Anda di halaman 1dari 10

A.

PELAPUKAN BATUAN DAN MINERAL


Proses pembentukan tanah dimana pun dimulai dari proses pelapukan
(weathering. pelapukan memecah batuan dan mineral, memodifikasi atau menghancurkan
sifat fisik dan kimianya, dan hancuran yang halus dan terlarut dibawa ke hilir atau tetap
in situ. Pelapukan juga mensintesis mineral baru yang kelak akan menjadi tanah. Sifat
dan jenis batuan dan mineral yang melapuk menentukan Iaju dan hasil dari penghancuran
dan sintesis tersebut {Brady dan Weil, 2008).
a. jenis Batuan
Secara umum, dalam klasfikasi tanah didedakan dua jenis tanah yang bahan
induknya sangat berbeda, yaitu tanah mineral yang berasal dari hasil pelapukan
batuan dan tanah organik yang berasal dari bahan organik. Batuan adalah kumpulan
satu atau Iebih mineral yang tersementasi atau berkristal bersama. Berdasarkan
proses pembentukan, batuan terdiri atas tiga jenis batuan yaitu batuan beku, batuan
sedimen/endapan dan human metamorfik.
1. Batuan Beku

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk akibat pembekuan magma


karena adanya penurunan suhu magma. Berdasarkan letak terjadinya
pembekuan magma, dikenal dengan batuan beku dalam (atau plutonik),
batuan beku gang (atau batuan beku korok), batuan beku eruptif dan tufa.

Batuan beku dalam adalah batuan hasil pembekuan magma yang terjadi
didalam dapur magma. Penurunan suhu di dekat dapur magma terjadi
perlahan, maka proses kristalisasi mineral berjalan dengan sempurna. Oleh
karna itu, ukuran mineral pada batuan ini besar yang dapat dengan mudah
dilihat oleh mata telanjang, yang dikatakan bahwa batuan ini bertekstur kasar.
Contoh batuan plutonik adalah granit dan gabro.

Batuan beku gang adalah batuan hasil pembekuan magma yang terjadi di
dalam gang atau saluran lubang keluarnya magma. Proses pendinginan
berjalan lebih cepat bila dibandingkan di dapur magma, sehingga ukuran
mineral yang terbentuk lebih halus bila dibanding ukuran mineral pada batuan
beku dalam, namun mineralnya masih dapat dikenali dengan mata telanjang.
Contoh batuan beku gang adalah granit, porfirit, dan gabro porfirit. Secara
umum, batuan beku dalam dan batuan beku gang disebut juga batuan intrusif.
Batuan beku eruptif adalah haulan hasil pembekuan lava yang terjadi di
permukaan bumi. Proses pendinginan berjalan cepat, sehingga pembekuan
lava berjalan cepat. Mineral yang terbentuk berukuran halus, dan agak susah
dikenali dengan mata telanjang. Contoh batuaan beku eruptif adalah riolit,
andesit, dan basal.

