Anda di halaman 1dari 22

Agama Siwa-Buddha

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Agama Siwa-Buddha di Nusantara

Mereka yang pertama kali memperkenalkan budaya India di Indonesia semestinya adalah kaum brahmana,
biarawan dan pendeta pelbagai sekte dan mazhab di India, yang mengikuti rute perdagangan maritime. Tetapi
ketika mereka sudah mendapatkan sejumlah pengikut, sebuah gelombang gerakan lainnya semestinya terjadi
dan orang-orang Indonesia yang sudah memeluk ajaran agama mereka lalu berlayar ke India sebagai peziarah
dan mahasiswa kemudian kembali dengan kesan-kesan dan khazanah ilmu-ilmu baru.

Kebudayaan India semestinya diterima dengan senang. Seperti sudah sering dikemukakan, persamaan-
persamaan antara kesenian Hindu-Jawa dan India tidak bisa di... menjadi satu periode, satu daerah atau satu
gaya, tetapi ternyata tersebar di seluruh India. Hal yang sama juga bisa dikatakan mengenai tradisi sastra
Jawa Kuna dan seterusnya Bali. Baik sastra yang berhubungan dengan agama maupun yang sekular.
Sementara untuk pengaruh agama, hanya ada satu aliran agama India yang bekasnya tak ditemukan di Jawa,
Bali maupun di daerah lainnya di Nusantara, yaitu aliran Jainisme.

Meskipun mereka memiliki pengetahuan luas akan apa yang disajikan oleh India, hal ini tidak berarti bahwa
orang Jawa dan Bali menerapkan ilmu pengetahuan mereka dengan cara yang sama seperti orang India, atau
bahkan menerapkan semuanya. Bahkan bisa dikatakan bahwa meskipun mereka memiliki hampir semua
bahan bangunan India, mereka tidak pernah membangun sebuah gedung India. Sementara hal ini kurang
lebih benar apabila berhubungan dengan arsitektur, perumpamaan ini bisa pula diterapkan pada bidang
agama. Tradisi Jawa-Bali juga meliputi banyak ajaran-ajaran dan cara-cara pemujaan yang secara
keseluruhan terdiri dari unsur-unsur India, tetapi hal yang persis sama tidak bisa ditemukan di India. Pada
saat penyeleksian dan kombinasi antar ajaran ini, ciri khas kebangsaan Jawa-Bali jelas sangat menentukan.
Dan bagaimana seleksi dan kombinasi ini dilakukan, merupakan masalah-masalah yang sangat menarik bagi
peneliti budaya Jawa dan Bali.

Agama Buddha pasti sampai di Nusantara cukup awal dan banyak informasi mengenai hal ini kita dapatkan
dari sumber-sumber Tionghoa. Fa Xien yang datang dari Sri Langka pada tahun 414, terdampar karena angin
taupan yang hebat ke Yeh p’o t’i (Yawadwîpa, entah ini Jawa atau Sumatra, kurang jelas), merasa agak
kecewa terhadap situasi agamanya (=agama Buddha) di sana, apalagi apabila dibandingkan dengan kaum
brahmana dan orang-orang ‘kafir’. Tetapi sebelum tahun 424, menurut sumber China lagi, agama Buddha
tersebar di negara Shê p’o (=Jawa). Sang misionaris atau pendakwah yang menyebarkan agama ini adalah
konon adalah Gunawarman, seorang putra pangeran dari Kasmir. Ia datang ke pulau Jawa dari Sri Langka
dan pada tahun 424 bertolak ke China, di mana beliau meninggal tujuh tahun kemudian. Beliau
menterjemahkan sebuah teks dari mazhab Dharmagupta

Pada abad ketujuh, kedelapan, kesembilan para penganut Buddha Indonesia, atau paling tidak beberapa pusat
agama Buddha di Sumatra dan Jawa sudah merupakan bagian dari sifat kosmopolitis agama ini. Kesan ini
terutama didapatkan dari karya I Ching. Dalam buku kenangannya, ia menceritakan bahwa sang peziarah Hui
Ning memutuskan perjalanannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 – 667/8) untuk menterjemahkan
sebuah sutra, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung. Penterjemahannya
dibantu seorang pakar Jawa yang bernama Jñânabhadra. Sedangkan I Ching sendiri menghargai pusat-pusat
studi agama Buddha di Sumatra secara tinggi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa ia tinggal selama enam bulan
di Sriwijaya dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 dan setelah itu
selama sepuluh tahun di Sriwijaya (685-695).

Selain itu ia juga meringkaskan bahwa agama Buddha dipeluk di negeri-negeri yang dikunjunginya dan
sebagian besar, mazhab Hinayanalah yang dianut, kecuali di Malayu di mana ada pula beberapa penganut
Mahayana.

Tetapi di pulau Jawa, kurang dari seabad setelah ini, bentuk agama Buddha yang paling banyak dianut
merupakan sebuah kombinasi antara Mahayana dan Vajrayana. Candi Borobudur yang oleh beberapa orang
tertentu dianggap sebagai sebuah mandala raksasa, pada ribuan bas-reliefnya menunjukkan pemandangan
atau adegan yang dimuat dalam sejumlah teks-teks dalam bahasa Sansekerta yang bernafaskan atau dijadikan
dasar dari faham Mahayana. Teks-teks ini adalah: Mahakarmawibhangga, Lalitawistara, Diwyawadana dan
Gandawyuha.

