Anda di halaman 1dari 12

ROCURONIUM BROMIDE

Rocuronium merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi turunan


aminosteroid, dengan efek utamanya pada post-junctional dan selektifitas yang tinggi pada
reseptor sambungan saraf-otot.

INDIKASI
Intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi mekanik.

DOSIS DAN PEMBERIAN


Rocuronium bromide diberikkan secara intravena baik secara bolus maupun melalui infus
secara berkelanjutan.
- Intubasi trakea
Dosis untuk intubasi rutin adalah 0,6 mg/kg. Untuk induksi cepat dosis rocuronium
1,0 mg/kg, lakukan intubasi setelah 90 detik pemberian rocuronium.
- Dosis pemeliharaan
Disarankan 0,15 mg/kg, untuk inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg.
- Infus berkelanjutan
Disarankan terlebih dahulu memberikan dosis muatan 0,6 mg/kg saat persarafan otot
mulai kembali normal, lalu kemudian berikan melalui infus, dengan rata-rata 0,3-0,6
mg/kg. Jika melalui inhalasi rata-rata 0,3-0,4 mg/kg.
- Dosis dalam membantu ventilasi mekanik
Untuk satu jam pertama berikan 0,3-0,6 mg/kg. Jika ingin diberikan ventilasi mekanik
untuk 6-12 jam dosis harus diturunkan dengan rata-rata 0,2-0,5 mg/kg.

FARMAKODINAMIK
Rocuronium bekerja sebagai pelumpuh otot non-depolarisasi yaitu mencegah depolarisasi
dengan jalan berikatan dengan reseptor asetilkolin dengan cara:
1. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptornya sehingga mencegah depolarisasi
motor end-plate.
2. Molekul obat akan masuk ke kanal reseptor dan menyebabkan blokade kanal.
3. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja pada presinaptik, memblokade kanal Natrium
dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa ke release site.
Mula kerja rocuronium lebih cepat dibandingkan pelumpuh otot non- depolarisasi yang telah
tersedia, pada beberapa dosis perbandingan pelumpuh otot, rocuronium memberikan paralisis
dan kondisi intubasi yang baik serta lebih cepat.

- Kardiovaskuler
Rocuronium memiliki sedikit efek vagolitik, oleh karena itu rocuronium dapat juga
digunakan untuk operasi yang mempunyai resiko stimulasi vagal. Begitupun rocuronium
tidak menyebabkan perubahan denyut jantung ataupun tekanan darah.
Pada dosis klinis rocuronium mempunyai aktifitas sedikit atau tidak ada pada reseptor
kolinergik nikotinik yang lain di luar otot rangka. Efek vagolitik yang ringan, yang tampak
pada dosis yang lebih tinggi dari rokuronium dapat membantu pencegahan bradikardia
intraoperatif.
Kurangnya efek blok ganglion otonom secara relatif atau efek simpatomimetik, biasanya
tidak menyebabkan permasalahan pada pasien-pasien yang menggunakan terapi
(antidepresan, β blocker) yang mana targetnya adalah sistem simpatik.

- Pelepasan histamin dan reaksi histaminoid


Penggunaan zat ini dapat mengakibatkan pelepasan histamin baik lokal ataupun sistemik.
Reaksi lokal seperti gatal dan kemerahan pada tempat suntikan. Reaksi sistemik berupa
bronkospasme, gangguan pada jantung seperti hipotensi dan takikardi. Oleh karena itu
penggunaan zat ini harus dijaga. Pemberian Rocuronium bromide dengan dosis rata-rata 0,3-
0,9 mg/kg hanya sedikit meningkatkan histamin plasma.

- Reaksi lokal pada tempat suntikan


Nyeri pada saat penyuntikkan Rocuronium bromide pernah dilaporkan. Terutama pada
pasien yang belum hilang kesadarannya secara penuh dan sebagian pada pasien yang
diinduksi oleh propofol.

FARMAKOKINETIK
Rocuronium biasanya dapat diberikan melalui intramuskular dan intravena.
Rocuronium memiliki bioavailabilitas berkisar 68,2%, dengan memiliki konsentrasi plasma
puncak pada menit ke 13 dan sekitar 80% dari obat yang dapat diserap dan dikelola secara
sistemik. Pada rocuronium ikatan dengan protein plasma hanya sekitar 30%. Hasil dari
metabolisme rocuronium adalah 17- desacetylrocuronium, dan sebagian besar dimetabolise
oleh hepar. Hasil metabolit rocuronium diekskresi pada billier sekitar 10% lebih kecil dari
eskresi pada ginjal, efek kerja rocuronium mungkin akan lebih lama atau lebih besar pada
pasien dengan penyakit hati daripada pasien dengan kelainan ginjal.

