1. I. Pendahuluan
Sejak dahulu, perang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. Dalam skala yang lebih
kecil, pada waktu itu, perang dapat terjadi antar marga, kemudian meningkat menjadi antar
kabilah atau suku, lalu melonjak menjadi antar negara. Namun perang kini tidak hanya
melibatkan antar dua negara, tetapi melibatkan beberapa negara berhadapan beberapa negara
lainnya. Perang dunia I dan II adalah fakta tak terbantahkan dari contoh tersebut.
Untuk itu, sejak dahulu, peradaban manusia sudah menyusun dan membuat suatu etika-etika dan
perjanjian-perjanjian perang yang mereka jalankan dan implementasikan sesama mereka yang
saling berperang. Beberapa etika tersebut dapat ditemukan pada peradaban-peradaban kuno
terdahulu seperti Cina, Mesir, perabadan-peradaban yang ada di Utara Afrika, dan Asia Barat
(seperti Persia) yang menjalankan perangnya berdasarkan beberapa etika yang sudah berlaku
seperti tradisi antar mereka.
Sayangnya, etika-etika dan perjanjian-perjanjian tersebut tidak mengikat antar kelompok yang
berperang, kecuali hanya pada poin-poin tertentu yang ingin dihormati oleh suatu negara.
Sementara untuk kelompok atau negara yang tidak terikat oleh perjanjian-perjanjian dengan
mereka maka etika-etika tersebut tidak akan diterapkan. Dengan kata lain, tradisi mereka jika
terjadi perang adalah berusaha melepaskan diri dari etika-etika yang telah ada demi mengalahkan
dan menghancurkan musuh mereka.[1]
Ironisnya, di Eropa, tradisi ini terus berlanjut hingga pada abad ke 18, sebagaimana yang
diungkapkan oleh William Scott bahwa undang-undang (etika-etika) perang Eropa tidak
diimplementasikan secara menyeluruh pada negara-negara di luar Eropa. Scott mengatakan,
“Suatu yang sangat sulit sekali bagi masyarakat (Eropa) dalam menyikapi Kerajaan Morroco,
seperti Marrakest (dengan) memandang bahwa mereka diharuskan (mengimplementasikan)
secara keseluruhan hukum undang-undang internasional global sebagaimana yang
diimplementasikan antar sesama negara Eropa.”[2] Sikap mereka seperti itu disebabkan oleh
pandangan mereka bahwa dunia ini terdiri tiga kelompok manusia: (1) berperadaban, (2) barbar,
dan (3) buas. Kelompok pertama berhak atas pengakuan politik yang sempurna. Dengan kata
lain, berhak untuk diterapkan undang-undang secara menyeluruh. Sementara untuk kelompok
kedua hanya berhak atas sebagian pengakuan politik. Sedangkan untuk kelompok ketiga hanya
berhak mendapatkan pengakuan alami mereka atau dasar kemanusian mereka. Kelompok
pertama yang mereka maksudkan hanya sebatas pada masyarakat Eropa, adapun kelompok
kedua dan ketiga adalah masyakat non-Eropa.[3]
Sementara Islam, sejak kemunculannya pada abad ke-7 M, telah menggariskan etika-etika
perang yang dapat ditemukan pada biografi Muhammad saw maupun dalam karya-karya para
ahli hukum Islam (fuqaha). Etika-etika tersebut mencakup teori-teori mengenai peperangan,
seluruk aspek-aspeknya, filsafatnya, serta motif-motif dan peringatan-peringatan sebelum
terjadinya perang. Secara spesifik, etika tersebut mencakup kadar pengrusakan dan pembunuhan
yang diizinkan agar terealisasi kemenangan, cara memperlakukan kelompok yang lemah untuk
berperang, cara memperlakukan korban musuh yang terluka dan yang tertawan serta masyarakat
yang tunduk di bawah pemerintahan Islam, juga berbagai interaksi internasional antara
pemerintahan Islam dengan pihak lain dan sebagainya. Singkatnya, etika-etika tersebut telah
diimplementasikan sejak 14 abad yang lalu dalam perang-perang yang dilakukan oleh
pemerintahan Islam, saat di mana Eropa sedang berada pada masa kegelapan dan
keterpurukannya.
