Anda di halaman 1dari 21

SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN

“Pengendalian Terhadap Tindakan, Personel,


dan Budaya”

disusun oleh :

Widiyanti Novita Wildam A31113329


Khaerunnisa Nur Fatimah S. A31113510

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
Pengendalian Tindakan, Personel dan Budaya

Pengendalian hasil bukan hanya satu-satunya bentuk pengendalian.


Perusahaan dapat menambah atau mengganti pengendalian hasil dengan bentuk
pengendalian lainnya dengan tujuan untuk membuat karyawan bertindak sesuai
dengan yang diharapkan perusahaan. Salah satu jenis pengendalian, pengendalian
tindakan, ialah memastikan karyawan melakukan (atau tidak melakukan) tindakan
tertentu yang dinilai dapat menguntungkan (merugikan) perusahaan. Meskipun
pengendalian tindakan lazim digunakan dalam perusahaan, tetapi wujud
pengendalian ini tidak selalu efektif untuk setiap situasi. Pengendalian tindakan
hanya tepat digunakan ketika manajer mengetahui tindakan apa yang diinginkan
(tidak diinginkan) dan bisa memastikan bahwa tindakan yang diinginkan (tidak
diinginkan) tersebut terjadi (tidak terjadi). Kedua, pengendalian personel,
didesain untuk membuat karyawan dapat melakukan tugas yang diinginkan engan
memuaskan secara mandiri karena mereka adalah karyawan yang
berpengalaman,jujur, dan bekerja keras.

Pengendalian Tindakan
Pengendalian tindakan adalah bentuk paling langsung dari pengendalian
manajemen karena meliputi pengambilan langkah-langkah tertentu untuk
memastikan karyawan bertindak sesuai dengan keinginan perusahaan dengan
membuat tindakan karyawan sendiri sebagai fokus pengendalian. Pengendalian
tindakan memiliki empat bentuk dasar yaitu :
 Pembatasan perilaku
 Penilaian Pratindakan
 Akuntabilitas Tindakan
 Redundansi
Pembatasan Perilaku
Pembatasan perilaku merupakan sebuah bentuk pengendalian tindakan yang
bersifat “negative” atau “memaksa”. Pembatasan perilaku membuat karyawan
mustahil, atau setidaknya lebih sulit, untuk melakukan hal-hal yang seharusnya
tidak dilakukan. Pembatasan dapat diterapkan secara fisik atau administrative.
Sebagian besar perusahaan menggunakan beragam bentuk pembatasan fisik,
termasuk mengunci meja, memasang kata sandi untuk computer, membatasi akses
karyawan ke area-area tertnetu. Misalnya tempat dimana perusahaan menyimpan
informasi sensitive dan inventaris berharga milik perusahaan.

Pembatasan Administratif
Pembatasan administrative dapat pula digunakan untuk membatasi
kemampuan karyawan untuk melaksanakan seluruh atau hanya sebagian porsi dari
tugas maupun tindakan terntentu. Suatu bentuk umum dari pengendalian
administrative mencakup pembatasan otoritas dari pengambilan keputusan.
Bentuk umum lain dari pengendalian administrative biasanya merujuk
pada pemisahan tugas. Hal ini meliputi memcah tugas yang diperlukan untuk
menyelesaikan pekerjaan yang perlu penanganan khusus, sehingga tidak
memungkinkan seseorang atau setidaknya menyulitkan seseorang, untuk
menyelesaikan tugas tertentu seorang diri.
Pemisahan tugas adalah salah satu syarat dasar dari pengendalian internal,
yaitu suatu istilah yang berorientasi pada pengendalian yang digunakan oleh
mereka yang bekerja dibidang auditing. Akan tetapi efektivitas dari pemisahan
tugas ini dikatakn terbatas, sebab pemisahan tugas tidak dapat menghilangkan
kemungkinan terjadinya kolusi secara menyeluruh, sepertia diantara mereka yang
bertugas menerima cek dan yang bertanggung jawab terhadap entri pembayaran.
Terkadang pembatasan fisik dan administrative dapat dikombinasikan
dengan suatu istilah yang biasa disebut poka-yokes yang dirancang untuk
membuat suatu proses atau system menjadi foolproof. Poka-yoke adalah tahapan
yang dibangun kedalam sebuah proses untuk mencegah terjadinya penyimpangan
(deviasi) dari urutan tahap yang benar ; yakni suatu tindakan tertentu harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum lanjut ke tahap berikutnya. Contoh
mekanisme sederhana dari poka-yoke ialah dipasangnya saklar dipintu oven
microwave sehingga oven tidak dapat beroperasi apabila pintu oven itu terbuka.
Kesalahan yang sama poka-yoke yang berfungsi untuk mencegah kesalahan ini
dapat pula dibangun kedalam beberapa proses perangkat lunak idiot-proof pada
laptop atau pada alat-alat handheld di kokpit pesawat, alih-alih memperbolehkan
mereka untuk mengkalkulasikan penghitungansebelum terbang secara manual
yang rawan kesalahan.

