Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Stroke merupakan salah satu sindrom penyakit penyebab mortalitas dan
disabilitas urutan ketiga utama di dunia. Data di Amerika hingga tahun 2013
sudah ada sebanyak 795.000 penderita stroke dimana 610.000 nya merupakan
penderita stroke untuk pertama kalinya. Angka kematian stroke di Amerika pun
terbilang cukup tinggi, dengan perbandingan 1:20 orang. Setelah tahun 2013,
angka kematian akibat stroke terus berkurang karena berhasilnya program
prevensi stroke, namun masih dianggap tinggi yaitu sebanyak 18,7 % dari 33 %
total penderita (American Heart Association, 2016).
Data Kemenkes RI tahun 2013 juga menunjukkan angka kejadian stroke di
Indonesia yang masih cukup tinggi yaitu sebanyak 1.236.825 penderita (7,0 %).
Jawa Barat merupakan daerah dengan angka kejadian tertinggi yaitu 238.001
penderita (7,4%), kemudian selanjutnya adalah Jawa timur dengan 190.449
penderita (6,6%). Provinsi yang mempunyai angka kejadian terendah yaitu Papua
Barat dengan 2.007 penderita (3,6%). Patut menjadi perhatian kita karena data
menunjukkan bahwa provinsi Jawa barat dan Jawa Timur sudah mempunyai
dokter spesialis yang cukup banyak dibanding provinsi lain yaitu diatas 350 orang
untuk spesialis penyakit dalam dan rentang 50-120 orang untuk spesialis jantung.
Stroke bisa menyerang seeorang pada semua kelompok umur, akan tetapi angka
kejadian tertinggi stroke ada pada kelompok umur 55-64 tahun yaitu 363.955
penderita. Hal yang cukup memprihatinkan adalah cukup tingginya angka stroke
kelompok umur 15-24 yaitu 8.523 penderita (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Stroke adalah sebuah sindrom klinis yang ditandai dengan defisit neurologis
serebral fokal ataupun global yang berkembang dengan cepat dan berlangsung
minimal 24 jam atau menyebabkan kematian yang disebabkan oleh perdarahan
atau iskemia bagian otak (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Tingginya angka kecacatan dan kematian karena stroke perlu menjadi
perhatian tersendiri bagi dokter dan masyarakat awam. Dokter harus mampu
mengedukasi keluarga dalam alur manajemen prahospital pasien dan melakukan

Page 18
2
tindakan yang harus diambil saat berada di Instalasi Gawat Darurat, sementara
masyarakat di harapkan mampu mengenali tanda dan gejala umum penderita
stroke (Setyopranoto, 2010). Para peneliti dari tahun ke tahun sadar akan
pentingnya ‘’periode emas’’ dalam penanganan stroke, sehingga studi tentang
stroke terus berkembang, salah satunya dengan hewan coba (Rat Model Stroke)
dengan teknik percobaan preklinik yaitu Bilateral Common Carotis Arteri
Occlusion (BCCAO) beserta periode reperfusinya. Teknik ini sangat baik karena
merupakan salah satu pengkondisian iskemik pada hewan coba dimana nantinya
akan terjadi kerusakan jaringan otak yang dapat dijadikan rujukan untuk
penelitian selanjutnya terkait dengan pengembangan terapi stroke (Speetzen et al.,
2013). Salah satu indikator keberhasilan rat stroke model yang jarang dinilai
peneliti adalah angka mortalitas. Indikator tersebut dapat menilai periode emas
dari induksi stroke tahap pre klinis. Harapan dari studi angka mortalitas adalah
peneliti dapat menginduksi stroke tanpa membunuh tikus sehingga tikus dapat
kembali diteliti lebih lanjut di tahap selanjutnya (Connell & Saleh, 2010).
Teknik BCCAO merupakan teknik bedah dengan cara mengikat kedua arteri
carotis hewan coba selama beberapa menit (periode oklusi) kemudian melepas
ikatan tersebut (periode reperfusi) (Lapi et al., 2012). Berdasar tinjauan pustaka,
penulis menemukan variasi dalam seorang peneliti menentukan durasi dari
masing-masing periode tersebut yang tentunya, akan berpengaruh terhadap tingkat
keparahan iskemik pada otak. Periode oklusi bervariasi mulai dari 1 menit sampai
35 menit, sementara periode reperfusi mempunyai variasi mulai dari 5 menit
sampai 72 jam. Belum adanya standar baku dengan teknik ini sehingga dapat
menjadikan hambatan dalam pengembangan teori dan terapi stroke (Lapi et al.,
2012 ; Speetzen et al., 2013 ; Ma et al., 2016 ; Handayani et al., 2016 ; Nagatani
et al., 2012 ; Barbhuiya et al., 2015).
Berdasarkan telaah ilmiah yang telah dilakukan didapatkan perbedaan durasi
iskemia dan reperfusi pasca ligasi kedua arteri karotis komunis, serta tidak
ditemukan penelitian tentang angka mortalitas dari model stroke BCCAO dengan
durasi reperfusi 1 jam, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh
durasi ligasi arteri carotis communis bilateral dengan reperfusi 1 jam terhadap

