Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu masalah utama

dalam pelayanan kesehatan baik di negara maju maupun berkembang. Pada

penurunan fungsi ginjal mencapai tahap tertentu, perkembangan PGK menuju

penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) tidak terhindarkan lagi. Walaupun

presentase kejadian ini relatif tidak begitu tinggi tetapi risiko dan beban yang

diakibatkannya merupakan masalah besar. Data tersebut mengisyaratkan

pentingnya melakukan upaya pencegahan terjadinya PGK atau setidaknya

menghambat progresi penyakit.(1)

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dikelompokkan menurut stadium, yaitu

stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi

ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut

kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang

meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa

fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal

ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien PGK. Penelitian

keadaan gizi pasien PGK dengan Tes Kliren Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yng

diberikan terapi konservatif di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSCM, dijumpai

50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang
antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu

makan, mual dan muntah. (2)

Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu

perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan

makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu

yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain

diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi

(Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai

status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn

cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang

cukup baik. (2)


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,

dan pada akhirnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal

adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi penggantian ginjal yang

tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal. (2)

Kriteria Penyakit ginjal Kronik(2)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural

maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:

kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam

komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml.mnt/1,73 m2 selama 3 bulan,

dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakitnya dapat

dilihat pada table 2

Table 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakitnya(3)


Derajat Penjelasan LFG(ml/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥90

2 atau↑ 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 30-59

4 Kerusakan gijal dengan LFG↓ sedang 15-29

5 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat <15 atau dialisis

Gagal ginjal

Klasifikasi atas dasar diagnostic dapat dilihat pada table 3

Tabel 3. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi(3)

Penyakit Contoh

Penyakit ginjal diabetes Diabtes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular, penyakit vaskuler,

penyakit tubulointerstitial, penyakit

Penyakit pada transplantasi kistik

Rejeksi kronik, keracunan obat

(siklosporin/takrolimus), penyakit

recurrent (glomerular), Transplant

glomerulopathy

2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens

penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk per tahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi

18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di

Negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60

kasus perjuta penduduk pertahun.(3)

2.4 Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara

dengan Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden

penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani

hemodialysis di Indonesia, seperti ada table 5.Dikelompokkan pada sebab lain,

dianntaranya, nefritis lupus, nefroati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal

bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.(3)

Tabel 4. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat (1995-

1999)(3)

Penyebab Insiden

Diabetes Melitus

-tipe1 (7%) 44%

-tipe 2 (37%)

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah 27%

besar 10%

Glomerulonefritis 4%

Nefritis Interstitialis 3%
Kista dan penyakit bawaan lahir 2%

Penyakit sistemik (missal: lupus dan 2%

vaskulitis) 4%

Neoplasma 4%

Tidak diketahui

Penyakit lain

Penyebab gagal ginjal kronik tersering dapat dibagi menjadi 8 kelas seperti yang

tercantum pada table 46-1 di bawah ini(4)

Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis atau refluks

Penyakit Peradangan nefropati

Penyakit vascular hipertensif Glomerulonefritis

Nefrosklerosis benigna

Nefrosklerosis maligna

Gangguan Jaringan ikat Stenosis arteria renalis

Gangguan kongenital dan herediter Lupus eritematosus sistemik

Penyakit metabolic Penyakit ginjal polikistik

Diabetes mellitus

Gout

Hiperparatioroidisme

Nefropati toksik Amiloidosis

Penyalahgunaan analgesic
Nefropati obstruktif Nefropati timah

Traktus urinarius bagian atas:

Batu, neoplasma, fibrosis

retroperitoneal,

Traktus urinarius bagian bawah:

Hipertrofi prostat, striktur uretra,

anomaly kongenital leher vesika

urinaria, uretra.

