Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama hidup dan menghidupkan, karena Islam meng-

upgrade atau meningkatkan taraf kehidupan manusia yang hidup. Islam juga

merupakan agama da’wah, da’wah lisan, da’wah tulisan, da’wah lukisan, dan

da’wah ihsan.1

Sebagai agama da’wah,2 yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallahu

alaihi wasallam merupakan episode terakhir dari mata rantai da’wah yang

panjang. Da’wah yang terurai sepanjang sejarah kemanusiaan ini memiliki satu

tujuan yang sama, yaitu memperkenalkan kepada manusia siapa Tuhan mereka

yang sesungguhnya, menghambakan mereka kepada-Nya semata, sekaligus

membinasakan tuhan-tuhan palsu yang memperbudak mereka.3

Da’wah kepada Allah adalah mengajak manusia untuk ta’at kepada Allah

(mengerjakan perintah dan meninggalkan laranyan-Nya). Da’wah memerintahkan

kepada semua kebaikan dan melarang dari semua kejelekan.

Allah Subhana wata’ala berfirman:

   


 
“Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga.” (Al-Baqarah:

221). Maksudnya adalah: mengajak, memanggil, dan memerintah.

11
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang
Paradigma dan Sistem Islam, Jakarta: Gema Insani, 2004, hal. 179
2
Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Yayasan Capita Selecta dan Media
Da’wah, 2008, hal. 1
3
Sayyid Quthb, Petunjuk Jalan, terjm. Abdul Hayyie dkk, Jakarta: Gema Insani Press,
Cet. I, 2001, hlm. 50

1
Pengertian da’wah dari ayat di atas adalah mengajak untuk taat kepada

perintah Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan meninggalkan

larangan Allah baik perkataan maupun perbuatan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Da’wah adalah mengajak

mengimani Allah, mengimani ajaran yang telah dibawa oleh rasul-Nya dan

menaati perintah mereka. Inilah yang dimaksud da’wah ilallah (kepada Allah).4

Hakikat manusia dalam persefektif Islam adalah beramal shaleh yang dilandasi

dengan iman. Salah satu amal shaleh yang dilakukan oleh manusia adalah

berda’wah. Tidak mungkin terjadi aktivitas dan gerakan da’wah di muka bumi

manakala tidak ada manusia yang melakukannya. Manusia menjadi unsur utama

dalam kegiatan da’wah itu sendiri. Pelaku da’wah dalam keilmuan da’wah dikenal

dengan istilah da’i.5 bentuk pluralnya adalah du’ât. Tugas da’i merupakan tugas

para Rasul, oleh karena itu para Rasul adalah panutan seluruh da’i.6 Para pembawa

da’wah adalah “Waratsatul Anbiyâ’”, yaitu ahli waris para Nabi dan Rasul. Yang

diwarisinya adalah kewajiban da’wah itu sendiri, termasuk di dalamnya rintangan

dan halangan.7

Umat Islam adalah umat da’wah dan risalah. Bukan umat yang pasif

berpaku tangan, memonopoli kebenaran, kebajikan, dan petunjuk hanya untuk

dirinya, dan tidak menyebarkannya kepada orang lain. Justru da’wah adalah suatu

kewajiban baginya. Begitu pula amar ma’ruf nahi munkar yang disertai dengan

keistimewaannya yang membuatnya unggul di atas umat lainnya.

4
Fawaz bin Hulail As-Suhaimi, Pokok-Pokok Dakwah Manhaj Salaf, Jakarta: Griya
Ilmu, 2011, hlm. 42,43
5
Abdul Basit, Filsafat Dakwah, Depok: PT Rajagrafindo Persada, Cet. I, 2013, hlm. 96
6
Sa’id Al Qahthani, Muqawwimât Ad Dâ’iyah, An Nâjih fi Dhau’ al Kitâb wa As
Sunnah, Mafhûm wa Nazhar wa Tathbîq, terj. Aidil Novia, Jakarta: Qisthi Press, 2005, hal. 84
7
Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, hal. 299

2
Firman Allah Ta’ala,

   


 
 
  
 
“ kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang

ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali- Imran

:110).
Menurut ukuran Allah, ia mengungguli umat yang lain bukanlah karena

unsur material atau rasial. Bagaimana itu terjadi, sedangkan ia sendiri terdiri dari

berbagai unsur dan ras, Arab maupun non Arab. Ia unggul karena menurut tolak

ukur kebenarannya, yaitu karena melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar, dan

beriman kepada Allah.8

Adapun Islam dalam pengertiannya yang esensial adalah sebuah sikap hidup

yang berpihak kepada kebenaran dan keluhuran budi pekerti (akhlak al-karimah).

