Anda di halaman 1dari 46

RESPONSI

RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:
Hasna Okta Asyrofi 170070201011040
M. Wafi Elian 170070201011068
Modi Tiara 170070201111179

Pembimbing:
dr. B. P. Putra Suryana, SpPD-KR

LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018
DAFTAR ISI

JUDUL RESPONSI .............................................................................................. 1


DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2
BAB1 PENDAHULUAN........................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5
2.1 Definisi Reumatoid Artritis ..................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 6
2.3 Etiologi .................................................................................................. 6
2.4 Patogenesis Reumatoid Artritis ............................................................. 7
2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................. 8
2.6 Diagnosis ............................................................................................ 11
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................ 14
2.7.1 Terapi Farmakologis ............................................................... 15
2.7.2 Pembedahan .......................................................................... 18
2.7.3 Edukasi .................................................................................. 19
2.8 Komplikasi .......................................................................................... 19
2.9 Prognosis............................................................................................ 20
BAB 3 LAPORAN KASUS ................................................................................. 21
3.1 Identitas Pasien .................................................................................. 21
3.2 Anamnesis .......................................................................................... 21
3.2 Pemeriksaan Fisik .............................................................................. 23
3.3 Pemeriksaan Penunjang (02-11-2018) ............................................... 28
3.4 POMR ................................................................................................. 31
BAB 4 PEMBAHASAN………………………………………………………………...30

BAB 5 KESIMPULAN ........................................................................................ 44


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 45

2
BAB1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit inflamasi sendi kronik yang

bersifat autoimun dengan etiologi yang masih belum diketahui. Penyakit ini sering

mengakibatkan kerusakan sendi yang kronis dan kecacatan, sehingga

membutuhkan pengobatan dan kontrol jangka panjang. Perjalanan penyakit AR

ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif (IRA, 2014). Penyakit

peradangan ini dapat menyerang semua etnis, tetapi pada wanita 2,5 kali lebih

beresiko untuk terjadinya AR dibanding pria. Puncak onset dari penyakit ini

terjadi pada dekade ke 4 dan ke 5 dari umur pasien (Scott et al., 2010).

Menurut Arthritis Fondation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 50 juta

orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa artritis.

Dari data tersebut sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami AR.

Prevalensi AR di Indonesia menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nainggolan (2010), jumlah penderita AR di Indonesia tahun 2009 adalah 23,6%

sampai 31,3%. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa

Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang pada penduduk

berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya

dan 0,6% di daerah Kabupaten (IRA, 2014). Penelitian sebelumnya

menyebutkan prevalensi AR di Indonesia berkisar antara 0,2-0,5% (Sung et al.,

2013).

Diagnosis dari AR ditegakkan berdasarkan keluhan dan gejala dari

inflamasi kronis arthritis, serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan radiografi sebagai informasi tambahan yang

berperan penting dalam penegakan diagnosa. Pada 2010, kolaborasi dari The

3
American College of Rheumatology (ACR) dan The European League Againts

Rheumatism (EULAR) merevisi kriteria klasifikasi ACR 1987 pada AR sebagai

upaya untuk meningkatkan keberhasilan diagnosis dini.

Komplikasi yang paling sering dijumpai pada RA adalah komplikasi

artikular yaitu kecacatan sendi baik struktural maupun fungsional. Pada vertebra

cervicalis dapat terjadi genosinovitis pada ligamentum transversum C1 (yang

berfungsi untuk stabilisasi odontoid C2), yang selanjutnya dapat mengakibatkan

instabilitas C1-C2 bahkan dapat terjadi myelopati cervical akibat erosi prosesus

odontoid, kelemahan ligamen atau ruptur ligamen. Selain itu, bisa juga terjadi

komplikasi ekstra artikular seperti fibrosis paru dan sindroma Felty yang

jumlahnya sangat sedikit. Kakeksia rheumatoid adalah kehilangan massa otot

dan kekuatan dan seiring bertambahnya massa lemak, sangat umum pada

pasien dengan rheumatoid arthritis (RA). Meskipun kemajuan besar dalam

pengobatan RA, kakeksia arthritis tetap ada bahkan setelah peradangan

membaik. Kakeksia arthritis dapat menjadi faktor risiko penting pada penyakit

kardiovaskular dan mortalitas di RA (Roubenoff, 2009).

Penulisan responsi dengan tema rheumatoid arthritis ini disusun untuk

memahami faktor risiko, patofisiologi, tatalaksana serta pencegahan terkait

penyakit rheumatoid artritis. Dengan demikian, dapat bermanfaat bagi tenaga

kesehatan dan masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kesehatan.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Reumatoid Artritis

Reumatoid Artritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik sistemik yang

ditandai dengan sinovitis pada banyak persendian. Penyebab dari RA masih

belum diketahui. Apabila tidak ditangani, RA dapat menyebabkan kerusakan

pada sendi dan disabilitas serta menurunkan kualitas hidup. Temuan patologis

pada persendian di antara adalah sinovitis kronik dengan erosi pada tulang

rawan, tulang, tendon, dan ligamen. Pada fase awal RA, efusi dan manifestasi

inflamasi seringkali dapat ditemukan (Stephen et al., 2011).

Karena merupakan penyakit sistemik, maka sering pula dijumpai

manifestasi ekstraartikular seperti kelelahan, nodul subkutaneus, perikarditis,

neuropati perifer, vaskulitis, dan kelainan hematologi. Penyakit ini dapat

menyerang semua etnis, tetapi pada wanita 2,5 kali lebih berisiko untuk

terjadinya RA dibanding pria. Puncak onset dari penyakit ini terjadi pada dekade

ke 4 dan ke 5 dari umur pasien. Penyakit ini sering bermanifestasi pada nyeri

persisten pada sendi disertai kaku sendi, penghancuran sendi secara progressif,

gangguan fungsional dan bahkan kematian dini. Rheumatoid arthritis aktif yang

tidak terkontrol menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan, penurunan kualitas

hidup, dan jantung dan penyakit penyerta lainnya. Agen terapi utama adalah

DMARDs yang mengurangi sinovitis dan inflamasi sistemik dan meningkatkan

fungsi. Methotrexate adalah DMARD terkemuka yang dapat dikombinasikan

dengan obat lain dari jenis ini. Agen biologi yang digunakan ketika arthritis tidak

terkontrol atau efek beracun muncul dengan DMARD (Scott et al., 2010).

