Anda di halaman 1dari 10

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar

budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para
ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat
Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah
dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara
yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.

Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :

1. Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab
Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok
atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

‫َوقَ ْرنَ فِي بُيُوتِ ُك َّن َو ََل تَبَ َّرجْ نَ تَبَ ُّر َج ْال َجا ِه ِليَّ ِة ْاْلُولَى‬

“Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah


kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al
Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi
Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan
memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab
adalah budaya yang berasal dari Islam.

2. Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah
Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa
menutupi aurat mereka. ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:

َ‫اخت َ َم ْرن‬ َ َ‫ت َه ِذ ِه ْاْليَةُ ( َو ْليَض ِْربْنَ ِب ُخ ُم ِره َِّن َعلَى ُجيُوبِ ِه َّن ) أ َ َخ ْذنَ أ ُ ْز َره َُّن ف‬
ْ َ‫شقَّ ْقنَ َها ِم ْن قِبَ ِل ْال َح َوا ِشي ف‬ ْ َ‫َّما نَزَ ل‬
‫ِب َها‬

“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), mereka merobek
selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat
mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat
tersebut.

Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita.
Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara
mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau
timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan
dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/6207-hukum-memakai-cadar-dalam-


pandangan-4-madzhab.html

Hukum Memakai Cadar Dalam Al Quran


Cadar adalah kain penutup kepala atau muka yang digunakan oleh sebagain besar wanita
muslimah. Dalah bahasa arab istilah syar’i untuk cadar adalah niqab. Niqab sendiri merupakan
kain yang digunakan untuk menutupi wajah, biasanya niqab sudah menjadi satu kesatuan dengan
jilbab yang dikenakan. Naqab atau memakai cadar sendiri sudah menjadi tradisi bagi para wanita
yang tinggal di Arab Saudi, Yaman, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman serta Uni Emirat Arab selain
itu beberpa wanita Pakistan, dan muslim di barat juga menggunakannya sebagaimana hukum
memakai cadar saat sholat .

ads

Kewajiban menutup aurat bagi kaum wanita sendiri sebagai fungsi agama merupakan perintah
langsung dari Allah SWT, sebagaiman FirmanNya berikut :

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِّ ‫ضضْنَ ِّم ْن أ َ ْبص‬


َّ‫َار ِّهنَّ َويَحْ فَ ْظنَ فُ ُرو َج ُهن‬ ِّ ‫َوقُل ِّل ْل ُمؤْ ِّمنَا‬
ُ ‫ت يَ ْغ‬

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan
memelihara kemaluan mereka.” [An Nur/24: 31]

Dalam firman diatas dijelaskan bahwa, wanita cantik dalam islam adalah wanita muslim wajib
menutup semua auratnya. Cara yang harus dilakukan adalah dengan memakai hijab atau jilbab
sebagai cara memilih wanita dalam islam . Sedangkan untuk pemakaian cadar sendiri masih
terdapat perbedaan hukum antar tiap mazhab. Stigma negatif mengenai cadar yang terus beredar
tentunya juga membuat kita harus mengetahui lebih dalam, mengenai pandangan terhadap
wanita brrcadar menurut islam itu sendiri.

Hukum Memakai Cadar Dalam AlQuran

Dalam islam setiap hukum terhadap sesuatu atau hal tertentu tentunya harus memiliki sumber
dan dasar yang kuat. Sumber dan dasar hukum islam yang bisa digunakan tentunya adalah
Alquran dan hadist sebagai pedoman hidup umat muslim. Oleh sebab itu, dalam memandang
perkara dan hukum wanita bercadar ini, tentu kita harus mengetahui dasar hukumnya terlebih
dahulu. Oleh sebab itu dalam artikel ini akan mengkaji bagaimana hukum memakai cadar dalam
Al-Quran. Simak selengkapnya

1. Surat Al-Ahzab Ayat 33

Allah Ta’ala berfirman:

َّ َ‫اء ْال ُمؤْ ِمنِينَ يُدْنِينَ َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َج ََلبِي ِب ِه َّن ذَلِكَ أَدْنَى أ َ ْن يُ ْع َر ْفنَ فَ ََل يُؤْ ذَيْنَ َو َكان‬
ً ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ورا‬ ِ ‫س‬ ِ ‫ي قُ ْل ِْل َ ْز َو‬
َ ِ‫اجكَ َو َبنَاتِكَ َون‬ ُّ ِ‫يَا أَيُّ َها النَّب‬
‫َر ِحي ًما‬

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al Ahzab: 33).

