Anda di halaman 1dari 48

BAB II

PEMBAHASAN

2. 1. COPD

2.1.1. Pengertian
COPD singkatan dari Chronic Obstrutive Pulmonary Disease atau yang biasa disebut
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit kronis paru-paru yang disebakan
oleh kerusakan paru-paru. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. COPD mengacu pada kelompok panyakit paru-paru yang
menyumbat jalan nafas dan meningkatkan kesulitan untuk bernafas. Penyakit ini sangat
erat hubungannya dengan asap rokok yang dihirup baik oleh perokok maupun orang
sekitarnya yang juga menghirup asap rokok tersebut secara berkepanjangan.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Sering juga penyakit ini
disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung
Diseases (COLD)”
Klasifikasi COPD :
1). ASTHMA BRONCHIALE
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan
penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi,
otonomik dan psikologi.

2). BRONCHITIS KRONIS


Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus yang biasanya mengenai
trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”.
Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari
penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri dan typhus abdominalis.

3). EMFISEMA PARU


Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan

2.1.2. Etiologi
Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) adalah kerusakan jalan nafas atau kerusakan parenkim paru. Kerusakan ini
dapat disebabkan oleh :
a. Merokok dengan tembakau merupakan penyebab utama kelainan ini
b. PPOK dapat muncul pada pasien yang tidak pernah merokok. Faktor lingkungan
dicurigai dapat menjadi penyebabnya namun mekanisme belum diketahui pasti.
c. Polusi udara yang biasa terdapat didaerah industri
d. Edema jalan nafas dan bronkospasme memberi andildalam timbulnya obstruksi
e. Dilatasi bronkus (bronkiektasis), menyebabkan gangguan pada susunan dan fungsi
dinding bronkus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
f. Rangsangan, seperti asap yang berasal dari asap yang berasal dari pabrik,
kendaraan bermotor, rokok dan lain – lain.
g. Hiperresponsif jalan nafas
h. Penggunaan obat intravena
i. Sindrom Immunodefisiensi
j. Sindrom vaskulitis
k. Gangguan jaringan ikat
l. Kurang berolahraga
m. Kurang tidur
n. Stress
o. Kurang nutrisi

2.1.3. Tanda dan Gejala


Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
a. Sesak nafas terutama setelah olahraga
b. Pada kasus yang berat penderita juga menderita sesak nafas saat istirahat
c. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
d. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
e. Dispnea.
f. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
g. Anoreksia.
h. Penurunan berat badan dan kelemahan.
i. Takikardia, berkeringat. Hipoksia, sesak dalam dada
j. Badan lemah tidak bertenaga
k. Selaput bibir dan kulit berwarna kebiruan
l. Sangat mudah terjangkit infeksi pada paru-paru

2.1.4. Patofisiologi
Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus
tertutup oleh sekret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal,
akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga
menyebabkan hipertropi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan
inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang
berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-
tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
mengakibatkan hiperventilasi (nafas lambat dan dangkal) sehingga terjadi retensi CO2
(CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya
meningkat).
Pada penderita COPD saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada,
tetapi terapi perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli(V/Q rasiio yang tidak sama).

2.1.5. Pemeriksaan Diagnostik


a. Anamnesis :
Riwayat penyakit ditandai 3 gejala klinis diatas dan faktor-faktor penyebab.
b. Pemeriksaan fisik :
1) Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
2) Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
3) Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati
lebih rendah, pekak jantung berkurang.
4) Suara nafas berkurang.
c. Pemeriksaan radiologi
1) Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan
corakan paru yang bertambah.
2) Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh
darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.
d. Tes fungsi paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab dispnea,
untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya
bronkodilator.
e. Pemeriksaan gas darah.
f. Pemeriksaan EKG
g. Pemeriksaan Laboratorium darah : hitung sel darah putih.

2.1.6. Faktor Resiko


PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi
dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan
dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status
sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.

a. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang
sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi
α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik
pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen
yang terdapat pada kromosom 2q
b. Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe
dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap
perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung
terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia
yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan
pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata
risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga
dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogendioksida (NO2) juga
dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin
memberikan perburukan kepada fungsi paru.

c. Pertumbuhan dan perkembangan paru.


Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya
PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat
dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi
yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa
dewasanya.

d. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru.
Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik
maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada
akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan
yang penting terhadap patogenesis PPOK.

e. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada
beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi
pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju
menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir
sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan
untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan
kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.

f. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada
PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran
nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.

g. Status sosioekonomi dan nutrisi


Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik indoor maupun
outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian
PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.

h. Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu
penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK

2.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih
awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)


1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin
(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam
antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama
periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia,
maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol
5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25 – 0,56 IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
c. Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

2.1.8. Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan
dan distensi vena leher seringkali terlihat.

2.1.9. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien PPOK


Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang
komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari
pengkajian sampai evaluasi.

1. Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit
sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat
kesehatan dari proses penyakit:
1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Riwayat merokok?
7. Obat yang dipakai setiap hari?
8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel chest?
6. Apakah tampak sianosis?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada edema perifer?
9. Apakah vena leher tampak membesar?
10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
a. ChestX-Ray :
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat
periode remisi (asthma)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator.
c. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun
pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema
e. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
f. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori
ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
g. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis)
h. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil (asthma).
i. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer.
j. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
k. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi
program.
14. Palpasi:
a. Palpasi pengurangan pengembangan dada?
b. Adakah fremitus taktil menurun?
15. Perkusi:
a. Adakah hiperesonansi pada perkusi?
b. Diafragma bergerak hanya sedikit?
16. Auskultasi:
a. Adakah suara wheezing yang nyaring?
b. Adakah suara ronkhi?
c. Vokal fremitus nomal atau menurun?

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi
dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan
upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap
kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui
sumber informasi.

Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:


1. Gagal/insufisiensi pernapasan
2. Hipoksemia
3. Atelektasis
4. Pneumonia
5. Pneumotoraks
6. Hipertensi paru
7. Gagal jantung kanan

3. Intervensi Keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,


peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga
dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae
dan streptococcus pneumoniae.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan
pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi
pasien.
3. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi


perfusi
Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
1. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan
waspada kemungkinan efek sampingnya.
4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5. Pantau pemberian oksigen.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas
yang mungkin.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3
menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan
treadmill dan exercyc1le, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti
berjalan perlahan.
4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan
spesifik terhadap kemampuan pasien.
6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan
aktivitas untuk berjaga-jaga.
7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama
mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan
aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar
tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

e. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual
muntah.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan:
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.


Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
1. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
2. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk
melakukan tindakan tersebut.
3. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
5. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

g. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat


peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi:
1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti
berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat,
istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan.
Bahas tindakan penghematan energi.
3. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

h. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap


kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan:
1. Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
2. Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
3. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami
sesak.
i. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi keperawatan:
1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang
ditujukan pada pasien.
2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala
3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
5. Tingkatkan harga diri klien.
6. Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat
menumpuk.

j. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak


mengetahui sumber informasi.
Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.
Intervensi keperawatan:
1. Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan
pasien tentang penyakit dan perawatannya.
2. Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang
sumber-sumber kelompok.

2. 2. SARS

2.2.1. Pengertian
SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah sekumpulan gejala sakit pernapasan
yang mendadak dan berat atau disebut juga penyakit infeksi saluran pernafasan yang
disebabkan oleh virus Corona Family Paramyxovirus.
SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah suatu jenis kegagalan paru-paru
dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya pengumpulan cairan
di paru-paru (edema paru).

2.2.2. Etiologi
Etiologi SARS masih dipelajari. Pada 7 April 2003, WHO mengumumkan kesepakatan
bahwa coronavirus yang baru teridentifikasi adalah mayoritas agen penyebab SARS.
Coronavirus berasal dari kata “Corona” yang berasal dari bahasa Latin yang artinya “crown”
atau mahkota.Ini sesuai dengan bentuk Coronavirus itu sendiri yang kalau dilihat dengan
mikroskop Nampak seperti mahkota.
Penyebab lain bias karena penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung
yang melukai paru-paru, diantaranya :
1. Pneumonia
2. Tekanandarah yang sangatrendah (syok)
3. Terhirupnyamakanankedalamparu (menghirupmuntahandarilambung)
4. Beberapatransfusidarah
5. Kerusakanparu-parukarenamenghirupoksigenkonsentrasitinggi
6. Emboli paru
7. Cederapada dada
8. Overdosisobatseperti heroin, metadon, propoksifenatau aspirin
9. Trauma hebat
10. Transfusidarah (terutamadalamjumlah yang sangatbanyak).

2.2.3. Patofisiologi
Penyebab penyakit SARS disebabkan oleh coronavirus (family paramoxyviridae) yang
pada pemeriksaan dengan mikroskop electron. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu
kamar selama 1-2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada penderita diare. Seperti virus
lain, corona menyebar lewat udara, masuk melalui saluran pernapasan, lalu bersarang di paru-
paru. Lalu berinkubasi dalam paru-paru selama 2-10 hari yang kemudian menyebabkan paru-
paru akan meradang sehingga bernapas menjadi sulit. Metode penularannya melalui udara
serta kontak langsung dengan pasien atau terkena cairan pasien. Misalnya terkena ludah
(droplet) saat pasien bersin dan batuk. Dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat-alat
yang terkontaminasi.
Cara penularan : SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada waktu merawat
penderita, tinggal satu rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan secret atau
cairan tubuh dari penderita suspect atau probable. Penularan melalui udara, misalnya
penyebaran udara, ventilasi, dalam satu kendaraan atau dalam satu gedung diperkirakan tidak
terjadi, asal tidak kontak langsung berhadapan dengan penderita SARS. Untuk sementara,
masa menular adalah mulai saat terdapat demam atau tanda-tanda gangguan pernafasan
hingga penyakitnya dinyatakan sembuh.
Masa penularan berlangsung kurang dari 21 hari. Petugas kesehatan yang kontak langsung
dengan penderita mempunyai risiko paling tinggi tertular, lebih-lebih pada petugas yang
melakukan tindakan pada system pernafasan seperti melakukan intubasi atau nebulasi.

2.2.4. Tanda Dan Gejala


Suhu badan lebih dari 38oC, ditambah batuk, sulit bernapas, dan napas pendek-pendek.
Jika sudah terjadi gejala-gejala itu dan pernah berkontak dekat dengan pasien penyakit ini,
orang bias disebut suspect SARS. Kalau setelah di rontgen terlihat ada pneumonia (radang
paru-paru) atau terjadi gagal pernapasan, orang itu bias disebut probable SARS atau bias
diduga terkena SARS.
Gejalalainnya sakit kepala, otot terasa kaku, diare yang tak kunjung henti, timbul bintik-
bintik merah pada kulit, dan badan lemas beberapa hari. Ini semua adalah gejala yang kasat
mata bias dirasakan langsung oleh orang yang diduga menderita SARS itu. Tapi gejala itu
tidak cukup kuat jika belum ada kontak langsung dengan pasien. Tetap diperlukan
pemeriksaan medis sebelum seseorang disimpulkan terkena penyakit ini. Paru-parunya
mengalami radang, limfositnya menurun, trombositnya mungkin juga menurun. Kalau sudah
berat, oksigen dalam darah menurun dan enzim hati akan meningkat. Ini semua gejala yang
bias dilihat dengan alat medis. Tapi semua gejala itu masih bias berubah. Penelitian terus
dilangsungkan sampai sekarang.