Penilaian Pratindakan
Penilaian pratindakan mencakup adanya penyelidikan kritis terhadap
rencana tindakan pada para karyawan yang dikendalikan. Penilai dapat
menyetujui atau tidak menyetujui tindakan yang diajukan, meminta dilakukannya
modifikasi atau perubahan, maupun meminta agar pernecanaannya dirancang
lebih seksama lagi sebelum memberikan persetujuan akhir. Bentuk umum dari
penilaian pratindakan berlangsung selama proses pernecanaan dan penganggaran
yang ditandai oleh berbagai level penilaian terhadap tindakan dan anggaran yang
direncanakan pada level organisasi yang lebih tinggi.

Akuntabilitas Tindakan
Akuntabilitas tindakan ialah meminta karyawan untuk bertanggung jawab
atas tindakan yang mereka lakukan. Agar bisa diterapkan dengan baik,
pengendalian akuntabilitas tindakan membutuhkan hal-hal berikut :
 Mendefinisikan tindakan apa yang dapat diterima maupun yang tidak
dapat diterima.
 Mengomunikasikan definisinya kepada karyawan
 Mengobservasi atau jika tidak melacak apa yang terjadi
 Memberikan imbalan kepada tindakan yang baik atau memberikan
hukuman kepada tindakan yang menyimpang dari norma.
Walau pengendalian akuntabilitas tindakan akan menjadi sangat
efektif jika tindakan-tindakan yang diinginkan dikomunikasikan
dengan baik, komunikasi saja tidak cukup untuk membuat
pengendalian berjalan efektif. Orang-orang yang dipengaruhi atau
dikontrol harus memahami apa saja yang disyaratkan dalam
bekerja dan menyakini bahwa tindakan mereka akan diperhatikan
dan diberi imbalan atau hukuman.
Tindakan dapat dilacak dengan berbagai cara. Tindakan
karyawan dapat langsungdiobservasi dan dilakukan terus-menerus
oleh pangawas langsung pada lini produk. Hal ini disebut
pengawasan atau pemantauan langsung.
Akuntabilitas tindakan biasanya diterapkan dengan disertai
penguatan negative. Maksudnya, tindakan-tindakan tetentu lebih
diidentikkan dengan hukuman dibandingkan dengann imbalan.
Sebagai contoh, perushaan manufaktur biasanya mengadakan
“insentf negative” yang menetapkan bahwa karyawan yang
terlambat pada giliran kerja mereka tidak akan mendapat bonus
harian dan mereka yang tidak datang kerja saat gilirannya tidak
akan mendapat bonus mingguan.

