Anda di halaman 1dari 4

Bisnis Waralaba yang Makin Menjanjikan

Tanggal: 01 Sep 2006


Sumber: InfoBankNews.com

InfoBankNews.com, Menjamurnya bisnis waralaba membuka peluang usaha baru.


Menurut sebagian orang, usaha ini murah dan menguntungkan. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh mereka yang akan menekuni bisnis ini. Eny Ratnawati A.

BISNIS waralaba (franchise) sekarang ini tumbuh bagai jamur di musim hujan.
Istilahnya usaha apa saja bisa diwaralabakan. Mulai bisnis makanan siap saji, ritel,
restoran Padang, salon hingga klinik diet. Maraknya bisnis waralaba tentu membuka
peluang baru bagi banyak orang.

Bagi pihak yang memberikan lisensi, praktik usaha ini tentu saja menguntungkan.
Hanya bermodalkan brand yang bagus, keuntungan berupa franchise fee dalam
genggaman. Sementara, bagi pihak yang berinvestasi, selain persyaratannya relatif
mudah, bisnis waralaba yang dipilih bisa disesuaikan dengan kondisi keuangan.

Suzy Syawaluddin (41 tahun) contohnya. Pemilik Up2U Tebet, sebuah waralaba
sistem perawatan alami, ini mengaku berat badannya turun 19 kilogram setelah
mengikuti program diet di Up2U. “Pada awal mengikuti program diet di Up2U, (berat
badan) saya turun 19 kilogram dalam waktu 2,5 bulan. Karena merasakan manfaat,
jadi (saya) tertarik mengikuti waralaba ini,” ujarnya kepada Kristopo dari Financial
Planner (FP).

Menurut Suzy, dalam sebulan, klien yang mengunjungi tempat usahanya bisa
mencapai 50-100 orang. Usaha yang sudah dirintis selama 3,5 tahun ini diyakini
Suzy akan berkembang bila dikelola dengan baik. “Sistem perawatannya alami
dengan menggunakan air kelapa cangkir untuk diet,” terang Suzy. Sebelum
menekuni usaha ini, Suzy bekerja di bank ini. Namun, ia memutuskan berhenti
setelah mempunyai momongan.

Banyak motif orang menerjuni usaha waralaba. Ada yang karena kegemarannya
terhadap sesuatu. Contohnya Dyah Anita Prihapsari Yudi, yang kini menekuni usaha
di bidang mie. Menurut pengakuan Nita, begitu panggilan akrabnya, bisnisnya itu
berawal dari kegemarannya menyantap mie.

Bersama dua rekannya, Tatiana Sutara dana Meita Darusalam, Nita pun
memutuskan untuk menekuni bisnis waralaba sebuah merek Bakmi di Jakarta.

Dengan investasi awal sebesar Rp1 miliar, Nita bersama dua temannya mulai
membangun bisnis tersebut. Meskipun berbeda dengan konsep aslinya, yaitu tidak
memakai pengatur udara (air conditioner atau AC) tapi hanya mengandalkan
kesegaran udara, secara umum usaha yang dijalankan Nita dan kawan-kawan tidak
banyak berubah dari konsep aslinya, termasuk soal rasa.

Meski begitu, Nita mengaku, terkadang ada juga perbedaan rasa dalam salah satu
masakan, walaupun dengan bumbu yang seragam. ”Mungkin karena kejelian yang
berbeda-beda,” ujar wanita yang sudah menggeluti bisnisnya selama empat tahun
ini kepada FP, belum lama ini.

Menurut Nita, franchisor tidak mengenakan franchise fee. Ia hanya meminta komisi
5%-7% dari omzet yang didapatnya setiap bulan. Saat ini omzet yang didapat Nita
per hari rata-rata mencapai Rp5 juta. Bahkan, sebelumnya, Nita mengaku pernah
mendapat omzet Rp10 juta per hari. Namun, seiring dengan makin tajamnya
persaingan, omzetnya pun menurun.