2.2.5. Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan radiologis : air bronchogram : Streptococcus pneumonia.
2) Pada pemeriksaan fisik : dengan menggunakan stetoskop, terdengar bunyi
pernafasan abnormal (seperti ronki atau wheezing). Tekanan darah seringkali rendah dan
kulit, bibir serta kuku penderita tampak kebiruan (sianosis, karena kekurangan oksigen).
3) Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk mendiagnosis SARS :
a. Rontgen dada (menunjukkan adanya penimbunan cairan di tempat yang seharusnya
terisi udara)
b. Gas darah arteri
c. Hitung jenis darah dan kimia darah
d. Bronkoskopi.
4) Pemeriksaan Laboratorium :Leukosit.
5) Pemeriksaan Bakteriologis : sputum, darah, aspirasi nasotrakeal atau transtrakeal,
aspirasi jarum trans torakal, torakosentesis, bronskoskopi, biopsy
6) Test DNA sequencing bagi coronavirus yang dapat diperoleh hasilnya dalam 8 jam
dan sangat akurat. Test yang lama hanya mampu mendeteksi antibody.

2.2.6. Penatalaksanaan
1). Terapi supportif umum :meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat,
pemberian multivitamin dan lain-lain.
 Terapi oksigen
 Humidifikasi dengan nebulizer
 Fisioterapi dada
 Pengaturan cairan
 Pemberian kortokosteroid pada fase sepsis berat
 Obat inotropik
 Ventilasi mekanis
 Drainase empiema
 Bila terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori cukup

2). Terapi antibiotik


Agen anti-bakteri secara rutin diresepkan untuk SARS karena menyajikan fitur non-
spesifik dan cepat tes laboratorium yang dapat diandalkan untuk mendiagnosis SARS-cov
virus dalam beberapa hari pertama infeksi belum tersedia. Antibiotik empiris yang sesuai
dengan demikian diperlukan untuk menutupi terhadap pathogen pernafasan Common per
nasional atau pedoman pengobatan local bagi masyarakat-diperoleh atau nosokomial
pneumonia.
Setelah mengesampingkan pathogen lain, terapi antibiotic dapat ditarik. Selain efek
antibakteri mereka, beberapa antibiotic immune modulatory dikenal memiliki sifat,
khususnya quinolones dan makrolid. Efeknya pada kursus SARS adalah belum
ditentukan.
SARS dapat hadir dengan spectrum keparahan penyakit. Sebagian kecil pasien
dengan penyakit ringan pulih baik bentuk khusus tanpa pengobatan atau terapi antibiotic
saja.
Antibiotik :
 Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab
 Utama ditujukan pada S.pneumonia, H.Influensa dan S.Aureus

2.2.6. Komplikasi
1. Abses paru
2. Efusi pleural
3. Empisema
4. Gagal nafas
5. Perikarditis
6. Meningitis
7. Atelektasis
8. Hipotensi
9. Delirium
10. Asidosis metabolic
11. Dehidrasi

2.2.7. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien SARS


1. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan SARS :
1. Kaji terhadap nyeri, takipnea, penggunaan otot aksesori, nadi cepat bersambungan,
batuk, sputum purulen, dan auskultasi bunyi napas untuk mengetahui konsolidasi.
2. Perhatikan perubahan suhu tubuh.
3. Kaji terhadap kegelisahan dan delirium dalam alkoholisme.
4. Kaji terhadap komplikasi yaitu demam berlanjut atau kambuhan, tidak berhasil
untuk sembuh, atelektasis, efusi pleural, komplikasi jantung, dan superinfeksi.
5. Faktor perkembangan pasien : Umur, tingkat perkembangan, kebiasaan sehari-hari,
mekanisme koping, kemampuan mengerti tindakan yang dilakukan.
6. Pengetahuan pasien atau keluarga : pengalaman terkena penyakit pernafasan,
pengetahuan tentang penyakit pernafasan dan tindakan yang dilakukan.

2. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi dan obstruksi
jalan nafas.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipneu,
demam.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan berhubungan dengan faktor biologis.
4. Nyeri berhubungan dengan agen injury biologi (kerusakan organ)
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (RR >24x/menit) atau
hipoventilasi (RR <16x/menit).

3. intervensi
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :
efektif berhubungan a. Respiratory status : Airway suction
dengan inflamasi dan Ventilation a. Pastikan kebutuhan
obstruksi jalan nafas. b. Respiratory status : oral atau tracheal
Airway patency suctioning
b. Auskultasi suara nafas
Kriteria Hasil : sebelum dan sesudah
a. Mendemonstrasikan suctioning.
batuk efektif dan c. Informasikan pada
suara nafas yang klien dan keluarga
bersih, tidak ada tentang suctioning
sianosis dan dyspneu d. Minta klien nafas
b. Menunjukkan jalan dalam sebelum
nafas yang paten suction dilakukan.
c. Mampu e. Berikan O2 dengan
mengidentifikasikan menggunakan nasal
dan mencegah factor untuk memfasilitasi
yang dapat suksion nasotrakeal
menghambat jalan f. Gunakan alat yang
nafas steril setiap
melakukan tindakan
g. Anjurkan pasien untuk
istirahat dan napas
dalam setelah kateter
dikeluarkan dari
nasotrakeal
h. Monitor status
oksigen pasien
i. Ajarkan keluarga
bagaimana cara
melakukan suksion
j. Hentikan suksion dan
berikan oksigen
apabila pasien
menunjukkan
bradikardi,
peningkatan saturasi
O2, dan lain-lain.