Page 19
3
mortalitas tikus (Rattus norvegicus). Penelitian ini diharapkan bisa memberi
rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya terkait pengkondisian hewan coba
atau terapi stroke.
1.2.Pertanyaan Penelitian
Apakah durasi ligasi arteri carotis communis bilateral dengan reperfusi 1 jam
mempengaruhi mortalitas tikus (Ratus novergicus) ?
1.3.Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh durasi ligasi arteri carotis communis bilateral dengan
reperfusi 1 jam terhadap mortalitas tikus (Ratus novergicus).
1.4.Keaslian Penelitian
1. Lapi, D. et al., 2016 dengan judul ‘’Malvidin’s Effects on Rat Pial
Microvascular Permeability Changes Due to Hypoperfusion and
Reperfusion Injury’’. Persamaan penelitian Lapi, D. dengan penelitian ini
adalah sama-sama menggunakan perlakuan hewan coba ligasi arteri
carotis communis pada tikus dan dilakukan reperfusi selama 60 menit
setelah oklusi. Perbedaan pertama penelitian Lapi, D. dan penelitian ini
adalah penggunaan anestesi a-chloralose. Pada penelitian ini
menggunakan anestesi ketamin, sedangkan pada penelitian Lapi, D.
menggunakan anestesi a-chloralose. Perbedaan kedua terkait durasi
iskemik yaitu pada penelitian ini menggunakan durasi iskemik 5, 10, 15
sementara penelitian Lapi, D. menggunakan durasi 30 menit. Perbedaan
ketiga adalah variable penelitian. Pada penelitian ini meneliti tentang
mortalitas tikus, sementara penelitian Lapi, D. meneliti tentang gambaran
histopatologi dan biokimia darah dengan dengan atau tanpa pemberian
larutan Maldivin.
2. Raheem, H. T. et al., 2015 dengan judul ‘’Effect of immune modulation
on brain ischemia reperfusion injury’’. Persamaan penelitian
Raheem,H.T. dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan
perlakuan hewan coba ligasi arteri carotis communis pada tikus dan

Page 20
4
dilakukan reperfusi selama 60 menit setelah oklusi. Perbedaan pertama
penelitian Raheem, H. T dan penelitian ini adalah jenis tikus yang
digunakan yaitu pada penelitian Raheem, H. T. menggunakan tikus galur
albino sementara pada penelitian ini menggunakan tikus wistar.
Perbedaan kedua terkait durasi iskemik yaitu pada penelitian Raheem, H.
T.. menggunakan durasi 30 menit, sedangkan pada penelitian ini
menggunakan durasi iskemik 5, 10 dan 15 menit. Perbedaan terakhir
terkait fokus penelitian. Pada penelian Raheem, H. T. meneliti tentang
efek obat rouvastatin terkait pencegahan kerusakan otak karena induksi,
sedangkan pada penelitian ini meneliti tentang mortalitas yang terjadi
ketika dilakukan BCCAO dengan durasi iskemik tertentu.
3. Aldila, P., 2016 dengan judul ‘’Pengaruh Strain Hewan Coba terhadap
Angka Mortalitas Tikus Pasca Oklusi Transient Arteri Carotis Comunis
Bilateral’’. Persamaan antara penelitian Aldila, P. dengan penelitian ini
adalah sama-sama meneliti mortalitas menggunakan perlakuan hewan
coba ligasi arteri carotis communis pada tikus. Perbedan pertama
penelitian Aldila, P. dengan penelitian ini adalah terkait jenis tikus yang
digunakan sebagai subjek. Pada penelitian Aldila, P. menggunakan 2
jenis tikus yaitu tikus strain wistar dan tikus Spraque Dawley, namun
pada penelitian ini hanya menggunakan tikus wistar. Perbedaan kedua
penelitian Aldila, P. dengan penelitian ini adalah terkait durasi iskemik
dan durasi reperfusi. Pada penelitian Aldila, P. menggunakan durasi
iskemik selama 20 menit dan durasi reperfusi selama 2 jam, sedangkan
pada penelitian ini durasi iskemik selama 5, 10, 15 menit dan durasi
reperfusi selama 1 jam.

