,
anak, orang tua) di lingkungan padat penduduk, tempat tinggal
cukup dengan ventilasi, lantai sudah di keramik, pencahayaan
cukup, terdapat saluran untuk limbah rumah tangga (selokan).

b. Pemeriksaan Head to Toe

1) Keadaan Rambut dan Higiene Kepala


Rambut hitam, coklat, pirang, warna perak, berbau. Pada kulit
kepala bisa ditemui lesi seperti vesicular, pustule, crusta karena
varicella, dermatitis. Ada/tidak hematoma maupun jejas.
2) Pupil dan Refleks Cahaya
Isokor/anisokor ukuran 3mm/3mm, simetris kanan-kiri, sklera
ikterik anikterik, konjungtiva anemis atau aninemis, reaksi
terhadap cahaya baik/tidak, menggunakan alat bantu
penglihatan atau tidak.

3) Hidung
Bentuk simetris, ada/tidak polip maupun sekret, peradangan
mucosa.
4) Telinga
Simetris kanan-kiri, ada/tidak penumpukan serumen, ada/tidak
menggunakan alat bantu pendengaran.
5) Mulut
Ada/tidak perdarahan pada gusi, periksa adanya radang mukosa
(stomatitis), ada/tidak sariawan, tonsil diperiksa apakah
meradang atau tidak.
6) Leher
Kelenjar tyroid diperiksa apakah terjadi pembesaran kelenjar
tyroid, ada/tidak peningkatan JVP (Jugularis Vena Pressure).
7) Pernafasan (paru)
Bentuk thorax normal/tidak, pengembangan dada simetris
antara kanan- kiri, normal pernafasan: 16-22 x/menit, amati
suara batuk yang terdengar
P : Sonor/pekak
P : Fremitus vokal sama antara kanan- kiri.
A : Suara nafas (vesikuler/broncho-vesicular, bronchial),
suara tambahan (rales, ronchi, wheezing, dan pleural friction-
rub)
8) Sirkulasi (jantung)
I : Ictus cordis tampak/tidak
P : Ictus cordis teraba kuat/pelan di mid klavikula intercosta
V : sinistra, ada/tidaknya thill
P : Pekak/sonor
A : Bunyi jantung (S1- S2) reguler, ada/tidak suara jantung
tambahan.

9) Neurologi
Kaji skala nyeri PQRST (P: Provoke, Palliates, Precipitation;
Q: quality; R: radiance; S: severity; T: time.
10) Abdomen
Abdomen membusung/membuncit atau datar, tepi perut (flank)
menonjolatau tidak, umbilicus menonjol atau tidak. Amati
bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena di kulit
abdomen, tampak benjolan massa atau tidak. Adanya distensi
pada abdomen (kemungkinan ada pneumo pertonium, dilatasi
gastric atau ileus akibat iritasi peritoneal). Pergerakan
pernapasan abdomen (kemungkinan ada peritonitis).
A : Peristaltikusus 5-35 kali permenit
P : Ada nyeri tekan atau tidak, hepar dan lien teraba atau
tidak
P : Tympani/hipertympani, massa padat atau cairan
menimbulkan suara pekak.
11) Genitoririnaria
(a) Pria:
Kulit sekitar kalamin mengalami infeksi/jamur/kutu, teraba
testis kiri/kanan,
(b) Wanita
Amati vula secara keseluruhan adakah prolapsus uteri,
benjolan kelenjar Bartholin
12) Kulit
Turgor kulit elastis, kembali kurang dari 3 detik, tidak ada lesi,
tidak ada kelainan pada kulit.
13) Ekstremitas
Pemeriksaan edema/tidak edema, rentak gerak, uji kekuatan
otot, reflek-reflek fisiologik, reflex patologik babinsk

3. Diagnosa Keperawatan
NANDA. 2015/2017, edisi 10

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (trauma)


