Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan modal yang sangat penting dalam proses

pembangunan. Melalui dunia pendidikan kualitas yang dimiliki oleh seseorang

tentunya akan lebih meningkat tidak hanya dari segi intelektual saja tetapi juga

melatih emosional dan spiritual. Secara tidak langsung seseorang yang memiliki

pendidikan yang tinggi dengan sendirinya akan mengangkat drajat orang tersebut

di dalam lapisan masyarakat. Begitu pentingnya dunia pendidikan ini di berbagai

kalangan masyarakat luas, khususnya Indonesia.Indonesia adalah negara yang

berhasil merdeka karena salah satu faktornya yakni pendidikan. Pendidikan

mampu membawa bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan yang bertahan

ratusan tahun lamanya. Pendidikan di Indonesia memang mengalami situasi yang

terus berkembang. Hal ini dapat kita lihat melalui perkembangan kurikulum yang

berlaku di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini.

Johnson dan Rising (1972) dalam bukunya mengatakan bahwa

Matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik,

Matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan

dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih

berupa bahasa simbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi. Sementara Reys,

dkk. (1984) mengatakan bahwa Matematika adalah telaah tentang pola dan

hubungan, suatu jalan atau pola pikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat.

1
Berdasarkan pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa ciri yang sangat penting

dalam Matematika adalah disiplin berpikir yang didasarkan pada berpikir logis,

konsisten, inovatif dan kreatif.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung,

mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus Matematika yang diperlukan

dalam kehidupan sehari-hari melalui pengukuran dan geometri, aljabar, peluang

dan statistik, kalkulus dan trigonometri. Matematika juga berfungsi

mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model

Matematika yang dapat berupa kalimat Matematika dan persamaan Matematika,

diagram, grafik atau tabel.

Berdasarkan hasil ulangan harian yang dilakukan guru di kelas X.1 SMA

Negeri 2 Babat Supat nilai Matematika selalu rendah sehingga guru harus

mengubah strategi belajar agar nilai tersebut dapat mencapai nilai yang

diharapkan. Hal ini penulis buktikan pada saat penulis memberikan ulangan

harian siswa pada semester ganjil. Rendahnya hasil belajar Matematika dapat

diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain ketidakmampuan guru menggunakan

srategi/pendekatan yang lebih cocok daam mengajarkan konsep sehingga

menyebabkan kesulitan bagi siswa-siswa dalam memahami konsep Matematika.

Setelah dicoba dengan berbagai metode ternyata kemampuan siswa dalam

memahami konsep Matematika tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan

kondisi yang demikian maka perlu dikembangkan model pembelajaran yang dapat

meningkatkan hasil belajar mereka, mengerti, berpartisipasi aktif, bekerja

memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya dan saling

2
mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya serta dapat membantu teman-

teman yang rendah prestasinya. Hal ini dapat diwujudkan secara intensif dengan

menerapkan suatu model pembelajaran yang tepat, yaitu dengan diterapkan model

pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stay (TSTS).

Model TSTS “Dua tinggal dua tamu” dikembangkan oleh Spencer Kagan

1992 dan biasa digunakan bersama dengan model Kepala Bernomor (Numbered

Heads). Struktur TSTS yaitu salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang

memberikan kesempatan kepada kelompok membagikan hasil dan informasi

kepada kelompok lain. Kelebihan dalam model TSTS kecenderungan belajar siswa

menjadi lebih bermakna, lebih berorientasi pada keaktifan, siswa akan berani

mengungkapkan pendapatnya, menambah kekompakan dan rasa percaya diri

siswa. Oleh karena itu penulis tertarik meneliti dengan judul “Upaya

Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Siswa Kelas X.1 SMA Negeri 2

Babat Supat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini

yaitu, “bagaimanakah penerapan model pembelajaran kooperatif Tipe Two Stay

Two Stray (TSTS) dalam meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas X.1

SMA Negeri 2 Babat Supat?”.

3
C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan

hasil belajar Matematika siswa kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat dengan

diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan

untuk meningkatkan proses pembelajaran di SMA Negeri 2 Babat Supat.

b. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam

melakukan penelitian yang sejenis.

c. Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan

dalam membuat kebijakan tentang peningkatan kualitas pembelajaran di

sekolah, melalui pelatihan bagi guru tentang media pembelajaran untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran.

d. Bagi siswa, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan

keaktifan dalam proses pembelajaran dengan mempergunakan media

pembelajaran benda asli, karena suasana pembelajaran menyenangkan,

motivasi belajar siswa meningkat, sehingga pada akhirnya akan

meningkatkan prestasi belajar siswa.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Tinjauan Tentang Belajar

Dalam proses pembelajaran terjadi dua peristiwa yaitu belajar dan

mengajar. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain. Belajar mengarah pada apa yang harus dilakukan siswa

sebagai subjek yang menerina pelajaran, sedangkan mengajar mengarah pada apa

yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar.

Belajar secara umum dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku

akibat interaksi individu dengan lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh

Hamalik (2004:20) bahwa “Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku

individu melalui interaksi dengan lingkungan”.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses

perubahan tingkah laku yang bersifat internal (datang dari dalam diri) sebagai

hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya, guna untuk memenuhi

kebutuhan hidup, baik fisik maupun mental spiritual. Proses perubahan perilaku

itu ada yang disengaja, direncanakan dan ada yang terjadi karena proses

kematangan. Proses yang disengaja dan direncanakan itulah yang disebut dengan

proses belajra. Perubahan-perubahan tingkah laku tersebut dapat dilihat dari

perubahan-perubahan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kebiasaan sikap dan

perilaku.

5
Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses membuat orang belajar, dari

tidak mengenal sesuatu menjadikan orang itu mengenal. Tujuannya adalah

membantu orang belajar, atau manipulasi lingkungan sehingga member

kemudahan bagi orang yang belajar. Menurut Depdiknas (2004:6), bahwa

“Pembelajaran juga didefenisikan sebagai suatu rangkaian kejadian, peristiwa,

kondisi yang secara sengaja dirancang untuk mempengaruhi pelajar, sehingga

proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah”.