Page 21
5
1.5.Manfaat Penelitian
Adapun dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
beberapa kalangan, antara lain:
1. Bagi penelitian dan ilmu pengetahuan
Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai pengaruh durasi
iskemia dengan reperfusi 1 jam terhadap mortalitas tikus (Rattus
norvegicus) pasca ligasi transien arteri carotis communis bilateral. Hasil
penelitian juga dapat digunakan sebagai dasar informasi bagi
pengembangan penelitian selanjutnya, terutama untuk uji preklinis dan
uji klinis.
2. Bagi peneliti
Manfaat yang dapat diperoleh oleh peneliti adalah peneliti dapat
mengetahui pengaruh durasi iskemia dengan reperfusi 1 jam terhadap
mortalitas tikus (Rattus norvegicus) pasca ligasi transien arteri carotis
communis bilateral. Hasil karya tulis penelitian ini juga digunakan sebagai
syarat kelulusan pendidikan sarjana kedokteran peneliti.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini akan memberi manfaat kepada masyarakat
umum secara tidak langsung, Adanya standarisasi teknik durasi iskemia
dengan reperfusi pasca BCCAO akan meningkatkan kualitas penelitian
untuk menguji obat-obatan untuk terapi stroke, terutama obat-obatan
herbal. Sehingga masyarakat dapat mengkonsumsi obat dengan kualitas
yang lebih baik untuk pencegahan dan terapi stroke.

Page 22
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Stroke
a. Definisi
Stroke merupakan sindrom dimana terjadi perubahan fokal dari otak yang
di sebabkan karena kekurangan aliran darah ke otak (iskemik) atau perdarahan di
dalam otak (hemoragik) dalam periode >24 jam atau menyebabkan kematian sel
permanen yang murni karena kelainan vaskular (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Stroke bersifat fokal/fokus karena tidak menyebabkan penurunan tekanan darah,
peningkatan intrakranial signifikan dan hanya spesifik mengenai neuron yang
kurang perfusi darah, sementara kata ‘’global’’ biasanya mengenai daerah
spesifik, misal hanya area hippocampus, thalamus atau yang lainnya dimana
kesemua itu bisa jadi tidak ada kaitannya dengan distribusi spesifik dari vaskular
(American Heart Association, 2013).
Studi terkini mengemukakan bahwa perlu dibedakan dengan Transient
Ischemic Attack (TIA), dimana TIA mempunyai periode <24 jam, biasanya hanya
5 sampai 10 menit dan perlu digaris bawahi bahwa TIA jarang mengakibatkan
kematian sel karena sifatnya yang Transient. Pada studi tersebut menambah
keyakinan kita bahwa, perbedaan perspektif periode antara stroke dan TIA
merupakan data sekunder, sedangkan data primer nya adalah langsung melihat
otak dengan brain imaging, nantinya yang dilihat adalah ada atau tidaknya infark,
karena infark bisa terjadi kapan saja tergantung respon individu (American Heart
Association, 2013).
b. Etiologi
Penyebab stroke dibedakan menjadi 2 klasifikasi besar, yaitu stroke
iskemik dan stroke hemoragik (Gambar 1). Prevalensi terbesar pasien stroke
adalah stroke iskemik yaitu sebesar 87 % pasien, kemudian sisanya merupakan
stroke hemoragik tipe intraserebral 10 % pasien dan tipe subdural 3 % pasien

Page 23
7
(Chauhan & Debette, 2016). Stroke hemoragik tipe intraserebral, penyebab
utamanya karena adanya hipertensi tidak terkontrol sedangkan tipe subdural
dikarenakan pecahnya aneurisma pada percabangan arteri besar otak. Perlu
diperhatikan bahwa kedua tipe stroke hemoragik tersebut murni karena kelainan
vaskular, bukan merupakan akibat dari trauma. Stroke iskemik terjadi karena
oklusi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak menjadi
dibawah 18 ml/100 gram dari normalnya sebesar 58 ml/100 gram jaringan otak
per menit yang akibatnya menimbulkan ketidaknormalan aliran listrik neuron
sampai kematian sel (Setyopranoto, 2011). Menurut klasifikasi TOAST berdasar
manifestasi klinis dan gambaran pemeriksaan penunjang, stroke iskemik dibagi
menjadi 5 kategori, yaitu stroke iskemik karena aterosklerosis ateri besar,
kardioembolisme, penyakit arteri kecil, etiologi lain nya (vaskulopati non
aterosklerosis, hiperkoaguabilitas dan gangguan hematologi) dan etiologi yang
tidak dapat ditentukan pada eksplorasi intensif (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Gambar 1. Tipe stroke (National Center for Chronic Disease Prevention and
Health Promotion, 2017)

