PEMBAHASAN
2. 1. COPD
2.1.1. Pengertian
COPD singkatan dari Chronic Obstrutive Pulmonary Disease atau yang biasa disebut
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit kronis paru-paru yang disebakan
oleh kerusakan paru-paru. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. COPD mengacu pada kelompok panyakit paru-paru yang
menyumbat jalan nafas dan meningkatkan kesulitan untuk bernafas. Penyakit ini sangat
erat hubungannya dengan asap rokok yang dihirup baik oleh perokok maupun orang
sekitarnya yang juga menghirup asap rokok tersebut secara berkepanjangan.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale. Sering juga penyakit ini
disebut dengan “Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic Obstructive Lung
Diseases (COLD)”
Klasifikasi COPD :
1). ASTHMA BRONCHIALE
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan
penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi,
otonomik dan psikologi.
2.1.2. Etiologi
Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive pulmonary
disease (COPD) adalah kerusakan jalan nafas atau kerusakan parenkim paru. Kerusakan ini
dapat disebabkan oleh :
a. Merokok dengan tembakau merupakan penyebab utama kelainan ini
b. PPOK dapat muncul pada pasien yang tidak pernah merokok. Faktor lingkungan
dicurigai dapat menjadi penyebabnya namun mekanisme belum diketahui pasti.
c. Polusi udara yang biasa terdapat didaerah industri
d. Edema jalan nafas dan bronkospasme memberi andildalam timbulnya obstruksi
e. Dilatasi bronkus (bronkiektasis), menyebabkan gangguan pada susunan dan fungsi
dinding bronkus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
f. Rangsangan, seperti asap yang berasal dari asap yang berasal dari pabrik,
kendaraan bermotor, rokok dan lain – lain.
g. Hiperresponsif jalan nafas
h. Penggunaan obat intravena
i. Sindrom Immunodefisiensi
j. Sindrom vaskulitis
k. Gangguan jaringan ikat
l. Kurang berolahraga
m. Kurang tidur
n. Stress
o. Kurang nutrisi
2.1.4. Patofisiologi
Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus
tertutup oleh sekret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal,
akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga
menyebabkan hipertropi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan
inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang
berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-
tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
mengakibatkan hiperventilasi (nafas lambat dan dangkal) sehingga terjadi retensi CO2
(CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya
meningkat).
Pada penderita COPD saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada,
tetapi terapi perfusi baik, sehingga penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke
alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli(V/Q rasiio yang tidak sama).
a. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang
sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi
α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang
merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik
pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen
yang terdapat pada kromosom 2q
b. Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe
dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap
perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung
terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada
selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia
yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif, bahkan
pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata
risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga
dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan
bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogendioksida (NO2) juga
dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin
memberikan perburukan kepada fungsi paru.
d. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru.
Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik
maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada
akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon
inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan
yang penting terhadap patogenesis PPOK.
e. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada
beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi
pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju
menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir
sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan
untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan
kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.
f. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya
inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap
terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada
PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran
nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.
h. Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu
penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive Disease, bahwa orang
dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK
2.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih
awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.
2.1.8. Komplikasi
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan
dan distensi vena leher seringkali terlihat.
1. Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit
sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat
kesehatan dari proses penyakit:
1. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
3. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6. Riwayat merokok?
7. Obat yang dipakai setiap hari?
8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel chest?
6. Apakah tampak sianosis?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada edema perifer?
9. Apakah vena leher tampak membesar?
10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11. Bagaimana status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
a. ChestX-Ray :
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat
periode remisi (asthma)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator.
c. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun
pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema
e. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas
vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
f. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan
PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori
ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
g. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronchitis)
h. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil (asthma).
i. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada
emfisema primer.
j. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
k. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
l. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi
program.
14. Palpasi:
a. Palpasi pengurangan pengembangan dada?
b. Adakah fremitus taktil menurun?
15. Perkusi:
a. Adakah hiperesonansi pada perkusi?
b. Diafragma bergerak hanya sedikit?
16. Auskultasi:
a. Adakah suara wheezing yang nyaring?
b. Adakah suara ronkhi?
c. Vokal fremitus nomal atau menurun?
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi
dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan
upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap
kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui
sumber informasi.
