6 PB PDF
6 PB PDF
Article Info
Submitted: 10 November 2016 | Reviewed: 23 November 2016 | Accepted: 30 January 2017
Evi Purwanti2
Abstract
Equitable principle is the basic rule underlying the process of maritime delimitation between
adjacent or opposite states in the Exclusive Economic Zone and continental shelf. Due to
the issues of maritime boundaries between states are still many unresolved. Acceleration
of the settlement of maritime border is an important thing to be done in order to exploration,
exploitation, conservation and management in the rights in the EEZ and the continental shelf
areas. The deconstruction of equitable principle through multiple perspectives, namely in terms
of interpretation, area, orientation, scope and purpose of the equitable principle. The analysis
of equitable framework concluded that the equitable principle is an absolute principle in the
achievement of delimitation and derivatives form of justice which is more flexible than the notion
of substantive justice, the important thing is for the parties to get the maximum benefit from the
results of an agreed delimitation.
Keywords: continental shelf; EEZ; equitable principle;
Abstrak
Equitable principle merupakan prinsip yang mendasari proses delimitasi perbatasan maritim
antara negara-negara yang berhadapan atau bersebelahan di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
kontinen. Saat ini perbatasan maritim antar negara masih banyak yang belum terselesaikan.
Percepatan penyelesaian perbatasan maritim merupakan hal penting yang harus dilakukan agar
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan hak kedaulatan di ZEE dan landas kontinen
dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu perlu pengkajian secara mendalam tentang konsep
equitable principle. Substansi equitable principle dapat di dekonstruksi melalui beberapa sudut
pandang, yaitu: dari sisi interpretasi, area, orientasi, cakupan serta tujuan equitable principle. Dari
analisis kelima kerangka itu dapat disimpulkan bahwa equitable principle merupakan suatu asas
yang absolut dalam pencapaian delimitasi serta merupakan suatu bentuk turunan keadilan yang
lebih fleksibel dari pengertian keadilan substantif, yang penting adalah para pihak mendapatkan
manfaat yang maksimal dari hasil delimitasi yang disepakati.
1 Artikel ini merupakan salah satu bagian penelitian disertasi penulis saat menempuh pendidikan S3 di
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarya.
2 Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura, Jln. Prof. Hadari Nawawi, Pontianak, 78124, Kalimantan
Barat, Indonesia, email: evi_purwanti@yahoo.com, Hp. 085245870009.
64
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
65
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
66
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
67
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
68
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
69
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
goods and services are fairly each party has an interest in the marital
divided among their recipients. assets- that is, in property owned by the
b. The English system of justice that marriage partners; the divorce court will
developed during 17th to 19th decide what percentage is appropriate.”25
centuries, separate and distinct Definisi lain dari equitable principle secara
from the system of common law. umum adalah: “Remedy or solution that
Not bound by the precedents, is ethically or legally just and reasonable
it tempered the harshness and under the circumstances, but may or may
inflexibility of common law, not be wholly satisfactory to any or all the
especially in cases involving involved parties.”26 Pengertian equitable
families and children. Although principle dimana suatu penyelesaian
both systems of law merged by dituntut untuk diselesaikan secara
1875, the rules of equity prevail seimbang dan seadil-adilnya atau yang
in case of a conflict with the rules paling mendekati nilai keadilan yang ada,
of common law. (2) Any right to meskipun mungkin keputusan tersebut
an asset or property, held by a tidak dapat memuaskan semua pihak.
creditor, proprietor, or stockholder
2. Interpretasi Equitable Principle
(shareholder).
Dalam Hukum Laut
Fase modern dalam penggunaan
equity principle oleh Pengadilan Equitable principle dalam UNCLOS
internasional dimulai pada Meuse case 1982 berkaitan dengan teks perjanjian
(Belanda v. Belgia, 28 Juni, 1937), dan internasional, sehingga interpretasi adalah
khususnya Hakim Manley O. Hudson metode pertama untuk mengetahui makna
secara eksplisit dan kuat mendukung teks. Oleh karena itu, pembahasanan
equity principle dalam kasus tersebut. berikut ini berkaitan dengan pemahaman
Hakim Hudson berpendapat bahwa kita mengenai bagaimana metode
beberapa pengadilan arbitrase telah tegas interpretasi terhadap equitable principle itu
diarahkan untuk menerapkan “law and dilakukan. Meskipun demikian, interpretasi
equity,” sebagaimana tercantum dalam bukanlah satu-satunya alasan struktural
statuta Permanent Court of International yang menyebabkan ketidakpastian dalam
Justice: “under Article 38 of the Statute, if usaha memahami hakikat equitable
not independently of that Article, . . . has principle dalam UNCLOS 1982.