Page 24
8
c. Faktor Resiko
Pengetahuan akan faktor resiko stroke amatlah penting untuk menurunkan
derajat kematian dan kecacatan akibat stroke. Dokter perlu melakukan anamnesis
eksplorasi akan hal tersebut sehingga diharapkan bukan hanya berkenaan dengan
prevensi sekunder, tetapi juga terkait dengan prevensi primer yaitu untuk
menurunkan angka kejadian stroke di masyarakat. Faktor resiko stroke dibagi
menjadi 2, yaitu faktor resiko dapat di modifikasi dan faktor resiko tak dapat di
modifikasi. Kedua faktor resiko tersebut mempunyai korelasi terhadap tiga
komponen, yaitu pembuluh darah, darah dan jantung (Sitorus & Ranakusuma,
2014).
Faktor yang dapat di modifikasi diantaranya adalah riwayat hipertensi,
atrial fibrilasi, diabetes mellitus, atrial fibrilasi, merokok dan konsumsi alkohol.
Hipertensi merupakan faktor resiko utama karena lebih dari 50 kasus stroke
berawal dari faktor ini. Penelitian ahli mendukung hal tersebut dengan
menyatakan bahwa tekanan darah di bawah 115/85 akan menurunkan tingkat
kejadian stroke. Atrial fibrilasi menyumbang angka 6% dari total pasien stroke,
dimana kebanyakan merupakan pasien lanjut usia (diatas 65 tahun). Faktor
diabetes mellitus berkaitan dengan kenaikan insulin dimana resiko nya meningkat
1,19 kali setiap kenaikan 50 pmol/L insulin. Angka kejadian merokok pun
dianggap menjadi ancaman serius untuk kejadian stroke karena merokok
meningkatkan ateriosklerosis sehingga menyebabkan 18% dari total kasus stroke
berawal dari faktor ini. Peminum alkohol berat juga merupakan faktor resiko
stroke, terlebih untuk tipe stroke hemoragik. Peminum alkohol berat mempunyai
korelasi dengan peningkatan tekanan darah, peningkatan koagulasi darah, aritmia
jantung dan penurunan jumlah darah ke otak, sedangkan peminum alkohol ringan
berkaitan dengan peningkatan kolesterol dan aktivasi plasminogen jaringan
(Ovbiagele & Nguyen-Huynh, 2011).
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yang paling berpengaruh adalah
terkait genetik. Faktor genetik disini berkaitan dengan penyakit yang
meningkatkan angka kejadian stroke. Studi mutakhir sudah mampu
mengidentifikasi letak kelainan gen pada kromosom, diantara nya adalah hipetensi

Page 25
9
pada lokus ALDH2 dan HDAC9, penyakit arteri koroner di lokus ABO, chr9p21,
HDAC9, atrial fibrilasi di lokus PITX2 dan ZFHX3, koagulasi di lokus HABP2,
formasi plak di arteri carotis di lokus MMP12 dan neuroinflamasi di lokus
TSPAN2. Kelainan gen tersebut merupakan penyebab stroke iskemik, sedangkan
untuk stroke hemoragik angka kejadian terkait gen berada di lokus APOE and
PMF1 (Chauhan & Debette, 2016).
d. Patofosiologi
Patofisiologi stroke sangatlah kompleks, proses ini melibatkan mekanisme
eksitotoksis, inflamasi, sistem ROS, ketidak seimbangan ion, apoptosis,
angiogenesis dan neuroprotektif, dimana kesemua itu berakibat hilangnya fungsi
permanen dari neuron (Gambar 2) (Mir et al., 2014). Stroke iskemik mempunyai
tiga penyebab manifestasinya yaitu berkaitan dengan thrombus, embolus dan
penurunan tekanan perfusi (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Segera setelah terjadinya hipoperfusi otak akibat stroke iskemik, terjadi
kaskade stroke yang dimulai pelepasan neurotransmitter eksitatorik glutamat dan
aspartat di neuron otak, proses tersebut dinamakan eksitotoksis. Neurotransmitter
tersebut merupakan substansi cadangan ketika sel kekurangan energi dan
merupakan peristiwa penting dimana dijadikan patokan awal dari dimulainya
proses kematian sel. Pengeluaran substansi tersebut di awali dengan terbuka nya
kanal kalsium yang di induksi oleh reseptor N-methyl-D asapartate (NMDA) dan
alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxanole propionate
(AMPA). Efek
terbukanya kanal kalsium bukan hanya mengawali respon ‘’lapar’’ dari sel neuron
otak, tetapi juga efeknya yang menginduksi terbukanya kanal ion lain dan
mempengaruhi pengeluaran enzim destruktif yaitu protease, endonukleases, lipase
dan mediator inflamasi seperti Reactive Oxygen Spesies (ROS), asam nitrat dan
sitokin (Samary et al., 2016). Produksi ROS disini terutama berpengaruh terhadap
adanya prokoagulan dimana nantinya akan mengurangi ketersediaan NO sehingga
agregasi leukosit dan platelet bertambah. Efek lainnya adalah ROS menginduksi
pengeluaran cyclooxygenase-2 pada sel inflamasi, hasilnya adalah kerusakan sel
yang parah. Proses inflamasi mendapat bantuan oleh mikroglia khususnya tipe