Tufa adalah batuan hasil pembekuan lava yang terjadi di udara, yaitu pada
saat lava disemburkan ke udara saat gunung meletus. Proses pendinginan
berjalan sangat cepat, sehingga bahan tidak sempat berkristal atau disebut
amorf. Contoh tufa adalah tufa liparit, tufa dasit, tufa andesit, dan tufa basal.
Batuan beku eruptif dan tufa secara umum disebut juga batuan ekstrusif.
Berdasar kadar SiO2 batuan beku, maka dikenal batuan masam, batuan
sedang (intermedier), batuan basa, dan batuan ultrabasa. Makin tinggi kadar
SiO2 suatu batuan, maka batuan tersebut semakin masam. Suatu batuan
disebut masam bila kadar SiO2 (berdasar bobot) lebih dari 66%. Contoh
batuan masam adalah granit, granit porfirit, riolit, dan tufa liparit. Batuan
sedang adalah batuan yang memiliki kadar SiO2 antara 52% dan 66%. Contoh
batuan sedang adalah diorit, andesit, tufa andesit. Batuan basa adalah batuan
yang memiliki kadar SiO2 antara 45% ’dan 52. contoh batuan basa adalah
gabro, gabro profirit, basal, tufa basal. Batuan ultrabasa adalah batuan yang
memiliki kadar SiO2 kurang dari 45%. Contoh batuan ultrabasa adalah
peridotit.
Kadar SiO2 batuan beku berkaitan dengan jenis mineral yang menyusun
batuan. Batuan masam banyak mengandung mineral terang. Contoh mineral
terang adalah kuarsa, dan feldsfar. Batuan basa mengandung banyak mineral
gelap atau feromagnesian. Contoh mineral gelap adalah olivin, hornblenda,
dan plagioklas.
2. Batuan Sedimen
Batuan ini merupakan hasil disintegrasi batuan (bisa batuan beku, batuan
sedimen, atau batuan metamorfik) yang ditransportasikan, disedimentasikan,
dan akhirnya disementasi (atau litifikasi). Berdasar komposisi bahan yang
menyusun batuan, dikenal batu klei bila tersusun dari klei (clay), batu debu
bila tersusun dari debu, batu pasir bila tersusun dari pasir, batu
konglomerat/breksi bila tersusun dari bahan berbagai ukuran, batu kapur bila
tersusun dari kalsium karbonat, atau batu dolomit bila tersusun dari kalsium-
magnesium karbonat.
Berdasar proses deposisinya terdapat batu sedimen klastik dan batu
sedimen kimia. Batu sedimen klastik terbentuk karena sementasi partikel-
partikel yang telah ada. Contoh batu jenis ini adalah batu klei, batu debu, batu
pasir, batu konglomerat/ breksi. Batu sedimen kimia terbentuk dari partikel-
partikel yang terbentuk dari proses pengendapan kimiawi. Contoh batu jenis
ini adalah batu kapur dan batu dolomit.
3. Batuan Metamorfik
Batuan metamorfik adalah batuan hasil dari perubahan fisik
(metamorfosis) karena adanya suhu dan tekanan yang tinggi. Batuan asal yang
mengalami proses metomorfosis berupa batuan beku atau batuan sedimen.
Contoh batuan ini adalah gncis, yaitu batuan metamorfik yang berasal dari
granit.
Pualam atau marmer adalah batuan metamorfik yang berasal dari batu
kapur. Kuarsil adalah batuan metamorfik yang berasal dari batu pasir. Karena
hanya terjadi perubahan fisik batuan, maka komposisi batuan metamorfik
sama dengan komposisi batuan asalnya.