Perlu ditekankan di sini, meskipun stadium dini dari penyakit ginjal dapat

cukup bervariasi, tetapi stadium akhir dapat sama semuanya. Dan pada banyak

kasus sebab asalnya tidak dapat diidentifikasi lagi.(4)

2.5 Faktor Risiko

Merupakan hal penting untuk mengetahui factor yang meningkatkan

resiko CKD, meskipun pada seseorang dengan nilai GFR normal. Yang

termasuk factor resiko CKD adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit

autoimun, kelompok lanjut usia, keturunan Afrika, punya riwayat keluarga

sakit ginjal, pernah menderita ARF, proteinuria, sediment urin abnormal, atau

struktur yang abnormal pada traktus urinarius.(5)

2.6 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses


yang terjadi kurang lebih sama.Pengurangan masa ginjal mengakibatkan

hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai molekul vasoaktif seperti siktokin dan growth

factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltras, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi

nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.(3)

Gambar patofisiologi GGK(6)


2.7 Tatalaksana Konservatif

Tatalaksana konservatif pada GGK adalah suatu tatalaksana yang

bertujuan untuk memperlambat perburukan progresifitas gangguan fungsi

ginjal, dimulai ketika pasien mengalami azotemia, dengan cara memperbaiki

penyebab utama dan faktor –faktor yang masih reversible, seperti penurunan

volume ekstrasel karena pemakaian diuretic berlebihan atau pembatasan garam

yang terlalu ketat, obstruksi saluran kemih, infeksi, obat-obatan yang

memperberat penyakit ginjal(4)

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap.

Tahap pertama terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk

meredakan atau memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal.

Tindakan konservatif dimulai ketika penderita mengalami azotemia. Berusaha

menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki setiap factor yang

masih reversible, seperti;penurunan volume cairan ekstrasel yang disebabkan

oleh penggunaan diuretic berlebihan atau pembatasan garam terlalu

ketat,Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau fibrosis

retroperitoneal;Infeksi, terutam infeksi saluran kemih;Obat-obatan yang

memeperberat penyakit ginjal: maminoglikosida, obat antitumor, OAINS,

bahan radiokontras, dan Hipertensi berat atau maligna(4)

Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik meliputi:


A. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar (3)

Dilakukan sebelum nilai LFG menurun.(3,5) Pada ukuran ginjal yang

normal, dilakukan pemeriksaan USG, biopsy, dan pemeriksaan

histopatologi ginjal untuk menentukan indikasi tetap terhadap terapi

spesifik.(3)

1. Tatalaksana Dislipidemia(1)

Dislipidemia pada penderita PGK membutuhkan skrining dan

pendekatan tatalaksana yang berbeda dengan penderita lain karena

metabolism dan eliminasi lipid lowering drugs pada penderita PGK

dapat terganggu, yang dapat mengubah profil keamanannya.

Tatalaksana dyslipidemia berupa perbaikan pola hidup, berupa

pengaturan diet, latihan fisik dan menghentikan kebiasaan yang tidak

sehat, serta terapi farmakologis.(1)

Perbaikan pola Hidup

Mencakup diet rendah lemak, penurunan berat badan, olah raga,

menghindari asupan alkoho berlebih dan berhenti merokok sangat

penting dan sering merupakan lini pertama tatalaksana penderita

dengan abnormalitas kadar lipid. Rekomendasi diet harus diberikan

secara hati-hati mengingat prevalensi malnutrisi pada PGK stadium

lanjut yang tinggi. Diet yang diberikan sebaiknya mengandung kurang

dari 7% kalori lemak jenuh/satured fat (SAFA), polyunsatured fat

(PUFA) hingga 10%, monounsatured fat (MUFA) hingga 20% dan total

lemak 25-35% dari kalori total. Diet juga harus mengandung


karbohidrat kompleks(50-60% dari kalori total) dan serat (20-30

g/hari). Kolesterol diet harus kurang dari 200 mg/hari (Liu 2006)(1)

Terapi farmakologis

Statin

Berfungsi sebagai kompetitif inhibitor terhadap enzim HMG Ko-A

reduktase, enzim yang mempengaruhi kecepatan sintesis kolesterol

(lstvan 2001). Pada metaanalisis terhadap 6 penelitian yang

menggunakan statin pada penderita PGK stadium lanjut menunjukkan

rata-rata penurunan kolesterol sebesar 50-55 mg.dl dan penurunan TG

hingga 34 mg/dl. Penggunaan statin pada pasien dengan hemodialysis

juga terbukti dapat meningkatkan HDL hingga 4,84 mg/dl. Efek

samping yang dapat timbul adalah miopati.(Liu 2006)(1)

Fibrat

Bekerja pada peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR)-α,

suatu reseptor yang diaktivasi oleh asam lemak bebas dan eicosanoid.