some freedom to consider principles of Adapun peran equitable principle
equity as part of the international law which dalam delimitasi perbatasan landas
it must apply.”24 kontinen dapat ditelusuri dari asal-
Equitable principle sendiri usul rezim landas kontinen. Mahkamah
sebelumnya dikenal dalam sistem common Internasional menyatakan dalam the North
law terutama dalam masalah perceraian. Sea Case:27
Dalam pembagian harta perkawinan The Truman Proclamation stated
hakim memutuskannya berdasarkan that such boundaries “shall be
equitable-distribution. “In equitable 25 Pope, op.cit., p. 204.
distribution, the law assumed only that 26 http://www.businessdictionary.com/definition/
equitable.html, [accesed October 29, 2015].
24 “Forty Years International Court of Justice: 27 the North Sea Case, 1969, Available
Jurisdiction, Equity and Equality.” by A. Bloed from: http://www.icj-cij.org/docket/index.
and P.van Dijk Review by: Leo Gross Source: php?sum=295&code=cs2&p1=3&p2=3&-
The American Journal of International Law,Vol. case=52&k=cc&p3=5[accesed February 14,
84, No. 4, Oct., 1990, pp. 944-950, p. 947. 2016].
70
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
determined by the United States and abstract justice, but of applying a rule of
the State concerned in accordance law,” kemudian ditegaskan kembali pada
with equitable principles.” These tahun 1985 dalam Libya-Malta case dalam
two concepts, of delimitation by pernyataan: “The Justice of which equity is
mutual agreement and delimitation an emanation, is not abstract justice ice
in accordance with equitable according to the rule of law.”30
principles, have underline all the Terdapat ambiguitas yang signifikan
subsequent history of the subject. dalam penggunaan prinsip equity dalam
They were reflected in various other peradilan internasional.31Dapat diambil
State proclamations of the period, kesimpulan bahwa putusan peradilan
and after, and in the later work on internasional dalam menjabarkan prinsip
the subject. equity adalah untuk mengekspresikan
Pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982 keinginan untuk sampai pada solusi yang
yang berkaitan dengan delimitasi ZEE memberikan “keadilan” yang paling banyak
dan landas kontinen bagi negara yang untuk semua pihak yang bersangkutan.
berdampingan atau berseberangan Gagasan equity seperti ini akan
mengharuskan negara-negara untuk didasarkan pada teori keadilan substantif.
menyelesaikan perundingan dengan Tapi jika diasumsikan bahwa teori
berpijak pada hukum internasional dan keadilan substantif yang menjadi “Tujuan”
untuk mendapatkan penyelesaian yang sehingga memberikan penentuan dalam
adil (equitable solution). Dalam hal ini, pembenaran hukum, maka keputusan ini
Mahkamah Internasional dan Arbitrase akan gagal untuk menghormati prinsip nilai
Internasional telah mencoba beberapa kali subjektif dan memaksa negara melalui
untuk menentukan konsep equity:28 norma yang tidak akan mencerminkan
Equity as a legal concept is a kehendak atau kepentingan negara
direct emanation of the idea of tersebut yang dipahami secara subjektif.
Justice. The Court is bound to Jika keadilan substantif tidak dianggap
apply equitable equity as a part of sebagai objektivitas teori ini, maka akan
general international law. When kurang tepat untuk menggunakannya.
applying positive international law, Dalam the North Sea Case, Pengadilan
a court may choose among several berusaha keras untuk menunjukkan
possible interpretations of the law bahwa prinsip equity itu dalam pikirannya
the one which appears, in the light tidak menyatu dengan prinsip keadilan
of the circumstances of the case, dengan menggunakan istilah “just and
to be closest to the requirements of equitable shares’’ - yang menjadi sebuah
justice.29 doktrin untuk keputusan terhadap
Mahkamah Internasional dalam Republik Federal Jerman. Dalam putusan
North Sea case tahun 1969 lebih jauh tersebut, Pengadilan menyebutkannya
menyatakan bahwa: “It is not a question sebagai, ‘’a matter of abstract justice’’
of applying equity simply as a mater of dimana Pengadilan tidak menyibukkan diri
28
N. Dundua. Delimitation of Maritime Boundaries untuk menjelaskan istilah tersebut secara
Between Adjacent States, United Nations-
lebih rinci. Oleh karena itu, Koskenniemi
the Nippon Foundation Fellow, 2006-2007,
available from: www.un.org/depts/los/nippon/.../ telah mengasumsikan bahwa equity
dundua_0607_georgia.pdf, [accesed february
12, 2016],p. 34. 30 Dundua, loc.cit.
