Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal, kejahatan ini dapat ditemukan
diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin.
Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda – beda.

Di indonesia menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas


Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian rata- rata ada 20 perempuan yang menjadi
korban kekerasan seksual tiap harinya. Hal yang mungkin mengejutkan adalah bahwa adalah
lebih dari ¾ dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki
hubungan dengan korban. Terdapat dugaan kuat bahwa angka -angka tersebut merupakan
fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan juah lebih sedikit daripada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor mungkin karenamalu, takut
disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor ke mana.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan


seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan. Pelaporan tentu hanya merupakan langkah
awal dari rangkaian panjang dalam mengungkapkan suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu
komponen penting dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et repertum yang
dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan intepretasi bukti bukti fisik kekerasan seksual.
Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh manusia, tentunya memiliki
peranyang besar dalam pembuatan visum et repertum dan membuat terang suatu perkarabagi
aparat penegak hukum. Karena itu, hendaknya setiap dokter – baik yang berada di kota besar
maupun di daerah terpencil, baik yang berpraktik di rumah sakit maupun tempat praktik pribadi
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam melakukanpemeriksaan dan
penatalaksanaan korban kekerasan seksual.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud kejahatan seksual?

2. Apa saja jenis-jenis dalam kejahatan seksual persetubuhan dan bukan persetubuhan?

3. Bagaimana pembuktian adanya persetubuhan?

4. Definisi pemerkosaan?

5. Apa saja perbedaan pada pemeriksaan forensik pada anak dengan dewasa?

6. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat membuktikan pemerkosaan?

7. Apa saja yang menjadi kendala pembuktian kasus perkosaan?

8. Bagaimana aspek hukum mengenai kejahatan seksual?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Umum

Tujuan umum penyusunan referat ini agar tenaga medis memahami mengenai tentang
kejahatan seksual baik pada anak ataupun dewasa.

1.3.2 Khusus

1. Mengetahui definisi kejahatan seksual

2. Mengetahui apa saja jenis- jenis dalam kejahatan seksual persetubuhan dan bukan
persetubuhan

3. Mengetahui bagaimana pembuktian mengenai adanya persetubuhan

4. Mengetahui definisi pemerkosaan

5. Mengetahui apa saja perbedaan pada pemeriksaan forensik pada anak dengan dewasa

6. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dapat membuktikan adanya pemerkosaan

7. Mengetahui kendala dalam pembuktian kasus perkosaan

2
8. Mengetahui bagaimana aspek hukum dan medikolegal mengenai kejahatan seksual

1.4 Manfaat

1.4.1 Bidang Ilmu Pengetahuan

Menambah pengetahuan memgenai kejahatan seksual, mulai dari pengertian, jenis –


jenis, perbedaan pada pemeriksaan fisik pada anak dengan dewasa, hingga aspek hukum
dan medikolegalnya.

1.4.2 Pemerintah

Menjadi masukan dan dasar pertimbangan bagi pemerintah untuk menegakkan


hukum dan keadilan dalam menangani kasus – kasus kejahatan seksual baik pada anak
maupun dewasa.

1.4.3 Masyarakat

Menambah wawasan dan pemahaman masyarakat terhadap kejahatan seksual

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi kejahatan seksual

Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda.

Kejahatan terhadap kesusilaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang yang
menimbulkan kepuasan seksual dan di sisi lain perbuatan tersebut mengganggu kehormatan
orang lain. Kejahatan seksual adalah kejahatan yang timbul diperoleh melalui persetubuhan

II.2 Kategori Kejahatan Seksual

Terdapat dua macam bentuk kejahatan seksual , yaitu ringan dan berat.

1. Macam-macam kejahatan seksual ringan :


 Gurauan porno
 Siulan , ejekan dan julukan
 Tulisan / gambar
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban ,melecehkan dan
atau menghina korban
 Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat
2. Menurut Syaulia , et al.2008 , terdapat macam-macam kejahatan seksual berat :
 Pelecehan , kontak fisik : raba , sentuh organ seksual ,cium paksa ,rangkul
 Perbuatan yang rasa jijik ,terteror ,terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dengan cara tidak disukai , merendahkan dan atau menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain , pelacuran tertentu .
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya korban .