Airway Management
a. Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin
lift atau jaw thrust bila
perlu
b. Posisikan pasien
untuk memaksimalkan
ventilasi
c. Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
d. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
f. Kolaborasi pemberian
bronkodilator bila
perlu
g. Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
h. Monitor respirasi dan
status O2

2 Defisit Volume cairan NOC: Fluid management


berhubungan dengan a. Fluid balance a. Pertahankan catatan
intake oral tidak adekuat, b. Hydration intake dan output yang
takipneu, demam c. Nutritional Status : akurat
Food and Fluid Intake b. Monitor status hidrasi
( kelembaban
Kriteria Hasil : membran mukosa,
a. Mempertahankan nadi adekuat, tekanan
urine output sesuai darah ortostatik ), jika
dengan usia dan BB, diperlukan
BJ urine normal, HT c. Monitor vital sign
normal d. Monitor masukan
b. Tekanan darah, nadi, makanan / cairan dan
suhu tubuh dalam hitung intake kalori
batas normal harian
c. Tidak ada tanda tanda e. Lakukan terapi IV
dehidrasi, Elastisitas f. Monitor status nutrisi
turgor kulit baik, g. Berikan cairan
membran mukosa h. Dorong masukan oral
lembab, tidak ada i. Berikan penggantian
rasa haus yang nesogatrik sesuai
berlebihan output
j. Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan
k. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
l. Atur kemungkinan
tranfusi
m. Persiapan untuk
tranfusi
3. Ketidakseimbangan nutrisi NOC : NIC:
kurang dari kebutuhan Status nutrisi, setelah Eating disorder manajemen
tubuh berhubungan diberikan penjelasan dan a. Tentukan kebutuhan
dengan ketidakmampuan perawatan kebutuhan kalori harian
pemasukan berhubungan nutrisi pasien terpenuhi b. Ajarkan klien dan
dengan faktor biologis dengan kriteria hasil : keluarga tentang
(sesak nafas). a. Pemasukan nutrisi pentingnya nutrient
yang adekuat c. Monitoring TTV
b. Pasien mampu dan
menghabiskan diet nilai Laboratorium
yang dihidangkan d. Monitor intake dan
c. Tidak ada tanda- output
tanda malnutrisi e. Pertahankan
d. Nilai laboratorim, kepatenan
protein total 8-8 pemberian nutrisi
gr%, Albumin 3.5- parenteral
5.4 gr%, Globulin f. Pertimbangkan
1.8-3.6 gr%, HB nutrisi enteral
tidak kurang dari 10 g. Pantau adanya
gr % Komplikasi GI
e. Membran mukosa
dan konjungtiva Terapi gizi
tidak pucat a. Monitor masukan
makanan atau
minuman dan
hitung kalori harian
secara tepat
b. Kolaborasi ahli gizi
c. Pastikan dapat diet
TKTP (tinggi kalori
tinggi protein)
d. Berikan perawatan
mulut
e. Pantau hasil
labioratoriun
protein, albumin,
globulin, HB
f. Jauhkan benda-
benda yang tidak
enak untuk
dipandang seperti
urinal, kotak
drainase, bebat dan
pispot
g. Sajikan makanan
hangat dengan
variasi yang
menarik

4 Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


berhubungan dengan a. Energy conservation Activity Therapy
isolasi respiratory. b. Self Care : ADLs a. Kolaborasikan
Kriteria Hasil : dengan Tenaga
a. Berpartisipasi dalam Rehabilitasi Medik
aktivitas fisik tanpa dalam
disertai peningkatan merencanakan
tekanan darah, nadi program terapi yang
dan RR tepat.
b. Mampu melakukan b. Bantu klien untuk
aktivitas sehari hari mengidentifikasi
(ADLs) secara aktivitas yang
mandiri mampu dilakukan
c. Bantu untuk
memilih aktivitas
konsisten yang
sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan social
d. Bantu untuk
mengidentifikasi
dan mendapatkan
sumber yang
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
e. Bantu untuk
mendapatkan alat
bantuan aktivitas
seperti kursi roda,
krek
f. Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
g. Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
h. Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
i. Bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
j. Monitor respon
fisik, emosi, social
dan spiritual

Energy Management
a. Observasi adanya
pembatasan klien
dalam melakukan
aktivitas
b. Dorong anal untuk
mengungkapkan
perasaan terhadap
keterbatasan
c. Kaji adanya factor
yang menyebabkan
kelelahan
d. Monitor nutrisi dan
sumber energi
e. Monitor pasien akan
adanya kelelahan
fisik dan emosi
secara berlebihan
f. Monitor respon
kardiovaskuler terh
adap aktivitas
g. Monitor pola tidur
dan lamanya
tidur/istirahat pasien

5 Defisit pengetahuan NOC : NIC :


berhubungan dengan a. Knowledge : Teaching : disease Process
perawatan disease process a. Berikan penilaian
b. Knowledge : health tentang tingkat
Behavior pengetahuan pasien
Kriteria Hasil : tentang proses
a. Pasien dan keluarga penyakit yang spesifik
menyatakan b. Jelaskan patofisiologi
pemahaman tentang dari penyakit dan
penyakit, kondisi, bagaimana hal ini
prognosis dan berhubungan dengan
program pengobatan anatomi dan fisiologi,
b. Pasien dan keluarga dengan cara yang
mampu tepat.
melaksanakan c. Gambarkan tanda dan
prosedur yang gejala yang biasa
dijelaskan secara muncul pada penyakit,
benar dengan cara yang
c. Pasien dan keluarga tepat
mampu menjelaskan d. Gambarkan proses
kembali apa yang penyakit, dengan cara
dijelaskan yang tepat
perawat/tim e. Identifikasi
kesehatan lainnya kemungkinan
penyebab, dengna cara
yang tepat
f. Sediakan informasi
pada pasien tentang
kondisi, dengan cara
yang tepat
g. Hindari harapan yang
kosong
h. Diskusikan perubahan
gaya hidup yang
mungkin diperlukan
untuk mencegah
komplikasi di masa
yang akan datang dan
atau proses
pengontrolan penyakit
i. Diskusikan pilihan
terapi atau
penanganan
j. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara
yang tepat atau
diindikasikan
k. Eksplorasi
kemungkinan sumber
atau dukungan,
dengan cara yang
tepat
l. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan
cara yang tepat

