Anda di halaman 1dari 11

Hakekat Filsafat Hukum

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran tentang Filsafat
hukum dewasa ini diperlukan untuk
menelusuri seberapa jauh penerapan
arti hukum dipraktekkan dalam
hidup sehari-hari, juga untuk
menunjukkan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum. Manusia
memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak bermakna karena
ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai
kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena
ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara
yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya.
Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi “panglima”
dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang
mampu membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
Dalam beberapa dekade terakhir, fenomena pelecehan terhadap hukum
semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena tidak memberi
kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap
pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar.
Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat memprihatinkan karena
peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak
menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan
interpretasi yang tidak sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya kebebasan tafsiran tanpa
batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu.
Hukum hanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit
ditemukan arahnya. Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis
partai yang mampu menerobos hukum dari sudut manapun asal sampai pada tujuan
dan target yang dikehendaki.
Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya,
sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis
yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan
yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah
secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna
memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Mengenai fungsi Filsafat Hukum menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya
untuk memecahkan persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum
yang sempurna yang harus berdiri teguh selamalamanya, kemudian membuktikan
kepada umat manusia bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya
tidak dipersoalkan lagi. Suatu usaha untuk melakukan pemecahan menggunakan
sistem hukum yang berlaku pada masa dan tempat tertentu, dengan menggunakan
abstraksi terhadap bahan-bahan hukum yang lebih tinggi. Filsafat hukum memegang
peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan tujuan-tujuan
masyarakat hukum
Daria hal demikian kita menjadi bertanya apakah cita-cita atau tujuan hukum
yang sebenarnya. Dan pemikiran inilah yang mendasari dalam menyusun makalah
ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka ada beberapa masalah yang timbul sebagai berikut :
1. Bagaimana Cita-cita dan Tujuan Hukum ?
2. Bagaimana Telaah Filosofis Terhadap Keadilan Sebgai Cita-cita dan Hakikat
Tujuan Hukum ?

C. Tujuan
Berdasarkan uraian yang telah di paparka pada rumusan masalah tersebut di
atas, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi, dan menganalisis tentang:
1. Bagaimanakah Cita-cita dan Tujuan Hukum ?
2. Bagaimanakah Telaah Filosofis Terhadap Keadilan Cita-cita dan Hakikat
Tujuan Hukum ?

D. Manfaat
Hasil Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pemikiran
teoritis mapun kegunaan praktis.
1. Secara teoritis

Hasil makalah ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di


bidan filsafat hukum khususnya mengenai hakikat tujuan dan cita-cita hukum.
2. Secara Praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi informasi konkrit bagi usaha
pembaharuan filsafat hukum khususnya mengenai hakikat tujuan dan cita-cita
hukum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Filsafat


Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamankan sebagai seorang yang berpijak di
bumi dan menengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam
kesemestaan galaksi. Atau seseorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke
ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan
yang ditatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi p andang ilmu itu
sendrii. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya.
Dan ”Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan berakhir sebagai seni” ujar Will
Durant, “(Ia) muncul dalam hipotesis dan berkembang ke keberhasilan” Auguste Comte
(1798-1857).
Filsafat ialah gerak pemikiran yang metodis sistematis dan radikal mengenai
“sangkaan-paraning dumadi” =”asal dan tujuan hidup”dan kedudukan manusia
baiksebagai pribadi ataupun soom politicom dalam kelompok, jagad raya. (Soejono
Koesoemo Sisworo,).
B. Konsep Pemikiran Hukum
Pengertian hukum yang penuh dengan faliditas universal untuk semua fenomena
hukum haruslah mampu menjadi wadah untuk dan beroreantasi pada cita hukum.
Pengertian hukum dan cita hukum yang serasi seimbang itu harus mampu
mengadirkan diri sebagai norma-norma dan institusi-institusi yang mudah dan
sederhana di fahami dan diamalkan. (Soejono Koesoemo Sisworo,).
Apa yang pertama muncul sebagai hukum ialah yang berlaku dalam sebuah
negara. Hukum itu adalah hukum posotif. Yang berawal dari penetapan pimpinan.
Sedangkan ra kyat mencari hukum berarti rakyat menutuk untuk hidup bersama dalam
masyarakat di atur secara adil. Untuk mengesahkan tuntutan ini tidak perlu diketahui apa
yang terkandung dalam undang-undang negara. Rakyat meminta supaya tindakan-
tindakan yang diambil adalh sesuai dengan suatu norma yang lebih tinggi dari norma
hukum dalam undang-undang.dan norma yang lebih tinggi ini dapat di samakan dengan
prinsip-prinsi keadailan. (Theo Huijbers).
Bagunan hukum yang lengkap dan substansi logis dan etis harus mampu
berpertanggung jawap dan dipertanggung jawapkan kepada Grundnormnya.
Sedangkan hukum kodrat, keadilan dan kebenaran mewujudkan faktor regulatif
dan sekaligus unsur konstitutif bagi hukum positif, dan ilmu hukum empiris dan ilmu
hukum metafisis. (Soejono Koesoemo Sisworo,).
C. Konsep Pemikiran Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah hasil pemikiran yang metodis dan sistematisdan radikal tentang
hakekat dan hal-hal yang funda mental dan marijinal dari hukum dari segala aspeknya,
yang peninjauanya berpusat pada empat masalh pokok (Soejono Koesoemo Sisworo,) :
1. Hakekat pengertian hukum
2. Cita dan tujuan hukum
3. Berlakunya hukum (Geltung des Rechts)
4. Penerapan/pengalaman hukum (Awendung des Rechts).
Filsafat memiliki cabang umum dan khusus serta beberapa aliran didalamnya, terkait
dengan persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan tidak
semata-mata ditentukan oleh manusia tetapi alam dan Tuhan ikut menentukan. Alam
akan memberikan hukum dan keadilan lebih karena alam mempunyai sifat keselarasan,
keseimbangan, keajegan dan keharmonisan terhadap segalanya, alam lebih bijaksana
dari segalanya. Dan pada dasarnya fungsi filsafat hukum di bagi menjadi tiga (3) macam
(Soejono Koesoemo Sisworo,) :
1. Fungsi Transendental Logis
Yakni mencari dan menyusun pengertian dasar hukum yang fundamental.
2. Fungsi Fenimenologis
Yakni meneliti sejarah universal dari hukum sebagai bentuk penjawatahan
dari citahukum lestari.
3. Fungsi Deontologis
Yakni meneliti cita hukum terutama keadilan dan hukum kodrat, sebagai
ukuran idil dan umum bagi keadilan/ kebenaran atau kdholiman hukum
positif:
4. Fungsi Ontologis
Yakni mencari dan menciptakan landasan-landasan hakiki yang
mempersatukan secara struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan
sistem hukum yang berdiri di atasnya.
Filsafat hukum , sesuai da setia pada induknya yakni kodrat filsafat, mengandung
dalam dirinya suatu aspek pandangan hidup dan dunia. Sebagai filsafat praktis
diharapkan akan mampu memberikan jalan dan cara yang benar di dalam kehidupan
manusia.
Hakekat manusia tidak semata-mata akal budi murninya,tetapi terutama pada
kebeasan kesusilaan yang otonom dari manusia yang menapakkan diri dalam
kemampuan manusiauntuk menciptakan hukum eksusilaan bagi dirinya secara
mandiri dan memperlakukan sesama manusia tidak sebagai alat tapi sebagai subyek
tujuan. (Soejono Koesoemo Sisworo,) .
BAB III
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Cita-cita dan Tujuan Hukum.