Dalam surat Al Ahzab dikatakan bahwa setiap wanita muslim memiliki keharusan untuk
menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan hijab yang mereka kenakan. jilbab dalam bahasa Arab
adalah pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai
jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala
perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.

Sebagaimana Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab
itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan
matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan
selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis.

2. Surat Al-Ahzab Ayat 53

Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫سأ َ ْلت ُ ُموه َُّن َمت َاعًا فَاسْأَلُوه َُّن ِم ْن َو َر‬


‫اء ِح َجاب‬ َ ‫َوإِذَا‬

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah
dari balik hijab.” (QS. Al Ahzab: 53).

Syaikh Sulaiman bin Shalih Al Kharrasyi dalam kitab “Waqafat Ma’a Man Yara Jawaza Kasyfil
Wajhi”mengatakan:

“Para ulama sepakat bahwa ayat ini menunjukkan adanya kewajiban memakai hijab dan
menutup wajah (wanita)”
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan ulama dan para ahli mengenai hukum memakai
cadar. Dalam ayah ini jelas menyiratkan bahwa terdapat sisi yang mensyariatkan penggunaan
cadar.

3. Surat An-Nur Ayat 31

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو ْليَض ِْربْنَ بِ ُخ ُم ِره َِّن َعلَى ُجيُوبِ ِه َّن‬

“Dan hendaklah mereka (para wanita) menjulurkan kain jilbab ke dada mereka” (QS. An Nur:
31).

Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan untuk menutup dada menggunakan jilbab. Artinya
bahwa menutup dada menggunakan hijab merupakan kewajiban begitupula dengan menutup
wajah. Sebab wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Sehingga jika menutup dada saja
wajib apalagi dengan menutup wajah.

Dalam Shahih Bukhari, disebutkan hadits dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu’anha,
beliau mengatakan: pasca turunnya surat ini (An-Nur:31)

” Para wanita shahabiyah mengambil kain-kain mereka, kemudian mereka merobeknya dari
ujung-ujungnya dan ber-khimar dengannya.”

Berdasarkan hadist diatas maka para Shabiyah mengartikan ayat diatas sebagai perintah untuk
menutup tubuh termasuk juga wajah.

4. Surat An-Nur Ayat 31

Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫َو ََل يُ ْبدِينَ ِزينَتَ ُه َّن إِ ََّل َما‬


‫ظ َه َر ِم ْن َها‬

“dan janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya” (QS. An Nur: 31).

Ayat ini menjelaskan mengenai larangan menunjukkan perhiasan yang sedang dipakai. Misalnya
dengan menghentakkan kaki agar terdengar perhiasan seperti gelang kaki yang dipakai, tentu
saja hal ini dapat menjadikan sebuah godaan baginlawan jenis. Oleh karena itu, maka godaan
ketika melihat wajah cantik yang berias tentunya akam lebih besar dari sekedar mendengar suara
perhiasan di kaki. Oleh seban itu, ayat ini juga menyiratkan dan mensyariatkan kewajiban untuk
menutup wajah.

5. Surat An-Nur ayat 60


Allah Ta’ala berfirman:

‫ض ْعنَ ثِيَا َب ُه َّن َغي َْر ُمتَبَ ِر َجات ِب ِزينَة َوأ َ ْن يَ ْست َ ْع ِف ْفنَ َخي ٌْر لَ ُه َّن‬
َ َ‫ْس َعلَ ْي ِه َّن ُجنَا ٌح أ َ ْن ي‬ َّ ‫اء‬
َ ‫الَلتِي ََل يَ ْرجُونَ نِكَا ًحا فَلَي‬ َ ِ‫َو ْالقَ َوا ِعد ُ ِمنَ الن‬
ِ ‫س‬
‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم‬ َّ ‫َو‬
َ ُ‫َّللا‬

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana” (QS. An Nur: 60).