Dengan candi Borobudur maka kita memasuki era berkembangnya budaya India-Jawa di Jawa Tengah (awal
abad ke 8 – 929). Era ini merupakan era yang meninggalkan kita candi-candi Kalasan, Mendut Sewu,
Plaosan, Prambanan dan lain sebagainya. Kemungkinan besar, banyak candi pula yang telah musnah. Semua
candi ini adalah candi Buddha atau candi Siwa. Agama Buddha sepertinya dianut oleh dinasti Sailendra dan
agama Hindu-Siwa dianut oleh dinasti Mataram I, yang mengikuti Sailendra dan kemungkinan besar
mendahului mereka pula. Dinasti Sailendra kemungkinan besar merupakan sebuah intermezzo saja. Tetapi
pasti kedua aliran agama ini ada dan berkembang secara berdampingan.

Sebenarnya tidak perlu dikemukakan lagi bahwa pasti ada lebih banyak aliran-aliran agama yang pernah ada
pada masa yang disebut di atas ini selain yang bisa dilihat pada peninggalan-peninggalan candi-candi yang
ada. Meskipun begitu ada sebuah aliran agama penting yang tidak ada bekasnya yaitu aliran Wisnuisme.
Pada Prasasti Tarumanegara yang berasal dari kurang lebih tahun 450, menunjukkan bahwa prabu
Purnawarman dari Tarumanagara di Jawa Barat menganut aliran Wisnuisme. Tetapi di sisi lain, paham Wisnu
dari dulu sudah dianggap kurang penting daripada paham Siwa maupun Buddha di Nusantara.

Lalu kemudian di jaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu. Hal-hal persatuan ini bisa
dilihat dalam beberapa karya sastra:

 Kakawin Sutasoma
 Kakawin Arjuna Wijaya

Pada jaman sekarang, di pulau Bali dan Lombok, agama Siwa dan Buddha dianggap dua mazhab berbeda
dari satu agama yang sama. Di Bali ada sebuah desa yang bernama Boda Keling di Karangasem, di sini
seluruh penduduknya menganut mazhab ini.

Artikel ini merupakan sebuah tulisan rintisan.


Anda dapat turut-serta mengembangkannya menjadi artikel yang utuh.

(Belum selesai)

Didapatkan dari halaman web "http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Siwa-Buddha"

Halaman berkategori: Rintisan

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Siwa-Buddha, 13 sept 05

Majapahit

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di
pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan
banyak wilayah lain di Nusantara.

Daftar Isi
[Sembunyikan]
 1 Kejayaan Majapahit
 2 Raja-raja Majapahit
 3 Lihat pula

 4 Pranala luar
[sunting]

Kejayaan Majapahit

Penguasa Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1389.

Majapahit adalah yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.
Didahului oleh kerajaan Sriwijaya, yang beribukotakan Palembang di pulau Sumatra.

Pendiri Majapahit, Kertarajasa, anak menantu penguasa Singhasari, juga berpangkalan di Jawa. Sesudah
Singhasari mengusir Srivijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, kekuasaan Singhasari yang
naik menjadi perhatian Kubilai Khan di China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti.

Kertanagara, pengasa kerajaan Singhasari, menolak untuk membayar upeti dan Khan memberangkatkan
ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293. Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri,
Jayakatwang, sudah membunuh Kertanagara. Pendiri Majapahit bersekutu dengan orang Mongolia melawan
Jayakatwang dan, satu kali Singhasari kerajaan binasa, membalik dan memaksa sekutu Mongolnya untuk
menarik kembali secara kalang-kabut.

Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke
pulau sekitarnya. Beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki
Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.

Walaupun penguasa Majapahit melebarkan kekuasaan mereka di tanah seberang di seluruh Nusantara dan
membinasakan kerajaan-kerajaan tetangga, fokus mereka kelihatannya hanya untuk menguasai dan
memonopoli perdagangan komersial antar pulau.

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama mulai memasuki Nusantara.
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, tenaga Majapahit berangsur-angsur melemah dan perang
suksesi yang mulai dari tahun 1401 dan berlangsung selama empat tahun melemahkan Majapahit. Setelah ini
Majapahit ternyata tak dapat menguasai Nusantara lagi. Sebuah kerajaan baru yang berdasarkan agama
Islam, yaitu Kesultanan Malaka mulai muncul dan menghancurkan hegemoni Majapahit di Nusantara.

Kehancuran Majapahit diperkirakan terjadi pada sekitar tahun 1500-an meskipun di Jawa ada sebuah
khronogram atau candrasengkala yang berbunyi seperti ini: sirna hilang kretaning bumi. Sengkala ini konon
adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebaga 0041 = 1400 Saka => 1478 Masehi. Arti
daripada sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi (Majapahit)”.

[sunting]

Raja-raja Majapahit
 Kertarajasa Jayawardhana 1294 -
1309
 Jayanagara 1309 - 1328
 Tribhuwana Wijayattungga Dewi
1328 - 1350
 Rajasanagara (Hayam Wuruk) 1350 -
1389
 Wikramawardhana 1389 - 1429
 Suhita 1429 - 1447
 Wijayaparakramawardhana 1447 -
1451
 Rajasawardhana 1451 - 1453
 Girindawardhana 1456 - 1466
 Singhawikramawardhana 1466 - 1478

[sunting]

Lihat pula
 Kakawin Nagarakretagama
 Pararaton
 Sejarah Nusantara

[sunting]

Pranala luar
 Diskusi tentang Perseteruan Ming
dan Majapahit

Didapatkan dari halaman web "http://id.wikipedia.org/wiki/Majapahit"

Halaman berkategori: Sejarah Nusantara | Majapahit

Perang Bubat

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan
Mahapatih Gajah Mada yang saat itu sedang melaksanakan Sumpah Palapa. Persitiwa ini melibatkan
Mahapatih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Pajajaran (Negeri Sunda) di
Pesanggrahan Bubat pada tahun 1357 M.

Peristiwa ini diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Citraresmi Dyah Pitaloka
dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan raja Hayam Wuruk terhadap putri Citraresmi karena beredarnya
lukisan putri Citraresmi di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu,
Sungging Prabangkara.