2. 3. Flu Burung

2.3.1. Pengertian
Flu Burung (Avian Influenza - AI) adalah penyakit unggas yang menular disebabkan
virus influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae. Virus ini paling umum menjangkiti
unggas (misalnya ayam peliharaan, Kalkun, Itik, Puyuh, dan Angsa) juga berbagai jenis
burung liar. Beberapa virus flu burung juga diketahui bisa menyerang mamalia, termasuk
manusia (Darel W. 2008 : 17).
Flu burung adalah penyakit influenza pada unggas, baim burung, bebek, ayam,
sertabeberapa binatang seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini juga dapat pula
mengena pada burung puyuh dan burung onta. Penyakit pada binatang ini telah ditemukan
sejak 100 tahun lalu di Italia, tepatnya 1878. Pada tahun 1924-1925 wabah ini merebak di
Amerika Serikat. (Tjandra. 2005 : 2).
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam
nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis
protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan
karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada
reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis
spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase
(NA), yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto T, Kawaoka Y. 2001 :129-149).
Menurut (soejoedono,et al., 2005) avian influenza (flu burung) adalah penyakit menular
yang dapat terjadi pada unggas dan mamalia yang disebabkan oleh virus infl uenza tipe A.
Virus influenza tipe A memiliki beberapa subtipe yang ditandai adanya Hemagglutinin (H)
dan Neuramidase (N). Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1
yang memiliki waktu inkubasi selama 3–5 hari. Virus ini dapat menular melalui udara
ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan. Perilaku hidup bersih dan sehat
misalnya mencuci tangan dengan antiseptic, kebersihan tubuh dan pakaian, dan memakai alat
pelindung diri (APD) waktu kontak langsung dengan unggas dapat mencegah penularan virus
AI.
2.3.2. Etiologi
Penyebab flu burung adalah virus influenza dari famili Orthomyxoviridae yang termasuk
tipe A subtipe H 5, H 7, dan H 9. Virus H9N2 tidaklah menyebabkan penyakit berbahaya
pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus flu burung atau avian influenza hanya ditemukan
pada binatang seperti burung, bebek dan ayam, namun sejak 1997 sudah mulai dilaporkan
“terbang” pula ke manusia. Subtipe virus yang terakhir ditemukan yang ada di negara kita
adalah jenis H5N1.
Gejala penyakit flu burung pada manusia adalah demam, anoreksia, pusing, gangguan
pernafasan (sesak), nyeri otot dan mungkin konjungtivitis yang terdapat pada penderita
dengan riwayat kontak dengan unggas yang terinfeksi semisal peternak atau pedagagang
unggas. Gejalanya tidak khas dan mirip gejala flu lainnya, tetapi secara cepat gejala menjadi
berat dan dapat menyebabkan kematian karena terjadi peradangan pada paru (pneumonia).
Gejala pada unggas yang terinfeksi diantaranya jengger dan pial kebiru-biruan, keluar
darah dari hidung, feses kehijau-hijauan dan banyak mengandung air, pada paha sering
terdapat bercak-bercak darah, kematian unggas serentak terjadi dalam hitungan hari selain
itu, pada burung liar akan menjadi karier.

2.3.3. Manifestasi Klinis


1) Pada Unggas
a) Jengger berwarna biru
b) Borok dikaki
c) Kematian mendadak
2) Pada manusia
a) Demam (suhu > 38°C)
b) Batuk & nyeri tenggorokan
c) Radang saluran pernapasan atas
d) Pneumonia
e) Infeksi mata
f) Nyeri otot
Masa inkubasi
a) 1-3 hari
b) Masa infeksi 1 hari sblm sampai 3-5 hr sesudah timbul gejala
c) Pada anak 21 hari
2.3.4. Patofisiologi
Virus influensa A suptipe H5N1 masuk kedalam tubuh manusia karena adanya kontak
dengan unggas atau produk (lendir, kotoran, darah dan lain sebagainya) yang terinfeksi virus
flu burung infekai virus masuk ke dalam saluran pernafasan, dan terjadilah replikasii virus
sangat cepat. Terjadinya replikasi virus yang cepat merangsang pembentukan sitokinin
termasuk IL-I, IL-6 TNF Alfa yang kemudian masuk sirkulasi sistemik yang menimbulkan
gejala demam, malaise, myalgia dan sebagainya.
Seseorang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh maka virus masuk sirkulasi
darah sistemik dan organ tubuh lain. Pembentukan sitokinin akibat replikasi virus tersebut
juga akan merusak jaringan paru yang luas dan berat yang bisa menyebabkan pneumonia
intertitial. Proses berlanjut dengan terjadinya eksudasi dan edema intraalveolar, pembentukan
hyalin dan fibroblas sel radang akan memproduksi banyak sel mediator peradangan, keadaan
ini akan menyebabkan difusi oksigen terganggu, terjadilah hipoksia/anoksia yang dapat
merusak organ lain, keadaan ini bisa terjadi dengan cepat yang dapat mengakibatkan
kematian secara mendadak karena proses yang irreveraible (Tamher, 2009, p. 6)

2.3.5. Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk
sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah
rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi
nasofaringeal. Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
a. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
b. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
c. Uji Serologi :
1) Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7
hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi
konvalesen harus pula >1/80.
2) Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang
diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil
positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160
atau western blot spesifik H5 positif.
3) Uji penapisan meliputi: Rapid test untuk mendeteksi Influensa A dan
ELISA untuk mendeteksi H5N1.

2. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total.
Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.

3. Pemeriksaan Kimia darah


Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis
Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT,
peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah
dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit
dan komplikasi yang ditemukan.

4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka
flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah
pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk
kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah
diagnostik dini.

5. Pemeriksaan Post Mortem


Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan,
dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat
(necropsi), specimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

2.3.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.
Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas kesehatan non
rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :
a. Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak,
sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.
b. Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai
skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien
langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem
skoring, dimodifikasi dari hasil pertemuan workshop “Case Management” &
pengembangan laboratorium regional Avian Influenza, Bandung 20 – 23 April
2006.

2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan


Pasien Suspek H5N1, probabel, dan konfirmasi dirawat di ruang isolasi.
a. Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang
pemeriksaan.
b. Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan
melakukan kewaspadaan standar.
c. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik.
d. Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang
setiap hari sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang.
e. Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan.
f. Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari.
g. Penatalaksanaan di ruang rawat inap.