Page 26
10
M1, yaitu sel imunitas di otak yang tadinya dalam fase istirahat (ramified)
kemudian berubah ke fase amoeboid aktif ketika terjadi trauma pada 24 jam
pertama. Pada fase amoeboid ini mikroglia mengeluarkan agen proinflamasi
seperti TNF-a, IL-1b, IL-18 dan IL-6 (Vidalea et al., 2017).
Gambar 2. Patofosiologi Stroke I (Mir et al., 2014)
Ketidakseimbangan ion akibat deplesi energi khususnya Adenine
Tripospate (ATP) ini akhirnya berakibat edema, proses ini disebut sitotoksik/
selular edema dan vasogenik edema, tergantung bagian yang dituju, ditunjukkan
pada Gambar 3. Edema neuron khususnya di otak akan meningkatkan tekanan
intrakranial yang menambah iskemik dan terjadi herniasi serebral (Mir et al.,
2014). Keberadaan Blood Brain Barrier juga sangat rentan setelah adanya matrix
metalloprotease (MMP). MMP mempunyai lima subklasifikasi yang ke semua itu
merupakan endopeptida yang akan berikatan dengan zinc sehingga berakibat
aktivasi autolitik sel dan degradasi substansi matriks seperti kolagen, fibronectin,
laminin, aggrekan, gelatine, elastin dan substansi non matriks yang lain (Chang et
al., 2016). Manifestasi klinis stroke bisa diperparah dengan adanya hiperfusi
jaringan mendadak, yaitu reperfusi dan disertai peningkatan tekanan darah secara
cepat. Proses tersebut berkaitan dengan terjadi nya penguraian penyebab oklusi
pembuluh darah dan disfungsi dari baroreseptor mengendalikan regulasi yang

Page 27
11
semestinya. Hal itu meningkatkan pembentukan dari radikal bebas dan NO
berlebih yang efeknya merugikan terhadap sel (Farooq et al., 2016).
Gambar 3. Patofisiologi Stroke II (Vidalea et al., 2017)
Proses-proses diatas menjelaskan bahwa sroke menimbulkan kerusakan
integritas dari sel neuron mulai dari materi genetik sampai sitoskeleton dan
akhirnya sel tersebut nekrosis atau apoptosis. Dalam studi terkait keberhasilan
terapi stroke, dikenal istilah daerah penumbra dan daerah infark. Daerah
penumbra adalah daerah yang kurang terpengaruh dengan adanya iskemik karena
adanya aliran darah kolateral sehingga asupan darah yang masuk tidak lebih
rendah dari 60 ml/ 100 g/ menit, sedangkan daerah infark sebaliknya (The German
Stroke Registers Study Group, 2003).

Page 28
12
Menanggapi proses tidak menguntungkan khususnya stroke, tubuh
mempunyai proteksi sendiri, yaitu melalui pengeluaran substansi neuroproktektan
dan mekanisme angiogenesis. Substansi neuroprotektan berguna untuk
melindungi cedera setelah terjadi trauma tersebut ke neuron secara luas/menyebar.
Neuroproktektan melalui berbagai mekanisme kerjanya yang dimaksud diantara
nya adalah Bcl-2, HSP70, PrPc, NT-3, G-CSF dan IL-10 (Mir et al., 2014).
Angiogenesis adalah proses pembentukan mikrovaskular baru karena adanya
respon tubuh akan hipoksia atau untuk mempercepat penyembuhan. Proses
tersebut dimulai dengan adanya faktor angiogenik, diantara nya adalah endothelial
growth factor (VEGF), angiopoietin, Platelet-Derived Growth Factor (PDGF),
angiogenin, Transforming Growth Factors (TGF), basic Fibroblast Growth Factor
(bFGF), Matrix Metalloproteinase (MMP), Nitric Oxide (NO) dan prostaglandin.
Penelitian menunjukkan bahwa melalui angiogenesis inilah, sel neuron akan lebih
bisa bertahan karena tersedianya asupan oksigen lebih untuk sementara waktu
(Seto et al., 2016).
e. Manifestasi Klinis
Gejala stroke sudah pasti merupakan defisit neurologis secara akut fokal
dan atau non fokal (Setyopranoto, 2011). Gejala stroke maupun TIA yang bersifat
fokal dibagi menjadi enam pembagian, yaitu gejala motorik, sensorik, visual,
bahasa, kognitif dan vestibular. Gejala motorik berupa kecanggungan atau
kelemahan otot pada salah satu sisi tubuh (hemiparesis dan monoparesis),
kesulitan menelan dan kelemahan bilateral simultan. Gejala bahasa berupa
kesulitan memahami/mengekspresikan bahasa lisan, kesulitan menghitung dan
membaca (disleksia). Pasien juga mengeluh terjadi perubahan rasa pada sebagian
atau seluruh tubuh, hal tersebut merupakan gejala sensorik. Sementara gejala
visual biasanya berupa penglihatan ganda, kebutaan bilateral, gangguan
penglihatan pada satu atau kedua mata. Sensasi gerakan pasien juga terganggu
menandakan ada disfungsi vestibular (Sitorus & Ranakusuma, 2014). Sedangkan
gejala kognitif berupa diorientasi (gangguan visuospasial-perseptual) dan
demensia (Ferdinand & Roffe, 2016).