Sebagai pengusung kebenaran dan nilai-nilai universal, Islam dengan sendirinya

berwatak inklusif dan terbuka, serta diharapkan menjadi milik semua komunitas

umat manusia di muka bumi. Inilah salah satu makna dari universalisme Islam

yang ternyata tak hanya bersifat keluar (eksternal), tetapi juga ke dalam (internal).

Dalam Al-Qur’an misalnya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam disuruh

menyampaikan bahwa ia bukan Rasul yang terpisah dari Rasul-Rasul lainnya.

Juga disebutkan bahwa tugas Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam adalah

meneruskan risalah-risalah langit sebelumnya. Pada mulanya, inti semua agama

langit adalah sama, yakni mengajarkan sikap pasrah kepada sang Maha Pencipta.

Karena itu, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa agama nabi-nabi sebelum

8
Yusuf Al Qardhawi, Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam, trj. Robbani Press:
Jakarta. hlm. 158-159

3
Muhammad, semuanya adalah Islam. hal ini terpenting yang mendasari konsep

universalisme Islam adalah pengakuan tentang keesaan Tuhan dan kesatuan ajaran

para Rasulnya.9

Konsep mendasar ajaran da’wah pada dasarnya tunggal, yakni mengajak

manusia untuk bersama menuju ke jalan Tuhan. Doktrin Fundamental da’wah ini,

secara teoritikan, diakui oleh seluruh umat Islam sebagai konsensus dan

pengetahuan umum (common sense) yang tak perlu dipertanyakan lagi. Namun

demikian, secara praktikal. Pengetahuan umum ini dalam sejarah mengalami

proses pemahaman dan kontekstualisasi. Dalam bentuknya yang aktual, seperti

juga yang pernah terjadi pada bidang lain pengetahuan Islam.

Tugas terbesar umat Islam ialah memimpin dunia, mengajar seluruh

kemanusiaan kepada sistem Islam, membimbing kepada cara hidup Islam, kepada

ajaran yang baik, karena tanpa Islam manusia tidak mungkin mendapatkan

bahagia.

Da’wah bertujuan untuk mengubah kehidupan masyarakat yang destruktif

kepada kehidupan yang Islami. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada suatu hal

yang menjadi problem utama dalam proses da’wah, yakni kurangnya kepedulian

dan empati yang mendalam manakala tugas da’wah ini sudah seharusnya

dilaksanakan. Mengenai hal ini, Mohammad Natsir menyebutkan bahwa satu

masyarakat tidak akan selamat apabila di antara mereka cenderung bungkam dan

bersikap masa bodoh tatkala melihat kemunkaran terjadi dimana-mana, padahal

tiap-tiap kemunkaran akan melahirkan kemunkaran yang lainnya.10

9
A. Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam, Kencana: Jakarta, 2011, hlm. 15-16
10
Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, hal. 110

4
Dengan demikian, da’wah tidak hanya sekadar memperbaiki diri sendiri,

namun seorang da’i harus memiliki rasa tanggung jawab untuk mengajak orang

lain dalam rangka menjadi manusia yang lebih baik sesuai perspektif Al Qur’an

dan As Sunnah. Sayyid Quthb mengemukakan bahwasanya Al Qur’an adalah

kitab da’wah, yang memiliki ruh pembangkit, yang berfungsi sebagai penguat,

yang menjadi tempat untuk berpijak, yang berperan sebagai penjaga, penerang,

dan penjelas. Al Qur’an akan tetap menjadi naungan bagi manusia.11

Meningkatkan wawasan keislaman termasuk bagian dari da’wah, karena da’wah

sejatinya merupakan usaha menyebarkan khazanah keilmuan Islam, baik yang

berkaitan dengan aspek aqidah, syari’ah, maupun akhlaq. Wawasan keislaman

itulah yang harus disebarkan oleh para da’i kepada seluruh manusia, karena Islam

itu rahmatan lil ‘âlamîn, rahmat bagi seluruh alam.