4
 Tindakan seksual dan kekerasan fisik , dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit,luka, atau cedera.

Kejahatan seksual berdasarkan jenis nya : senggama dan non-senggama.

 Senggama : selingkuh, perkosaan, wanita tidak berdaya, wanita dibawah umur, incest
 Non-senggama : perbuatan cabul

II.3 Kejahatan seksual berat

Salah satu bentuk kejahatan seksual berat adalah tindak pemerkosaan. Pemerkosaan
dalam kosakata bahasa Indonesia yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa
dengan kekerasan atau menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan
mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual (sexual intercouse)
tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.

Pengertian menurut Sofwan Dahlan, perkosaan sebagai perbuatan bersenggama yang


dilakukan dengan menggunakan kekerasan (force), menciptakan ketakutan (fear) atau dengan
cara memperdaya (fraud). Bersenggama dengan wanita yang memiliki gangguan mental
(embecit) juga termasuk perkosaan (statory rape), tidak mempersoalkan apakah wanita tersebut
menyetujui atau menolak bersenggama, sebab kondisi mental seperti itu tidak mungkin yang
bersangkutan mampu atau berkompeten memberikan reaksi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara yuridis.

Menurut Dahlan,S.,2007 ,Tindak pidana kasus perkosaan di Indonesia harus memenuhi


berbagai unsur berikut :

 Unsur Pelaku :
o Harus laki-laki
o Mampu melakukan persetubuhan
 Unsur korban :
o Harus perempuan
o Bukan istri pelaku
 Unsur Perbuatan

5
Persetubuhan dengan paksa ,pemaksaan tersebut harus dilakukan dengan menggunakan
kekerasan fisik atau ancaman kekerasan

II. 4 Persetubuhan dan Bukan Persetubuhan

Persetubuhan adalah masuknya penis ke dalam vagina, sebagian atau seluruhnya dengan
atau tanpa ejakulasi, setidaknya melewati vestibulum. Pencabulan adalah setiap penyerangan
sexual tanpa terjadi persetubuhan ( bukan persetubuhan )

Syarat persetubuhan yang legal :

1. Wanita adalah istri yang sah

2. Mendapat izin dari wanita yang bersangkutan, izin yang sah :

o Sadar (conscius)
o Wajar (naturally)
o Tidak ada keraguan (unequivocal)
o Atas kemauan sendiri (voluntary)

3. Wanita tersebut sudah cukup umur

4. Sehat akalnya ,tidak ada cacat mental

5. Wanita tersebut tidak terikat perkawinan dengan orang lain

6. Bukan anggota keluarga dekat

II.5 Tanda Persetubuhan

Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau
belum pernah melahirkan atau multipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyababkan
terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar
sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya
penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukan adanya erosi yang dapat
disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman.Tidak
ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan multipara tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya penetrasi.Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada

6
persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa
telah terjadi persetubuhan.Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan
komponen cairan mani.

II.6 Faktor yang Mempengaruhi Pembuktian Persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi ke dalam vagina, penetrasi
tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa diserrtai ejakulasi.

Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh
berbagai factor antara lain :

1. Besarnya penis dan derajat penitrrasinya


2. Bentuk dan elastisitas selaput dara ( hymen)
3. Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulasi itu sendiri
4. Posisi persetubuhan
5. Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan

Pemeriksaan harus dilakukan sesegera mungkin sebab dengan berlangsungnya waktu


tanda – tanda persetubuhan akan menghilang dengan sendirinya. Sebelum dilakukan
pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin tertulis dari pihak – pihak yang diperiksa.Jika
korban adalah seorang anak izin dapat diminta dari orang tua atau walinya.

II.7 Anamnesis

Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang

mudah dimengerti oleh korban.Anamnesis dapat dibagi dalam anamnesis umum dan khusus.

Pada anamnesis umum dapat ditanyakan :

- Umur atau tanggal lahir,

- Status pernikahan,

- Riwayat paritas dan/atau abortus,

- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

7
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah

kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi

lainnya),

- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),

- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta

- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.

Pada anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan seksual

yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:

• What &How:

- Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya),

- Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya,

- Adanya upaya perlawanan,

- Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian,

- Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah

kejadian,

- Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit),

- Apakah ada nyeri di daerah kemaluan,

- Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar,

- Adanya perdarahan dari daerah kemaluan,

- Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina, penggunaan kondom,

dan tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah

buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.