5
2.2 Epidemiologi

Di seluruh dunia, insiden tahunan RA kurang lebih adalah 3 kasus tiap

10.000 populasi, dan memiliki prevalensi sekitar 1% yang meningkat dengan

semakin bertambahnya usia. Puncak prevalensi RA adalah pada usia antara 35

dan 50 tahun. RA dapat mengenai semua populasi, tetapi biasanya prevalensi

lebih tinggi pada beberapa populasi tertentu. Wanita lebih rentan terkena RA 3

kali dibandingkan dengan pria. Namun, efek perbedaan jenis kelamin menurun

seiring bertambahnya usia.Orang dengan riwayat keluarga dengan RA memiliki

risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk terkena RA. Namun, dikarenakan

prevalensi RA di seluruh dunia relatif konstan, maka diduga faktor non genetik

juga berperan penting pada RA (Ahimen et al., 2010).

2.3 Etiologi

Etiologi dari Artritis Reumatoid (RA) tidak diketahui secara pasti. Terdapat

interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik

berperan penting terhadap kejadian RA, dengan angka kepekaan dan ekspresi

penyakit sebesar 60%. Pada kembar monozigot mempunyai angka kesesuaian

untuk berkembangnya RA lebih dari 30% dan pada orang kulit putih dengan RA

yang mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian

sebesar 80% (Suarjana , 2014).

Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit.

Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah

reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.

Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai

penyebab penyakit, terdapat bukti yang tidak langsung bahwa Epstein-Barr dan

parvivirus dapat menyebabkan sinovium rheumatoid (Suarjana, 2014; Gallagher

PJ, 1999). Banyak agen infeksi telah diusulkan sebagai kemungkinan penyebab

6
RA, termasuk organisme Mycoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), dan virus

rubella untuk beberapa dekade. Telah ada bukti yang menunjukkan hubungan

antara RA dan bakteri periodontopatik. Sebagai contoh, cairan sinovial pasien

RA telah ditemukan mengandung kadar tinggi antibodi bakteri anaerob mulut

umum pada infeksi periodontal, termasuk Porphyromonas gingivalis (Routsias et

al., 2011).

2.4 Patogenesis Reumatoid Artritis

Reumatoid Atritis (RA) dikarakteristikan dengan inflamasi kronik pada

synovial lining dari sendi diathrodial. Semakin lama, terjadi juga kerusakan

progresif dari struktur komponen sendi. Proses inflamasi ini menargetkan tulang

rawan sendi, tulang pada persendian seperti tulang periartikular dan subchondral

(Goldring SR, 2004). Patogenesis RA belum sepenuhnya diketahui. CD-4 sel T,

fagosit mononuklear, fibroblas, osteoklas, neutrofil berperan penting dalam

patofisiologi RA, sedangkan limfosit B menghasilkan autoantibodi, seperti factor

rheumatoid (Smith H, 2016).

Berbagai faktor seperti autoimun dan infeksi akan memicu proliferasi sel-

sel radang, seperti makrofag dan fibroblas pada jaringan sinovium. Limfosit

menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang

selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat

mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi

pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi

sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan

sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor

pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan

komplikasi sistemik (Suarjana, 2014).

7
Gambar 2.1 Patogenesis Reumatoid Atritis (Suarjana, 2014)

2.5 Manifestasi Klinis

Pada umumnya onset dari RA terjadi secara perlahan, yaitu tejadi artritis

simetris dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan dari perjalanan

penyakit. Namun kurang lebih 15% penderita mengalami gejala awal yang lebih

cepat, yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10 – 15%

penderita mempuyai onset yang fulminant berupa berupa artritis poliartikular,

sehingga diagnosis RA lebih mudah ditegakkan. Artritis sering kali diikuti oleh

kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih.

Beberapa penderita mengalami gejala kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan

demam ringan (Suarjana, 2014).

Pasien umumnya mengeluh nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun

ada sepertiga penderita yang mengalami gejala awal pada satu atau beberapa

8
sendi saja. Tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba

hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare),

akan tetapi kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA

yang kronik. Pembengkakan sendi timbul akibat penimbunan cairan sinovium,

hipertrofi sinovium, dan penebalan kapsul sendi. Pada umumnya sendi yang

terkena adalah persendian tangan, kaki dan vertebra servikal, tetapi persendian

besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada

umumnya simetris, meskipun pada presentasi awal bisa tidak simetris (Suarjana,

2014).

Gambar 2.2 Sendi yang terlibat pada Reumatoid Atritis

Manifestasi ekstraartikular pada RA pada umumnya didapatkan pada

penderita yang mempunyai faktor reumatoid (RF) serum tinggi. Nodul rheumatoid

merupakan manifestasi kulit yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak

memerlukan intervensi khusus. Nodul rheumatoid umumnya ditemukan di daerah

ulna, olecranon, jari tangan, tendon achiles atau bursa olecranon. Beberapa

manifestasi ekstraartikular seperti vaskulitiis dan Felty syndrome jarang dijumpai,

tetapi sering memerlukan terapi spesifik (Suarjana, 2014).

9
Gambar 2.3 Manifestasi Ekstraartikular Reumatoid Atritis

Gambar 2.4 Manifestasi Ekstraartikular Reumatoid Atritis

10
Manifestasi klinis yang lain dari RA adalah terjadinya deformitas.

Deformitas disebabkan oleh kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon

dan ligamentum). Bentuk-bentuk deformitas dapat dilihat pada gambar 2.5

(Suarjana, 2014).

Gambar 2.5 Bentuk deformitas pada Reumatoid Atritis

2.6 Diagnosis

Saat ini diagnosis RA di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis

menurut American College of Rheumatology/European League Against

Rheumatism 2010. Diagnosis RA ditegakkan apabila pasien memiliki skor 6 atau

lebih. Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai

RA, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi

seiring berjalannya waktu (IRA, 2014; Suarjana, 2014).

11
Gambar 2.6 Kriteria Diagnosis Reumatoid Atriris di Indonesia

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru, disamping itu

pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas RA dengan riwayat penyakit

yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai RA. Pasien dengan

penyakit yang lama termasuk penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan

yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis RA, tetap diklasifikasikan

sebagai RA (IRA, 2014; Suarjana, 2014).