Redundansi
Redundansi, yang meliputi penugasan lebih banyak karyawan (atau
peralatan) untuk melakukan suatu tugas dibandingkan jumlah yang sesungguhnya
dibutuhkan, atau setidaknya menyediakan karyawan (atau peralatan) cadangan,
juga dapat dikatakan sebagai pengendalian tindakan sebab hal ini dapat
meningkatkan kemungkinan akan terselesaikannya tugas dengan memuaskan.
Redundansi biasa terjadi di fasilitas komputer, fungsi keamanan, dan operasi-
operasi penting lainnya. Namun, redundansi jarang dipakai di area kerja lain
karena biayanya yang mahal. Terlebih, penugasan lebih dari satu orang karyawan
untuk tugas yang sama biasanya menimbulkan konflik, frustrasi, dan/atau rasa
bosan.
Pengendalian Tindakan dan Masalah Pengendalian
Pengendalian tindakan dapat berjalan baik karena, sama halnya dengan
tipe pengendalian lain, pengendalian tindakan berhubungan dengan satu atau lebih
dari tiga masalah dasar pengendalian. Tabel 3.1 menunjukkan tipe-tipe masalah
yang diakibatkan oleh masing-masing pengendalian tindakan.
Pembatasan perilaku mulanya efektif untuk menghilangkan masalah
motivational. Karyawan yang mungkin sempat tergoda untuk terlibat dalam
perilaku yang tidak diinginkan dapat terhindar untuk berbuat demikian.
Penilaian pratindakan dapat berhubungan dengan tiga masalah
pengendalian. Karena penilaian ini sering melibatkan komunikasi kepada
karyawan mengenai hal apa saja yang diinginkan oleh perusahaan, maka penilaian
ini pun dapat membantu meringankan kurangnya pengarahan dalam perusahaan.
Penilaian ini juga dapat memberikan motivasi, sebab ancaman akan
dilaksanakannya penilaian terhadap tindakan karyawan biasanya menuntut adanya
perhatian ekstra dalam persiapan proposal biaya, anggaran, atau perencanaan
tindakan. Penilaian pratindakan juga bisa dengan melakukan mitigasi dampak
pembatasan perorangan yang berpotensi merugikan, sebab penilai yang bagus
dapat menambah kepiawaiannya jika diperlukan. Penilaian ini dapat mencegah
terjadinya kesalahan maupun tindakan merugikan lainnya.
Pengendalian akuntabilitas tindakan dapat pula berhubungan dengan
semua masalah pengendalian. Rincian mengenai tindakan yang diinginkan dapat
membantu mengarahkan dan mengurangi ragam pembatasan perorangan akibat
keterampilan atau pengalaman yang tidak mencukupi. Adanya imbalan dan
hukuman membantu memberi motivasi.
Penerapan redundansi relatif terbatas. Redundansi awalnya efektif dalam
membantu menyelesaikan tugas khusus jika terdapat keraguan mengenai apakah
karyawan yang ditugaskan untuk pekerjaan tersebut benar-benar termotivasi untuk
melakukan pekerjaan secara memuaskan, ataukah ia memang mampu untuk
melakukannya.
Tabel 3.1 Masalah Pengendalian yang disebabkan oleh jenis pengendalian
tindakan

Jenis Masalah Pengendalian


Pengendalian Kurangnya Masalah Pembatasan
Tindakan Pengarahan Motivasi Perorangan
Pembatasan
X
Perilaku
Penilaian Pra
X X X
tindakan
Akuntabilitas
X X X
Tindakan
Redundansi X X
Sumber : K.A. Merchant. Modern Management Control System; Text and
Cases (Upper Saddle River. NJ. Prentice Hall. 1998, Hlm. 30

Pencegahan Versus Deteksi


Pengendalian tindakan dapat juga diklasifikasikan berdasarkan apakah
pengendalian ini ditujukan untuk mencegah atau untuk mendeteksi perilaku yang
tidak diinginkan. Dibuatnya pembedaan ini terbilang penting karena pengendalian
yang mencegah munculnya tindakan yang tak diinginkan, ketika pengendalian
berjalan dengan efektif, merupakan bentuk pengendalian yang paling kuat sebab
dapat mencegah timbulnya biaya dan kerusakan akibat perilaku yang tak
diinginkan tersebut. Tipe pengendalian tindakan dengan deteksi berbeda dari tipe
pengendalian dengan pencegahan, yakni pengendalian dengan deteksi
diaplikasikan sesudah perilaku terjadi. Akan tetapi, pengendalian tipe ini akan
berjalan dengan efektif jika deteksi dibuat secara tepat waktu dan juga jika deteksi
berhasil menghentikan perilaku serta berhasil mengoreksi dampak-dampak dari
tindakan yang merugikan. Selain itu, deteksi dini terhadap tindakan yang
merugikan itu sendiri bersifat preventative (dapat mencegah); deteksi ini bisa
menyurutkan niat seseorang untuk sengaja melibatkan diri dalam perilaku yang
tak diinginkan.
Sebagian besar pengendalian tindakan bertujuan untuk mencegah perilaku
yang tidak diinginkan, kecuali pengendalian akuntabilitas tindakan. Walau
pengendalian akuntabilitas tindakan didesain untuk memotivasi karyawan agar
berperilaku dengan pantas, tapi tidak dapat dipastikan apakah tindakan yang
pantas itu terus dilakukan hingga bukti dari tindakan tersebut telah terkumpul.
Namun, jika pengumpulan bukti dilangsungkan bersamaan dengan kegiatan, sama
halnya dengan pengawasan langsung, maka pengendalian akuntabilitas tindakan
dapat mendekati keadaan hal-hal tak diinginkan tersebut sesuai dengan yang
diharapkan dapat dicegah. Tabel 3.2 menunjukkan contoh permasalahan umum
dari pengendalian tindakan yang diklasifikasikan berdasarkan tujuannya (untuk
mencegah atau mendeteksi masalah).