29
Tunisia/Libya case, 1982, Available 31 Martti Koskenniemi. 2005. From Apology To
from: http://www.icj-cij.org/docket/index. Utopia, Cambridge:Cambridge University Press,
php?sum=330&code=tl&p1=3&p2=3&- p. 50.
case=63&k=c4&p3=5, [accesed february 14,
2016].
71
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
72
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
73
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
74
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
Jika dilihat dari tipe negaranya maka yang intensif. Jika ternyata tidak juga
permasalahan dalam melakukan delimitasi berhasil maka berdasarkan Bab XV
antar negara terkendala karena masih UNCLOS tentang penyelesaian sengketa
kurang jelasnya tentang peran garis pangkal kasus tersebut dapat dibawa ke ranah
kepulauan dalam penentuan metode pengadilan internasional.Jalan lain bagi
delimitasi. Hal ini bisa menjadi hambatan penyelesaian sengketa delimitasi adalah
jika pihak lawan perundingan tersebut tidak dengan melakukan kerjasama pengelolaan
menyandang status negara kepulauan. wilayah melalui zone cooperation seperti
Sebagai contoh, seperti dalam delimitasi yang dilakukan Indonesia dan Australia di
antara Indonesia dengan Malaysia dan Celah Timor dulu.
Vietnam, maka Indonesia sebagai negara
2. Berdasarkan Rezim Hukum
kepulauan berhak menggunakan garis
pangkal kepulauan sedangkan malaysia UNCLOS 1982 merupakan
atau Vietnam hanya bisa menggunakan kerangka hukum laut internasional yang
garis pangkal normal atau garis pangkal komprehensif. Konvensi ini mengatur
lurus dalam penentuan garsi pangkalnya. rezim-rezim hukum laut secara lengkap
Kondisi ini menyebabkan pihak lawan yang satu sama lainnya memiliki
merasa dirugikan karena melalui metode kewenangan yurisdiksi yang berbeda.
penarikan garis pangkal kepulauan maka Ditinjau dari isinya, UNCLOS tersebut
Indonesia akan mendapatkan wilayah yang memiliki beberapa poin penting, yaitu:
lebih banyak jika dibandingkan dengan a. Sebagian merupakan kodifikasi
menggunakan garis pangkal normal. ketentuan-ketentuan hukum
Akan tetapi, jika ditinjau secara laut yang sudah ada, misalnya
hukum, maka Indonesia yang menyandang kebebasan-kebebasan di Laut
hak negara kepulauan memang difasilitasi Lepas dan hak lintas damai di
untuk menggunakan garis pangkal Laut Teritorial;
kepulauan demi untuk mengakomodasi b. Sebagian merupakan
bentuk geografis negara kepulauan yang pengembangan hukum laut yang
jelas berbeda dengan negara daratan. sudah ada, misalnya ketentuan
Mengingat aturan mengenai delimitasi mengenai lebar Laut Teritorial
maritim di ZEE dan landas kontinen adalah menjadi maksimum 12 mil laut
berdasarkan kesepakatan, maka untuk dan kriteria Landas Kontinen.
mencapai kesepakatan ini akan memakan Menurut Konvensi Jenewa 1958
waktu yang panjang, karena biasanya tentang Hukum Laut kriteria bagi
pihak lawan yang merupakan negara penentuan lebar landas kontinen
pantai akan mengajukan keberatan atas adalah kedalaman air dua ratus
penentuan garis pangkal kepulauan meter atau kriteria kemampuan
yang diterapkan oleh Indonesia. Di sini eksploitasi. Kini dasarnya adalah
pentingnya penafsiran equitable principle kriteria kelanjutan alamiah wilayah
agar dapat menengahi perbedaan kedua daratan sesuatu Negara hingga
belah pihak. pinggiran luar tepian kontinennya
Adapun usaha penyelesaiannya (Natural prolongation of its land
dapat mempergunakan negosasi yang territory to the outer edge of the
aktif dan intensif antara para pihak karena continental margin) atau kriteria
kunci utama penyelesaian delimitasi jarak 200 mil laut, dihitung dari
adalah perundingan atau negosiasi garis dasar untuk mengukur lebar
75
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
76
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
77
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
79
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
80
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
81
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
ekonomi yang vital dan integritas legitimasi ini dalam wilayah 200 nm. 73 Setelah tahap
bagi negara-negara yang bersangkutan. itu baru dipertimbangkan apakah hasil
Perselisihan rumit terhadap interpretasi garis tersebut memuaskan para pihak atau
hukum internasional sering hanya masih harus dinegosiasikan lagi dengan
merupakan gejala dari kurangnya dasar memperhatikan faktor teknis, hukum serta
kemauan politik untuk menyelesaikan politik dan special circumstances wilayah
sengketa perbatasan. Diktum Ancel pada yang didelimitasi agar equitable solution
perbatasan darat sama tepat dalam didapatkan oleh semua pihak. Untuk
kaitannya dengan delimitasi perbatasan mengukur apakah metode median line/
maritim: Il n’y a pas de problemes de equidistance dapat diteruskan atau harus
frontiers. Il n’est que des problemes de dipertimbangkan lagi, maka digunakan
Nations [Tidak ada masalah perbatasan. asas proporsionalitas dengan melihat
Hanya ada masalah bangsa.].72 komposisi rasio panjang garis pantai
antara kedua wilayah yang berhadapan.