Keterlibatan sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada

pemeriksaan yang dapat dibuktikan dengan adanya sinovitis secara pencitraan.

Sendi DIP, CMC I dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan

distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang

terkena, dengan penempatan ke dalam kategori yang tertinggi yang dapat

dimungkinkan. Sendi besar adalah bahu, siku, lutu, pangkal paha dan

pergelangan kaki. Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari dan

pergelangan tangan (IRA, 2014; Suarjana, 2014).

12
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan

batas atas ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari

batas atas normal tapi sama atau kurang dari 3 kali niali tersebut; positif tinggi

adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui

positif atau negative, maka positif harus dianggap positif rendah. Lamannya sakit

adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri,

bengkak atau nyeri pada perabaan) (IRA, 2014; Suarjana, 2014).

Gambar 2.4 Algoritma Diagnosis Reumatoid Atritis (IRA, 2014).

Pada artritis reumatoid, tidak ada pemeriksaan diagnostik tunggal yang

definitif untuk mengkonfirmasi diagnosis RA. The American College of

Rheumatology Subcomittee on Rheumatoid Arthritis (ACRSRA)

13
merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi seperti

darah perifer lengkap (CBC), faktor rheumatoid (RF), laju endap darah atau C-

reactive Protein (CRP). Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga

direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil

pemeriksaan RF dan anti-CCP negatif, bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan

anti-RA33 untuk membedakan penderita RA yang mempunyai resiko tinggi

mengalam prognosis buruk (Suarjana, 2014).

Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang bisa digunakan untuk menilai

penderita RA antara lain foto polos dan MRI. Pada awal perjalanan penyakit

mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih

banyak ditemukan kelaianan. Hilangnya tulang rawan artikular dan erosi tulang

mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70%

penderita RA akan mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit,

dimana hal ini menandakan penyakit berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa

tampak pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi MCP,

MTP, dan pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat dalam membantu

menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila

diperlukan terapi pembedahan. Sedangkan pemeriksaan MRI mampu

mendeteksi adanya erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan

radiografi konvensional dan mampu menampilkan struktur sendi secara rinci,

tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi (Suarjana, 2014).

2.7 Penatalaksanaan

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan cara pencegahan

danpengobatan RA yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita RA

ditujukan untuk :

14
1) Mengurangi nyeri

2) Mempertahankan status fungsional

3) Mengurangi inflamasi

4) Mengendalikan keterlibatan sistemik

5) Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular

6) Mengendalikan progresivitas penyakit

7) Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

2.7.1 Terapi Farmakologis

Farmakoterapi untuk penderita RA pada umumnya meliputi obat anti-

inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis

rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan

seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan lidokain topikal (Suarjana, 2014).

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) digunakan untuk mengurangi

nyeri dan pembengkakan pada sendi. Obat-obat golongan OAINS tidak

mengubah perjalanan penyakit, sehingga tidak boleh digunakan secara tunggal

(PAPDI, 2014). Hal ini disebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat

yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat RA

(Bensen WG, 1989). Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih

diperlukan obat-obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.

Kortikosteroid

Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang dapat menjadi bagian dari

pengobatan RA sambil menunggu efek terapi dari DMARD. Kortikosteroid

diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin

yang dapat mencapai efek klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan

kortikosteroid setara prednison < 7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan

7,5 – 30 mg sehari. Selama penggunakan kortikosteroid harus diperhatikan efek

15
samping seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi, osteoporiosis, katarak

dan kemungkinan terjadinya dini (IRA, 2014).

ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi

glukokorlikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D

400-800 IU per hari. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid

dihentikan, terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga

kebanyakan spesialis reumatologi menghentikan steroid secara perlahan dalam

satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound effect (Suarjana, 2014).

Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD)

Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) memiliki potensi

untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi

dan pada akhirnya mengurangi meningkatkan produktivitas pasien. Semua

DMARD bersifat relatif aksi lambat yang memberikan efek setelah 1-6 bulan

pengobatan kecuali agen biologik yang efeknya lebih awal. Setiap DMARD

memiliki toksisitas yang berbeda, sehingga memerlukan persiapan dan

pemantauan. Pemberian DMARD dapat diberikan tunggal atau kombinasi. Pada

pasien-pasien yang tidak tespon atau respon minimal dengan pengobatan

DMARD dengan dosis dan waktu yang optimal, diberikan pengobatan DMARD

tambahan atau diganti dengan DMARD jenis yang lain (IRA, 2014)

Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua penderita RA.

Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan, beratnya

penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang

paling umum digunakan adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat,

sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau

hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal,

tetapi pada kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin

digunakan sebagai terapi lini pertama (Suarjana, 2014).

16
Tabel 2.7 DMARD sintetik yang Digunakan Dalam Terapi Reumatoid Artritis

(IRA, 2014)

DMARDS Mekanisme Dosis Efektifitas Efek samping Persiapan - Pemantauan


Metotreksat Menurunkan 7..5 – 25 +++ Fibrosis hati, Awal : foto thorax, DPL,
kemotaksis PMN mg / pnemonia TFG, TFH. Selanjutnya
dan mempengaruhi minggu interstitial DPL dan TFH tiap bulan
sintesis DNA dan supresi
sumsum
tulang
Sulfasalasin Menghambat 2x500 ++ Supresi Awal pengobatan : G6PD.
angiogenesis dan mg/hari sumsum DPL tiap 4 minggu selama
migrasi PMN ditingkat- tulang 3 bulan selanjutnya tiap 3
kan sampai bulan, TFH 1 bulan
3x1000mg selanjutnya tiap 3 bulan
Klorokuin Menghambat 6.5 mg/kg + Jarang, Pemeriksaan mata pada
basa lisosom dan bb/ hari kerusakan awal pengobatan, lalu setiap
pelepasan IL-1 (150 mg) makula. 3-6 bulan
Leflunomide Menghambat enzim 20 mg/hari +++ Diare, alopecia, DPL, TFG, TFH
dihidroorotat rash,
dehidrogenase sakit kepala,
sehingga secara teoritis
pembelahan sel berisiko
limfosit T auto infeksi karena
reaktif menjadi imunosupresi.
terhambat
Siklosporin Memblok sintesis 2.5-5mg +++ Gagal ginjal Awal : kliren kreatinin;
IL-1 dan IL-2 /kgbb DPL, TFG, TFH tiap 2
minggu, 3 minggu dan
selanjutnya tiap 4 minggu.