Disini siswa dianggap sebagai subjek yang berkembang melalui

pengalaman belajar, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator

belajar siswa, artinya guru dianggap sebagai penggerak proses belajar yang

bersifat eksternal (pengaruh dari luar diri siswa). Untuk dapat melaksanakan tugas

mengajar dengan baik, guru diharapkan memiliki kemampuan professional seperti

mengelola kelas, memotivasi siswa dalam proses pembelajaran, dan pemilihan

model pembelajaran yang tepat sehingga menjadikan siswa aktif dalam proses

pembelajaran yang sedang berlangsung.

2. Hakikat Pembelajaran Matematika

Mengetahui Matematika adalah melakukan Matematika. Dalam belajar

Matematika perlu untuk menciptakan situasi-situasi di mana siswa dapat aktif,

kreatif dan responsif secara fisik pada sekitar. Untuk belajar Matematika siswa

harus membangunnya untuk diri mereka. hanya dapat dilakukan dengan

eksplorasi, membenarkan, menggambarkan, mendiskusikan, menguraikan,

menyelidiki, dan pemecahan masalah (Countryman, 1992: 2). Selanjutnya Goldin

(Sri Wardhani, 2004: 6) Matematika dan dibangun oleh manusia, sehingga dalam

6
pembelajaran Matematika, pengetahuan Matematika harus dibangun oleh siswa.

Pembelajaran Matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasi siswa

menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan pembelajaran

bermakna.

Dalam pembelajaran Matematika, konsep yang akan dikonstruksi siswa

sebaiknya dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal siswa dan konsep yang

dikonstruksi siswa ditemukan sendiri oleh siswa. Menurut Freudental

(Gravemeijer, 1994: 20) Matematika merupakan aktivitas insani (human

activities) dan pembelajaran Matematika merupakan proses penemuan kembali.

Ditambahkan oleh de Lange (Sutarto Hadi, 2005: 19) proses penemuan kembali

tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia

real. Masalah konteks nyata (Gravemeijer,1994: 123) merupakan bagian inti dan

dijadikan starting point dalam pembelajaran Matematika. Konstruksi pengetahuan

Matematika oleh siswa dengan memperhatikan konteks itu berlangsung dalam

proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided

reinvention).

Pembelajaran Matematika sebaik dimulai dari masalah yang kontekstual.

Sutarto Hadi (2006: 10) menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari:

(1) situasi personal siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari

siswa, (2) situasi sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik

di sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, (3) situasi

masyarakat, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat

7
sekitar siswa tinggal, dan (4) situasi saintifik/matematik, yaitu yang berkenaan

dengan sains atau Matematika itu sendiri.

Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar Matematika,

Freudenthal (Van den Heuvel, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi,

yaitu matematisasi horizontal dan vertikal dengan penjelasan sebagai

berikut “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the

world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world

of symbol”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematisasi horizontal

meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol,

sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup

simbol Matematika itu sendiri.

Gravemeijer (1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi

horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Pada

mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa

mereka sendiri). Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan

masalah yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), siswa akan

menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses siswa akan

menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan

algoritma disebut matematisasi vertikal.

Menurut Sutarto Hadi (2005: 21) dalam matematisasi horizontal, siswa

mulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa

dan simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah

kontekstual tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara

8
mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam

matematisasi vertikal, siswa juga mulai dari masalah-masalah kontekstual, tetapi

dalam jangka panjang siswa dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat

digunakan untuk meyelesaiakan masalah-masalah sejenis secara langsung, tanpa

menggunakan bantuan konteks. Contoh matematisasi horizontal adalah

pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara

yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi

hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model

Matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model

Matematika dan penggeneralisasian.

Zulkardi (2006: 6) menyatakan pembelajaran seharusnya tidak diawali

dengan sistem formal, melainkan diawali dengan fenomena di mana konsep

tersebut muncul dalam kenyataan sebagai sumber formasi konsep. Menurut de

Lange (1987: 2) proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide Matematika

berawal dari dunia nyata dan pada akhirnya merefleksikan hasil-hasil yang

diperoleh dalam Matematika kembali ke dunia nyata.

Berdasarkan uraian di atas maka secara umum Hakekat Pembelajaran

Matematika sebagai berikut:

 Matematika pelajaran tentang suatu pola/ susunan dan hubungan


 Matematika adalah cara berfikir
 Matematika adalah bahasa
 Matematika adalah suatu alat
 Matematika adalah suatu seni
3. Hasil Belajar Matematika

Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar.

Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi

9
lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada

hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut

Poerwodarminto (1991: 768), Hasil belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan,

dikerjakan), dalam hal ini Hasil belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil

penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan

yang membutuhkan pikiran.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa hasil belajar yang

dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah

siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat

diketahui dengan megadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk

mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan

oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru

dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Sejalan dengan hasil belajar, maka dapat diartikan bahwa hasil belajar

Matematika adalah nilai yang dipreoleh siswa setelah melibatkan secara

langsung/aktif seluruh potensi yang dimilikinya baik aspek kognitif

(pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan) dalam proses belajar

mengajar Matematika .

4. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran

yang menekankan kerja sama antara siswa dalam kelompok, dengan saling

10
mendiskusikan suatu konsep antara siswa dengan temannya akan lebih mudah

menemukan dan memahami konsep tersebut. Pembelajaran kooperatif bercirikan

siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen berdasarkan

perbedaan kemampuan akedemik, jenis kelamin dan etnis dengan jumlah anggota

kelompok dalam satu kelompok terdiri atas empat sampai enam orang.

Ciri pembelajaran kooperatif adalah siswa belajar dalam kelompok-

kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda, dalam menyelesaikan

tugas kelompok setiap anggota kelompok saling bekerja sama dan membantu

untuk memahami suatu materi pembelajaran. Pembelajaran kooperatif mengajak

siswa untuk belajar saling menghargai antar dan sesama, mencoba untuk saling

memberi pengetahuan, mencoba mendapatkan sendiri hasil dari demonstrasi dan

diskusinya.