3. Keperawatan
a. Perhatikan :
1) Keadaan umum.
2) Kesadaran.
3) Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
4) Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
b. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni
pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat :
1) Penghambat M2 : Amantadin (symadine), Rimantidin (flu madine). Dengan
dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari.
2) Penghambatan neuramidase (WHO) : Zanamivir (relenza), Oseltamivir (tami
flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.

4. Pengobatan
Pengobatan bagi penderita flu burung adalah:
a. Oksigenasi bila terdapat sesak napas.
b. Hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus).
c. Pemberian obat anti virus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari.
d. Anti replikasi neuramidase (inhibitor): Tamiflu dan Zanamivir.
e. Amantadin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam waktu 48 jam
pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2
dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.

2.3.7. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Flu Burung


1. Pengkajian.
Pengkajian mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara, keluhan
utama, pengumpulan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
a. Identitas /biodata klien
Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, asal suku bangsa, nama
orangtua, pekerjaan orangtua, dan penghasilan.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang terjadi adalah sesak nafas yang merupakan salah satu
tanda terjadi infeksi di paru-paru (pneumoni), batuk, pilek, nyeri otot, peningkatan
suhu tubuh >38ºC, sakit kepala dan sakit tenggorokan. (Wahid, 2013, p. 194)
c. Riwayat penyakit sekarang
1) Suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang,/tidak ada.
2) Infeksi paru.
3) Batuk dan pilek.
4) Infeksi selaput mata.

d. Riwayat kesehatan dahulu


Mengkaji apakah ada riwayat sakit paru-paru atau tidak. Serta mengkaji
riwayat perjalanan dalam waktu 7 hari sebelumnya apakah melakukan kunjungan
ke daerah atau tempat tinggal diwilayah yang terjangkit flu burung, mengkonsumsi
unggas sakit, kontak dengan unggas atau orang yang positif flu burung. (Wahid,
2013, p. 194)
e. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit flu burung tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah
penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga yang lainnya sebagai factor
predisposisi penularan didalam rumah. (Wahid, 2013, p. 195)
f. Riwayat pengobatan
Dosis oseltavimir 75 mg per oral sekali sehari selama 1 minggu. Bila
dibersihkan dengan kreatinin 10-30 ml/menit, oseltavimir diberikan setiap 2 hari
sekali. (Nelwan, 2014, p. 727)

g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Lemah, demam, radang tenggorokan, sesak nafas. (Nurarif, 2015, p. 1)
2) Kesadaran
Pada pasien H5N1 kesadaran penuh.
3) Tanda-tanda Vital
 TD : Pada pasien flu burung terjadi peningkatan tekanan darah.
 Nadi : Takikardi dan dispneu
 RR : Melebihi normal
 Suhu : Lebih dari 38˚C (Nurarif, 2015, p. 1)
4) Sistem Pernafasan
 Inspeksi : Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan, Tonsil
tampak kemerahan dan edema, Biasanya terdapat secret atau
lendir pada daerah hidung, hidung tampak kemerahan,
adanya batuk
 Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfe, Tidak adanya
pembesaran kelenjar tiroid.
 Perkusi : Area paru sonor/ hipersonor/ dullness
 Auskultasi : Suara nafas area vesikuler. (Wahid, 2013, p. 195)
5) Sistem persyarafan
Inspeksi : Pada penderita flu burung pasien tampak lemah, tidak bisa bangun
dan beriteraksi dengan baik serta pasien tidak mau disentuh karena sakit saat
disentuh. (Nurarif, 2015, p. 1)
6) Sistem pengindraan
a) Pemeriksaan mata
Inspeksi : kesimetrisan mata, ada tidaknya oedem pada kelopak
mata/palpebra,konjungtivitis dan sklera tidak ada perubahan warna.
b) Pemeriksaan telinga
Inspeksi : bentuk simetris,terdapat serumen, tidak terdapat benjolan, tidak
terdapat hiperpigmentasi.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan.

c) Pemeriksaan hidung
Inspeksi : amati bentuk tulang hidung dan posisi septum nasi (adakah
pembengkokan atau tidak,) terdapat secret atau tidak,
Palpasi :ada atau tidaknya terdapat nyeri tekan, dan masa

d) Pemeriksaan mulut
Inspeksi : amati bibir (kelainan konginetal : labioseisis, palatoseisis atau
labiopalatoseisis), warna lidah terdapat perdarahan atau tidak, ada abses
atau tidak. (Nurarif, 2015, p. 1)
7) Sistem kardiovaskular
a) Inspeksi : ada atau tidak adanya nyeri tekan
b) Auskultasi : ada atau tidaknya suara tambahan
c) Palpasi : pada dinding torak teraba lemah/ kuat/ tidak teraba
d) Perkusi : batas-batas jantung
e) Batas atas ( N = ICS II)
f) Batas bawah (N = ICS V)
g) Batas kiri (N = ICS Vmid clavikula sinistra)
h) Batas kanan (N = ICS IV mid sternalis dextra)
i) Terjadinya takikardi disebabkan karena takipneau.
8) Sistem pencernaan
a) Inspeksi : bentuk abdomen, massa/ benjolan, bayangan pembuluh darah
vena
b) Auskultasi : frekuensi peristaltic usus 20 x/menit
c) Palpasi : lakukan palpasi abdomen untuk menentukan lemah, keras atau
distensi, adanya nyeri tekan, dan adanya massa atau asites
d) Gangguan pada gaster yang menyebabkan mual dan muntah serta diare
pada penderita flu burung. (Wahid, 2013, p. 196)