3. Intervensi Keperawatan
2. 2. SARS
2.2.1. Pengertian
SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah sekumpulan gejala sakit pernapasan
yang mendadak dan berat atau disebut juga penyakit infeksi saluran pernafasan yang
disebabkan oleh virus Corona Family Paramyxovirus.
SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah suatu jenis kegagalan paru-paru
dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya pengumpulan cairan
di paru-paru (edema paru).
2.2.2. Etiologi
Etiologi SARS masih dipelajari. Pada 7 April 2003, WHO mengumumkan kesepakatan
bahwa coronavirus yang baru teridentifikasi adalah mayoritas agen penyebab SARS.
Coronavirus berasal dari kata “Corona” yang berasal dari bahasa Latin yang artinya “crown”
atau mahkota.Ini sesuai dengan bentuk Coronavirus itu sendiri yang kalau dilihat dengan
mikroskop Nampak seperti mahkota.
Penyebab lain bias karena penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung
yang melukai paru-paru, diantaranya :
1. Pneumonia
2. Tekanandarah yang sangatrendah (syok)
3. Terhirupnyamakanankedalamparu (menghirupmuntahandarilambung)
4. Beberapatransfusidarah
5. Kerusakanparu-parukarenamenghirupoksigenkonsentrasitinggi
6. Emboli paru
7. Cederapada dada
8. Overdosisobatseperti heroin, metadon, propoksifenatau aspirin
9. Trauma hebat
10. Transfusidarah (terutamadalamjumlah yang sangatbanyak).
2.2.3. Patofisiologi
Penyebab penyakit SARS disebabkan oleh coronavirus (family paramoxyviridae) yang
pada pemeriksaan dengan mikroskop electron. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu
kamar selama 1-2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada penderita diare. Seperti virus
lain, corona menyebar lewat udara, masuk melalui saluran pernapasan, lalu bersarang di paru-
paru. Lalu berinkubasi dalam paru-paru selama 2-10 hari yang kemudian menyebabkan paru-
paru akan meradang sehingga bernapas menjadi sulit. Metode penularannya melalui udara
serta kontak langsung dengan pasien atau terkena cairan pasien. Misalnya terkena ludah
(droplet) saat pasien bersin dan batuk. Dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat-alat
yang terkontaminasi.
Cara penularan : SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada waktu merawat
penderita, tinggal satu rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan secret atau
cairan tubuh dari penderita suspect atau probable. Penularan melalui udara, misalnya
penyebaran udara, ventilasi, dalam satu kendaraan atau dalam satu gedung diperkirakan tidak
terjadi, asal tidak kontak langsung berhadapan dengan penderita SARS. Untuk sementara,
masa menular adalah mulai saat terdapat demam atau tanda-tanda gangguan pernafasan
hingga penyakitnya dinyatakan sembuh.
Masa penularan berlangsung kurang dari 21 hari. Petugas kesehatan yang kontak langsung
dengan penderita mempunyai risiko paling tinggi tertular, lebih-lebih pada petugas yang
melakukan tindakan pada system pernafasan seperti melakukan intubasi atau nebulasi.
2.2.6. Penatalaksanaan
1). Terapi supportif umum :meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat,
pemberian multivitamin dan lain-lain.
Terapi oksigen
Humidifikasi dengan nebulizer
Fisioterapi dada
Pengaturan cairan
Pemberian kortokosteroid pada fase sepsis berat
Obat inotropik
Ventilasi mekanis
Drainase empiema
Bila terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori cukup
2.2.6. Komplikasi
1. Abses paru
2. Efusi pleural
3. Empisema
4. Gagal nafas
5. Perikarditis
6. Meningitis
7. Atelektasis
8. Hipotensi
9. Delirium
10. Asidosis metabolic
11. Dehidrasi
2. Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi dan obstruksi
jalan nafas.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, takipneu,
demam.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan berhubungan dengan faktor biologis.
4. Nyeri berhubungan dengan agen injury biologi (kerusakan organ)
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (RR >24x/menit) atau
hipoventilasi (RR <16x/menit).