b. Proses Pelapukan Batuan


Batuan yang terpapar cuaca akan mengalami hancuran (weathering). Hancuran
batuan karena paparan cuaca disebut juga hancuran iklim. Batuan akan hancur
melalui dua mekanisme, yaitu disintegrasi atau proses mekanik dan dekomposisi atau
proses kimiawi. Masing-masing mekanisme biasanya diikuti dengan proses biologi.
Proses mekanik akan memecah batuan secara fisik, tanpa mengalami perubahan
komposisi kimia. Proses kimiawi akan menghancurkan batuan menjadi bahan lain
yang komposisi kimiawinya berbeda.
1. Proses Mekanik
Faktor-faktor yang memengaruhi proses mekanik adalah suhu, erosi atau
abrasi, dan akar tanaman. Mineral penyusun batuan mempunyai respons yang
berbeda terhadap suhu, yaitu respons pemuaian atau penyusutan. Perubahan
suhu, naik atau turun, yang berulang-ulang dan dalam waktu yang lama
menyebabkan mineral-mineral saling memisahkan diri, sehingga batuan
pecah. Semakin besar amplitudo perubahan suhu, maka semakin mudah faktor
suhu memecah batuan. Di Indonesia, di mana perubahan suhu tidak lerlalu
besar, maka pengaruh suhu tidak terlalu menonjol. Selain itu, semakin
beragam komposisi mineral suatu batuan (contoh: granit) maka semakin
mudah batuan tersebut hancur karena faktor suhu. Sebaliknya, batuan yang
tersusun dari satu jenis mineral akan lebih tahan. Selain ‘mempengaruh
terhadap pemecahan batuan, suhu dapat menyebabkan batuan “mengelupas”.
Perubahan suhu akan lebih banyak terjadi pada permukaan batuan, sedangkan
bagian dalam batuan memiliki suhu yang relatif tetap (tidak terpengaruh oleh
perubahan suhu di luar batuan)‘.Akibatnya, proses pemuaian dan penyusutan
hanya akan terjadi di permukaan batuan. Proses pemuaian dan penyusutan
permukaan batuan yang berulang-ulang dan dalam waktu yang lama akan
menyebabkan lapisan permukaan batuan akan terpisah dari bagian dalamnya.
Proses ini’ disebut eksfoliasi. Kita akan temui fenomena ini pada batuan yang
terpapar sinar matahari. Di daerah beriklim sedang, suhu yang ekstrem di
bawah titik beku air akan menyediakan air yang ada di dalam rekahan batuan
akan membeku. Karena volume es lebih besar dari volume air deugan bobot
yang sama menyebabkan adanya desakan dari es sehingga membantu
pemecahan batuan. Proses desakan yang sama juga dilakukan oleh akar.
Semakin membesar akar tanaman, maka semakin besar desakan akar untuk
memecah batuan.
2. Proses Kimiawi
Proses kimiawi terjadi pada mineral-mineral penyusun batuan. Proses
kimiawi yang berperan dalam pelapukan adalah pelarutan, hidrasi, hidrolisis,
karbonari dan protonasi, reaksi pengkhelatan, serta oksidasi dan reduksi
Ketahanan mineral terhadap proses kimia berbeda-beda antar mineral. Ada
mineral yang tahan pelapukan, yang dikenal sebagai mineral resisten, dan ada
mineral yang tidak tahan pelapukan yang dikenal dengan mineral mudah
hancur.
Proses pelarutan lebih mudah terjadi pada batuan yang mudah larut,
seperti baru kapur. Di Indonesia, curah hujan yang tinggi menyebabkan batu
kapur mudah larut, sedangkan pada daerah kering sekalipun terdapat di daerah
dengan fluktuasi suhu yang besar batu kapur tidak mudah hancur. Di lain
pihak, granit yang mudah hancur di daerah dengan fluktuasi suhu yang besar,
tidak mudah hancur di daerah tropika basah.
Proses hidrasi merupakan bereaksinya air dengan mineral yang ada dalam
tanah. Proses ini menyebabkan mineral menjadi lunak. Contoh hidrasi adalah
reaksi antara hematit dan air menjadi limonit.
Proses hidrolisis merupakan reaksi suatu bahan dengan air, yang
menyebabkan terdisosiasinya molekul air. Ion hidrogen dari air menggantikan
kation mineral, sehingga kation mineral akan terlepas ke dalam larutan.
Moiekul air yang ditinggalkan ion hidrogen akan meninggalkan ion hidroksil
dalam larutan.
Proses karbonasi merupakan reaksi yang melibatkan asam karbonat.
Seperti diketahui bahwa air yang kontak dengan atmosfer akan selalu
mengandung asam karbonat. Asam karbonat merupakan asam yang selalu
dijumpai dalam lingkungan tanah. Dapat pula dikatakan bahwa asam karbonat
merupakan sumber proton yang lebih kuat dari air yang selalu menghancurkan
batuan. Contoh reaksi karbonasi adalah reaksi batu kapur dengan asam
karbonat. Batu kapur merupakan padatan, sedangkan hasil reaksi merupakan
bahan terlarut.
Sumber proton yang lebih kuat dari asam karbonat adalah asam-asam
organik Selain mengandung proton yang berperan dalam reaksi 2.3, asam
organik juga dapat melakukan reaksi khelat dengan kation logam yang ada
pada permukaan mineral. Di alam ,lumut kerak merupakan contoh makhluk
hidup yang mampu mengkhelat Ration dari batuan. Senyawa humat dalam
tanah juga berperan dalam pengkhelatan. Senyawa humat dalam bentuk garam
melepaskan kation dari batuan lebih banyak daripada senyawa humat dalam
bentuk asam (Ahmad dkk., 2011).
Asam organik bisa berasal dari serasah atau bahan yang ditambahkan jenis
bahan organik yang ditambahkan mempunyai pengaruh yang berbeda.
Kompos kotoran ayam lebih efektif melepaskan kation abu volkan Gunung
Merapi daripada serasah pinus dan gambut (Simaremare dkk., 2011). Proses
oksidasi dan reduksi terjadi pada mineral-mineral yang mengandung besi fero
dan sulfida. Proses oksidasi dan reduksi menyebabkan struktur mineral rusak.
3. Proses Biologi
Adanya makhluk hidup bisa membantu dan mempercepat proses
peiapukan mekanik maupun kimia (Foto 2.2). Sebagai contoh, lumut-Iumutan
tumbuh di atas batuan dapat menghasilkan lingkungan mikro yang lebih basah
sehingga proses pelapukan kimiawi lebih dipercepat. Makhluk hidup termasuk
lumut dan akar tumbuhan dapat menghasilkan senyawa khelat dan senyawa
asam yang mampu memacu proses pelapukan kimiawi (Brady dan Weil,
2008).
Kondisi di lapang menunjukkan bahwa proses pelapukan tersebut tidak
sendiri, tetapi saling berinteraksi. Sebagai contoh, adanya pelapukan mekanik
menghasilkan hancuran batuan yang akan meningkatkan luas permukaan
hancuran sehingga akan memacu oksidasi dan hidrasi (pelapukan kimiawi).
Selain itu dengan adanya air, kelembaban meningkat sehingga akan memacu
pertumbuhan lumut dan tumbuhan lainnya seperti pakis. Pertumbuhan lumut
dan tumbuhan lainnya akan menghasilkan bahan organik dan senyawa asam
lainnya yang akan meningkatkan laju peiapukan batuan.

