Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Disusun oleh :

VESHEGAN RANGANATHAN 130112163511

Preceptor :

Prof. Dr. Heda Melina D. N., dr., Sp. A(K), M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2018
Definisi
Menurut American Heart Association, Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau
congenital heart disease adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi
sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan
perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin iaitu dalam trisemester
pertama.

Epidemiologi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI),
diperkirakan sekitar 8 – 10 bayi dari 1000 kelahiran hidup dan 30% diantaranya telah
memberikan gejala pada minggu – minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara
dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan pertama
kehidupan. Terdapat kecenderungan timbulnya beberapa penyakit jantung bawaan dalam satu
keluarga. Resiko menderita PJB untuk anak dari orang tua dengan PJB meningkat sebesar 4-
5%.

Etiologi
Terjadinya penyakit jantung bawaan masih belum jelas, namun dipengaruhi oleh
multi faktor. Faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya penyakit ini adalah sebagai
berikut :
1. Genetik
2. Lingkungan dan faktor ibu: seperti paparan sinar rontgen, trauma fisik dan psikis,
minum jamu, rubella kongenital, DM pada ibu,konsumsi obat selama kehamilan
(lithium,ethanol, warfarin,thalidomide) dan SLE
3. Kelainan kromosom
- trisomi kromosom 18
- trisomi kromosom 21
- sindrom Turner

Klasifikasi
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:

1. Penyakit jantung bawaan non-sianotik (75%)


 Defek septum atrium (ASD)
 Defek septum ventrikel (VSD)
 Duktus arteriosus persisten (PDA)
 Stenosis pulmonal
 Koartasio aorta
 Stenosis aorta
 Prolaps katup mitral

2. Kelainan jantung bawaan sianotik (25%)


 Tetralogi of fallot
 Atresia pulmonal dengan defek septum ventrikel
 Atresia pulmonal tanpa defek septum ventrikel
 Atresia trikuspida
 Trunkus arteriosus persisten

1. Defek Septum Atrial (ASD)


Ia adalah anomali yang ditandai dengan defek pada septum yang memisahkan atrium
kiri dan kanan akibat gagal fusion antara ostium sekundum, ostium primum dan bantalan
endokardial. ASD dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium, tergantung dari
struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal.

Gambar 1.1: Defek septum atrium


Klasifikasi

Berdasarkan lokalisasi dan terjadinya defek dibagi atas tiga jenis yaitu

1. Defek sinus venosus. Defek ini terletak di bagian superior dan posterior sekat, sangat
dekat dengan Vena cava superior. Juga dekat dengan salah satu muara vena
pulmonalis
2. Defek sekundum. Defek ini terletak ditengah sekat atrium. Defek ini juga terletak
pada foramen ovale.
3. Defek sekat primum. Defek ini terletak di bagian bawah sekat primum. Bagian
bawah hanya dibatasi oleh sekat ventrikel.

Gambar 1.2 Lokasi defek septum atrium

Patofisiologi

Darah arteri dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek sekat. Aliran
ini tidak deras karena perbedaan tekanan pada atrium kiri dan atrium kanan tidak begitu besar
(tekanan pada atrium kiri 6 mmHg, sedangkan tekanan pada atrium kanan 5 mmHg). Adanya
aliran darah ini akan menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri
pulmonalis kapiler paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, volume darah yang melalui arteri
pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.

Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis, tekanan naik. Dengan adanya kenaikan tekanan tahanan katup arteri pulmonalis
sehingga adanya perbedaan tekanan sekitar 15-25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan
ini, timbul suatu bising sistolik (jadi bising sistolik pada DSA merupakan bising stenosis
relatif katup pulmonal).
Oleh karena adanya penambahan beban yang terus-menerus pada arteri pulmonalis,
lama-kelamaan akan terjadi kenaikan tahanan pada arteri pulmonalis dan akibatnya akan
terjadi kenaikan tekanan ventrikel kanan yang permanen. Akan tetapi, kejadian ini pada DSA
terjadinya sangat lambat.

