Anda di halaman 1dari 19
© cer DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO. BANDUNG Sari Kepustakaan Penyaji Pembimbing, Manfaat Topografi Kornea Pada Keratokonus Serisa Irilla , 5 dr. Karmelita Satari Sp.M (K) ae a ih topo . ‘Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Pembimbing Ab dr. Karmelita Satari Sp.M (K) Kamis, 30 Januari 2014 Pukul 14.00 WIB I. PENDAHULUAN Korea merupkan bagian mata yang memiliki kekuatan refiaktif yang tinggi, sekitar 2/3 dari total kekuatan dioptri mata. Kelainan pada bentuk dan permukaan kornea mata berpengaruh tethadap kemampuan__penglihatan, khususnya tajam penglihatan. Beberapa alat telah ditemukan untuk menilai bentuk, dan kelengkungan permukaan kornea yang berpengaruh terhadap kekuatan refraktif.'?* Korea merupakan suatu cermin cembung yang hampir transparan, schingga dapat merefleksikan cahaya, Berdasarkan prinsip tersebut dibuat sebuah alat untuk melihat permukaan kornea berdasarkan refleksinya. Keratoskopi kemudian dibuat untuk menilai permukaan kornea lebih Iuas lagi, dengan prinsip merefleksikan bayangan dari diskus placido. Keadaaan korea dapat dinilai dari gambaran lingkaran-lingkaran konsentrik yang. direfleksikan, Keratoskopi kemudian berkembang menjadi videokeratoskopi yang kemudian terkomputerisasi menjadi alat topografi kornea.'? Topografi kornea digunakan untuk tujuan yang berbeda-beda, salah satunya adalah menilai kelainan korea seperti keratokonus. Keratokonus merupakan penipisan korea yang bukan karena reaksi inflamasi. Penyakit ini mulai muncul pada usia pubertas dan dapat terus berkembang hingga usia 40-an. Gangguan penglihatan dari mulai ringan sampai berat dapat muncul sesuai dengan beratnya dari penonjolan, astigmat ireguler, dan keadaan miopia yang ditimbulkan. Diagnosis dan manajemen non-operatif seperti pemakaian lensa kontak menjadi tantangan tersendiri bagi para klinisi.**°° Makalah ini akan membahas mengenai Topografi korea secara umum dan bagaimana penggunaannya pada keratokonus. I ANATOMI KORNEA Korea normal memiliki permukaan yang halus, kornea dapat bertindak sebagai cermin cembung yang hampir transparan. Secara Klinis, komea dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1). Zona sentral (1-2 mm), zona parasentral (3-4 mm) dengan diameter 7-8 mm, zona perifer dengan diameter 11 mm, serta daerah limbus dengan diameter 12 mm, Zona sentral dan zona parasentral bergabung menjadi zona apikal, yang digunakan dalam wing tensa kontak karena berhubungan dengan kekuatan reftaktif kornea. Zona optikal adalah zona yang menutupi pupi ukurannya sekitar 5,4 mm. Apex kornea merupakan_titik maksimum kelengkungan, biasanya terletak di temporal dari pusat pupil.'” s ‘Gambar 2.1 Anatomi Kornea pada Topografi Diikutip dari: AAO” Bentuk, kelengkungan, dan kekuatan merupakan properti penting kornea yang bersifat topografis dan berperan terhadap fungsi optik, Bentuk dan kelengkungan kornea merupakan properti geometris, sedangkan kekutan kornea merupakan properti fungsional 7” ILL TOPOGRAFI KORNEA ‘Topografi korea, menilai 95% permukaan kornea. Mekanisme kerja topografi kornea hampir sama seperti keratoskopi. Cahaya berbentuk cincin konsentrik dari diskus placido (Gambar 3.1) direfleksikan ke permukaan kornea Kamera video kemudian merekam refleksi cahaya tersebut. Perangkat lunak pada Komputer kemudian akan menganalisa data tersebut dalam bentuk algoritma yang berbeda-beda. Komputer menganalisa jarak antar cincin di berbagai titik pada kornea. Semakin pendek jarak tersebut, semakin tinggi kekuatan kornea, kemudian hasil akhirnya dapat dipresentasikan melalui warna atau hitam putih.'” Gambar 3.1 Diskus Placido dan Videokeratoskopi Dikutip dari: AAO? Kegunaan Komputer Topografi Kornea antara lain untuk penilaian preoperatif dan postoperatif pada pasien bedah refraktif, menentukan adanya astigmatism ireguler, fitting lensa Kontak, mengevaluasi lapisan air mata, dan sebagai referensi untuk memasukan IOL."