Page 29
13
Gejala non fokal juga bisa terjadi tapi tidak selalu atau tidak khas yaitu
sensasi kepala menjadi ringan, inkontinensia urin atau feses, kebingungan, tinitus,
dan penurunan kesadaran (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Menurut American Heart Association (2016), untuk mempermudah orang
awam mengetahui gejala awitan stroke dan persiapan rujuk ke fasilitas kesehatan
terdekat, dibuatlah trias gejala yang disebut skala FAST yaitu perubahan bentuk
wajah, kelemahan otot tangan dan sulit berbicara (American Heart Association,
2016).
f. Diagnosis
Diagnosis dini dan cepat sangat diperlukan untuk pasien TIA maupun
stroke karena menyangkut prognosis terbaik. Periode emas pasien stroke tidak
lebih dari 4,5 jam dari onset kejadian, studi menyebutkan bahwa keterlambatan
setiap 15 menit dari periode tersebut menambah resiko kecatatan dan kematian
stroke sekitar 1 bulan setelahnya, sehingga skill manajemen waktu sangatlah
penting bagi dokter yang terlatih (Middleton et al., 2015).
Anamnesis harus dilaksanakan di awal dimana meliputi gejala awal,
waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual,
muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran,
dan faktor risiko stroke (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011).
Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik lengkap yang diawali dengan
assesmen ABC dan pemakaian oksimetri. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan
kepala dan leher apabila ada trauma, bruit di arteri karotis dan kongesti vena
jugularis. Pemeriksaan thorax yang meliputi inspeksi apabila ada riwayat
pembedahan, auskultasi apabila ada aritmia jantung dan menilai kondisi katup
jantung serta pemeriksaan paru apabila ada komorbid. Pemeriksaan abdomen
juga diperlukan apabila terindikasi trauma, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan kulit dan ekstremitas untuk menilai adanya gangguan sistemik yang
bermanifestasi seperti purpura, peteki ataupun ikhterik (American Heart
Association, 2007).

Page 30
14
Pemeriksaan dilanjutkan dengan penentuan skala stroke. Penentuan tingkat
keparahan stroke menggunakan skala ini bisa menemui hasil yang baik kecuali
pada jenis stroke dengan masalah pada sirkulasi posterior. Kebanyakan Guideline
stroke yang digunakan para ahli sekarang masih menggunakan skala National
Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). Studi terkini membuktikan bahwa
NIHSS tidak lebih baik dari Cincinnati Prehospital Stroke Severity Scale
(CPSSS), karena CPSSS dinilai mempunyai nilai spesifisitas dan sensitifitas yang
lebih tinggi untuk bahan pertimbangan diagnosa dengan waktu yang terbatas.
Skor CPSSS mempunyai beberapa kriteria unik yaitu kriteria fisik dimana adanya
penyimpangan tatapan mata pasien dan tidak bisa mempertahankan lengan yang
diangkat dari tempat tidur lebih dari 10 detik. Sementara kriteria kecemasan
adalah pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana mengenai umur atau hari
di saat kejadian stroke dan tidak bisa mengikuti perintah khususnya menutup/
membuka mata dan menggenggam/ membuka jari tangan (Gambar 4) (Glober, et
al., 2016).
Gambar 4. Cincinnati Prehospital Stroke Severity Scale (CPSSS) (Katz et al.,
2015)
Diagnosis dapat sepenuhnya ditegakkan ketika pemeriksaan penunjang
sudah mendapatkan hasil. Pemeriksaan penunjang yang menjadi baku emas
adalah CT-Scan dan MRI. CT scan bisa membedakan jenis stroke (stroke iskemik
atau stroke hemoragik). Pencitraan CT scan menghasilkan hipodens untuk stroke
iskemik dan hiperdens untuk stroke hemoragik (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
Sistem skor CPSSS
1. Penyimpangan tatapan mata pasien (poin 2)
2. Tidak bisa menjawab 1 dari 2 pertanyaan terkait level
kecemasan (umur paien atau bulan terkini) dan 2 pertanyaan
fisik (membuka atau menutup mata dan menutup tangan)
(poin 1)
3. Tidak bisa mempertahankan tangan yang diangkat (satu atau
keduanya) selama 10 detik (poin 1)

