UUD 1945
Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan
penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah
penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat
(3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28H ayat (3). Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang menunjukan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
Pasal 34 ayat (2). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan
TAP MPR
Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang
menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga
kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
UNDANG- UNDANG
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Pasal 1
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial
oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial.
Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat,
dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 5
Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dapat dibentuk yang baru
dengan UndangUndang. Jenis program jaminan sosial meliputi:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.
Pasal 17
Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari
upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari
pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh
Pemerintah.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan UndangUndang.
Pasal 19
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
prinsip ekuitas.
Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan.
Pasal 22
Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan
medis habis pakaiyang diperlukan.
Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan, peserta
dikenakan urun biaya.
Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS
bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan se suai dengan ketentuan
program Jaminan Sosial; dan
g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta
dan masyarakat.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang
dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan
hasil yang mema dai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam
memenuhi kewajibannya sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan jaminan
sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas
kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi
kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan
Sosial.
Pasal 12
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS berhak untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana
Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari
DJSN setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berkewajiban untuk:
a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya
kepentingan Peserta;
c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi
keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan UndangUndang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti
ketentuan yang berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan
memenuhi kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun;
i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku
umum;
j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
k. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6
(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN
Pasal 19
Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS.
Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada
BPJS.
Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib membayar dan menyetor
Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS.
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan
Presiden; dan
b. besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
Biaya operasional BPJS terdiri atas biaya personel dan biaya non per sonel.
Personel terdiri atas Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan.
Biaya personel mencakup Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya.
Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan memperoleh Gaji atau Upah dan manfaat tambahan
lainnya yang sesuai dengan wewenang dan/ atau tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas
di dalam BPJS.
Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku.
Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan dapat memperoleh insentif sesuai dengan kinerja
BPJS yang dibayarkan dari hasil pengembangan.
Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi
karyawan ditetapkan dengan peraturan Direksi.
Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi anggota
Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 45
Dana operasional ditentukan berdasarkan persentase dari Iuran yang diterima dan/atau dari
dana hasil pengembangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 170
(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan
untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau
asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
menentukan bahwa, “Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”.
Kemudian dalam Pasal 17 ayat (4) ditentukan bahwa, “Iuran program jaminan sosial bagi Fakir
Miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”. Pada ayat (5) ditentukan
bahwa, “Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh
Pemerintah untuk program jaminan kesehatan”. Selanjutnya pada ayat (6) ditentukan bahwa,
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (5) dan Pasal 21 ayat (1), Iuran program Jaminan
Kesehatan bagi Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dibayar oleh Pemerintah.
1. Ketentuan Umum;
2. Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu;
3. Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
5. Pendanaan Iuran;
Pembiayaan Kesehatan
112. Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni: Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
114. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good)
yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan
pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu
menjadi tanggung jawab pemerintah.
Keputusan menteri
Pasal 7
(1) Pembiayaan penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga
dibebankan pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), Anggaran Belanja dan
Pendapatan Negara (APBN), dan dana lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
(2) Pelaksanaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perda jabar
Pembiayaan Kesehatan
Paragraf 1
Umum
Pasal 20
(3) Penyediaan anggaran kesehatan dalam APBD dialokasikan paling sedikit 10 % (sepuluh
persen) di luar gaji pegawai berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik di Daerah yang besarannya paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam APBD.
(5) Pembiayaan kesehatan di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditujukan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara berkesinambungan, berkeadilan,
berdayaguna dan berhasilguna.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalokasian anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
PERATURAN SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DARI 2016-2019
1. Tarif Kapitasi
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang
terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif
Kapitasi yang diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan:
• administrasi pelayanan;
• promotif dan preventif;
• pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
• tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
• obat dan bahan medis habis pakai; dan
• pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.
Tarif Rawat Inap yang dilakukan di FKTP diberlakukan dalam bentuk paket. Tarif Rawat Inap
pada FKTP ditetapkan sebesar Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sampai dengan
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Tarif Rawat Inap pada FKTP ditetapkan oleh BPJS
Kesehatan bersama dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan memuat
pengaturan tambahan biaya untuk peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ingin
melakukan kenaikan kelas perawatan ke kelas eksekutif di fasilitas pelayanan kesehatan
(Fasyankes).
Peraturan yang diundangkan pada 17 Januari 2017 tersebut merupakan revisi terhadap
Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 52 Tahun 2016
Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan.