Aktivasi PPAR-α berakibat peningkatan oksidasi asam lemak di hepar,

jantung, ginjal, dan otot bergaris. Aktvasi dari reseptor ini juga

mengakibatkan peningkatan ekspresi lipoprotein lipase. Sebagai

hasilnya fibrat menurunkan TG dan VLDL serta meningkatkan HDL.

FIbrat juga mempengaruhi ukuran LDL menjadi lebih besar dan kurang

aterogenik (Staels 2005)(1)


Bile Acid Sequestrants

Yang sudah tersedia adalah kolestiramin, kolestipol dan kolesevelam.

Obat-obatan ini berkaitan dengan asam empedu di usus dan

menurunkan sirkulasi enterohepatikanya. Sebagai hasilnyam konversi

kolesterol menjadi asam empedu diaktivasi di hepar melalui jalur

feedback. Hal ini mengakibatkan overekspirasi reseptor LDL di hepar

dan meningkatkan klirens LDL dari plasma. Obat golongan ini telah

dibuktikan menurunkan LDL hingga 10-20 % pada populasi umum.

Pemakaiannya dapat dikombinasikan dengan statin dan asam nikotinat

pada hiperkolestrolemia berat.(1)

Obat lain yang dapat digunakan adalah asam nikotinat dan ezetimibe(1)

2. Tatalaksana hipertensi

Akan dibahas pada bahasan terapi untuk mengahambat perburukan

fungsi ginjal.

B. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid

condition)(3)

Pantau Kecepatan penurunan LFG secara berkala untuk mengetahui

kondisi komorbid(3,5). Contoh kondisi komorbid: gangguan keseimbangan

cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus

urinarius, bahan radiokontras, peningkatan aktivitas penyakit dasar, obat-

obatan nefrotoxic(3,5)
C. Menghambat perburukan fungsi ginjal(3)

Terdiri dari 2 cara yaitu:

1. Pembatasan diet protein

Dimulai ketika LFG ≤60 ml/menit. Jumlah asupan protein yang

dianjurkan 0,6-0,8 gr/kgBB/hari,yang 0,35-0,5 gr di antaranya

merupakan protein dengan nilai biologi tinggi. Status nutrisi pasien juga

harus dipantau teratur untuk mencegah protein-kalori malnutrisi.(3,5)

Asupan protein dibatasi, juga karena kelebihan protein terutama

diekskresikan melalui ginjal dan bisa terjadi uremia. Ketika konsumsi

protein menigkat, terjadi peningkatan aliran darah dan tekanan darah

intraglomerular yang menyebabkan progresifitas fungsi ginjal. Fosfat

dan protein berasal dari sumber yang sama sehingga harus dibatasi

asupan proteinnya.(3)

Berdasarkan penelitian, pembatasan diet protein dapat menghambat

perburukan penyakit ginjal pada stadium awal, namun tidak pada

stadium lanjut(5,7). Pada pasien yang sudah mendekati stadium akhir,

asupan protein ditingkatkan menjadi 0,9 g/kgBB/hari yang terdiri dari

protein dengan nilai biologi tinggi.(5)

Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi

konservatif adalah sebagai berikut: (2)

Syarat Dalam Menyusun Diet (2)

Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30

kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut: ¾


Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori . ¾ Protein

untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan mengganti sel-sel yang rusak

sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai, protein dapat

diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah

dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet

Rendah Protein. Pada waktu yang lalu, anjuran protein bernilai biologi

tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada saat ini anjuran cukup 50

%. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan protein nabati

yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu.

¾ Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 %

diutamakan lemak tidak jenuh. ¾ Kebutuhan cairan disesuaikan dengan

jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL ± 500 ml. ¾ Garam

disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan cairan

dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan

1000-3000 mg Na/hari. ¾ Kalium disesuaikan dengan kondisi ada

tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari ¾ Fosfor yang dianjurkan ≤ 10

mg/kg BB/hari ¾ Kalsium 1400-1600 mg/hari (depkes), eemam mlan

hari(2)

Sumber Protein Pada Penyakit Ginjal Kronik Protein berasal dari

bahasa Yunani, yaitu proteos berarti yang utama atau didahulukan.