Kondisi Menentukan Efektivitas Pengendalian Tindakan


Pengendalian tindakan tidak dapat digunakan dengan efektif pada setiap
situasi. Pengendalian tindakan hanya efektif ketika kedua kondisi ini ada, yaitu:
1. Perusahaan dapat menentukan tindakan apa yang diinginkan (tidak
diinginkan); dan
2. Perusahaan dapat memastikan bahwa tindakan yang diinginkan (tidak
diinginkan) terjadi (tidak terjadi).

Tabel 3.2 Contoh Pengendalian Tindakan Yang Diklasifikasikan


Berdasarkan Tujuan

Tipe Tujuan Pengendalian


Pengendalian
Pencegahan Deteksi
Tindakan
Pembatasan Mengunci aset
Perilaku berharga Tidak tersedia
Membagi Tugas
Penilaian Pra Persetujuan biaya
tindakan Penilaian Tidak tersedia
anggaran
Akuntabilitas Kebijakan pra
Tindakan spesifikasi terkait Audit internal yang berorientasi pada
dengan harapan kepatuhan konsiliasi kas, penilaian
akan imbalan dan rekan kerja
hukuman
Redundansi Menugaskan
banyak orang
Tidak tersedia
untuk satu tugas
penting
Sumber : K.A. Merchant. Modern Management Control System; Text and
Cases (Upper Saddle River. NJ. Prentice Hall. 1998, Hlm. 31

Pemahaman mengenai tindakan yang diinginkan


Kurangnya pemahaman mengenai tindakan apa yang diinginkan
merupakan kendala yang paling membatasi dilangsungkannya pengendalian
tindakan.
Pemahaman mengenai perilaku tindakan yang diinginkan dapat dicari atau
dipelajari dengan dua cara, yaitu:
1) Menganalisis pola tindakan dalam situasi khusus atau situasi yang mirip
sepanjang waktu untuk mengetahui tindakan apa yang memberikan hasil
yang terbaik
2) Mendapatkan informasi dari orang lain,khususnya untuk keputusan
strategis. Dalam hal ini seorang konsultan dapat menjadi informan dengan
pengetahuan mendetail akan cara pelaksanaan yang terbaik.
Tindakan yang meminta pertanggung jawaban
karyawan,sesungguhnya,merupakan tindakan yang akan mengarah pada
kemungkinan pencapaian tertinggi akan satu atau lebih tujuan perusahaan,atau
setidaknya implementasi strategi yang dapat dikejar perusahaan.

Kemampuan untuk memastikan bahwa tindakan yang diinginkan sudah


dilakukan
Perusahaan harus mampu mematikan atau mengobservasi bahwa tindakan
yang diinginkan sudah dilakukan. Kemampuan ini bervariasi diantara
pengendalian tindakan yang berbeda.
Efektivitas dari pembatasan perilaku dan penilaian pratindakan bervasiasi secara
langsung dengan reliabilitas alat fisik atau prosedur administratif yang dimiliki
perusahaan untuk memastikan bahwa tindakan yang diinginkan (tidak diinginkan)
sudah dilakukan (tidak dilakukan).
Pelacakan tindakan sering memberikan tantangan signifikan
yang harus dihadapi dalam membuat pengendalian akuntabilitias tindakan
berjalan efektif. Biasanya beberapa tindakan dapat dilacak meskipun ketika
tindakan karyawan tidak dapat diobservasi langsung.
Ketetapan merujuk pada jumlah kesalahan dalam indicator yang
digunakan untuk mengetahui tindakan apa saja yang telah dilakukan.
Objektivitas atau terbatas dari bias, turut menjadi masalah sebab laporan
tindakan yang dibuat oleh mereka yang tindakannya sedang dikendalikan belum
tentu bisa diandalkan. Personel yang berorientasi pada proyek dan penjualan
sering diminta untuk membuat laporan pribadi (self report) tentang bagaimana
mereka menghabiskan waktu mereka.
Barangkali untuk menutupi kinerja mereka yang buruk atau untuk
menyamarkan waktu pribadi, hal ini relatif mudah bagi mereka untuk melaporkan
bahwa sebagian besar waktu mereka digunakan untuk aktivitas yang produktif.
Kebanyakan perusahaan menggunakan pengawas langsung dan auditor internal
untuk mengadakan pengecekan objektivitas pada laporan tersebut. Tanpa
objektivitas, pihak manajemen tidak dapat memastikan apakah laporan tindakan
mencerminkan tindakan yang sesungguhnya dilakukan, dan laporan akan
kehilangan nilainya sebagai alat pengendalian.
Ketepatan waktu dalam melacak tindakan juga penting. Jika pelacakan
tidak tepat waktu, intervensi tidak mungkin dilakukan sebelum terjadinya
kerugian. Terlebih, banyak dampak motivasional dari umpan balik yang hilang
ketika pelacakan secara signifikan tertunda.
Terakhir, penting kiranya bahwa tindakan yang meminta
pertanggungjawaban individu dapat dimengerti. Walaupun karyawan agaknya
dapat dengan mudah memahami ketentuan untuk datang ke tempat kerja tepat
waktu atau tidak melakukan tindak pencurian, memahami dan bertindak dalam
kepatuhan penuh secara konsisten sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang
tertulis dalam buku prosedur, tapi hal ini sebetulnya lebih menantang. Penelitian
forensik menyatakan bahwa kecelakaan sering kali disebabkan oleh kurangnya
pemahaman karyawan akan (dan karenanya, sesuai dengan) semua detail prosedur
yang diperlukan.
Menerapkan pengendalian tindakan ketika salah satu dari kualitas pelacakan
tindakan tidak dapat tercapai akan berakibat pada munculnya dampak-dampak
yang tidak diinginkan (hal ini akan didiskusikan lebih lanjut di Bab 5). Namun,
seperti pengendalian hasil, pengendalian tindakan biasanya tidak dapat dibuat
sempurna, atau setidaknya memerlukan biaya yang cukup besar untuk
membuatnya mendekati sempurna. Akibatnya, perusahaan menggunakan
pengendalian personel dan budaya untuk membantu mengisi kesenjangan yang
ada. Pengendalian ini memotivasi karyawan untuk mengendalikan perilaku
mereka sendiri (pengendalian personel) maupun untuk mengendalikan perilaku
orang lain (pengendalian budaya).