b. Resiko syok hipovolemik
c. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan factor mekanik
(mis: daya gesek, tekanan imobilitas fisik).
d. Resiko infeksi
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
f. Ketidakseimbangan nutrusi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
4. Intervensi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (trauma)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24jam
diharapkan nyeri yang dirasakan berkurang dengan kriteria hasil:
NOC:
1) Kontrol nyeri
a) Dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke skala…
b) Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa
analgesic dipertahankan pada skala …dan di tingkatkan ke
skala…
c) Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke skala…
2) Tingkat nyeri
a) Tidak bisa beristirahat dipertahankan pada skala…dan di
tingkatkan ke skala…
b) Ekspresi nyeri wajah dipertahankan pada skala…dan di
tingkatkan ke skala…
NIC
1) Manajemen Nyeri
a) Lakukan pengkajian komprehensif yang meliputi lokasi
karakteristik onset, atau durasi frekuensi, kualitas
insensitas, atau beratnya nyeri dan faktor pencetus
b) Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien
terhadap nyeri
c) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri
d) Kolaborasi dengan pasien orang terdekat dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan mengimplementasikan tindakan
penurunan nyeri non farmakologi sesuai kebutuhan
e) Observasi TTV
b. Ketidakseimbangan nutrusi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan…x24 jam diharapkan
pasien mampu mengetahui
NOC:
a) Nafsu makan dipertahankan
b) Energy skala outcome (100701) dipertahankan pada
banyak menyimpang dari rentang normal (2) ditingkatkan
ke sedikit menyimpang dari rentang normal (3)
NIC:
1) Manajemen nutrisi
a) Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan kenaikan
berat badan
b) Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan makanan
tertentu berdasarkan perkembangan atau usia (kalsium,
protein, cairan dan kalori, peningkatan asupan serat untuk
mencegah konstipasi pada orang yang lebih tua)
c) Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan gizi
d) Berikan pilihan makanan sambil menawarkan bimbingan
terhadap pilihan (makanan) yang lebih sehat
e) Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
mengkomsumsi makanan (misalnya: bersih, berfentilasi,
santai dan bebas dari bau yang menyengat)
2) Manajemen gangguan makan
a) Observasi klien selama dan setelah pemberian
makanan/untuk meningkatkan bahwa letaknya/ asupan
makanan yang cukup tercapai dan dipertahankan
b) Monitor letak/asupan dan asupan cairan secara tepat
c) Gangguan teknik modivikasi perilaku untuk mengatakan
perilaku yang berkonstribusi terhadap penambahan berat
badan dan batasi perilaku yang mengurangiberat badan
dengan tepat
d) Rundingkan dengan ahli gizi dalam menentukan berat
badan yang sudah ditentukan
e) Bangun program perawatan dan foloww up (medis
konseling) untuk manajemen dirumah.
f) Observasi TTV
c. Resiko infeksi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan…x24 jam diharapkan
pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
NOC:
1) Kaparan infeksi
a) Kemerahan dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke
skala…
b) Demam dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke
skala…
c) Nyeri dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke
skala…

NIC
1) Kontrol infeksi
a) Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk
pasien
b) Ganti peralatan perawat perpasien sesuai protocol institusi
c) Batasi jumlah pengunjung
d) Anjurkan pasien mengenai teknik mencuci tangan dengan
tepat
e) Pakai sarung tangan steril dengan tepat
f) Berikan terapi antibotik yang sesuai
g) Anjurkan pasien untuk minum antibiotic seperti yang
diresepkan
h) Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan…x24 jam diharapkan
kekurangan volume cairan dapat teratasi
NOC
1) Monitor tekanan darah dipertahankan pada skala…dan di
tingkatkan ke skala…
2) Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam dipertahankan
pada skala…dan di tingkatkan ke skala…
3) Turgor kulit dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke
skala…
4) Bola mata cekung dan lembek dipertahankan pada skala…dan
di tingkatkan ke skala…
5) Pusing dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke skala…
NIC:
1) Manajemen elektrolit dan cairan
a) Pantau tanda dan gejala dehidrasi mis mata cekung, edema,
nafas dangkal dan cepat
b) Berikan cairan yang sesuai
c) Berikan intravena yang tepat, tranfusi darah, atau laju aliran
internal
d) Monitor tanda-tanda vital yang sesuai
e) Monitor kehilangan cairan mis perdarahan, muntah
2) Manajemen Hipovolemik
a) Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi (mis turgor kulit
buruk, kapilary refill terlambat, nadi lemah, sangat haus,
membrane mukosa kering, dan penurunan output urin)
b) Monitor adanya reaksi tranfusi darah dengan tepat
c) Monitor rongga mulut dari kekeringan
e. Resiko syok
Setelah dilakukan tindakan keperawatan…x24 jam diharapkan
pasien tidak menunjukkan tanda-tanda syok
NOC:
1) Keparahan syok hipovolemik:
a) Nadi lemah dan halus dipertahankan pada skala…dan di
tingkatkan ke skala…
b) Aritmia dipertahankan pada skala…dan di tingkatkan ke
skala…
c) Pernapasan dangkal dipertahankan pada skala…dan di
tingkatkan ke skala…
d) Memanjangnya waktu pembekuan darah dipertahankan
pada skala…dan di tingkatkan ke skala…
e) Penurunan tingkat kesadaran dipertahankan pada skala…
dan di tingkatkan ke skala…

