Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PENDAHULUAN

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki perbedaan secara fisik, mental dan perilaku
sosial dari anak normal pada umumnya. Dengan kebutuhan yang khusus tersebut, mereka membutuhkan
suatu wadah pendidikan yang memiliki langkah strategis dalam pendampingan ABK agar mereka mampu
mengembangkan potensi diri secara optimal dan berkelanjutan. Namun saat ini masih sangat minim
kepedulian pemerintah dan masyarakat terkait isu ABK terkhususnya dalam bidang layanan pendidikan.

PEMBAHASAN

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kelainan / penyimpangan dari kondisi rata –
rata anak normal pada umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya (
Abdullah, 2013 ). Berdasarkan pengertian tersebut maka anak yang dikategorikan berkebutuhan khusus
dalam aspek fisik ialah tuna netra (penglihatan), tuna rungu (pendengaran), tuna wicara (kamampuan
berbicara) dan tuna daksa (kelainan fungsi anggota tubuh). Dalam aspek mental ialah anak yang memiliki
kemampuan mental yang lebih atau super normal yang biasa dianggap sebagai anak berbakat dan juga
anak dengan kemampuan mental rendah yang biasa disebut tuna grahita. Sedangkan dari aspek sosial
adalah anak yang mengalami kesulitan dalam hal menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitarnya
(tuna laras).

Anak berkebutuhan khusus juga merupakan manusia dengan keterbatasan yang juga memiliki hak yang
sama dengan manusia normal pada umumnya, tak terkecuali tentang pendidikan. Pendidikan menjadi
sangat penting bagi ABK agar mereka mampu mengenali dan menggali potensi diri agar dapat bermanfaat
bagi masa depan mereka dan juga masyarakat. Namun dalam fakta yang terjadi bahwa hinga kini ada
184.000 lebih ABK di Indonesia yang belum dapat menikmati pendidikan layaknya anak normal pada
umumnya (Mudjito dalam 184.000 Anak Berkebutuhan Khusus Belum Nikmati Pendidikan, 2013). Dan
dari total 300.000 ABK, hanya 116.000 ABK yang ditangani dan masuk ke dalam pendidikan inklusif dan
sisanya masih dibawah pengasuhan orang tua msing – masing.

Ada dua hal yang mempengaruhi banyaknya jumlah ABK yang belum mendapatkan pendidikan :
kurangya tenaga kependidikan ABK serta sekolah – sekolah inklusif bagi ABK dan orang tua yang
merasa malu ketika menyekolahkan anaknya di sekolah inklusif. Menurut Dolu, Bunga & Kiling
(Gambaran Penerimaan Orang Tua Anak Usia Dini berkebutuhan Khusus Nusa Tenggara Timur, 2014)
mengemukakan temuan - temuan dalam penelitian mereka, seperti : seorang ibu cenderung menjadi orang
yang paling dekat dengan ABK. Namun pada kondisi awal orang tua masih berusaha menyembunyikan
ketunaan ABK dan memaksakan untuk menyekolahkannya pada sekolah regular. Selain itu ada pula ibu
yang kecewa karena tidak mendapat informasi dan penjelasan yang lebih dari dokter yang mendiagnosa.
Pekerjaan dan kesibukan dapat juga menjadi faktor penentu hubungan antara ibu dan ABK.

Kedua hal ini menjadi faktor utama ABK di Indonesia terlantar secara layanan pendidikan yang dapat
pula mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Pada tahun 2013 ILO (International
Labour Organization) mengeluarkan data tentang jumlah buruh dengan disabilitas di Indonesia yakni dari
24.000.000 penyandang disabilitas di Indonesia, hanya sebesar 11.000.000 yang sudah memiliki
pekerjaan. Kurangnya tenaga kependidikan ABK di Indonesia mengakibatkan sedikitnya jumlah sekolah
inklusif di Indonesia yang membuat ABK tidak mendapat layanan pendidikan yang selayaknya mereka
dapatkan selain itu rasa malu orang tua dengan menyekolahkan anaknya adalah suatu bentuk penelantaran
ABK seperti yang telah diatur didalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak – Hak Penyandang Disabilitas, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang
Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Berdasarkan beberapa data dan fakta diatas, maka dapat dipahami bahwa pendidikan sangatlah penting
bagi setiap anak tak terkecuali ABK. Namun bukan sekadar pendidikan, langkah dan manajemen yang
strategis sangat diperlukan untuk membina, mendidik serta mengarahkan ABK untuk dapat memahami
dan mengembangkan potensi diri secara optimal dan berkelanjutan. Adapun prinsip – prinsip pendidikan
ABK yang dikutip dari jurnal psikologi, fakultas psikologi UNWIDHA Klaten yang ditulis oleh Nandiyah
Abdullah adalah prinsip kasih saying, yakni menerima ABK sebagaimana adanya mereka namun tidak
memanjakan mereka, tidak pula mengabaikan mereka dan memberi tugas yang sesuai dengan
kemampuan setiap ABK. Prinsip layanan individual, yakni dalam mendidik ABK setiap anak harus
mendapat perhatian dan porsi belajar yang lebih besar dari anak normal pada umumnya sehingga jumlah
ABK yang dilayani oleh setiap guru pada sekolah inklusi adalah 4 – 6 orang serta penataan ruang kelas
yang dapat menjangkau setiap anak dan jadwal belajar yang fleksibel serta memodifikasi alat bantu
peraga. Prinsip motivasi sebagai contohnya pada anak tuna netra diajarkan orientasi dengan menekankan
pada suara binatang dan mengajak serta mereka langsung ke kebun binatang. Prinspi belajar dan bekerja
kelompok sangatlah penting agar ABK mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa merasa rendah diri
atau minder.

Selain hal – hal diatas, pemerintah haruslah memiliki langkah strategis, seperti : identifikasi dini ABK
untuk dapat memahami kebutuhan ABK sehingga saat ditempatkan di sekolah inklusif pengajar sudah
tahu apa yang harus mereka lakukan. Proses indentifikasi dini ini dapat dilakukan dirumah sakit dan
ketika tenaga medis mendapat adanya kejanggalan dalam proses kehamilan bias langsung diberi tahu ke
orang tuanya agar bayi terus mendapat pendampingan dan terus dikontrol sampai sudah dapat didiagnosa
apakah anak tersebut berkebutuhan khusus atau tidak kemudian dapat dilanjutkan ke psikolog tumbuh
kembang jika anak didiagnosa memiliki kebutuhan khusus. Yang berikut ialah pemberian pembimbing,
yakni seorang tenaga ahli (seperti psikolog) yang kompeten sehingga mampu mengontrol tumbuh
kembang anak dalam proses pendidikannya serta mampu memahami sifat – sifat dan karakter setiap ABK
agar dapat diperlakukan sebaik mungkin. Selain itu langkah strategis setelah selesai sekolah adalah pihak
sekolah ataupun pendamping ABK yang dalam hal ini psikolog mampu memberi rujukan ke suatu
perusahaan tertentu yang sesuai klasifikasi kemampuan ABK sehingga ABK mendapatkan pekerjaan
yang layak sesuai kompetensinya.

Dari semua langkah strategis diatas semua memiliki tujuan untuk memastikan ABK mampu menerima
dirinya sepenuhnya, ABK mampu memahami potensi diri dan mengembangkannya, ABK mampu
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tanpa merasa minder ataupun malu. Adapun aspek dalam
pendidikan khusus untuk ABK, yakni : guru perlu mengetahui bagaimana cara peningkatan kompetensi
murid dengan latar belakang yang berbeda, guru dan murid harus saling meghormati sesama, tidak adanya
tindakan diskriminatif. Selain adanya sekolah inklusif yang dikhususkan untuk ABK, perlu juga
dikembangkan sekolah ramah anak yakni sekolah umum yang ramah bagi setiap anak baik anak normal
ataupun ABK. Dalam hal sekolah ramah anak ini perlunya penerimaan guru serta murid lain yang bukan
termasuk ABK untuk anak berkebutuhan khusu yang juga bersekolah pada sekolah reguler tersebut.
Harapan yang ingin dicapai dari sekolah ramah anak ini ialah bagaimana ABK mampu berinteraksi
dengan sesama serta anak yang normal mampu belajar memahami kondisi serta rasa saling menghargai
temannya yang adalah ABK.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan kelompok kami terhadap proses pembelajaran ABK di
Sekolah Luar Biasa Negeri Kelapa Lima – Kupang, kami menemukan bahwa setiap kelas mulai dari
tingkat sekolah dasar sampai pada menengah atas jumlah murid yang ada pada setiap kelas hanya
berjumlah 3-5 murid. Hal ini ditujukan agar aktifitas belajar menjadi lebih efektif dan murid mendapat
banyak kesempatan dan perhatian dari pengajar. Selain itu dalam proses pembelajaran, ketika murid
berhasil melakukan tugas – tugas sederhana yang diberikan maka pengajar akan memberi pujian kepada
mereka. Selain itu, dijelaskan oleh seorang pengajar kepada kami bahwa mereka biasa member tugas –
tugas sederhana untuk murid agar bias dilakukan mereka secara mandiri ( ikat tali sepatu, kancing baju,
dll). Jenis ABK pada SLB ini sangat beragam, dimulai dari tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, tuna
wicara, tuna daksa, tuna grahita, dan tuna ganda. Berdasarkan data yang kami peroleh bahwa jumlah
pengajar pada SLBN Kelapa Lima berjumlah 34 pengajar dan hanya 3 orang yang berlatar belakang PLB
(pendidikan luar biasa). Pengajaran bagi tuna netra pada SLB ini menggunakan huruf braile. Selain itu,
pada SLB juga terdapat perpustakaan dan juga ruang musik.

KESIMPULAN

Dengan banyaknya jumlah ABK yang belum dapat menikmati sarana pendidikan, pemerintah haruslah
membuat suatu kebijakan terkait pembangunan sekolah – sekolah inklusif, pelatihan tenaga kependidikan
serta sistem sekolah yang fleksibel sehingga ABK sekalipun bisabersekolah pada sekolah regular agar
mereka mampu berinteraksi dengan teman sebaya mereka dan mengajarkan mereka untuk tetap saling
menghormati. Selain itu, penerimaan orang tua juga berpengaruh bagi tumbuh kembang anak
terkhususnya ABK, dimana dengan penerimaan orang tua, orang tua mampu memberi stigma positif
terhadap ABK tentang ketunaannya yang adalah suatu keunikan tersendiri, serta mengajar ABK untuk
dapat menerima dan memahami kondisi dirinya. ABK juga merupakan anak ataupun orang yang memiliki
hak yang sama dengan anak normal pada umumnya, sehingga hal – hal strategis terkait layanan
pendidikan perlu diperhatikan demi kesejahteraan ABK.
DAFTAR PUSTAKA

Dolu, Edwardus R. Y, Beatriks N. Bunga, Indra Y. Kiling. (2014). Gambaran penerimaan orang tua
anak usia dini berkebutuhan khusus di Nusa Tenggara Timur. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/324007050

Abdullah, Nandiyah. (2013). Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Klaten : fakultas psikologi
UNWIDHA Klaten.

https://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhan-khusus-belum-nikmati-
pendidikan

https://m.tempo.co/read/521813/24-juta-penyandang-disabilitas-butuh-pekerjaan

Anda mungkin juga menyukai