Awitan aksi : 45-90 detik


Efek puncak : 1-3 menit
Lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis)

INTERAKSI OBAT
Meningkatkan efek
- Anestetik inhalasi dan eter
- Pelumpuh otot non-depolarisasi lainnya
- Dosis tinggi dari tiopental, metoheksital, ketamin, fentanil, gammahidroksibutirat,
propofol, dan etomidat.
- Suksametonium
- Antibiotik : Aminoglikosida, lincosamid, antibiotik polipeptida, antibiotik acylamino-
penisilin, tetrasiklin, dan dosis tinggi metronidazol
- Diuretik : tiamin, MAO inhibitor, quinidin, protamin, alfa-adrenergik bloker, garam
magnesium, calcium channel blocking agents, dan garam lithium
Menurunkan efek
- Neostigmin, Edrofonium, pyridostigmin, derivat aminopyridin.
- Kortikosteroid, fenitoin, dan karbamazepin.
- Noradrenalin, azathioprine, teofilin, kalsium klorida dan potassium klorida.
EFEDRIN
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis Efedra. Efek
farmakodinamik efedrin banyak menyerupai efek Epinefrin. Perbedaannya adalah bahwa
efedrin efektif pada pemberian oral, masa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih
kuat, tapi diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari pada epinefrin.

INDIKASI
Pengobatan hidung tersumbat, hipotensi akibat penggunaan anestesi, akut bronkospasme

DOSIS DAN PEMBERIAN


Dewasa:
Hipotensi akibat penggunaan anestesi: Rute pemberian IV (secara perlahan-lahan): 5-
25mg/dosis pemberian (rentang umum 10-50mg); dapat diulang jika diperlukan setelah 5-
10menit, kemudian setiap 3-4jam (max 150mg/24jam).
Idiopathic orthostatic hypotension(penggunaan offlabel): Rute pemberian oral: 25-50 mg (3
kali/hari; max 150 mg/hari). Catatan: tidak sebagai pilihan pertama untuk indikasi ini.
Bronkospasme akut: Rute pemberian SC, IM, IV: 12,5-25 mg. Rute pemberian oral: 10-20
mg dua kali sehari.
Nasal congestion: Rute pemberian oral: 25-50 mg setiap 6 jam, atau jika diperlukan.
Mual dan muntah setelah operasi yang tidak dapat diatasi dengan pemberian antiemetik
(penggunaan offlabel): Rute pemberian IM: 0,5 mg/kg pada akhir operasi.

FARMAKODINAMIK
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, β1, β2. Efek pada α1 di
perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada β 1 dan β2 adalah
melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek β1 berupa takikardi tidak nyata karena
terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin
melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya
mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu
singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE
yang dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis) terhadap efek perifernya.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE
keluar.
Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10
kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan
nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi
terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah
jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap
kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah
koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan
darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.
Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih rendah dibanding epinefrin karena efek
efedrin pada α1 di vena lebih dominan dibanding di arteri, sehingga respon peningkatan TD
lebih lemah 250 kali dibanding adrenalin. Efek efedrin berupa peningkatan TD, HR, CO,
aliran darah koroner dan peningkatan SVR. Efedrin bolus 5- 10 mg pada orang dewasa
normal sedikit meningkatkan SVR dan peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin
adalah hasil dari akumulasi dari peningkatan SVR, preload, HR< CO.
Setelah pemberian efedrin terjadi vasokontriksi pada vascular bad, juga disertai
vasodilatasi pada daerah lain melalui reseptor β2. Melalui reseptor β1 akan meningkatkan
kontraktilitas otot jantung.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi karena sub
arakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan inhalasi. Untuk mengatasi
hipotensi ini efedrin diberikan 3- 10 mg IV atau 25-50 mg IM. Pemberian efedrin sampai
dosis 70μ/kgBB tidak meningkatkan TD secara bermakana.
Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek metabolik berupa
peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini tidak sebesar akibat epinefrin
(Gan, 1981). Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi aktivitas otot uterus, dan pada
bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga dapat dipakai untuk
pengobatan asthma bronchial.
Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama dibandingkan
dengan Epinefrin. Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek
cahaya, daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus dikurangi
oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore.

