Anda di halaman 1dari 7

Banyak orang bilang menjadi kaya adalah hal yang menakjubkan.

Kau bisa mendapatkan apa


saja yang kau inginkan dengan cepat dan orang-orang akan menghormatimu. Kau akan
mendapatkan kebahagiaan dengan menjadi kaya.

Tapi kenapa Evans tidak merasakannya?

Ayahnya, Daniel Alvaro, adalah seorang pengusaha sukses yang perusahaannya sudah tersebar di
berbagai negara. sedangkan ibunya, Ema Yulsara, adalah designer ternama. Kebutuhannya
terpenuhi, tapi Evans tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sering disebutkan banyak orang.

>>><<<

"Evans pagi!" seorang gadis dengan rambut hitam pendek menyapa Evans, "Pagi, lo udah
ngerjain tugas kimia?"

"Emang ada tugas?!" tanya Alana kaget, "gue cuma ingat kalau ada tugas bahasa inggris."
sambung Alana

Evans mengangguk, "Tugasnya dadakan sih, Tanya baru share kemarin jam dua pagi. Kerjain aja
kalo udah di kelas, nanti gue bantuin."

Alana langsung memeluk Evans, "Fellas! Gue utang nyawa sama lo!" Evans tertawa, "Kalau
begitu nanti beliin gue bakso pas pulang sekolah, deal?"

"Deal!"

Di sekolah—tepatnya di kelas Evans—sudah banyak siswa yang datang. Tidak seperti biasa,
kelasnya tampak sepi. Padahal biasanya ramai sampai ditegur oleh kepala sekolah yang sering
mengecek keadaan kelas saat pagi.

"Tanya ngeselin anjir, itu kenapa tugas dikasihnya pas jam dua?!" gerutu Devan, ketua kelas
Evans, cowok ini masih repot dengan tugasnya tapi masih sempat merutuki temannya.

Alana menarik-nari lengan baju Evans, "Ayo bantuin gue, Bu Tara nggak bakal kasih kompensasi
kalo ada yang nggak ngerjain tugasnya." Evans mengangguk lalu membantu Alana dalam
mengerjakan tugasnya. beberapa temannya yang sadar juga langsung meminta bantuan Evans.

Tepat sebelum bel masuk berbunyi, mereka selesai. Alana menghela nafas lalu menyembunyikan
wajahnya di meja. "Capek. Pusing. Lapar." gumamnya pelan

Evans hanya tersenyum mendengar gumaman Alana, "Tapi lo udah ngerjain tugasnya kan?" yang
ditanyai mengangguk singkat, "lo tidur jam berapa kemaren?"

Evans diam sebentar, "Sebelas. kemaren gue sempet kebangun soalnya laper," jelasnya, Alana
mengangguk, "Bu Tara udah dateng. sana balik ke meja lo."
Alana menurut, dia langsung pindah ke bangkunya yang ada di depan bangku Evans. "Kalo ada
masalah cerita aja oke? Gue bakal bantu." katanya, Evans hanya tersenyum.

888

Saat istirahat, Evans dan Alana berjalan menuju kantin. "Mau makan apaan?" tanya Evans saat
sudah mendapatkan tempat duduk, "Siomay aja. sama es jeruk." jawab Alana, Evans
mengangguk lalu pergi membeli makanan.

Beberapa menit kemudian Evans kembali dengan makanan mereka. "Oh, itu bukannya Kak
Laskar?" tanya Alana, Evans mengikuti arah pandang Alana dan melihat kakak kelasnya berdiri
di pintu masuk kantin. Dia tampak menonjol dengan tubuh tingginya.

“Kak Laskar kayak anak ilang, nggak mau disamperin?" Evans mengernyit, "Buat apa?" katanya
tidak peduli, dia kembali menikmati makanannya. Alana hanya tersenyum melihat respon Evans.
padahal pacarnya sendiri.

iya, Laskar sama Evans sudah pacaran. hampir satu tahun. Tapi yang tahu cuma Alana.

