Anda di halaman 1dari 8

GREEN ARCHITECTURE

Green Architecture atau sering disebut sebagai Arsitektur Hijau adalah arsitektur
yang minim mengonsumsi sumber daya alam, ternasuk energi, air, dan material, serta
minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha


untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan
lingkungan.

Arsitektur hijau merupakan langkah untuk mempertahankan eksistensinya di muka


bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal.
Istilah keberlanjutan menjadi sangat populer ketika mantan Perdana Menteri Norwegia GH
Bruntland memformulasikan pengertian Pembangunan Berkelanjutan (sustaineble
development) tahun 1987 sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia
masa kini tanpa mengorbankan potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka.

Keberlanjutan terkait dengan aspek lingkungan alami dan buatan, penggunaan


energi, ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan. Penerapan arsitektur hijau akan
memberi peluang besar terhadap kehidupan manusia secara berkelanjutan. Aplikasui
arsitektur hijau akan menciptakan suatu bentuk arsitektur yang berkelanjutan.

Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau yang berkelanjutan, meliputi di antaranya


lansekap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan. Dalam contoh kecil,
arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita.
PENGELOLAAN AIR

Dalam perencanaan sebuah bangunan, seorang arsitek selalu dihadapkan pada masalah
pengolahan air. Air hujan adalah salah satu yang perlu manajemen yang baik supaya tidak
mengganggu kenyamanan hidup kita. Air hujan jamaknya dialirkan melalui saluran-saluran
(vertikal maupun horizontal) yang ada di dalam lahan sebelum diteruskan ke sistem
drainase kota. Pengaliran dengan mengandalkan sistem drainae kota ini terbukti sudah tidak
efektif dalam mengelola air hujan.

Banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007 adalah bukti betapa lemahnya sistem drainase
kota menghadapi air hujan. Terlepas dari tingginya curah hujan, sistem drainae kebanyakan
kota di Indonesia memang sudah tidak memadai karena semrawutnya tata ruang. Selain itu,
kebiasaan hidup masyarakat membuang sampah ke sungai dan tinggal di bantaran kali juga
menyebabkan kurang berartinya sistem drainase dalam menghadapi limpahan air hujan.

Salah satu alternatif pengolahan air hujan adalah menggunakan lubang resapan biopori
ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata, Msc, seorang Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB).
Resapan biopori meningkatkan daya resapan air hujan dengan memanfaatkan peran
aktifitas fauna tanah dan akar tanaman.Lubang resapan biopori adalah lubang silindris
berdiameter 10-30 cm yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar
100 cm. Dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, lubang biopori dibuat
tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang kemudian diisi dengan sampah
organik untuk memicu terbentuknya biopori.
Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktifitas
fauna tanah atau akar tanaman. Kehadiran terowongan/lubang-lubang biopori kecil
tersebut secara langsung akan menambah bidang resapan air. Sebagai contoh, bila lubang
dibuat dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm, maka luas bidang resapan
akan bertambah sebanyak 3140 cm² atau hampir 1/3 m².

Sementara, suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang
semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm² setelah dibuat lubang resapan biopori dengan
kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm². Lubang biopori disebar
dalam jarak tertentu sesuai dengan luas lahan yang hendak dicover. Selain itu, biopori juga
bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen. Dibutuhkan dua sampai tiga
kilogram sampah lapuk untuk sebuah lubang biopori.

Agar orang yang menginjaknya tidak terperosok, lubang ditutup dengan kawat jaring. Selain
memperbesar bidang resapan melalui aktivitas organisme tanah, lubang resapan biopori
juga memiliki dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Lubang resapan biopori
"diaktifkan" dengan memberikan sampah organik didalamnya.

Sampah inilah yang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan
kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai
kompos. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori akan berfungsi sekaligus
sebagai "pabrik" pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman. Sampai saat ini
belum ditemukan apa yang menjadi kelemahan lubang biopori. Sampah organik yang ada
pada lubang biopori dirasa tidak akan mengganggu karena cepat diuraikan.