Jumlah dan jenis protein yang diberikan pada pasien PGK pre dialisis

dalam bentuk diet Rendah Protein sangat penting untuk diperhatikan

karena protein berguna untuk mengganti jaringan yang rusak, membuat


zat antibodi, enzim dan hormon, menjaga keseimbangan asam basa, air,

elektrolit, serta menyumbang sejumlah energi tubuh. Protein dibuat dari

20 asam amino penyusun protein, 11 diantaranya dapat disintesis oleh

tubuh, dan 9 sisanya disebut asam amino esensial yang diperoleh dari

bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin, Triptofan, Fenilalanin,

Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8 diantaranya

dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan oleh

anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang

mengandung semua asam amino disebut lengkap protein, seperti telur,

daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh karena itu, protein hewani biasa

disebut sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan makanan nabati,

misalnya beras dan kacang-kacangan, mengandung asam amino

esensial yang terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena itu, dikatakan

mengandung protein bernilai biologi rendah. Kedelai dan hasil

olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, mengandung asam amino

esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang, terbatas fungsinya

hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan (Limiting Amino

Acid) yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin kurang

pada beras dan triptopan kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan

makanan yang mengandung asam amino terbatas dikonsumsi secara

bersamaan dalam hidangan sehari-hari, dapat saling melengkapi

kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang

terbatas lisin dimakan bersamaan dengan tempe yang terbatas pada


metionin didapatkan campuran yang memungkinkan saling melengkapi

dalam asam aminonya untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan

tubuh. Metode penilaian kualitas protein dahulu menggunakan Protein

Efficiency Ratio (PER) yang berdasarkan respon pertumbuhan pada

pemberian sejumlah protein. Saat ini, penilaian mutu protein digunakan

Protein Digestibility Corrected Amino Acid Score (PDCAAS) yang

menggambarkan jumlah asam amino dari protein dan tingkat daya

cernanya pada manusia. Dengan metode ini, protein kedelai mempunyai

nilai yang sama dibandingkan dengan putih telur dan protein susu,

kecuali asam amino methionin yang harus ditambah.(2)

Sumber protein dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti

tempe, tahu, susu acang juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup

tinggi, sehingga untuk mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia

tetap dibutuhkan pengikat fosfor dan kalium yang adekuat. Produk

kedelai cukup aman untuk selingan pengganti protein hewani sebagai

variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Akan tetapi tidak untuk

suplemen atau tambahan sehingga melebihi kebutuhan. Susu kacang

kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif

yang didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen

yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada

PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatan protein dari

kedelai dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato

cytokines yang diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal


lebuh lanjut. Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada

pasien PGK adalah dapat menurunkan ekresi urea, serum kolesterol total

dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantunh yang sering dialami

pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi

ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah

1-3 minggu didapatkab menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut.(2)

Bahan Makanan yang Dianjurkan (2)

¾ Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti,

kwethiau, kentang, tepungtepungan, madu, sirup, permen, dan gula. ¾

Sumber Protein Hewani: telur, susu, daging, ikan, ayam. Bahan

Makanan Pengganti Protein Hewani Hasil olahan kacang kedele yaitu

tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti

protein hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau

untuk pasien vegetarian asalkan kebutuhan protein tetap

diperhitungkan. ¾ Sumber Lemak: minyak kelapa, minyak jagung,

minyak kedele, margarine rendah garam, mentega. ¾ Sumber Vitamin

dan Mineral: Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami

hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu

pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam

air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah

dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak

menjadi stup buah/coktail buah. (2)

Bahan Makanan yang Dihindari


¾ Sumber Vitamin dan Mineral: Hindari sayur dan buah tinggi kalium

jika pasien mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium

diantaranya adalah bayam, gambas, daun singkong, leci, daun pepaya,

kelapa muda, pisang, durian, dan nangka. Hindari/batasi makanan tinggi

natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan makanan tinggi

natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering,

makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan(2)