Pembahasan mengenai etika perang dalam Islam tidak terlepas dari pembahasan mengenai
perang dan damai dalam Islam. Sebagaimana di ketahui bahwa Islam adalah agama yang
mendasarkan keyakinan dan perbuatannya pada wahyu ilahi, baik yang dinarasikan sesuai
dengan lafaz dan maknanya, yaitu Al-Quran, maupun yang dinarasikan oleh Rasul-Nya,
Muhammad saw, dengan tanpa mengurangi dari maksud dan makna wahyu tersebut. Dengan
demikian, identifikasi perang dan damai Islam selalu berlandaskan pada konsep Islam tersebut.
Al-Quran menjelaskan bahwa perang antara Islam dan kekufuran akan terus berlanjut sampai
kekufuran tersebut tunduk di bawah politik Islam.[4]
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan. (QS. Al-Anfal: 39)
... dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya ... (QS. At-Taubah: 36)
Namun ini tidak berarti bahwa, dalam Islam, perang merupakan jalan terdekat dan satu-satunya
untuk mendakwahkan Islam; dan bukan berarti bahwa umat Islam harus memulai memerangi
musuh sebelum mereka diperangi; perang tidak bertujuan memaksa seluruh manusia untuk
masuk ke dalam Islam; tidak berarti Islam membolehkan membunuh seluruh orang kafir –
termasuk wanita, anak-anak, para rahib, orang tua renta dan sebagainya- baik mereka
sebelumnya didakwahi Islam atau tidak; juga tidak berarti bahwa Islam tidak menerima
perdamaian dengan pihak musuh atau tidak menerima ketundukan mereka terhadap kekuasaan
politik Islam yang diwujudkan dengan bersedia membayar jizyah; atau tidak juga bahwa tujuan
perang dalam Islam adalah mencari kedudukan yang tinggi di atas muka bumi. Islam menjadikan
perang menjadi bagian dari sarana dakwah, sehingga perang tidak akan dilakukan kecuali setelah
dakwah secara damai ke negeri kafir mendapat hambatan, penolakan, bahkan pembunuhan; dan
juga negeri tersebut tidak mau tunduk pada pemerintahan Islam yang diwujudkan dengan
ketersediaan untuk membayar jizyah.[5]
Dari sini, perdamaian dengan negara kafir atau kekuatan kekufuran adalah suatu pengecualian
dalam Islam. Islam memang membolehkan untuk melakukan perdamaian dengan negara atau
kekuatan kafir dalam rentang masa tertentu, tidak untuk selamanya.[6] Menurut aliran fikih
Syafi’i dan Hanbali, rentang masa perdamaian tersebut tidak boleh melebihi 10 tahun –sesuai
dengan masa perjanjian antara Muhammad saw dan bangsa Quraisy dalam perjanjian
Hudaibiyah, meski ada diantara alirah fikih Islam yang membolehkan waktu perdamaian lebih
dari itu, sesuai dengan kemaslahatan umat Islam.[7] Namun mereka sepakat bahwa perdamaian
dengan orang kafir tidak boleh berlangsung selamanya.[8] Mayoritas ahli hukum Islam
membolehkan berdamai dengan negera kafir ketika posisi negara Islam diprediksikan lebih
lemah dibanding dengan negara kafir, meski ada yang berpandangan bahwa perdamaian dengan
negara kafir bisa dijalankan selama negera tersebut tidak memusuhi negara dan umat Islam.
Perdamaian akan terjadi selamanya ketika seluruh orang-orang atau kekuatan kafir tunduk di
bawah pemerintahan Islam.
Dalam literatur-literatur karya para ahli hukum Islam, fuqaha, aktivitas perang dalam Islam
sering kali dikaitkan dengan pembagian kewilayahan antara wilayah Islam (daaru l-Islaam) dan
wilayah perang (daaru l-harb), yang biasanya identik dengan negeri atau wilayah atau kekuasaan
kafir. Meski kurang tepat untuk disinonimkan dengan istilah negara dalam undang-undang
internasional kontemporer, namun terma ad-daar acapkali digunakan dengan maksud sebuah
negara.
