Anda di halaman 1dari 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembiayaan Kesehatan


Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk
menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh
perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Azrul A, 1996). Pembiayaan kesehatan
harus kuat, stabil, dan selalu berkesinambungan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan
(adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency), dan efektifitas (effectiveness)
pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Standar kesehatan World Health Organization (WHO) menetapkan bahwa anggaran
kesehatan harus mencapai 15% dari APBN. Namun, pada tahun 2009 Indonesia telah
menaikkan 3 kali lipat anggaran sektor kesehatan dari tahun sebelumnya hanya sebesar 2.64%
atau sekitar Rp 18,8 triliun. Dari dana sebesar itu, 54,1% digunakan untuk biaya pembelian
obat dan alat. Sementara pada UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) telah mengatur pembiayaan dengan sistem asuransi.
Penerapan pembiayaan kesehatan dengan sistem asuransi akan menggeser tanggung
jawab perorangan menjadi tanggung jawab kelompok. Sistem asuransi juga akan mengubah
sistem pembayaran dari setelah pelayanan diberikan menjadi sebelum pelayanan diberikan
serta sesudah sakit menjadi sebelum sakit. Sistem asuransi ini menguntungkan masyarakat
sebagai pengguna layanan kesehatan dan menjadi sarana sektor swasta untuk berperan dalam
upaya kesehatan nasional.