Jika kita kembali pada persoalan pendefenisian hukum, maka istilah tentang
apa yang dimaksud sebagai hukum, tergantung pada sudut pandang apa yang
digunakan seseorang. Hukum dapat diartikan juga dalam artian yang agak
metaforis seperti misalnya jika kita mengatakan tentang hukum-hukum fisika atau
hukum-hukum kimia, demikian pula hukum benda-benda, artinya jika yang
memandangnya seorang sosiolog, atau seorang sejarawan, seorang filosof, maka
sudut pandangnya akan berbeda-beda, tergantung ia menganut aliran hukum apa.
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas
dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang
tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh
hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku. Secara singkat Tujuan
Hukum antara lain:
· keadilan
· kepastian
· kemanfaatan
Menurut sumberlain juga mengatakan hukum bertujuan untuk mencapai
kehidupan yang selaras dan seimbang, mencegah terjadinya perpecahan dan
mendapat keselamatan dalam keadilan
Dalam membicarakan tentang tujuan hukum, sama sulitnya dengan
membicarakan tentang pendefinisian hukum, karena kedua-duanya mempunyai
obyek kajian yang sama yaitu membahas tentang hukum itu sendiri.
Apa yang pertama-tama muncul sebagai hukum ialah hukum yang berlaku
dalam sebuah negara. Hukum semacam ini disebut hukum positif. Asal mula
hukum ini iayalah penetapan oleh pimpinan yang sah dalam negara. Kalau seorang
ahli hukum berbicara mengenai hukum biasanya yang dia maksud hukum adalah
hukum ini.
Lain lagi jikalu rakyat berbicara mengenai hukum, rakyat mencari hukum
untuk sebuah tujuan yaitu agar dapat hidup bersama dalam masyarakat diatur
secara adil.untuk mengesahkan tuntutan itu tidak perlualh kita mencari apa isi dari
undang-undang nagara. Rakyat meminta agar tindakan atau kebijakan yang diambil
oleh pemimpin mesti sesuai dengan norma yang lebih tinggi dari undang-undang
itu sendiri. Karena norma yang lebih tinggi itu memuat perinsip-perinsip keadilan.
Dan inilah yang dianggap tujuan hukum yang mengatur mereka (rakyat).
Dari kedua perbedaan jenis hukum diatas memang nyata dan ini pulah sangat
berpengaruh terhadap tujuan hukum itu sendiri setiap cenis memiliki tujuan
mereka. Tetapi lain soal lagi apakah kedua hukum ini dapat dipisahkan.
Atas dasar tersebut dimana hukum merupakan suatu hal yang penting dalam
mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat kiranya dapat teratasi,
sehingga dapat dikatakan bahwa hukum merupakan sekumpulan peraturan
mengenai tingkah laku dalam masyarakat yang harus ditaati untuk mencapai suatu
tujuan.
Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia dalam masyarakat,
dalam tujuan tersebut hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, dimana
hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum
serta memelihara kepastian hukum itu sendiri.
Berabjak dari hal tersebut, berbagai pakar di bidang hukum maupun di bidang
ilmu sosial lainnya mengemukakan pandangannya masing-masing tentang tujuan
hukum itu sendiri berdasarkan sudut pandang mereka masing-masing.
Secara etimologis kata tujuan, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus
besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “arah atau sasaran yang hendak dicapai”

B. Telaah Filosofis Terhadat Hakikat Keadilan Sebagai Cita-cita


dan Tujuan Hukum.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari
masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena
pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang
sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan jelas
perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari
sudut pandang para ahli tersebut melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari
latar belakang aliran pemikiran yang mereka anut sehingga dengannya lahirlah
berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal
yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai
tujuan hukum, masing-masing: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum mempunyai tujuan spesifik,
sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik dibandingkan
dengan hukum perdata, demikian pula hukum formal mempunyai tujuan spesifik
jika dibandingkan dengan hukum materil, dan lain sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam
kenyataan.
Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian
hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian
hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh
dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil
(menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si
penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan
kemanfaatan bagi masyarakat luas ,sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas
dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh
karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Menurut Prof.Muchsin, pada hakekatnya hukum merupakan alat atau sarana
untuk mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu masyarakat yang
berkeadilan dalam menyelengarakan kesejahtraan sosial yang berupa peraturan-
peraturan yang bersifat memaksa dan memberikan sangsi bagi yang
menyelengarakannya, baik itu untuk mengatur masyarakat ataupun aparat
pemerintah sebagai penguasa.
Ditambahkan pula oleh Prof. Muchsin, bahwa konsep dasar serta tujuan
hukum hanyalah berbicara pada dua konteks persoalan saja :
1. Konteks yang pertama adalah keadilan yang menyakut tentang
kebutuhan masyarakat akan rasa keadilan di tengah sangking banyaknya
dinamika dan konflik di tengah masyarakat.
2. Konteks yang kedua adalah aspek legalitasmenyakut apa yang disebut
dengan hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah
kekuasaan negara yang sah dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan
atas nama hukum.
Dua konteks persoalan tersebut di atas seringkali terjadi benturan, diman
hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa
keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya
komprominya adalah bagaimanabagaiman agar semua hukum positif ada dan hadir
selalu merupakan cermin dari rasa keadilan.
Di samping itu hakekat hukum bertumpu pula pada idea keadilan dan
kekuatan moral, idea keadilan tidak pernah lepas dengan kaitannyasebab
membicarakan hukum, jelas atu samr-samar senantiasa merupakan pembicaraan
mengenai keadilan pula.
Serupa dengan apa yang di kemukaan oleh Prof. Muchsin, Theo Huijbers
dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus
menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan.
selanjutnya menjelaskan dan mengajak kita pertama-tama memandang
hukum posotif secara terpisah dari prinsip-prinsip keadilan. Seandainya hukum
lepas dari norma-norma keadilan kemungkinanya ada hukum yang
ditetapkan adalah hukum yang tidak adil. Dan pertanyaanya adalah apakah hukum
yang tidak adil memiliki kekuatan hukum ?
Lanjaut Theo Huijbers menegemukakan untuk mengetahui mengerti apakah
hukum sebenarnya apakah makna hukum itu hukum ialah mewujudkan keadilan
dalam hidup bersama manusia. Makna ini tercapai dengan di masukanya prinsip-
prinsip keadilan dalam peraturan-peraturan hidup bersama waktu itu.
Maka sebenarnya yang di sebut dengan hukum posotif yang merupakan
suatu realisasi dari prinsip keadilan.
Keinsyafan keadilan dalam hubungan dengan hukum tidak hanya dimiliki
oleh rajyat . yang berkuasa dalam sebuah negara semestinya sadar akan perlunya
keadilan karena kesadaran ini para penguasa politik sekuat tenaga berusaha untuk
mengesahkan tindakan-tindakanya seakan-akan tindakan itu sesuai dengan prinsip
keadilan.
Selanjutnya Theo Huijbers menegemukakan bila hukum hanya dipandang
sebagi hukum kalau tidak menetang keadilan, konseksuensinya iyalah bahwa
peraturan hukum yang tidak memuak konsep keadilan maka bukanlah hukum yang
sebenarnya.
Memang Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan
kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak
fleksibel, kaku, dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu
hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis
(pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat
ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada konsekuensi
ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-
nilai masyarakat).
Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaharuan (legal