Johnson dalam Nur (2008:8) mengemukakan lima unsur dasar yang

terdapat dalam struktur pembelajaran kooperatif, yaitu : ”1) saling ketergantungan

positif, 2) tanggung jawab perorangan, 3) tatap muka, 4) komunikasi antar

anggota, dan 5) evaluasi proses kelompok”.

Pembagian siswa dalam pengajaran kelompok kecil menurut Joice dalam

Dimyati dan Mudjiono (2002:166), ada beberapa manfaatnya yaitu :

a. Memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk


mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
secara rasional.
b. Mengembangkan sikap sosial dan semangat
gotong royong dalam kehidupan.
c. Mendinamiskan kegiatan kelompok dalam
belajar sehingga tipa kelompok merasa diri sebagai
bagian kelompok yang bertanggung jawab.

11
d. Mengembangkan kemampuan, kepemimpinan,
keterampilan pada tiap anggota kelompok dalam
pemecahan kelompok.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif

tidak hanya mempelajari materi saja, namun siswa juga harus mempelajari

keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.

Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan

tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan

komunikasi antar anggota kelompok. Sedangkan peranan tugas dilakukan dengan

membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan berlangsung.

Dengan demikian melalui pembelajaran kooperatif siswa dapat

memperoleh keterampilan berlatih disiplin, tanggung jawab dan saling

menghormati, serta dengan sendirinya siswa akan aktif dalam proses

pembelajaran. Pembelajaran kooperatif ini banyak jenisnya dan diharapkan

kepada guru untuk dapat memilih tipe atau model yang cocok pada bidang studi

yang akan di ajarkan kepada siswa.

Ada beberapa variasi model pembelajaran kooperatif menurut Lufri

(2006:51) yaitu : ”1) Student Teams Achievement Division (STAD), 2) Jigsaw, 3)

Group Investigation (GI), 4) Think-Pair-Share dan 5) Numbered-Head-Together

6) Two Stay Two Stray (TSTS).

Pemilihan model pembelajaran yang tepat sangat penting dalam proses

pembelajaran karena tidak semua materi pelajaran cocok pada satu model

pembelajaran. Penulis tertarik memilih model pembelajaran Kooperatif tipe Two

Stay Two Stray (TSTS). Selain merupakan salah satu model pembelajaran

12
kooperatif yang paling sederhana, juga model TSTS ini cocok untuk mata

pelajaran Matematika mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, seperti

yang dikemukan oleh Nur (2008:53) bahwa ”TSTS telah digunakan dalam

berbagai macam mata pelajaran dari Matematika, Bahasa dan Ilmu-Imu Sosial

mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi”.

4. Model Two Stay Two Stray (TSTS)

a. Pengertian Model Two Stay Two Stray

Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray dikembangkan

pertama kali oleh Spencer Kagan (1990). Dengan struktur kelompok kooperatif

seperti Two Stay Two Stray ini dapat memberikan kesempatan kepada tiap

kelompok untuk saling berbagi informasi dengan kelompok-kelompok lain.

Adapaun struktur kelompok model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay

Two Stray adalah sebagai berikut:

 Heterogen
Setiap kelompok terdiri dari siswa dengan latar belakang beragam,

baik kemampuan akademis, jenis kelamin, maupun status sosial.


 Jumlah Siswa
Jumlah siswa di dalam sebuah kelompok koperatif tipe ini terdiri

atas 4 – 5 orang siswa


 Siapa Tinggal, Siapa Berpencar?
Di dalam kelompok siswa akan menentukan siapa yang akan

tinggal (stay) dan siapa yang akan berpencar (Stray)

b. Langkah-langkah Two Stay Two Stray

Adapun langkah-langkah pelaksanaan / implementasi Model Pembelajaran

Kooperatif tipe Two Stay Two Stray adalah sebagai berikut:

13
1. Pembagian kelompok. Pada langkah ini guru membagi siswa

dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 4 sampai

5 siswa.

2. Pemberian tugas. Di langkah kedua ini guru memberikan sub

pokok bahasan tertentu atau tugas-tugas tertentu kepada setiap kelompok

untuk dibahas bersama-sama dengan anggota kelompoknya masing-

masing.

3. Diskusi: Siswa mengerjakan tugas. Pada kegiatan ini siswa-

siswa di dalam setiap kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan tugas

yang diberikan oleh guru.

4. Tinggal atau berpencar? Setelah setiap kelompok selesai

mengerjakan tugas yang diberikan maka setiap kelompok menentukan 2

anggota yang akan stay (tinggal) dan 2 anggota yang akan Stray

(berpencar) ke kelompok lain.

14
Struktur kelompok model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two

Stray

5. Berbagi. Pada langkah kelima ini, semua siswa saling berbagi apa

yang telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru (catatan:

siswa pada langkah ini saling menjelaskan, presentasi, bertanya, dan

melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-apa yang didapatnya dari

kelompok lain). Dua anggota kelompok yang tinggal di dalam kelompok

bertugas membagi informasi dan hasil kerja mereka kepada 2 orang tamu

dari kelompok lain yang akan berkunjung ke kelompok mereka.

6. Diskusi kelompok. Tahap selanjutnya adalah semua anggota

kelompok kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa yang

mereka temukan dari kelompok lain.

7. Diskusi kelas. Setiap kelompok kemudian membandingkan dan

membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam sebuah diskusi kelas

dengan fasilitasi oleh guru.

c. Kelebihan dan Kelemahan Two Stay Two Stray

Adapun kelebihan-kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Two

Stay Two Stray adalah sebagai berikut:


 Implementasi
Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray dapat

diimplementasikan untuk berbagai kelas atau tingkatan usia.