Laskar menangkap sosok Alana yang melambai padanya. Dia juga melihat pacarnya yang sedang
makan tanpa peduli sekitar. Cowok ini langsung menghampiri keduanya dan duduk di sebelah
Evans. "Minta dikit Van, laper gue. " katanya

"Beli sendiri." balas Evans jutek, Laskar tertawa. "Galaknya pacar gue." komentarnya lalu
mencubit pipi Evans

"Tumben Kak Arif nggak bareng, ada urusan OSIS?" tanya Alana, Laskar mengangguk,
"Sebentar lagi kan ulang tahun sekolah, jadi OSIS harus siap-siap juga."

"Terus kakak sebagai ketua osis nggak ikut siap-siap?" sindir Evans, "Gue udah nyiapin
semuanya, tinggal mereka jalanin aja. Gue kan bertanggung jawab, Vanvan."

Setelah mengatakan itu, punggungnya dipukul keras oleh Evans. Wajahnya memerah sedikit, "A-
apasih manggil begituan! Gue balik duluan." katanya lalu pergi, Laskar tersenyum melihatnya.
Dia melihat Alana, "Lucu banget kan pacar gue?! Tingkahnya gemesin banget sih, makin sayang
kan jadinya."

Alana tertawa melihat tingkah bucin kakak kelasnya, "Yaudah, gue balik duluan ya kak." Laskar
mengangguk, "Jagain pacar gue!" Alana memberi jempol

Alana menyusul Evans ke kelas. Evans tampak sedang sibuk dengan tugasnya, padahal
tangannya gemetar begitu. Wajahnya juga merah, "Aduh Vanvan, kalau kak Laskar tau lo kayak
gini, dia pasti bakal fanboy-an."

"Jangan bilang!" kata Evans, "Sama jangan panggil gue Vanvan!"


"Gue gak janji." balas Alana sambil mengedipkan sebelah mata

"Alana!"

888

Bel pulang sekolah berbunyi, Evans dan Alana bersiap untuk pulang.

"Van, ayo, keburu habis nanti baksonya mang jojo." ajak Alana, Evans mengangguk dan
mengikutinya. Namun, ponselnya bergetar. Dia mengambil ponselnya.

Mama

Answer Decline

"Nyokap gue telpon, bentar." Alana mengangguk kemudian duduk di meja di dekatnya.

"Halo?"

"Pulang sekarang."

Kemudian sambungannya terputus. Evans diam kemudian menatap Alana yang balik
menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Dia menghela nafas, "Sori gue nggak bisa hari ini.
ada—ada hal—" Evans diam sebentar, "gue harus nyuci baju. byebye, Lan." Evans langsung lari
pulang.

Sesampainya di rumah, dia melihat ibunya duduk di sofa. Belum sempat mengucapkan salam,
Ema sudah menyela. “kau—kau pikir untuk apa aku menyekolahkanmu?!” bentaknya, dia
menjambak rambut gadis di depannya keras, sampai Evans meringis, “Aku memberi semua yang
kau butuhkan tapi kau tidak bisa memberi apa yang kuinginkan!”

Evans berteriak saat jambakan Ema sEmakin menguat, “Ma, maafin Evans! Evans bakal
menuhin keinginan mama—“

“Aku bukan ibumu!” pekik Ema lalu melempar Evans ke samping, tubuh gadis itu menabrak
dinding dengan keras. Evans terbatuk, “Aku bukan ibumu jadi jangan panggil dengan sebutan
itu!” katanya tajam, Evans hanya bisa mengangguk pelan. Tubuhnya terasa sakit setelah
menabrak dinding.