9) Sistem endokrin
Tidak ada perubahan pada sistem endokrin pasien flu burung. (Pohan, 2014, p.
722)
10) Sistem perkemihan
Inspeksi : sebagian besar penderita flu burung mengalami gangguan ginjal
berupa peningkatan ureum dan kreatinin. (Wahid, 2013, p. 196)
11) Sistem muskuluskletal
Inspeksi dan Palpasi : Terjadi kelemahan otot karena kurangnya daya dahan
tubuh dan mengalami nyeri. (Nurarif, 2015, p. 1)
12) Sistem integumen
Inspeksi : Kulit menjadi kehitaman atau keabuan
Palpasi : turgor tidak kembali dalam 2 detik. (Nurarif, 2015, p. 1)

13) Sistem imun


Kelainan laboratorium, leukopenia, limfopenia, dan trombositopenia sering
terjadi pada pasien flu burung. (Akoso, 2013, p. 12)
14) Sistem reproduksi
Tidak ada perubahan pada sistem reproduksi pasien flu burung. (Wahid, 2013)
h. Pemeriksaaan penunjang : pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosa yang tepat, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat
pula, pemeriksaan yang perlu dilakukan pada orang yang mengalami flu burung,
yaitu pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaaan darah.
2. Diagnosa Keperawatan.
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental akibat influenza.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi
jalan napas oleh sekresi).
c. Ketidakseimbanngan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan dispnea
dan anorexia.
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan ekspansi dada.
e. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh.

3. Rencana Keperawatan.
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental akibat influenza.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
diharapkan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan bunyi nafas kembali normal.
2) Mengeluarkan atau membersihkan secret secara mandiri dengan batuk efektif.

No Intervensi Rasional

1. Auskultasi bunyi napas. Catat Beberapa derajat spasme bronkus


adanya bunyi napas, misal terjadi dengan obstruksi jalan napas
crackles/rales, ronkhi, wheezing. dan dapat/tak dimanifestasikan adanya
bunyi napas adventisius, misal
penyebaran, krekels basah (bronkitis);
bunyi napas redup dengan ekspirasi
mengi (emfisema); atau tak adanya
bunyi napas (asma berat).
2. Kaji/pantau frekuensi Takipnea biasanya ada pada beberapa
pernapasan. Catat rasio derajat dan dapat ditemukan pada
inspirasi/ekspirasi. penerimaan atau selama stres/adanya
proses infeksi akut. Pernapasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
3. Catat adanya/derajat dispnea, Disfungsi pernapasan adalah variabel
mis., keluhan “lapar udara,” yang tergantung pada tahap proses
gelisah, ansietas, distres kronis selain proses akut yang
pernapasan, penggunaan otot menimbulkan perawatan di rumah
bantu. sakit, mis., infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang Posisi yang nyaman mempermudah
nyaman. fungsi pernafasan. Namun, pasien
dengan distres berat akan mencari
posisi yang paling mudah untuk
bernapas. Sokongan tangan/kaki
dengan meja, bantal, dan lain-lain
membantu menurunkan kelemahan
otot dan dapat sebagai alat ekspansi
dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan.
minimum, mis. debu, asap, dan
bulu bantal yang berhubungan
dengan kondisi individu.
6. Dorong/bantu melatihan napas Memberikan pasien beberapa cara
dalam. untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen (obstruksi jalan napas
oleh sekresi)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan
pertukaran gas kembali normal.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan AGD dalam
rentang normal (PCO2 : 35-45 mmHG, PO2 : 80-100 mmHG) dan tak ada gejala
distres pernapasan.
2) Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.
No Intervensi Rasional

1. S Kaji frekuensi, kedalaman Berguna dalam evaluasi derajat distres


pernapasan. Catat penggunaan pernapasan dan/atau kronisnya proses
otot bantu. penyakit.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, Pengiriman oksigen dapat diperbaiki
bantu pasien untuk memilih dengan posisi duduk tinggi dan latihan
posisi yang mudah untuk napas untuk menurunkan kolaps jalan
bernapas. Dorong napas dalam napas, dispnea, dan kerja napas.
perlahan atau napas bibir sesuai
kebutuhan/toleransi individu.
3. Kaji/awasi secara rutin kulit dan Sianosis perifer (terlihat pada kuku)
warna membran mukosa. atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau
daun telinga). Keabu-abuan dan
dianosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.

4. Dorong mengeluarkan sputum; Kental, tebal, dan banyaknya sekresi


penghisapan bila diindikasikan. adalah sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan napas kecil.
Penghisapan dibutuhkan bila batuk
tidak efektif.
5. Awasi tingkat kesadaran/status Gelisah dan ansietas adalah
mental. Selidiki adanya manifestasi umum pada hipoksia.
perubahan. AGD memburuk disertai
bingung/somnolen menunjukkan
disfungsi serebral yang berhubungan
dengan hipoksemia.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea dan
anorexia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
perubahan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan peningkatan napsu makan.
2) Mempertahankan/meningkatkan berat badan pasien.
No Intervensi Rasional

1. S Kaji kebiasaan diet, masukan Pasien distres pernapasan akut sering


makanan saat ini. Catat derajat anoreksia karena dispnea, produksi
kesulitan makan. Evaluasi berat sputum, dan obat.
badan dan ukuran tubuh.
2. Mengauskultasi bising usus. Penurunan/hipoaktif bising usus
menunjukkan penurunan motilitas
gaster dan konstipasi (komplikasi
umum) yang berhubungan dengan
pembatasan pemasukan cairan, pilihan
makanan buruk, penurunan aktivitas,
dan hipoksemia.
3. Berikan perawatan oral sering, Rasa tak enak, bau dan penampilan
buang sekret, berikan wadah adalah pencetus utama terhadap nafsu
khusus untuk sekali pakai dan makan dan dapat membuat mual dan
tisu. muntah dengan peningkatan kesulitan
napas.
4. Dorong periode istirahat Membantu menurunkan kelemahan
semalam 1 jam sebelum dan selama waktu makan dan memberikan
sesudah makan. Berikan makan kesempatan untuk meningkatkan
porsi kecil tapi sering. masukan kalori total.
5. Hindari makanan penghasil gas Dapat menghasilkan distensi abdomen
dan minuman karbonat. yang mengganggu napas abdomen dan
gerakan diafragma, dan dapat
meningkatkan dispnea.
6. Hindari makanan yang sangat Suhu ekstrim dapat mencetuskan/
pedas atau sangat dingin. meningkatkan spasme batuk.
7. Timbang berat badan sesuai Berguna untuk menentukan kebutuhan
indikasi. kalori, menyusun tujuan berat badan,
dan evaluasi keadekuatan rencana
nutrisi. Catatan: Penurunan berat
badan dapat berlanjut, meskipun
masukan adekuat sesuai teratasinya
edema.
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan ekspansi dada.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pola
nafas pasien kembali normal.
Kriteria hasil :
1) Pola nafas klien kembali normal (vesikuler).
2) Klien tidak menggunakan otot bantu lagi saat bernafas.
No Intervensi Rasional