Pengendalian Personel
Pengendalian personel membangun kecenderungan alami karyawan untuk
mengendalikan atau memotivasi diri mereka sendiri. Pengendalian personel
memiliki tiga tujuan. Pertama, beberapa pengendalian personel membantu
mengklarifikasikan harapan. Pengendalian ini membantu memastikan bahwa tiap
karyawan memahami apa yang diinginkan perusahaan. Kedua, beberapa
pengendalian personel membantu memastikan bahwa tiap karyawan mampu
melakukan pekerjaan dengan baik; bahwa mereka mempunyai kemampuan
(seperti pengalaman, kepandaian) dan sumber daya (seperti informasi dan waktu)
yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan. Ketiga, beberapa pengendalian
personel meningkatkan kemungkinan bahwa tiap karyawan akan terlibat dalam
self-monitoring. Self-monitoring terbilang efektif sebab kebanyakan orang
memiliki hati nurani yang membimbing mereka untuk melakukan hal yang baik
dan mampu melahirkan perasaan positif akan rasa hormat kepada diri sendiri
(self-respect) dan kepuasan saat mereka melakukan pekerjaan dengan baik serta
menyaksikan keberhasilan perusahaan. Self-monitoring telah didiskusikan dalam
literatur manajemen dengan berbagai label, termasuk motivasi intrinsik dan
loyalitas.
Pengendalian personel dapat diimplementasikan melalui (1) seleksi dan
penempatan, (2) pelatihan, dan (3) desain pekerjaan dan resourcing. Dengan kata
lain, menemukan orang yang tepat untuk melakukan pekerjaan tertentu, melatih
mereka, dan memberikan mereka lingkungan kerja yang baik serta sumber daya
yang dibutuhkan, cenderung dapat meningkatkan kemungkinan akan
dilakukannya pekerjaan dengan baik.

Seleksi dan penempatan


Perusahaan mencurahkan seluruh waktu dan upaya untuk menyeleksi dan
menempatkan karyawan. Sebuah literatur mempelajari dan menjelaskan cara
terbaik untuk mencapainya. Umumnya isi dalam literatur tersebut menjelaskan
peramal-peramal kesuksesan yang mungkin, seperti pendidikan, pengalaman,
keberhasilan masa lalu, dan kepribadian serta keterampilan sosial.
Seleksi karyawan sering meliputi pengecekan referensi terhadap karyawan
baru, yang dalam beberapa tahun terakhir telah ditingkatkan oleh banyak
perusahaan sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran akan keamanan
tempat kerja.
Sistem yang otomatis juga memberikan petunjuk mengenai pertanyaan
yang akan diajukan pada saat wawancara, jawaban apa yang dicari, dan bahkan
saran yang akan diberikan kepada mereka yang diwawancarai. Semakin banyak
teknik seleksi karyawan yang canggih telah dikembangkan dan digunakan.
Beberapa perusahaan telah memilih untuk menganalisis tulisan tangan dari
karyawan yang potensial atau menggunakan tes poligraf sebagai upaya untuk
menyingkirkan karyawan yang rawan bekerja dengan buruk. Walau evaluasi ini
terbilang mahal, tapi biaya dan kerugiannya jauh lebih kecil dibandingkan
kerugian yang akan ditanggung perusahaan bila mempekerjakan karyawan yang
“kurang sesuai” dengan perusahaan.