 Belajar Bermakna
Kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna memberikan

kesempatan terhadap siswa untuk membentuk konsep secara mandiri

15
dengan cara-cara mereka sendiri dan melalui metode-metode pemecahan

masalah.
 Siswa Aktif
Implementasi model pembelajaran kooperatif ini tentu saja dapat membuat

siswa aktif. Bila siswa belum terbiasa, memang pembelajaran serasa

macet, tetapi bila telah beberapa kali dilaksanakan maka jalannya akan

lebih mulus, karena setiap siswa mempunyai hasil dan tanggung jawab

masing-masing untuk kelompoknya.

 Meningkatkan Motivasi Belajar


Dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two

Stray ini guru dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena setiap

siswa mempunyai tanggung jawab belajar, baik untuk dirinya sendiri

maupun kelompoknya. Hal ini tampak sekali pada saat mereka saling

bertukar informasi.
 Bertukar Informasi
Saat siswa berpencar, maka setiap anggota kelompok akan saling bertukar

informasi dengan kelompok lain. Setiap kelompok akan mendapatkan

informasi sekaligus dari dua kelompok yang berbeda (karena dua orang

yang berpencar pergi ke kelompok yang berbeda), begitupun bagi siswa

yang tinggal, juga akan mendapatkan informasi dari 2 tamu yang datang

dari 2 kelompok yang berbeda. (Perhatikan gambar skema struktur

kelompok model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray di atas

agar pertukaran informasi terbentuk dari banyak arah).


 Hasil Belajar dan Daya Ingat
Karena semua siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, dan semua anggota

kelompok diharuskan melaporkan hasil-hasil kunjungannya ke kelompok

lain (bagi siswa yang berpencar/ Stray) dan hasil-hasil yang diperoleh saat

16
kunjungan tamu di kelompok mereka (bagi siswa yang tinggal / stay),

maka dapat memberikan efek peningkatan hasil belajar dan daya ingat.
 Kreativitas
Siswa yang tinggal di dalam kelompok (stay) mempunyai kesempatan

untuk meningkatkan kreativitas, misalnya berkaitan dengan bagaimana

cara mereke menyajikan hasil kerja kelompok mereka kepada tamu

(anggota kelompok lain) yang berkunjung ke kelompoknya.

 Melatih Berpikir Kritis


Dengan membandingkan hasil pekerjaan kelompoknya dengan pekerjaan

kelompok lain, guru berarti telah memberikan kesempatan kepada siswa

untuk meningkatkan kemapuan berpikir kritis, di mana mereka akan

mencoba mencermati pekerjaan orang lain dan pekerjaan kelompoknya.


 Memudahkan Guru
Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray dapat membantu

guru dalam pencapaian pembelajaran, karena langkah pembelajaran

kooperatif mudah diterapkan di sekolah dan dengan bantuan siswa-siswa

guru mendapat tambahan tenaga berupa tutor sebaya saat seorang anggota

kelompok bertukar informasi, mengkonfirmasi, presentasi, dan bertanya

kepada anggota kelompok lainnya.

Sedangkan kekurangan dari model TSTS adalah:

a. Membutuhkan waktu yang lama


b. Siswa cenderung tidak mau belajar dalam kelompok
c. Bagi guru, membutuhkan banyak persiapan (materi, dana

dan tenaga)
d. Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas.

Untuk mengatasi kekurangan pembelajaran kooperatif model TSTS, maka

sebelum pembelajaran guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk

17
kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan

kemampuan akademis. Berdasarkan sisi jenis kelamin, dalam satu kelompk harus

ada siswa laki-laki dan perempuannya. Jika berdasarkan kemampuan akademis

maka dalam satu kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan akademis

tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang dan satu lainnya dari kelompok

kemampuan akademis kurang. Pembentukan kelompok heterogen memberikan

kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung sehingga memudahkan

pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan

akademis tinggi yang diharapkan bisa membantu anggota kelompok yang lain.

B. Penelitian Yang Relevan

Arif, Bahrul. 2009. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Two Stay

Two Stray (TSTS) untuk Meningkatkan Aspek Kognitif dan Aspek Afktif

SiswaKelas VII D SMP Negeri 1 Singosari. Model pembelajaran Two Stay Two

Stray (TSTS) dapat meningkatkan aspek kognitif dan aspek afektif siswa dengan

cara memberikan suasana belajar diskusi yang menyenangkan, kesempatan

kepada siswa untuk belajar aktif melakukan pertukaran informasi dan materi

dengan sesama teman, menyampaikan gagasan kepada teman, menyampaikan

jawaban dan pertanyaan terhadap permasalahan diskusi, serta membutuhkan

kerjasama dalam kelompok.

Zainahar Hutapea, 2015 . Penerapan Model Pembelajaran Two Stay Two

Stray Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ekonomi Di SMA Swasta

Parulian 2 Medan Tahun Pelajaran 2014/2015. Penelitian ini bertujuan untuk

18
mengetahui peningkatan hasil belajar ekonomi siswa dengan menggunakan model

pembelajaran Two Stay Two Stray di kelas X IPS SMA Swasta Parulian 2 Medan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang

dilakukan dalam 2 siklus. Subjek penelitian ini adalah kelas X IPS dengan jumlah

siswa 40 orang dan objeknya adalah model pembelajaran Two Stay Two Stray.

Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan tes dan observasi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa

terjadi peningkatan yang signifikan dari hasil belajar siswa dengan menggunakan

model pembelajaran Two Stay Two Stray. Pada siklus I ketuntasan belajar secara

individual diperoleh 27 orang atau 67,5% yang memperoleh nilai minimal 75.

Dan pada siklus II ketuntasan belajar secara individual diperoleh 35 orang atau

87,5% yang memperoleh nilai minimal 75. Dengan demikian terjadi peningkatan

hasil belajar sebesar 20% secara individu. Dapat disimpulkan bahwa penerapan

model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkatkan hasil belajar

ekonomi siswa kelas X IPS di SMA Swasta Parulian 2 Medan Tahun Pelajaran

2014/2015. Hal ini terlihat dari peningkatan hasil belajar ekonomi siswa yang

signifikan dengan menggunakan model pembelajaran Two Stay Two Stray. Berarti

model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat dijadikan sebagai alternatif dalam

pembelajaran ekonomi.