2. Terapi farmakologis(3)

Terapi ini berutujuan untuk menurunkan hipertensi intraglomerulus

dan sistemik sehingga dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan

menghambat perburukan kerusakan nefron.(2) . Hal ini adalah sama

pentingnya dengan dengan pembatasan protein. Sasaran dari terapi ini

adalah sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.(2) Target tekanan

darah yang dicapai pada pasien PGK dengan proteinuria adalah 125/75

mmHg.(4)

Obat yang digunakan adalah ACE-i dan ARB yang dapat

menghambat angiotensin-induced vasokonstriksi pada arteriol aferen

dari mikrosirkulasi glomerular sehingga dapat menurunkan tekanan

filtrasi intraglomerular dan proteinuria. Beberapa studi menunjukkan

bahwa obat-obatan ini efektif pada pasien gangguan ginjal dengan DM

maupun nonDM. Efektivitas obat dalam menghambat progresi

perburukan PGK adalah bergantung dari efeknya terhadap menurunkan

proteinuria. Jika pada penggunaan satu jenis obat tidak ditemukan


respons anti proteinuria, maka bisa digunakan kombinasi obat ACE-I

dan ARB. Efek samping ACE-I adlah batuk, angioderma; efek samping

ARB: anafilaksis,hyperkalemia. Jika ditemukan peningkatan efek

samping maka obat bisa diganti dengan lini kedua seperti CCB,

diltiazem, verapamil.(4)

D. Pencegahan dan terapi pada penyakit Kardiovaskular

Hal ini sangat penting dilakukan karena 840-45% kematian pada

penderita PGK diakibatkan oleh penyakit kardiovaskular. Upaya yang

dilakukan berupa pengendalian terhadap DM, hipertensi,

anemia,hiperfosfatemia,terapi kelebihan cairan dan keseimbangan

elektrolit. Upaya-upaya ini terkait dengan komplikasi PGK secara

menyeluruh(2)

E. Pencegahan dan Terapi komplikasi

1. Modifikasi penyesuaian obat

Menghindari obat-obatan yan deliminasi terutama melalui ginjal.

Seperti Metformin, meperidin, dan OHO lain yang dieliminasi di ginjal.

OAINS juga harus dihindari karena dapat memperburuk fungsi ginjal.

Dan banyak antibiotic, antiaritmia , dan antihipertensi yang memerlukan

penyesuaian dosis(4)

2. Pembatasan cairan (balance cairan) dan elektrolit

Bertujuan untuk mencegah edema dan komplikasi

kardiovaskular. Diatur sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan

cairan,dimana jumlah air yang masuk sama dengan jumlah air yang
keluar. Jumlah air yang keluar dari tubuh yaitu dari insensible water loss

adalah sekitar 500-800 ml/hari,sehingga jumlah air yang masuk adalah

500-800 ml/hari ditambah jumlah urin.(2)Asupan cairan 1-2 L per hari

dapat menjaga keseimbangan cairan.(5)

Pembatasan elektrolit, yaitu dengan mengawasi asupan kalium

dan natrium.Kalium dibatasi karena hyperkalemia dapat menyebabkan

aritmia jantung,sehingga obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium

harus dibatasi.(2)Jika GFR menurun <10-20 ml/menit maka asupan harus

kurang dari 50-60 meq/dl.(5) Natrium harus dibatasi untuk

mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang


(2)
diberikan disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat edema.

Asupan natrium >3-4 g/dl dapat menyebabkan edema,hipertensi,dan

CHF. Aupan <1 g/dl menyebabkan volume depletion dan hipertensi.