8
• When:

- Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor, dan

- Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.

• Where:

- Tempat kejadian, dan

- Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian

yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban).

• Who:

- Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak,

- Jumlah pelaku,

- Usia pelaku, dan

- Hubungan antara pelaku dengan korban

II7.1 Anamnesis pada Anak

 Anamnesis dilakukan autoanamnesis atau alloanamnesis. Gunakan alat bantu untuk menjalin

hubungan akrab dengan korban, seperti: boneka, alat tulis atau gambar.

 Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam

memberikan jawaban)

 Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan

waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan

seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian

 Kronologis urutan kejadian

 Gali informasi tentang:

9
- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah

tidur, murung, agresif dan suka menyendiri

- Keadaan kesehatan setelah trauma

- Adakah riwayat seperti ini sebelumnya

- Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya

 Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari

psikiatri

II.7.2 Anamnesis pada Dewasa

 Anamnesis diperoleh baik dari korban maupun pengantar. Anamnesis dilakukan dalam

ruangan terpisah.

 Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat dikontrol atau ditekan dalam

memberikan jawaban)

 Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar, tanggal, tempat dan

waktu pemeriksaan serta identitas korban. Menanyakan perkembangan seks dan hubungan

seks terakhir, siklus haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian

 Kronologis urutan kejadian

 Gali informasi tentang:

- Adakah perubahan perilaku anak setelah mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah

tidur, murung, agresif dan suka menyendiri

- Keadaan kesehatan setelah trauma

- Adakah riwayat seperti ini sebelumnya

- Adakah riwayat penyakit dan masalah perilaku sebelumnya

10
 Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling atau rujuk bila memerlukan intervensi dari

psikiatri

II.8 Pemeriksaan Umum dan Khusus

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”.Artinya, pemeriksaan

fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.Pelaksanaan

pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar

atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan

dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu.

Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan umum

meliputi :

- Keadaan Umum : Tingkat kesadaran, penampilan secara keseluruhan, keadaan

emosional (tenang, sedih / gelisah)

- Tanda vital

- Periksa gigi-geligi (pertumbuhan gigi ke 7 & 8)

- Pada persetubuhn oral, periksa lecet, bintik perdarahan /memar pada palatum, lakukan

swab pada laring dan tonsil

- Perkembangan seks sekunder (pertumbuhan mammae, rambut axilla dan rambut pubis)

- Jika pada baju ada bercak mani (kaku), bila mungkin pakaian diminta, masukkan dalam

amplop

- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada

bagian tubuh selain daerah kemaluan.

11
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh seperti pada gambar

Gambar 1Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan

kekerasan seksual yang diakui korban, prosedurnya meliputi :

- Posisi litotomi

- Periksa daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak

atau bercak cairan mani;

- Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum dan paha (adanya perlukaan pada jaringan

lunak, bercak cairan mani)

- Jika ada bercak, kerok dengan skalpel dan masukkan dalam amplop

12
- Rambut pubis disisir, rambut yang lepas dimasukkan dalam amplop

- Jika ada rambut pubis yang menggumpal, gunting dan masukkan dalam amplop, cabut 3-

10 lembar rambut dan masukkan dalam amplop lain

- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada

jaringan lunak atau bercak cairan mani;

- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah), apakah

ada perlukaan;

- Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya

perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan

hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam,

dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau

tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan;

- Swab daerah vestibulum, buat sediaan hapus

- Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;

- Serviks dan portio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya

cairan atau lendir;

- Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;

- Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,

- Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak mani

atau air liur dari pelaku; serta

- Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut

13
- Tanda kehilangan kesadaran (pemberian obat tidur / bius) needle marksindikasi

pemeriksaan darah dan urin

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan

selaput dara.Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi.Pada jenis-jenis selaput dara

tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara

dilakukan dengan traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan

penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan

robekan.Pada penelusuran tersebut, umumnya lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap

tampak dengan tepi yang tajam.

1. Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau bila

dilakukan dengan kasar dapat merusak selap

2. ut lendir daerah vulva dan vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette.