D. Cakupan Equitable Principle
Dalam negosiasi delimitasi, para
Equitable principle sebagai suatu pihak bebas untuk menyetujui metode
hasil dari proses delimitasi memiliki apapun dalam delimitasi maritim untuk
beberapa cakupan atau ruang lingkup mencapai garis perbatasan yang
yang menjadi bahan pertimbangan dalam equitable. Menentukan metode penetapan
menentukan hasil akhir delimitasi yang perbatasan dapat dianggap sebagai tahap
equitable menurut para pihak. Terdapat tiga penting dari proses delimitasi. Setelah
unsur penting dalam cakupan penentuan metode delimitasi disepakati, bagaimana
equitable principle, yaitu: bidang teknik, metode yang diterapkan dalam praktek
hukum dan politik. menjadi penting. Jika equidistance
1. Faktor Teknis digunakan sebagai metode penetapan
perbatasan, seperti yang sering terjadi,
Berdasarkan praktek kebiasaan
salah satu masalah yang biasanya dibahas
dalam peradilan internasional serta
pada tahap awal adalah bagaimana
praktek delimitasi negara, pada prinsipnya
memilih dan menentukan basepoint dan
sangat umum dipergunakan metode
baselines yang relevan. Dalam negosiasi
median line/equidistance sebagai langkah
di mana salah satu pihak merupakan
awal delimitasi dalam penarikan garis
negara kepulauan dan yang lainnya
pangkal. Beberapa negara telah me-
adalah negara pantai biasa, pembahasan
lakukan perjanjian perbatasan maritim di
mengenai hal ini bisa jadi memakan waktu
wilayah landas kontinen diluar batas 200
dan melelahkan.74
nm… International Tribunal on the law
of the Sea (ITLOS) menyatakan bahwa 2. Faktor Hukum
hukum yang berlaku untuk perbatasan Berdasarkan ruang lingkup hukum
landas kontinen di luar 200 nm juga maka permasalahan pencapaian equitable
menggunakan metode delimitasi yang 73 Dispute Concerning Delimitation of the Maritime
tidak berbeda dari yang digunakan dalam Boundary between Bangladesh and Myanmar
in the Bay of Bengal (Bangladesh/Myanmar),
wilayah 200 nm dan dengan demikian Judgment, 14 March 2012, see www..itlos.org.
mendukung penggunaan metode para. 455, diakses tanggal 12 November 2016.
equidistance/keadaan yang relevan, 74 Sora Lokita. 2010. The Role Of The Archipelagic
Baselines In Maritime Boundary Delimitation,
karena ITLOS menggunakankan metode New York: The United Nations:Division For
Ocean Affairs And The Law Of The Sea Office Of
72 Prescott & Schofield. op.cit. p. 246. Legal Affairs, p. 72.
82
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
83
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
85
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
86
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
87
Tanjungpura Law Journal Vol. 1, Issue 1, January 2017
Disertasi:
Lee,Wei-Chin. 1986. ‘Sovereignty And
The Law Of The Sea: A Comparison
Between United States And The
People’s Republic Of China.’
Dissertation In Political Science.
University Of Oregon.
Mohamed Munavvar. 1993. Ocean States:
Archipelagic Regimes In The Law Of
The Sea, Dissertation at Dalhousie
University. Halifax, Nova Scotia.
Internet:
http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/
ch5en/conc5en/EEZ.html, [Accessed
October 9, 2016].
http://www.hd.gov/HDdotGov/detail.
jsp?ContentID=346, [Accessed
December 23, 2015].
http://www. b u sin e ssd ictio n a ry. c o m/
definition/equity.html, [accesed
October 29, 2015].
h t t p : / / w w w. m e r r i a m - w e b s t e r. c o m /
dictionary/consequentialism,
[accesed February 11, 2016].
the Bay of Bengal case (Bangladesh/
Myanmar), Judgment, 14 March
2012, see www..itlos.org. accesed
November 12, 2016.
Tunisia/Libya case, 1982, Available from:
http://www.icj-cij.org/docket/index.
88