Tabel 2.8 DMARD Biologik yang Digunakan Dalam Terapi Reumatoid Artritis

(IRA, 2014)

Obat Mekanisme Dosis Waktu Efek samping Monitoring


Timbulnya
Respon
Etanercept Anti TNF-α 25 mg sc 2-12 minggu Infeksi, TB, TB, jamur, infeksi lain; TT,
2x/minggu atau demielinisasi saraf DPL, TFH saat awal
50 mg sc/minggu lalu tiap 2-3 bulan
Infliximab Anti TNF-α 3 mg/kg iv pada 2-12 minggu Infeksi, TB, TB, demielinisasi saraf
minggu 0,2, & 4, demielinisasi saraf TB, jamur, infeksi lain;
kemudian tiap 8 TT, DPL, TFH saat awal
Minggu lalu tiap 2-3 bulan
Golimumab Anti TNF-α 50 mg im tiap 4 2-12 minggu Infeksi, TB, TB, jamur, infeksi lain;
minggu demielinisasi saraf TT, DPL, TFH saat awal
lalu tiap 2-3 bulan
Rituximab Anti CD20 1000 mg iv pada 12 minggu Reaksi infus, TB, jamur, infeksi lain;
hari 0, 15 aritmia, HT, TT, DPL, TFH saat awal
infeksi, reaktivasi lalu tiap 2-3 bulan
hepatitis B
Tocilizumab Anti Il-6R 8 mg/kg iv tiap 4 2 minggu Infeksi, TB, HT, B, jamur, infeksi lain; TT,
gangguan fungsi DPL, TFH, profil
hati lipid saat awal lalu tiap
2-3 bulan

17
Gambar 2.5 Tatacara Pemberian DMARD (IRA, 2014)

2.7.2 Pembedahan

Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien RA yang tetap

mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang

18
mengalami keterbatasan gerak (memburuknya fungsi sendi akibat kerusakan

sendi/deformitas. Pasien yang mengalami nyeri terus menerus yang tidak dapat

dikendalikan dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis bedah

(IRA, 2014).

2.7.3 Edukasi

Penjelasan perlu dilakukan kepada pasien tentang penyakiynya, apa itu

AR, bagaimana perjalanan penyakitnya, kondisi pasien saat ini dan bila perlu

penjelasan tentang prognosis penyakitnya. Selain itu pasien harus diberitahu

mengenai program pengobatan, risiko dan keuntungan pemberian obat dan

modalitas pengobatan yang lain. Hingga saat ini belum ditemukan diet spesifik

yang mencetuskan atau memperberat RA. Pasien RA dianjurkan untuk

mempertahankan berat badan ideal, karena obesitas akan memberi stres

tterhadap persendian, mengeksaserbasi inflamasi dan berperan pada risiko

terjadinya osteoartritis (IRA, 2014).

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering dijumpai pada RA adalah komplikasi

artikular yaitu kecacatan sendi baik struktural maupun fungsional. Selain itu, bisa

juga terjadi komplikasi ekstra artikular seperti fibrosis paru dan sindroma Felty

yang jumlahnya sangat sedikit. Kakeksia rheumatoid adalah kehilangan massa

otot dan kekuatan dan seiring bertambahnya massa lemak, sangat umum pada

pasien dengan rheumatoid arthritis (RA). Meskipun kemajuan besar dalam

pengobatan RA, kakeksia arthritis tetap ada bahkan setelah peradangan

membaik. kakeksia arthritis dapat menjadi faktor risiko penting pada penyakit

kardiovaskular dan mortalitas di RA (Roubenoff, 2009).

19
2.9 Prognosis

Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2014), terdapat beberapa

faktor yang menandakan prognosis buruk pada RA, yaitu:

1) Disabilitas fungsional (tidak bisa melakukan aktivitas hidup sehari-

hari)

2) Adanya erosi sendi pada pemeriksaan radiologis

3) Melibatkan banyak sendi (misalnya >20)

4) Terdapat nodul reumatoid dan manifestasi esktraartikular lainnya

5) Penanda inflamasi (CRP atau LED) yang tinggi saat permulaan

penyakit atau terus menerus tinggi setelah pengobatan DMARD

dengan dosis dan waktu yang optimal

6) Faktor reumatoid positif dengan titer tinggi atau ACPA positif

7) HLA DR4 positif dan shared epitope positif

8) Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah

Sebanyak 30% penderita RA dengan manifestasi penyakit berat tidak

berhasil memenuhi kriteria ACR 2010 walaupun sudah mendapat berbagai

macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan

respon yang baik dengan terapi. Pasien dengan RA hidup tiga sampai 12 tahun

kurang dari populasi umum. Peningkatan mortalitas pada pasien ini terutama

disebabkan oleh penyakit jantung dipercepat, terutama pada mereka dengan

aktivitas penyakit yang tinggi dan peradangan kronis (Wasserman, 2011).

20
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. Nanik Tri Oktyaningsih

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir :10 Agustus 1970

Umur : 47 tahun

Alamat : jl. Puring 5 Tulungrejo Pare Kediri Malang

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Pendidikan : SMA

Status : menikah

Etnis/Suku : Jawa

Agama : Islam

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri Sendi

Pasien datang untuk kontrol pada tanggal 2 November 2018 ke poli

rematologi RSSA dengan keluhan nyeri pada sendi siku kanan dan kiri serta

lutut. Keluhan tersebut memberat sejak 1 bulan yang lalu. Nyeri diikuti kaku pada

sendi siku dan lutut terutama di pagi hari setelah pasien bangun tidur sekitar 1

jam. Nyeri tersebut diikuti bengkak pada lutut kanan dan kiri serta siku serta

dikuti gambaran kemerahan pada sendi. Nyeri sempat membuat pasien

mengalami keterbatasan aktivitas, tetapi karena pasien rutin mengonsumsi

metotreksat, keluhan pasien sempat berkurang tetapi pada akhirnya pasien

memutuskan untuk kontrol ke poli RSSA pada tanggal 2 November 2018.

21
Sebelumnya, pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada tahun

1999. Pasien mengeluh nyeri sendi di jari-jari tangan, mulai dari sebelah kanan

kemudian ke sebelah kiri. Keluhan nyeri dirasakan disertai dengan bengkak,

kemerahan, terasa panas serta kaku di pagi hari >30 menit. Setelah 2 tahun,

yaitu pada tahun 2001, pasien pergi ke dokter Sp.PD di Kediri, kemudian di

diagnosis Rheumatoid Arthritis oleh dokter tersebut.

Kemudian pasien mengonsumi Metotreksat mulai tahun 2001 sampai

dengan tahun 2003. Pada tahun 2003, pasien pergi ke luar Jawa mengikuti

suami untuk bekerja, kemudiann pasien tidak rutin kontrol ke dokter dan tidak

rutin mengonsumsi obat-obatan hingga tahun 2007.

Pada tahun 2007, pasien mulai merasa tangannya mulai lebih kaku dari

sebelumnya, dan muncul jari-jari yang bengkok dan memendek. Awalnya mulai

dari jari yang sebelah kanan terlebih dahulu. Keluhan kaku di pagi hari juga

muncul kembali. Selain di jari-jari kanan dan kiri, muncul keluhan juga di bagian

sendi lutut sebelah kiri, lutut dikeluhkan bengkak, nyeri, merah, panas serta kaku.

Kemudian sendi jari-jari tangan kiri juga dirasakan kaku dan memendek seperti

jari sebelah kanan, dan kemudian bagian punggung juga terasa kaku-kaku

seperti sendi-sendi yang lain.

Kemudian pasien memutuskan untuk berobat kembali ke poli rematologi

RSSA dan kemudian mengonsumsi metotreksat (MTX) kembali ditambah dengan

Kuinolon.

Setelah itu, pasien rutin konsumsi obat-obatan dan melakukan ke poli

rematologi RSSA setiap hari Senin, Jumat atau Rabu.

 Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat Hipertensi disangkal. .

- Riwayat Diabetes Melitus disangkal pasien.

22
 Riwayat keluarga :

- Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit seperti

pasien.

 Riwayat imunisasi :

- Pasien lupa akan status imunisasinya.

 Riwayat pribadi :

- Riwayat alergi : disangkal

 Olahraga : pasien jarang sekali berolahraga

 Kebiasaan makan : 3 x sehari dengan gizi cukup

 Merokok : pasien tidak merokok

 Minum alkohol :-

 Hubungan seks : belum pernah

3.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan  GCS 456


Umum
 Nafas spontan

 Kesan gizi cukup

 Wajah tidak dismorfik, tidak anemis, tidak ikterik, tidak


sianosis, dan tidak edema

 Kulit berwarna sawo matang, tidak pucat, tidak biru, tidak


ikterus

 Pakaian dan higienitas cukup baik

Tanda-tanda Tekanan darah : 120/80mmHg


Vital Denyut jantung : 84 kali/menit, reguler, kuat angkat
Laju napas : 20 kali/menit, reguler, spontan
0
Suhu aksila : 36,2 C
Kepala Ukuran : normosefal
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut
Wajah : simetris, deformitas (-), rash(-), sianosis (-)
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-/-), mata cowong (-/-), air mata (normal),
pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+)

23
fotosensitivitas (-)
Telinga : bentuk dan ukuran normal, posisi normal,
sekret (-)
Hidung : bentuk simetris, deviasi (-), sekret (-), perdarahan (-),
hiperemi (-), pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : mukosa bibir kering (-), mukosa sianosis (-), faring
hiperemi (-), pembesaran tonsil (-)
Leher Inspeksi : simetris, pembesaran kelenjar leher (-), massa (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar limfe leher (-|-), trakea di tengah,
kaku kuduk (-)
Toraks Inspeksi: bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-), deformitas
(-), jaringan parut (-),
Jantung:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
Auskultasi : bunyi jantung S1, S2 tunggal regular, murmur (-),
gallop (-)
Paru:
Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding
dada, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : pergerakan dinding dada saat bernafas
simetris, stem fremitus normal.
Auskultasi :
Suara Napas Ronki Wheezing
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Vesikular Vesikular - - - -
Vesikular Vesikular - - - -
Vesikular Vesikular - - - -

Abdomen Inspeksi : flat, scar(-), massa (-)


Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
Perkusi : meteorismus (-), shifting dullness (-),
undulasi (-), Traube’s space timpani
Palpasi : abdomen soefl, nyeri tekan (-), massa (-)
Hepar : tidak teraba, liver span 8 cm
Lien : tidak teraba
Ekstremitas Akral hangat, edema tungkai -/-, Capillary Refill Time <2 detik

Status Lokalis
1. Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III,
IV dekstra:
a. Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur(+),nodul
rematoid(+) pada digiti II,III,IV PIP Dekstra
b. Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
c. ROM : terbatas
d. MCP Squeeze Test +

24
e. Precision pinch test: (+)

2. Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III,


IV sinistra :
a. Inspeksi : eritema (-), edema (+) pada digiti II,III,IV,
kontraktur(+) pada digiti IV, nodul rematoid(-)
b. Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (-)
c. ROM : terbatas
d. MCP Squeeze Test +
e. Precision pinch test (+)

3. Sendi Proksimal Interphalangeal pedis Dekstra


a. Inspeksi : eritema (-), edema (-), kontraktur(-),nodul
rematoid(-)
b. Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
c. ROM : terbatas
d. MCP Squeeze Test +

25
4. Sendi Proksimal Interphalangeal pedis Sinistra
a. Inspeksi : eritema (+), edema (-) pada digiti I,II,III,
kontraktur(-),nodul rematoid(+) pada digiti II,III
b. Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
c. ROM : terbatas
d. MCP Squeeze Test +

5. Sendi Genu (Knee Joint) Dekstra dan Sinistra :


a. Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur(+),nodul
rematoid(-)
b. Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+) , tidak terdapat
krepitasi pada pergerakan lutut kanan ataupun kiri.
Bulging sign (-) pada sendi lutut kanan dan kiri, Patellar
tap test (-) sendi lutut kanan dan kiri.
c. ROM : terbatas
d. MCP Squeeze Test +

26
Pada sendi-sendi lain tidak didapatkan kemerahan, bengkak,
krepitasi, nyeri tekan, ataupun edema dan efusi sendi.

ACR/EULAR Score: 7

Status Lokalis

27
3.3 Pemeriksaan Penunjang (02-11-2018)

Hasil Pemeriksaan Satuan Angka Normal

Hb 10,30 gr/dl 11,4 – 15,1

Eritrosit 4,86 106/mm3 4.0 – 5.0

Leukosit 9,04 103/mm3 4.700 – 11.300

Hematokrit 34,50 % 38 – 40

Trombosit 429 103/mm3 142.000 – 424.000

MCV 71,00 fL 80 – 93

MCH 21,20 pg 27 – 31

MCHC 29,90 gr/dl 32 – 36

Eosinofil 0,3% % 0–4

Basofil 0,1% % 0–1

Neutrofil 84,1% % 51 – 67

Limfosit 11,6% % 25 – 33

Monosit 3,9% % 2–5

LED 78 mm/jam 2-30

INFLAMASI

CRP Kuantitatif 3,00 mg/dL <0,3

AUTOIMUNE

ANA Test 0,50 Ratio <1

28
BMD bone mineral density ( 03 april 2017)

Femoral neck : 0,477 g/cm2 (normal: 0,65-0,91) ; T-score -2,89

Total L1-L4 : 0,58 g/cm2 (normal: 0,79 – 1,03 ) ; T-score -3,00

Kesimpulan

1.osteoporosis

2. resiko hip fraktur tinggi (>3%).

3.BMD pada tulang belakang turun 9,3% dan pada tulang femoral neck turun 5,5%

dibandingkan dengan hasil Scan BMD pada tanggal 16- november 2015.

Resiko patah tulang dalam 10 tahun adalah :

Major osteoporotic fracture 15%

Hip fracture 11%

Saran :

1. indikasi untuk terapi osteoporosis.

2. Asupan kalsium yang cukup minimal 1000 mg/hari

3. Pemeriksaan BMD ulang setelah 1 tahun (tanggal 05 april 2019) untuk evaluasi

terapi.

29
BMD bone mineral density ( 05 april 2018)

Femoral neck : 0,504 g/cm2 (normal: 0,65-0,91) ; T-score -2,68

Total L1-L4 : 0,76 g/cm2 (normal: 0,79 – 1,03 ) ; T-score -1,56

Kesimpulan

1.osteoporosis

2. BMD pada tulang belakang meningkat 31% dan pada tulang panggul meningkat 5,6%

dibandingkan dengan hasil Scan BMD pada tanggal 03- febuari 2017.

3.resiko patah tulang panggul tinggi (>3%).

Resiko patah tulang dalam 10 tahun adalah :

Major osteoporotic fracture 7,0%

Hip fracture 4,6%

Saran :

4. indikasi untuk terapi osteoporosis lanjutan.

5. Pemeriksaan BMD ulang setelah 1 tahun (tanggal 05 april 2019) untuk evaluasi

terapi.

30
3.4 POMR

Initial Planning
Cue and Clue Problem List Planning Treatment
Diagnosis Monitoring
Anamnesis : 1. Poli arthritis 1.1 Rheumatoid  Bedrest -Subjektif/Keluhan
Pasien mengeluh nyeri sendi arthritis mengenai nyeri
 Kompres dingin lutut
pada jari-jari tangan, kaki, dan lutut sendi
kanan
sejak 3 bulan lalu. Disertai kaku -Bengkak
dan bengkak pada saat bangun  Diet TKP 2100 kcal/hari - Keluhan kaku
tidur pagi sekitar 1 jam. Riwayat di
 Sulfalazine 2 x 50 mg
diagnosis dengan rheumatoid
arthritis pada tahun 2001 dan  Metotreksat 15

mengonsumsi MTX dan klorokuin. mg/minggu

 Metylprednisolon 4 – 0 – 0
Pemeriksaan fisik :
-Nyeri (+), edema (+) di beberapa  Klorokuin 1 x 250 mg
persendian tangan, kaki, dan lutut.  Risendronat 1 x 35
-Swan neck deformity pada sendi
mg/minggu
PIP dekstra
-Nodul rheumatoid (+) pada digiti  Kalk 2 x 50 mg
IV Dekstra.
 Asam Folat 1 x 1
ACR/EULAR Score: 7

31
 Vitamin C 1 x 1
Pemeriksaan Penunjang :
- LED : 78 mm/jam
- CRP : 3,00 mg/dL

32
BAB 4

PEMBAHASAN

Laporan Kasus Teori Tinjauan Pustaka

Anamnesis Anamnesis

 Riwayat Penyakit Sekarang Menurut Teori, Rheumatoid Arthritis

Pasien merupakan seorang wanita berusia :

48 tahun dengan keluhan nyeri sendi pada Penyakit ini dapat menyerang semua etnis,

pasien pertama kali dirasakan pada tahun 1999 tetapi pada wanita 2,5 kali lebih berisiko

(19 tahun yang lalu). Pasien mengeluh nyeri untuk terjadinya RA dibanding pria. Puncak

sendi di jari-jari tangan, mulai dari sebelah onset dari penyakit ini terjadi pada dekade

kanan kemudian ke sebelah kiri. Keluhan nyeri ke 4 dan ke 5 dari umur pasien. Penyakit ini

dirasakan disertai dengan bengkak, sering bermanifestasi pada nyeri persisten

kemerahan, terasa panas serta kaku di pagi pada sendi disertai kaku sendi.

hari >30 menit. Keluhan tersebut menetap Pada umumnya onset dari RA terjadi secara

selama 1-bulan. perlahan, yaitu tejadi artritis simetris dalam

Pada tahun 2007, pasien mulai merasa beberapa minggu hingga beberapa bulan dari

tangannya mulai lebih kaku dari sebelumnya, perjalanan penyakit. Namun kurang lebih 15%

dan muncul jari-jari yang bengkok dan penderita mengalami gejala awal yang lebih

memendek. Awalnya mulai dari jari yang cepat, yaitu antara beberapa hari sampai

sebelah kanan terlebih dahulu. Keluhan kaku di beberapa minggu. Sebanyak 10 – 15%

pagi hari juga muncul kembali. Selain di jari-jari penderita mempuyai onset yang fulminant

kanan dan kiri, muncul keluhan juga di bagian berupa berupa artritis poliartikular. Artritis

sendi lutut sebelah kiri, lutut dikeluhkan sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada

bengkak, nyeri, merah, panas serta kaku. pagi hari yang berlangsung selama satu

Kemudian sendi jari-jari tangan kiri juga jam atau lebih. (Suarjana, 2014).

dirasakan kaku dan memendek seperti jari Tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak,

33
sebelah kanan, dan kemudian bagian kemerahan dan teraba hangat) mungkin

punggung juga terasa kaku-kaku seperti sendi- ditemukan pada awal penyakit atau selama

sendi yang lain. kekambuhan (flare), akan tetapi kemerahan

 Riwayat Penyakit Dahulu dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai

Pasien tidak ada riwayat penyakit pada RA yang kronik.

sebelumnya yang serupa. Riwayat Hipertensi

dan Diabetes Melitus disangkal. Pasien tidak

pernah mengalami operasi.

 Riwayat Pengobatan

Pasien setelah didiagnosa Rheumatoid

arthtritis pada tahun 2001, mengonsumsi

Metotreksat selama 2 tahun hingga tahun 2003.

Akan tetapi, pasien sempat berhenti meminum Kriteria Diagnostik Rheumatoid Arhtritis

obat selama 4 tahun sampai dengan tahun :

2007 karena tidak rutin kontrol.

Pada tahun 2007 hingga sekarang,

pasien mengonsumsi obat-obatan:

 Metotreksat 15 mg

 Kloroquin 1 x 250 mg

 Sulfalazine 2 x 50 mg Total AR ACR/EULAR: 7

 Methylprednisolone 8 mg

 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang pernah

mengalami penyakit serupa dengan pasien.

 Riwayat Sosial

Pasien sempat berhenti minum obat

34
selama 4 tahun karena mengikuti suami ke luar

Jawa karena tidak rutin kontrol di luar Jawa.

Manifestasi ekstraartikular dari

Rheumatoid Arthritis

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Fisik

Pada kontrol 2 November 2018 : Tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak,


- KU : Tampak sakit ringan kemerahan dan teraba hangat) mungkin
- GCS : 456 Compos Mentis ditemukan pada awal penyakit atau selama
- Tanda-Tanda Vital : kekambuhan (flare), akan tetapi kemerahan
 TD : 110/70 mmHg dan perabaan hangat mungkin tidak
 Nadi : 82x/menit dijumpai pada RA yang kronik.
 RR : 18x/menit Pembengkakan sendi timbul akibat
 Tax : 36.5o C penimbunan cairan sinovium, hipertrofi

 SpO2 : 98% RA sinovium, dan penebalan kapsul sendi. Pada


umumnya sendi yang terkena adalah

- Ekstremitas : persendian tangan, kaki dan vertebra servikal,

 Right Hand : swan neck appearance tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut

pada sendi-sendi jari tangan, juga bisa terkena. Sendi yang terlibat pada

Bouchard’s nodes (+), Herbeden’s node umumnya simetris, meskipun pada presentasi

(+). awal bisa tidak simetris (Suarjana, 2014).

 Left Hand : swan neck appearance pada Pada rheumatoid arthritis, di dapatkan

sendi-sendi jari tangan, Bouchard’s tanda-tanda deformitas yang disebabkan oleh

nodes (+), Herbeden’s node (+). kerusakan struktur artikular dan periartikular

 Left Leg : di dapatkan edema, swelling, (tendon dan ligamentum). Bentuk-bentuk

35
redness, tenderness pada daerah sendi deformitas dapat dilihat sebagai berikut:
lutut sebelah kiri (lebih besar daripada (Suarjana, 2014).
kanan)
 Right Leg : di dapatkan edema,
.
swelling, redness, tenderness pada
daerah sendi lutut sebelah kanan. .
Swan Neck Deformity pada sendi jari- .
jari pasien :
.

.
.
.
.
7
.
.
.

.
Swan Lake Deformity pada pasien RA
.
:
.

Gambaran bengkak pada lutut pasien :

Gambaran bengkak pada lutut pasien RA :

36
Gambaran boutinierre deformity pada

Gambaran hallux vagus pada pasien : pasien RA

Gambaran deviasi ulna pada pasien

RA

Gambaran hallux vagus pada pasien

RA

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang

a. Darah Lengkap Pada artritis reumatoid, tidak ada

- Hb : 10,30 mg/dL pemeriksaan diagnostik tunggal yang definitif


- Hematokrit : 34,50%
untuk mengkonfirmasi diagnosis RA. The
- MCV/MCH : 71,00 fl/21,20 pg
American College of Rheumatology
- LED : 78,00 mm/jam

37
b. Inflamasi : Subcomittee on Rheumatoid Arthritis

- CRP Kuantitatif : 3,00 mg/dL (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan

c. Bone Mineral Density laboratorium dasar untuk evaluasi seperti

- Kesimpulan : darah perifer lengkap (CBC), faktor rheumatoid

1. Osteoporosis (RF), laju endap darah atau C-reactive Protein

2. BMD pada tulang belakang meningkat (CRP).

31% dan pada tulang panggul meningkat Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga

5,6% dibandingan sebelumnya. direkomendasikan karena akan membantu

3. Resiko patah tulang panggul tinggi. dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan

RF dan anti-CCP negatif, bisa dilanjutkan

dengan pemeriksaan anti-RA33 untuk

membedakan penderita RA yang mempunyai

resiko tinggi mengalam prognosis buruk

(Suarjana, 2014).

Pemeriksaan pencitraan (imaging) yang

bisa digunakan untuk menilai penderita RA

antara lain foto polos dan MRI. Pada awal

perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan

pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi

pada pemeriksaan foto polos, tetapi dengan

berlanjutnya penyakit mungkin akan lebih

banyak ditemukan kelaianan. Hilangnya tulang

rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul

setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit.

Kurang lebih 70% penderita RA akan

mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama

38
penyakit, dimana hal ini menandakan penyakit

berjalan secara progresif. Erosi tulang bisa

tampak pada semua sendi, tetapi paling sering

ditemukan pada sendi MCP, MTP, dan

pergelangan tangan. Foto polos bermanfaat

dalam membantu menentukan prognosis,

menilai kerusakan sendi secara longitudinal,

dan bila diperlukan terapi pembedahan.

Sedangkan pemeriksaan MRI mampu

mendeteksi adanya erosi lebih awal bila

dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi

konvensional dan mampu menampilkan

struktur sendi secara rinci, tetapi

membutuhkan biaya yang lebih tinggi

(Suarjana, 2014).

Diagnosis Diagnosis

a. Dasar Diagnosis Dasar diagnosis melalui, Klasifikasi AR

ACR/EULAR 2010

Skor = 7 Jika >6 maka memenuhi kriteria

diagnosis rheumatoid arthritis.

39
b. Menurut DAS 28, maka : Menurut DAS 28 untuk menghitung activity

score seseorang, maka :

Menurut DAS28, maka perhitungannya

mendapatkan 3.41. Maka kesimpulannya

adalah :

Rheumatoid Arthrtitis Moderate

Activity

and Osteoporosis

Terapi Terapi

Pasien ini mendapatkan terapi untuk Farmakoterapi untuk penderita RA pada

Rheumatoid Arthritis, sebagai berikut: umumnya meliputi obat anti-inflamasi non

- Sulfalazine 2 x 50 mg steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri,

- Metotreksat 15 mg/minggu glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular

40
- Metylprednisolon 4 – 0 – 0 dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin

- Klorokuin 1 x 250 mg digunakan seperti acetaminophen, opiat,

- Risendronat 1 x 35 mg/minggu diproqualone dan lidokain topikal (Suarjana,

- Kalk 2 x 50 mg 2014).

- Asam Folat 1 x 1 Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang

- Vitamin C 1 x 1 dapat menjadi bagian dari pengobatan RA

sambil menunggu efek terapi dari DMARD.

Kortikosteroid diberikan dalam jangka waktu

sesingkat mungkin dan dosis serendah

mungkin yang dapat mencapai efek klinis.

DMARD yang paling umum digunakan

adalah MTX, hidroksiklorokuin atau

klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide,

infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau

hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering

digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada

kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi

terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini

pertama (Suarjana, 2014).

Prognosis Prognosis

Prognosis pasien rheumatoid arthritis Menurut Perhimpunan Reumatologi

yang mengonsumsi pengobatan dengan teratur Indonesia (2014), terdapat beberapa faktor

pada umumnya baik karena pasien masih bisa yang menandakan prognosis buruk pada AR,

melaksanakan aktivitas sehari-hari serta yaitu:

peningkatan CRP dan LED pasien tidak terlalu 9) Disabilitas fungsional (tidak bisa

tinggi. melakukan aktivitas hidup sehari-hari)

41
10) Adanya erosi sendi pada

pemeriksaan radiologis

11) Melibatkan banyak sendi

(misalnya >20)

12) Terdapat nodul reumatoid dan

manifestasi esktraartikular lainnya

13) Penanda inflamasi (CRP atau

LED) yang tinggi saat permulaan penyakit

atau terus menerus tinggi setelah

pengobatan DMARD dengan dosis dan

waktu yang optimal

14) Faktor reumatoid positif dengan

titer tinggi atau ACPA positif

15) HLA DR4 positif dan shared

epitope positif

16) Tingkat pendidikan dan sosial

ekonomi yang rendah

Sebanyak 30% penderita RA dengan

manifestasi penyakit berat tidak berhasil

memenuhi kriteria ACR 2010 walaupun sudah

mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan

penderita dengan penyakit lebih ringan

memberikan respon yang baik dengan terapi.

Pasien dengan RA hidup tiga sampai 12 tahun

kurang dari populasi umum. Peningkatan

mortalitas pada pasien ini terutama disebabkan

42
oleh penyakit jantung dipercepat, terutama

pada mereka dengan aktivitas penyakit yang

tinggi dan peradangan kronis (Wasserman,

2011).

43
BAB 5

KESIMPULAN

Reumatoid Artritis (RA) adalah penyakit inflamasi kronik sistemik yang

ditandai dengan sinovitis pada banyak persendian. Penyebab dari RA masih

belum diketahui. Apabila tidak ditangani, RA dapat menyebabkan kerusakan

pada sendi dan disabilitas serta menurunkan kualitas hidup (Stephen et al.,

2011). Etiologi dari Reumatoid Artritis (RA) tidak diketahui secara pasti. Terdapat

interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana , 2014).

Saat ini diagnosis RA di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis

menurut American College of Rheumatology/European League Against

Rheumatism 2010. Diagnosis AR ditegakkan apabila pasien memiliki skor 6 atau

lebih (IRA, 2014; Suarjana, 2014). Farmakoterapi untuk penderita RA pada

umumnya meliputi obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan

nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD (Suarjana,

2014).

44
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Clinical Guidelines

:Guidelines for the Management of Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum

1996; 19 (5) : 713-22.

Bensen WG, Bensen W. Therapy of Rheumatoid Arthritis : A Clinician’s

Perspective. Triangle 28 1989 ; (1/2) : 35-42.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis

Reumatoid Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Jakarta.

2014

Roubenoff R. Rheumatoid cachexia: a complication of rheumatoid arthritis moves

into the 21st century. Arthritis Research & Therapy 2009, 11:108

(doi:10.1186/ar2658).

Routsias JG, Goules JD, Goules A, Charalampakis G, Pikazis D. Autopathogenic

correlation of periodontitis and rheumatoid arthritis. Rheumatology

(Oxford). Jul 2011;50(7):1189-93.

Sayre, Carolyn. 2011. Young Adults Living With RA (tersedia online

https://www.webmd.com/rheumatoid-arthritis/features/young-adults-with-

rheumatoid-arthritis#1)

Scott DL, Wolfe F and Huizinga TW. Rheumatoid arthritis. Lancet 2010; 376:

1094–1108

Smith, Howard R. Rheumatoid Arthritis [Internet]. c2016 [updated July 19 2016;

cited 03 March 2017 ]. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/331715-overview

Suarjana, I Nyoman. Artritis Reumatoid. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,

Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Indonesia;

2014: 3130-3150.

45
Wasserman AM. Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis. American

Gallagher PJ. Osteoartikular dan jaringan ikat. In: Underwood JCE.

PatologiUmumdanSistematik Volume 2.Ed. 2.Jakarta : EGC; 1999: 832-

38.

46

Anda mungkin juga menyukai