* Gambaran kornea normal berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rabinowitz dkk Tahun 1996, terdiri dari 10 bentuk. Bulat, oval, superior steepening, inferior steepening, irregular, symetric bowtie dengan aksis miring, asymetric bowtie dengan superior steepening, Asymetric bowtie dengan inferior steepening, Asymetric bowtie dengan aksis miring, dan Symetric bowtie” Gambar 3.2 Topografi Kornea Normal Berdasarkan Rabinowitz, dk (a)Bulat, (b) Oval, (c) Superior steepening, (d) Inferior steepening, (c) irregular, (f) Svmetric bowtie dengan aksis miring. (g) Asymetric owtie dengan superior steepening. (h) Asymetric bowtie dengan inferior steepening. (i) Asymetric bowtie dengan aksis miring. (j) Symetric bowtie Dikutip dari : Hashemi H. dkk® 3.1 Interpretasi Topografi Kornea Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menginterpretasi topografi kornea adalah penentuan jenis peta, Jenis peta yang sering digunakan adalah peta aksial, peta tangensial, peta elevasi atau ketinggian.” Peta aksial memiliki prinsip bahwa ukuran objek yang direfleksikan pada permukaan kornea sebanding dengan kelengkungan permukaan luar kornea, Peta aksial mengasumsikan bahwa setiap kelengkungan kornea memiliki pusat yang terletak pada aksis yang diukur pada alat tersebut (Gambar 3.3), Peta aksial dapat menggambarkan secara umum bentuk rata-rata korea, tetapi kurang dapat menggambarkan kelainan lokal pada pada kornea. Semakin lengkung (steep) akan diwarai oleh warna merah atau kuning (warna hangat, warm colors), semakin datar (flat) maka akan diwarnai oleh warna biru atau hijau (warna dingin, coo! colors). \78"° sipaksa eda di dalam aksis en oa | Ra: Radius Aksial (mm) Gambar 3.3 Peta Aksial Dikuip dari: Agarwal A,* Peta tangensial (Gambar 3.4) dapat menggambarkan perubahan lokal pada kelengkungan kornea lebih akurat. Peta ini dapat digunakan untuk menetukan lokasi dan dimensi dari kelengkungan kornea. Peta tangensial dapat digunakan untuk menentukan lokasi apeks kornea pada keratokonus. Pewamaan pada peta ini sama seperti peta aksial, semakin lengkung akan diwarnai oleh warna hangat, dan apabila semakin datar diwarnai oleh warna dingin Kerugian dari peta tangensial ini, sangat rentan terhadap kesalahan interpretasi akibat artefak schingga terjadi overinterpretasi.’”* Kehuatan Tangensial = 1000°(9-1RE Rt: Radius Tangensial (mm) Gambar 3.4 Peta Tangensi Dikutip dan: Agarwal A.* Peta elevasi atau peta ketinggian memi prinsip mengukur perbedaan ketinggian antara kelengkungan korea dengan lingkaran referensi yang paling sesuai Semakin datar biasanya kelengkungan akan berada diatas lingkaran teferensi berwarna hangat, sedangkan apabila semakin lengkung, maka kelengkungan akan berada dibawah lingkaran referensi berwarna dingin (Gambar 3.4), Lingkaran referensi ini disebut best-fi-sphere (BFS). Perlu diingat bahwa semakin kearah perifer maka deviasi dengan BFS akan semakin banyak.*?"” Langkah kedua adalah menentukan nilai cakupan skala yang digunakan disesuaikan dengan warna yang dihasilkan oleh komputer. Skala merupakan hal penting karena dapat menjadi acuan pada suatu peta. Skala dasar yang digunakan dalam topografi kornea ada dua macam, skala absolut dan skala relatif. Skala absolut adalah skala yang sudah terstandarisasi secara internasional. skala ini berguna untuk membandingkan langsung antar jenis peta yang berbeda. Skala absolut digunakan untuk menilai kornea secara umum. Nilai interval antar kontur pada skala absolut adalah 1.5 diopiri. Skala relatif dapat ditentukan sendiri nilai maksimum dan minimumnya. Komputer akan menyesuaikan warna sesuai dengan skala yang sudsh disesuaikan sebelumnya. Skala relatif dapat menilai kornea secara lebih detail Gambar 35 Peta Flevasi atau Ketinggian Dikutip dar: Bellin MW." Langkah ketiga adalah menentukan adanya artefak yang dapat mengganggu interpretasi, Penyebab artefak pada topografi korea adalah bayangan bulu mata yang bes: atau adanya trikiasis, ptosis atau membuka mata yang kurang lebar, iregularitas lapisan air mata, gambaran yang didapat tidak komplit atau terdistorsi. Mengambil beberapa gambar, penting dilakukan karena dapat menentukan keadaan permukaan kornea yang sebenarnya (Gambar 3.6).'” Gambar 3.6 Pengambilan Gambar Beberapa Peta Aksial Dikutip dari: Agarwal A.* IV. KERATOKONUS Keratokonus merupakan penipisan lapisan komea yang bersifat non- inflamasi schingga menyebabkan penonjolan kornea seperti kerucut atau konus Gangguan penglihatan dari mulai ringan sampai dengan berat dapat muncul sesuai dengan beratnya dari penonjolan, astigmat ireguler, dan keadaan miopia yang ditimbulkan **° Prevalensi kejadian keratokonds adalah 50-230 per 100.000 populasi umum atau dapat ditemukan pada 1 dari 2000 orang populasi. Penyakit ini muncul pada usia pubertas yang kemudian penipisan korea akan terus berkembang hingga usia 40-an yang kemudian penipisan tersebut akan terhenti. Keratokonus biasanya bilateral dan asimetris,**!"? Gejala klinis pada stadium awal keratokonus seringkali tidak dirasakan, Seiring dengan berkembangnya penyakit gejala awal yang dirasakan gangguan Penglihatan seperti pandangan ganda, glare, tampak adanya halo saat melihat lampu pada malam hari, keluhan penglihatan saat berkendara pada malam hari Gejala awal lainnnya adalah distorsi refleks retinoskopi, perubahan yang signifikan pada nilai sferis, silinder dan aksis, serta iregular astgmatisme Keratokonus stadium lanjut memiliki beberapa gambaran yaitu, Munson’s sign, Fleischer's iron ring, dan serabut saraf pada kornea yang terlihat lebih jelas dibanding dengan pasien normal. Voges striae, pembentukan jaringan parut pada apeks kornea, ketidak segaragaman red reflex dengan opthalmoscope, robeknya membras descemet, serta penurunan tekanan intra okular dapat terlihat pada stadium yang semakin lanjut.**"? 4.1 Klasifikasi Keratokonus Keratokonus dikelompokan menjadi beberapa stadium, awal (early), pertengahan (moderate), dan lanjut (advance), Stadium awal ditandai oleh pembacaan keratometri kurang dari 50 joptri (6.8mm). Hal ini hanya dapat dideteksi pada daerah yang sempit di kornea bagian sentral. Keratokonus stadium pertengahan dikategorikan dengan pembacaan nila K rata-rata antara 55-58 dioptri (6,8-5,8mm). Nilai K rata rata melebihi 58 dioptri maka dikategorikan sebagai 43.314 Keratokonus stadium lanjut Pengelompokan Keratokonus lainnya berdasarkan bentuk konusnya. Tiga macam tipe Konus yaitu, konus nipple, Konus oval, dan konus globus (Gambar 4.1). Konus nipple biasanya kecil dengan kelengkungan sentralnya runcing kurang dari Smm. Konus nipple biasanya terletak sedikit ke inferior dari kornea sentral sekitar 1-1,5mm dari aksis visual. Konus oval merupakan tipe yang paling sering terjadi, Pusat optik biasanya berpindah ke bagian inferior, dengan diameter konus 5-7mm. Konus oval melibatkan daerah kornea lebih besar dibandingkan konus mipple. Tipe terakhir adalah konus globus, melibatkan 80-90% daerah korea. Konus globus jarang dijumpai, sekitar 2% dari total _pasien Keratokonus,“*" Gambar 4.1 Tipe Konus A. Konus Nipple B. Konus Oval C Konus Globus Dikutip dari: Caroline PS Data statistik memaparkan bahwa letak konus yang paling sering ditemukan adalah di bagian inferior dan sedikit ke arah temporal,sekitar 71%, 11% terletak superior. dan 18% terletak di sentral 10 4.2 Topografi Kornea dan Keratokonus 4.2.1. Diagnosis Keratokonus dapat dikelompokan berdasarkan bentuk dan_posisinya Pengelompokan ini memudahkan dalam proses iting kontak bagi penderita keratokonus. Keratokonus pada peta elevasi, gambaran topografinya berbentuk seperti pulau (island pattern). Puncak konus kornea akan tergambarkan sebagai suatu lingkaran yang berada diatas BFS (Gambar 4.2).*"° [Eecwon Fara 85-7 70Fee ——d Gambar 4.2 Island Pattern Dikutip dari: Bellin MW.” Beberapa kriteria topografi untuk mendiagnosis keratokonus, berdasarkan Rabinowitz dan McDonnell 1989 pembacaan kelengkungan sentral > 47 D, nilai LS atau perbedaan antara titik superior dan inferior (3 mm dari sentral kornea, zona parasentral) adalah 3 D, asimetri antara sentral keratometri kedua mata >1 D. Kemudian Rabinowitz memodifikasi kriteria di atas menjadi Rabinowitz indeks. memperkirakan adanya keratokonus sentral K >47.2 D dan nilai -S >1.4 D. Mendiagnosis adanya keratokonus berdasarkan kriteria, sentral K >48.2 D dan nilai IS > 16D.” a Bentuk-bentuk konus pada keratokonus dapat ditentukan melalui topografi korea. Gambaran konus nipple biasanya tidak jauh berbeda dengan kornea normal, pada tipe ini hanya didapatkan kekuatan dan kelengkungan yang tinggi pada daerah sentral. Gambaran konus oval memperlihatkan adanya puncak kornea yang berpindah kearah inferior dan sedikit ke temporal. Gambaran tipe ini dapat jelas terlihat. Gambaran konus globus pada topografi kornea melibatkan sebagian besar kornea sehingga gambaran korea normal hampir tidak terlihat. °° Gambar 4.3 Bentuk Konus (Peta Aksial A Konus Nipple, B.Konus Oval, C.Konus Globus Dikutip dari: Agarwal A." 4.2.2 Fitting Lensa Kontak Manajemen yang dapat diberikan pada pasien keratokonus dapat bersifat non-operatif seperti pemberian lensa kontak, maupun bersifat operatif seperti pemberian ring INTACS dan corneal collagen cross-linking. Manajemen non- operatif seperti pemberian lensa kontak menjadi pilihan utama. Jenis lensa kontak yang dapat dipakai bagi pasien keratokonus antara lain, lensa RGP, lensa kontak lunak, lensa piggyback, lensa hybrid, dan lensa sklera**'*"* Lensa kontak RGP secara umum menjadi standar bagi fiting untuk pasien ke atokonus dan iregular astigmatisme. Topografi kornea memiliki program yang dapat memudahkan firting lensa kontak RGP dengan memberikan simulasi bentuk © fluoresen yang dihasilkan. Lensa kontak RGP percobaan dengan ukuran yang sudah disesuaikan dengan topografi kornea, kemudian dicobakan secara langsung terhadap pasien. Meskipun demikian, tidak semua hasil dari komputer dapat sesuai dengan pasien, hal ini dikarenakan oleh faktor tekanan kelopak mata maupun faktor bahwa pada pasien keratokonus seringkali kelengkungan kornea dinilai lebih datar, schingga biasanya pasien lebih sesuai dengan base curve (BC) yang lebih steep "7" ‘Tujuan utama firing lensa kontak pada keratokonus adalah menyediakan ketajaman penglihatan terbaik, dengan keseuaian lensa kontak yang dapat meminimalisir interfensi lensa terhadap fisiologi kornea dan menggangeu epitel komea, Seseorang yang melakukan fitting harus melakukan Optimalisasi kenyamanan dengan meletakan lensa yang bertumpu pada bagian korea parasentral yang lebih kuat dan tidak bertumpu pada bagian komea yang megalami penipisan. Menumpukan sedikit bagian lensa pada puncak kornea tetapi tidak menimbulkan gangguan pada kornea tersebut. Memaksimalkan pertukaran air mata disekitar konus, Optimalisasi pergerakan lensa tidak terlalu berlebihan dan tidak terlalu kurang. Meletakan lensa tepat didepan pupil, pada keratokonus merupakan hal yang sulit dilakukan karena bagian puncak kornea berpindah lebih ke perifer schingga bagian perifer harus diperhatikan, Hal ini memungkinkan untuk pemilihan jenis lensa yang akan dipakai, '"''” Tahapan yang harus diperhatikan dalam melakukan firing