2.2 Asuransi di Indonesia


Jenis asuransi di Indonesia sangat banyak dan bervariasi, di antaranya adalah:
1. Asuransi kesehatan
Asuransi ini memberi jaminan kesehatan terhadap orang yang memilikinya. Asuransi ini bisa
didapat dari agen asuransi, dari pemerintah, atau dari fasilitas kesehatan yang diberikan di
tempat kerja kita.
2. Asuransi jiwa
Asuransi ini bersifat memberi jaminan yang akan terjadi setelah pemilik asuransi meninggal
dunia. Melalui asuransi ini, keluarga pemilik asuransi yang ditinggalkan tidak dibebankan
untuk menanggung beban lebih berat setelah pemilik asuransi meninggal. Melalui uang dari
perusahaan asuransi tersebut diharapkan dapat meringakan beban keluarga pemilik asuransi
yang meninggal. Asuransi jiwa terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
a. Term Life, yaitu asuransi jiwa yang memiliki perjanjian dalam jangka waktu tertentu.
Cirinya adalah uang setoran preminya akan hangus pada akhir periode perjanjian. Namun,
umumnya nilai uang yang diberikan asuransi ini lebih besar nominalnya.
b. Whole Life, yaitu asuransi jiwa yang memiliki masa pertanggungjawaban seumur
hidup. Preminya biasanya lebih mahal dari pada Term Life. Asuransi ini biasanya memiliki
nilai tunai yang dibayarkan kepada keluarga jika yang tertanggung tidak meninggal selama
masa kontrak. Tetapi nilai yang diterima biasanya lebih kecil.
3. Asuransi pendidikan
Asuransi pendidikan memberikan jaminan dan perlindungan kepada orang yang sedang
menempuh pendidikan, biasanya diberikan kepada anak-anak. Asuransi ini biasanya diberikan
bersamaan dengan asuransi jiwa.
4. Asuransi kerugian
Asuransi ini disebut juga Non Life Insurance yang diatur dalam Undang Undang No.2 tahun
1992 untuk menanggulangi kerugian atas suatu usaha. Macam-macam asuransi ini adalah:
a. Asuransi kebakaran, yaitu asuransi terhadap proteksi atas kerugian yang disebabkan
oleh kebakaran, biasanya untuk kantor,rumah, hotel dan lain- lain.
b. Asuransi pengangkutan, yaitu asuransi terhadap proteksi selama pengangkutan barang,
baik lewat jalur darat, laut, maupun udara. Asuransi ini ada macamnya juga, yaitu asuransi
kendaraan dan asuransi kecelakaan.
Ada juga jenis asuransi lainnya yang ada di Indonesia seperti asuransi pensiun, asuransi rumah,
asuransi kendaraan, asuransi syariah, asuransi perjalanan, dan
asuransi investasi.
2.3 Asuransi Kesehatan
Jenis ini adalah asuransi yang paling banyak dan mudah ditemui. Asuransi kesehatan biasanya
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi sosial, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan
asuransi umum. Pada tahun 2009, ada sekitar 116,8 juta penduduk dari jumlah penduduk
sekitar 230 juta penduduk Indonesia yang memiliki asuransi kesehatan disediakan oleh PT
Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Asabri, program Jamkesmas, atau asuransi lain. Sedangkan
pada tahun 2010, ada sekitar 120,2 juta penduduk dari jumlah penduduk sekitar 237 juta
penduduk Indonesia yang memiliki asuransi kesehatan yang disediakan oleh perusahaan
asuransi diatas juga.
Asuransi kesehatan adalah salah satu jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya
kesehatan baik dalam pengobatan kesehatan ataupun perawatan kesehatan para anggota
asuransi tersebut. Pada umumnya, jenis perawatan yang ditawarkan perusahaan asuransi hanya
perawatan bentuk rawat inap dan rawat jalan. Pada umumnya perusahaan asuransi yang
menyelenggarakan program asuransi kesehatan akan bekerja sama dengan rumah sakit baik
secara langsung maupun melalui institusi perantara untuk menyelenggarakan perawatan
kesehatan.
Asuransi rawat jalan meliputi biaya dokter, biaya diagnosis/lab, dan biaya obat. Biasanya, besar
biaya yang ditanggung ditentukan dengan limit maksimum untuk setiap komponen per
kunjungan/tahun dan frekuensi maksimum kunjungan dalam satu tahun. Ada pembatasan yang
diberlakukan perusahaan asuransi, yaitu mewajibkan rujukan dokter umum sebelum kunjungan
ke dokter spesialis dan juga pembatasan dimana pertanggungan hanya diberikan bila pelayanan
kesehatan dilakukan oleh penyedia layanan yang terdaftar. Asuransi rawat jalan biasanya hanya
merupakan manfaat tambahan dari asuransi rawat inap. Sedangkan asuransi rawat inap meliputi
biaya rawat inap di rumah sakit, seperti biaya kamar, jasa dokter, obat- obatan,
laboratorium/penunjang diagnostik, pembedahan, dll. Penggolongan asuransi rawat inap ini
dilakukan berdasarkan kelas kamar.
Ada berbagai alasan masyarakat menolak untuk mengikuti sebuah asuransi, salah satunya
karena masyarakat menganggap kalau asuransi itu seperti bentuk taruhan yang berlaku selama
adanya ikatan. Taruhan ini seperti adanya perbedaan biaya yang dibayar masyarakat terhadap
perusahaan asuransi dibandingkan dengan jumlah kejadian yang akan diterima masyarakat.
Kejadian ini seperti taruhan yang berbanding 1 dengan 10, dimana masyarakat hanya sekali
mengalami kejadian yang perlu asuransi sedangkan yang sudah dibayar masyarakat ke
perusahaan asuransi sudah sepuluh kali. Hal inilah yang ada di pikiran beberapa orang sehingga
susah untuk ikut asuransi.
Sebenarnya, asuransi menjadi cara untuk mengelola risiko dan upaya preventif untuk
mencegah ketidakmampuan penduduk membiayai pelayanan medis yang mahal. Setiap orang
memiliki kesempatan sakit yang tidak pasti, dan menyebabkan adanya biaya untuk membayar
upaya pemulihan sakit tersebut. Biasanya, masyarakat tidak menyediakan biaya untuk
pelayanan kesehatan setiap bulannya di dalam rumahnya. Sehingga masyarakat akan kesulitan
saat terjadi kesakitan mendadak dan tidak ada biaya. Oleh karena itu, perusahaan asuransi
kesehatan mengelola asuransi kesehatan untuk risiko-risiko negatif, seperti memastikan adanya
penggantian biaya pemulihan kesehatan saat sakit. Perusahaan asuransi akan memperhitungkan
risiko yang melanda masyarakat untuk menghitung besar premi yang harus dibayarkan
seseorang.
Risiko-risiko yang dapat diasuransikan pada asuransi kesehatan adalah:
1. Risiko yang bersifat murni (pure), yaitu risiko yang spontan, tidak dibuat- buat, tidak
disengaja, atau dicari-cari dan tidak dapat dihindari dalam jangka pendek. Risikonya ini
memang timbul karena sebuah kebetulan atau kecelakaan. Contohnya, penyakit kanker yang
membutuhkan perawatan yang lama dan mahal, serta tidak pernah diharapkan oleh si penderita.
Sehingga penyakit ini dapat diasuransikan.
2. Risiko yang bersifat definitif, yang berarti bahwa risiko dapat ditentukan kejadiannya
secara pasti dan jelas serta dapat dipahami berdasarkan bukti kejadiannya. Contohnya, sakit
dan kematian dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, dan kecelakaan lalu lintas
dibuktikan dengan surat keterangan polisi.
3. Risiko bersifat statis, yaitu probabilitas kejadian relatif statis atau konstan tanpa
dipengaruhi perubahan politik dan ekonomi negara. Contohnya, penyakit kanker relatif statis
dan tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik, walaupun untuk jangka panjang risiko
serangan jantung dipengaruhi keadaan ekonomi karena makanan yang dikonsumsi.
4. Risiko berdampak finansial, yang dapat diasuransikan karena dapat diperhitungkan
finansialnya. Contohnya, pada kecelakaan yang menyebabkan ada biaya perawatan dan
kehilangan penghasilan akibat meninggal atau cacat, maka segalanya akan ditanggung pihak
asuransi.
5. Risiko measurable atau quantifiable, yaitu risiko dapat diperhitungkan secara akurat.
Contohnya, seseorang yang sakit dapat menerangkan lokasi terjadi, waktu kejadian, jenis
penyakit, tempat perawatan, dan biaya yang dibutuhkan, maka biaya yang dibutuhkan dapat
ditanggung oleh pihak asuransi.
6. Risiko besar, dimana derajat risiko itu relatif dan dapat berbeda setiap tempat dan
waktu. Besar risiko yang dapat ditanggung oleh pihak asuransi harus memenuhi syarat ukuran
yang ditawarkan pihak asuransi. Biasanya, asuransi kesehatan akan menjamin pelayanan
kesehatan secara komprehensif karena adanya kaitan risiko dengan biaya yang kecil dan
pelayanan yang perlu biaya besar. Contohnya, seseorang yang menderita DBD akan
ditanggung pengobatannya hingga ke pengobatan lanjutan.
Manfaat asuransi kesehatan adalah:
1. Mendekatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan,
2. Mengubah peristiwa tidak pasti menjadi pasti dan terencana,
3. Membantu mengurangi risiko perorangan ke risiko sekelompok orang dengan cara
perangkuman risiko.
Dengan asuransi ini, terjadilah sikap saling tolong menolong, yakni yang sehat menolong yang
sakit dan yang kaya membantu yang miskin.
Ada bermacam-macam asuransi kesehatan, seperti asuransi kesehatan perorangan, asuransi
kesehatan keluarga, dan asuransi kesehatan karyawan perusahaan. Namun asuransi kesehatan
yang sering digunakan adalah kedua macam proteksi asuransi berikut ini.
1. Asuransi yang menyediakan perlindungan rawat inap di rumah sakit, terdiri atas dua
macam.
a. Proteksi dengan sistem kartu (klaim dengan kwitansi asli), yang berarti bahwa bila
dirawat inap maka pembayarannya cukup dengan menunjukkan kartu provider, sehingga
seluruh biaya rumah sakit ditanggung asuransi. Kelas perawatan disesuaikan dengan premi
yang dibayar. Proteksi ini cocok bagi pegawai swasta, wiraswasta atau pekerja lepas yang
belum mempunyai proteksi rawat inap.
b. Proteksi dengan sistem reimbursement, yang berarti bahwa bila saat dirawat, terlebih
dahulu membayar seluruh biaya rumah sakit, lalu diklaim ke pihak asuransi. Proteksi ini berupa
tunjangan rawat inap harian. Misalnya, bila dirawat lima hari, maka lima hari itu dikalikan
dengan besar tunjangan per hari. Proteksi ini cocok untuk orang yang sudah mempunyai
asuransi dari perusahaan, karena proteksi reimbursement ini hanya untuk menambah
kekurangan biaya rawat inap saja.
2. Proteksi terhadap penyakit kritis. Proteksi ini cocoknya bagi orang dewasa yang
umurnya di atas 40 tahun karena sudah rentan terkena berbagai penyakit. Ada dua macam
proteksi ini.
a. Proteksi sakit kritis, yang berarti hanya memberi proteksi saat penyakit sudah mencapai
stadium kritis. Bila masih stadium awal dan menengah maka belum bisa diklaim. Namun, jika
meninggal dunia dan belum pernah klaim, maka asuransi penyakit kritis ini bisa menjadi
santunan meninggal ke ahli waris.
b. Proteksi sakit kritis di semua stadium, yang berarti memberi proteksi sakit kritis mulai
dari stadium awal, menengah, hingga akhir. Namun, jika meninggal dunia dan tidak pernah
diklaim, maka asuransi ini tidak bisa memberi santunan meninggal ke ahli waris.