Sampah akan sulit diuraikan jika lubang resapan terlalu besar dan tidak disebar. Karena itu
sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu juga bisa
dijadikan kompos. Memakai lubang resapan biopori adalah tampaknya merupakan langkah
yang bijak dalam merencanakan sebuah lingkungan binaan. Arsitek sebagai perencana
seyogyanya tidak hanya memikirkan kepentingan bangunan yang dirancangannya, tetapi
juga memikirkan bagaimana rancangannya itu dapat mandiri dan tidak menambah beban
sistem drainase kota.

Karena lahan perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran perolehan sel-sel
hijau daun beralih pada hamparan atap datar gedung-gedung yang justru lebih banyak
dibanjiri cahaya matahari. Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di Jepang sejak awal
abad ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat pengembangannya masih ekstensif.

Atap hijau jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan biaya dan perawatan
taman relatif murah karena penghijauan atap hanya mengandalkan tanaman perdu dengan
lapisan tanah tipis. Ketika Jepang semakin ketat menjaga lingkungan melalui pemberlakuan
berbagai tolok ukur bangunan ramah lingkungan, para perancang mulai berpacu mencari
solusi cerdas dalam memanfaatkan bidang datar atap bangunan.

Salah satunya adalah intensifikasi taman atap, atau upaya memadukan sistem bangunan
dengan sistem penghijauan atap sehingga dapat diciptakan taman melayang (sky garden).
Berbeda dengan atap hijau ekstensif yang hanya menghasilkan taman pasif, atap hijau
intensif dapat berperan sebagai taman aktif sebagaimana taman di darat.

Dengan lapisan tanah mencapai kedalaman hingga dua meter, atap hijau intensif
mensyaratkan struktur bangunan khusus dan perawatan tanaman cukup rumit. Jenis
tanaman tidak hanya sebatas tanaman perdu, tetapi juga pohon besar sehingga mampu
menghadirkan satu kesatuan ekosistem. Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk
membuat atap hijau cukup tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini bertentangan
dengan semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak fasilitas komersial
yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di antaranya adalah Namba Park,
sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.

Manfaat atap hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan
penghematan energi, pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, pemanfaatan
air hujan, serta penurunan insulasi panas, suara dan getaran, tetapi juga penyediaan
wahana titik temu arsitektur dengan jaringan biotop lokal. Perannya sebagai "batu
loncatan" menjembatani bangunan dengan habitat alam yang lebih luas seperti taman kota
atau area hijau kota lainnya

Contohnya:

ARSITEKTUR HIJAU DIRUMAH

Desain rumah yang green architecture bisa diterapkan dirumah kita. Sebagai sebuah
kesatuan antara arsitektur bangunan rumah dan taman tentu harus selaras. Untuk
mendekatkan diri dengan alam, fungsi ruang dalam rumah ditarik keluar. Ruang tamu di
taman teras depan, ruang makan dan ruang keluarga ditarik ke taman belakang atau ke
taman samping, atau kamar mandi semi terbuka di taman samping. Sebaliknya, fungsi ruang
keluar menerus ke dalam ruang. Ruang tamu atau ruang keluarga hingga dapur menyatu
secara fisik dan visual. Rumah dan taman mensyaratkan hemat bahan efisien, praktis,
ringan, tapi kokoh dan berteknologi tinggi, tanpa mengurangi kualitas bangunan.

Arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih
baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai
kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih.
Keterbukaan ruang-ruang dalam rumah yang mengalir dinamis. Ketinggian lantai yang
cenderung rata sejajar, distribusi void-void, pintu dan jendela tinggi lebar dari plafon hingga
lantai dilengkapi jalusi (krepyak), dinding transparan (kaca, glassblock, fiberglass, kerawang,
batang pohon), atap hijau (rumput) disertai skylight.

Penempatan jendela, pintu, dan skylight bertujuan memasukkan cahaya dan udara secara
tepat, bersilangan, dan optimal pada seluruh ruangan. Keberadaan tanaman hidup di ruang
dalam atau di taman (void) berguna menjaga kestabilan suhu udara di dalam tetap segar
dan sejuk. Pintu dan jendela kaca selebar mungkin dan memakai tembok dan kusen
seminim mungkin menjadikan ruang terasa lega. Pintu dan jendela bisa dibuka selebar-
lebarnya. Lantai teras dan ruang dalam dibuat dari material sama dan menerus rata (tidak
ada beda ketinggian lantai) membuat kesatuan ruang terasa luas dan menyatu dengan
ruang luar di depannya.

Optimalisasi void menciptakan sirkulasi pengudaraan dan pencahayaan alami yang sangat
membantu dalam penghematan energi. Desain void yang tepat dapat mengurangi
ketergantungan penerangan lampu listrik terutama di pagi hingga sore hari dan pemakaian
kipas angin atau pengondisi udara yang berlebihan. Void dalam bentuk taman (kering) dapat
berfungsi sebagai sumur resapan air. Persenyawaan bangunan dan taman dalam konsep
arsitektur hijau memiliki banyak keuntungan bagi rumah itu sendiri, lingkungan sekitar, dan
skala kota secara keseluruhan. Rumah sehat memiliki sistem terbuka. Maka, setiap rumah
yang dibangun berdasarkan konsep arsitektur hijau dapat mengurangi krisis energi listrik
dan BBM serta krisis kualitas lingkungan

Prinsip-prinsip Green Architecture

Penjabaran prinsi-prinsip green architecture beserta langkah-langkah mendesain green


building menurut: Brenda dan Robert Vale, 1991, Green Architecture Design fo Sustainable
Future:
1. Conserving Energy (Hemat Energi)

Sungguh sangat ideal apabila menjalankan secara operasional suatu bangunan


dengan sedikit mungkin menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan
waktu yang lama untuk menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah
desain bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan
lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan
memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi. Cara mendesain bangunan agar
hemat energi, antara lain:
1. Banguanan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan dan
menghemat energi listrik.
2. Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai
sumber listrik dengan menggunakan alat Photovoltaic yang diletakkan di atas atap.
Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur
dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.
3. Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah. Selain itu juga
menggunakan alat kontrol penguranganintensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya
memancarkan cahaya sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu.
4. Menggunakan Sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas
cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan.
5. Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang bertujuan
untuk meningkatkan intensitas cahaya.
6. Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan oleh penghuni
dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.
7. Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift.

2. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)

Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan


lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim dan
lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan
cara:

1. Orientasi bangunan terhadap sinar matahari.


2. Menggunakan sistem air pump dan cros ventilation untuk mendistribusikan udara yang
bersih dan sejuk ke dalam ruangan.
3. Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Misalnya dengan membuat kolam
air di sekitar bangunan.
4. Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan
cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.

3. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)

Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan tapaknya. Hal ini dimaksudkan
keberadan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak
lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut.

1. Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang
ada.
2. Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan mendesain bangunan
secara vertikal.
3. Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusak lingkungan.
4. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)

Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di
dalam perencanaan dan pengoperasiannya.

5. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)

Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dengan


meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat
digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur lainnya.

6. Holistic

Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi satu
dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah
menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat
mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di
dalam site.

KONSEP ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha untuk
meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan
lingkungan. Sebagai pemahaman dasar dari arsitektur hijau yang berkelanjutan, elemen-
elemen yang terdapat didalamnya adalah lansekap, interior, yang menjadi satu kesatuan
dalam segi arsitekturnya. Dalam contoh kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar
lingkungan kita. Yang paling ideal adalah menerapkan komposisi 60 : 40 antara bangunan
rumah dan lahan hijau, membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan green
wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman
merambat. Tujuan utama dari green architecture adalah menciptakan eco desain, arsitektur
ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan. Arsitektur hijau juga
dapat diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air dan pemakaian
bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan. Perancangan
Arsitektur hijau meliputi tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bangunan. Konsep
ini sekarang mulai dikembangkan oleh berbagai pihak menjadi Bangunan Hijau (green
building...pokokpikira

Anda mungkin juga menyukai