Dalam ayat ini, menjelaskan mengenai ketidakwajiban menutup wajah atau menanggalkan
pakaian mereka namun tetap sopan dan tidak memperlihatkan perhiasannya. Maksud
menanggalkan disini adalah bukan telanjang, melainkan pakaian yang menutupi seluruh badan.
Ini hanya berlaku kepada mereka wanita yang sudah tua dam tidak memiliki hasrat untuk
menikah lagi. Sebaliknya bagi wanita muda yang memiliki keinginan untuk menikah maka wajib
bagi mereka untuk menutup wajahnya.

Said bin Jubair menjelaskan makna ayat ini:

” ‫أن يضعن من ثيابهن ” وهو الجلباب من فوق الخمار فَل بأس أن يضعن عند غريب أو غيره بعد أن يكون عليها خمار صفيق‬

“[tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka] maksudnya jilbab mereka yang ada
di atas khimar. Maka tidak mengapa dilepas di depan orang asing atau selainnya, jika mereka
mengenakan khimar yang tebal.”

Uraian mengenai hukum memakai cadar dalam Al-Quran. Semoga dapat semakin dapat
menambah pengetahuan dan referensi kita dalam memeperdalam ilmu islam sebagai tujuan
penciptaan manusia , proses penciptaan manusia, hakikat penciptaan manusia , konsep manusia
dalam islam dan hakikat manusia menurut islam . Selain itu, sebagai upaya untuk semakin lebih
memahami dan mengaplikasikan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari dan juga tips hidup
bahagia menurut islam . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

Tuhan menciptakan manusia tidak hanya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi
ternyata ada juga “jenis kelamin ketiga”. Jenis ini terkait dengan kondisi fisik, psikis dan
orientasi seksual. Kita mengenal ada kelompok lesbian, gay, biseksual dan transsexual (LGBT)

Perdebatan soal homoseksual (LGBT) sebenarnya sudah lama terjadi. Pada mulanya muncul
pertanyaan, apakah hubungan seks sejenis itu merupakan penyakit, atau sebuah perilaku seks
yang menyimpang? Lalu, bagaimana pandangan Islam yang ideal terhadap masalah ini?
Homoseks Dalam Sejarah Muslim

Homoseks telah mengukir sejarah tersendiri dalam perjalanan umat manusia. Sejarah telah
meriwayatkan, bahwa seks sesama jenis telah ada dan menjadi salah satu bagian dari pola seks
manusia. Berbagai kitab suci seperti al-Quran, Injil, dan Taurat telah memperbincangkan serta
menuliskannya.
Meskipun perilaku seksual sejenis itu dikutuk, namun pada kenyataannya, masyarakat Muslim
sendiri telah mempraktekkan tradisi tersebut. Sudah barang tentu, dengan latar belakang dan
pelaku yang berbeda, seperti yang dilakukan di lingkungan istana dan juga di kalangan
masyarakat kebanyakan.

Homoseksual dan kecenderungan seks pada anak laki-laki kecil (pedofilia), serta minum arak di
tempat-tempat pertunjukan musik, bukanlah kenyataan yang ganjil dalam sejarah perilaku umat
Islam. Pemerintahan Islam, dari Bani Umayyah, Abbasiah, Fathimiyah hingga Utsmaniah,
diramaikan oleh kemeriahan suasana seksualitas. Tak hanya terpancang pada kenyataan kuatnya
tradisi harem atau pergundikan, tapi juga warna-warni seksualitas yang dianggap menyimpang.

Kehidupan yang heboh tersebut telah menjadi bagian dari perjalanan yang merentang dalam
penggapaian ideal pemerintahan Islam. Ini adalah berbagai contoh mengenai apa yang terjadi
dalam kelas-kelas masyarakat Muslim yang kesemuanya itu dipandang jauh dari syariat Islam.
Kenyataan ini–seperti diungkap kembali oleh Khalil Abdul Karim dan al-Shabah wa al-
Shahabah–telah dibedah oleh para sejarahwan Muslim seperti Ibnu Jabir, Ibnu Khaldun, Abu
Umar al-Kindi, Ibnu Ilyas dan Nashir Khasru.