Untuk pasien yang mendekati penyakit ginjal tahap akhir, inisial

rekomendasi asupan natrium adalah 2g/dl (5)

Pembatasan magnesium juga penting karena Mg terutama

dieliminasi ginjal. Semua Mg mengandung laxativ dan antacid yang

merupakan kontraindikasi relative pada penyakit ginjal.(5)

3. Osteodistrofi renal(2)

Sering terjadi pada PGK. Pencegahan dan terapi dilakukan

dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian kalsitriol (1,25

(OH)2D3).(2)
 Hiperfosfatemia(2)

Diatasi dengan membatasi diet fosfat, yaitu sebanyak 600-800

mg/hari. Hal ini sejalan dengan diet pada PGK secara umum,yaitu

tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam. Fosfat banyak

terdapat dalam produk hewan seperti susu, telur, daging. Pembatasan

fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan karena bahaya malnutrisi.(2)

Memberi pengikat fosfat. Bertujuan untuk menghambat absorbs

fosfat di saluran cerna.Pengikat fosfat ini diberikan diantaranya;

Garam Kalsium, Aluminium hidroksida, Garam magnesium. Yang

banyak dipakai adalah CaCO3 dan Calcium asetat.(2)

Pemberian Ca mimetic agent. Efektivitas penggunaannya baik

dengan efek samping minimal. Cara kerjanya dengan menghambat

reseptor Ca pada kelenjar paratiroid.(2)

Pemberian kalsitriol. Pemakaiannya tidak begitu luas karena dapat

meningkatkan absorbs fosfat dan calcium dalam saluran pencernaan,

sehingga dikhawatirkan terjadi penumpukan garam kalsium di

jaringan yang disebut kalsifikasi metsatatik. Oleh karena itu

pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar P darah normal

dan kadar parathormon lebih dari 2,5 kali normal.(2)

4. Anemia(2)

Pada PGK, 80-90% anemia akibat defisiensi eritropoietin (EPO).

Penyebab lain adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan

saluran cerna, hematuria), umur eritrosit yg pendek (misal pada


hemolisis), defisiensi asam folat, penekanan sum-sum tulang oleh

substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik,. Evaluasi dapat

dimulai saat Hb≤ 10 g/dl atau hematocrit ≤ 30%. Melakukan evaluasi

status besi (SI,TIBC,Fe serum), mencari sumber perdarahan, dan

melakukan pemeriksaan morfologi eritrosit.(2)

Kadar Hb penderta PGK perlu dipertahankan. Karena kadar Hb

yang rendah pada penderita PGK dapat menyebabkan keadaan seperti

mempercepat perburukan penyakit, meningkatkan angka kesakitan dan

kematian, dan memperburuk kualitas hidup.Anemia pada PGK terjadi

mulai stadium 3 dan hampir 100% pada stadium 5. Disebut Anemia bila

didapatkan kadar Hb <14 gr % (pria) dan pada <12 gr% (wanita).Anemia

defisiensi besi pada PGK bila (8)

Absolut : Serum transferin (ST) < 20%, feritin serum (FS) <

100ng/mg (PGK non HD) dan < 200 ng/ml (PGK HD) Fungsional : ST

< 200 %, FS ≥ 100 ng/ml (PGK non HD), ≥ 200 ng/ml (PGK HD).

Penatalaksanaan Anemia

Tatalaksana yang dilakukan terutama ditujukan pada penyebab

utama. Dalam pemberian EPO ini status besi harus diperhatikan karena

EPO perlu besi untuk bekerja. Jika dilakukan transfusi darah, harus hati-

hati mempertimbangkan segala aspek. Sasaran Hb yang dicapai adalah

11-12 g/dl.(2)
EPO biasanya diberikan sebagai injeksi subkutan (25 hingga 125

U/kgBB) tiga kali seminggu.(4).Indikasi terapi dengan eritropoetin adalah

kadar Hb < 10 gr % dengan penyebab lain sudah diatasi. Syarat

pemberian EPO, tidak ada anemia defisiensi besi absolut, bila masih ada

dianjurkan dikoreksi terlebih dahulu; tidak ditemukan infeksi yang berat.

Kontraindikasi terapi dengan eritropoetin adalah kondisi tekanan darah

tinggi, kondisi hiperkoagulasi., adanya respon yang tidak baik terhadap

pemberian eritropoetin (EPO) dengan dosis 8000 - 10.000 U /

minggu,pada minggu ke-4 kenaikan Hb gagal mencapai 0.5 - 1.5 gr %

atau terjadi kegagalan mempertahankan kadar Hb.(8).Efek samping

pemberian EPO adalah tekanan darah meningkat, thrombosis, kejang.(4,8)

Peningkatan tekanan darah akibat terapi EPO disebabkan oleh

peningkatan viskositas darah dan pulihnya vasodilatasi perifer yang

diinduksi anemia.(4)

Terapi anemia didasarkan indikasi terapi besi yaitu anemia besi

absolut, anemia besi fungsional, tahap pemeliharaan status

besi.Kontraindikasi terapi besi adalah hipersensitivitas terhadap besi,

gangguan fungsi hati berat, andungan besi tubuh berlebih. Target Hb

pada terapi menggunakan eritropoetin adalah dimulai pada kadar Hb <

10 gr %, pada Penderita PGK yang menjalani HD / non HD dengan target

Hb 10 - 12 gr %, kadar Hb tidak boleh > 13 gr %.(8)

5. Asidosis
Asidosis metabolic kronik yang ringan pada penderita uremia

biasanya akan menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20

mEq/l. Penurunan asupan protein dapat memperbaiki keadaan asidosis,

tetapi bila kadar bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/l, beberapa ahli

nefrologi memberikan terapi alkali, baik natrium bikarbonat maupun

sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan efek

sakit pada asidosis metabolic, termasuk penurunan masa tulang yang

berlebihan. Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali bila bikarbonat

plasma turun di bawah angka 15 mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis

dapat mulai timbul. Asidosis berat dapat tercetus bila suatu asidosis akut

terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah mengalami asidosis

kronik ringan. Asidosis berat dikoreksi dengan NaHCO3

parenteral,maka perlu disadari resiko yang ditimbulkannya. Koreksi pH

darah secara berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, kejang, dan

kematian. Perlu diingat bahwa penderita gagal ginjal kronik juga

mengalami hipocalcemia(4)

6. Hiperurisemia

Obat pilihan hiperurisemia pada pGK adalah allopurinol. Obat ini

mengurangi kadar asam urat dengan menghambat sintesis sebagian asam

urat total yang dihasilkan oleh tubuh. Untuk meredakan gejala-gejala

artritis gout dapat digunakan kolkisin (obat antiradang pada gout)(4)


7. Neuropati perifer

Biasanya simptomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai

tahap lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi

perubahan tersebut kecuali dengan dialysis yang dapat menghentikan

perkembangannya. Karena itu, perkembangan neuritis sensorik

merupakan tanda bahwa dialysis tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Neuropati smotorik mungkin reversible. Uji kecepatan konduksi saraf

biasanya dilakukan setiap 6 bulan sekali untuk memantau perkembangan

neuropati perifer(4)

8. Pengobatan segera pada infeksi

Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi

terhadap infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua infeksi dapat

memperkuat proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat

serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera

diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut.

Namun,deteksi infeksi pada pasien PGK tahap akhir membutuhkan

tingkat kecurigaan dan perhatian yang tingi terhadap indicator yang

kurang spesifik seperti takikardia, kelelahan, atau sedikit peningkatan

temperature. Perhatian harus diberikan karena hipotermia merupakan

gambaran klinis sindron uremik dan banyak pasien PGK tahap akhir

yang tidak memperlihatkan peningkatan temperature tubuh yang

diperkirakan atau hitung leukosit saat terjadi infeksi.(4)


BAB III

KESIMPULAN

Tatalaksana konservatif pada penyakit ginjal kronis bertujuan untuk

menghambat progresifitas perburukan fungsi ginjal ke tahap selanjutnya. Prinsip-

prinsip dasar penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan dedasarkan pada

pemahaman mengenai batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang
terganggu. Bila hal ini sudah diketahui maka diet zat terlarut dan cairan orang

bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan dengan batas-batas tersebut. Selain itu,

terapi diarahkan pada pencegahan dan pengobatan komplikasi yang

terjadi.Tatalaksana ini dilakukan ketika pasien masih pada stadium empat atau

sebelumnya. Jika pasien telah memasuki stadium lima dari penyakit ginjal kronik,

atau stadium akhir maka terapi konservatif tidak dapat lagi diandalkan untuk

menghambat progresifitas penyakit sehingga harus segera melakukan dialysis atau

terapi penggantian ginjal.

Anda mungkin juga menyukai