Namun catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis
Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang
telah lama putus antara Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran (Negeri Sunda). Di mana Raden Wijaya yang
menjadi pendiri kerajaan Majapahit adalah keturunan Pajajaran dari Dyah Singamurti atau Dyah Lembu Tal
yang bersuamikan Rakean Jayadarma menantu Mahisa Campaka. Rakean Jayadarma sendiri adalah kakak
dari Rakean Ragasuci yang menjadi raja di Kawali. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi
Nusantara parwa II sarga 3. Di mana dalam Babad Tanah Jawi sendiri, Wijaya disebut pula Jaka Susuruh
dari Pajajaran.

Dengan demikian Prabu Hayam Wuruk memutuskan mengambil istri dari Negeri Sunda atas restu dari
Keluarga kerajaan yang kemudian mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana yang
berniat melamar putri Citraresmi. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Sebenarnya dari pihak
dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri keberatan, yang terutama datang dari Mangkubuminya sendiri, Hyang
Bunisora Suradipati karena tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki.
Suatu hal yang dianggap tidak biasa menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu ditambah dengan
kekhawatiran bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik karena saat itu Majapahit sedang melebarkan
kekuasaannya diantaranya dengan menguasai Kerajaan Dompu di Nusatenggara.

Namun Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang
sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Maharaja Hayam Wuruk sebenarnya tahu akan hal ini
terlebih lebih setelah mendengar dari Ibunya sendiri Tribhuwana Tunggadewi akan silsilah itu. Berangkatlah
Maharaja Linggabuana bersama rombongan ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan
Bubat

Mahapatih Gajah Mada (dalam tata negara sekarang disejajarkan dengan Perdana Menteri) menganggap
bahwa kedatangan rombongan Pajajaran di Pesanggrahan Bubat merupakan suatu tanda bahwa Negeri Sunda
harus berada di bawah panji Majapahit sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah dia ucapkan pada masa
sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Gajah Mada mendapatkan jabatan Mahapatih atas karirnya militernya di
Majapahit, beliau mengawali karirnya sebagai prajurit pada kesatuan pengawal kerajaan Bhayangkari yang
merupakan pasukan elit Majapahit. Beliau mendesak Raja Hayam Wuruk untuk menerima Putri Citraresmi
bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas
Sunda di Nusantara. Maharaja Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalah itu karena Gajah Mada adalah
Mahapatih (Perdana Menteri) yang diandalkan Majapahit saat itu.

Kemudian terjadi Insiden perselisihan antara utusan dari Maharaja Linggabuana dengan Mahapatih Gajah
Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Mahapatih Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda
yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas
Majapahit bukan karena undangan sebelumnya. Namun Mahapatih Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Maharaja Hayam Wuruk memberikan putusannya, Mahapatih Gajah Mada sudah mengerahkan
pasukannya (Bhayangkari) ke pesanggrahan Bubat dan mengancam Maharaja Linggabuana untuk mengakui
superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Maharaja Linggabuana
menolak tekanan itu, dan terjadilah peperangan yang tidak seimbang yang melibatkan Mahapatih Gajah
Mada dengan pasukan yang besar dengan Maharaja Linggabuana dengan pasukan Balamati pengawal
kerajaan yang berjumlah sedikit, pejabat kerajaan para menteri yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu
berakhir dengan gugurnya Maharaja Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan serta Putri Citraresmi.

Maharaja Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali-yang
saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan perikahan antara maharaja Hayam Wuruk dengan putri
Citraresmi-untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang
menjadi Pejabat Sementara Raja Negeri Sunda serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat
dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil
hikmahnya.

Namun akibat peristiwa Bubat ini (mungkin dalam dunia politik sekarang dikatakan Skandal Bubat),
dikatakan dalam suatu catatan bahwa Hubungan Maharaja Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya menjadi
renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat mahapatih sampai wafatnya (1364 ). Sementara akibat
peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang
isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda. Sebagian lagi mengatakan yang
dimaksud adalah larangan menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

[sunting]

Sumber
 Yoseph Iskandar, "Perang Bubat",
Naskah bersambung Majalah Mangle,
Bandung, 1987.

Didapatkan dari halaman web "http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat"

Sejarah Agama Buddha


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta
Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama
ini sementara berkembang, unsure kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik
(Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini
praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan
perkembangan banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah
aliran tradisi Theravada (Hinayana), Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan
masa pasang dan surut.

Daftar Isi
[Sembunyikan]
 1 Kehidupan sang Buddha
 2 Tahap awal agama Buddha
o 2.1 Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
o 2.2 Konsili Kedua Buddha (383 SM)
 3 Dakwah Asoka (+/- 260 SM)
o 3.1 Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
o 3.2 Dunia Helenistik
o 3.3 Ekspansi ke Asia
 4 Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai
abad ke-1 SM)
 5 Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad
pertama Masehi)
 6 Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama
SM-Abad ke-2)
 7 Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai
abad ke-10 Masehi)
o 7.1 India
o 7.2 Asia Tengah dan Utara
 7.2.1 Asia Tengah
 7.2.2 Dataran Rendah Tarim
 7.2.3 Tiongkok
 7.2.4 Korea
 7.2.5 Jepang
 7.2.6 Tibet
o 7.3 Asia Tenggara
 7.3.1 Kerajaan Sri Wijaya (abad ke-
5–abad ke-15)
 7.3.2 Kerajaan Khmer (abad ke-9th–
abad ke-13)
 8 Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai
sekarang)
 9 Lahirnya kembali agama Buddha di Indonesia
pasca Orde Lama
 10 Penyebaran Agama Buddha di Dunia Barat

 11 Referensi
[sunting]
Kehidupan sang Buddha

Koin perak kaum Sakya (600–500 SM)

Artikel utama: Gautama Buddha

Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari klan Sakya pada awal
masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini.
Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Beliau juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah:
orang bijak dari kaum Sakya").

Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu
(kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari
dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat
dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi
seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah
(madya marga ?). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu
memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

Di bawah sebuah pohon beringin, sekarang dikenal sebagai pohon Bodhi, ia berkaul tidak akan pernah
meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan.
Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Sang Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta
yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).

Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai
Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-
beda.

Keengganan sang Buddha untuk mengangkat seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan
munculnya banyak aliran dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha
Nikaya, yang sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana,
sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.

[sunting]

Tahap awal agama Buddha

Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha
kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini
tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski
pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut
pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan
dalam gerakan Buddha.

[sunting]

Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)

Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah sang Buddha wafat di bawah perlindungan raja
Ajatasatru dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakasyapa, di Rajagrha
(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan sang Buddha (sutra
(Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama
Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang
murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah
menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.

[sunting]

Konsili Kedua Buddha (383 SM)

Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab
tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap sang Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai
pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan
ajaran Buddha demi mengatasi sengsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin
memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk
menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh,
dalam arti membuka jalan faham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan
monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniawan dan kaum awam
(itulah makanya nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").

Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan
bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang
ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.

Lihat pula: mazhab awal Buddha

[sunting]

Dakwah Asoka (+/- 260 SM)

Kapital (pucuk pilar) sebuah pilar yang didirikan oleh maharaja Asoka di Sarnath +/- 250 SM.

Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah
Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang
maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan
membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup
dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-
rumah sakit di seluruh negeri.

Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurung prasasti dan pilar yang ditinggalkan
Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha,
sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan
wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti
Asoka.

[sunting]

Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)

Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna).
Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha
yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan
perlindungan kerajaan dan organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.

Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sansekerta, dan secara harafiah berarti "Tiga Keranjang"),
yang memuat teks-teks rujukan tradisional Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha,
diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan monastik (Vinaya
Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).

Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain
yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah ditolak konsili ketiga, menurut
tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah,
sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki
ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas
Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan
terjadi pada saat yang sama.

[sunting]

Dunia Helenistik

Beberapa prasati Piagam Asoka menulis tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk
mempromosikan agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa putus
dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang mendalam mengenai sistem
politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka
disebut sebagai penerima dakwah agama Buddha: Antiochus II Theos dari Kerajaan Seleucid (261–246 SM),
Ptolemeus II Philadelphos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari Makedonia (276–239 SM),
Magas dari Kirene (288–258 SM), dan Alexander dari Epirus (272–255 SM).

Dakwah agama Buddha semasa pemerintahan maharaja Asoka (260–218 SM).


"Penaklukkan Dharma telah dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus
yojana (6.400 kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di mana
empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta, dan juga di sebelah
selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu ke-13,
S. Dhammika)

Kemudian, menurut beberapa sumber dalam bahasa Pali, beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu
Yunani, yang menunjukkan eratnya pertukaran agama antara kedua budaya ini:
"Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah
menyelesaikan Konsili (ke-3) […], beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke
sana: […] dan ke Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat dan Sindhu), beliau
mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).

Tidaklah jelas seberapa jauh interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai
tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu.
Mereka terutama menunjukkan keberadaan komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di
Alexandria (disebut oleh Clement dari Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-monastik pra-Kristen
bernama Therapeutae (kemungkinan diambil dari kata Pali "Theravada"), yang kemungkinan "mengambil
ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).

Koin raja Yahudi, Raja Alexander Jannaeus (103-76 SM), dengan sebuah cakra berisikan delapan ruji.

Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji
delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja
Yahudi, Raja Alexander Jannaeus (103-76 SM). Alexander Jannaeus dihubungkan dengan sekte falsafi
Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen.
Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang
Romawi menginvasi Yudea pada 63 SM.

Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra
(Tarn, "The Greeks in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha di
Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga beberapa pusat agama Kristen
yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen "Zen living").

[sunting]

Ekspansi ke Asia

Di daerah-daerah sebelah timur anak benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India banyak
mempengaruhi sukubangsa Mon. Dikatakan suku Mon mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM
berkat dakwah maharaja Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan Hinayana.
Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh berasal dari abad pertama
sampai abad ke-5 Masehi.
Penggambaran suku Mon mengenai (Dharmacakra), seni dari Dvaravati, +/-abad ke-8.

Seni Buddha suku Mon terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode pasca Gupta. Gaya
manneris mereka menyebar di Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon antara abad ke-5 dan abad
ke-8. Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon, sampai diganti secara
bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.

Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka oleh putra Asoka Mahinda dan enam kawannya semasa abad ke-
2 SM. Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan masuk agama
Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara, pusat aliran Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali
dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan Raja Vittagamani (memerintah 29–17 SM), dan tradisi
Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga bermukim di sana seperti
Buddhaghosa (abad ke-4 sampai ke-5). Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu,
akhirnya aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir aliran Theravada,
dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara mulai abad ke-11.

Ada pula sebuah legenda, yang tidak didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah
mengirim seorang misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya, menuju ke Khotan di dataran rendah
Tarim, kala itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa Tokharia.

Lihat pula: Piagam-piagam Asoka

[sunting]

Penindasan oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)

Dinasti Sungga (185–73 SM) didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya
maharaja Asoka. Setelah membunuh Raja Brhadrata (raja terakhir dinasti Maurya), hulubalang tentara
Pusyamitra Sunga naik takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian
dan penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara dan membunuh para
bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha yang telah dibangun Asoka dirusak (R. Thaper),
dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol.
XXII, halaman 81 dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha dirubah menjadi kuil Hindu,
seperti di Nalanda, Bodhgaya, Sarnath, dan Mathura.