Ema berjongkok di depan Evans, “Kau harus mendapatkan peringkat pertama pada ujian
berikutnya,” dia mengangkat dagu Evans, “Buat dirimu berguna di rumah ini.” Katanya lalu
pergi
Evans bangun perlahan, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di punggungnya. Ema sudah
pergi, mungkin pergi mengurus butiknya atau bahkan menghadiri fashion show di luar negeri.
Evans lalu berjalan menuju kamarnya lalu merebahkan diri. “capek.” Gumamnya pelan, dia
mengeluarkan ponselnya dan mengirimi Alana pesan. Setelah itu, tanpa mengganti bajunya,
Evans menyibukkan diri dengan buku pelajarannya.
888
Evans terbangun secara tiba-tiba. Dia melihat jam yang menunjukkan pukul dua malam. Evans
mengusap wajahnya, dia ketiduran lagi. Dia terdiam selama beberapa menit kemudian beranjak
untuk mandi. Setelah itu, Evans turun ke bawah untuk makan. Dia memutuskan untuk membuat
roti isi dan membawanya ke kamar dengan segelas air.
Di kamar, Evans memikirkan kata-kata Ema. Dirinya tahu kalau Ema tidak menyukai
keberadaannya di rumah ini. Bohong kalau dia tidak tahu. Wanita itu bahkan tidak mau repot-
repot berbagi ruangan dengannya. Menerima perlakuan seperti itu selama tujuh belas tahun
membuat Evans cukup kebal dengannya. Evans sudah melakukan berbagai cara agar Ema
melihat dirinya, tapi tetap saja—
“Setidaknya tolong lihat aku sebentar saja.”
Lamunannya buyar saat ponselnya bergetar, ada telepon masuk. Evans mengangkatnya, “Halo?”
“Lo belum tidur!?”
Evans menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa penelponnya, Laskar. Evans mendekatkan
ponselnya lagi, “Kak kalo lo cuma mau buang-buang waktu gue tutup—“
“Nggak, bentar tunggu dulu!” jeda, “gue—gue mau bilang kangen—“
Sambungan dimatikan, sudah cukup. Evans menutup wajahnya dengan kedua tangannya, “Ah,
kak Laskar sialan.” gumamnya
Ponselnya bergetar lagi, Laskar menelpon lagi. Evans mengangkatnya lagi, “Yaelah neng,
jangan diputusin dong. Sayang kuota gue.”
“Yaudah jangan nelpon lagi, ngeselin—“
“Canda doang elah,” mereka diam, “lo lagi ngapain?”
“Lo udah kelas dua belas, serius dikit kek.”
“Gue serius Vanvan, gue cuma nyari waktu buat rileks.”
“J-jangan panggil gue Vanvan!” Laskar tertawa, “Yaudah lo buruan tidur, udah malem.”
Evans bergumam sebagai jawaban, dia meraih pensilnya dan mulai mengerjakan soal lagi.
Ponselnya diletakkan di sebelahnya, tanpa mengetahui kalau sambungan teleponnya belum
terputus.
Di seberang, Laskar tahu kalau pacarnya itu masih belajar. Meski samar, tapi suara pensil yang
beradu dengan kertas itu terdengar. Dia tahu kalau Evans itu ambisius tapi dia juga tahu kalau
Evans tidak paham dengan dirinya sendiri. Dia tampak seperti orang yang memaksakan diri
untuk melakukan sesuatu yang tidak dia sukai.
"Semoga lo bisa nemuin hal yang lo cari, Vanvan."
Sambungan diputus.
888
Evans terbangun oleh suara alarm ponselnya. Dia ketiduran setelah menyelesaikan latihan soal di
bukunya. Setelah mematikan alarm, dia langsung mandi dan bersiap pergi ke sekolah. Saat
hendak turun, ponselnya bergetar. Alana meneleponnya.
"Halo? Lan, gue belom berangkat--"
"Van, coba buka website sekolah!"
Evans mengerjab, "Hah? Maksud lo apaan?"