Manifestasi Klinis

Sebagian besar penderita DSA sekundum asimptomatis, terutama pada masa bayi dan
anak kecil. Tumbuh kembang biasanya normal, tetapi bila terjadi pirau yang cukup besar
berat badan anak sedikit berkurang. Bila pirau cukup besar maka penderita mengalami sesak
nafas pada saat aktivitas, kecendrungan infeksi pada jalan nafas (batuk-batuk kronis) dan
palpitasi. Gagal jantung pada masa bayi sangat jarang terjadi.

Pada pemeriksaan fisik, kesan umum baik, tidak ditemukan sianosis, ada
pulsasi yang kuat pada sela iga 2-3 linea parasternalis kiri, kadang-kadang suara jantung
kedua teraba. Jarang terlihat atau teraba getaran (thrill) pada dada.

Bising ejeksi sistolik terdengar di daerah pulmonal akibat aliran darah yang
berlebihan melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif atau stenosis pulmonal
fungsional), biasanya dengan kekerasan derajat 2-4 skala 6. Bising ini terdengar terkeras pada
sela iga 2-3 linea parasternalis kiri. Pada shunt yang besar, terdengar bising middiastolik,
nada rendah terdengar terkeras pada sela iga 4 linea medioklavikularis. Bising ini akibat
bertambahnya aliran darah pada katup trikuspid dan bising ini terdengar lebih keras pada
waktu inspirasi (fase pengisian cepat ventrikel kanan).

Aliran darah yang memintas dari atrium kiri ke kanan tidak menimbulkan bising
karena perbedaan tekanan antara atrium kanan dan atrium kiri adalah kecil.

Elektrokardiografi menunjukkan ada gambaran hipertrofi ventrikel kanan ( S lebih


panjang daripada normal pada V6) . Pada foto polos radiologi, tampak hipertrofi ventrikel
kanan dan atrium kanan, pembesaran arteri pulmonalis membesar, danabang-cabang arteri
pulmonalis melebar. Pada ekokardiografi, didapatkan adanya overload volume ventrikuler
kanan, peningkatan ukuran ventikel kanan dengan akhir diastolik dan flattening serta
pergerakan abnormal septum ventrikuler.

Penatalaksanaan

Pada DSA asimptomatik atau dengan gejala minimal, penutupan defek baik secara
intervensi kardiologi maupun pembedahan, direkomendasikan pada usia prasekolah yaitu 3-5
tahun. Sedangkan DSA yang disertai dengan gejala gagal jantung , penutupan harus segera
dilakukan.

Indikasi penutupan DSA antara lain: pembesaran jantung pada pemeriksaan foto
toraks, dilatasi ventrikel kanan, kenaikan tekanan arteri pulmonalis 50% atau kurang dari
tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan.

Lubang ASD yang kecil dari 40mm dapat ditutup dengan tindakan non bedah :
Amplatzer Septal Occluder (ASO), iaitu memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui
pembuluh darah di lipatan paha. Dan sebagian kasus yang tak dapat ditangani dengan metode
ini, memerlukan pembedahan.

Umur harapan penderita DSA sangat bergantung pada besarnya shunt. Bila shunt
kecil dan tekanan darah pada ventrikel kanan normal ( tidak ada hipertrofi ventrikel kanan
pada EKG) umur harapan masih sama dengan normal sehingga pada kasus ini operasi tidak
perlu dilakukan. Masalah akan timbul pada dekade ke-2 atau ke-3, kurun usia yang sangat
aktif, termasuk masa mengandung pada penderita wanita hipertensi pulmonal dapat terjadi
pada usia tersebut.

Komplikasi

Pada defek sekat atrium primum lebih sering terjadi gagal jantung daripada ASD II.
Gagal jantung biasanya terjadi pada umur kurang dari 5 tahun. Endokarditis infektif subakut
lebih sering terjadi pada ASD I, sedangkan terjadinya hipertensi pulmonal hampir sama
dengan pada ASD II. 10% dari DSA , hipertensi pulmonalis terjadi di bawah umur 40 tahun
dan 50% pada usia di atas 40 tahun. Penutupan spontan defek atrium sangat jarang.