Lihat pula: Kekaisaran Sungga

[sunting]

Interaksi Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)

Drakhma perak Menander I (berkuasa +/- 160–135 SM).


Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah "Raja Penyelamat Menander".

Di wilayah-wilayah barat Anak benua India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di Baktria
(sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukkan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM:
pertama-tama kaum Seleucid dari kurang lebih tahun 323 SM, lalu Kerajaan Baktria-Yunani dari kurang
lebih tahun 250 SM.
Arca Buddha-Yunani, salah satu penggambaran Buddha, abad pertama sampai abad ke-2 Masehi, Gandhara.

Raja Baktria-Yunani Demetrius I dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180 SM dan sampai sejauh
Pataliputra. Kemudian sebuah Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan lestari di India bagian utara sampai
akhir abad pertama SM.

Agama Buddha berkembang di bawah naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud
mereka menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Kekaisaran Maurya dan
melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum Sungga (185–73 SM).

Salah seorang raja Yunani-India yang termasyhur adalah Raja Menander I (yang berkuasa dari +/- 160–135
SM). Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana sebagai salah satu
sponsor agama ini, sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja Kushan dari masa yang akan datang, raja
Kaniska. Koin-koin Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani, dan "Maharaja
Dharma" dalam aksara Kharosti. Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda
Panha antara raja Yunani Menander I dan sang bhiksu Nagasena pada sekitar tahun 160 SM. Setelah
mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh kota-kota yang dikuasainya dan
ditaruh di stupa-stupa tempat pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus, Praec. reip.
ger. 28, 6).

Interaksi antara budaya Yunani dan Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran
Mahayana, sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan perlakuan
Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala seperti ini pelukisan Buddha secara
antropomorfis dilakukan, seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani: "One might regard the classical
influence as including the general idea of representing a man-god in this purely human form, which was of
course well familiar in the West, and it is very likely that the example of westerner's treatment of their gods
was indeed an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of Classical Art in Antiquity").

Lihat pula: Agama Buddha-Yunani

[sunting]

Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)

Koin emas Kekaisaran Kushan memperlihatkan maharaja Kanishka I (~100–126 Masehi) dengan sebuah
lukisan Helenistik Buddha, dan kata "Boddo" dalam huruf Yunani.

Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di
India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum
nomad Indo-Eropa yang berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang
mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja
Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali
diasosiasikan dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran
Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili
rahib bidaah".

Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting
Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih
dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.

Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci
diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya
dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah
menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran
Buddha.

Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau
bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar
Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena
pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.

[sunting]

Penyebaran Mahayana (Abad pertama sampai abad ke-10 Masehi)

Penyebaran aliran Mahayana antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.

Dari saat itu dan dalam kurun waktu beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur.
Dari India ke Asia Tenggara, lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok, Korea, dan akhirnya Jepang pada
tahun 538.

[sunting]

India

Setelah berakhirnya masa kaum Kushan, agama Buddha berkemabng di India selama dinasti Gupta (abad ke-
4 sampai ke-6). Pusat-pusat studi Mahayana didirikan, terutama di Nalanda bagian timur laut India, yang
akan menjadi 'universitas' Buddha yang paling besar dan paling berpengaruh untuk abad-abad yang akan
datang. Beberapa pengajarnya yang terkenal adalah Nagarjuna. Gaya seni Buddha ala Gupta menjadi sangat
berpengaruh di Asia Tenggara sampai Tiongkok Kuna sementara agama ini menyebar ke sana.
Buddha dan Bodhisattwa, abad ke-11, Kekaisaran Pala.

Agama Buddha India menjadi lemah pada abad ke-7 mengikuti invasi Hun Putih dan Islam. Namun, di
bawah Kekaisaran Pala, mazhab Mahayana berkembang kembali antara abad ke-8 dan ke-12. Kaum Pala
banyak mendirikan kuil-kuil dan sebuah aliran seni Buddha yang khas.

Sebuah tonggak bersejarah penting dalam runtuhnya agama Buddha di India terjadi pada tahun 1193 ketika
para penakluk Islam Turki di bawah Muhammad Khilji menghancurkan Nalanda. Pada akhir abad ke-12,
setelah penaklukkan oleh kaum Islam atas benteng-benteng Buddha di Bihar, keberadaan kaum Buddha di
India menjadi langka. Selain itu pengaruh agama Buddha juga pudar akibat gerakan renaisans Hindu seperti
Advaita dan munculnya gerakan bhakti.

Meskipun lahir di India, pada awal abad ke-20, agama Buddha hanya dipeluk oleh beberapa orang di daerah-
daerah terpencil di India.

Lihat pula: Agama Buddha di India, Hancurnya agama Buddha di India

[sunting]

Asia Tengah dan Utara

[sunting]

Asia Tengah

Asia Tengah telah dipengaruhi dengan agama Buddha semenjak kurang lebih masa hidup sang Siddhartha
Gautama. Menurut sebuah cerita legenda dalam bahasa Pali, bahasa aliran Theravada, dua saudagar
bersaudara dari Baktria, bernama Tapassu dan Bhallika, mengunjungi sang Buddha dan menjadi muridnya.
Mereka kembali ke Baktria dan membangun kuil-kuil untuk memuja Buddha (Foltz).