"Duh buka aja!" suara Alana tampak panik, Evans mengaktifkan mode speaker kemudian
membuka website sekolahnya dari ponselnya.
"What the hell--" Evans terkejut melihat artikel yang dipublish oleh jurnalis sekolahnya. "Van?
Lo baik-baik aja?"
Di sana tertera foto cewek yang--jujur saja--sangat mirip dengannya masuk bersama seorang
cowok ke dalam sebuah hotel. Tidak hanya satu, tapi ada tiga foto.
"Lan, itu bukan gue," kata Evans pelan, ponselnya digenggam erat, "bukan gue." ulangnya
"Jelas bukan lo! Gue percaya sama lo!" balas Alana, "Gue udah tanya sama anak jurnalistik,
mereka bilang kalau itu bukan mereka yang buat."
"Gue bakal nyari tahu, lo jangan ke sekolah dulu. Sekolah terlalu toxic buat lo sekarang."
Sambungannya diputus sepihak. Evans diam, pikirannya mendadak kosong. Dia tidak bisa
memikirkan apapun. Evans duduk di kursi belajarnya, tubuhnya terasa berat. Seperti ada beban
berat yang tiba-tiba menjatuhinya.
Ponselnya bergetar lagi, kali ini bukan Alana, tapi ibunya. Tubuhnya kaku. Melihat namanya saja
sudah membuatnya mual dan keringat dingin. Tubuhnya bergetar, tidak, dia harus menjawabnya.
Ema akan bertambah marah jika dia mengabaikan teleponnya. Dengan perlahan, Evans
menggerakkan tangannya untuk menjawab panggilan itu.
"Terlalu takut untuk menjawab teleponku, eh, jalang kecil?"
Evans menelan ludah, sebelah tangannya meremas rok sekolahnya kuat, "Tidak menjawab?"
"M-maaf, aku--"
"Bagus kau masih bisa bicara, kupikir suaramu sudah habis kau gunakan dengan laki-laki itu."
Evans tidak bisa menjawab, lidahnya kelu. "Tiga hari lagi, Daniel dan aku akan pulang. Bersiap
saja untuk pergi, jalang."
Ponselnya terjatuh begitu saja. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Tangannya memukul-mukul
dadanya yang terasa sakit. Tolong siapapun, hentikan rasa sakitnya.
Evans menangis sampai tertidur. Saat dia bangun, matahari sudah bersiap untuk tidur. Dia
memandang pantulan dirinya di cermin, lalu tersenyum remeh. Wajahnya pucat, hidungnya
merah dan matanya bengkak karena terlalu lama menangis.
Dia kemudian mengambil ponselnya yang terjatuh. Ada banyak panggilan tidak terjawab dan
pesan yang masuk. Kebanyakan dari Alana yang mengiriminya informasi tentang artikelnya.
Sisanya dari kelas dan beberapa temannya.
Tidak ada kabar dari Laskar. Mungkin saja dia sibuk, kelas dua belas masih sibuk
mempersiapkan ujian. Tapi biasanya dia akan menyempatkan diri mengirimkan pesan sesibuk
apapun urusannya. Evans menggeleng, dia tidak tahu. Kepalanya berdenyut dan perutnya
berbunyi. Ah iya, dia belum makan seharian ini.
Evans keluar dari kamarnya dan menuju dapur. Tangannya meraih sisa roti semalam dan
memakannya. Setelah itu dia pergi membasuh tangan dan wajahnya di toilet. Sekali lagi, dia
melihat pantulan wajahnya yang menyedihkan.
Gue nggak bisa diem aja. Gue harus cari tahu siapa yang njebak gue. Gue nggak bisa
bergantung sama Alana.
Evans kembali ke kamarnya dan membuka laptopnya. Dia membuka website sekolahnya,
artikelnya di upload pukul dua lewat dua puluh tiga menit. Yang mengupload Isella Anastasia.
"Isella Anastasia? Dia ketua jurnalistik kan?"
Pikiran Evans terpercah saat mendengar pintu rumahnya diketuk. Dia bergegas turun untuk