1. S Pantau pemasukan/ pengeluaran. Evaluator langsung status cairan.


Hitung keseimbangan cairan, Peubahan tiba-tiba pada berat badan
catat kehilangan tak kasat mata. dicurigai kehilangan/ retensi cairan.
Timbang berat badan sesuai
indikasi.
2. Evaluasi turgor kulit, Indikator langsung status cairan/
kelembaban membran mukosa, perbaikan ketidakseimbangan.
adanya edema dependen/ umum.
3. Pantau tanda vital (tekanan Kekurangan cairan mungkin
darah, nadi, frekuensi, dimanifestasikan oleh hipotensi dan
pernafasan). Auskultasi bunyi takikardi, karena jantung mencoba
nafas, catat adanya krekels. untuk mempertahankan curah jantung.
Kelebihan cairan/ terjadinya gagal
mungkin dimanifestasikan oleh
hipertesi, takikardi, takipnea, krekels,
distres pernapasan.
4. Kaji ulang kebutuhan cairan. Tergantung pada situasi, cairan
Buat jadwal 24 jam dan rute dibatasi atau diberikan terus.
yang digunakan. Pastikan Pemberian informasi melibatkan
minuman/ makanan yang disukai pasien pada pembuatan jadwal dengan
pasien. kesukaan individu dan meningkatkan
rasa terkontrol dan kerjasama dalam
program.
5. Hilangkan tanda bahaya dan Dapat menurunkan rangsang muntah.
ketahui dari lingkungan. Berikan
kebersihan mulut yang sering.
6. Anjurkan pasien untuk minum Dapat menurunkan terjadinya muntah
dan makan dengan perlahan bila mual.
sesuai indikasi.
7. Kolaborasi :
-
Berikan cairan IV melalui alat Cairan dapat dibutuhkan untuk
kontrol. mencegah dehidrasi, meskipun
pembatasan cairan mungkin
diperlukan bila pasien GJK.
8. Pemberian antiemetik, contoh Dapat membantu menurunkan mual/
proklorperazin maleat muntah (bekerja pada sentral, daripada
(compazine), trimetobenzamid di gaster) meningkatkan pemasukan
(tigan), sesuai indikasi. cairan/ makanan.
9. Pantau pemeriksaan laboratorium Mengevaluasi status hidrasi, fungsi
sesuai indikasi, contoh Hb/Ht, ginjal dan penyebab/ efek
BUN/ kreatinin, protein plasma, ketidakseimbangan.
elektrolit.

e. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan peningkatan suhu


tubuh
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) kembali normal.
Kriteria hasil :
1) Suhu tubuh klien kembali normal (36°C)
2) Secara verbal klien mengatakan penyebab kekurangan cairan dapat teratasi.
No Intervensi Rasional

1. S Kaji TTV klien (TD, S, N, RR). Untuk mengtahui keadaan umum


klien.
2. Berikan kompres air hangat pada Membantu manurunkan panas tubuh.
dahi klien.
3. Anjurkan klien untuk minum air Membantu mengurangi cairan pada
1200 ml/hari. saat panas.
4. Anjurkan kepada keluarga klien, Mengurangi rasa panas pada tubuh.
untuk menganjurkan kepada
klien menggunakan pakaian tipis.
5. Kolaborasi ; dengan dokter Membantu menurunkan rasa sakit.
dalam pemberian terapi obat
yang digunakan.
6. Pemeriksaan laboratorium. Memonitor jumlah leukosit selama
dilakukan tindakan.

4. Implementasi.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan
yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994,
dalam Potter & Perry, 1997). Beberapa pedoman dalam pelaksanaan implementasi sebagai
berikut :
a. Berdasarkan respon klien;
b. Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan
operasional, hukum dan kode etik keperawatan;
c. Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia;
d. Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan;
e. Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam perencanaan keperawatan;
f. Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya
meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (Self care);
g. Menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan status kesehatan;
h. Dapat menjaga rasa aman, harga diri dan melindungi klien;
i. Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan;
j. Bersifat holistik;
k. Kerjasama dengan profesi lain;
l. Melakukan dokumentasi.

5. Evaluasi.
Menurut Craven Hirnle (2000). Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari
efektivitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah
ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Adapun ukuran pencapaian tujuan
pada tahap evaluasi meliputi :
a. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kreteria
hasil yang telah ditetapkan;
b. Masalah sebagian teratasi; jika klien menunjukkan perubahan dan kemajuan sama
sekali yang sesuai dengan tujuan dan kreteria hasil yang telah ditetapkan dan atau
bahkan timbul masalah ataau diagnosa keperawatan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. (2013). Waspada Flu Burung. Jakarta: Kanisius.
J.Kunoli, F. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: KDT.
Nelwan, R. (2014). Influenza Dan Pencegahannya. jakarta: Interna Publishing.
Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. jogjakarta: MediAction.
Pohan, H. T. (2014). Influenza Burung (Avian Influenza). Jakarta: InternaPublishing.
Setiati, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. jakarta: internaPublishing.
Tamher. (2009). Flu Burung: Aspek Klinis dan Epidemiologis. jakarta: SalembaMedika.
Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta Timur:
Trans Info Media.
Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai