Anda di halaman 1dari 3

Hukum Masuk Mesjid Bagi Orang Yang Berhadats

Di antara perselisihan yang timbul di kalangan para ulama adalah masalah masuknya
orang yang berhadats (junub dan haid) ke dalam mesjid. Di antara mereka ada yang
melarang secara mutlak, ada pula yang memperbolehkan hanya bila ada keperluan, dan
ada pula yang membolehkannya secara mutlak. Di sini, kita akan membahas dalil yang
digunakan oleh pihak yang melarang dan pihak yang membolehkan secara ringkas.

PENDAPAT YANG MELARANG

Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, seperti:

1. Firman Allah ta’ala:

‫صألأة َأوأنَمنتتمم َتسأكاَأرىَ َأحصتىَّ َتأنمعلأتموُا َأماَ َتأنتقوُتلوُأن َأوأل َتجنتبباَ َإذصل َأعاَبذذريِ َأسذبيِلل َأحصتىَّ َتأنغمتأذستلوُا‬
‫أيِاَ َأيِينأهاَ َالصذذيِأن َآأمتنوُا َأل َتأنمقأرتبوُا َال ص‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melaksanakan shalat ketika kalian
dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Jangan pula
melaksanakan shalat) ketika kalian dalam keadaan junub, terkecuali musafir, hingga
kalian mandi.” [QS An Nisa`: 43]

‫ )ةل تةققةرببوُا ال ص‬dengan makna jangan mendekati masjid.


Mereka menafsirkan kalimat (‫صةلةة‬
Mereka juga menafsirkan kalimat (‫سببيِلل‬‫ )ةعاَبببريِ ة‬dengan makna orang yang lewat. Sehingga
makna ayat di atas adalah: “Janganlah kalian mendekati masjid ketika kalian dalam
keadaan mabuk dan junub kecuali musafir melainkan sekedar lewat saja di dalamnya
tanpa menetap sampai kalian mandi. Tafsir ini didukung oleh Ibnu Jarir, Al Fakhr Ar
Razi, dan Al Mawardi.

‫ )ةل تةققةرببوُا ال ص‬maknanya adalah tetap


Bantahan terhadap hal ini adalah bahwa (‫صةلةة‬
sebagaimana asalnya yaitu jangan melaksanakan shalat. Adapun (‫سببيِل‬ ‫ )ةعاَبببريِ ة‬maknanya
adalah musafir yang mengadakan perjalanan. Sehingga makna ayat di atas adalah:
“Janganlah kalian melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk dan junub sampai kalian
mandi, kecuali musafir dan tidak ada air. Maka boleh bagi dia untuk melaksanakan shalat
dengan bertayamum.” Tafsir ini didukung oleh Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, dan
Mujahid.

2. Hadits Ummu Athiyyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah ‫صلى ا عليِه وسلم‬
memerintahkan seluruh wanita baik yang masih perawan, dipingit, ataupun haid untuk
keluar menuju lapangan shalat Id untuk bertakbir dan menyaksikan shalat Id. Namun
wanita yang haid diperintahkan untuk mengambil tempat terpisah dari lapangan shalat.
[HR Muslim (890)]

Mereka mengatakan bahwa apabila wanita haid dilarang untuk memasuki lapangan shalat
Id, maka terlebih utama lagi terlarang bagi mereka untuk masuk ke dalam masjid.
Bantahan terhadap hal ini adalah mereka dilarang untuk berada di tempat shalat bersama
para wanita yang lain bukanlah karena mereka dianggap najis oleh haid, namun mereka
dilarang agar shaf shalat bisa bersambung dan tidak terputus oleh mereka.

3. Hadits Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi ‫ صلى ا عليِه وسلم‬masuk
menemuinya ketika dia sedang mengalami haid di daerah Sarif sebelum masuk Mekkah.
Dia sedang dalam keadaan menangis. Nabi bertanya: “Ada apa denganmu? Apakah
engkau haid?” Aisyah menjawab: “Ya.” Nabi ‫ صلى ا عليِه وسلم‬bersabda:

‫طوُذفيِ َذباَملبنميِ ذ‬ ‫ضيِ َماَ َيِنمق ذ‬


‫ذ‬ ‫ذ‬
‫ت‬ ‫أ‬ ‫غيِنأر َأمن َأل َتأ ت‬
‫ج َ أم‬
‫ضيِ َالمأحاَ ي‬ ‫إذصن َأهأذا َأممرر َأكتأبأته َاللصته َأعألىَّ َبأنأناَت َآأدأم َأفاَقم أ أ‬

“Sesungguhnya ini (haid) adalah suatu hal yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap
anak-anak perempuan Adam. Laksanakan segala perkara yang dilakukan oleh orang yang
berhaji, namun janganlah engkau melakukan thawaf di Ka’bah.” [HR Al Bukhari (294)
dan Muslim (1211)]

Mereka berdalil dengan hadits di atas bahwa wanita haid tidak boleh ke masjid karena
Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬melarang Aisyah untuk melakukan thawaf di Ka’bah.