2. Defek Septum Ventrikel (VSD)


Defek pada septum yang memisahkan ventrikel kiri dan kanan. Merupakan
malformasi jantung paling umum 25% dari penyakit jantung bawaan. Tipe yang paling
banyak adalah tipe membranosa.
Gambar 2.1 : Defek VSD

Klasifikasi
Ditinjau dari segi patofisiologinya maupun klinis ada 4 tipe yaitu :

(1) DSV defek kecil dengan resistensi vaskular paru yang normal
(2) DSV defek sedang dengan resistensi vaskular paru yang bervariasi
(3) DSV defek besar dengan peningkatan resistensi vaskular paru dari ringan
sampai sedang
(4) DSV defek besar dengan resistensi vaskular paru yang tinggi.

Patofisiologi
Patofisiologi DSV sangat dipengaruhi oleh ukuran defek, namun bukan hanya itu,
tingkat resistensi vaskular paru dalam hubungannya dengan resistensi vaskular sistemik juga
mempengaruhi kekuatan pirau pada DSV. Ketika defek hanya berupa lubang kecil (biasanya
<0,5 cm), maka DSV disebut restriktif dan tekanan pada ventrikel kanan masih normal.
Sedangkan pada defek besar (biasanya >1,0 cm), tekanan ventrikel kiri dan kanan sama besar.
Pada keadaan ini, kekuatan pirau dipengaruhi oleh rasio resistensi vaskular paru dan sistemik

Setelah lahir, bayi memiliki resistensi vaskular paru yang lebih tinggi dari orang
normal, sehingga bila lahir dengan DSV defek besar, pirau dari kiri ke kanan masih dapat
dibatasi. Ketika tekanan intrapulmonal mulai turun pada beberapa minggu pertama
kehidupan, karena involusi normal tunika media arteriola paru, pirau kiri ke kanan
meningkat. Hampir sebagian besar kasus pada masa bayi awal, resistensi pulmonal hanya
sedikit meningkat dan penyebab utama terjadinya hipertensi pulmonal adalah besarnya
volume darah yang ke menuju ke paru. Bagaimanapun juga, ketebalan tunika media arteriola
paru tidak pernah berkurang, oleh karena itu pembuluh darah paru yang terpapar terus
menerus oleh tekanan sistolik dan aliran darah yang tinggi akan menimbulkan penyakit paru
obstruktif. Jika rasio resistensi vaskular paru dengan sistemik mendekati 1:1, tanda dan gejala
gagal jantung mulai nampak dan pasien bisa sianotik.

Manifestasi klinis
Gambaran klinis penderita DSV bervariasi, tergantung pada ukuran defek serta aliran
darah dan tekanan vaskular paru. DSV defek kecil dengan tekanan arteri pulmonal yang
normal paling sering terjadi. Pasien ini asimtomatik, anak tampak sehat, dan kelainan yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin ialah holosistolik murmur yang jelas, terdengar
paling baik pada batas bawah sternum kiri dan sering juga ditemukan thrill. Murmur sistolik
yang terdengar jelas dan pendek pada apeks neonatus seringkali merupakan tanda dari DSV
tipe muskular yang tipis. Pada bayi prematur, bising sistolik mungkin terdengar lebih awal
karena penurunan resistensi vaskular paru terjadi lebih cepat.

DSV defek besar dengan aliran darah paru yang sangat berlebih dan hipertensi
pulmonal dapat menimbulkan gejala sesak napas (dypsnea), kesulitan menyusu, gagal
tumbuh, infeksi saluran napas berulang, dan gagal jantung pada masa bayi awal. Sianosis
biasanya tidak muncul, namun terkadang saat menangis atau infeksi kulit bisa tampak lebih
gelap. Prominensia prekordium kiri sering didapatkan, yaitu pada garis parasternal kiri teraba
impuls apeks yang mengalami pergeseran ke lateral dan thrill sistolik. Murmur holosistolik
pada DSV defek besar umumnya jarang dapat didengar jelas seperti pada defek yang kecil.

