Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Definisi

Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik,


disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala
subyektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus,
tersebar diskret atau konfluen, dan terutama terdapat pada badan bagian
atas.

1.2. Epidemiologi

Merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis.


Tidak terdapat pebedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat
perbedaan kerentanan berdasarkan usia, yakni lebih banyak ditemukan pada
remaja dan dewasa muda, jarang pada anak dan orang tua. Di Indonesia,
kelainan ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan diantara
berbagai penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.

1.3. Etiologi

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia spp, ragi bersifat


lipofilik yang merupakan flora normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat
dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa. Dahulu ragi ini
digolongkan sebagai genus Pityrosporum (terdiri atas Pityrosporum ovale
dan Pityrosporum orbiculare), tetapi kemudian mengalami reklasifikasi
sebagai genus Malassezi1.

Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada


kulit manusia yakni M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M.
slooffiae, M. obtusa, dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa
terdapat pada kulit hewan, M. pachydermatis. Selanjutnya dilaporkan
spesies lain M. dermatis, M. yaponica, M. nana, M. caprae, M. equine. Sifat
lipofilik menyebabkan ragi banyak berkolonisasi pada area yang kaya
sekresi kelenjar sebasea. Beberapa studi terpisah menunjukan bahwa M.
globosa banyak berhubungan dengan PV, tetapi studi lain menunjukan
bahwa M. sympodialis dan M. furfur yang predominan pada PV.

1.4. Patogenesis

Malassezia spp yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah


menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau
faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut
berupa suhu, kelembapan lingkungan yang tinggi, dan tegangan CO2 yang
tinggi dipermukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hyperhidrosis,
kondisi immunosupresif, dan malnutrisi.

Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan


warna pada lesi kulit yakni Malassezia sp memproduksi asam dekarboksilat
(a.i asam azeleat) yang mengganggu pembentukan pigmen melanin dan
memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai kemampuan
absorbsi sinar ultraviolet sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi.
Mekanisme terjadinya lesi hipopigmentasi belum jelas, tetapi satu studi
menunjukan pada pemeriksaan mikroskop elektron didapati ukuran
melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang lebih tebal
juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.

1.5. Gambaran Klinis

Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut,
ekstremitas sisi proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan scalp dapat
juga ditemukan pada aksila, lipat paha, genitalia. Lesi berupa makula
berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang
eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus
(pitiriasiformis). Umumnya tidak disertai gejala subyektif, hanya berupa
keluhan kosmetik, meskipun kadang ada pruritus ringan.

1.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi


kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai
petunjuk lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Perlu diwaspadai hasil
pemeriksaan fluoresensi positif palsu yang antara lain dapat karena
penggunaan salep yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif
palsu dapat terjadi pada orang yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan


menunjukkan kumpulan hifa pendek dan ragi bulat, kadang oval. Gambaran
demikian menyebabkan sebutan berupa "spaghetti and meatballs" atau
"bananas and grapes". Sediaan diambil dengan kerokan ringan kulit
menggunakan skalpel atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dengan
menggunakan larutan KOH 20%, dan dapat ditambahkan sedikit tinta biru-
hitam untuk memperjelas gambaran elemen jamur.

1.7. Diagnosis

Dugaan diagnosis PV Jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di


daerah predileksi berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan,
sampai dengan hitam yang berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu
Wood untuk melihat fluoresensi kuning keemasan akan membantu
diagnosis klinis. Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil positif
pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.

1.8. Diagnosis Banding

Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dari
PV, antara lain pitiriasis alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroik,
pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid, dan tinea. Perbedaan
karakteristik klinis perlu dicermati, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
dapat membantu untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis.

1.9. Tatalaksana

Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat


dihindari merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi.
Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa
pertimbangan, antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontraindikasi,
dan efek samping.
Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulphide
bentuk sampo 1,8% atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan setiap hari
selama 15-30 menit dan kemudian dibilas. Aplikasi yang dibiarkan
sepanjang malam dengan frekuensi 2 kali seminggu juga dapat digunakan,
dengan kemungkinan akan terjadi reaksi iritasi. Pengolesan dianjurkan
diseluruh badan kecuali kepala dan genitalia. Ketokonazol 2% bentuk
sampo juga dapat digunakan serupa dengan sampo selenium sulfid.
Alternative lain adalah solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen
glikol 50%. Untuk lesi terbatas, berbagai cream derivate azole misalnya
mikonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol dapat digunakan, demikian
pula krim tolsiklat, tolnaftate, siklopiroksolamin, dan haloprogin. Obat
topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan
lampu wood dan pemeriksaan mikologi langsung kerokan kulit negative.

Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi yang luas, kambuhan dan


gagal dengan terapi topikal antara lain dengan ketoconazole 200 mg/hari
selama 5-7 hari.

Pengobatan rumatan dipertimbangkan untuk menghindari kambuhan


pada pasien yang sulit menghindari faktor predisposisi, antara lain dengan
sampo selenium sulfide secara periodis, dan dengan obat sistemik
ketokonazol 400 mg sekali tiap bulan atau 200 mg sehari sekali selama 3
hari tiap bulan.