Menyebarkan atau meningkatkan wawasan keislaman bukanlah pekerjaan

yang mudah, karena setiap bentuk da’wah harus diimplementasikan secara

terencana dan terarah. Untuk mencapai tujuan yang sempurna dalam upaya

peningkatan wawasan keislaman, seorang da’i harus memiliki pemahaman

tentang pilar-pilar da’wah Islam. Mohammad Natsir, seorang ulama’ dan

negarawan, menyebutkan pilar-pilar da’wah dalam usaha membangun dan

mengembangkan kehidupan masyarakat yang Islami. Pilar-pilar tersebut adalah

masjid, kampus, dan pesantren.12

Satu nama yang menjadi perhatian penulis adalah masjid. Karena masjid

memiliki fungsi dan peran yang sangat urgen bagi masyarakat. Fungsi masjid bagi

11
Sayyid Quthb, Fiqih Da’wah, terj. Suwardi Effendi dan Ah. Rosyid Asyofi, Jakarta:
Pustaka Amani, 1986, hlm. 1
12
M. Natsir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan
Nostalgia,
Jakarta: Media Da’wah, 1987, Cet. I, hal. 9

5
masyarakat dapat diumpamakan seperti fungsi jantung bagi tubuh manusia.13

Masjid dalam kehidupan sosial mempunyai kedudukan yang sangat sentral,

menjadi tumpuan, dan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat. Masjid sudah

menjadi semacam community centre, pusat kegiatan masyarakat, mulai dari

merayakan hari-hari besar Islam, pernikahan, tempat ibadah, menshalatkan

jenazah, pesta menyambut bulan suci ramadhan, sampai hari raya Idul Fitri dan

Idul Adha.14

Oleh karena itu, agar masjid terus memperlihatkan peranan tersebut, maka

masjid harus tumbuh dan berkembang secara makmur sebagai wadah peningkatan

wawasan keislaman bagi masyarakat. Masjid yang makmur adalah masjid yang

berhasil tumbuh menjadi sentral dinamika umat. Sehingga masjid benar-benar

berfungsi sebagai tempat ibadah dan da’wah dalam arti luas.15

Upaya menghidupkan masjid sebagai pilar da’wah Islam dan wadah

peningkatan wawasan keislaman sudah termaktub dalam Al Qur’an berikut ini,

   


  
 
  
   
    
  


“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang

beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,

13
Ahmad Sarwono, Masjid Jantung Masyarakat, Yogyakarta: Mizan Pustaka, 2003,
hal. 9
14
Natsir Zubaidi et. al., Mendesain Masjid Masa Depan, Jakarta: Pustaka Insani
Indonesia, 2006, hal. 1
15
Mohammad Ayyub, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani, 1996, hal. 72

6
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka

merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang

mendapat petunjuk.” (QS. At Taubah : 18)

Kewajiban tersebut tidak terbantahkan lagi. Tentunya kewajiban tersebut


sejajar dengan kewajiban menegakkan shalat dan fardhu Islam lainnya. Sebab,
tidak mungkin shalat akan tegak, jika masjid sebagai sarana dan medianya tidak
ditegakkan (dimakmurkan).16
Masjid merupakan pesantren bagi masyarakat. Di masjidlah masyarakat
dapat mencari dan menambah pemahaman Islam melalui kajian-kajian, diskusi
ilmiah, daurah, tabligh akbar, kuliah, khutbah, dan kegiatan peningkatan wawasan
keislaman lainnya. Tanpa masjid, masyarakat sulit mendapatkan ilmu-ilmu Islam,
karena masjid memiliki kedudukan yang sangat vital dan penting bagi
masyarakat, penting dalam upaya membentuk pribadi yang Islami. Untuk
merasakan urgensi yang penting itulah, masjid harus benar-benar difungsikan
dengan sebaik-baiknya dalam arti harus difungsikan secara komprehensif. Masjid
yang berfungsi secara komprehensif harus dilandasi dengan taqwa. 17 Hal itu
selaras dengan firman Allah berikut ini:
    
  
   
     
  
   
 
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya.

Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa, sejak hari pertama

adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang

yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-

16
Mustofa Budiman, Panduan Manajemen Masjid, Surabaya: Ziyad Books, 2007, hal.
31
17
Ahmad Yani, Panduan Memakmurkan Masjid, Jakarta: Gema Insani Press, 2009,
hal.

7
orang yang bersih.” (QS. At Taubah : 108)

Masjid merupakan sumber ilmu dan telah digunakan sebagai tempat untuk

menimba dan meningkatkan wawasan keislaman sejak berabad-abad dahulu.

Bahkan hingga saat ini, kegiatan pendidikan dan peningkatan wawasan keislaman

di masjid-masjid masih terus berjalan. Masjid disebut sebagai sentral ilmu

pengetahuan Islam karena masjid merupakan pusat pendidikan dan pengajaran.

Ilmu-ilmu tersebut disampaikan melalui Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA),

kajian-kajian, ceramah, khutbah, kuliah, dan sebagainya.

Pada zaman Rasulullah, masjid secara garis besar mempunyai dua aspek

kegiatan da’wah; yaitu sebagai pusat ibadah (shalat) dan sebagai tempat

pembinaan umat dari segi pendidikan, sosial, kesehatan, dan yang lainnya.18

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam memberikan pemahaman Islam kepada

para sahabat melalui majlis ilmu yang biasa dilakukan di Masjid Nabawi. Dari

usaha da’wah tersebut terbentuklah jiwa-jiwa bertaqwa dan para mujahid yang

rela mengorbankan jiwa dan harta untuk membela Allah Subhânahu wa Ta’âlâ

dan Rasul-Nya,19 sehingga terlahirlah generasi yang menegakkan risalah dan

melanjutkan misi da’wah Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam.20

Di Indonesia, perkembangan Masjid cukup signifikan. Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama memiliki perhatian

serius terhadap data jumlah masjid dan mushala di tanah air. Melalui Subdit

18
Ibid., hal. 10-11
19
Sayyid Muhammad Nuh, Membangun Kader Militan, Jakarta: Al-‘Itishom, 2006,
Cet. I, hal. 106-109
20
Sayyid Muhammad Nuh, Strategi Da’wah dan Pendidikan Umat, Yogyakarta:
Himmam Prisma Media, 2004, Cet. 1, hal. 58

8
Kemasjidan, sejak tahun 2014 Bimas Islam telah mendata jumlah masjid dan

mushalla di seluruh Indonesia melalui aplikasi Sistem Informasi Masjid

(SIMAS).

Kepala Subdit Kemasjidan Ditjen Bimas Islam Abdul Syukur mengatakan, sampai

dengan 23 November 2018, jumlah masjid dan mushalla yang sudah terdata pada

aplikasi SIMAS mencapai 511.899 unit. "Jumlah tersebut terdiri dari 242.823 unit

masjid dan 269.076 unit mushalla," ujarnya21

Jumlah tersebut tentu saja harus seimbang dengan kualitas kegiatan

da’wah yang ada di dalamnya. Menurut fakta empiris mengenai perkembangan

masjid dewasa ini, bisa diasumsikan bahwa masih banyak masjid-masjid yang

kurang makmur, terutama masjid-masjid di daerah pedalaman dan pedesaan. Hal

itu karena fungsi dan peranan masjid masih dipahami secara sempit oleh

masyarakat.

Berdasarkan fakta mengenai efektifitas da’wah dalam menyebarkan

dan meningkatkan wawasan keislaman, maka Masjid Al-Fajar Perum Delta

Pekayon berusaha memaksimalkan perannya dalam meningkatkan wawasan

keislaman para jama’ahnya melalui program da’wah serta memadukannya dengan

metode komunikasi yang tepat, salah satu program dakwah yang sudah

berlangsung cukup lama dilaksanakan oleh DKM Masjid Al-Fajar yaitu kajian

subuh setiap hari Ahad yang dibawakan oleh KH. Dr. Jeje Jaenudin, MA, beliau

adalah salah seorang da’i Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang cukup

aktif dalam kegiatan da’wah di masyarakat dan aktif juga dalam menulis sebuah

21 Sigit, “Data Masjid-Mushalla yang Diinput SIMAS Kemenag sudah lebih 500ribu”,

https://bimasislam.kemenag.go.id, 25-08-2019, 08.50

9
karya tulis ilmiyah. Dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua umum PP Persis.