Ada juga yang menekuni bisnis waralaba karena ingin melebarkan sayap bisnisnya,
seperti yang dilakukan Ade Rai. Pemilik waralaba klub Ade Rai ini mengaku memilih
bisnis waralaba untuk melebarkan sayap bisnisnya seiring dengan makin
berkembangnya bisnis yang digeluti. “Awalnya, (saya) hanya mempunyai satu dua
cabang (usaha). Dengan waralaba memungkinkan kami memiliki cabang yang lebih
banyak lagi,” ujarnya kepada Kristopo dari FP.

Ade Rai mengungkapkan, pada 1998, ia hanya membuka cabang untuk usahanya.
Tapi, sejak 2002, ia mewaralabakan usahanya. “Kalau hanya membuka klub Ade Rai
dengan biaya sendiri agak lambat. Tapi, dengan bisnis waralaba akan makin cepat
berkembang,” ujarnya. Apalagi, tandasnya, minat dan kebutuhan masyarakat
terhadap olahraga fitnes semakin besar, sehingga mewaralabakan usahanya
merupakan pilihan yang tepat.

Menurut Ade Rai, ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin
membuka usaha waralaba Klub Ade Rai, yaitu syarat teknis dan syarat nonteknis.
Syarat teknis maksudnya adalah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
sesuai dengan standar yang berlaku, misalnya lokasi yang bagus dan minat
masyarakat sekitar yang tinggi. Sedangkan, syarat nonteknis misalnya mencari
investor yang sesuai. Dalam arti, investor yang mempunyai satu visi. “Memiliki hati
terhadap olahraga ini (fitnes) dan menerapkan pola hidup yang sehat,” jelasnya.

Untuk pembeli waralaba klubnya, Ade Rai mematok harga Rp300 juta hingga Rp500
juta per satu tempat. Pihak Klub Ade Rai sendiri menyiapkan sebuah sistem
termasuk sumber daya manusia (SDM) berupa trainer.

Meluaskan usaha dengan cara waralaba memang diakui sebagian orang cukup
berhasil. Hal itu diakui Irwan, Managing Director PT Mama Oven, sebuah perusahaan
penjual kue Pie puff. Menurut Irwan, mewaralabakan usaha lebih menjanjikan
dibandingkan dengan membuka cabang sendiri. “Kalau franchise, kita nggak
mengeluarkan dana investasi dan kita juga mendapatkan masukan-masukan,”
ujarnya kepada Atik Darmawati dari FP.

Itulah mengapa ketika Irwan mendirikan Mama Oven, arahnya ke sistem waralaba.
Irwan membuka bisnis waralaba pada 2005. Ketika itu, ia mengaku sudah tidak bisa
membuka cabang lagi. Produk di kantor cabang dan waralaba boleh dibilang juga
sudah standar. “Kami mempunyai centra kitchen di Tangerang, yang akan
memroduksi pie beku dan custard crème dan kami kirim ke cabang atau franchise di
seluruh Indonesia,” ujarnya. Saat ini, Mama Oven memiliki sembilan outlet di Jakarta
dan tujuh waralaba di Medan, Jayapura, Tangerang, dan Yogyakarta. Menurut Irwan,
ada dua jenis franchise fee yang dia tawarkan: sistem gerobak dan sistem counter.

Sistem gerobak, franchise fee yang harus dibayar sebesar Rp50 juta, sedangkan
sistem counter sebesar Rp170 juta. “Franchise fee itu belum termasuk sewa tempat
dan operasional. Untuk operasional, masing-masing franchise harus membeli kulit
dan custard crème dan kami tidak akan meminta apa-apa lagi setelah itu,” Irwan
menjelaskan.

Usaha apa pun memang bisa diwaralabakan. Sekolah pendidikan kecantikan, Puspita
Martha International Beauty School, misalnya mewaralabakan jasa pendidikannya.
Menurut Bernard T. Widjaja, General Manager PT Martha Beauty Gallery, perusahaan
yang mengembangkan sekolah tersebut, fasilitas yang diberikan perusahaannya
berupa tempat, pengaturan fisik, interior, tata cara kerja manajemen hingga pernak-
pernik peralatan kosmetik dan pernak-pernik desain.