Robekan selaput dara akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda

kemerahan disekitar robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang

elastis sehingga tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala

jika : korban dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa

sudah lama, korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap.

14
Gambar 2.Beragam jenis selaput dara

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.Selain

melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang

ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan,

korban juga tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter

mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai.

Menentukan ada tidaknya persetubuhan:

15
 Tanda langsung

- Adanya robekan selaput dara

- Luka lecet atau memar di lliang senggama

- Ditemukan sperma

 Tanda tidak langsung

- Kehamilan

- Penyakit hubungan seksual

II.9 Pemeriksaan Korban

II.9.a. Pemeriksaan tubuh

Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak. Bila

ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti apakah

sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari

kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan

ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan

dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung

jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran pada

seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan

dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.

Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat

dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan

16
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda

lain yang masuk ke dalam vagina.

Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat

tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina

merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung

sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan

pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.

Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah: enzim

asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin maapun

spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih rendah oleh

karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim

fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam

vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila

dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.

Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan

persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya

pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat

dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti pula

menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal

dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak

ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama,

memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-

tandanya tidak dapat ditemukan.

17
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat

terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang

sangat penting di dalam proses penyidikan.

Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat

bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-

36 jam postkoital, dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang

menjadi korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat

ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya

penyembuhan tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.

II.9.b. Pemeriksaan pakaian

Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan

pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak

tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak

yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.

II.10 Pemeriksaan Pelaku

II.10.a. Pemeriksaan tubuh

Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat

dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga

dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.

18
II.10.b. Pemeriksaan pakaian

Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan

sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak

perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah

deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace

evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.

Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di

kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat

berita acara pembungkusan dan penyegelan.

II.11 Pembuktian Kekerasan

Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang menjadi

korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu di daerah

mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan

pada alat genital.

Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan

(bite marks) serta luka-luka memar.

Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak

berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa pada wanita

korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus menggunakan kalimat

tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum yang dibuat, oleh karena tidak

ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada

19
kekerasan, dan yang kedua kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau

bekas tersebut sudah hilang.

Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak berdaya

merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan untuk

menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat membuat wanita tersebut

pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pada setiap kasus kejahatan seksual,

pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur yang rutin dikerjakan.

II.12 Labolatorium
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.Pembuktian persetubuhan yang lain

adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan

mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan mani sendiri.

II.12.1Menentukan cairan mani

Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-

zat yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

membuktikan hal tersebut adalah :

II.12.1.aReaksi Fosfatase Asam

Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di dalam cairan

semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400 kali dalam mani dibandingkan

yang mengalir dalam tubuh lain. Dengan menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam

per 2 cm2 bercak, dapat ditentukan apakah bercak tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A

per 1cc ekstrak yang diperoleh 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani

20
II.12.1.b Reaksi Berberio

Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen. Spermin yang

terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal

spermin pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek,

biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup.Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca

penutup.

Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-

kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.

II.12.1.cReaksi Florence

Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak mani, tampak

kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum dengan ujung terbelah.

II.12.2 Pemeriksaan Spermatozoa

II.12.2.aTanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung

Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang

bergerak.Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling bermakna untuk memperkirakan saat

terjadinya persetubuhan.Umumnya disepakati bahwa dalam 2-3 jam setelah persetubuhan, masih

dapat ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina.Bila tidak ditemukan lagi, belum

tentu dalam vagina tidak ada ejakulat.

21
Gambar 3. Sperma pada pemeriksaan langsung

II.12.2.b Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)

Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat gambaran sperma

dengan kepala sperma tampak berwarna ungu menyala dan lehernya merah muda, sedangkan

ekornya berwarna hijau.

Gambar 4.Sperma dengan pewarnaan Malachite Green

II.12.2.cPewarnaan Baecchi

Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat warna dasar dengan

kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu

22
pada ekor membawa muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen kationik

tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.

Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda, menempel pada

serabut benang

1. Pemeriksaan pria tersangka, meliputi :

- Pemeriksaan golongan darah

- Menentukan adanya sel epitel vagina pada glans penis, menggunakan larutan lugol

- Pemeriksaan sekret uretra

- Dalam populasi 85% golongan sekretor yang dalam cairan tubuh (cairan mani,

keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika bersetubuh dan ejakulasi maka golongan

darah ada pada tubuh korban

- Dalam kepala sel sperma terdapat DNA inti (c-DNA) dan dalam leher sel sperma ada

DNA mitochondria (mt-DNA). Ketika ejakulasi yang mengandung sel sperma,akan

meninggalkan jejak DNA pelaku. Dengan pemeriksaan DNA akan diketahui siapa dan

berapa orang pelaku.

II.13 Kendala Pembuktian Dalam Kasus Perkosaan

Dalam sistem peradilan yang dianutnegara kita, seorang hakim tidak dapat menjatuhkan

hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat bukti yang sah ia

merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183 KUHAP). Sedang

yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk, dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP). Berdasarkan hal tersebut di atas,

23
maka pada suatu kasus perkosaan dan kejahatan seksual lainnya perlu diperjelas keterkaitan

antara:

1) Bukti-bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara

2) Pada tubuh atau pakaian korban

3) Pada tubuh atau pakaian pelaku

4) Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini (yaitu penis)

Keterkaitan antara berbagai faktor inilah yang sering dijabarkan dan merupakan salah

satu hal yang dapat menimbulkan keyakinan hakim.Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan

empat faktor ini tidak jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul

keyakinan pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk suatu hukuman yang ringan dan

sekadarnya. Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah sebagai

berikut:

a. Masalah keutuhan barang bukti

Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut umumnya akan

merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih. Sprei yang mengandung

bercak mania tau darah seringkali telah dicuci dan diganti dengan sprei yang baru sebelum

penyidik tiba di TKP.Lantai yang mungkin mengandung benda bukti telah disapu dan dipel

terlebih dahulu agar “rapi” kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke

dokter untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan/atau mengganti pakaiannya

terlebih dahulu dengan yang baru dan masih bersih. Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan

menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut pelaku,

darah pelaku, dan lain-lain yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan. Adanya

24
keterlambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu juga

menyebabkan hilangnya benda butki karena berlalunya waktu.

b. Masalah tehnis pengumpulan barang butki

Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal amat

mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dengan kejahatan

seksual lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang mungkin ditinggalkan

di TKP seperti adanya sidik jari, rambut, bercak mani pada lantai, sprei atau kertas tissue di

tempat sampah, dsb. Tidak dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya

pengetahuan, kurang pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak

data yang penting untuk pengungkapan kasus. Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara

pengambilan sampel usapan vaginal yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu.

Pada pemeriksaan persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan

dengan kapas lidi bukan dilakukan dengan pencolokan lidi ke dalam liang anus saja tetapi

harus dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan pertama akan

didapatkan umumnya tinja dan bukan sperma. Adanya bercak mani pada kulit, bulu

kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban, adanya rambut di sekitar bulu

kemaluan korban, adanya bercak darah atau epitel kux`lit pada kuku jari (jika korban sempat

mencakar pelaku) adanya hal-hal yang tidak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.

c. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium

Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu tempat ke

tempat lain. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma sama sekali tentu tak

dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan akibat benda tumpul pada

masturbasi. Klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak

25
dapat membedakan tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari

orang yang tidak memiliki sel sperma (pasca vasektomi/ mandul tanpa sel sperma). Suatu

klinik yang hanya dapat melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja

misalnya tentu hanya dapat menghasilkan hasil yang terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini

mungkin sperma. Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji

PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang

dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul tanpa sel

sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Pemeriksaan pada kasus perkosaan

untuk pencarian pelaku dilakukan dengan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak

cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan

diantaranya adalah pemeriksaan pola permukaan luar (kutikula) rambut, pemeriksaan

golongan darah dan pemeriksaan sidik DNA. Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada

bahan yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku

perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan

dengan banyak pelaku (salome)

Pemeriksaan golongan darah dengan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika korban

sempat mencakar) juga dapat diggunakan untuk mencari pelakunnya. Jika hanya

pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina, maka bahan

liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juiga diperiksa golongan darahnya untuk

menentukan golongan sekretor atau non sekretor. Orang yang termasuk golongan sekretor

(sekitar 85% dari populasi) pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan

darah.Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan

golongan darahnya sekaligus pada tubuh korban. Sebaliknya orang yang termasuk golongan

26
non sekretor (15% dari populasi) jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani

saja tanpa golongan darah. Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya

substansi golongan darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai

tersangkannya.Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena

tidak dikenal adanya istilah-istilah sekretor dan non sekretor pada pemeriksaan DNA.Dalam

hal tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara

konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas objek dan diberi uap

lugol.Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa penis

itu ‘bersentuhan’ dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1994,

menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel

vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing

juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama. Pada saat ini bila seorang pria diduga

baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl.Air

cucian ini diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka

pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR (Polymerase

Chain Reaction).

d. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa

Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan kejahatan

seksual lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum.Sebagai dokter

klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas

utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip pengumpulan

benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak

terdeteksi selama pemeriksaan. Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya

27
luka di sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya.Akibatnya

tanda kekerasan di daerah lainnya tidak terdeteksi.Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah

atau urin untuk deteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan

obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan. Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani biasanya

hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya cairan mani tanpa

sperma tak mungkin terdeteksi. Pemeriksaan kea rah pembuktian pelaku sejauh ini boleh

dikatakan tak pernah dilakukan karena masih dianggap bukan kewajiban dokter.Dengan

demikian selama ini dasar dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adalah hanya

dari kesaksian korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali

sulit dipercaya karena sifatnya yang subjektif.

e. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum

Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar pengumpulan

bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat tuduhan, misalnya akan

dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya

menganggap perlu mencari alat bukti berupa pengakuan terdakwa, dan mengabaikan

pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya

pembuktian dilakukan seadanya.

II.14 KUHP kejahatan seksual dan perlindungan anak


II.14.1 Undang-undang Pemerkosaan

 Pasal 284 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal

diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.

28
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal

diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya

bahwa yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,

padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW

(Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar,dan

bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), dalam tenggang waktu tiga

bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja da pisah ranjang karena alasan

itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan belum

dimulai.

(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan tidak

diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan

yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

 Pasal 27 BW

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang

perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

 Pasal 285 KUHP

29
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita

bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah

terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan

apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan.

Tetapi ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat

paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan

paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum

merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat

menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga

tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah terjadi.

Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena perkosaan

adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan istilah

perkosaan dalam Visum et Repertum.

 Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal

diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan

pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu

30
persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat

mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi

pingsan, maka perlu diketahui bagaimana terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah

korban diberi minuman atau makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah

korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah

berada di bawah pengaruh obat-obatan.

Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau

tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan

membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

 Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak

melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh

perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

 Pasal 287 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal

diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umumnya belum lima belas tahun, atau

kalau umurnya tidak ternyata, bahwa mampu dikawin, diancam pidana penjara paling

lama sembilan tahun

 Pasal 288 KUHP

31
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam perkawinan, yang diketahui

atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama

delapan tahun

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika

suami melakukan pemaksaan seksual terhadap istri, maka tidak termasuk dalam hukum

undang-undang perkosaan, tetapi termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga seperti

undang-undang sebagai berikut :

Undang undang Republik Indonesia Nomor 23 \Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :

 Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam

lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. kekerasan fisik

b. kekerasan psikis

c. kekerasan seksual

d. penelantaran rumah tangga

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter diharapkan

dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin, memang terdapat

32
tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat menjelaskan perihal sebab

kematiannya.

Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat

timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua pengertian,

yaitu pengertian secara biologis dan pengertian menurut undang-undang. Secara biologis

seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila ia telah siap untuk dapat

memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui dari menstruasi, apakah ia belum

pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah. Sedangkan menurut undang-undang

perkawinan, maka batas umur termuda bagi seorang perempuan yang diperkenankan

untuk melangsungkan perkawinan adalah 16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan

dapat menentukan berapa umur dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti

yang dimaksud dalam pasal 288 KUHP.

II.14.2 Undang Undang Perlindungan Anak

Ketentuan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (“UU Perlindungan Anak”) yang

berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yaitu antara lain Pasal 76D (persetubuhan dengan

anak) dan Pasal 76E (pencabulan anak), sebagai berikut :

 Pasal 76D Undang-Undang perlindungan Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak

melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

 Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak

33
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak sebagai Berikut:

 Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang

yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidanannya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Selain Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana

karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D.