Hasil penelitian BF Musallam menunjukkan, bahwa di lingkup bangsa Arab abad Pertengahan,
telah beredar cerita-cerita tentang munculnya gejala homoseksual dan lesbian sebagai akibat
takut hamil. Arkian, seperti ditulis oleh al-Kathib dalam kitab Jawami’ dikisahkan, ada seorang
pelacur terkenal yang menanyai salah seorang wanita lesbian, ”Apa sebabnya anda memilih
lesbian?” Jawab wanita itu, “Lebih baik begini dari pada hamil yang mendatangkan skandal.”

Dalam puisi Arab klasik juga terlantun kidung-kidung puitis yang mengungkap tentang pilihan
jadi lesbian karena takut hamil. Ibnu Qayyim juga mencatat dalam kitabnya Ighatsat, ada
beberapa pria homoseksual mempertahankan diri mereka dengan dalih, “Ini lebih aman daripada
kehamilan, kelahiran, beban perkawinan dan sebagainya.”

Seperti juga dalam kitab al-Wasa’il Fi Musamarah al-Awa’il karya Jalaluddin al-Suyuthi,
homoseksual ternyata telah mewarnai kehidupan masyarakat pada awal-awal kehadiran Islam.
Beberapa penyebab yang disebutkan diantaranya adalah, terjadinya banyak peperangan; lamanya
waktu suami meninggalkan keluarga; sibuknya kaum Muslimin mempersiapkan kemenangan;
adanya pencercaan terhadap keluarga kaum musyrik yang ditaklukkan yang kemudian banyak
dijadikan pelayan; timbulnya perasaan keterasingan, serta pergaulan yang lebih banyak dengan
laki-laki.

Faktor-faktor inilah yang kemudian melahirkan laki-laki yang bersifat kewanita-wanitaan. Dalam
lingkungan seperti ini, hubungan homoseksual lambat laun terjadi. Disebutkan juga, bahwa
perempuan yang pertama kali berani menampakkan praktik lesbian pada masa itu adalah istrinya
Nu’man ibn Mundzir.

Keberadaan kaum homoseks senantiasa dihubungkan dengan contoh historis kisah perilaku umat
Luth. Dikemukakan bahwa Tuhan sangat murka terhadap kaum Nabi Luth yang berperilaku
homoseksual. Kemurkaan Tuhan itu diwujudkan dengan menurunkan hujan batu dari langit dan
membalikkan bumi. Akhirnya kaum Luth hancur lebur, termasuk istrinya, kecuali pengikut yang
beriman pada Luth.

Kisah ini dipaparkan dalam al-Quran surah al-’Araf ayat 80-84, al-Syu’ara ayat 160, al-‘Ankabut
ayat 29 dan al-Qamar ayat 38. Praktik homoseksual umat Nabi Luth ini, seperti juga dinyatakan
oleh Ali al-Shabuni dalam kitabnya Qabas Min Nur al-Quran, dianggap perilaku umat yang
paling rusak sepanjang sejarah umat para nabi.

Praktik homoseksual, dise-butkan oleh kalangan ahli tafsir diantaranya al-Thabathaba’i dalam
kitab al-Mizan, untuk pertama kalinya dilakukan oleh kaum Nabi Luth. Dalam Hadits juga
dikatakan, “Yang mengawali perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth”. Dalam al-Quran,
kaum Luth dilukiskan sebagai penyembah berhala, penyamun, dan menjalankan praktik homo-
seksual, sehingga menjadi adat kebiasaan masyarakat.