FARMAKOKINETIK
Absorpsi: secara cepat dan sempurna diserap setelah diminum, IM atau pemberian
melalui injeksi. Bronchodilatasi terjadi dalam waktu 15-60 menit setelah pemberian oral obat
dan nampak tetap ada selama 2-4 jam. Lamanya pressor dan reaksi jantung tehadap ephedrin
adalah 1 jam setelah aturan 10-25 mg atau IM atau pemberian injeksi 25-50 mg dan sampai 4
jam setelah obat 15-50 mg diminum.
Distribusi: ephedrin memasuki plasenta dan menyebar ke air susu.
Eliminasi: jumlah kecil dimetabolisme lambat dalam hati oleh oxidative deamination,
demethylation, aromatic hydroxylation dan konjugasi. Ephedrin dan metabolitnya disekresi
dalam urin. tingkat eksresi urin dari obat dan metabolitnya tergantung pada pH urin.
Stimulasi reseptor alfa pada otot kandung kemih dapat meningkatkan resistensi pengeluaran
urin. Aktifasi reseptor beta pada paru-paru menimbulkan bronkodilatasi. Obat ini juga dipakai
sebagai stimulan ssp. Efedrin dieksresi di urin dalam bentuk yang sama, t1/2 = 3 - 6 jam.

INTERAKSI OBAT
1. Meningkatkan toksisitas pada jantung: agen simpatomimetik, teofilin glikosida
jantung, atau anastesi umum.
2. Meningkatkan risiko aritmia jantung: siklopropane halothane.
3. Meningkatkan risiko hipertensi, hiperpireksia, sakit kepala: isocarboxazid,
procarbazine, iproniazid, pargyline, clorgylin, phemelzine, furazolidone,
tranylcypromide, selegiline HCl, rosagiline, nialamid.
4. Meningkatkan risiko toksisitas efedrin: Na bicarbonate

EFEK SAMPING
Efek samping penggunaan efedrin serupa dengan efek samping pada penggunaan
epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Pemberian efedrin dapat menimbulkan
gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa
lemah, pusing, pucat, sukar bernafas dan palpitasi.
Dosis efedrin yang besar dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan
darah yang hebat. Efedrin juga dapat menyebabkan terjadinya aritmia yang bersifar fatal pada
penderita penyakit jantung organik. Insomnia, yang sering terjadi pada pengobatan kronik,
mudah diatasi dengan pemberian sedative.
Efedrin dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat α- blocker nonselektif,
karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α pembuluh darah dapat menyebabkan
hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
LIDOKAIN
Lidokain merupakan obat anestesi golongan amida, selain sebagai obat anestesi lokal
lidokain juga digunakan sebagai obat antiaritmia kelas IB karena mampu mencegah
depolarisasi pada membran sel melalui penghambatan masuknya ion natrium pada kanal
natrium.

INDIKASI
1. Anestesi lokal dan terapi akut untuk aritmia ventrikuler karena infark miokard.
2. Analgesik topikal.

DOSIS DAN PEMBERIAN


1. Sebagai obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila
ditambahkan adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB. Lidokain menyebabkan
penurunan tekanan intrakranial (tergantung dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder
peningkatan resistensi vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak.
2. Dosis yang diberikan pada terapi aritmia ventrikuler (takikardi ventrikel) adalah 1-1,5
mg/kgBB bolus intravena kemudian diikuti infus 1-4 mg/kgBB/menit. Cara ini biasanya
menghasilkan kadar dalam plasma 2-6 mg/L, bila tidak diikuti dengan infus, kadar dalam
plasma akan menurun dalam 30 menit setelah dosis bolus. Hal ini memerlukan bolus
lanjutan 0,5 mg/kgBB. Untuk mengurangi gejolak kardiovaskuler pada tindakan
laringoskopi biasanya diberikan dosis 1-2 mg/kgBB bolus intravena sebelum tindakan.
Efek ini sebagian disebabkan oleh efek analgesik dan efek anestesi lokal dari lidokain.