membukakan pintu. "Vanvan!"
Evans terhuyung ke belakang saat menerima pelukan tamunya. Alana memeluknya erat seolah
dia mau meremukkan tubuhnya. Gadis itu melepas pelukannya, "Lo baik-baik aja kan?"
"Gue nggak. Tapi udah lebih baik dari tadi pagi," jawab Evans, "lo ngapain disini?"
"Gue mau mastiin lo baik-baik aja sekalian ngasih informasi. Pulsa gue abis." katanya lalu
masuk dan duduk di sofa, Evans mengikutinya setelah menutup pintu rumahnya. "Jadi, lo punya
informasi apa?"
"Foto di website itu pernah dikirim sama nomor nggak dikenal ke salah satu anggota jurnalistik.
Orang itu maksa mereka buat ngerilis berita tentang itu tapi ditolak soalnya sumbernya nggak
valid dan isinya nggak berguna. Ini screenshot chatnya," papar Alana dia menunjukkan buktinya,
"lo tau itu nomor siapa?"
Evans menggeleng, "Gue nggak punya banyak kontak, tapi gue nggak tau itu nomer siapa."
Alana mengangguk, "Setelah itu nggak ada kabar dan boom! Artikelnya muncul."
"Jalan buntu ya?" Evans menghela nafas, "Terus Isella gimana? Lo sempet nanyain dia?"
Alana mengangguk, "Dia bilang akunnya dipegang sama ketua jurnalistik yang baru, namanya
Gama. Akunnya udah diatur ulang dan waktu kita coba login pake username sama passwordnya
nggak bisa dibuka."
"Gama?"
"Dia masuk rumah sakit dari kemarin kena vertigo. Jadi nggak mungkin."
"Ada kemungkinan kalau anggota lain tahu username sama password akunnya?"
Alana menggeleng, "Gue pikir Gama nggak sebodoh itu buat nyebar hal sevital itu ke orang
lain."
Evans mengangguk. Benar juga, Gama tidak mungkin menyebar hal sevital itu. Kalau sampai
disebar, kredibilitasnya sebagai ketua juga akan hancur.
"Oh, soal akun, ada fun fact-nya." Kata Alana, "Admin website sekolah itu cuma anak
jurnalistik, kepala sekolah sama Pak Yusuf. Ketiga akun ini nggak bisa mengakses website
sekaligus." paparnya
"Makasih Lan, lo mau bantuin gue." Alana berkacak pinggang, "Mana mungkin gue ninggalin
temen gue. Tenang aja, kita pasti bakal nemuin dalangnya."
Evans tersenyum, dia beruntung punya Alana di sisinya. Kalau Laskar juga ada--oh ya, apa
Alana tahu soal Laskar?
"Ngomong-ngomong, rumah lo tetep sepi kayak biasa ya." komentar Alana, "Nggak ada foto
keluarga sama sekali, terus perabotnya dikit."
Evans tertawa gugup, tentu saja tidak ada. Mana mungkin Ema mau memasang foto mereka,
melihat dirinya saja sudah membuat mood wanita itu hancur.
"G-gue pernah cerita soal itu kan? Dulu gue sering pindah sekolah gara-gara kerjaan bokap.
Makanya kita nggak butuh banyak perabot."
"Sekalipun foto? Lo nggak takut tiba-tiba lupa wajah mereka?" tanya Alana, "Nggak mungkin
lah Lan, lo aneh-aneh aja. Gue sering vidcall sama mereka, jadi gue nggak bakal lupa."
bohongnya
Alana tertawa, "Iya juga ya, mana mungkin lo ngelupain wajah orang tua lo sendiri." dia melihat
jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. "Kalo gitu gue pulang dulu. Stay
strong oke? Gue pasti bakal bantu lo." Evans mengangguk
Selepas kepergian Alana, Evans kembali ke kamarnya dan melanjutkan pencariannya. Kalau
bukan Isella atau Gama, lalu siapa? Anggota jurnalistik yang lain? Nggak mungkin,

Anda mungkin juga menyukai