Anda di halaman 1dari 9

AKUNTANSI BIAYA

RANGKUMAN MATERI:

METODE HARGA POKOK PROSES (Konsep Yang Diperluas)

OLEH :

RIFKI KURNIAWAN

A031171302

DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
Definisi Metode Harga Pokok Proses
Metode harga pokok proses merupakan metode pengumpulan biaya produksi yang
digunakan oleh perusahaan yang mengolah produknya secara massa.
Didalam metode ini, biaya produksi dikumpulkan untuk setiap proses selama jangka
waktu tertentu, dan biaya produksi per satuan dihitung dengan cara membagi total biaya
produksi dalam periode tertentu dengan jumlah satuan produk yang dihasilkan dari proses
tersebut selama jangka waktu yang bersangkutan.
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik metode Harga Pokok Proses, yaitu :
1. Pengumpulan biaya produksi per departemen produksi per periode akuntansi.
2. Perhitungan HPP per satuan dengan cara membagi total biaya produksi yang
dikeluarkan selama periode tertentu dengan jumlah satuan produk yang dihasilkan
selama periode yang bersangkutan.
3. Penggolongan biaya produksi langsung dan tak langsung seringkali tidak diperlukan.
4. Elemen yang digolongkan dalam BOP terdiri dari biaya produksi selain biaya bahan
baku dan biaya bahan penolong dan biaya tenaga kerja (baik yang langsung maupun
tidak langsung). BOP dibebankan berdasarkan biaya yang sesungguhnya terjadi.
5. Harga Pokok proses pada umumnya menggunakan metode Harga Pokok Proses-Tanpa
Memperhitungkan Persediaan Produk Dalam Proses Awal.
Apabila pada awal periode terdapat persediaan awal barang dalam proses maka timbul
masalah untuk menentukan harga pokok barang jadi. Hal ini tiimbul karena persediaan
barang dalam proses tersebut telah mempunyai harga pokok yang berasal dari periode
sebelumnya. Ada tiga metode dalam penyelesaiannya, yaitu ata-rata, FIFO.

Produk Rusak Dan Cacat Dalam Sistem Harga Pokok Proses


Produk rusak (spoilage) merupakan unit yang tidak dapat diterima sehingga harus
dibuang atau dijual dengan nilai yang lebih rendah. Produk cacat (rework) adalah unit yang
perlu diperbaiki secara ekonomi, sehingga produk tersebut dapat dijual melalui saluran
reguler. Sisa Bahan (Scrap) merupakan bagian dari produk yang tidak memiliki nilai atau jika
memiliki, nilainya sangat kecil.
Produk Rusak
Ada dua jenis produk rusak : produk rusak normal dan produk rusak tidak normal.
Produk rusak normal terjadi dalam kondisi operasi yang efisien dan tidak dapat dikendalikan
dalam jangka pendek dan diperhitungkan sebagai bagian dari biaya produk. Sedangkan
produk rusak tidak normal menyebabkan kerugian melebihi atau di atas perkiraan dalam
kondisi operasi yang efisien dan dibebankan sebagai kerugian dalam periode berjalan.
Biasanya produk rusak ditemukan pada akhir proses dengan demikian ia telah menyerap
biaya produksi sehingga harus dimasukkan dalam perhitungan unit ekuivalen.

Produk Cacat
Sebagaimana diketahui, produk cacat adalah produk yang tidak sesuai standar dan
masih dapat diperbaiki. Maka membutuhkan biaya perbaikan., dapat berupa biaya bahan
baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Persoalannya adalah perlakuan atas biaya
perbaikan tersebut.
Produk cacat dapat bersifat normal ataupun tidak normal. Perlakuan atas biaya
tambahan adalah sebagai berikut :
 Jika cacat normal : biaya perbaikan akan menambah biaya produksi.
 Jika cacat tidak normal : biaya perbaikan diperlakukan sebagai rugi produk cacat. Biaya
produksi tidak bertambah.
Produk cacat masuk dalam perhitungan unit ekuivalen.

Pengaruh Lingkungan Manufaktur Baru


Sistem Just In Time
Tiga pengaruh utama sistem JIT pada metode biaya proses :
1. perbedaan dalam biaya per unit antara metode MPKP dengan rata-rata dapat dikurangi
dengan cara menurunkan unit sediaan.
2. Semakin kecil perbedaan antara sediaan akhir produk selesai dengan sediaan BDP
3. Dibutuhkan cost driver atau dasar pembebanan yang baru (selain tenaga kerja langsung)
untuk membebankan BOP ke proses dan produk.