lensa kontak pada keratokonus secara umum ada lima. Tahap pertama, menentukan BC Dengan keratometri pilih BC steeper 0.2 mm dari nilai K rata-rata. Pada topografi BC awal ditentukan dari nilai K lingkaran ketiga terluar (3mm) pada bagian temporal. Tahap kedua, melihat kesesuaian bagian perifer sangat penting dilakukan. Kesesuaian yang dapat diterima apabila terdapat lingkaran fluoresen (0.6-0.8 mm) pada bagian tepi lensa kontak (edge lift). Prinsip keseuaian pada bagian perifer adalah semakin luas titik tumpu lensa pada bagian parasentral yang dapat dicapai, tetapi tetap memperhatikan edge lift Melihat edge lift sebaiknya dibagian horizontal. Tahap ketiga diameter lense kontak tidak boleh terlalu lebar G dan tidak boleh terlalu sempit. Idealnya posisi lensa kontak pada bagian superior dirutupi oleh kelopak mata dan berada pada bagian sentral. Diameter yang terlalu lebar akan menyulitkan posisi fit lensa Kontak, Diameter yang terlalu kecil akan menyebabkan gangguan pada penglihatannya. Pasien akan merasa silau, tampak adanya halo, dan pandangan tidak jelas. Diameter yang lebih besar harus disesuaikan dengan pengurangan BC, sebaliknya pengurangan diameter harus diimbangi dengan penambahan BC. 0.3-0.4 mm penambahan atau pengurangan diameter harus dikurangi atau difambahkan 0.1 mm BC. Tahap keempat, pergerakan lensa yang diperbolehkan adalh 1-2 mm pada saat mata mengedip ‘Tahap kelima, Menentukan kekuatan lensa dengan melakukan overkoreksi. Pada pasien keratokonus penambahan atau pengurangan 0.25 D tidak berpengaruh, gunakanlah 1.00 D pada saat koreksi dan 0.50 D pada proses refinement. Tujuan uutama pada pasien keratokonus bukan tajam penglihatan 1.0, tetapi mendapatkan 4317 tajam penglihatan terbaik yang dapat dicapai Fitting \ensa kontak RGP memiliki tiga prinsip yang biasa dipakai, antara lain apical clearance, apical bearing, dan three-point touch. Tipe three-point touch pada fitting pasien keratokonus lebih banyak dipakai (Gambar 4.4). Three- ‘point touch memiliki prinsip berat lensa kontak bertumpu pada apikal kornea, dan bagian midperifer terutama pada jam tiga dan jam sembilan. Prinsip ini juga harus menggambarkan adanya peripheral clearance yang cukup yaitu pada tepi lensa Prinsip fiting ini sangat sesuai untuk tipe keratokonus dengan konus yang kecil seperti konus mipple.*°"* ‘Teknik apical clearance (Gambar 4.5) memiliki prinsip membiarkan bagian sentral korea tidak tersentuh oleh lensa, tumpuan lensa berada pada bagian midperifer, sehingga dapat meminimalisasi trauma pada puncak kornea, Kerugian tipe fitting ini adalah lensa Kontak yang digunakan cenderung berdiameter sempit dan memiliki zona optik yang sempit, sehingga dapat menimbulkan efek silau pada pengguna *°!*'* 4 Teknik apical bearing membiarkan lensa Kontak bertumpu pada konus, posisi lensa cenderung berada di bagian superior dibelakang kelopak mata atas (Gambar 4.6). Teknik ini memberikan hasil penglihatan yang jelas, karena sentuhan puncak kornea terhadap lensa. Kerugian teknik ini dapat menyebabkan abrasi pada kornea, karena sentuhan antara lensa dan puncak kornea Teknik ini dapat berguna bagi tipe keratokonus dengan puncak kornea yang berpindah displaced), Teknik ini dapat digunakan pada tipe konus oval, karena puncak konus biasanya berpindah ke bagian inferior temporal Gambar Peta Aksial 4.4 Three point touch Konus Nipple atau Stadium Awal Dikutip dari: Caroline P.° Gambar 4.5 Peta Aksial Apical Clearance (Konus Oval) Dikutip dari: Caroline P.° as Gambar 4.6 Peta Aksial Apical Bearing (KonusGlobus) Dikutip dari: Caroline P.