Asia Tengah telah lama memainkan peran yang penting sebagai titik temu antara Tiongkok, India dan Persia.
Semasa abad ke-2 SM, ekspansi Dinasti Han ke arah barat menjadikan mereka mendapatkan kontak dengan
kebudayaan-kebudayaan Helenistik Asia, terutama Kerajaan Baktria-Yunani. Setelah itu, ekspansi agama
Buddha ke utara membawa pembentukan komunitas-komunitas Buddha dan bahkan kerajaan Buddha di
sekitar oase-oase Asia Tengah. Beberapa kota di sepanjang Jalur Sutra terdiri dari sebagian besar stupa-stupa
Buddha dan vihara, dan kelihatannya bahkan tujuan mereka ialah untuk mengurusi para musafir yang
melawat dari barat dan timur.

Beberapa aliran Nikaya tetap bertahan di Asia Tengah dan Tiongkok sampai kurang lebih abad ke-7 Masehi.
Mazhab Mahayana mulai menjadi penting dalam masa ini, tetapi karena kepercayaan ini mulai
mengembangkan pendekatan Nikaya, Sarvastivadin dan Dharmaguptaka tetap menjadi Vinaya pilihan di
vihara-vihara Asia Tengah.

Agama Buddha di Asia Tengah mulai menghilang dengan munculnya ekspansi agama Islam. Kaum Muslim
tidak memperlihatkan toleransi terhadap kaum Buddha yang mereka berikan kepada "ahli al-Kitab" lainnya
seperti kaum Kristen dan Yahudi. Mereka berpendapat bahwa orang Buddha adalah penyembah berhala dan
cenderung menindas mereka.

Lihat pula: Jalur Sutra, Penyebaran agama Buddha melalui Jalur Sutra

[sunting]

Dataran Rendah Tarim

Para rahib bermata biru dari Asia Tengah dan rahib Asia Timur, Bezaklik, Dataran Rendah Tarim Timur, abad
ke-9 sampai ke-10.

Wilayah timur Asia Tengah, (yaitu Turkestan China, Dataran Rendah Tarim dan Xinjiang) telah
membeberkan banyak sekali karya seni Buddha (lukisan-lukisan dinding dan relief-relief di banyak gua-gua,
lukisan di kanvas yang bisa dibawa, patung, dan obyek-obyek ritus), menunjukkan banyak pengaruh dari
budaya India dan Helenistik. Seni Serindia menurapakan peninggalan kuat gaya Gandhara dan banyak
naskah dalam aksara Gandhari yaitu aksara Kharosthi ditemukan.

Penduduk Asia Tengah kelihatannya memegang peranan yang menentukan dalam menyebarkan agama
Buddha ke Timur. Para penterjemah pertama kitab-kitab suci Buddha ke bahasa Mandarin adalah orang
Parthia (Ch: Anxi) seperti An Shigao (148) atau An Hsuan, orang Yuezhi seperti Zhiqian dan Zhilou Jiachen,
orang Sogdian (Ch: Kangju) seperti Kang Sengkai, atau orang Kusha seperti Lokaksema (c. 178). Tigapuluh
tujuh penterjemah teks-teks Buddha diketahui dan mayoritas dari mereka bisa diidentifikasikan sebagai orang
Asia Tengah.

Bhikus-bhiksu Asia Tengah dan Asia Timur kelihatannya berhubungan dengan erat sampai kira-kira bad ke-
10, seperti terlihat pada fresko dari dataran rendah Tarim.

Namun pengaruh ini secara capat diambil oleh kebudayaan Tionghoa dengan giat, dan mulai pada titik
tersebut sebuah ciri khas Tionghoa muncul.

Lihat pula: Dunhuang, Kerajaan Khotan

[sunting]

Tiongkok
Arca Buddha duduk (dinasti Tang +/- 650 China)

Agama Buddha kemungkinan besar muncul di Tiongkok sekitar abad pertama Masehi dari Asia Tengah
(meski menurut tradisi agama ini dibawa oleh seorang bhikus pada masa pemerintahan raja Asoka), sampai
abad ke-8 ketika negara ini menjadi pusat agama Buddha yang penting.

Agama Buddha tumbuh dengan subur selama awal dinasti Tang(618–907). Dinasti ini memiliki ciri
keterbukaan kuat terhadap pengaruh asing, dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India karena banyaknya
perjalanan bhiksu Buddha ke India dari abad ke-4 sampai abad ke-11.

Namun pengaruh asing kembali dianggap negatif pada masa akhir dinasti Tang. Pada tahun 845, Kaisar Tang
Wu-Tsung melarang semua agama "asing" (termasuk agama Kristen mazhab Nestorian, Zoroastrianisme, dan
Buddha) untuk lebih mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi.

Di seluruh wilayahnya, dia menyita harta milik Buddha, biara dan kuil dirusak, dan rahib Buddha ditindas,
Maka dengan ini berakhirlah kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha.

Namun aliran Buddha Tanah Murni dan Chan terus berkembang selama beberapa abad, dan perkembangan
ini akhirnya akan menimbulkan aliran Buddha Jepang Zen.

Di Tiongkok, Chan tumbuh dengan subur teristimewa di bawah dinasti Song (1127 – 1279), ketika biara-
biarannya menjadi pusat kebudayaan dan tempat belajar yang agung.

Lihat pula: Agama Buddha di Tiongkok

[sunting]

Korea

Agama Buddha diperkenalkan di Korea sekitar tahun 372, ketika para duta dari Tiongkok yang berkunjung
ke kerajaan Goguryeo, membawa kitab-kitab dan gambar-gambar. Lalu agama Buddha berkembang dengan
pesat di Korea, dan terutama aliran Seon (Zen) mulai abad ke-7. Namun, mulai dengan Dinasti Yi yang
menganut ajaran Konfusianisme pada masa Joseon pada tahun 1392, agama Buddha mulai didiskriminasi
sampai hampir hilang sama sekali, kecuali gerakan Seon yang masih ada.