c. Hasil Hancuran
Hasil disintegrasi menyebabkan batuan tercerai berai menjadi mineral-mineral
yang dapat dikelompokkan secara garis besar, yaitu mineral resisten atau sangat
lambat hancur (contoh kuarsa dan muskovit), mineral lambat hancur (contoh biotit),
dan mineral mudah hancur (contoh augit, hornblenda, olivin, feldsfar). Mineral-
mineral tersebut kemudian akan mengalami pelapukan kimia. Mineral resisten tidak
akan terpengaruh oleh proses kimia, sehingga mereka akan tetap seperti sediakala
sebagaimana mereka berada dalam batuan. Adapun mineral lambat hancur dan
mineral mudah hancur akan mengalami proses-proses kimiawi yang menyebabkan
mineral semula hancur. Hasil hancuran berupa ion-ion. Beberapa ion akan bereaksi
dan berkristalisasi menjadi mineral lain (yang disebut sebagai mineral sekunder), dan
beberapa ion lain akan tetap berada dalam larutan. Mineral sekunder yang dihasilkan
bisa berupa mineral klei silikat dan/atau mineral hidrous oksida besi dan alumunium
yang menyusun padatan tanah. Ion-ion hasil hancuran sebagian akan terjerap koloid
tanah dan Sebagian lagi tercuci oleh air hujan. Kumpulan hasil hancuran merupakan
bahan induk tanah mineral. Jadi, bahan induk tanah mineral mengandung mineral
primer resisten, mineral sekunder berupa klei silikat, mineral sekunder berupa
hidrous oksida besi dan alumunium, dan ion-ion (Simonson, 1959; Brady dan Weil,
2008).

d. Klasifikasi Bahan lnduk


Bahan induk bisa tetap berada di tempat lokasi pelapukannya atan dipindahkan
dari tempat pelapukannya. Bahan induk yang tetap di tempat disebut derigan bahan
residu atau bahan autochtonous. Bahan induk yang dipindahkan dari tempat
pelapukannya disebut dengan bahan allochtonous.
Bahan induk dapat dipindahkan dari tempat pelapukannya oleh air, es atau angin.
Di indonesia,pengangkutan oleh air sangat dominan. Bahan yang diangkut oleh air,
kemudian diendapkan di sungai disebut sebagai aluvial. Bila bahan tersebut diendapkan
di danau disebut lakustrin, bila diendapkan di laut disebut bahan marin. Bahan induk
yang diangkut oleh es dan diendapkan di daratan disebut morain, sedangkan bahan induk
yang diangkut oleh angin dan diendapkan oleh angin di daratan disebut sebagai aeolian
atau loess.
B. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUKAN TANAH
a. Pendahuluan
Tanah merupakan perwujudan dari interaksi faktor-faktor‘ pembentuk tanah yaitu
bahan induk, iklim, topografi, organisme, dan waktu (Jenny, 1941). Iklim dan
organisme digolongkan ke dalam faktor pembentuk tanah aktif, sedangkan faktor
pernbentuk tanah lainnya disebut faktor pembentuk tanah pasif.
Kombinasi dari berbagai ragam bahan induk (bi), iklim (i), topografi (t), organism
(0), dan waktu (w) akan menghasilkan berbagai jenis tanah yang saling berbeda.
Bahan induk yang berbeda akan menghasilkan tanah yang berbeda walaupun faktor
pernbentuk tanah lainnya sama. Begitu juga iklim yang berbeda akan menghasilkan
tanah yang berbeda walaupun faktor pembentuk tanah lainnya sama. Sehingga,
terdapat beribu-ribu jenis tanah yang unik yang ada di dunia, sebanyak kombinasi
yang nyata dari faktor genetiknya (Soil Survey Staff, 1951).