Daaru l-Islaam secara singkat dapat didefinisikan sebagai sejumlah wilayah yang di dalamnya
diterapkan hukum-hukum Islam, tampuk kekuasaan berada di tangan umat Islam, dan
penduduknya –baik muslim maupun kafir dzimmi- merasakan keamanan. Penentu utama apakah
sebuah wilayah adalah daaru l-islaam adalah hukum-hukum (perundang-undangan) yang
diterapkan di wilayah tersebut.[9] Jika diterapkan perundangan-undangan Islam maka dinamakan
dengan daaru l-islaam sementara jika yang diterapkan bukan perundang-undangan Islam maka
tidak bisa dinamakan daaru l-islaam, atau dinamakan daaru l-kufr atau jika memerangi umat
Islam maka disebut daaru l-harb.
Meski secara teoritis membedakan antara daaru l-islaam dan daaru l-kufr terkesan mudah,
namun mengaplikasikan teori ini pada realita kontemporer merupakan suatu yang tidak mudah,
meski tidak berarti mustahil. Tidak mudah mengingat bahwa setiap dari kedua kedua istilah
tersebut mempunyai konsekuensi masing-masing. Ada perbedaan kondisi politik mendasar antara
kondisi di mana para ahli hukum Islam ketika membicarakan teori kewilayahan tersebut dengan
kondisi yang di alami oleh mayoritas umat Islam. Para ahli hukum Islam dahulu membicarakan
teori tersebut ketika kondisi politik Islam di atur oleh perundang-undangan Islam dengan
pemimpin negara bergelar amiir atau khaliifah. Sekarang, meski banyak negara dengan
mayoritas umat Islam namun sebagian besar –jika tidak dikatakan seluruh- pemerintahannya
tidak tunduk pada aturan perundang-undangan Islam (syariat). Jika pun ada yang menyatakan
pemerintahannya tunduk pada perundang-undangan Islam, akan tetapi belum cukup ideal untuk
disebut dengan daaru l-islaam. Selain juga dikhawatirkan bahwa akan terjadinya pertumpahan
darah antara umat Islam dalam suatu negara, di mana terjadi peperangan antara umat Islam yang
berada di barisan pemerintahan yang diklaim dengan daaru l-harb/daaru l-kufr dengan umat
Islam lain yang berusaha mengembalikan daaru l-kufr menjadi daaru l-islaam.
Ada beberapa pendapat mengenai status hukum perang (jihad) Suriah yang terjadi saat ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perang Suriah hari ini adalah perang antara negara Islam
(daaru/daulatu l-islaam) dengan negara kafir (daaru/daulatu l-kaafir). Sementara kelompok
kedua berpendapat bahwa perang tersebut adalah perang antara rezim/penguasa kafir yang batal
legalitas pemerintahannya dengan rakyat Muslim yang dalam keadaan tertindas dan ingin
merubah rezim/penguasa kafir tersebut. Pendapat terakhir bahwa perang tersebut adalah bentuk
perang/jihad mempertahankan diri (daf’u sh-shaa`il) dari rezim/penguasa yang zalim dan
melampaui batas.[10]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa perang Suriah adalah perang antara daulatu l-islaam
dengan daulatu l-kaafir berargumentasi bahwa penguasa Suriah saat ini, Basyar Asad, adalah
penguasa kafir lantaran keyakinan Syi’ah Nushairiyah-nya yang disepakati kekufurannya oleh
ulama ahlus sunnah. Ditambah lagi bahwa dia dibantu oleh beberapa negara- negara kafir seperti
Rusia dan Cina dan aliansi Syiah seperti Iran yang berkiblat pada Syiah Rafidhah, dengan Garda
Penjaga Revolusi-nya, Hizbullah-Syiah Libanon, dan beberapa Brigade Syiah Irak.