1.10. Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten,


serta factor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan
sampai beberapa bulan setelah jamur negative, dan hal ini perlu dijelaskan
kepada pasien.
BAB II

KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. T.N

Umur : 50 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku : Sorong
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
Alamat : Bhayangkara III
Golongan Darah :O
3.2. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama:
Bercak putih pada leher, dada dan punggung yang dirasakan gatal.
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan bercak putih pada leher, dada dan
punggung yang dirasakan gatal. Gatal sudah dirasakan sejak tahun 2000.
Gatal dirasakan hilang timbul dan tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehingga pasien tidak segera mencari pengobatan. Gatal timbul terutama
saat pasien berkeringat dan berkurang ketika mandi.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat kelainan yang sama (+). Saat di SD pasien pernah menderita
kelainan yang sama yaitu bercak keputihan yang lokasinya hamper
diseluruh tubuh dan terasa gatal, kelainan ini menetap hingga pasien
dewasa. Pada tahun 1993 pasien bekerja di RS Angkatan Laut dan oleh
dokter diberikan terapi Micoral tab 1x1 tiap malam dan diminum selama
20 hari setelah itu semua bercak putih dan keluhan gatal hilang.
Pada tahun 2000 bercak putih mulai timbul kembali di daerah leher
bagian depan, bercak kemudian menyebar ke area dada dan muncul juga
didaerah punggung yang disertai rasa gatal. Karena keluhan gatal hilang
timbul dan tidak terlalu mengganggu hingga saat ini pasien belum
memeriksakan ke dokter dan belum diberikan terapi.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal
E. Riwayat Psikososial
a. Status Lingkungan : Baik
b. Riwayat Pendidikan : Baik
3.3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum: Tampak Sakit Ringan
B. Kesadaran: Compos Mentis
C. Tanda Vital
a. Tekanan darah: 110/70 mmHg
b. Nadi: 78 kali/ menit
c. Respirasi: 20 kali/ menit
d. Suhu: 36,50 C
D. Status Generalis
a. Kepala dan Leher
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-)
Telinga : Deformitas (-), sekret (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
b. Thoraks:
Simetris, ikut gerak nafas
Paru : Sonor D=S, Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung : BJ I – II Reguler, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen:
Cembung, Bising Usus (+) Normal, Supel, hati/limpa : tidak teraba
membesar, Timpani, Nyeri tekan (-),
d. Vegetatif : BAK dan BAB dalam batas Normal
3.4. Status Dermatologis
a. Eflurosensi : Makula hipopigmentasi
b. Ukuran :Ukuran lentikular, nummular dan sebagian
berkonfluensi menjadi patch, batas tidak tegas
c. Lokasi : Pada leher, dada dan punggung
3.5. Pemeriksaan penunjang
a. Lampu Wood

3.6. Diagnosa Kerja


Pitiriasis Versikolor
3.7. Diagnosa Banding
a. Pitiriasis alba
b. Eritrasma
c. Vitiligo
d. Dermatitis seboroik
e. Pitiriasis rosea
f. Morbus Hansen tipe tuberculoid
g. Tinea
3.8. Penatalaksanaan
a. Non-Medikamentosa
1. Higenitas yang baik
2. Tidak menggunakan pakaian yang lembab
b. Medikamentosa
1. Ketokonazol tab 200 mg 1dd 1 tab selama 10 hari
2. Ketokonazol zalf 2 kali sehari
3.9.Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah:
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam: dubia ad bonam
3. Ad sanationam: dubia ad bonam
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien tn T.N 50 tahun laki-laki datang ke RS dok 2 dengan keluhan


bercak putih pada leher, dada dan punggung yang dirasakan gatal. Gatal
dirasakan hilang timbul dan tidak terlalu mengganggu aktivitas. Gatal
terutama dirasakan saat berkeringat. Keluhan ini sudah dirasakan sejak tahun
2000 namun karena tidak terlalu mengganggu aktifitas pasien tidak terlalu
memperhatikan dan tidak melakukan pengobatan. Pada pemeriksaan status
dermatologi didapatkan makula hipopigmentasi ukuran lentikular, nummular
dan sebagian berkonfluensi menjadi patch, batas tidak tegas yang terdapat pada
leher, dada dan punggung.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan teori dimana lesi PV


terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ekstremitas sisi
proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan scalp dapat juga ditemukan pada
aksila, lipat paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai
ukuran, dan berskuama halus (pitiriasiformis). Umumnya tidak disertai gejala
subyektif, hanya berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang ada pruritus ringan.

Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang dengan lampu wood dan


didapatkan gambaran bercak kuning keemasan. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi pityriasis versikolor akan
memperlihatkan gambaran bercak kuning keemasan akibat metabolit asam
dekarboksilat.

Setelah didiagnosis dengan pitiriasis versikolor pasien diberikan terapi


ketokonazol tab 200 mg sekali sehari selama 10 hari dan ketokonazol zalf
dioles 2 kali sehari dan dianjurkan kontrol setelah 10 hari. Terapi yang diberikan
sesuai dengan teori bahwa obat sistemik dipertimbangkan pada lesi yang luas,
kambuhan dan gagal dengan terapi antara lain dengan ketokonazole 200 mg/hari
selama 5-7 hari
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Pitriasis Versikolor. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Editor : Sri Menaldi, Kusmarinah Bramono, dan Wresti Indriatmi.
Edisi VII. Cetakan I. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016.

Anda mungkin juga menyukai