FARMAKODINAMIK
Sebagai obat anestesi lokal lidokain menstabilisasi membran sel saraf dengan cara
mencegah depolarisasi pada membran sel saraf melalui penghambatan masuknya ion natrium.
Lidokain berdifusi menembus membran yang merupakan matriks lipoprotein terdiri dari 90%
lemak dan 10% protein masuk ke dalam aksoplasma kemudian memasuki kanal natrium dan
berinteraksi dengan reseptor di dalamnya. Lidokain bekerja pada penghambatan transmisi
(salah satu rangkaian proses nyeri) yaitu proses penyaluran impuls nyeri melalui serabut A
delta dan serabut C tak bermielin dari perifer ke medula spinalis.
Sebagai obat antiaritmia kelas IB (penyekat kanal natrium) lidokain dapat menempati
reseptornya pada protein kanal sewaktu teraktivasi (fase 0) atau inaktivasi (fase 2), karena
pada kedua fase ini afinitas lidokain terhadap reseptornya tinggi sedangkan pada fase istirahat
afinitasnya rendah. Bila resptornya ditempati maka ion Na tidak dapat masuk ke dalam sel.
Lidokain menempati reseptornya dan terlepas selama siklus perubahan konformasi kanal Na.
Kanal sel normal yang dihambat lidokain selama siklus aktivasi-inaktivasi akan cepat terlepas
dari reseptornya dalam fase istirahat. Sebaliknya kanal yang dalam keadaan depolarisasi
kronis yaitu potensial istirahatnya (Vm) lebih positif, bila diberi lidokain (atau penyekat
kanal Na lainnya) akan pulih lebih lama. Dengan cara demikian, maka lidokain menghambat
aktivitas listrik jantung berlebihan pada keadaan misalnya takikardi.
Pada sistem kardiovaskuler lidokain merupakan stabilisator membran dengan efek
elektrofisiologinya meliputi pengurangan durasi aksi potensial, periode refrakter efektif,
respon dan otomatisasi membran sistem his-purkinje dan otot ventrikel secara bermakna,
tetapi kurang berefek pada atrium. Pada penderita dengan gangguan konduksi atrioventrikuler
sebelumnya dapat menginduksi blokade otot jantung total atau henti jantung. Pada blok total
atrioventrikuler, lidokain dapat menyebabkan bradikardi berat sampai asistol.
Lidokain mempunyai efek elektrofisiologi yang kecil pada jaringan jantung normal.
Sebaliknya, sebagian kanal natrium yang terdepolarisasi tetap terhambat selama diastolik.
Lidokain menekan aktivitas listrik jaringan aritmigenok yang terdepolarisasi, sehingga
lidokain dapat untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan depolarisasi, tetapi kurang
efektif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarisasi normal (fibrilasi atrium).
Lidokain menekan masa kerja potensial aksi dan masa refrakter efektif pada serabut otot
ventrikel dan serabut purkinje secara bermakna tetapi tidak berefek pada atrium. Lidokain
meninggikan nilai ambang fibrilasi ventrikel pada serabut purkinje. Lidokain meninggikan
konduksi ion K transmembran tetapi tidak mempengaruhi potensial istirahat. Pada
depolarisasi parsial awal potensial membran, lidokain menurunkan respon ion Na pada kanal
cepat yang disebabkan oleh peningkatan aliran ion K keluar. Hal ini merupakan pengaruh
langsung konsentrasi ion kalium ekstrasel.

FARMAKOKINETIK
Lidokain hanya efektif bila diberikan intravena. Pada pemberian peroral kadar lidokain
dalam plasma sangat kecil dan dicapai dalam waktu yang lama. Pada pemberian intravena
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 3-5 menit dan waktu paruh 30-120 menit.
Sekitar 70% (55-95%) lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan alfa 1
– acid glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume distribusi adalah 1 liter per
kilogram; volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada lidokain yang diekskresi
secara utuh dalam urin. Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar (retikulum
endoplasma), mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function
oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dimetabolisme
lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid
maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal.

EFEK SAMPING
Efek samping lidokain berkaitan langsung dengan kadar lidokain dalam serum. Efek
samping lidokain jarang ditemukan bila level lidokain di serum sekitar 2-6 μg/mL. Efek
samping lidokain lebih sering ditemukan pada orang yang memiliki gangguan fungsi hati,
penyakit paru dimana ditemukan masalah retensi CO2 dan pada pasien-pasien dengan gagal
jantung kongestif. Gejala yang ditimbulkan akibat efek samping lidokain adalah:
 Ringan : (tingkat serum 3-8 μg/mL) mati rasa dan keram di jari-jari tangan dan jari-
jari kaki, mati rasa dan sensasi yang tidak seperti biasa di sekitar mulut, terasi ngilu di
mulut, telinga mendenging atau pusing.
 Sedang: (tingkat serum 8-12 μg/mL) mual dan muntah, pusing yang berat, tuli,
tremor, perubahan tekanan darah dan nadi.
 Berat : (tingkat serum > 12 μg/mL) mengantuk, kedutan pada otot, kejang, penurunan
kesadaran, aritmia dan henti jantung.
AMIODARON
Amiodaron adalah antiaritmia kelas 3 yang memiliki sifat farmakokinetik dan dinamik
yang unik. Obat ini banyak digunakan dan efektif sebagai terapi akut maupun jangka
panjang, pada penatalaksanaan aritmia, baik aritmia ventrikuler, takikardi supraventrikuler
maupun fibrilasi atrial.