2.4 Asuransi Kesehatan di Indonesia


Asuransi kesehatan di Indonesia ada berbagai jenis, seperti asuransi dari pemerntah bagi rakyat
dan asuransi kesehatan dari perusahaan bagi tenaga kerjanya. Ada begitu banyak macam
ataupun jenis asuransi kesehatan di Indonesia yang dilindungi oleh Undang Undang. Saat
sekarang ini, jaminan sosial dan jaminan kesehatan di Indonesia telah diatur dalam Undang
Undang no. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pada Undang Undang ini,
asuransi kesehatan dibedakan pengertiannya dengan jaminan kesehatan.
Jaminan kesehatan adalah sebuah bentuk jaminan yang berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan pelayanan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan asuransi kesehatan adalah
sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau pelayanan
perawatan para anggota asuransi kesehatan tersebut jika mereka jatuh sakit atau mengalami
kecelakaan.

2.5 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang
BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Pengertian BPJS
menurut UU No. 40 Tahun 2004 tersebut adalah:
1. badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1
angka 6),
2. badan hukum nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum),
3. pembentukan dengan Undang-undang (Pasal 5 ayat 1).
BPJS mengelola Jaminan Sosial Nasional. Pada UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, pasal 5
dikatakan bahwa BPJS yang dibentuk Undang-Undang ini terdiri dari BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan pada pasal 6 dijelaskan bahwa, BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan
program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan
Kematian.
Pada awalnya PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero) beralih dari badan usaha
milik negara menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan mulai 1 Januari 2014 dan BPJS
Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015. Transformasi yang ada di BPJS ini diatur dalam UU BPJS
sebagai berikut.
1. PT ASKES (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat 1).
2. PT JAMSOSTEK (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan mulai tanggal 1
Januari 2014 (Pasal 62 ayat 1).
3. PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program ASABRI dan program
pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan (Pasal 65 ayat 1).
4. PT TASPEN (Persero) menyelesaikan pengalihan program THT dan program
pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan (Pasal 65 ayat 1).
Proses selanjutnya yang dilakukan adalah membubarkan PT ASKES (Persero) dan PT
JAMSOSTEK (Persero) tanpa likuidasi. Sedangkan PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN
(Persero) tidak secara tegas ditentukan dalam UU BPJS.
Sasaran UU BPJS ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kelompok peserta yang dikelola BPJS
Kesehatan ada dua kelompok, yaitu:
1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), terdiri dari fakir miskin dan orang tak mampu,
2. Peserta non-PBI, yang terdiri dari para Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara
Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karyawan
perusahaan swasta, pekerja mandiri, bukan pekerja seperti veteran, penerima pensiun, dan lain-
lain.
Iuran kepesertaan di BPJS adalah sebagai berikut.
1. Semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara langsung menjadi peserta BPJS sejak 1
Januari 2014. Iurannya adalah 2% potongan gaji ditambah subsidi pemerintah 3% dengan
menjamin maksimal lima orang yang terdiri dari suami, istri, dan tiga anak.
2. TNI dan POLRI membayar iuran 2% dari gaji, setelah pensiun hak ini tetap sampai
dengan meninggal.
3. Pekerja formal swasta membayar 2% dari penghasilannya per bulan dan 3% dibayar
oleh perusahaan.
4. Bagi pekerja sektor nonformal membayar iuran sebesar Rp59.500,- per orang per bulan
untuk rawat inap di kelas 1; Rp42.500,- per orang per bulan untuk rawat inap di kelas 2, dan
Rp 25.500 per orang per bulan untuk rawat inap di kelas 3.
5. Iuran penduduk miskin dan orang tak mampu ditanggung pemerintah.
Pelayanan kesehatan untuk peserta di BPJS diberikan di fasilitas kesehatan milik Pemerintah
atau swasta yang menjalin kerjasama dengan badan penyelenggara jaminan sosial (UU No. 40
Tahun 2004 Pasal 23 ayat 1). Namun, bila dalam keadaan darurat, maka pelayanan kesehatan
dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan badan
penyelenggara jaminan sosial (Pasal 23 ayat 2). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini wajib
memberikan kompensasi untuk memenuhi kebutuhan medik peserta yang berada di daerah
yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat. Kompensasi dapat diberikan
dalam bentuk uang tunai (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 23 ayat 3 dan penjelasannya).
Pada pengembangan pelayanan kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menerapkan
sistem kendali mutu, sistem kendali biaya dan sistem pembayaran untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi jaminan kesehatan serta untuk mencegah penyalahgunaan pelayanan
kesehatan (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 24 ayat 3 dan penjelasannya). Sistem kendali mutu
berarti sejumlah karyawan dengan pekerjaan sejenis yang bertemu secara berkala untuk
membahas dan memecahkan masalah-masalah pekerjaan dan lingkungannya dengan tujuan
meningkatkan mutu usaha dengan menggunakan perangkat kendali mutu. Sedangkan sistem
kendali biaya adalah proses atau usaha yang sistimatis untuk menetapkan standar pelaksanaan
dengan tujuan perencanaan, sistem informasi umpan balik, membandingkan pelaksanaan
nyata dengan perencanaan, menentukan dan mengatur penyimpangan, serta melakukan koreksi
perbaikan sesuai rencana, sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efisien dalam penggunaan
biaya.