Ni Wayan Sri Mahyuni, 2015. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) terhadap Hasil Belajar Kimia Kelas

XI IPA SMA Negeri 1 Selemadeg ditinjau dari Gaya Berpikir. Tujuan penelitian

ini untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

19
TSTS terhadap hasil belajar kimia ditinjau dari gaya berpikir. Penelitian

dilaksanakan di SMA Negeri 1 Selemadeg dengan desain eksperimen post-test

only control group faktorial 2x2. Dari subyek 120 orang siswa kelas XI IPA,

semuanya sebagai responden kelompok eksperimen dan kontrol melalui teknik

random sampling. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan konvensional

sebagai variabel bebas, gaya berpikir sebagai variabel moderator dan hasil belajar

kimia sebagai variabel terikat. Test gaya berpikir dan tes hasil belajar sebagai

instrumen pengumpulan data. Data dianalisis dengan ANAVA dua jalur dan uji

Tukey.

C. Kerangka Berpikir
Pengaruh pemberian tindakan kelas melalui pembelajran kooperatif

tipe TSTS terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika dapat

dilihat pada bagan kerangka konseptual berikut ini :

PBM

Sebelum diberi tindakan melalui pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray hasil belajar siswa rendah

Diberi tindakan melalui pembelajaran


Kooperatif tipe Stay two Stray

Hasil belajar siswa meningkat


20
Skema 2.1 Kerangka Berpikir

D. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini bahwa penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) dapat meningkatkan

hasil belajar Matematika siswa kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK)

atau disenut juga dengan Clasroom Action Research. Menurut Santyasa

(2007:5) PTK merupakan “Prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk

menanggulangi masalah nyata yang dialami guru berkaitan dengan siswa di

kelas itu”.

B. Setting Penelitian

1. Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat,

yaitu pada semester Genap tahun pelajaran 2014/2015 selama 3 bulan yaitu

pada Januari-Maret tahun 2015.

2. Subjek penelitian

Subjek penelitian yaitu siswa kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat

yang berjumlah 34 siswa. Pihak yang terlibat yaitu penulis sebagai guru kelas

yang mengajar di kelas X.1 pada mata pelajaran Matematika pada pokok

bahasan memahami pernyataan dalam matematika dan ingkaran atau

negasinya, dan ditambah satu orang guru yang berfungsi sebagai kolaborator

22
(melakukan pengamatan perkembangan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam

lembar observasi).

C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua (2) siklus yang masing-masing

siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Setiap siklus dilakukan langkah-langakah

kegiatan mulai dari perencanaan (planning), tindakan (action), observasi

(observation) dan diakhiri dengan refleksi (reflection).


a. Perencanaan
1) Menentukan jadwal penelitian
2) Menetapkan materi yang akan disampaikan kepada siswa dengan

menggunakan pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS


3) Mempersiapkan perangkat pembelajaran yaitu Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


4) Mempersiapkan pembagian kelompok siswa
5) Mempersiapkan tes formatif hasil belajar siswa
b. Tindakan
1) Pendahuluan
a. Guru mengecek kehadiran siswa
b. Guru memotivasi agar siswa berminat belajar
c. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
d. Guru menjelaskan materi pelajaran
2) Kegiatan inti

1. Pembagian kelompok. Pada langkah ini guru membagi siswa

dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 5

siswa.

2. Pemberian tugas. Di langkah kedua ini guru memberikan

sub pokok bahasan tertentu atau tugas-tugas tertentu kepada setiap

kelompok untuk dibahas bersama-sama dengan anggota

kelompoknya masing-masing.

23
3. Diskusi: Siswa mengerjakan tugas. Pada kegiatan ini siswa-

siswa di dalam setiap kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan

tugas yang diberikan oleh guru.

4. Tinggal atau berpencar? Setelah setiap kelompok selesai

mengerjakan tugas yang diberikan maka setiap kelompok

menentukan 2 anggota yang akan stay (tinggal) dan 2 anggota yang

akan Stray (berpencar) ke kelompok lain.

5. Berbagi. Pada langkah kelima ini, semua siswa saling

berbagi apa yang telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas

dari guru (catatan: siswa pada langkah ini saling menjelaskan,

presentasi, bertanya, dan melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-

apa yang didapatnya dari kelompok lain). Dua anggota kelompok

yang tinggal di dalam kelompok bertugas membagi informasi dan

hasil kerja mereka kepada 2 orang tamu dari kelompok lain yang

akan berkunjung ke kelompok mereka.

6. Diskusi kelompok. Tahap selanjutnya adalah semua

anggota kelompok kembali ke kelompok yang semula dan

melaporkan apa yang mereka temukan dari kelompok lain.

7. Diskusi kelas. Setiap kelompok kemudian membandingkan

dan membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam sebuah diskusi

kelas dengan fasilitasi oleh guru secara bersama-sama.

3) Penutup

24
a. Guru memberikan kuis secara individu setelah materi

selesai
b. Guru memberikan tugas rumah (PR) yang berhubungan

dengan pembelajaran yang telah dipelajari dan membuat

rangkuman materi.
c. Observasi
Observasi terhadap proses pembelajaran berlangsung dilakukan

oleh peneliti dan dibantu oleh seorang observer.


d. Refleksi
Tahap ini merupakan suatu upaya untuk mengkaji apa yang telah

terjadi, yang telah dihasilkan, apa yang belum dihasilkan, dan apa yang

belum tuntas dari langkah atau upaya yang telah dilakukan. Dengan kata

lain, refleksi merupakan pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan

pencapaian tujuan, yang kemudian dilakukan perenungan. Hasil

perenungan tersebut dijadikan acuan dalam pelaksanaan siklus II.

Penelitian yang dilakukan dikatakan berhasil apabila aktivitas yang

diamati menunjukkan peningkatan.

D. Alat Pengumpul Data


Untuk mengumpulkan data yang diperlukan maka digunakan alat

pengumpul data sebagai berikut :


1. Lembaran observasi
Lembaran observasi digunakan untuk mencatat segala bentuk perilaku

siswa pada saat tindakan diberikan.