Bantahan terhadap pendapat ini adalah bahwa di dalam hadits tidak terdapat larangan
bagi wanita haid untuk berada di Ka’bah karena yang dilarang hanyalah melakukan
amalan thawaf. Begitu pula wanita haid tidak dilarang untuk berada di dalam masjid.
Yang terlarang baginya hanyalah untuk melakukan shalat.

4. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬bersabda:

‫وجهوُا َهذه َالبيِوُت َعن َالمسجد َفإنَيِ َل َأحل َالمسجد َلحاَئض َول َجنب‬

“Palingkan rumah-rumah ini dari arah mesjid. Sesungguhnya saya tidak menghalalkan
mesjid bagi wanita haid dan lelaki junub.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (232) dengan sanad yang lemah karena sanadnya
berpusat pada Jasrah bintu Dajajah. Imam Al Bukhari berkata: “Pada (riwayat-
riwayat)nya terdapat banyak keanehan.”

Hadits ini juga memiliki beberapa pendukung dari riwayat yang lain, seperti hadits Jabir
din Abdillah dan Al Muththalib bin Abdillah, namun kesemuanya lemah dan tidak bisa
dijadikan sebagai penguat bagi hadits ini.

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN

Mereka berdalil dengan beberapa hadits, di antaranya adalah:

1. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬menyuruhku
untuk mengambil kain dari masjid. Saya berkata: “Sesungguhnya saya sedang haid.”
Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬berkata: “Ambillah! Sesungguhnya haid itu bukan berada di
tanganmu.” [HR Muslim (298)]

2. Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya ada seorang wanita hitam yang dulunya
budak lalu dimerdekakan. Lalu datanglah dia kepada Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬untuk
masuk Islam. Dia tinggal di masjid di dalam tenda. [HR Al Bukhari 439)]

Ibnu Hazm berkata di kitab Al Muhalla (1/401): “Wanita ini tinggal di mesjid Nabi ‫صلى‬
‫ ا عليِه وسلم‬. Para wanita itu kebiasaannya adalah haid. Namun beliau ‫صلى ا عليِه وسلم‬
tidak mencegahnya dari itu dan tidak melarangnya. Segala sesuatu yang tidak dilarang
oleh beliau ‫ صلى ا عليِه وسلم‬maka hukumnya adalah mubah.”

3. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang kisah seorang sahabat Nabi ‫صلى ا عليِه‬
‫ وسلم‬yang bernama Tsumamah bin Utsal yang diikat oleh Rasulullah ‫صلى ا عليِه وسلم‬
selama tiga hari di dalam mesjid ketika dia masih dalam keadaan kafir. [HR Al Bukhari
(4372) dan Muslim (1764)]

Apabila orang kafir yang senantiasa berada di dalam keadaan berhadats besar saja boleh
masuk ke dalam mesjid, maka kaum muslimin yang junub atau haid tentu lebih
diperbolehkan. Terlebih lagi seorang muslim itu adalah suci hadits Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah ‫ صلى ا عليِه وسلم‬bersabda:

‫إن المؤمن ل ينجس‬

“Sesungguhnya orang mukmin itu tidaklah najis.” [HR Al Bukhari (285) dan Muslim
(371)]

4. Dikarenakan tidak adanya dalil yang shahih yang benar-benar jelas mengharamkan
lelaki junub dan wanita haid untuk masuk ke dalam mesjid maka hukumnya
dikembalikan kepada hukum asal (al baroatul ashliyyah) yaitu sucinya anggota tubuh
seorang muslim baik dalam keadaan berhadats maupun tidak.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Daud Azh Zhahiri, Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir, Al
Albani, dan Al Wadi’i. Pendapat ini juga didukung oleh Imam An Nawawi di kitab Al
Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/146).

Anda mungkin juga menyukai