2.6 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)


Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah sistem yang dijalankan oleh BPJS, yakni sebuah
sistem gotong royong untuk kesehatan rakyat Indonesia. Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) merupakan sistem asuransi sosial yang wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan
warga negara asing yang bekerja lebih dari enam bulan di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan
SJSN ini adalah:
1. UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, dan pasal 34,
2. Deklarasi HAM PBB atau Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan
konvensi ILO No.102 tahun 1952,
3. TAP.MPR.RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan
4. UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN. SJSN dibuat sesuai dengan “paradigma tiga pilar”
yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Ketiga pilar tersebut
adalah:
1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber
keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya,
seperti anggota masyarakat yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, ada terjadi
bencana alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana
bantuan ini diambil dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.
2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib. Program ini dibiayai oleh iuran yang
ditarik dari perusahaan dan pekerja sebesar iuran yang ditetapkan berdasarkan tingkat
pendapatan/gaji dan berdasarkan suatu standar hidup minimum yang berlaku di
masyarakat.
3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat dibeli oleh
peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih tinggi daripada
jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program asuransi sosial wajib. Oleh
karena itu, maka iurannya berbeda menurut analisis risiko dari setiap peserta.
Pada SJSN ini, masyarakat mempunyai hak dan kewajiban. Kewajibannya adalah bila
seseorang itu pemberi kerja, maka dia wajib mendaftarkan pekerjanya. Bila tidak
mendaftarkan, maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan hak masyarakat tersebut adalah
mendapatkan kartu untuk mengakes pelayanan kesehatan dan menerima informasi tentang
prosedur SJSN dan hal-hal yang dijamin, serta hak untuk mengeluh. SJSN ini menangani
bagian promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ketentuan pada Undang-Undang SJSN
adalah:
1. Penerima manfaat dari jumlah anggota keluarga sebanyak-banyaknya lima orang yang
terdiri dari istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah dan anak
angkat yang sah (Pasal 20 ayat 1).
2. Fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS bertugas memberikan
manfaat jaminan kesehatan kepada peserta (Pasal 23 ayat 1).
3. Pekerja yang memiliki anggota keluarga lebih dari lima orang dan ingin
mengikutsertakan anggota keluarganya, maka wajib membayar tambahan iuran (Pasal 28 ayat
1).
4. Bila peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit maka kelas pelayanan di rumah
sakit diberikan berdasarkan kelas standar (Pasal 23 ayat 4). Ketentuan ini dihubungkan dengan
prinsip ekuitas jaminan kesehatan yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat 1 UU SJSN.
5. Jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta akan
dikenakan urun biaya. Jenis pelayanan dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang
moral hazard (sangat dipengaruhi oleh selera dan perilaku peserta), misalnya pemakaian
suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medis.
Urun biaya dikenakan kepada setiap peserta yang meminta jenis pelayanan tertentu (Pasal 22
ayat 2).
6. Tidak mewajibkan fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta untuk bekerjasama
dengan BPJS. Secara hukum kerjasama dimaksud menghendaki adanya kesepakatan diantara
para pihak (Pasal 23 ayat 1).
7. Ketentuan mengenai unit pengendali mutu dan penanganan pengaduan peserta diatur
dalam Peraturan BPJS (Pasal 48).
Tolak ukur dikatakan bahwa SJSN telah berhasil dilaksanakan BJPS dilihat dari jumlah orang
yang dijamin. BPJS merencanakan pada tahun 2014 terdapat 70% masyarakat Indonesia ikut
dalam program SJSN. Target lebih tinggi yang dicanangkan oleh BPJS lagi pada tahun 2017
terdapat 90% lebih rakyat Indonesia sudah mengikuti program SJSN. Walaupun dalam
pelaksanaannya oleh pemerintah dilakukan secara bertahap hingga tahun 2019 ditargetkan
seluruh warga di Indonesia masuk SJSN. Keberhasilan ini menjadi tanggung jawab bersama
bagi seluruh lapisan masyarakat.

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)


Menurut Naskah Akademik SJSN, Program Jaminan Kesehatan Nasional adalah suatu program
pemerintah dan masyarakat/rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan
yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat,
produktif, dan sejahtera. JKN melibatkan delapan kementerian dan lembaga dalam
pelaksanaannya dan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Tujuan penyelenggaraan JKN ini adalah
untuk memberikan manfaatpemeliharaan kesehatan dan perlindungan akan pemenuhan
kebutuhan dasar kesehatan (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 19 ayat 2).
JKN ini diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas
seperti yang ada pada UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 19 ayat 1 seperti berikut ini.
1. Prinsip asuransi sosial meliputi:
a. Kegotongroyongan antara peserta kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan
muda, serta yang beresiko tinggi dan rendah,
b. Kepesertaan bersifat wajib dan tidak selektif,
c. Iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan untuk peserta penerima upah atau suatu
jumlah nominal tertentu untuk peserta yang tidak menerima upah,
d. Dikelola dengan prinsip nirlaba, artinya pengelolaan dana digunakan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta dan setiap surplus akan disimpan sebagai dana cadangan dan untuk
peningkatan manfaat dan kualitas layanan.
2. Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan
dengan pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari upah bagi yang memiliki
penghasilan (Pasal 17 ayat1) dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak
mampu (Pasal 17 ayat 4).
Cara menjadi peserta JKN adalah:
1. Pekerja didaftarkan oleh perusahaannya ke BPJS,
2. Mendaftarkan diri secara individu atau kelompok bagi non-penerima upah seperti
tukang becak, sopir, dan yang lain, dan
3. Menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi fakir miskin, cacat total, dan tidak mampu.
Pada prinsipnya, Penerima Bantuan Iuran bagi yang tidak mampu membayar iuran, maka iuran
tersebut dibayar pemerintah. Para penerima tersebut akan menerima iuran sebesar Rp19.225,-
per orang per bulan. Peserta PBI ini ditetapkan sendiri oleh pemerintah yang bagaimana
dikatakan fakir miskin dan tidak mampu. Mereka tidak mendaftarkan dirinya sendiri jadi
peserta PBI.
Jaminan Kesehatan Nasional memberikan manfaat jaminan kesehatan bagi perorangan dan
menjamin pelayanan anggota keluarga lainnya. Manfaat jaminan kesehatan yang bersifat
pelayanan kesehatan perorangan mencakup pengobatan hingga bahan medis sesuai kebutuhan
medis yang diperlukan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah:
1. Peserta JKN mendapat jaminan kesehatan mulai fasilitas primer, sekunder, hingga
tersier, baik milik pemerintah ataupun swasta yang bekerja sama dengan BPJS,
2. Menjamin kesehatan medis mulai dari administrasi pelayanan, pemeriksaan,
pengobatan, dan konsultasi medis seseorang sampai non-medis seperti akomodasi dan
ambulan,
3. Melayani tindakan medis non spesialistik yang bersifat operatif ataupun non- operatif,
lalu pelayanan transfusi darah sesuai kebutuhan medis,
4. Jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan mencakup pelayanan
peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) yang meliputi
pemberian pelayanan, penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar, keluarga berencana,
dan skrining kesehatan; juga mencakup pelayanan pengobatan (kuratif) dan pemulihan
(rehabilitatif) yang meliputi pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama
dan pelayanan rawat inap tingkat pertama sesuai keluhan penyakit. Pelayanan ini menggunakan
teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care) (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 22
ayat 1,2, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26).
Cara pendaftaran jadi peserta JKN bagi peserta mandiri adalah dengan cara mendatangi kantor
BPJS. Peserta mengisi formulir pendaftaran dan menyerahkan photocopy KTP, photocopy
kartu keluarga, dan pas foto berwarna berukuran 3x4 sebanyak dua lembar. Setelah itu, peserta
akan mendapat nomor pendaftaran,kemudian peserta melakukan pembayaran di Kantor Pos,
atau ATM, atau bisa juga menyetor tunai di bank yang telah ditunjuk BPJS. Setelah selesai
semuanya, peserta dapat mengambil kartu anggota Jaminan Kesehatan Nasional.
Awal pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tanggal 1 Januari 2014, telah ada
sebanyak 121,6 juta orang sebagai peserta JKN. Peserta JKN ini terdiri dari peserta asuransi
kesehatan sosial PT Askes (Pegawai Negeri Sipil/PNS dan pensiunan beserta keluarga, serta
anggota dan pensiunan TNI-Polri dan keluarga); peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek;
serta penduduk miskin yang tercakup dalam Jamkesmas yang kemudian menjadi Penerima
Bantuan Iuran (PBI). Semua BUMN juga telah mendaftarkan pegawainya untuk menjadi
peserta JKN.
Pelayanan kesehatan yang diberikan dan dijamin oleh BPJS Kesehatan melalui JKN seperti
dikutip dari Koran Kompas pada edisi “Cukup Banyak Klinik dan RS Berpartisipasi” yang
sumbernya dari Kementerian Kesehatan adalah:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama/dasar, yakni pelayanan kesehatan non-
spesialistik
1. Pelayanan promotif dan preventif.
2. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis.
3. Tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun non-operatif.
4. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai.
5. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis.
6. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama.
7. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis.
b. Pelayanan kesehatan tingkat dua/lanjutan
i. Pelayanan kesehatan yang mencakup
1. Pemeriksaan, pengobatanm dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan sub-
spesialis.
2. Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis.
3. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai.
4. Pelayanan alat kesehatan implan.
5. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis.
6. Rehabilitasi medis.
7. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis.
8. Pelayanan kedokteran forensik.
9. Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
ii. Rawat inap yang mencakup
1. Perawatan non-intensif.
2. Perawatan inap di ruang intensif.
Sedangkan pelayanan kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan melalui JKN adalah:
1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan melalui prosedur sebagaimana diatur dalam
peraturan yang berlaku.
2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan, kecuali kasus gawat darurat.
3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja
terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja.
4. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
5. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau estetik.
6. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (memperoleh keturunan).
7. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi).
8. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol.
9. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi
yang membahayakan diri sendiri.
10. Pengobatan komplementer, alternatif, dan tradisional, termasuk akupuntur, sinse,
chiropratic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health
technology assessment).
11. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen).
12. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu.
13. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
14. Pelayanan kesehatan akibat bencana, pada masa tanggap darurat, kejadian luar
biasa/wabah.
15. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan
yang diberikan.