3. intervensi
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :
efektif berhubungan a. Respiratory status : Airway suction
dengan inflamasi dan Ventilation a. Pastikan kebutuhan
obstruksi jalan nafas. b. Respiratory status : oral atau tracheal
Airway patency suctioning
b. Auskultasi suara nafas
Kriteria Hasil : sebelum dan sesudah
a. Mendemonstrasikan suctioning.
batuk efektif dan c. Informasikan pada
suara nafas yang klien dan keluarga
bersih, tidak ada tentang suctioning
sianosis dan dyspneu d. Minta klien nafas
b. Menunjukkan jalan dalam sebelum
nafas yang paten suction dilakukan.
c. Mampu e. Berikan O2 dengan
mengidentifikasikan menggunakan nasal
dan mencegah factor untuk memfasilitasi
yang dapat suksion nasotrakeal
menghambat jalan f. Gunakan alat yang
nafas steril setiap
melakukan tindakan
g. Anjurkan pasien untuk
istirahat dan napas
dalam setelah kateter
dikeluarkan dari
nasotrakeal
h. Monitor status
oksigen pasien
i. Ajarkan keluarga
bagaimana cara
melakukan suksion
j. Hentikan suksion dan
berikan oksigen
apabila pasien
menunjukkan
bradikardi,
peningkatan saturasi
O2, dan lain-lain.
Airway Management
a. Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin
lift atau jaw thrust bila
perlu
b. Posisikan pasien
untuk memaksimalkan
ventilasi
c. Identifikasi pasien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan
d. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu
e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara tambahan
f. Kolaborasi pemberian
bronkodilator bila
perlu
g. Atur intake untuk
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
h. Monitor respirasi dan
status O2
Energy Management
a. Observasi adanya
pembatasan klien
dalam melakukan
aktivitas
b. Dorong anal untuk
mengungkapkan
perasaan terhadap
keterbatasan
c. Kaji adanya factor
yang menyebabkan
kelelahan
d. Monitor nutrisi dan
sumber energi
e. Monitor pasien akan
adanya kelelahan
fisik dan emosi
secara berlebihan
f. Monitor respon
kardiovaskuler terh
adap aktivitas
g. Monitor pola tidur
dan lamanya
tidur/istirahat pasien
2. 3. Flu Burung
2.3.1. Pengertian
Flu Burung (Avian Influenza - AI) adalah penyakit unggas yang menular disebabkan
virus influenza tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae. Virus ini paling umum menjangkiti
unggas (misalnya ayam peliharaan, Kalkun, Itik, Puyuh, dan Angsa) juga berbagai jenis
burung liar. Beberapa virus flu burung juga diketahui bisa menyerang mamalia, termasuk
manusia (Darel W. 2008 : 17).
Flu burung adalah penyakit influenza pada unggas, baim burung, bebek, ayam,
sertabeberapa binatang seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini juga dapat pula
mengena pada burung puyuh dan burung onta. Penyakit pada binatang ini telah ditemukan
sejak 100 tahun lalu di Italia, tepatnya 1878. Pada tahun 1924-1925 wabah ini merebak di
Amerika Serikat. (Tjandra. 2005 : 2).
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam
nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis
protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan
karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada
reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis
spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase
(NA), yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto T, Kawaoka Y. 2001 :129-149).
Menurut (soejoedono,et al., 2005) avian influenza (flu burung) adalah penyakit menular
yang dapat terjadi pada unggas dan mamalia yang disebabkan oleh virus infl uenza tipe A.
Virus influenza tipe A memiliki beberapa subtipe yang ditandai adanya Hemagglutinin (H)
dan Neuramidase (N). Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1
yang memiliki waktu inkubasi selama 3–5 hari. Virus ini dapat menular melalui udara
ataupun kontak melalui makanan, minuman, dan sentuhan. Perilaku hidup bersih dan sehat
misalnya mencuci tangan dengan antiseptic, kebersihan tubuh dan pakaian, dan memakai alat
pelindung diri (APD) waktu kontak langsung dengan unggas dapat mencegah penularan virus
AI.
2.3.2. Etiologi
Penyebab flu burung adalah virus influenza dari famili Orthomyxoviridae yang termasuk
tipe A subtipe H 5, H 7, dan H 9. Virus H9N2 tidaklah menyebabkan penyakit berbahaya
pada burung, tidak seperti H5 dan H7. Virus flu burung atau avian influenza hanya ditemukan
pada binatang seperti burung, bebek dan ayam, namun sejak 1997 sudah mulai dilaporkan
“terbang” pula ke manusia. Subtipe virus yang terakhir ditemukan yang ada di negara kita
adalah jenis H5N1.