Untuk mendapatkan semua fasilitas tersebut, PT Martha Beauty Gallery mengenakan


franchise fee sebesar R150 juta dengan masa kontrak lima tahun. “Kami juga
meminta royalti dari tiap-tiap franchise, 5% dari gross sale,” ujarnya kepada Atik
Darmawati dari FP. Menurut Bernard, pihak yang membeli waralaba ke
perusahaannya harus berinvestasi minimal Rp400 juta untuk perlengkapan sekolah
dan dekorasi interior dan sekitar Rp60 juta untuk rumah toko (ruko) per tahun.

Bisnis waralaba boleh dibilang bisnis yang cukup menjanjikan. Ismed Hasibuan,
pengamat financial planner dari Financial Being-Well, mengemukakan, ada beberapa
motif yang mendorong orang tertarik bisnis waralaba. Satu, karena mereknya yang
sudah diketahui banyak orang alias sudah terkenal. “Kalau seseorang bikin merek
baru lebih berat karena persaingan yang semakin ketat,” kata Ismed kepada
Kristopo dari FP.

Dua, sistemnya lebih mapan. Seseorang yang ingin membeli waralaba tidak perlu
lagi repot-repot memikirkan sistem apa yang akan diterapkan di bisnisnya tersebut.
“Sistemnya sudah mapan. Biasanya ada pula bantuan sistem manajemen dan sistem
akuntansinya,” tambah Ismed.

Menurut Ismed, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang
ingin membuka bisnis waralaba. Satu, sebaiknya orang tersebut memahami bisnis
tersebut. Dua, mempersiapkan permodalan dengan baik. Tiga, mengetahui term of
condition-nya. “Jangan sampai setelah membuka waralaba ternyata dapat kecil dan
tidak mengetahui seluk-beluk bisnis tersebut,” ujarnya kepada Kristopo dari FP.

Membeli bisnis waralaba tentu bukan tanpa risiko. Risiko berbisnis waralaba juga
ada, antara lain, gulung tikar. Untuk itu, kata Nita, inovasi tiada henti harus terus
dilakukan, misalnya dalam hal jenis masakan. “Tiga tahun sebuah masakan sudah
maksimal (disajikan), kecuali yang dasar. Kalau tidak, orang akan bosan. Ditambah
banyaknya kompetisi,” ujar Nita.

Menurut Nita, waralaba lokal lebih murah ketimbang waralaba asing karena boleh
dikatakan secara sistem waralaba asing lebih baik. “Memang, waralaba lokal lebih
murah, tetapi kita harus kerja keras,” imbuh wanita kelahiran 22 Juni ini. Nita sendiri
membeli waralaba lokal. Ia dan dua partnernya mengelola sistem pemasarannya
sendiri. “Pemasaran harus berdiri sendiri. Padahal, seharusnya dari pusat,” ujar ibu
dua anak, Dita Atikah Yudi (sembilan tahun) dan Dini Meilina Yudi (tujuh tahun), ini.

Mengelola waralaba lokal diakui Nita memang agak sulit. “Ketika waralaba lokal
tersebut berganti logo dan jenis penulisan, kita semua harus mengubah. Itu kendala
kalau kita beli lokal,” katanya. Belum lagi persoalan persaingan dengan franchise
sejenis. “Pihak franchisor tidak mengetahui peraturan waralaba. Dia mau buka lagi di
mana, peraturan tidak tahu. Harusnya ada jarak. Dalam radius berapa kilometer
boleh buka cabang lagi,” tambah Nita.

Memilih bisnis waralaba memang membutuhkan kejelian. Menurut Ismed, seseorang


perlu melakukan survei sebelum memutuskan membeli sebuah bisnis waralaba.
Selain lokasi, seseorang harus bisa memilih segmen pasar yang tepat sebab hal ini
akan menentukan sukses tidaknya bisnis waralaba ke depan. Jangan membeli
franchise lantaran harganya yang murah sebab bisa jadi pasarnya tidak jelas.

InfoBankNews.com

Anda mungkin juga menyukai