(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan

korban lebih dari 1 (satu) orang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit

menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,

34
pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan

ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai

tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

Diantara pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi

sebagai berikut:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana
pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

 Pasal 82 Undang Undang Perlindungan Anak :

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

35
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang

tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E, Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang

Perlindungan Anak diatas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk

dilaporkan oleh korbannnya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan

pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat

diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Pasal 294 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak

angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum dewasa, atau dengan orang yang

belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penja-gaannya diserahkan

kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur,

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

36
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat ditemukan

diseluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat dan tidak memandang usia .

Komponen penting dari pengungkapan kasus kejahatan seksual adalah visum et repertum

yang dibuat oleh dokter. Visum et repertum memuat tentang hasil pemeriksaan medis mengenai

bukti-bukti kekerasan seksual yang terdapat pada tubuh korban berserta interpretasinya, adanya

tanda-tanda persetubuhan sehingga dapat membantu membuat terang perkara bagi aparat

penegak hukum.

Pemeriksaan forensik pada kasus kejahatan seksual meliputi anamnesis mengenai kronologi

kejadian, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus untuk mencari bukti-bukti fisik

kekerasan, serta pemeriksaan penunjang untuk pembuktian persetubuhan. Anamnesis pada

korban anak dan dewasa dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Posisi pemeriksaan

forensik sera temuan pemeriksaan hymennya pada korban dewasa dan anak juga berbeda.

Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan adanya penetrasi

(penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan adanya ejakulasi atau adanya air

mani didalam vagina/anus. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan

cairan mani sendiri.

Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu dideteksi adanya zat-zat

yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk

membuktikan hal tersebut adalah pemeriksaan dengan reaksi fosfatase asam, reaksi berberio,

reaksi Florence.
37
Pemeriksaan untuk spermatozoa dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung maupun

dengan menggunakan pewarnaan malachite green 1 % maupun pewarnaan baecchi.

III.2 Saran

 Masyarakat
o Agar lebih waspada terhadap banyaknya kasus kejahatan seksual
o Setelah mengalami kejahatan seksual, hendaknya segera melapor ke pihak berwenang
agar dokter yang memeriksa dapat menemukan bukti sebanyak - banyaknya
 Kedokteran forensik
o Agar selain mengobati korban kejahatan seksual juga mengetahui prinsip – prinsip
pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya agar tidak membuat bnayak bukti
penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan
o Lebih teliti dalam melakuakn identifikasi temuan klinis dalam kasus kejahatan
seksual
o Akan lebih baik bila dalam kasus kejahatan seksual dapat dilengkapi dengan visum
yang melibatkan psikiater dan psikolog yang dapat menelaah salah satu gejala jangka
panjang seperti post traumatic stress disorder atau post traumatic rape síndrome.
Keterlibatan psikiater atau relawan pendamping ( umumnya psikolog, sosiolog, atau
sarjana keperawatan) sebagai “lingkaran dalam” korban kareba berkesempatan
menangkap akutualitas penderitaan korban.
 Pemerintah dan pihak kepolisian
o Lebih intensif dalam memberantas kasus perkosaan dengan tujuan menurunnya kasus
kejahatan seksual

38
Daftar Pustaka

Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6 November 2007 dari
http://www.nusantara.co.id (diakses tanggal 25 Juli 2016)

Budiyanto. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Indonesia,
1997.

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : EGC, 2010.

Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues. In: Hazelwood RR, Burgess AW, editors.
Practical aspects of rape investigation: A multidisiplinary approach. 4th ed. Boca Raton (FL):
CRC Press; 2009. h. 3-23.

Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2004:
h.130-131.

Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan. 2008

Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta : Binarupa aksara, 2004.

Komnas Perempuan. Kekerasan seksual: Kenali dan tangani. Komnas Perempuan; 2011.h. 1-5.

Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta:Bumi Aksara. 2003.h. 106.

R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap


pasal demi pasal.1996.Bogor : Politeia. h. 212.

Syamsuddin, Rahman. Peranan Visum et Repertum di Pengadilan. Al-Risalah.2011; 11(1); 187-


200.

39

Anda mungkin juga menyukai