PERATURAN SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DARI YANG TERTINGGI-


TERENDAH

UUD 1945
Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan
penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah
penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat
(3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 28H ayat (3). Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang menunjukan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
Pasal 34 ayat (2). Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan

TAP MPR
Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang
menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga
kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

UNDANG- UNDANG
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Pasal 1
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial
oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial.
Pasal 2
Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat,
dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pasal 3
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 5
Sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah:
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK);
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN);
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI); dan
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).
Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dapat dibentuk yang baru
dengan UndangUndang. Jenis program jaminan sosial meliputi:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan hari tua;
d. jaminan pensiun; dan
e. jaminan kematian.
Pasal 17
Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari
upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari
pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut
kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh
Pemerintah.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan UndangUndang.
Pasal 19
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
prinsip ekuitas.
Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan.
Pasal 22
Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan
medis habis pakaiyang diperlukan.
Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan, peserta
dikenakan urun biaya.

Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebagai berikut:


- Prinsip kegotong-royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari
peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi
seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang
sehat membantu yang sakit. Melalui prinsip kegotong-royongan ini, jaminan sosial dapat
menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Prinsip nirlaba. Pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba (nirlaba)
bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, akan tetapi tujuan utama penyelenggaraan jaminan
sosial adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil
pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk
kepentingan peserta.
- Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efek-tivitas. Prinsip-prinsip
manajemen ini diterapkan dan mendasari selu- ruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari
iuran peserta dan hasil pengembangannya.
- Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
- Prinsip kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat
menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh
rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah
serta kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor
formal, bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara suka rela, sehingga
dapat mencakup petani, nelayan, dan mereka yang bekerja secara mandiri, sehingga pada
akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat mencakup seluruh rakyat.
- Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada
badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan
dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.
- Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah
hasil berupa dividen dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta
jaminan sosial.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara


Jaminan Sosial
Pasal 1
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan
iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat
kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
Pasal 2
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
BPJS bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/ atau anggota keluarganya.
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip:
a. kegotongroyongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dana amanat; dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.
Pasal 5
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. BPJS Kesehatan; dan b. BPJS
Ketenagakerjaan.
Pasal 9
BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

Pasal 10
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, BPJS
bertugas untuk:
a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan se suai dengan ketentuan
program Jaminan Sosial; dan
g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta
dan masyarakat.

Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk:
a. menagih pembayaran Iuran;
b. menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang
dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan
hasil yang mema dai;
c. melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam
memenuhi kewajibannya sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan jaminan
sosial nasional;
d. membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas
kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;
e. membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi
kewajibannya;
g. melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; dan
h. melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan
Sosial.

Pasal 12
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, BPJS berhak untuk:
a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana
Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari
DJSN setiap 6 (enam) bulan.

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS
berkewajiban untuk:
a. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya
kepentingan Peserta;
c. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi
keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan UndangUndang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
e. memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti
ketentuan yang berlaku;
f. memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan
memenuhi kewajibannya;
g. memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun;
i. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku
umum;
j. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
k. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6
(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN
Pasal 19
Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan
menyetorkannya kepada BPJS.
Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada
BPJS.
Peserta yang bukan Pekerja dan bukan penerima Bantuan Iuran wajib membayar dan menyetor
Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Pemerintah membayar dan menyetor Iuran untuk penerima Bantuan Iuran kepada BPJS.
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur dalam Peraturan
Presiden; dan
b. besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
Biaya operasional BPJS terdiri atas biaya personel dan biaya non per sonel.
Personel terdiri atas Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan.
Biaya personel mencakup Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya.
Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan memperoleh Gaji atau Upah dan manfaat tambahan
lainnya yang sesuai dengan wewenang dan/ atau tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas
di dalam BPJS.
Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya memperhatikan tingkat kewajaran yang berlaku.
Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan dapat memperoleh insentif sesuai dengan kinerja
BPJS yang dibayarkan dari hasil pengembangan.
Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi
karyawan ditetapkan dengan peraturan Direksi.
Ketentuan mengenai Gaji atau Upah dan manfaat tambahan lainnya serta insentif bagi anggota
Dewan Pengawas dan anggota Direksi diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 45
Dana operasional ditentukan berdasarkan persentase dari Iuran yang diterima dan/atau dari
dana hasil pengembangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase dana operasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG


KESEHATAN

BAB XV PEMBIAYAAN KESEHATAN

Pasal 170

(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang


berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan
secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.