Dari kisah kaum Luth inilah kemudian ditegaskan hukum keharaman perilaku homoseksual yang
terus berurat berakar di benak masyarakat Muslim. Ulama tafsir, Fakhruddin al-Razi
berkesimpulan bahwa homoseksual adalah perbuatan keji berdasar pada keputusan alami tanpa
memerlukan alasan-alasan yang lebih konkrit. Al-Razi hanya menunjukkan bahwa larangan
homoseksual, meskipun bisa mencapai kenikmatan, tetapi menghalangi tujuan mempertahankan
keturunan. Padahal, Allah menciptakan kenikmatan senggama untuk meneruskan keturunan.

Homoseks dalam Fikih

Dalam fikih, praktik homoseksual dan lesbian mudah dicari rujukannya. Seks sesama jenis ini
sering disebut al-faahisyah (dosa besar) yang sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat
dan tabiat manusia.

Kalau ditelusuri secara gramatikal, tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual
dan lesbian. Dalam bahasa arab kedua-duanya dinamakan al-liwath. Pelakunya dinamakan al-
luthiy. Namun Imam Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir menyebut homoseksual
dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musaahaqah. Imam Al-Mawardi berkata,
“Penetapan hukum haramnya praktik homoseksual menjadi ijma’, dan itu diperkuat oleh nash-
nash Al-Quran dan Al-Hadits”.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam al-Mughni juga menyebutkan, bahwa penetapan hukum
haramnya praktik homoseksual adalah ijma’ (kesepakatan) ulama, berdasarkan nash-nash Al-
Quran dan Hadits.

Fikih, di samping membahas perilaku seks sejenis ini dalam kaitan dengan hukuman (bab al-
hadd), juga melibatkannya dalam bahasan soal tata cara shalat jamaah, masalah peradilan dan
pemerintahan.

Pada pokoknya, fikih memang menegaskan bahwa manusia hanya memiliki dua jenis kelamin,
yaitu laki-laki dengan penis (dzakar) dan perempuan dengan vagina (farji).
Fikih juga mengenal istilah khuntsa, yang kalau diartikan menurut kosa kata bahasa Arab adalah
seorang waria atau banci. Pada dasarnya, istilah khuntsa ini menempel pada seorang yang secara
fisik-biologis laki-laki, tetapi mempunyai naluri perempuan.

Dalam kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata-kata khuntsa diartikan sebagai seseorang yang
memiliki anggota kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus. Bahasa medis mengenalnya
dengan istilah hermaprodite atau orang yang berkelamin ganda. Jenis kelompok ini, yang populer
juga dengan sebutan waria, dimasukkan dalam kelompok transeksual, yaitu seseorang yang
memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya. Istilah ini dikenakan pada seseorang yang
secara fisik laki-laki, tapi berdandan dan berperilaku perempuan. Begitupun sebaliknya, pada
kenyataannya ada sesorang yang secara fisik perempuan, tapi berpenampilan laki-laki.

Dalam hal ini, ulama fikih memilahnya menjadi dua jenis. Pertama, yang disebut khuntsa
musykil, yaitu seseorang yang memiliki penis dan vagina secara sekaligus pada bagian luar
(hermaprodite). Jenis homoseksual yang seperti ini memang sangat langka.

Kedua, yang disebut khuntsa ghairu musykil, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai
laki-laki atau perempuan. Untuk menentukan kedua jenis ini, maka yang menjadi penentu secara
fisik adalah bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, maka ia dihukumi
sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, maka ia dihukumi
sebagai laki-laki.

Tipe seseorang yang berpenis dan tidak punya rahim inilah yang bisa disebut dengan gay. Istilah
gay biasanya merujuk pada homoseksual laki-laki. Gay memang secara fisik berpenampilan laki-
laki.

Dalam penelusuran terhadap kitab-kitab klasik, tipe homoseks telah menjadi kajian khusus.
Misalnya, kita baca dalam kitab fikih klasik al-Iqna’, karya Syarbini Khathib, menjelaskan
bahwa seseorang yang bertipe khuntsa musykil tidak sah bermakmum shalat, baik kepada wanita
maupun laki-laki. Berbeda dengan khuntsa yang sudah jelas keperempuanannya, maka boleh
bermakmum dan mengimami shalat perempuan normal. Demikian pula, khuntsa yang sudah
jelas kelaki-lakiannya boleh bermakmum dan mengimami shalat laki-laki normal.