Gejala penyakit flu burung pada manusia adalah demam, anoreksia, pusing, gangguan
pernafasan (sesak), nyeri otot dan mungkin konjungtivitis yang terdapat pada penderita
dengan riwayat kontak dengan unggas yang terinfeksi semisal peternak atau pedagagang
unggas. Gejalanya tidak khas dan mirip gejala flu lainnya, tetapi secara cepat gejala menjadi
berat dan dapat menyebabkan kematian karena terjadi peradangan pada paru (pneumonia).
Gejala pada unggas yang terinfeksi diantaranya jengger dan pial kebiru-biruan, keluar
darah dari hidung, feses kehijau-hijauan dan banyak mengandung air, pada paha sering
terdapat bercak-bercak darah, kematian unggas serentak terjadi dalam hitungan hari selain
itu, pada burung liar akan menjadi karier.
2. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total.
Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka
flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah
pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk
kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah
diagnostik dini.
2.3.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.
Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas kesehatan non
rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :
a. Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak,
sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.
b. Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai
skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien
langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem
skoring, dimodifikasi dari hasil pertemuan workshop “Case Management” &
pengembangan laboratorium regional Avian Influenza, Bandung 20 – 23 April
2006.
3. Keperawatan
a. Perhatikan :
1) Keadaan umum.
2) Kesadaran.
3) Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
4) Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
b. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni
pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat :
1) Penghambat M2 : Amantadin (symadine), Rimantidin (flu madine). Dengan
dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari.
2) Penghambatan neuramidase (WHO) : Zanamivir (relenza), Oseltamivir (tami
flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.
4. Pengobatan
Pengobatan bagi penderita flu burung adalah:
a. Oksigenasi bila terdapat sesak napas.
b. Hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus).
c. Pemberian obat anti virus oseltamivir 75 mg dosis tunggal selama 7 hari.
d. Anti replikasi neuramidase (inhibitor): Tamiflu dan Zanamivir.
e. Amantadin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam waktu 48 jam
pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 2
dosis. Bila berat badan lebih dari 45 kg diberikan 100 mg 2 kali sehari.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Lemah, demam, radang tenggorokan, sesak nafas. (Nurarif, 2015, p. 1)
2) Kesadaran
Pada pasien H5N1 kesadaran penuh.
3) Tanda-tanda Vital
TD : Pada pasien flu burung terjadi peningkatan tekanan darah.
Nadi : Takikardi dan dispneu
RR : Melebihi normal
Suhu : Lebih dari 38˚C (Nurarif, 2015, p. 1)
4) Sistem Pernafasan
Inspeksi : Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan, Tonsil
tampak kemerahan dan edema, Biasanya terdapat secret atau
lendir pada daerah hidung, hidung tampak kemerahan,
adanya batuk
Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfe, Tidak adanya
pembesaran kelenjar tiroid.
Perkusi : Area paru sonor/ hipersonor/ dullness
Auskultasi : Suara nafas area vesikuler. (Wahid, 2013, p. 195)
5) Sistem persyarafan
Inspeksi : Pada penderita flu burung pasien tampak lemah, tidak bisa bangun
dan beriteraksi dengan baik serta pasien tidak mau disentuh karena sakit saat
disentuh. (Nurarif, 2015, p. 1)
6) Sistem pengindraan
a) Pemeriksaan mata
Inspeksi : kesimetrisan mata, ada tidaknya oedem pada kelopak
mata/palpebra,konjungtivitis dan sklera tidak ada perubahan warna.
b) Pemeriksaan telinga
Inspeksi : bentuk simetris,terdapat serumen, tidak terdapat benjolan, tidak
terdapat hiperpigmentasi.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan.
c) Pemeriksaan hidung
Inspeksi : amati bentuk tulang hidung dan posisi septum nasi (adakah
pembengkokan atau tidak,) terdapat secret atau tidak,
Palpasi :ada atau tidaknya terdapat nyeri tekan, dan masa
d) Pemeriksaan mulut
Inspeksi : amati bibir (kelainan konginetal : labioseisis, palatoseisis atau
labiopalatoseisis), warna lidah terdapat perdarahan atau tidak, ada abses
atau tidak. (Nurarif, 2015, p. 1)
7) Sistem kardiovaskular
a) Inspeksi : ada atau tidak adanya nyeri tekan
b) Auskultasi : ada atau tidaknya suara tambahan
c) Palpasi : pada dinding torak teraba lemah/ kuat/ tidak teraba
d) Perkusi : batas-batas jantung
e) Batas atas ( N = ICS II)
f) Batas bawah (N = ICS V)
g) Batas kiri (N = ICS Vmid clavikula sinistra)
h) Batas kanan (N = ICS IV mid sternalis dextra)
i) Terjadinya takikardi disebabkan karena takipneau.