Pelatihan
Pelatihan adalah cara umum lainnya untuk meningkatkan kemungkinan
karyawan melakukan pekerjaan dengan baik. Pelatihan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat mengenai tindakan atau hasil seperti apa yang
diharapkan oleh perusahaan dan cara terbaik untuk melaksanakan suatu tugas.
Pelatihan dapat juga memberi dampak motivasional yang positif sebab karyawan
dapat diberikan rasa profesionalisme yang lebih besar, dan mereka sering kali
lebih terpancing untuk melakukan pekerjaan dengan baik jika pekerjaan tersebut
mereka pahami.
Banyak perusahaan menggunakan program pelatihan formal, seperti dalam
pengaturan ruang kelas, untuk meningkatkan keterampilan personal mereka.
Faktor-faktor seperti manajemen profesional dan otonomi keputusan
membutuhkan, atau perlu disertai dengan pelatihan untuk membantu
mengembangkan keterampilan manajer agar dapat bekerja dengan baik.
Banyak pelatihan dilakukan secara informal, misalnya dengan
mengadakan pendampingan karyawan.

Desain pekerjaan dan persediaan sumber daya yang dibutuhkan


Cara lain untuk membantu karyawan bertindak tepat ialah memastikan
bahwa pekerjaannya dirancang untuk memungkinkan karyawan yang termotivasi
dan berkualitas untuk meraih sukses. Beberapa perusahaan tidak memberikan
kesempatan kepada semua karyawan untuk berhasil. Beberapa pekerjaan terlalu
kompleks. Tenaga penjualan mungkin diberikan banyak tugas untuk ditangani
dengan efektif. Karyawan juga memerlukan adanya seperangkat sumber daya
khusus untuk mereka agar dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Kebutuhan
akan sumber daya sangat terspesifikasi pada pekerjaan, tapi di dalamnya juga bisa
meliputi hal-hal seperti informasi, peralatan, persediaan, dukungan staf, bantuan
keputusan, maupun kebebasan interupsi. Pada perusahaan yang lebih besar,
khususnya, terdapat kebutuhan besar akan transfer informasi antar-entitas dalam
perusahaan, sehingga koordinasi dari tindakan dan keputusan yang tepat waktu
dan efisien dapat dipertahankan. Tujuan pelatihan dan cara pemberian pelatihan
juga turut menyertakan dan memfasilitasi ditransfernya pengetahuan, pengalaman,
dan praktik terbaik.

Pengendalian Budaya
Pengendalian budaya didesain untuk mendukung pemantauan bersama
(mutual monitoring); sebuah tekanan kuat dari suatu kelompok terhadap individu
yang menyimpang dari norma dan nilai kelompok. Pada beberapa budaya
kolektivis seperti Jepang, insentif untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat
mempermalukan diri sendiri dan keluarga merupakan hal yang terpenting.
Demikian halnya di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara, kesepakatan
bisnis kadang disetujui hanya dengan persetujuan verbal. Dalam contoh ini,
kewajiban sosial dan moral yang dominan lebih kuat dibandingkan kontrak secara
legal.

Namun, pengendalian budaya yang kuat yang ditimbulkan oleh proses


pemantauan bersama juga terdapat dalam perusahaan tunggal. Pengendalian
budaya akan bekerja paling efektif jika anggota kelompok memiliki keterikatan
sosial dan emosional antara satu sama lain.

Budaya dibangun di atas tradisi, norma, kepercayaan, nilai, idiologi, sikap, dan
cara berprilaku bersama. Budaya perusahaan relatif tetap dari waktu ke waktu,
meski tujuan dan strategi beradaptasi seperlunya terhadap perubahan kondisi
bisnis.

Budaya yang kuat dan fungsional memengaruhi karyawan untuk bekerja sama
dalam model yang sinergis, namun meski pengarahan dan kekompakan
memberikan manfaat tertentu, budaya yang kuat terkadang dapat menjadi sumber
terjadinya inersia yang dapat menghalangi perubahan dan adaptasi yang
diperlukan dalam lingkungan yang berkembang cepat.