Page 31
15
Penggunaan MRI dinilai lebih baik dibanding dengan CT scan karena hasil yang
di dapat mempunyai resolusi yang lebih tinggi, akan tetapi kelemahan nya adalah
waktu yang dibutuhkan lama, biaya lebih mahal dan masih minimnya MRI di
setiap fasilitas kesehatan yang ada (Yew & Cheng, 2015).
No
Variabel
Skor
1. Penurunan Kesadaran
Langsung hilang saat serangan s/d <1 jam onset
1 Jam- </= 24 jam
Hilang >24 jam
Hilang kesadaran sementara kemudian pulih
kembali
Tidak ada (GCS 15)
10
7,5
1
1
0
2 Nyeri Kepala Saat Serangan
Sangat hebat (NPRS 7-10)
Sedang (NPRS 4-6)
Ringan (NPRS 1-3)
Tidak ada
10
7,5
1
0
3 Muntah Proyektil
Langsung saat onset s/d <1 jam
1 jam - < 24 jam onset
>= 24 jam onset
Tidak ada
10
7,5
1
0
4 Waktu Serangan
Sedang beraktifitas
Tidak beraktifitas
6,5
1
5 Tekanan Darah
>= 200/>= 110 mmHg
<200/<100 mmHg
7,5
1
Total skor
Skor >= 17 adalah stroke hemoragik dan bila <17 adalah
stroke iskemik
.....
Tabel 1. Sistem Skor Stroke Dave dan Djoenaidi (Umbas, 2015).
Diagnosis stroke di Indonesia terutama di daerah dengan fasilitas
kesehatan minim bisa menggunakan Skor Stroke Dave dan Djoenaidi (Tabel 1).
Berdasar penelitian terkini, sistem skoring stroke tersebut mempunyai cut off
point sebesar 17, dimana interpretasinya adalah sangat baik dalam spesifisitas

Page 32
16
maupun sensitifitasnya. Sistem skoring idealnya digunakan sebelum dilakukan CT
scan, sehingga diharapkan tindakan pada stroke fase akut bisa segera dilakukan
untuk mencegah mortalitas dan morbiditas stroke (Umbas, 2015).
g. Terapi
Penatalaksanaan kasus stroke harus dilaksanakan secara simultan,
komprehensif dan terintegrasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan
morbiditas, kecacatan dan mortalitas serta meningkatkan angka kemandirian
pasien pasca stroke di rumah (Setyopranoto, 2010). Tata laksana umum yang tepat
meliputi pemantauan terhadap tanda vital, stabilisasi jalan nafas dan pernafasan,
stabilisasi hemodinamik, pengendalian suhu tubuh, pengendalian peninggian
tekanan intrakranial, penanganan transformasi hemoragik, pengendalian kejang,
pencegahan komplikasi dan penanganan khusus sesuai gejala (Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011).
Pemantauan tanda vital disertai pemasangan oxymetri selama 72 jam
pertama. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan pemberian
oksigen 1-2 L/ menit jika pasien hipoksia. Para pakar tidak menganjurkan
pemberian oksigen hiperbarik karena dapat memperburuk keadaan dan tidak
mempunyai hasil yang signifikan. Stabilisasi hemodinamik dimulai dengan
pemantauan mean arterial pressure, dikatakan tinggi apabila sistol >220 mmHg
atau diastol >120 mmHg, sehingga ketika menemukan lebih dari itu, maka harus
segera di atasi dengan pemberian labetolol maksimal dosis 20 mg selama 2 menit
(American Heart Association, 2007). Pemberian cairan yang dianjurkan adalah
koloid 1500-2000 ml dan elektrolit sesuai kebutuhan serta hindari pemberian
glukosa. Jika terjadi peningkatan intrakranial yang signifikan, perlu diberikan
manitol IV sebanyak 0,25-1 ml/ kgBB/ 30 menit disertai dengan memposisikan
kepala pasien 30 derajat. Pengendalian suhu tubuh pasien diperlukan ketika pasien
mempunyai suhu >38 C, yaitu dengan pemberian asetaminofen dengan dosis 3900
mg/ hari. Pengendalian kejang pasien bisa dilakukan dengan pemberian diazepam
secara intravena 5-20 mg selama 3 menit dengan dosis maksimal 100 mg per hari
(Setyopranoto, 2011).
Page 33
17
h. Prognosis
Prognosis kasus stroke sangatlah bervariasi. Aspek tersebut dinilai dari
berbagai faktor internal maupun eksternal pasien. Prognosis ini berkaitan erat
dengan kondisi pasien, usia, penyebab stroke, keparahan defisit neurologis dan
komorbid. Pada studi kohort di amerika di dapatkan hasil bahwa angka kematian
yang terjadi dalam kurun 1-4 tahun sebanyak 24,5-41,3%. Penyebab kematian
paling banyak adalah disebabkan karena perdarahan pada intraserebral atau
subarachnoid. Kedua sebab tersebut menyebabkan edema serebral, peningkatan
tekanan intrakranial dan komplikasi medis tertentu seperti infark miokard
(Canavan, M. et al., 2010). Dalam studi Sitorus dan Ranakusuma (2014),
membagi prognosis pasien menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 adalah pasien yang
akan meninggal dalam hitungan hari. Kelompok 2 adalah pasien akan mengalami
penyembuhan lengkap atau hanya meninggalkan defisit neurologis yang ringan
sehingga tidak ada aktifitas yang terganggu. Kelompok 3 adalah pasien dengan
defisit neurologis berat yang cenderung untuk kearah perburukan fisik maupun
psikologis karena cacat yang dialami (Sitorus & Ranakusuma, 2014). Jendela
emas pada kasus stroke untuk memperoleh kesembuhan sempurna adalah 4,5 jam
dari onset, dimana keterlambatan waktu kedatangan ke fasilitas kesehatan,
diagnosis maupun penanganan bisa berakibat kurang menguntungkan untuk
pasien (Middleton et al., 2015).
i. Rehabilitasi
Rehabilitasi pasca stroke merupakan langkah yang harus dilewati pasien
setelah prosedur medis di klinik dan dinyatakan dalam keadaan stabil. Rehabilitasi
medik dapat dilakukan di rumah maupun di fasilitas kesehatan. Walaupun
rehabilitasi tidak mengobati penyakit, akan tetapi proses tersebut dapat
meningkatkan kemandirian dan kualitas hidup seseorang. Derajat kecacatan atau
disabilitas seseorang merupakan tolak ukur jenis dan lamanya program
rehabilitasi akan di berikan. Rehabilitasi stroke meliputi rehabilitasi motorik
kasar/ halus, sensasi sensoris, bahasa/ wicara, kognitif dan emosi. Beberapa aspek
rehabilitasi tersebut memerlukan pendekatan multidisiplin meliputi dokter,