NIC
1) Pengurangan Perdarahan
a) Identifikasi penyebab perdarahan
b) Berikan penekanan langsung atau penekanan pada balutan
jika sesuai
c) Monitor jumlah dan sifat kehilangan darah
d) Monitor pasien akan perdarahan secara ketat
e) Instruksikan pasien dan keluarga mengenai tingkat
keparahan kehilangan darah dan tindakan-tindakan yang
tepat untuk dilakukan
2) Pencegahan syok
a) Monitor terhadap adanya respon kompensasi awal syok
(misalnya, tekanan darah normal, tekanan nadi melemah,
hipotensi ortostatik ringan, (15 sampai 25 mmhg),
pelambatan pengisian kapiler, pucat atau dingin pada kulit,
atau kulit kemerahan, takipnea ringan, mual dan muntah,
peningkatan rasa haus, dan kelemahan.
b) Monitor EKG
c) Catat adanya memar patechiae dan kondisi membrane
mukosa.
d) Periksa urin terhadap adanya darah dan protein, sesuai
kebutuhan.
e) Monitor terhadap tanda dan gejalah asites dan nyeri
abdomen atau punggung
f) Anjurkan pasien dan keluarga mengenai factor-faktor
pemicu syok
f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan factor mekanik
(mis: daya gesek, tekanan imobilitas fisik).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24jam
diharapkan integritas kulit dapat diatasi dengan kriteria hasil:

NOC:
1) Penyembuhan luka skunder
a) Ukuran luka berkurang dipertahankan pada skala, dan di
tingkatkan ke skala
b) Lubang pada luka dipertahankan pada skala, dan di
tingkatkan ke skala
c) Pembentukan bekas luka pada skala, dan di tingkatkan ke
skala
2) Penyembuhan luka primer
a) Memperkirakan kondisi luka, pada skala, dan di tingkatkan
ke skala
b) Mempertahankan kondisi tepi luka pada skala, dan di
tingkatkan ke skala
c) Lebam dikulit sekitarnya pada skala, dan di tingkatkan ke
skala
NIC:
1) Pengurangan perdarahan: luka
a) Gunakan penekanan manual pada area yang berpotennsi
perdarahan
b) Gunakan balut tekan pada bagian yang berdarah
c) Ganti atau tambah balut tekan jika di perlukan
d) Monitor tanda-tanda vital jika diperlukan
d) Perawatan luka
e) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna,
ukuran dan bau
f) Singkirkan benda-benda yang tajam pada luka
g) Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak
beracun dengan tepat
h) Oleskan salep yang sesuai dengan luka atau insisi
i) Berikan rawatan insisi pada luka, yang diperlukan
j) Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
k) Pertahankan teknik balutan steril, ketika melakukan
perawatan pada luka
l) Ganti balutan yang sesuai dengan jumlah eksudat dan
drainase
m) Anjurkan pada pasien dan keluarga agar mengenal tanda
dan gejala infeksi
n) Monitor ekstermitas bawah
o) Inspeksi terhadap kebersihan kulit yang buruk
p) nspeksi adanya edemapada ekstermitas bawah
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara


diafragma pada bagian atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma
abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan
trauma tembus abdomen atau trauma penetrasi dan trauma non penetrasi.

Penyebab trauma abdomen terbagi atas dua yaitu penyebab trauma


abdomen penetrasi disebabkan oleh luka akibat terkena tembakan, luka
akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan, adapun penyebab
trauma non-penetrasi adalah terkena kompresi atau tekanan dari luar
tubuh, hancur (tertabrak mobil), terjepit sabuk pengaman karna terlalu
menekan perut, cidera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olahraga.

B. Saran

Bagi seorang perawat dalam penanganan pasien yang mengalami


trauma abdomen, perawat harus memperhatikan atau melakukan tindakan
kegawatdaruratan yang cepat dan tepat, terutama pada kasus trauma
abdomen akibat cidera atau kecelakaan
Untuk memudahkan pemberian tindakan darurat secara cepat dan
tepat, perlu dilakukan prosedur tetap atau protocol yang dapat digunakan
setiap hari. Bila memungkinkan, sangat tepat apabila pada setiap unit
keperawatan dilengkapi dengan buku-buku yang diperlukan baik untuk
perawat maupun pasien

Anda mungkin juga menyukai