2. Tes hasil belajar
Tes dilaksanakan antara lain dalam bentuk :
- Pre test, yaitu tes yang dilaksanakan sebelum diberikan perlakuan

terhadap siswa dalam proses pembelajaran.

25
- Kuis, yaitu tes yang dilaksanakan pada akhir setiap proses

pembelajaran.
- Ulangan harian, yaitu tes yang digunakan setelah seluruh proses

pembelajaran selesai dilaksanakan pada dua (2) siklus tersebut.

E. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui keefektivan suatu metode dalam kegiatan

pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan

teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat

menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh

dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga

untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta

aktivitas siswa selama proses pembelajaran.

Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan

siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara

memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran.

Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistik sederhana yaitu:

1. Untuk menilai ulangan atau tes formatif

Peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang

selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga

diperoleh rata-rata tes formatif dapat dirumuskan:

X=
∑X
∑N
Dengan : = Nilai rata-rata
X

26
ΣX = Jumlah semua nilai siswa

ΣN = Jumlah siswa

2. Untuk ketuntasan belajar

Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara

klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar di kelas X.1 SMA

Negeri 2 Babat Supat, yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai

skor 75% atau nilai 75, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut

terdapat 85% yang telah mencapai daya serap lebih dari atau sama dengan 75%.

Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut:

P=
∑ Siswa . yang . tuntas . belajar x 100
∑ Siswa

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penjelasan Per Siklus


Bedasarkan penelitian tindakan kelas yang penulis lakukan pada siswa

kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat Tahun pelajaran 2014/2015 yang

terdiri dari 2 siklus, setiap siklus dilakukan dua kali pertemuan.

B. Paparan Hasil Analisis


1. Siklus I
a. Perencanaan

Sebelum masuk ke dalam kelas, peneliti terlebih dahulu menyusun

perencanaan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi :

1) Menentukan jadwal penelitian

27
2) Menetapkan materi yang akan disampaikan kepada siswa dengan

menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TSTS


3) Mempersiapkan perangkat pembelajaran yaitu Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


4) Mempersiapkan pembagian kelompok siswa
5) Mempersiapkan Tes Formatif Siklus I

b. Pelaksanaan Tindakan
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2015
1) Pendahuluan

 Guru mengkondisikan kelas.

 Guru mengucapkan salam pembuka/doa dan memeriksa

kehadiran siswa. religius

 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang

akan dicapai

 Apersepsi:

o mengenai pernyataan dalam matematika dan ingkaran atau

negasinya

 Motivasi:

oPengenalan materi yang akan dipelajari


2) Kegiatan inti

1. Siswa memperhatikan penjelasan tentang memahami pernyataan

dalam matematika dan ingkaran atau negasinya

28
2. Pembagian kelompok. Pada langkah ini guru membagi siswa

dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 5

siswa dan 6 kelompok.

3. Pemberian tugas. Di langkah kedua ini guru memberikan sub

pokok bahasan cara memahami pernyataan dalam matematika dan

ingkaran atau negasinya

4. kepada setiap kelompok untuk dibahas bersama-sama dengan

anggota kelompoknya masing-masing .

5. Diskusi: Siswa mengerjakan tugas. Pada kegiatan ini siswa-siswa

di dalam setiap kelompok bekerja sama untuk memahami pernyataan

dalam matematika dan ingkaran atau negasinya .

6. tugas yang diberikan oleh guru.

7. Tinggal atau berpencar? Setelah setiap kelompok selesai

mengerjakan tugas yang diberikan maka setiap kelompok menentukan

2 anggota yang akan stay (tinggal) dan 2 anggota yang akan Stray

(berpencar) ke kelompok lain.

8. Berbagi. Pada langkah kelima ini, semua siswa saling berbagi apa

yang telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru

(catatan: siswa pada langkah ini saling menjelaskan, presentasi,

bertanya, dan melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-apa yang

didapatnya dari kelompok lain). Dua anggota kelompok yang tinggal

di dalam kelompok bertugas membagi informasi dan hasil kerja

29
mereka kepada 2 orang tamu dari kelompok lain yang akan berkunjung

ke kelompok mereka.

9. Diskusi kelompok. Tahap selanjutnya adalah semua anggota

kelompok kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa

yang mereka temukan dari kelompok lain.

10. Diskusi kelas. Setiap kelompok kemudian membandingkan dan

membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam sebuah diskusi kelas

dengan fasilitasi oleh guru.n secara bersama-sama.

3) Penutup

a. Guru memberikan kuis secara individu setelah materi

selesai

b. Guru memberikan tugas rumah (PR) yang berhubungan

dengan pembelajaran yang telah dipelajari dan membuat

rangkuman materi.

c. Observasi

Pada bagian Observasi, dilakukan perekaman data yang meliputi proses

dan hasil dari pelaksanan kegiatan. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses

belajar mengajar berlangsung diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Pada Model TSTS ini tampak siswa terlihat canggung atau tidak

percaya diri ketika akan menjadi “tamu” dikelompok lain.

b. Siswa belum berani tampil mempresentasikan hasil diskusinya.

c. siswa belum cukup untuk saling berbagi apa yang telah mereka

kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru

30
d. Guru diharapkan tetap mempertahankan kebiasaan tidak

mendominasi pembelajaran, terutama di awal pembelajaran.