8) Sistem pencernaan
a) Inspeksi : bentuk abdomen, massa/ benjolan, bayangan pembuluh darah
vena
b) Auskultasi : frekuensi peristaltic usus 20 x/menit
c) Palpasi : lakukan palpasi abdomen untuk menentukan lemah, keras atau
distensi, adanya nyeri tekan, dan adanya massa atau asites
d) Gangguan pada gaster yang menyebabkan mual dan muntah serta diare
pada penderita flu burung. (Wahid, 2013, p. 196)
9) Sistem endokrin
Tidak ada perubahan pada sistem endokrin pasien flu burung. (Pohan, 2014, p.
722)
10) Sistem perkemihan
Inspeksi : sebagian besar penderita flu burung mengalami gangguan ginjal
berupa peningkatan ureum dan kreatinin. (Wahid, 2013, p. 196)
11) Sistem muskuluskletal
Inspeksi dan Palpasi : Terjadi kelemahan otot karena kurangnya daya dahan
tubuh dan mengalami nyeri. (Nurarif, 2015, p. 1)
12) Sistem integumen
Inspeksi : Kulit menjadi kehitaman atau keabuan
Palpasi : turgor tidak kembali dalam 2 detik. (Nurarif, 2015, p. 1)
3. Rencana Keperawatan.
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental akibat influenza.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
diharapkan jalan napas kembali efektif.
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan bunyi nafas kembali normal.
2) Mengeluarkan atau membersihkan secret secara mandiri dengan batuk efektif.
No Intervensi Rasional
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen (obstruksi jalan napas
oleh sekresi)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan
pertukaran gas kembali normal.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan AGD dalam
rentang normal (PCO2 : 35-45 mmHG, PO2 : 80-100 mmHG) dan tak ada gejala
distres pernapasan.
2) Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.
No Intervensi Rasional
4. Implementasi.
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan
yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994,
dalam Potter & Perry, 1997). Beberapa pedoman dalam pelaksanaan implementasi sebagai
berikut :
a. Berdasarkan respon klien;
b. Berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, standar pelayanan
operasional, hukum dan kode etik keperawatan;
c. Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia;
d. Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan;
e. Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam perencanaan keperawatan;
f. Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu dalam upaya
meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (Self care);
g. Menekankan pada aspek pencegahan dan upaya peningkatan status kesehatan;
h. Dapat menjaga rasa aman, harga diri dan melindungi klien;
i. Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan;
j. Bersifat holistik;
k. Kerjasama dengan profesi lain;
l. Melakukan dokumentasi.
5. Evaluasi.
Menurut Craven Hirnle (2000). Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari
efektivitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah
ditetapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Adapun ukuran pencapaian tujuan
pada tahap evaluasi meliputi :
a. Masalah teratasi; jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan tujuan dan kreteria
hasil yang telah ditetapkan;
b. Masalah sebagian teratasi; jika klien menunjukkan perubahan dan kemajuan sama
sekali yang sesuai dengan tujuan dan kreteria hasil yang telah ditetapkan dan atau
bahkan timbul masalah ataau diagnosa keperawatan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. (2013). Waspada Flu Burung. Jakarta: Kanisius.
J.Kunoli, F. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis. Jakarta: KDT.
Nelwan, R. (2014). Influenza Dan Pencegahannya. jakarta: Interna Publishing.
Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
Nanda Nic-Noc. jogjakarta: MediAction.
Pohan, H. T. (2014). Influenza Burung (Avian Influenza). Jakarta: InternaPublishing.
Setiati, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. jakarta: internaPublishing.
Tamher. (2009). Flu Burung: Aspek Klinis dan Epidemiologis. jakarta: SalembaMedika.
Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta Timur:
Trans Info Media.
Wilkinson, J. M. (2015). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.