Sistem Pemanufakturan Fleksibel dan Pemanufakturan Seluler


Semakin banyak perusahaan manufaktur yang menuju Flexible Manufacturing System
(FMS) dan Cellular Manufacturing System (CMS). FMS menggunakan robot dan sistem
penanganan bahan yang dikendalikan oleh komputer untuk menghubungkan beberapa mesin
yang secara cepat dan efisien dapat diubah-ubah dari satu proses produksi ke proses produksi
lainnya.
Pengaruh FMS terhadap penentuan biaya produk sama dengan JIT. Dalam lingkungan
FMS, sistem biaya proses lebih bermanfaat dibanding biaya pesanan karena lebih banyak
laporan akuntansi yang didasarkan pada periode waktu bukan berdasarkan penutupan
pesanan.
CMS membentuk sel yang terdiri dari mesin dan peralatan yang dibutuhkan untuk
mengolah bahan atau suku cadang dengan persyaratan pemprosesan yang serupa. Untuk
memperbaiki efisiensi produksi, sebagian besar suku cadang berjalan dalam arah yang sama
dari satu sel ke sel lainnya. Sekumpulan sel yang bertugas membuat produk, membuat suatu
bentuk pabrik yang terfokus. Dengan CMS struktur proses manufaktur dilakukan berdasarkan
lini produk bukan berdasarkan proses. Sehingga sistem penentuan biaya berdasarkan aktivitas
(activity based costing) lebih bermanfaat dibandingkan sistem biaya proses tradisional.

Memperhitungkan Adanya Persediaan Produk Dalam Proses Awal


Dalam suatu departemen produksi, produk yang belum selesai diproses pada akhir
periode akan menjadi persediaan produk dalam proses pada awal periode berikutnya.
Produk dalam proses awal periode ini akan membawa harga pokok persatuan yang
berasal dari periode sebelumnya, yang kemungkinan akan berbeda dengan harga pokok per
satuanyang dikeluarkan oleh departemen produksi yang bersangkutan dalam periode
sekarang. Dengan demikian jika dalam periode sekarang dihasilkan produk selesai yang
ditransfer ke gudang atau ke departemen berikutnya , harga pokok yang melekat pada
persediaan produk dalam proses awal akan menimbulkan masalah dalam penentuan harga
pokok produk selesai tersebut.
Metode Rata-Rata Tertimbang
Dalam metode ini, jumlah harga pokok produk dalam proses awal ditambahkan dengan
biaya produksiyang dikeluarkan periode sekarang dibagi dengan unit ekuivalensi produk
untuk menghasilkan harga pokok rata-rata tertimbang.
Harga pokok produk yang dihasilkan oleh departemen setelah departemen pertama
merupakan harga pokok kumulatif,yaitu merupakan penjumlahan harga pokok dari
departemen satu ditambahkan dengan depar temen berikutnya yang bersangkutan.

Contoh 1 :
PT. Nadia memiliki 2 departemen produksi yaitu departemen I dan departemen II.
Perusahaan ini menggunakan sistem harga pokok proses untuk menghitung biaya produknya.
Berikut data produksi PT. Nadia selama bulan Januari 2007 :

Keterangan Departemen I Departemen II


BDP awal 10.000 unit 15.000 unit
Biaya dari BDP awal :
 BBB Rp 150.000 -
 BTKL 143.000 Rp 125.000
 BOP 172.000 140.000
 Dari Departemen I - 450.000
Masuk proses 85.000 unit ???? unit
Selesai 80.000 90.000
Hilang 5.000 (awal) 1.000 (akhir)
BDP akhir ??? 4.000 unit

Biaya bulan Januari:


 BBB Rp 2.750.000 Rp -
 BTKL 3.150.000 4.260.000
 BOP 2.900.000 3.840.000

Tingkat Penyelesaian :
BDP awal:
 BBB 60 % -
 Dari departemen I - 100 %
 Biaya Konversi 30 % 40%

BDP Akhir :
 BBB 100 % -
 Dari Dept. I - 100 %
 Biaya Konversi 45 % 40 %
Diminta : Buat Production Cost Report untuk departemen I dan departemen II dengan
metode rata-rata tertimbang. !
Jawab :

Laporan Harga Pokok Produksi


Departemen I
Bulan Januari 2007

Skedul Kuantitas
Input :
BDP awal 10.000 unit
Masuk proses 85.000
 + 95.000 unit
Output :
Selesai& ditransfer ke dept. II 80.000 unit
BDP akhir 10.000
Hilang (awal) 5.000
 + 95.000 unit

 Pembebanan Biaya

Elemen Total Biaya Unit Biaya


Ekuivalen per unit
BBB 150.000 + 2.750.000 = Rp 2.900.000 90.000 Rp 32,22
BTKL 143.000 + 3.150.000 = Rp 3.293.000 84.500 38,97
BOP 172.000 + 2.900.000 = Rp 3.072.000 84.500 36,36
Total Rp 9.265.000 Rp107,55
 Perhitungan Biaya
Produk selesai , ditransfer ke dept. II :
80.000 x Rp 107,55 = * Rp 8.603.815

BDP akhir (10.000 unit) :


BBB : (10.000 x 100%) x Rp 32,22 = Rp 322.200
BTKL : (10.000 x 45 %) x Rp 38,97 = 175.365
BOP : (10.000 x 45 %) x Rp 36,36 = 163.620
-------------- +
661.185
----------------+
Total HP. Produksi di Departemen I Rp 9.265.000