Masjid Al-Fajar terletak di Jl. l. Delta Raya Blk. A No.87, Pekayon

Jaya, Kec. Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat 17148 Letaknya yang berada

tepat di tengah-tengah perumahan menjadikan Masjid Al-Fajar mudah diakses

dari berbagai penjuru oleh warga setempat maupun masyarakat luar komplek

tersebut.

Masjid yang berdiri pada tahun 1996 yang Letaknya di perum delta

pekayon ini, merupakan salah satu masjid yang masyarakatnya cukup terbuka

dalam hal perbedaan madzhab fiqih ditengah gencarnya sikap panatik para

anggota setiap ormas, namun menurut hasil observasi penulis dari beberapa

kegiatan pengajian yang ada di masjid tersebut kajian yang dibawakan oleh KH.

Dr. Jeje Jaenudin, MA merupakan kajian yang sudah berjalan cukup lama dan

jama’ahnya pun yang paling banyak. Masjid Al-Fajar Perum Delta Pekayon juga

terbuka untuk masyarakat umum guna menyediakan porsi Da’wah yang lebih

banyak dan penerima manfaatnya lebih luas.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk meneliti sejauh

mana hubungan da’wah dan respon jamaah yang di da’wahinya, untuk itu penulis

mencoba untuk mendeskripsikan dalam sebuah karya tulis berupa skripsi dengan

judul;

Respon jamaah masjid Al-Furqon Dewan Da’wah Islamiyah

Indonesia Terhadap materi da’wah kultum ba’da duhur . Sejauh penelusuran

penulis, baik melalui studi kepustakaan maupun wawancara dengan para informan

terkait, belum ada mahasiswa yang melakukan penelitian ilmiah dengan

mengangkat tema di atas.

10
B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan sebuah penelitian

dengan mengambil aspek dan tema, Respon jamaah Masjid Al-Fajar Perum Delta

Pekayon Bekasi Terhadap materi da’wah KH. Dr. Jeje Zaenudin MA.

C. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti ada tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, maka

dalam penelitian tujuan ini adalah untuk mengetahui Respon jamaah masjid Al-

Furqon Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Terhadap materi da’wah kultum

ba’da duhur

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang penulis teliti adalah:

1. Secara Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

pengetahuan ilmiah di bidang dakwah islamiyah.

b. Penelitian ini berguna untuk memperdalam teori-teori

komunikasi serta menambah wawasan penulis dalam berdakwah.

c. Untuk memenuhi sebagian syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

Strata satu (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir,

Prodi Komunikasi Penyiaran Islam

2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini juga di harapkan memberi wawasan bagi

teoritis, praktis aktivis dakwah termasuk juga para Mahasiswa

STID Mohammad Natsir.

b. Penelitian ini dapat di pergunakan untuk mengetahui gambaran

kondisi objek dakwah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu

11
bahan pemikiran dalam perencanaan strategi dan pengembangan

dakwah.

c. Untuk mengetahui kegiatan da’wah yang dilakukan oleh KH. Dr.

Jeje Zaenudin, MA di Masjid Al-Fajar Perum Delta Pekayon

d. Penelitian ini juga digunakan untuk Memberikan informasi kepada

KH. Dr. Jeje Zaenudin, MA tentang Respon Jamaah masjid Al-Fajar

terhadap materi da’wahnya yang di jalankan selama ini, dan menjadi

bahan evaluasi kegiatan kedepannya.

3. Secara sosial
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masjid Al-Fajar

untuk dijadikan acuan pengembangan dakwah.

b. Hasil penelitian ini diharapkan supaya dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan tentang dakwah khususnya tentang

da’wah yang dijalankan oleh KH. Dr. Jeje Zaenudin, MA selaku juru

dakwah.

E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif yang

merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian yang lebih di tekankan pada

fenomena-fenomena objektif dan dikaji secara kuantitatif. Maksimalisasi

objektivitas desain penelitian ini dilakukan dengan menggunakan angka-angka,

pengolahan statistic dan struktur percobaan terkontrol. 22

Pendekatan kuantitatif yang merupakan salah satu jenis kegiatan penelitian

22
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode penelitian pendidikan, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya , 2010, hal 53.