Namun paling tidak ada dua kritik atas pendapat di atas; (1) jika asumsi bahwa negara Suriah ini
berubah menjadi daulatu l-kaafir diterima, akan tetapi tidak terdapat negara yang pada asalnya
adalah daulatu l-islaam. Perang di Suriah tidak seperti yang terjadi di Afghanistan era 80-an,
atau perang Chechnya yang melawan Rusia. Untuk itu, perang Suriah bukanlah perang antara
daulatu l-islaam dan daulatu l-kaafir; (2) kebanyakan pendukung rezim Nushairiyah Suriah di
satu pihak dan pihak pro-syariat di pihak lain adalah berasal dari Suriah.[11]
Sementara pendapat kedua bahwa perang Suriah adalah perang antara rezim/penguasa kafir yang
batal legalitas pemerintahannya dengan rakyat Muslim yang dalam keadaan tertindas dan ingin
merubah rezim/penguasa kafir tersebut, berargumentasi bahwa penguasanya telah keluar dari
Islam adalah diantaranya: (1) penguasanya pada dasarnya tidak konsisten terhadap hukum-
hukum Islam sama sekali; (2) menetapkan perundang-undangan positif sebagai pengganti
perundang-undangan (syariat) Islam, sementara orang yang menganggap bahwa perundang-
undangan positif lebih baik atau sama dengan perundang-undangan Islam maka dinyatakan
sebagai murtad; (3) berloyalitas secara terang-terangan kepada musuh-musuh Islam, yang
merupakan diantara sebab yang mengeluarkan seseorang dari Islam; (4) tidak mendirikan shalat
bahkan cenderung memerangi orang yang mendirikan shalat, menghancurkan masjid-masjid, dan
menghinakan kitabullah dan merobek-robeknya, mencaci maki agama Islam, dan menulis
ungkapan kekufuran –seperti Laa Ilaaha Illa l-Basyar (Tidak ada Tuhan selain Basyar)- di
dinding-dinding masjid; (5) menghalalkan perbuatan-perbuatan haram yang disepakati
keharamannya secara konsensus seperti zina yang dilakukan secara suka rela antara kedua belah
pihak, judi, dan minum khamar, sementara orang yang menghalalkan apa yang disepakati
keharamannya atau sebaliknya, mengharamkan apa yang disepakati kehalalannya, maka dia telah
keluar dari Islam. Dengan adanya sebab-sebab tersebut pada diri seorang penguasa maka dia
telah keluar dari Islam dan wajib bagi umat Islam untuk melengserkannya dan menggantinya
dengan penguasa Muslim.[12]
Terakhir pendapat ketiga bahwa perang di Suriah adalah bentuk mempertahankan diri (daf’u sh-
shaa`il) berargumentasi bahwa rezim Nushairiyah adalah pihak yang memulai memusuhi dan
menyerang rakyat Sunni yang tidak memiliki senjata, serta menodai kehormatan-kehormatan
mereka. Untuk itu, membela diri semampunya dari setiap permusuhan dan penyerangan tersebut
adalah suatu kewajiban.[13]
Dari ketiga pendapat di atas, pendapat yang agak tepat berdasarkan masing-masing argumentasi
yang diutarakan adalah pendapat kedua, bahwa perang Suriah adalah adalah perang antara
rezim/penguasa kafir yang batal legalitas pemerintahannya dengan rakyat Muslim yang dalam
keadaan tertindas dan ingin merubah rezim/penguasa kafir tersebut. pendapat pertama kurang
tepat karena –sebagaimana disebutkan sebelumnya- bahwa tidak didapati pada dasarnya daulatu
l-islaam. Sementara pendapat ketiga dapat dikategorikan sebagai konsekuensi dari pendapat
kedua. Berdasarkan alasan demikian maka illaah (alasan hukum) kewajiban perang dengan
rezim tersebut adalah lantaran kekufurannya yang telah jelas dan juga sikap permusuhannya
terhadap umat Islam-Sunni Suriah. Untuk itu, orang yang dibolehkan diperangi hanya terbatas
pada orang yang memerangi atau membantu memerangi umat Islam, meskipun dia seorang
Muslim.