(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
swasta dan sumber lain.

Pasal 171

(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari
anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.

(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan


minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.

(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 172

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan
untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 173

(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau
asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2012


TENTANG PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN

Pasal 14

ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
menentukan bahwa, “Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”.

Kemudian dalam Pasal 17 ayat (4) ditentukan bahwa, “Iuran program jaminan sosial bagi Fakir
Miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”. Pada ayat (5) ditentukan
bahwa, “Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh
Pemerintah untuk program jaminan kesehatan”. Selanjutnya pada ayat (6) ditentukan bahwa,
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (5) dan Pasal 21 ayat (1), Iuran program Jaminan
Kesehatan bagi Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dibayar oleh Pemerintah.

Sehubungan dengan pertimbangan tersebut di atas, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah


tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini
hanya mencakup program Jaminan Kesehatan yang pada pokoknya mengatur:

1. Ketentuan Umum;

2. Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu;
3. Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

4. Pendaftaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

5. Pendanaan Iuran;

6. Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

7. Peran Serta Masyarakat.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG


SISTEM KESEHATAN NASIONAL

Pembiayaan Kesehatan

112. Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni: Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.

113. Pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan


memegang peran yang vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan kesehatan.

114. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public good)
yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan
pembiayaannya bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu
menjadi tanggung jawab pemerintah.

115. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan


pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan
akan mencapai universal health coverage sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Keputusan menteri

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN


2016 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM INDONESIA SEHAT
DENGAN PENDEKATAN KELUARGA

Pasal 7
(1) Pembiayaan penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga
dibebankan pada Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), Anggaran Belanja dan
Pendapatan Negara (APBN), dan dana lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

(2) Pelaksanaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perda jabar

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 11 TAHUN 2010


TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN

Pembiayaan Kesehatan

Paragraf 1

Umum

Pasal 20

(1) Pemerintah Daerah mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh


masyarakat di Daerah.

(2) Pembiayaan kesehatan di Daerah menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah,


Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat dan swasta.

(3) Penyediaan anggaran kesehatan dalam APBD dialokasikan paling sedikit 10 % (sepuluh
persen) di luar gaji pegawai berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diprioritaskan untuk
kepentingan pelayanan publik di Daerah yang besarannya paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari
anggaran kesehatan dalam APBD.

(5) Pembiayaan kesehatan di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditujukan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara berkesinambungan, berkeadilan,
berdayaguna dan berhasilguna.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalokasian anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
PERATURAN SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN DARI 2016-2019

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tentang Standar Tarif


Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraaan Program Jaminan Kesehatan

1. Tarif Kapitasi
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran perbulan yang dibayar di muka oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang
terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Tarif
Kapitasi yang diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan:
• administrasi pelayanan;
• promotif dan preventif;
• pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
• tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
• obat dan bahan medis habis pakai; dan
• pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.

2. Tarif Non Kapitasi


Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi yang diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di luar
lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
• pelayanan ambulans;
• pelayanan obat program rujuk balik;
• pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
• pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk pelayanan terapi krio
untuk kanker leher rahim;
• rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
• jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh bidan atau dokter, sesuai
kompetensi dan kewenangannya; dan
• pelayanan Keluarga Berencana di FKTP.
3. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang disingkat FKTP adalah fasilitas kesehatan yang
melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan
observasi, promotif, preventif, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan
kesehatan lainnya. Penetapan besaran Tarif Kapitasi di FKTP dilakukan berdasarkan
kesepakatan bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama.
Standar Tarif Kapitasi di FKTP ditetapkan sebagai berikut:
a. puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah)
sampai dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan;
b. rumah sakit Kelas D Pratama, klinik pratama, praktik dokter, atau fasilitas kesehatan
yang setara sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) sampai dengan Rp10.000,00 (sepuluh
ribu rupiah) per peserta per bulan; dan
c. praktik perorangan dokter gigi sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah) per peserta per
bulan.
Besaran tarif kapitasi yang diterima oleh FKTP ditentukan melalui proses seleksi dan
kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan mempertimbangkan sumber daya manusia,
kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Penggunaan
kriteria dalam pertimbangan penetapan besaran Tarif Kapitasi berdasarkan seleksi dan
kredensial dilakukan secara bertahap, yang untuk pertama kali menggunakan pertimbangan
kriteria sumber daya manusia. Kriteria sumber daya manusia meliputi ketersediaan dokter dan
ketersediaan dokter gigi.
a. bagi puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara:
1) kapitasi sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) per peserta per bulan apabila tidak
memiliki dokter dan tidak memiliki dokter gigi;
2) kapitasi sebesar Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki dokter gigi dan tidak memiliki dokter;
3) kapitasi sebesar Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki 1 (satu) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi;
4) kapitasi sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per peserta per bulan apabila
memiliki 1 (satu) orang dokter dan memiliki dokter gigi;
5) kapitasi sebesar Rp5.500,00 (lima ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter
gigi; dan
6) kapitasi sebesar Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan apabila
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, dan memiliki dokter gigi
b. bagi FKTP selain puskesmas:
1) dokter praktik mandiri memperoleh kapitasi sebesar Rp8.000,00 (delapan ribu
rupiah) per peserta per bulan, apabila memiliki 1 (satu) orang dokter;
2) klinik Pratama atau fasilitas kesehatan yang setara, memperoleh:
a. kapitasi sebesar Rp9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki minimal 2 (dua) orang dokter dan tidak memiliki dokter
gigi; atau
b. kapitasi sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki minimal 2 (dua) orang dokter dan memiliki dokter gigi.
3) rumah sakit kelas D Pratama memperoleh kapitasi sebesar Rp10.000,00 (sepuluh
ribu rupiah) per peserta per bulan apabila memiliki minimal 2 (dua) orang dokter
dan memiliki dokter gigi.
Tarif pelayanan kesehatan tingkat pertama pada daerah terpencil dan kepulauan yang diberikan
oleh FKTP ditetapkan berdasarkan Tarif Kapitasi khusus. Tarif Kapitasi khusus bagi FKTP
yang memiliki dokter ditetapkan sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per peserta per
bulan. Tarif Kapitasi khusus bagi FKTP yang hanya memiliki bidan/perawat ditetapkan sebesar
Rp8.000,00 (delapan ribu rupiah) per peserta per bulan. Dalam hal jumlah peserta pada FKTP
kurang dari 1000 (seribu) peserta, tarif kapitasi khusus dibayarkan minimal sejumlah kapitasi
untuk 1000 (seribu) peserta. Ketentuan mengenai FKTP pada daerah terpencil dan kepulauan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan pemeriksaan penunjang rujuk balik di FKTP, terdiri atas: pemeriksaan gula darah
sewaktu; pemeriksaan gula darah puasa (GDP); pemeriksaan gula darah Post Prandial (GDPP),
pemeriksaan HbA1c; dan pemeriksaan kimia darah, meliputi : microalbuminuria; ureum ;
kreatinin; kolesterol total; kolesterol LDL; kolesterol HDL; dan trigliserida. Tarif pembiayaan
untuk pelayanan pemeriksaan penunjang rujuk balik ditetapkan sebagai berikut:
a. microalbuminuria sebesar Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah);
b. ureum sebesar Rp30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah);
c. kreatinin sebesar Rp30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah);
d. kolesterol total sebesar Rp45.000,00 (empat puluh lima ribu rupiah);
e. kolesterol LDL sebesar Rp60.000,00 (enam puluh ribu rupiah);
f. kolesterol HDL sebesar Rp45.000,00 (empat puluh lima ribu rupiah); dan
g. trigliserida sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).