Revisi ini dilakukan melalui pembahasan bersama dan diperoleh kesepakatan antara
Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), BPJS
Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Perubahan yang mendasar dalam Pasal 25 ayat (2) b pada Permenkes Nomor 64 Tahun 2016,
yang berbunyi: Untuk kenaikan kelas pelayanan rawat inap ke kelas VIP, tambahan
pembayaran adalah sebesar selisih antara tarif kamar rawat inap kelas VIP terhadap tarif
kamar rawat inap pada kelas yang menjadi hak peserta sesuai lama waktu rawat.
Adapun Pasal 25 Permenkes 4 Tahun 2017 yang terdiri dari 8 ayat tersebut, berbunyi:
(1) Peserta jaminan kesehatan nasional yang menginginkan pelayanan rawat jalan eksekutif,
harus membayar tambahan biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak sebesar
Rp 250.000 untuk setiap episode rawat jalan.
(2) Peserta jaminan kesehatan nasional yang menginginkan kelas pelayanan rawat inap yang
lebih tinggi dari haknya, harus membayar selisih biaya /tambahan biaya setiap episode rawat
inap dengan beberapa ketentuan, yaitu:
kenaikan kelas pelayanan rawat inap dari kelas 3 ke kelas 2, dari kelas 3 ke kelas 1, dan
dari kelas 2 ke kelas 1, harus membayar selisih biaya antara tarif INA-CBG pada kelas
rawat inap lebih tinggi yang dipilih dengan tarif INA-CBG pada kelas rawat inap yang
sesuai hak peserta;
kenaikan kelas pelayanan rawat inap ke kelas VIP dengan fasilitas 1 (satu) tingkat di
atas kelas 1, pembayaran tambahan biaya ditentukan sebagai berikut:
untuk naik kelas dari kelas 1 ke kelas VIP, pembayaran tambahan biaya paling
banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif INA CBG kelas 1;
untuk naik kelas dari kelas 2 ke kelas VIP, adalah selisih tarif INA CBG kelas 1
dengan tarif INA CBG kelas 2 ditambah pembayaran tambahan biaya dari kelas 1
ke kelas VIP paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif
INA CBG kelas 1;
untuk naik kelas dari kelas 3 ke kelas VIP adalah selisih tarif INA CBG kelas 1
dengan tarif INA CBG kelas 3 ditambah pembayaran tambahan biaya dari kelas 1
ke VIP paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif INA
CBG kelas 1.
(3) Dalam hal peserta jaminan kesehatan nasional menginginkan naik kelas pelayanan rawat
inap di atas kelas VIP, harus membayar selisih biaya antara tarif rumah sakit pada kelas yang
dipilih dengan tarif INA CBG pada kelas yang menjadi haknya.
(4) Pembayaran selisih biaya/tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan
ayat 3 dapat dilakukan oleh peserta pemberi kerja dan/atau asuransi kesehatan tambahan.
(5) Ketentuan mengenai tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2b
ditetapkan oleh direktur/kepala rumah sakit, kepala daerah, atau pemilik rumah sakit sesuai
dengan status kepemilikannya.
(6) Rumah sakit wajib menginformasikan ketentuan mengenai selisih biaya atau tambahan
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, atau ayat 3 kepada peserta jaminan kesehatan
nasional sebelum peserta menerima pelayanan di atas kelas yang menjadi haknya.
(7) Ketentuan mengenai selisih biaya dan tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
ayat 2, dan ayat 3 akan dilakukan evaluasi paling lambat satu tahun dari Peraturan Menteri ini
diundangkan.
(8) Ketentuan mengenai selisih biaya dan tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dan ayat 3 diberlakukan bagi pasien yang masuk pelayanan rawat inap mulai 1 Februari 2017.
TENTANG
JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG
BERLAKU PADA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
PELAYANAN KESEHATAN
1. Administrasi
2. Rawat Inap
d. Intensive Care Unit (ICU) per tempat tidur per hari Rp 720.000,00
e. Intermediatem Care Unit (IMCU) per tempat tidur per hari Rp 520.000,00
f. Isolasi per tempat tidur per hari Rp 520.000,00
g. One Day Care (sampai dengan 12 Jam) per tempat tidur per hari Rp
240.000,00
h. One Day Care (di atas 12 Jam- 24 Jam) per tempat tidur per hari Rp
480.000,00
3. Rawat Jalan
Daftar Pustaka