Di dalam fikih, biasa diajukan sebuah kasus, misalnya bagaimana hukum seorang laki-laki
normal yang bermakmum pada seseorang khuntsa yang dikira laki-laki tulen. Setelah selesai,
baru diketahui ternyata imamnya itu khuntsa yang lebih cenderung ke kewanitaan. Menurut
Zakariya al-Anshari dan pendapat yang lebih kuat lainnya menyatakan, bahwa hukum shalat
bermakmum itu sah saja, serta tidak perlu diulangi shalatnya.

Dalam kitab Nihayat al-Zain, karya Imam Nawawi, tidak ada pemilahan soal khuntsa ini. Lagi-
lagi, pembahasannya dikaitkan dengan shalat jamaah. Shalat jamaah, menurut pendapat sebagian
besar ulama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Ada juga pendapat Mawardi dan Rafi’i yang
menetapkan hukumnya sunnah mu’akkad. Tetapi hukum ini berlaku hanya bagi laki-laki. Sedang
khuntsa dan wanita tidak ada pembebanan hukum. Bagi khuntsa lebih utama shalat berjamaah di
rumah daripada di masjid. Kedudukan khuntsa dalam konteks ini disamakan dengan hukum yang
diberlakukan bagi wanita.
Khuntsa juga didudukkan sama dengan anak laki-laki tampan yang tidak dianjurkan untuk salat
jamaah di masjid. Mengajak anak-anak ke masjid sangat dianjurkan, kecuali anak laki-laki yang
tampan, supaya tidak menimbulkan fitnah.

Yang membikin ulama fikih saling berseberangan lagi adalah menyangkut sosok gay yang nota
bene bernaluri atau berkecenderungan perempuan. Kalau dikembalikan pada pengertian dasar
homoseksual, sebenarnya adalah seseorang yang bangkit berahinya dengan melihat, mengkhayal,
dan melakukan aktivitas seksualnya dengan sesama jenis. Secara psikologis, homoseksual ini
berkait dengan orientasi dan aktivitas seksual. Orientasi seksual mengacu pada obyek dari
rangsangan seksual seseorang. Sedangkan, ak-tivitas seksual adalah senggama itu sendiri dengan
berbagai variasinya.

Para ulama fikih terbelah menjadi dua pendapat yang berbeda. Sebagian bersiteguh bahwa naluri
gay itu sesungguhnya adalah hasil bentukan lingkungan. Solusinya hanya melalui terapi
psikologis agar naluri yang bersangkutan bisa berubah. Sebagian lagi berpendapat, jika memang
sudah semenjak kecil dan sudah ‘given’ naluri gay itu, maka tidak ada persoalan serius. Karena
itu, hukumnya halal bila yang bersangkutan misalnya, ingin melakukan ganti kelamin. Cara ini
bertujuan untuk menghilangkan kesamaran identitas gendernya atau kejelasan anatomi seksnya.

Sejatinya, telaah fikih mengenai homoseksualitas berpang-kal pada hakikat orientasi seksual itu
sendiri. Apabila orientasi seksual disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat biologis, seperti
ketidakseimbangan susunan hormonal atau perbedaan kromosom lainnya, maka bila seseorang
menjadi gay, lesbian atau lainnya, sifatnya sangat kodrati. Dalam hal ini, tidak ada keputusan
apa-apa, kecuali melihatnya dalam perspektif kekuasaan Tuhan. Kecuali, ada temuan baru yang
mampu memengaruhi susunan hormonal seseorang sehingga orientasi seksualnya berubah.

Demikian juga apabila orien-tasi seksual disebabkan oleh faktor non-biologis, misalnya sosial,
budaya, politik ataupun lainnya, maka ini sama dengan jender. Perubahan orientasi seksual
dalam kasus ini bisa diambil kebijakan, mengingat bukan karena hal-hal yang adikodrati.