Diagnosis
Penderita DSV defek kecil umumnya asimtomatik dan bila ada kecurigaan terhadap
adanya suatu kelainan jantung bawaan maka diagnosis untuk DSV dapat di mulai dari
anamnesa, penting juga menanyakan riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan bising holosistolik derajat IV/VI dan thrill dapat teraba di
sepanjang sternum kiri bawah dan bisa meluas ke sepanjang tepi kiri sternum. Kadang-
kadang dapat terdengar bising sitolik dini. Bunyi jantung kedua dan intensitas komponen
pulmonal (P2) masih normal. Gambaran radiografi toraks biasanya normal, meskipun
kardiomegali yang minimal dan peningkatan corakan paru yang borderline mungkin
didapatkan. Hasil elektrokardiogram (EKG) juga normal tetapi masih dapat diduga ke arah
hipertrofi ventrikel. Adanya hipertrofi ventrikel kanan merupakan tanda bahwa defek tidaklah
kecil dan pada penderita telah terjadi hipertensi pulmonal atau adanya kelainan yang
berkaitan dengan hipertrofi ventrikel kanan seperti stenosis katup pulmonalis.

Pada DSV defek sedang terdapat gangguan pertumbuhan yaitu berat badan yang
kurang. Pada anamnesa dapat ditanyakan mengenai penurunan intoleransi terhadap latihan,
riwayat infeksi paru berulang dan gejala-gejala gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik
terdengar bunyi jantung ke tiga yang disertai mid-diastolic rumble yang terdengar di apeks.
Kemudian bunyi jantung ke dua terbelah menyempit dengan intensitas P2 sedikit mengeras
dan kadang-kadang terdengar klik ejeksi.

Untuk DSV defek besar, pada anamnesa menanyakan riwayat sianosis. Sedangkan
pada pemeriksaan fisik, penderita DSV defek besar dengan peningkatan tahanan vaskular
paru, penderita tampak takipnea dengan retraksi otot-otot pernapasan. Pada penderita DSV
yang disertai peningkatan tahanan vaskular paru dengan tekanan pada ventrikel kiri sama
dengan kanan, maka penderita tidak menunjukkan gejala gagal jantung. Namun bila keadaan
ini berlanjut sehingga tekanan ventrikel kanan melebihi kiri, penderita akan tanpak sianosis
karena pirau dari kanan ke kiri. Pada keadaan ini bising dapat tidak terdengar atau jika
terdengar akan pendek. Dapat terdengar bising holosistolik dari katup trikuspid akibat
insufisiensi trikuspid. Bunyi jantung ke dua tunggal dan P2 mengeras. Foto toraks
menunjukkan kardiomegali prominen pada kedua ventrikel, atrium kiri, dan arteri
pulmonalis. Tanda corakan paru bertambah dan terdapat tanda edema paru termasuk efusi
pleura, juga bisa ditemukan.

Terapi
Pada pasien anak dengan DSV kecil, anak dapat menjalani kehidupan normal serta
tidak ada pembatasan pada aktivitas anak. Perbaikan defek dengan pembedahan tidak
dianjurkan. Sebagai proteksi terhadap endokarditis infektif, pemberian antibiotik profilaksis
harus diberikan pada setiap kunjungan ke dokter gigi, tonsilektomi, adeniodektomi, dan
prosedur pembedahan orofaringeal lainnya. Pasien ini dipantau sampai defek menutup
sempurna. Pemeriksaan EKG merupakan pilihan yang baik untuk skrining pasien-pasien ini
untuk kemungkinan ada hipertensi pulmonal atau stenosis pulmonal yang ditandai dengan
hipertrofi ventrikel kanan. Ekokardiografi dapat digunakan untuk melihat perjalanan DSV.

Pada bayi dengan DSV defek besar, tatalaksan medis mempunyai dua tujuan : untuk
mencegah gagal jantung dan penyakit vaskular paru. Indikasi penutupan defek dengan
pembedahan mencakup pasien pada semua tingkatan umur dengan defek besar, yang gejala
klinis dan gagal tumbuhnya tidak dapat dikontrol dengan terapi medikal dan bayi antara 6
sampai 12 bulan dengan defek besar dan hipertensi pulmonal. Penyakit vaskular paru yang
berat adalah kontraindikasi untuk pembedahan.

Prognosis dan komplikasi


Perjalanan penyakit DSV tergantung pada ukuran defek. Jumlah yang cukup
signifikan pada DSV defek kecil (30-50%) dapat menutup secara spontan, paling sering pada
tahun pertama dan kedua kehidupan. Risiko jangka panjang adalah terjadinya endokarditis
infektif. Pada DSV defek besar kemungkinan untuk menutup sempurna hanya 8%.
Seringkali, pasien dengan defek yang besar punya risiko untuk mengalami infeksi paru
berulang, gagal jantung meskipun dengan manajemen medis yang optimal, hipertensi
pulmonal, dan penyakit vaskular paru.

3. Duktus Arteriosus Persisten (DAP)


DAP terjadi karena kegagalan duktus arteriosus menutup setelah kelahiran,
menghasilkan peningkatan volume beban kerja jantung kiri. Biasanya, duktus menutup pada
umur 24 sampai 72 jam pertama kehidupan dan secara structural menutup pada umur 3 bulan.

Patofisiologi

Sebagai akibat dari tekanan aorta yang lebih tinggi, darah mengalir dari kiri ke kanan
melalui duktus, dari aorta ke arteri pulmonalis. Luas dari pirau tergantung dari ukuran dari
duktus dan rasio resistensi pembuluh darah sistemik dan pulmonal. Pada kasus yang ekstrim,
70% darah yang keluar dari ventrikel kiri dapat melalui duktus menuju sirkulasi pulmonalis.
Jika DAP kecil, tekanan dalam arteri pulmonalis, ventrikel kanan, dan atrium kiri normal.
Bagaimanapun, jika DAP lebar, tekanan arteri pulmonalis dapat meningkat setara dengan
tekanan sistemik selama sistol dan diastol. Pasien dengan DAP yang lebar berada dalam
resiko tinggi untuk terjadinya penyakit pembuluh darah pulmonalis bila dibiarkan tidak
dioperasi..

Gambar 3.1: Gambar jantung normal dan jantung dengan duktus arteriosus persisten

Manifestasi Klinis

DAP kecil ; asimtomatik, ukuran jantung normal, nadi dengan amplitude yang lebar
iktus kordis tampak normal, bising kontinu terkeras pada sela iga 2 parasternalis kiri dan
dibawah klavikula.

DAP sedang dan lebar ; pelebaran tekanan nadi, dan yang paling mencolok, tekanan
arteri perifer yang melompat.Ukuran jantung membesar, terdapat bising murmur secara
kontinu, low pitched mitral middiastolic murmur dapat terdengar di apex sebagai akibat
peningkatan volume aliran darah melintasi katup mitral, pada umur 6-8 minggu mulai timbul
gejala- gejala klinis, seperti tampak lelah, sukar makan dan berkeringat berlebihan, makin
lama makin takipnea dan sering menderita radang paru dan sukar diobati, kegagalan
pertumbuhan, anak tampak kecil dengan gejala jantung.

Diagnosis

Jika pirau dari kiri ke kanan sempit, gambaran elektrokardiogram akan normal; jika
duktus luas, akan terlihat hasil hipertropi ventrikel kiri atau biventrikel. Diagnosis DAP
tunggal tanpa komplikasi, tidak dipertahankan apabila terdapat hipertropi ventrikel kanan.
Pemeriksaan radiografi pada pasien DAP akan memperlihatkan arteri pulmonalis
dengan peningkatan vaskularisasi intrapulmonalis. Ukuran jantung tergantung derajat pirau
kiri ke kanan; dapat juga normal atau pembesaran sedang.

Pada gambaran echokardiografi ruang-ruang jantung normal jika duktus sempit.


Dengan pirau yang luas, dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri akan meningkat. Ukuran
atrium kiri biasanya dapat diukur dengan membandingkan ukuran dari awal aorta, dikenal
sebagai LA:Ao ratio (rasio atrium kiri:aorta).

Penggunaan ultrasonografi Doppler, dan echocardiografi dua dimensi dapat


memberikan visualisasi langsung dari duktus dan konfirmasi dari arah dan derajat dari pirau.
Bayi prematur yang diduga mengidap DAP harus dilakukan evaluasi echokardiografi lengkap
untuk menegakkan diagnosis definitif. Secara umum, anak dengan DAP tidak pernah
membutuhkan kateterisasi untuk alasan diagnostik tetapu anak dengan DAP yang sempit,
duktus dapat ditutup dengan menggunakan kateterisasi.

Penatalaksanaan

Pengobatan termasuk pembedahan ketika DAP luas, kecuali pada pasien dengan
penyakit obstruksi pembuluh darah pulmonal. Pasien dengan pirau kiri ke kanan yang besar
dan hipertensi pulmonal seharusnya dioperasi pada usia 1 tahun untuk mencegah
perkembangan penyakit pembuluh darah pulmonal yang progresif. DAP yang tunggal
sebaiknya dikoreksi setelah anak mencapai usia 6 bulan, Penutupan melalui kateter pada
defek yang kecil dengan menggunakan satu atau lebih gulungan yang dilapisi Dacron sudah
menjadi terapi standar.

DAP yang simtomatik adalah masalah yang sering terjadi pada bayi prematur.
Indometacin, penghambat sistesis prostaglandin yang potensial, secara rutin digunakan untuk
mencoba menutup DAP pada bayi yang prematur. Indomethacin (0,1 – 0,3 mg/kg per oral
setiap 8-24 jam atau 0,1 – 0,3 ,g/kg parenteral setiap 12 jam) dapat digunakan hanya bila
kemampuan ginjal adequat, fungsi hematologis dan fungsi hepar harus dapat digambarkan.
Tatalaksana selama terapi indometasin ialah observasi ketat output urine karena indometasin
dapat secara cepat menurunkan fungsi ginjal. Penelitian terakhir dari Eropa mengindikasikan
bahwa ibuprofen dapat bekerja seefektif indometasin untuk menutup DAP prematur. Anak
juga diberikan profilaksis endokarditis infektif.

Komplikasi
Duktus arteriosus persisten yang kecil tidak akan menyebabkan gejala. Defek yang
lebih besar yang tidak diobati dapat menyebabkan tingginya hipertensi pulmonal, infeksi paru
sering terjadi, aritmia atau gagal jantung, keadaan kronis yaitu jantung tidak dapat memompa
secara efektif.

Orang yang memiliki masalah jantung secara struktural, seperti duktus arteriosus
persisten, berada pada resiko yang lebih tinggi terkena infeksi endokarditis dibanding dengan
populasi pada umumnya. Hipertensi pulmonalis dapat menyebabkan kerusakan paru yang
permanen, namun jarang, dan hipertensi pulmonal dapat menjadi irreversible (sindrom
Eisenmenger)

Prognosis

Pasien dengan DAP simpel akan membaik meski tanpa pembedahan. Meskipun
demikian, pada usia 30 atau 40-an, gejala mudah lelah, sesak saat beraktifitas, dan intoleransi
latihan akan muncul, biasanya sebagai akibat dari berkembangnya hipertensi pulmonal atau
gagal jantung kongestif.

Penutupan secara spontan DAP dapat terjadi sampai usia 1 tahun. Ini dapat juga
terjadi secara spesial pada bayi yang lahir prematur. Setelah usia 1 tahun, jarang terjadi
penutupan spontan dari DAP. Karena endocarditis infektif adalah komplikasi yang potensial,
penutupan dengan kateterisasi atau pembedahan sangat dianjurkan pada defek yang bertahan
di atas usia 1 tahun.

Pasien dengan pirau yang luas atau dengan hipertensi pulmonal biasanya tidak
membaik. Pertumbuhan dan perkembangan yang terlambat, episode pneumonia yang
berulang, dan berkembangnya gagal jantung kongestif dapat terjadi pada anak tersebut. Oleh
karena itu, pasien dengan DAP dan pirau yang luas diluar melebihi periode baru lahir
sebaiknya mendapat terapi pembedahan segera untuk mengikat DAP yang wujud.

4. Stenosis Pulmonal

Suatu obstruksi anatomis pada jalan keluar ventrikel kanan, dan karenanya ada
perbedaan tekanan anatara a. pulmonalis dan ventrikel kanan. Obstruksi anatomis ini dapat
terletak subvalvular, valvular dab supravalvular.
Gambar 4.1 Stenosis pulmonal

Patofisiologi

Obstruksi ejeksi ventrikel kanan ke arteri pulmoner menyebabkan peningkatan


tekanan sistolik dan stress dinding jantung sehingga terjadi hiopertrofi ventrikel kanan. Pada
kasus yang berat tekanan ventrikuler dapat lebih besar dan tekanan sistolik arteri sistemik,
sedangkan pada obstruksi lebih ringan tekanan ventrikel kanan hanya meningkat sedikit atau
sedang. Saturasi 02 arterial akan normal bahkan pada kasus berat, kalau hubungan
intrakardiak seperti VSD atau DSA menyebabkan pirau dari kanan ke kiri. Ketika stenosis
pulmonik yang berat terjadi pada neonates, penurunan yang signifikan compliance ventrikel
kanan dapat mengarah ke right to the left shunting melalui foramen ovele, yang di kenal
sebagai stenosis pulmonal kritikal.

Berdasarkan berat ringannya stenosis, dibagi dalam tiga tingkatan yaitu :

1. Tingkat I (ringan) : tekanan ventrikel kanan sampai 50 mmHg atau perbedaan antara
tekanan ventrikel kanan dan a. pulmonalis sekitar 15 mmHg
2. Tingkat II (sedang) : tekanan ventrikel kanan antara 50 -100 mmHg atau bila tekanan
sistolik ventrikel kanan sekitar 50% dari tekanan sisitemik
3. Tingkat III (berat) : tekanan pada ventrikel kanan lebih besar dari 100 mmHg atau
tekanan dari ventrikel kanan lebih besar dari 75% tekanan sistemik
Diagnosis

Pemeriksaan fisik tergantung berat ringannya stenosis. Pada stenosis ringan, komponen
pulmonal bunyi jantung 2 normal dengan prognosis baik sepanjang hidup pasien. Pada
stenosis berat terdengar wide splitting S2 di mana bisa muncul gejala seperti sesak nafas,
disritmia sehingga gagal jantung. Bila tekanan dalam ventrikel kanan pada waktu di
kateterisasi mencapai 300 mmHg atau lebih ; harus segera operasi.

Penatalaksanaan

Moderat- berat : balloon-dilation valvuoplasty


Neonatal dengan critical obstruction ; infuse prostaglandin untuk mempertahankan PDA
Profilaksis diindikasikan untuk prosedur bedah gigi mulut
DAFTAR PUSTAKA

1. Putra ST, Roebiono PS, Rahayuningsih SE, Wulandari DA. 2007. Kongres Nasional I
PERKANI dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Kardiologi Anak. Bandung.
2. Jordan SC, Scot O. 1989. Heart Disease in Paediatrics. 3rd ed. London : Butterworth & Co
Publisher, Ltd
3. Afandi NS, Firman A, Rahayuningsih SE. Kardiologi. Dalam: Garna H, Melinda H,
Rahayuningsih SE, editor. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 3.
Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RSHS, 2005. Hal 303-74.
4. Bernstein D. Congenital Heart Disease. Dalam: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
editor. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi 17. Philadelphia : Saunders. 2004. Chapter
417. Hal 1499.
5. Chen YB, Liberthson RR, Freed MD. Congenital Heart Disease. Dalam: Lilly S, editor.
Pathophisiology of Heart Disease. Edisi 3. Philadelphia: Lippincolt William and
Wilkins. 2003. Chapter 16. Hal 347.
6. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan Penyakit Jantung Pada Bayi dan
Anak. Jakarta: UKK Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
7. Sadler T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi ke-3. Jakarta :
8. http://www.mayoclinic.com/health/heart-disease/HB99999
9. Madiyono B., dkk. 2005. Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak. Jakarta :
FKUI
10. Behrman et all., 2003 Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition : WB Saunders,
Philadelphi, USA
11. William W H,. 2002 Current Pediatrics Diagnosis and Treatment 16th edition :Mc Grow-
Hill Edu. Europe

Anda mungkin juga menyukai