Setelah pembelajaran pada siklus I selesai seluruhnya, dilanjutkan

dengan ulangan (tes) untuk melihat kemajuan hasil belajar siswa setelah

dilakukan tindakan perbaikan. Hasil yang diperoleh dari ulangan (tes) dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.3. Nilai Tes Formatif Pada Siklus I


No. No.
Nilai Keterangan Nilai Keterangan
Urut Urut
1 70 Tidak Tuntas 18 80 Tuntas
2 70 Tidak Tuntas 19 75 Tuntas
3 80 Tuntas 20 70 Tidak Tuntas
4 50 Tidak Tuntas 21 78 Tuntas
5 75 Tuntas 22 78 Tuntas
6 80 Tuntas 23 78 Tuntas
7 70 Tidak Tuntas 24 80 Tuntas
8 75 Tuntas 25 78 Tuntas
9 70 Tidak Tuntas 26 78 Tuntas
10 70 Tidak Tuntas 27 80 Tuntas
11 75 Tuntas 28 90 Tuntas
12 75 Tuntas 29 80 Tuntas
13 78 Tuntas 30 80 Tuntas
14 85 Tuntas 31 80 Tuntas
15 80 Tuntas 32 80 Tuntas
16 55 Tidak Tuntas 33 70 Tidak Tuntas
17 55 Tidak Tuntas 34 70 Tidak Tuntas

Jumlah Nilai = 2538


Jumlah Nilai Maksimal Ideal = 3400
Rata-Rata Nilai Tercapai = 74,65

Keterangan:
Jumlah siswa yang belum tuntas ═ 11
Jumlah siswa yang tuntas ═ 23
KKM Klasikal= Belum Tuntas

Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Pada Siklus I

31
No. Uraian Hasil Siklus I
1. Nilai rata-rata tes formatif 74,65
2. Jumlah siswa yang tuntas belajar 23
3. Persentase ketuntasan belajar 67,65

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan

pembelajaran dengan Model Two Stay Two Stray diperoleh nilai rata-rata tes

formatif siswa adalah 74.65 dan ketuntasan belajar mencapai 67.65% atau baru

ada 23 siswa dari 34 siswa yang telah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena

siswa yang memperoleh nilai ≥75 hanya sebesar 63.33% lebih kecil dari

persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 75%

Tabel 4.3 Ketuntasan Hasil Belajar Siklus I

No Ketuntasan Jumlah Persen


1 Tuntas 23 67.65%
2 tidak tuntas 11 32.35%
34

Tabel di atas menunjukkan sebanyak 23 orang atau sebesar 67.65% siswa

kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat yang tuntas untuk mata pelajaran

Matematika sedangkan sisanya sebanyak 11 orang atau sebesar 32.35% belum

tuntas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar grafik di bawah ini:

32
Gambar 4.1

d. Refleksi

Setelah melakukan observasi, maka pada kegiatan siklus I dengan

menggunakan tipe pembelajaran model TSTS beberapa kelemahan atau hambatan

yang harus diatasi dalam siklus berikutnya diidentifikasi sebagai berikut :

a. Kurangnya sikap terbuka siswa untuk saling berbagi


b. Kurangnya minat siswa untuk bertanya tentang materi yang belum

dimengerti.
c. Kurangnya keberanian siswa dalam menanggapi pertanyaan yang

diberikan oleh siswa kelompok lain.


d. Efesiensi waktu ketika melaksanakan diskusi masih kurang

sehingga waktu yang ada dirasa tidak cukup untuk melakukan kegiatan

pembelajaran.
e. Menyuruh siswa belajar di rumah untuk membahas materi yang

akan didiskusikan untuk pertemuan berikutnya.

33
2. Siklus II
a. Perencanaan

Sebelum masuk ke dalam kelas, peneliti terlebih dahulu menyusun

perencanaan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini meliputi :

1) Menentukan jadwal penelitian


2) Menetapkan materi yang akan disampaikan kepada siswa dengan

menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TSTS


3) Mempersiapkan perangkat pembelajaran yaitu Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


4) Mempersiapkan pembagian kelompok siswa
5) Mempersiapkan Tes Formatif Siklus II

b. Pelaksanaan Tindakan
Penelitian siklus II ini dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2015
1) Pendahuluan

 Guru mengkondisikan kelas.

 Guru mengucapkan salam pembuka/doa dan memeriksa

kehadiran siswa. religius

 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang

akan dicapai

 Apersepsi:

Menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan majemuk dan

pernyataan berkuantor.

 Motivasi:

o Pengenalan materi yang akan dipelajari


2) Kegiatan inti

34
1. Siswa memperhatikan penjelasan tentang menentukan nilai

kebenaran dari suatu pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.

2. Pembagian kelompok. Pada langkah ini guru membagi siswa

dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 5

siswa dan 6 kelompok.

3. Pemberian tugas. Di langkah kedua ini guru memberikan sub

pokok bahasan menentukan nilai kebenaran dari suatu pernyataan

majemuk dan pernyataan berkuantor.

4. kepada setiap kelompok untuk dibahas bersama-sama dengan

anggota kelompoknya masing-masing .

5. Diskusi: Siswa mengerjakan tugas. Pada kegiatan ini siswa-siswa

di dalam setiap kelompok bekerja sama untuk menentukan nilai

kebenaran dari suatu pernyataan majemuk dan pernyataan berkuantor.

6. tugas yang diberikan oleh guru.

7. Tinggal atau berpencar? Setelah setiap kelompok selesai

mengerjakan tugas yang diberikan maka setiap kelompok menentukan

2 anggota yang akan stay (tinggal) dan 2 anggota yang akan Stray

(berpencar) ke kelompok lain.

8. Berbagi. Pada langkah kelima ini, semua siswa saling berbagi apa

yang telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru

(catatan: siswa pada langkah ini saling menjelaskan, presentasi,

bertanya, dan melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-apa yang

didapatnya dari kelompok lain). Dua anggota kelompok yang tinggal

35
di dalam kelompok bertugas membagi informasi dan hasil kerja

mereka kepada 2 orang tamu dari kelompok lain yang akan berkunjung

ke kelompok mereka.

9. Diskusi kelompok. Tahap selanjutnya adalah semua anggota

kelompok kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa

yang mereka temukan dari kelompok lain.

10. Diskusi kelas. Setiap kelompok kemudian membandingkan dan

membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam sebuah diskusi kelas

dengan fasilitasi oleh guru.n secara bersama-sama.