Jika terdapat salah seorang kafir memeluk Islam di tengah-tengah berkecamuknya perang
dan sebelum dia ditangkap dan dibunuh pasukan Islam maka darah, harta, dan
kehormatannya dilindungi, tidak boleh menangkap dan memenjarakan, serta
membunuhnya secara syar’i.[15]
Tawanan adalah sesorang yang ikut serta dalam perang kemudian berhasil ditangkap baik
saat berkecamuknya perang ataupun setelahnya
Para tawanan harus diperlakukan dengan baik sebelum terbukti bersalah atau tidak.
Tawanan berhak mendapat pengobatan jika sakit atau terluka, selain juga tawanan tidak
boleh mendapat penyiksaan.
Ada beberapa hukuman bagi tawanan kafir: (1) dibunuh[16], jika dia terbukti ikut serta
membunuh, merampas, dan merampok (harta umat Islam), atau memperkosa (Muslimah);
(2) tidak dibunuh (bisa digunakan untuk pertukaran tawanan perang atau ditebus dengan
harta), jika dia tidak terbukti atau ikut serta dalam membunuh, merampas, dan merampok
(harta umat Islam), atau memperkosa (Muslimah); (3) dibebaskan tanpa syarat, jika dia
terbukti tidak ikut serta membunuh, merampas, dan merampok (harta umat Islam), atau
memperkosa (Muslimah), selain itu diduga kuat dia ikut berperang karena suatu
keterpaksaan.
Adapun bagi tawanan Muslim, hukumannya adalah: (1) dibunuh, jika dia terbukti ikut
berperang mersama musuh dan ikut serta membunuh, merampas, dan merampok, atau
memperkosa. Hukuman tersebut sebagai bentuk had atasnya, dan untuk itu dia tidak bisa
diberikan pengampunan; (2) tidak dibunuh dan dipaksa untuk memisahkan diri dari
musuh, jika tidak terbukti ikut berperang mersama musuh dan ikut serta membunuh,
merampas, dan merampok, atau memperkosa.
Diperbolehkan menculik setiap orang yang memerangi atau yang memata-matai umat
Islam.
Jika salah seseorang pasukan Islam memberikan amaan (jaminan keamanan personal)
kepada salah seorang diantara musuh maka musuh yang diberikan amaan tersebut tidak
boleh dibunuh meskipun dia telah melakukan pembunuhan.
1. 4. Orang yang Boleh Dibunuh dan yang Tidak Boleh Dibunuh dalam Peperangan
Setiap orang yang ikut terlibat aktif berperang bersama musuh maka dibolehkan untuk
dibunuh, baik laki-laki maupun wanita.
Tidak diperbolehkan membunuh wanita, anak-anak, dan orang jompo yang tidak ikut
terlibat perang secara aktif atau secara pasif dengan memberikan ide-ide perang kepada
musuh.
Setiap personel yang terbukti membunuh wanita, anak-anak, dan orang jompo yang tidak
ikut terlibat perang secara aktif atau secara pasif dengan memberikan ide-ide perang
kepada musuh, maka dia akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kejahatannya.
Diperbolehkan menculik siapa saja yang turut membantu dan mendukung musuh. Pihak
musuh yang pada dasarnya tidak boleh diculik adalah wanita dan anak-anak, kecuali jika
musuh juga atau kelompok yang berloyalitas padanya terlebih dahulu menculik wanita
dan anak-anak umat Islam, maka diperbolehkan menculik wanita dan anak-anak pihak
musuh sebagai perlakuan yang setimpal dengan perbuatan mereka.
Pihak musuh yang diculik tadi berstatus menjadi tawanan. Dia tidak boleh direndahkan
martabatnya dan harus mendapat perlakuan yang baik. Mereka bisa digunakan untuk
petukaran tawanan umat Islam yang menjadi tawanan pihak musuh.
Jika yang diculik dari pihak musuh tadi terbukti membunuh umat Islam maka dia dijatuhi
hukuman bunuh. Namun jika dia tidak terbukti melakukan hal itu, maka dia boleh
ditukarkan dengan umat Islam yang menjadi tawanan musuh, atau ditebus dengan uang,
bahkan diperbolehkan dibebaskan begitu saja, sesuai dengan pertimbangan kemaslahatan.