Lihat pula: Agama Buddha di Korea

[sunting]

Jepang
Sang Mahabuddha di Kamakura (1252)

Jepang, sekarang merupakan negara Buddha yang terbesar, menemukan agama Buddha pada abad ke-6
ketika para bhiksu melakukan perjalan ke kepulauan mereka sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan
karya seni. Agama Buddha lalu dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya.

Karena secara geografis terletak pada ujung Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama
Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok.

Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda lima
tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat sampai tak
terhitung dan seringkali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang terutama sangat padat
antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian, dan Kamakura.

Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini
oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan
asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan
intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian
untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu
(upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa
setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-
tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).

Agama Buddha sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Sekitar 80.000 kuil-kuil Buddha masih
dipelihara secara teratur.

Lihat pula: Agama Buddha di Jepang, Seni Jepang, Zen

[sunting]

Tibet

Tantrisme Buddha dimulai sebagai gerakan di India Timur sekitar abad ke-5 atau abad ke-6. Banyak praktek-
praktek Tantrik berasal dari Brahmanisme (penggunaan mantra-mantra, yoga, atau pembakaran persembahan
korban), dan pada hakekatnya sudah dipengaruhi oleh pemikiran Mahayana. Tantrisme, juga disebut sebagai
ajaran Vajrayana, dan menjadi bentuk dominan Buddhisme di Tibet dari abad ke-8.

Lihat pula: Agama Buddha di Tibet, Seni Tibet

[sunting]

Asia Tenggara
Boddhisattva Avalokiteshvara bertangan empat (abad ke-8, masa Sri Wijaya, Thailand)

Selama abad pertama Masehi, perdagangan di Jalur Sutra yang melalui darat cenderung dibatasi oleh
kenaikan kekaisaran Parthia di Timur Tengah, sebuah bebuyutan Kekaisaran Romawi yang belum hancur.
Sementara itu kala itu bersamaan dengan waktu di mana orang Roma sedang menjadi sangat kaya dan
permintaan mereka untuk kemewahan Asia naik.

Permintaan ini menghidupkan lagi hubungan laut di antara Laut Tengah dan Tiongkok, dengan India sebagai
perantara terpilih. Dari waktu itu, lewat hubungan perdagangan, koloni-koloni dagang, dan bahkan intervensi
politik, India memulai dengan kuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Rute dagang menghubungkan India
dengan selatan Burma, pusat dan selatan Siam, Kamboja dan selatan Vietnam, dan banyak pemukiman
pesisir didirikan di sana.

Lebih dari seribu tahun, pengaruh India merupakan faktor utama yang membawa persatuan budaya di antara
banyak negara yang berbeda-beda di kawasan ini. Bahasa Pali dan bahasa Sansekerta serta aksara India
bersama dengan Theravada, Mahayana, Brahmanisme, dan agama Hindu, disebarkan secara langsung melalui
teks-teks kesusastraan India seperti Ramayana dan Mahabharata.

Dari abad ke-5 sampai abad ke-13, Asia Tenggara memiliki kerajaan-kerajaan dan bahkan kekaisaran yang
kuat dan berkuasa dan menjadi aktif dalam pengembangan arsitektur dan seni Buddha. Pengaruh utama
Buddha berasal dari anakbenua India, sehingga negara-negara di sini menganut aliran Mahayana. Sri Wijaya
di selatan dan kerajaan Khmer di utara saling berusaha menjadi yang paling berkuasa dan kesenian mereka
mencermikan pantheon Bodhisattva Mahayana yang sangat kaya.

[sunting]

Kerajaan Sri Wijaya (abad ke-5–abad ke-15)

Sri Wijaya, sebuah negara maritim yang berpusat di Sumatra, memeluk aliran Mahayana dan Yajrayana. Sri
Wijaya menyebarkan kedua alirannya ini ketika mereka berkuasa ke seantero Asia Tenggara. Banyak sekali
patung-patung Bodhisattva Mahayana dari masa ini memiliki ciri khas kehalusan yang sangat kuat dan
kecanggihan tekhnik yang unggul dan ditemukan di seantero Asia Tenggara.

Lalu di Jawa pada masa yang sama ditemukan peninggalan candi Borobudur (bangunan Buddha terbesar di
seluruh dunia dan dibangun sekitar tahun 780 oleh dinasti Sailendra), yang memiliki 505 citra Buddha yang
bersila. Kerajaan Buddha Sri Wijaya akhirnya binasa karena konflik dengan kaum Chola dari India selatan,
Majapahit pada abad ke-14 sebelum hancur sama sekali karena pengaruh penyebaran Islam setelah masa ini.

[sunting]
Kerajaan Khmer (abad ke-9th–abad ke-13)

Avalokiteshvara, masa Angkor (8021431), abad ke-10–abad ke-11

Kelak, dari abad ke-9 sampai abad ke-13, aliran Mahayana dan Kerajaan Khmer Hindu menguasai bagian
terbesar semenanjung Asia Tenggara. Di bawah Khmer, lebih dari 900 candi dibangun di Kamboja dan di
negara tetangga Thailand. Angkor di pusat perkembangan ini, dengan kompleks candi dan pengaturan
perkotaan dapat menyangga sekitar satu juta orang penduduk perkotaan.

Seorang di antara raja Khmer yang istimewa, Jayavarman VII (1181–1219), membangun bangunan terbesar
Buddha di Bayon dan Angkor Thom. Mengikuti hancurnya Buddhisme di India daratan selama abad ke-11,
Mahayana ditolak di Asia Tenggara, diganti dengan Theravada dari Sri Langka.

[sunting]

Kelahiran kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)

Penyebaran aliran Buddha Theravada dari abad ke-11.

Mulai abad ke-11, hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan
kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua India menjadi bahaya, maka
arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah lewat Sri Lanka dan ke China terjadi, menyebabkan
dipeluknya aliran Theravada Pali kanon, lalu diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11 dari Sri
Lanka.

Raja Anawrahta (1044–1077), pendiri sejarah kekaisaran Birma, mempersatukan negara dan memeluk aliran
Theravada. Ini memulai membangun ribuan candi Budha Pagan, ibu kota, di antara abad ke-11 dan abad ke-
13. Sekitar 2.000 di antaranya masih berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan
dengan ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha Theravada masih
merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.

Kepercayaan Theravada juga dipeluk oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai sekitar 1260. Theravada lebih jauh
menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14 sampai abad ke-18), menjadi bagian integral masyarakat
Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada terus menyebar ke Laos dan Kamboja pada abad ke-13.
Tetapi, mulai abad ke-14, di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam
ternyata lebih kuat, mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan
Filipina.

[sunting]

Lahirnya kembali agama Buddha di Indonesia pasca Orde Lama

Namun, sejak 1966 dengan naiknya Presiden Soeharto setelah peristiwa berdarah G-30-S PKI yang konon
katanya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada renaisans luar biasa agama Buddha di Indonesia. Ini
sebagian disebabkan oleh syarat Pemerintahan Orde Baru Soeharto bahwa warga Indonesia harus mengambil
satu di antara lima agama resmi: Islam, Protestan, Katholik, Hindu atau Buddha. Sekarang diperkaran ada 10
jutaan umat Buddha di Indonesia. Sebagian besar mereka adalah orang keturunan Tionghoa.

[sunting]

Penyebaran Agama Buddha di Dunia Barat

Setelah pertemuan Klasik antara agama Buddha dan Kebudayaan Barat menghasilkan Seni Buddha-Yunani,
pertemuan pertama antara orang Eropa dan agama Buddha terjadi pada Abad Pertengahan ketika bruder
Fransiskan Willem van Ruysbroeck dikirim sebagai duta ke istana Mongolia milik Monke oleh Raja Perancis
Santo Louis pada tahun 1253. Kontak ini terjadi di Cailac (sekarang Qayaliq di Kazakhstan), dan Willem
pertama-tama mengira bahwa mereka adalah orang Kristen yang sudah mutakhir dan canggih (Foltz,
"Religions of the Silk Road").

Namun ketertarikan utama bagi agama Buddha muncul selama jaman kolonial, ketika kekuasaan Barat
berada di posisi untuk menyaksikan kepercayaan dan manifestasi artistiknya secara terperinci. Filsafat Eropa
dengan kuat dipengaruhi oleh penelitian agama Timur saat itu.

Dibukanya Jepang untuk orang asing pada tahun 1853 juga membuat minat untuk meneliti sastra dan
kebudayaan Jepang berkembang, dan merupakan akses yang sangat baik kepada salah satu kebudayaan
Buddha yang terbesar di dunia.

Agama Buddha mulai menikmati minat kuat dari penduduk umum di belahan barat dunia selama abad ke-20,
mengikuti kegagalan utopia sosial yang terlihat, dari Fasisme ke Marxisme. Sesudah Perang Dunia II, fokus
kemajuan cenderung bergeser ke perkembangan pribadi, baik pada sisi rohani maupun jasmani.

Dalam konteks ini, agama Buddha sudah menunjukkan daya tarik kuat, karena toleransinya, ketiadaan
konsep autoritas Ketuhanan dan determinisme, dan fokusnya terhadap perkembangan jalan-jalan pribadi
menuju penerangan (dan keselamatan).

Lihat pula: Buddhisme di Dunia Barat, Agama Buddha di Amerika

[sunting]

Referensi
 "Dictionary of Buddhism" by
Damien Keown (Oxford University
Press, 2003) ISBN 0198605609
 "The Diffusion of Classical Art in
Antiquity" by John Boardman (Princeton
University Press, 1994) ISBN
0691036802
 "Living Zen" by Robert Linssen
(Grove Press, New York, 1958) ISBN
0802131360
 "National Museum Arts asiatiques-
Guimet" (Editions de la Reunion des
Musées Nationaux, Paris, 2001) ISBN
2711838978.
 "Religions of the Silk Road" by
Richard Foltz (St. Martin’s Griffin, New
York, 1999) ISBN 0312233388
 "The Shape of Ancient Thought.
Comparative studies in Greek and Indian
Philosophies" by Thomas McEvilley
(Allworth Press, New York, 2002) ISBN
1581152035
 "The Times Atlas of Archeology"
(Times Books Limited, London, 1991)
ISBN 0723003068
 "Japanese Buddhism" by Sir
Charles Eliot, ISBN 0710309678
 "Hinduism and Buddhism: An
Historical Sketch" by Sir Charles Eliot,
ISBN 8121510937

Didapatkan dari halaman web "http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha"

Halaman berkategori: Buddhisme

Views

 Artikel
 diskusi
 Sunting
 versi terdahulu

Alat pribadi

 Masuk log

Panduan Arah

 Halaman Utama
 Portal komunitas
 Peristiwa terkini
 Perubahan terbaru
 Halaman sembarang
 Bantuan
 Sumbangan dana

Cari

Tuju ke Cari

Kotak Peralatan

 Pranala ke halaman ini


 Perubahan terkait
 Pemuatan
 Halaman istimewa
 Versi untuk dicetak
 Pranala (link) permanen

Bahasa lain
 English
 Nederlands
 Tiếng Việt

 Halam
an ini
terakhi
r
diubah
pada
23:52,
5
Septem
ber
2005.
 Seluru
h teks
tersedi
a
dalam
naunga
n GNU
Free
Docum
entatio
n
Licens
e.
 Menge
nai
Wikipe
dia
 Penyan
gkalan

Anda mungkin juga menyukai