b. Bahan lnduk
Bahan induk merupakan faktor pembentuk tanah yang manentukan sifat-sifat
tanah. Sebagai contoh bahan induk kaya kuarsa seperti granit dan batuan pasir akan
menghasilkan tanah-tanah mineral bertekstur kasar (berpasir). Bahan induk residu
dari batuan basa akan menghasilkan tanah-tanah bertekstur halus.
Selanjutnya, pada ekosistem basah, bahan induk berkapur akan mengurangi laju
pemasaman tanah. Selain itu batuan basa akan menghasilkan tanah-tanah yang
berwarna lebih gelap bila dibandingkan tanah-tanah yang berkembang dari batuan
masam. Pada ekosistem basah, bahan induk organik akan menghasilkan tanah-tanah
gambut atau bergambut.

c. lklim
Curah hujan dan suhu merupakan unsur iklim yang penting dalam pelapukan.
Iklim merupakan faktor pembentuk tanah yang berdampaknya luas terhadap sebaran
jenis tanah. Semakin tinggi curah hujan maka proses pelapukan, terutama proses
kimiawi berjalan semakin cepat. Keberadaan air selain akan berpengaruh terhadap
proses-proaes kimiawi (pelarutan, hidrasi, hidrolisis, protonasi), juga akan
berpengaruh terhadap pemindahan hasil reaksi keluar dari tempat reaksi atau bahkan
keluar dari profil tanah. Semakin tinggi curah hujan semakin tinggi pula pemindahan
basil reaksi, yang juga berakibat pada percepatan reaksi tersebut. Sebaliknya pada
ekosistem yang curah hujannya rendah, proses pembentukan tanah sulit terjadi.
Menurut Mohr dan van Baren, (1960) yang banyak meneliti tanah di Indonesia,
diperlukan curah hujan lebih dari 60 mm/bulan untuk membasahi daerah perakaran.
Padahal menurut mereka 99,6% stasiun iklim di Indonesia (dari 4.439 stasiun)
mencatatkan curah hujan le‘oih dari 1.000 mm/tahun. Dengan kata lain bahwa
setidaknya telah terjadi evakuasi hasil reaksi dari daerah perakaran hanya dengan
curah hujan 60 mm/bulan. Curah hujan > 60 mm/bulan menyebabkan air mampu
berperkolasi lebih dalam dari daerah perakaran. Suhu mempengaruhi kecepatan reaksi
kimia Semakin tinggi suhu akan semakin cepat reaksi kimia. Di indonesia, yang
beriklim tropika basah maka kombinasi curah hujan yang tinggi dan suhu yang tinggi
menyebabkan proses pelapukan berjalan Cepat.

d. Topografi
Topografi akan memengaruhi efek curah hujan terhadap proses pelapukan. Pada
daerah berlereng, air hujan tidak berkesempatan meresap ke dalam tanah. Adapun
pada daerah datar, topografi akan lehih mampu meresapkan air, dan pada daerah
cekungan topografi akan menampung air hujan. Pada daerah belerang, efek curah
hujan berupa erosi atau abrasi. Pada daerah datar, efek curah hujan berupa reaksi
kimia dan pemindahan hasil reaksi. Demikian juga pada daerah cekungan, selain efek
berupa reaksi yang terjadi pada daerah datar, reaksi redoks terjadi pada daerah ini.
Berbeda dari ikiim, topografi berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah
yang bersifat Iokal.

e. Organisme
Organisme terutama vegetasi berkaitan erat dengan iklim. Pengaruh vegetasi
terhadap proses pembentukan tanah terutama jumlah serasah yang jatuh ke
permukaan tanah, dan komposisi serasah. Dekomposisi serasah akan menghasilkan
asam asam organik yang berperan dalam reaksi protonasi dan reaksi pengkhelatan.
Semakin banyak serasah yang dihasilkan akan semakin banyak senyawa yang
dihasilkan yang bertanggung jawab dalam pelapukan. Jenis serasah berdaun jarum
dianggap dapat mempercepat proses pelapukan. Selain itu, adanya serasah juga akan
memacu aktivitas cacing tanah dan biota lainnya. Dalam proses genesis tanah, cacing
tanah berperan dalam proses pembentukan agregasi tanah.

f. Waktu
Bahan induk dianggap sebagai waktu nol dalam pembentukan tanah. Semakin
lama waktu proses-proses pembentukan tanah akan berlaujut. Dengan demikian.
dikatakan bahwa tanah yang tua berarti telah menjalani proses pembentukan tanah
dengan waktu yang panjang. Namun demikian, tanah tua dapat tercapai pada waktu
yang Iebih singkat dari tanah lain pada lingkungan iklim yang lebih kering.

Anda mungkin juga menyukai