1. 7. Kesimpulan
Islam telah menetapkan etika-etika ketika berlangsungnya perang. Islam mewajibkan kepada
setiap Muslim untuk konsisten terhadap etika-etika Islam saat berperang. Mereka tidak
diperbolehkan: melanggar janji, berkhianat, merampas harta tanpa alasan yang diperbolehkan
syariat, mencuri harta rampasan perang, menodai kehormatan seseorang, melakukan penyiksaan,
memutilasi pihak musuh, meneggelamkan atau membakar sesuatu kecuali jika hal itu menjadi
satu-satu sarana perang, dan membunuh orang tidak diperbolehkan untuk dibunuh.
[2] Ivan Leward, As-Salaam war Ra’yu, penerjemah Muhammad Amin, dinukil dalam
Nazhariyyatul-Harb fil-Islam wa Atsaruha fil-Qanuun ad-Dualy Al-‘Aam, hal. 10.
[3] Ibid.
[4] Pendapat bahwa asal hubungan Islam dan kekufuran adalah perang merupakan pendapat
mayoritas ahli hukum Islam (fuqaha), baik dari aliran fikih Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Sementara pendapat bahwa asal hubungan Islam dan kekufuran adalah damai merupakan
pendapat sebagian ahli hukum Islam, terutama yang kontemporer seperti Muhammad Rasyid
Ridha, Muhammad Syaltut, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahha Khalaf, dan Abdullah bin
Zaid Alu Mahmud. Lihat Abdullah bin Ibrahim Ath-Thuraiqi, Al-Isti’aanatu bi Ghairil
Muslimiin fil Fiqhil Islaami, hal. 107-114.
[5] Lihat Abdullah bin Ibrahim Ath-Thuraiqi, Al-Isti’aanatu bi Ghairil Muslimiin fil Fiqhil
Islaami, hal. 122-125.
[6] Ibid.
[7] Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiiz fil Fiqhil Islaami, jilid. 2, hal. 508-509
[8] Dr. Ihsaan Al-Hindi, Ahkaamul Harbi was Salaam fid Daulatil Islaam, hal. 92.
[10] Ali bin Nayif Asy-Syahud, At-Takyiif Al-Fiqh li ts-Tsaurah as-Suuriyah wa l-Aatsaar al-
Murattabah ‘Alayh, hal. 3-11.
[14] Hampir seluruh tema ini disarikan dari tulisan Dr. Ali bin Nayif Asy-Syahud yang berjudul
At-Takyiif Al-Fiqh li ts-Tsaurah as-Suuriyah wa l-Aatsaar al-Murattabah ‘Alayh, hal. 12-28.
[15] Hukum ini disimpulkan dari Al-Qur`an, yaitu, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kalian pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salaam’ (yaitu Laa Ilaaha Illallah) kepadamu,
‘Kamu bukan beriman’ (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda
kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak” (QS. An-Nisaa`: 94). Lihat Dr.
Abdul Lathif ‘Amir, Ahkaamul Asra was Sabaayaa fil Huruubil Islaamiyyah, hal. 85.
[16] Hukuman bunuh (mati) tersebut dalam Islam dikenal dengan qishash. Hukuman ini
berdasarkan teks Al-Qur`an, “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kalian
(melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh ...” (QS. Al-Baqarah:
178)
[17] Hukuman bagi perampok ini berdasarkapan pada pemahaman terhadap teks Al-Qur`an,
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau
diasingkan dari tempat kediamannya ...” (QS. Al-Maa`idah: 33)
[18] Landasan hukumnya dipetik dari ayat berikutnya dari catatan kaki sebelumnya yang
berbunyi, “Kecuali orang-orang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka
ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maa`idah: 34)
[19] HR. An-Nasaa`i, Sunan An-Nasaa`i, Kitaab: Tahriimud Damm, Baab: Ta’zhiimud Damm, jilid. 7,
hal.