12
yang spesifikasinya adalah sistematis,terencana dan terstruktur dengan jelas sejak

awal hingga pembuatan desain penelitian baik tentang tujuan penelitian,sampel

data, sumber data maupun metodologinya.23

Pendekatan penelitian ini berlandaskan pada populasi atau sampel tertentu,

teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,

pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat

kuantitatif atau statistic dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan dengan model keputusan yang menggunakan angka.24

F. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan gejala atau satuan yang ingin

diteliti,sementara itu sampel merupakan bagian dari populasi yang akan

diteliti.25 Populasi dapat berupa organisme, orang atau sekelompok orang,

masyarakat, benda, peristiwa. 26 Maka jumlah populasi yang diambil dari

penelitian ini adalah seluruh masyarakat Desa Nisakarang Yang beragama

islam.

G. Tekhnik Pengambilan Sampel

Setelah menentukan populasi maka langkah selanjutnya adalah

menentukan sampel. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

yang dimiliki populasi tersebut. 27Adapun tekhnik pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah dengan menggunakan tekhnik purpsive sampling.


23
Puguh Suharsono, Metode Penelitian kuantitatif untuk bisnis pendekatan filosofi dan
praktis, indeks: Jakarta, 2009, hal. 3
24
Dr. Sugiyono, Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta,2010, hal 14
25
Priyono, metode penelitian kuantitatif, Sidoarjo : Zifatama Publishing, 2016, hal. 104
26
Ulber silasahi, Metode penelitian Sosial, Bandung: PT. Rofika Aditama, 2012 , hal.
253
27
Dwi priyatno,Mandiri Belajar SPSS Yogyakarta: Mediakom, 2009 , hal. 9

13
Tekhni ini digunakan dengan menentukan kriteria khusus terhadap sampel
28
terutama orang-orang yang dianggap ahli. dengan kata lain tekhnik ini

lebih mengutamakan tujuan penelitian daripada sifat populasi dalam

menentukan sampel penelitian.

Untuk mengetahui jumlah sampel yang digunakan maka peneliti

menggunakan rumus slovin dengan sampeling eror 10 %. Karena dalam

rumus slovin untuk mencapai keakuratan data maka pengambilan sampel

dari sebuah penelitian batas sampeling erornya adlah 1-10 %.

H. Tekhnik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan angket atau kuisioner yang merupakan suatu tekhnik

atau cara pengumpulan data secara tidak langsung ( peneliti tidak langsung

Tanya-jawab dengan responden) instrument atau alat pengumpulan datanya

juga disebut angket berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang harus
29
dijawab atau direspon oleh responden. jenis kuisioner yang dapat

digunakan dalam proses pengumpulan data adalah kuisioner tertutup

sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada responden sudah

dalam bentuk pilihan ganda jadi responden tidak diberikan kesempatan

untuk mengeluarkan pendapat. 30 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

angket tertutup dimana responden telah diberikan alternative jawaban oleh

periset dan responden tinggal memilih jawaban yang menurutnya sesuai

28
Ibid, hal. 118
29
Priyono, Metode Penelitian Kuantitatif, hal. 219
30
Shofian siregar, Metode Penelitian kuantitatif , Jakarta: Kencana, 2013, hal. 21.

14
dengan realitas yang dialaminya. 31 Kemudian data tersebut akan dianalisis

dengan menggunakan skala guttman.

I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari lima Bab.

Bab Pertama berisikan tentang Pendahuluan yang meliputi latar

belakang masalah perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

sistematika penulisan.

Bab Kedua terdiri dari Landasan Teori, Penelitian terdahulu, kerangka

pemikiran dan hipotesis

Bab Ketiga Metodologi Penelitian, mencakup pendekatan penelitian,

populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan data, objek dan subjek

penelitian, teknik analisis data dan keterbatasan penelitian.

Bab Keempat terdiri dari Analisis Dan Pembahasan Berisi tentang

gambaran objek penelitian, hasil analisis penelitian, pembahasan,

Bab kelima kesimpulan dan saran.

31
Rachmat Kriyanton , Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Predana
Group, 2009,hal. 96

15

Anda mungkin juga menyukai