Page 34
18
perawat, fisioterapis, terapis okupasi, terapis vokasi dan terapis wicara. Studi
menyebutkan bahwa program rehabilitasi membutuhkan waktu 2-6 bulan dimana
keberhasilannya lebih dari 52% pasien stroke (Departement of Health and Human
Service, 2014).
j. Pencegahan
Mengingat dampak stroke sangatlah rumit sehingga di harapkan
pencegahan secara dini stroke sangatlah penting. Pencegahan tersebut meliputi
pengendalian faktor resiko stroke seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemi
dan sindrom metabolik (American Heart Association, 2013). Pencegahan yang
berkaitan dengannya adalah perubahan pola hidup lebih baik yaitu penghentian
merokok, penghentian konsumsi alkohol dan manajemen aktifitas fisik yang
adekuat (Sitorus & Ranakusuma, 2014).
2.1.2. Anatomi Sistem Vaskular Otak Tikus
Tikus mempunyai susunan anatomi vaskularisasi otak yang mirip dengan
manusia. Pengenalan dan pemahaman yang bagus mengenai hal tersebut
merupakan keharusan sebelum menerapkan suatu penelitian dengan penerapan
model stroke (Wang-fischer, 2009). Inti vaskularisasi otak tikus berasal dari 3
percabangan arteri utama yaitu arteri karotis internal, arteri basilaris dan arteri
cerebralis posterior (Gambar 6) (Casals et al., 2011).
Aorta merupakan arteri besar yang keluar dari jantung kemudian
melengkung membentuk arkus aorta, dimana di arkus aorta tersebut terdapat 3
percabangan arteri yaitu arteri innominata/ brachiocephalica, arteri carotis
communis sinistra dan arteri subclavia sinistra. Arteri brachiocephalica berlanjut
bercabang menjadi arteri brachialis, arteri subclavia dextra dan arteri karotis
komunis dextra (Wang-fischer, 2009).
Arteri karotis interna merupakan cabang dari arteri karotis komunis. Arteri
ini terus kearah kraniomedial dan menembus kanal karotis di antara bulla dan
basal dari tulang occipital. Bulla merupakan struktur penyusun tulang temporal
pada tikus. Setelah memasuki kranium, arteri karotis interna akan bercabang

Page 35
19
menjadi arteri communication posterior, arteri hypothalamic, arteri choroidal,
arteri cerebral media dan arteri cerebral anterior (Wang-fischer, 2009).
Arteri basilaris merupakan arteri hasil anastomosis dari arteri vertebralis
yang terjadi di regio setinggi pons (Esteves et al., 2013). Arteri vertebralis
merupakan percabangan dari arteri subclavia yang menyilang ke atas melewati
plexus brachialis (Wang-fischer, 2009).
Struktur penting penunjang kebutuhan otak dengan segala kemungkinan
penghambat vaskular adalah sirkulus willisi. Struktur ini merupakan gabungan
dari arteri cerebral anterior dan media yang merupakan cabang dari arteri karotis
komunis yang telah sampai di otak dan arteri cerebral posterior hasil cabang dari
arteri basilaris. Diantara struktur tersebut ada arteri yang saling menghubungkan

Anda mungkin juga menyukai