* Ada selisih Rp 185 karena pembulatan, seharusnya Rp 8.604.000

 Keterangan
Unit Ekuivalen :
BBB = 80.000 + (10.000 x 100 %) = 90.000
BTKL dan BOP = 80.000 + (10.000 x 45 %) = 84.500
Laporan Harga Pokok Produksi
Departemen II
Bulan Januari 2007

 Skedul Kuantitas
Input :
BDP awal 15.000 unit
Dari departemen I 80.000
 + 95.000 unit
Output :
Selesai & ditransfer ke gudang 90.000
BDP akhir 4.000
Hilang (akhir) 1.000
 + 95.000 unit

 Pembebanan Biaya

Elemen Biaya Total Biaya Unit Biaya Per


Ekuivalen Unit
Dari Dept. I 450.000 + 8.603.815 = 9.053.815 95.000 Rp 95,30
BTKL 125.000 + 4.260.000 = 4.385.000 92.600 47,35
BOP 140.000 + 3.840.000 = 3.980.000 92.600 42,98
Total Rp 17.418.815 Rp 185,63

 Perhitungan Biaya

Produk selesai :
90.000 x Rp 185,63 = *Rp 16.707.457
Hilang akhir : 1.000 x Rp 185,63 = 185.630
Harga Pokok Produk selesai ditransfer ke gudang Rp 16.893.087

BDP akhir ( 4.000 unit) :


Dari Dept. I = 4.000 (100%) x Rp 95,30 = Rp 381.200
BTKL = 4.000 (40%) x Rp 47,35 = 75.760
BOP = 4.000 (40%) x Rp 42,98 = 68.768
 + 525.728

Total HP. Produksi di Departemen II Rp 17.418.815


 Keterangan
Unit ekuivalen :
Dari Dept. I = 90.000 + 4000 (100%) + 1.000 = 95.000 unit
Biaya Konversi = 90.000 + 4.000 (40%) + 1.000 = 92.600

* Ada selisih Rp 700 karena pembulatan

Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO)


Dalam metode ini, menganggap biaya produksi periode sekarang pertama kali
digunakan untuk menyelesaikan produk yang pada awal periode masih dalam proses, baru
kemudian sisanya digunakan untuk mengolah produk yang dimasukkan dalam proses periode
sekarang.
Oleh karena itu dalam perhitungan unit ekuivalensi tingkat penyelesaian persediaan
produk dalam proses awal harus diperhitungkan.
Dalam departemen setelah departemen I, produk telah membawa harga pokok dari
periodesebelumnya digunakan pertama kali untuk menentukan harga pokok produk yang
ditransfer ke departemen berikutnya atau ke gudang.

Tambahan Baku Setelah Departemen Produksi I


Tambahan baku ini mempunyai 2 kemungkinan :
1. Tidak menambah jumlah produk yang dihasilkan
Tambahan ini tidak terpengaruh terhadap perhitungan unit ekuivalensi produk
yang dihasilkan, sehingga tidak mempengaruhi perhitungan HPP per satuan yang
diterima dari departemen produksi sebelumnya.
2. Menambah jumlah produk yang dihasilkan
Hal ini akan berakibat diadakannya penyesuaian HPP per satuan yang diterima
dari departemen produksi sebelumnya.
Contoh 2:
Menggunakan contoh 1. Tapi dikerjakan dengan metode FIFO .
Laporan Harga Pokok Produksi
Departemaen I
Bulan Januari 2007
 Skedul Kuantitas
Input :
BDP awal 10.000 unit
Masuk proses 85.000
 + 95.000 unit
Output :
Selesai& ditransfer ke dept. II 80.000 unit
BDP akhir 10.000
Hilang (awal) 5.000
 + 95.000 unit
 Pembebanan Biaya

Elemen Biaya Total Biaya Unit Ekuivalen Biaya Per


Unit
BDP awal Rp 465.000 --
Bulan ini :
BBB 2.750.000 84.000 Rp 32,74
BTKL 3.150.000 81.500 38,65
BOP 2.900.000 81.500 35,58
Rp 9.265.000 Rp 106,97

 Perhitungan Biaya

BDP awal (10.000 unit) :


Dari periode lalu Rp 465.000
Ditambahkan periode ini :
BBB = 10.000 (40%) x Rp 32,74 130.960
BTKL = 10.000 (70%) x 38,65 270.550
BOP = 10.000 (70%) x 35,58 249.060
 +
Rp 1.115.570
Produk selesai bulan ini (70.000 unit):
70.000 x Rp 106,97 * Rp 7.487.995
BDP Akhir (10.000 unit) :
BBB = 10.000 (100%) x Rp 32,74= Rp 327.400
BTKL = 10.000 (45%) x Rp 38,65 = 173.925
BOP = 10.000 (45%) x 35,58 = 160.110
 + Rp 661.435
 +
Total HP Produksi di Departemen I Rp 9.265.000

 Keterangan
Unit Ekuivalen :
BBB = 80.000 + 10.000 (100%) – 10.000 (60%) = 84.000 unit
Biaya Konversi = 80.000 + 10.000 (45%) – 10.000(30%) = 81.500

* Ada selisih Rp 95 karena pembulatan

Anda mungkin juga menyukai