° s V. _KESIMPULAN ‘Topografi korea memiliki kelebihan dalam meni permukaaan korea, yaitu dapat menilai 95% permukaan kornea. Topografi ini sering dipakai untuk mengetahui adanya penipisan yang abnormal pada kornea. Keratokonus merupakan penyakit penipisan lapisan kornea yang bersifat non-inflamasi Penyakit ini pada stadium awal sering tidak terdereksi dan menjadi penycbab komplikasi paska bedah refraktif| Diagnosis awal penyakit dapat dilakukan melalui topografi korea Pemakaian lensa kontak merupakan penanganan keratokonus yang masih menjad an pada saat ini. Fitting lensa kontak pada permukaan kornea yang ireguler menjadi kesulitan tersendiri. Topografi korea dapat membantu: menenetukan lebih akurat lensa Kontak yang pertama kali disesuaikan pada pasien. Namun, tidak semua hasil dari komputer dapat sesuai dengan pasien, hal ini dikarenakan oleh faktor tekanan kelopak mata maupun faktor bahwa pada pasien keratokonus seringkali kelengkungan kornea dinilai lebih datar, sehingga biasanya pasien lebih sesuai dengan base curve (BC) yang lebih steep. - 16 ® a 10. DAFTAR PUSTAKA American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course Clinical Optics. Section 3. San Francisco’ American Academy of Ophthalmology; 2011-2012. hlm.265-268 American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course External Disease and Cornea, Section 8. Singapore. American Academy of ‘Ophthalmology; 2011-2012. him 36-45 Levy S. Comeal Topography, Basic Principle and Application to Refractive Surgery. Association of Optometry. 2000, 33-41. Diunduh dari www.optometry co.uk, pada tanggal 29 Desember 2013 Ilahi W. Keratoconus: Diagnosis, contact lens fitting and management Association Optometry Ireland. 2006, 5:27 -32 Kumar N. Contact Lens Option for Keratoconus. Academy for Eyecare Exellence CET. 2011; 45-49 Caroline P, Andre M, Kinoshita E. Etiology, Diagnosis, and-Management of Keratoconus: New Tought and New Understanding{document on the internet} College of Optometry,2012 [diperbarui tanggal 2 Januari 2012, diunduh 26 Desember2013].Tersedia dari www.pacificu.edu.cfm Mannis MJ, Zadnik K, Ghanem CC, Jose K. Contact Lense in Opthalmic Practice. Comeal Topography And Contact Lens. New York. Springer Inc. 2004. Him 37-S5 Agarwal A, Agarwal a, Jacob S. Dr Agarwal’s Textbook on Corneal Topography Including Pentacam And Anterior Segment OCT. Edisi ke-2. India. Jaypee Highlight Medical Publisher Inc; 2010. him 4-22 Hashemi H, Beiranvand A, Khabazkhoob M. Comeal Topography Pattern in Tehran Eye Study: Warning About the High Prevalence of Patter with ‘Skewed Radial Axis. Middle East Afr J Ophthalmol.2014;21(1): 72-76 Bellin MW, Khacikhian SS. An Introduction to Understanding Elevation- Based Topography How Elevation Data Are Displayed. Clinical and Experimental Opthalmology 2009,37:14-29 © u 12 15. 16. 17. 18, Holladay JT. Keratoconus Detection Using Corneal Topography. Journal of Refractive Surgery.2009,25:5958-62 Ertan A, Kamburoglu G, Colin J. Location of Steepest Comeal Area of Cone in Keratoconus Stratified by Age Using Pentacam. Journal of Refractive Surgery. 2009;25:1012-16 Rose P, A Systemic Approach to Fitting Keratoconus Lenses. Contact Lense 37. Diunduh dari www.clsa info, pada tanggal Society of America.2005; 30 Desember 2012 Maeda N, Klyce SD, Smolek MK. Automateted Keratoconus Screening With Corneal Topography Analysis. Investigate Ophtalmology & Visual Science. 1994;35(6): 2749-2756 Vervaet C, Kamar $. Pancoreal Contact Lens with a Toriced edge: a new concept in keratokonus, Eur J Opthalmol,201 1;21(6):685-690 Szezota LB. Computerised corneal topography applications in RGP contact lens fitting. Association of Optometry.2002;33-41.Diunduh dari www optometry.co.uk, pada tanggal 10 Januari 2014 = Jain K A. Rose-K Contact Lens for Keratoconus. Indian J Ophthalmol 2007;55:121-5 Pimentel EY, ef all. Rigid Gas Permeable Contact Lens and Corneal Topography. Ophthal.Physiol Opt.2001:21:236-242

Anda mungkin juga menyukai