Tarif Rawat Inap yang dilakukan di FKTP diberlakukan dalam bentuk paket. Tarif Rawat Inap
pada FKTP ditetapkan sebesar Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sampai dengan
Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Tarif Rawat Inap pada FKTP ditetapkan oleh BPJS
Kesehatan bersama dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

4. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan


Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan yang disingkat FKRTL adalah fasilitas
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub
spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat
inap di ruang perawatan khusus. Tarif pelayanan kesehatan pada FKRTL meliputi: Tarif INA-
CBG; dan Tarif Non INA-CBG.
Tarif INA-CBG merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen sumber daya rumah
sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun non- medis. Tarif Non INA-CBG
merupakan tarif untuk beberapa pelayanan tertentu yaitu alat bantu kesehatan, obat kemoterapi,
obat penyakit kronis, CAPD dan PET scan. Tata cara pengajuan klaim Tarif Non INA-CBG
dilakukan secara terpisah dari sistem INA-CBG. Daftar Tarif INA-CBG tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Tarif INA-CBG terdiri atas tarif rawat jalan dan tarif rawat inap, dengan 6 (enam) kelompok
tarif yaitu : tarif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo; tarif
Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, tarif Rumah Sakit Kanker Dharmais,
tarif Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita; tarif rumah sakit pemerintah dan swasta
kelas A; tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas B; tarif rumah sakit pemerintah dan
swasta kelas C; dan tarif rumah sakit pemerintah dan swasta kelas D.
Tarif INA- CBG terdiri dari 5 regional yaitu :
• tarif regional 1 meliputi Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur;
• tarif regional 2 meliputi Provinsi Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Bali,
dan Nusa Tenggara Barat;
• tarif regional 3 meliputi Provinsi Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Jambi,
Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Gorontalo;
• tarif regional 4 meliputi Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan
Utara dan Kalimantan Tengah; dan
• tarif regional 5 meliputi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua
dan Papua Barat.
Pada tarif INA-CBG terdapat pembayaran tambahan (top up payment) untuk beberapa
pelayanan tertentu yang disebut Special Casemix Main Groups (CMG),terdiri dari : special
drugs; special procedure; special prosthese; special investigation; sub acute cases; dan chronic
cases. Tarif rawat jalan pada FKRTL berupa klinik utama atau yang setara, berlaku kelompok
tarif rumah sakit kelas D. Tarif rawat inap di FKRTL berupa klinik utama atau yang setara,
diberlakukan tarif sebesar 70% (tujuh puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) dari
standar tarif INA-CBG untuk kelompok rumah sakit kelas D, yang besarannya sesuai
kesepakatan antara BPJS Kesehatan bersama dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut terkait.
BPJS Kesehatan dapat memberikan pembayaran kepada FKRTL yang tidak bekerjasama yang
melakukan pelayanan gawat darurat kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Klaim
pelayanan gawat darurat ditagihkan kepada BPJS Kesehatan sesuai tarif INA-CBG
berdasarkan kelompok tarif INA-CBG sesuai kelas rumah sakit yang ditetapkan.

Permenkes 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam


Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

Standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan memuat
pengaturan tambahan biaya untuk peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ingin
melakukan kenaikan kelas perawatan ke kelas eksekutif di fasilitas pelayanan kesehatan
(Fasyankes).
Peraturan yang diundangkan pada 17 Januari 2017 tersebut merupakan revisi terhadap
Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 52 Tahun 2016
Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan.
Revisi ini dilakukan melalui pembahasan bersama dan diperoleh kesepakatan antara
Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), BPJS
Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Perubahan yang mendasar dalam Pasal 25 ayat (2) b pada Permenkes Nomor 64 Tahun 2016,
yang berbunyi: Untuk kenaikan kelas pelayanan rawat inap ke kelas VIP, tambahan
pembayaran adalah sebesar selisih antara tarif kamar rawat inap kelas VIP terhadap tarif
kamar rawat inap pada kelas yang menjadi hak peserta sesuai lama waktu rawat.
Adapun Pasal 25 Permenkes 4 Tahun 2017 yang terdiri dari 8 ayat tersebut, berbunyi:
(1) Peserta jaminan kesehatan nasional yang menginginkan pelayanan rawat jalan eksekutif,
harus membayar tambahan biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak sebesar
Rp 250.000 untuk setiap episode rawat jalan.