Dalam kitab-kitab fikih, tindakan hukum terhadap homoseks atau penyimpangan seks lainnya
tidak dibahas secara khusus. Kasus-kasus yang berhubungan de-ngan sanksi hukum terhadap
kaum homoseks, baik yang dilakukan dengan paksa maupun suka sama suka, berada dalam
pembahasan umum kasus-kasus pelanggaran susila. Meskipun secara umum disepakati bahwa
tindakan homoseks dilarang, bentuk sanksi hukumnya tetap kontroversial.

Para ahli fikih umumnya menyamakan perbuatan homoseksual dengan perbuatan zina. Karena
itu, segala implikasi hukum yang berlaku pada zina juga berlaku pada kasus homoseksual.
Bahkan pembuktian hukum pun mengacu pada kasus-kasus yang terjadi pada zina.

Tiga madzhab besar fikih, yaitu Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa saksi buat kasus
homoseks sama dengan saksi pada kasus zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil dan
dipercaya. Ini kalau ada pengakuan dari pelaku atau korban.

Namun pendapat ini tak disepakati oleh madzhab Hanafi yang membedakan kasus homoseksual
dengan kasus zina. Dalam kasus homoseks, menurut madzhab yang banyak dianut di dunia Arab
ini, kesaksian bagi tindakan homoseksual tak laik disamakan dengan zina. Soalnya, kemudaratan
(bahaya) yang terjadi akibat homoseks lebih kecil ketimbang perbuatan zina. Oleh karena itu,
menurut madzhab Hanafi, “Kesaksiannya pun harus lebih sedikit, yaitu hanya satu orang saksi
yang adil dan dipercaya”.

Madzhab Hanafi pun tidak memasukkan perbuatan homoseksual sebagai zina. Sebabnya,
menurut madzhab Hanafi, perbuatan homoseksual tidak memerlukan akad resmi seperti dalam
pernikahan lazim. Jadi hukumnya tidak pasti, dan perbuatannya juga tidak membatalkan haji dan
puasa.

Selain itu, argumen yang dikemukakan adalah, bahwa kerugian yang diakibatkan oleh hukuman
(jarimah) homoseksual lebih “ringan” daripada kerugian yang diakibatkan hukuman terhadap
zina. Perbuatan homoseksual tidak menimbulkan keturunan, tidak demikian dengan perbuatan
zina. Hubungan kelamin sejenis tidak menimbulkan masuknya sperma seperti pada kasus zina.
Oleh karena itu, paling-paling dihukum ta’zir, semisal dipenjara.

Bagaimana pula dengan Hadits, “Jika kalian menemukan orang yang melakukan hubungan
seksual sejenis seperti kaum Nabi Luth, bunuhlah keduanya” (Hadits riwayat Abu Dawud,
Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits ini, seperti dijelaskan oleh al-Zaila’i, masih banyak
menyimpan perdebatan. Abu Hanifah sendiri menolak menggunakan Hadist ini.

Para ahli fikih juga tak sepakat terhadap sanksi hukum yang patut dijatuhkan kepada pelaku
tindak homoseksual. Sekurang-kurangnya, ada tiga jenis sanksi hukum yang ditawarkan dalam
kitab-kitab fikih. Pertama, pelaku tindakan homoseksual seharusnya dibunuh. Kedua, dikenakan
hukuman pidana (had) sebagaimana had zina, yaitu jika pelakunya belum kawin, maka ia harus
dicambuk. Tetapi, jika pelakunya orang yang pernah atau sudah kawin, maka ia dikenakan
hukuman rajam sampai mati. Ketiga, dipenjara (ta’zir) dalam waktu yang telah ditentukan oleh
hakim.

Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki sudah mengingatkan supaya berhati-hati dan
tidak main hakim sendiri dalam memperlakukan kaum homoseksual. Kata imam Malik: ”Jika
ada seseorang berkata kepada seorang laki-laki; “wahai pelaku perbuatan nabi Luth”, maka
justru dialah yang layak dihukum cambuk”. (LiputanIslam.com)

DISKUSI:
SHARE THIS:
FacebookTwitterWhatsAppTelegramgoogle_plusLinkedInPinterestFacebook MessengerSkype

Anda mungkin juga menyukai