Budaya perusahaan dapat dibentuk dalam banyak cara, baik lewat kata maupun
contoh, meliputi kode etik, penghargaan kelompok, transfer antarperusahaan,
pengaturan fisik dan sosial, tone at the top.

Kode Etik
Kebanyakan perusahaan dengan ukuran di atas minimal berupaya untuk
membentuk budaya perusahaan mereka melalui kode tingkah laku, kode etik,
kredo perusahaan, atau pernyataan misi, visi, ataupun filosofi manajemen.
Dokumen tertulis yang formal tersebut memberikan pernyataan umum akan nilai
perusahaan, komitmen kepada pemegang kepentingan, dan keinginan pihak
manajemen mengenai bagaimana seharusnya perusahaan berfungsi.

Kode di desain untuk membantu karyawan memahami perilaku apa yang


diharapkan meski tidak ada peraturan spesifik; itupun kodenya lebih didasarkan
pada prinsip dibandingkan hanya didasarkan pada peraturan.

Kode ini dapat meliputi pesan penting mengenai dedikasi terhadap kualitas
maupun kepuasan pelanggan, perlakuan yang adil pada karyawan dan pelanggan,
keamanan karyawan, inovasi, pengambilan resiko, ketaatan pada prinsip etis,
komunikasi yang terbuka, dan kesediaan untuk berubah.
Agar efektif, pesan yang dimasukkan dalam pernyataan ini harus diperkuat
melalui sesi pelatihan formal dan melalui diskusi informal atau pertemuan
pendampingan antara karyawan dan pengawasnya.
Bentuk kode tingkah laku dapat bervariasi antarperusahaan. Selain pernyataan
kebijakan umum yang dielaborasi seperlunya oleh hamper semua kode tingkah
laku, beberapa kode memberikan panduan isu tertentu. Jika panduan demikian
disertakan, maka rincian perilaku akan dapat menunjukan bentuk pengendalian
akuntabilitas tindakan karena karyawan yang melanggar akan mendapat teguran.
Beberapa kode etik tidak berhasil karena kode tidak didukung oleh kepemimpinan
yang kuat dan tone from the top yang tepat. Manajemen puncak tidak
berkomitmen pada kode ini, terlebih lagi, memberikan contoh buruk dengan
melakukan tindakan yang tidak tepat.

Kode etik yang didesain dengan cerdas dan diimplementasikan secara fungsional
cenderung sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mencoba dan membentuk
perilaku yang diinginkan.

Imbalan Kelompok
Penyediaan imbalan atau insentif yang didasarkan pada pencapaian
kolektif juga mendukung pengendalian budaya. Rencana insentif yang berdasar
pada pencapaian kolektif tersebut bias berwujud dalam berbagai bentuk. Contoh
umumnya ialah bonus, pembagian laba (profit-sharing) atau pembagian
keuntungan (gain-sharing) yanf memberikan kompensasi berdasarkan pada
kinerja perusahaan atau entitas secara keseluruhan (alih-alih secara individu)
berkenaan dengan, keuntungan atau reduksi biaya (cost reductions).

Menurut Sarah McCartney-Fry, “ Kenaikan suku bunga dalam… bisnis (yang)


dimiliki oleh karyawan secara substansial atau mayoritas, (sebab) perusahaan
yang dimiliki bersama mahir dalam mengelola inovasi dan perubahan serta
didukung oleh tingginya keterlibatan karyawan yang produktif.
Bukti menunjukkan bahwa perencanaan insentif yang didasarkan pada kelompok
menciptakan budaya “kepemilikan” dan “keterlibatan” terhadap keuntungan
bersama antara perusahaan dan karyawannya.

Imbalan kelompok dapat memberi dampak positif terhadap motivasi, meski


pengaruhnya tidak langsung. Imbalan kelompok dapat mendorong terciptanya
kerja sama, pelatihan di tempat kerja untuk karyawan baru, dan pengadaan
tekanan dari rekan kerja terhadap karyawan agar ikut aktif bekerja demi kebaikan
kelompok.

Imbalan kelompok secara esensial mampu mendelegasikan pemantauan perilaku


karyawan kepada teman kerja karyawan. Ini merupakan esensi dari pemantauan
bersama.