(2) Peserta jaminan kesehatan nasional yang menginginkan kelas pelayanan rawat inap yang
lebih tinggi dari haknya, harus membayar selisih biaya /tambahan biaya setiap episode rawat
inap dengan beberapa ketentuan, yaitu:
 kenaikan kelas pelayanan rawat inap dari kelas 3 ke kelas 2, dari kelas 3 ke kelas 1, dan
dari kelas 2 ke kelas 1, harus membayar selisih biaya antara tarif INA-CBG pada kelas
rawat inap lebih tinggi yang dipilih dengan tarif INA-CBG pada kelas rawat inap yang
sesuai hak peserta;
 kenaikan kelas pelayanan rawat inap ke kelas VIP dengan fasilitas 1 (satu) tingkat di
atas kelas 1, pembayaran tambahan biaya ditentukan sebagai berikut:
 untuk naik kelas dari kelas 1 ke kelas VIP, pembayaran tambahan biaya paling
banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif INA CBG kelas 1;
 untuk naik kelas dari kelas 2 ke kelas VIP, adalah selisih tarif INA CBG kelas 1
dengan tarif INA CBG kelas 2 ditambah pembayaran tambahan biaya dari kelas 1
ke kelas VIP paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif
INA CBG kelas 1;
 untuk naik kelas dari kelas 3 ke kelas VIP adalah selisih tarif INA CBG kelas 1
dengan tarif INA CBG kelas 3 ditambah pembayaran tambahan biaya dari kelas 1
ke VIP paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Tarif INA
CBG kelas 1.
(3) Dalam hal peserta jaminan kesehatan nasional menginginkan naik kelas pelayanan rawat
inap di atas kelas VIP, harus membayar selisih biaya antara tarif rumah sakit pada kelas yang
dipilih dengan tarif INA CBG pada kelas yang menjadi haknya.
(4) Pembayaran selisih biaya/tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan
ayat 3 dapat dilakukan oleh peserta pemberi kerja dan/atau asuransi kesehatan tambahan.
(5) Ketentuan mengenai tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2b
ditetapkan oleh direktur/kepala rumah sakit, kepala daerah, atau pemilik rumah sakit sesuai
dengan status kepemilikannya.
(6) Rumah sakit wajib menginformasikan ketentuan mengenai selisih biaya atau tambahan
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, atau ayat 3 kepada peserta jaminan kesehatan
nasional sebelum peserta menerima pelayanan di atas kelas yang menjadi haknya.
(7) Ketentuan mengenai selisih biaya dan tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
ayat 2, dan ayat 3 akan dilakukan evaluasi paling lambat satu tahun dari Peraturan Menteri ini
diundangkan.
(8) Ketentuan mengenai selisih biaya dan tambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dan ayat 3 diberlakukan bagi pasien yang masuk pelayanan rawat inap mulai 1 Februari 2017.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2019

TENTANG

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG
BERLAKU PADA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PELAYANAN KESEHATAN

RAWAT INAP JALAN DAN RAWAT

1. Administrasi

a. Administrasi Rawat Inap per kunjungan Rp 10.000,00

b. Administrasi Rawat Jalan per kunjungan Rp 8.000,00

2. Rawat Inap

a. Kelas I per tempat tidur per hari Rp 300.000,00

b. Kelas II per tempat tidur per hari Rp 180.000,00

c. Kelas III per tempat tidur per hari Rp 100.000,00

d. Intensive Care Unit (ICU) per tempat tidur per hari Rp 720.000,00

e. Intermediatem Care Unit (IMCU) per tempat tidur per hari Rp 520.000,00
f. Isolasi per tempat tidur per hari Rp 520.000,00

g. One Day Care (sampai dengan 12 Jam) per tempat tidur per hari Rp
240.000,00

h. One Day Care (di atas 12 Jam- 24 Jam) per tempat tidur per hari Rp
480.000,00

i .Ruang Bayi per tempat tidur per hari Rp 100.000,00

j. Inkubator per tempat tidur per hari Rp 80.000,00

k. Ruang Rawat Gabung

1) Ruang Rawat Ibu per tempat tidur per hari Rp 200.000,00

2) Ruang Bayi per tempat tidur per hari Rp 100.000,00

3. Rawat Jalan

a. Poliklinik Rawat Jalan Spesialis per kunjungan Rp 160.000,00

b. Instalasi/Unit Gawat Darurat

1) Dokter Umum per kunjungan Rp 96.000,00

2) Dokter Spesialis per kunjungan Rp 160.000,00

2. Tindakan Instalasi Gawat Darurat (IGD)

a.Pasang Percutaneus Dilatasional Traceostomy (PDT) per tindakan Rp


3.200.000,00

b. Pemasangan Gips per tindakan Rp 240.000,00

c. Lepas Gips Sirculer per tindakan Rp 240.000,00

d. Pasang Traksi Kulit per tindakan Rp 400.000,00

e. Pasang Traksi Skeletal per tindakan Rp 1.600.000,00

f. Aff Hecting per tindakan Rp 60.000,00

g. Incisi/Excisi (Benda Tumor) per tindakan Rp 1.600.000,00

h. Perawatan Luka per tindakan Rp 100.000,00


i. Ekstraksi Kuku per tindakan Rp 400.000,00

k. Reposisi Tertutup per tindakan Rp 1.600.000,00

l. Pasang Gips Back Slab/ Forslab per tindakan Rp 160.000,00

m. Gula Darah Sewaktu (GDS) per tindakan Rp 40.000,00

z. Suntik Muscular Intra per tindakan Rp 24.000,00

aa. Suntik Intra Vena per tindakan Rp 40.000,00

Daftar Pustaka

KEMENKES RI, 2009, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36


TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/UU%20Nomor%2036%20Tahun2%20
009%20tentang%20Kesehatan.pdf. [7 September 2019]
KEMENKEU RI, 2004,
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2004/40TAHUN2004UU.htm.[7 September 2019]
KEMENKES RI, 2012,
http://farmalkes.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MTE0LmhvdGxpbms=. [7
September 2019]
DEPKES, 2016,
http://www.depkes.go.id/resources/download/lain/PMK_No.39_ttg_PIS_PK.pdf. [7
September 2019]
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008,
http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdjabar016.pdf. [7 September 2019]
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan .
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/2016_Permenkes_52_2016_standar_tarif_JKN.pdf [7
September 2019]
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Permenkes 52 Tahun 2016 Tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20170131/1719604/permenkes-nomor-4-tahun-
2017-atur-peserta-jkn-ingin-naik-kelas/ [7 September 2019]
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 2019, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2019 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Yang Berlaku Pada Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
https://www.ini.id/uploads/images/PERATURAN_PEMERINTAH_REPUBLIK_INDONESIA_NOMOR_28
_TAHUN_2019_pdf_750x_5cc7f1486e102.pdf [7 September 2019]

Anda mungkin juga menyukai