3) Penutup

a. Guru memberikan kuis secara individu setelah materi

selesai

b. Guru memberikan tugas rumah (PR) yang berhubungan

dengan pembelajaran yang telah dipelajari dan membuat

rangkuman materi.

c. Observasi

Berdasarkan hasil pengamatan selama proses belajar mengajar

berlangsung diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Pada Model TSTS ini tampak siswa terlihat sangat antusias dan

tampil percaya diri ketika akan menjadi “tamu” dikelompok lain.

b. Siswa sudah berani tampil mempresentasikan hasil diskusinya.

36
c. siswa telah cukup untuk saling berbagi apa yang telah mereka

kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru

d. Guru telah mempertahankan kebiasaan dengan terus member

motivasi kepada siswa terutama di awal pembelajaran.

Setelah pembelajaran pada siklus II selesai seluruhnya, dilajutkan

dengan ulangan (tes) untuk melihat kemajuan hasil belajar siswa setelah

dilakukan tindakan perbaikan. Hasil yang diperoleh dari ulangan (tes) dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.4 Nilai Tes Formatif Pada Siklus II


No. No.
Nilai Keterangan Nilai Keterangan
Urut Urut
1 88 Tuntas 18 80 Tuntas
2 90 Tuntas 19 75 Tuntas
3 70 Tidak Tuntas 20 75 Tuntas
4 80 Tuntas 21 80 Tuntas
5 75 Tuntas 22 80 Tuntas
6 80 Tuntas 23 75 Tuntas
7 80 Tuntas 24 80 Tuntas
8 70 Tidak Tuntas 25 80 Tuntas
9 80 Tuntas 26 70 Tidak Tuntas

37
10 95 Tuntas 27 80 Tuntas
11 75 Tuntas 28 70 Tidak Tuntas
12 80 Tuntas 29 80 Tuntas
13 78 Tuntas 30 78 Tuntas
14 85 Tuntas 31 78 Tuntas
15 80 Tuntas 32 80 Tuntas
16 80 Tuntas 33 78 Tuntas
17 55 Tidak Tuntas 34 75 Tuntas

Jumlah Nilai = 2655


Jumlah Nilai Maksimal Ideal = 3400
Rata-Rata Nilai Tercapai = 78,09

Keterangan:
Jumlah siswa yang belum tuntas ═ 5
Jumlah siswa yang tuntas ═ 29
KKM Klasikal= Tuntas

Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Pada Siklus II


No. Uraian Hasil Siklus II
1. Nilai rata-rata tes formatif 78,09
2. Jumlah siswa yang tuntas belajar 29
3. Persentase ketuntasan belajar 85,29

Berdasarkan tabel diatas diperoleh rata-rata tes formatif sebesar 78.09 dan

dari 34 siswa yang telah tuntas sebanyak 29 siswa dan 5 siswa belum mencapai

ketuntasan belajar. Namun secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai

sebesar 85.29% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus II ini mengalami

peningkatan lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus

II ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan hasil belajar siswa dalam mempelajari

materi pelajaran yang telah diterapkan selama ini.

Tabel 4.6 Ketuntasan Hasil Belajar Siklus II

38
No Ketuntasan Jumlah Persen
1 Tuntas 29 85.29%
2 tidak tuntas 5 14.71%
34

Tabel di atas menunjukkan sebanyak 29 orang atau sebesar 85.29% siswa

kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat yang tuntas sedangkan sisanya sebanyak 5

orang atau sebesar 14.71% belum tuntas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

gambar grafik di bawah ini:

Gambar 4.2

C. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukan berhasil, dimana keberhasilan ini menyatakan

bahwa permasalahan yang ada dalam pembelajaran Matematika bagi siswa kelas

X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat sudah teratasi, yaitu dengan Model TSTS yang

dapat meningkatkan ketuntasan siswa.

39
Penggunaan metode kooperatif TSTS dalam pembelajaran Matematika

pada siswa kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat telah memberikan peningkatan

yang positif pada perolehan nilai proses hasil belajar siswa pada setiap siklus.

Untuk lebih jelasnya peneliti gambarkan pada tabel berikut.

Tabel 4.7 Perkembangan Hasil Belajar Matematika Siswa

Ketuntasan
Proses Pembelajaran Nilai Rata-Rata
Jumlah Persen
Siklus I 74.65 23 67.65%
Siklus II 78.09 29 85.29%

Berdasarkan tabel di atas terlihat perkembangan hasil belajar siswa,

dimana pada siklus I nilai rata – rata sebesar 74.65 dengan jumlah ketuntasan

siswa sebanyak 23 orang atau sebesar 67.65% dan kembali mengalami

peningkatan pada siklus II dengan nilai rata – rata menjadi 78.09 dimana siswa

tuntas sebanyak 29 siswa dengan persentase 85.29%.

Gambar 3
Perkembangan Hasil Belajar Matematika

40
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan

bahwa melalui pembelajaran Kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada

kelas X.1 SMA Negeri 2 Babat Supat telah meningkatkan hasil belajar siswa

ditandai dengan meningkatnya perkembangan hasil belajar siswa, dimana

pada siklus I nilai rata – rata sebesar 74.65 dengan jumlah ketuntasan siswa

sebanyak 23 orang atau sebesar 67.65% dan kembali mengalami peningkatan

pada siklus II dengan nilai rata – rata menjadi 78.09 dimana siswa tuntas

sebanyak 29 siswa dengan persentase 85.29%.

B. Saran

41
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian diatas maka penulis menyarankan

agar :

1. Guru Matematika pada umumnya dapat menjadikan Kooperatif Two

Stay Two Stray (TSTS) sebagai alternatif bagi guru dalam usaha

meningkatkan hasil belajar Matematika.


2. Guru diharapkan dapat memberikan penghargaan terhadap hasil kerja

siswa baik secara individual maupun kelompok, sehingga dapat

meningkatkan motivasi dalam pembelajaran.


3. Penelitian tindakan kelas yang penulis lakukan supaya dapat juga

dikembangkan pada materi pelajaran lain, dan kelas pada sekolah yang

berbeda.

42

Anda mungkin juga menyukai