Pendekatan lain untuk membentuk budaya perusahaan

a. Transfer antarperusahaan atau rotasi karyawan


Membantu menyebarkan budaya dengan memperbaiki sosialisasi
karyawan dalam perusahaan, dan menghambat terciptanya tujuan dan
pandangan yang saling bertentangan. Transfer juga berpotensi untuk
memitigasi penipuan karyawan dengan mencegah karyawan “terlalu
familiar” dengan entitas, aktivitas, teman kerja, dan atau tarnsaksi
tertentu.
b. Pengaturan fisik
Pengaturan fisik berupa rencana kantor, arsitektur, dan dekor interior,
serta pengaturan sosial seperti penggunaan baju, kebiasaan yang
dilembagakan, perilaku, dan kosa kata, dapat pula membantu membentuk
budaya perusahaan.
c. Tone at the top
Dengan mengatur tone at the top yang tepat, manajemen dapat
membentuk budaya. Pernyataan bahwa mereka harus konsisten dengan
tipe budaya yang sedang mereka coba untuk ciptakan, dan yang penting,
tindakan dan perilaku mereka harus konsisten dengan pernyataan mereka.

Pengendalian Personel/Budaya dan Masalah Pengendalian


Secara bersamaan, pengendalian personel/budaya mampu menangani
semua masalah pengendalian meskipun, seperti yang terlihat dalam Tabel 3.3,
tidak semua tipe pengendalian dalam kategori ini bisa bekerja efektif untuk
menangani tiap tipe masalah. Masalah akan kurangnya pengarahan dapat
diminimalkan, sebagai contoh, dengan merekrut orangyang sudah berpengalaman,
dengan menyediakan program pelatihan, maupun dengan menugaskan orang baru
untuk bekerja dalam kelompok yang akan memberikan pengarahan yang baik.
Masalah motivasional, yang mungkin terhitung sedikit dalam perusahaan dengan
budaya yang kuat, dapat diminimalkan di perusahaan lain dengan mempekerjakan
orang-orang yang bermotivasi tinggi atau dengan menugaskan orang untuk
bekerja dalam kelompok yang akan cenderung membuat mereka menyesuaikan
diri dengan norma kelompok. Pembatasan perorangan dapat pula dikurangi
melalui satu atau lebih tipe pengendalian personel, khususnya seleksi, pelatihan,
dan penyesuiaan sumber daya yang dibutuhkan.

Efektivitas Pengendalian Personel/Budaya


Semua perusahaan bergantung kepada karyawannya sampai batas tertentu
untuk mengarahkan dan memotivasi diri mereka. Beberapa sistem pengendalian
perusahaan didominasi oleh pengendalian personel. Pengendalian budaya dapat
pula mendominasi sistem pengendalian lewat pengendalian
TABEL 3.3 Masalah pengendalian yang disebabkan oleh berbagai cara
untuk mempengaruhi pengendalian personel dan budaya

Kurangnya Masalah Pembatasan


Pengarahan Motivasi Perorangan
Cara yang mempengaruhi
pengendalian personel
Seksi dan penempatan X X X
Pelatihan X X
Desain kerja dan penyediaan sumber X
daya yang dibutuhkan

Cara yang mempengaruhi


pengendalian budaya
Kode etik X X
Imbalan berdasarkan kelompok X X X
Transfer antar perusahaan X X
Pengaturan fisik X
Tone at the top X
Sumber : K.A. Merchant. Modern Management Control System; Text and
Cases (Upper Saddle River. NJ. Prentice Hall. 1998, Hlm. 30

Pengendalian personel/budaya memiliki keunggulan yang khas dibandingkan


pengendalian hasil dan tindakan. Pengendalian ini dapat digunakan pada hampir
semua kondisi sampai batas tertentu; biayanya seringkali lebih rendah
dibandingkan bentuk-bentuk pengendalian yang lebih menonjol; dan
pengendalian personel/budaya mungkin menimbulkan efek samping merugikan
yang lebih sedikit. Selain itu, pengendalian personel/budaya yang “lunak” juga
dipandang “logis secara ekonomis”.
Namun, derajat efektif atau tidaknya pengendalian personel/budaya berbeda-beda
pada tiap individu, kelompok, komunitas, dan masyarakat. Beberapa orang lebih
jujur daripada yang lainnya, dan beberapa komunitas dan masyarakat memiliki
ikatan emosional yang lebih kuat di antara anggotanya. Budaya yang “terlalu
kuat” bisa pula merugikan, khususnya ketika mereka perlu perubahan.
DAFTAR PUSTAKA

Kenneth A. Merchant, Wim A. Van der Stede. Edisi 3. Sistem Pengendalian


Manajemen : Pengukuran Kinerja, Evaluasi, dan Insentif. Jakarta : Salemba
Empat:

Anda mungkin juga menyukai