reform) sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak dinamisannya, namun setiap
orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-undang baik melalui
proses legislasi maupun proses kontekstualisasi oleh hakim bukanlah perkara yang
gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan
manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan suatu undang-
undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena
membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi
dan misi yang berbeda-beda.
Olehnya itu saat ini asas prioritas yang pertama-tama kita harus
memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian
hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh
hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai
dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak
mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak
terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan.
Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman
dan ketertiban dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan
mejemuk seperti di Indonesia, maka semestinya kita menganut asas prioritas yang
kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi
dalam masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari
ketiga asas tersebut sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian
merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tujuan hukum secara umum ialah arah atau sasaran yang hendak dicapai
hukum dalam mengatur masyarakat.
Dalam rumusan tentang tujuan hukum masih terdapat perbedaan pendapat
antara para ahli hukum. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang universal, adanya
faktor penyebab lain yaitu dari masing-masing masyarakat atau bangsa yang
memiliki karakteristik yang menjelma menjadi ideologi bangsa yang sekaligus
berfungsi sebagai cita hukum.
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat serta mendapatkan kemanfaatan atas
dibentuknya hukum tersebut. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang
tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh
hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku. Secara singkat Tujuan
Hukum antara lain:
· keadilan
· kepastian
· kemanfaatan
Namun dengan perkembangan saman terjadi “benturan” antara Keadilan Dan
kepastian hukum, dalam penerapan hukum kan yang di dahulukan adalah kepastin
hukum.
Padahal jikalu kita melihat secara filosofis dan dari pendapat beberapa
pakar, yang mesti didahulukan adalah keadailan, contohnya yang di kemukankan
oleh Theo Huijbers, dari tiga tujuan hukum (yaitu kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada
kepastian dan kemanfaatan.
Dan sesunguhnya kepastian hukum dalam arti peraturan-peraturan lahir
untuk menguatkan pondasi atau landasan dari tujuan hukum sesungguhnya, namun
sebliknya kini kepastian hukun lebih mendominasi, bahkan Seorang Hakin kini
dianggap hanya menjadi “Corong Undang-undang” hal ini, dianggap oleh penulis
adalh dampak atau pengaruh dari kultur, civil law system yang menghendaki hakim
untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang walaupun
undang-undang tersebut telah ketinggalan jaman.
Dan dari hasil analisis secara filosofis dapat di simpulkan bahwa hakekat
tujuan hukum itu adalah keadilan, dan kepastian hukumsebagai perwujudan
keadilan maka di setiap undang-undang harus memuat konsep keadilan dan jikalu
dalam penegakan peraturan itu tidak memenuhi rasa keadilan maka sesungguhnya
itu bukanlah hukum.
“Penulis ingin mengemukakan bahwa sesunguhnya keadilan itu tidak perlu
difinisi karena keadilan itu adalah sebuah keputusan sikap, perasaan nurani dari
individu atu kelompok, adil bagi pihak yang lain belum tentu adil bagi pihak lain
merasakan rasa (adil) yang sama, adil bagi penguasa belum tentu adil bagi
masyarkat, dan sebaliknya. Maka kosepnya, keadilan harus dibalut oleh kepastian
hukum yang jelas dengan cataan setiap kepastian hukum (aturan-aturan) harus
memenuhi rasa nurani masayrakat yang lebih banyak.”
B. Saran
Sebagai saran mengutip apa yang dikemukakan oleh Prof. Muchsin, Dua konteks
persoalan antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara
keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan
kemanfaatan seringkali terjadi benturan, dimana hukum positif tidak menjamin
sepenuhnya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki
kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya komprominya adalah bagaimana
agar semua hukum positif ada dan hadir selalu merupakan cermin atau memuat rasa
keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Huijbers,Theo.1982. Filsafat Hukum Dalam Lintasan


Sejarah. Yogyakarta:Kanisius.

2. Sisworo,Koesoemo,Soejono,SH,CN.1989. pidato
pengukuhan; mempertimbangkan beberapa pokok pikiranberbagai aliran
filsafat hukum dala relasi dan relevansidengan pembanguna/pembinaan
hukum indonesia.Semarang ;Fakultas Hukum Univ. Diponogoro
3. MuchsinProf.,DR,H,SH. Materi Pokok Filsafat Hukum.
4. MuchsinProf.,DR,H,SH. Nilai-Nilai Keadilan.

Anda mungkin juga menyukai