INDIKASI
Antiaritmia dan digunakan untuk pengobatan ventrikular aritmia, Supraventrikular aritmia.

DOSIS
Pada keadaan di mana efek antiaritmia amiodaron dibutuhkan cepat, dosis awal oral
(loading dose) dapat sebesar 800-1600 mg/hari dalam 3-4 dosis sedangkan secara intravena
dalam satu hari dapat diberikan sampai 1000 mg. Pada keadaan yang lebih ringan amiodaron
oral diberikan dengan dosis awal 600 mg per hari. Loading dose ini dapat diberikan selama 7-
14 hari sampai aritmia dapat dikontrol lalu diturunkan lagi menjadi 400-800 mg/hari untuk
satu sampai tiga minggu berikutnya. Besar dosis pemeliharaan yang diberikan untuk jangka
pan- jang tergantung dari aritmianya; pada atrial flutter atau fibrilasi atrial dosisnya dapat
lebih kecil yaitu 100 mg/hari dibandingkan dengan 200-400 mg/hari untuk kontrol aritmia
ventrikuler.

FARMAKODINAMIK
Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama bekerja di saluran
K sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan interval QT. Mekanisme kerja
amiodaron juga meliputi aktivitas obat aritmia kelas I, II, dan IV sehingga disebut sebagai
obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup efektif digunakan pada berbagai macam
aritmia.

FARMAKOKINETIK
Amiodaron bersifat sangat lipofilik dan didistribusikan ke berbagai jaringan seperti
jaringan adiposa, miokardium, hati dan paru-paru. Sekitar 35-65% obat ini diabsorbsi setelah
pemberian oral. Waktu bekerjanya setelah pemberian oral berlangsung lambat dan kadar yang
stabil dalam darah (amiodaronisasi) mungkin belum tercapai selama beberapa bulan, kecuali
bila dosis besar diberikan pada awal pemakaian. Bahkan dengan pemberian intravena, efek
penuh elektrofisiologisnya lambat tercapai. Saat pemberian awal secara intravena amiodaron
intravena seakan cepat ‘menghilang’ dari plasma karena redistribusi ke jaringan bukan karena
eliminasi keluar dari tubuh. Karena redistribusi di jaringan ini dibutuhkan loading dose
sebelum konsentrasinya stabil (steady state) di jaringan. Amiodaron tidak diekskresikan
melalui ginjal namun melalui kelenjar lakrimal, kulit, dan traktus biliaris. Sebagian besar (66-
75%) dieliminasi melalui empedu dan feses.

EFEK SAMPING
Penggunaan amiodaron telah dihubungkan dengan beberapa efek samping kardiak dan

non
kardiak. Amiodaron dapat menyebabkan blok pada nodus SA atau AV sehingga dapat
menyebabkan bradikardia berat dan membutuhkan alat pacu jantung permanen. Bradikardia
ini jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pasien dengan disfungsi nodus SA atau blok AV.
Pada organ non kardiak, amiodaron dapat menyebabkan fotosensitivitas di kulit,
deposit mikro di kornea, toksisitas paru, hepatotoksisitas, neuropati perifer, tirotoksikosis dan
hipotiroidisme. Pada dosis yang besar (> 400mg/hari), pneumonitis dan fibrosis paru dapat
terjadi pada 10-17% pasien. Efek pada paru ini mungkin tergantung dosis dan jarang sekali
terjadi pada dosis < 200 mg/hari. Uji klinis Amiodarone Trials Meta-Analysis Investigators
melaporkan sebanyak 1% pasien yang mendapat komplikasi ini dengan penggunaan
amiodaron selama satu tahun. Studi ini juga melaporkan persentase efek samping lain yaitu
0,6% untuk toksisitas hati, 0,3% untuk neuropati perifer, dan 0,9% untuk tirotoksikosis.
Hipotiroidisme ternyata lebih sering terjadi, yaitu sebanyak 6% pasien.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.mipa-farmasi.com/.

Omoigui Sota. 1997. Obat – obatan Anestesia. Edisi II. Jakarta: EGC.

Latief, S. A., K. A. Suryadi, dan M. R. Dachlan. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rampengan, S. H. 2011. Amiodaron sebagai obat anti aritmia dan pengaruhnya terhadap
fungsi tiroid. Jurnal Biomedik. 3(2). 84-94.

Kusumawardhani, R. R. 2009. Perbandingan Dosis Efedrin 0,1 Mg/Kgbb dengan 0,2


Mg/Kgbb Untuk Mencegah Hipotensi Akibat Spinal Anestesi. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai