Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

I. ANATOMI
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa
perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah
sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak
dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan malapetaka besar bagi
seseorang.

Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa, padat, dapat
digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal.
Diantara kulit dan galea terdapat satu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang
mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada
penderita laserasi kulit kepala.
Tepat dibawa galea terdapat ruang subaponeurotik, yang mengandung vena emiseria dan
diploika. Pembuluh pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh
kedalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan
debrideman kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.
Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tubula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tubula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tubula
interna. Tubula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria meningea anterior,
media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah
satu dari arteria2 ini, akan mengakibatkan perdarahan arteri yang tertimbun dalam
epidural yang dapat menimbulkan akibat yang fatal.
Meningeal melindungi otak dengan lapisannya adalah dura meter, arachnoid dan
piameter.

II. PENGERTIAN
Cedera kepala merupakan klasifikasi yang luas termasuk didalamnya beberapa injuri atau
trauma pada kulit kepala atau otak. Yang paling serius dari cedera kepala adalah
traumatic brain injury (TBI) atau cedera kepala pada otak. (Lewis, 2011). Cedera kepala
sering menjadi penyebab kematian. (deWit & Kumagai, 2013).
Cedera kepala adalah cedera yang melukai bagian cranium (tengkorak) maupun serebrum
(otak). Cedera ini daapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra maupun ekstra serebral dan
kerusakan jaringan otak sendiri (Soertidewi, 2012).
Cedera otak traumatik adalah cedera otak yang mampu menimbulkan perubahan fisik,
intelektual, emosi, social, dan vokasional. Di Amerika serikat cedera kepala dialami kra-
kira setiap 15 detik. Cedera kepala terjadi pada sekitar 7 juta orang amerika setiap
tahunya. Diantara orang-orang yang mengalami cedera kepala ini, lebih dari 500.000
dirawat dirumah sakit, 100.000 mengalami disabilitas kronis, dan sekitar 2.000 berada
dalam keadaan vegetative persisten. Klien dengan cedera kepala traumatic sering
mengalami cedera besar lainnya, termasuk cedera pada struktur wajah, paru-paru,
jantung, tulang belakang leher, abdomen, dan tulang. (Black & Hawks, 2009).
III. ETIOLOGI
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera kepala. Faktor
resiko kedua adalah mengemudi tanpa menggunakan sabuk pengaman, penyerangan,
jatuh, dan cedera yang berhubungan dengan olah raga. (Black & Hawks, 2009).
IV. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam komusio
serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Disamping patologi yang terjadi pada otak,
mungkin terdapat juga fraktur pada tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang dibasis
cranium, ada yang ditemporal, frontal, parietal, ataupun oksipital.

Klasifikasi yang sering digunakan diklinik berdasarkan derajat kesadaran skala koma
Glasgow :
Kategori SKG/GCS Gambaran Klinik Skoring Otak
CK Ringan 13-15 Pingsan <10 menit, Normal
deficit neurologi (-)
CK Sedang 9-12 Pingsan >10 menit Abnormal
s/d <6 ja, deficit
neurologi (+)
CK Berat 3-8 Pingsan >6 jam Abnormal
Sumber : Soertidewi, 2012
Pada pasien cedera karnioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <10 menit, tanpa deficit
neurologi, tetapi pada hasil skening otakknya terlihat perdarahan, didiagnosis bukan CK
ringan (CKR)/komusio, tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/ kontusio.
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pasca cidera (APC) diperkenalkan oleh Russel
dalam Jennet & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi
berdasarkan klinis SKG.
Lama Amnesia Pasca Cidera Beratnya trauma Karnioserebral
Kadang kurang dari 5 menit Sangat Ringan
5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat Berat
Lebih dari 4 minggu Ekstrem Berat
Sumber : Soertidewi, 2012
Dari empat klasifikasi tersebut, klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak
digunakan diklinik karena mempunyai beberapa kelebihan :
1. Penilaian SKG (Skala Koma Glasglow) dengan komponen E(ye), M(otor) dan
V(Verbal) mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mundah dinilai oleh
kalangan medis maupun paramedic (standar jelas).
2. Kategori dan prognosis pasien cedera kranioserebral dapat diperkirakan dengan
melihat nilai SKG yang meskipun berulang beberapa kali akan menghasilkan nilai
yang sama.
Penilaian SKG untuk anak lebih dari 5 tahun dan dewasa :
Tampakan Skala Nilai
Spontan 4

E(ye) Opening Dipangil 3


Rangsangan Nyeri 2
Tidak Ada Respon 1

Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tak patut 3
V(erbal) response (inappropriate)
Bunyi/suara tak berarti 2
(Incomperensible)
Tak bersuara 1
Sesuai perintah 6
Lokalisasi perintah 5
Reaksi atas nyeri 4
M(otor) respons
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada respon (diam) 1
Sumber : Soertidewi, 2012
V. PATOFISIOLOGI
Mekanisme lainnya adalah koup dan kontrakoup, rotasi dan penetrasi. pada koup dan
kontrakoup otak terbentur ke depan dan ke belakang di dalam rongga tengkorak. Rotasi
otak berputar dalam rongga tengkorak sehingga merusak pembuluh darah dan neuron.
Penetrasi diakibatkan oleh benda tajam yang merusak keutuhan tulang tengkorak
sehingga merusak jaringan otak (Morton & Fontaine, 2013).
1. Primary Brain Injury
Cedera primer terjadi pada saat trauma. tergantung pada kuat benturan, arah, kondisi
kepala dan mekanisme trauma. Primary brain injuries ini termasuk scalp lacerations,
fractures, concussions, contusions, hematomas, subarachnoid hemorrhage),
cerebrovascular injury dan diffuse axonal injury.

2. Secondary Brain Injury


Cedera sekunder terjadi setelah cedera primer dan mengakibatkan cedera tambahan
pada otak. proses sekunder meliputi hypoxemia, hypotension, anemia, cerebral
edema, cerebral ischemia, uncontrolled increased ICP, hypercarbia, hyperthermia,
seizures, hyperglycemia, infeksi lokal atau sistemik dapat menyebabkan cedera otak
sekunder (Morton & Fontaine, 2013).

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK).
Genneralli dkk. memperkenalkan istilah cedera kepala “fokal” dan “difus/menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih
khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral
dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar atau Diffuse
Axonal Injury (DAI) dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi
dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera
ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya (Hudak & Gallo, 1996).
Diffuse Axonal Injury memburuk selama 1-2 hari pertama sebagaimana edema serebral
terjadi. Injuri ini diperkirakan terjadi pada mekanisme rotasi, akselerasi dan deselerasi
(Morton & Fontaine, 2013).

VI. PATOLOGI DAN GEJALA KLINIS


1. Hematoma ekstradural/epidural (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningeal media. Perdarahan
terletak diantara tulang tengkorak dan durameter. Gejala knisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral
dengan penuruna kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan
kesadaran ini kurang dari 24 jam, penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala
lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor
2. Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan,sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramaterdan araknoidea. SDH ada yang
akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepalayang makin berat dan muntah
proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,mengganggu ARAS,
dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens
berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural.
3. Edema serebri traumatic
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak
dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah
menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan
kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehinggamenjadi lebih permeabel.
Hasil akhirnya akan terjadi edema.
4. Cedera Otak difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darahmaupun pada parenkim otak, disertai
edema. Keadaan pasien umumnya buruk.
5. Hematoma Subaracknoid (SHA)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal
sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di
dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga
subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertaivasospasme, akan
timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien
yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah
mulai terjadi pada harike-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala
klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak
perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang
umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma),
perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.
6. Fraktur Basal Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa
dianterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau
aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan
potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus
frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata
(raccoon eye, brill hematoma, hematomabilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII
dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.

VII. MANIFESTASI KLINIK


Gejala yang muncul pada cedera kepala local bergantung pada jumlah dan distribusi
cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur.
Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur, dank arena alasan ini
diagnosis yang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar-x.
Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasalis pada tulang frontal atau
lokasi tenga telinga ditulang temporal, juga sering menimbulkan hemoragic dari hidung,
fsring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjugtiva, suatu area ekimosis, atau
memar, mungkin terlihat diatas mastoid. Fraktur dasar tengkorak dicurigai jika CSS
keluar dari telinga dan hidung. Keluarnya cairan serebro spinal merupakan masalah yang
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis, jika organisme masuk
kedalam kranial melalui hidung, telinga atau sinus melalui robekan pada dura (Smeltzer
& Bare, 2001).

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Radiologi
Dibuat foto kepala dan leher bila didapatkan fraktur servika, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
indikasi. CT. Scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara
klinis diduga ada hematoma intracranial (Soertidewi, 2012).
Pemeriksaan dan tes diagnostic yang sering digunakan pada cedera kepala termasuk
CT. Scan (computed tomography scan), MRI (magnetic resonance imaging) dengan
kontras, positron emission tomography (untuk mengkaji kematian sel yang
menyerang jaringan otak, dan electroencephalography (EEG). (deWit & Kumagai,
2013).
2. Laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi sel
Leukosit dapat menjadi indicator pembeda antara kontusio (CKS) dan komusio
(CKR). Leukosit >17.000 menunjukkan pada CT.Scan otak abnormal,
sedangkan angka leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara
klinis lama penurunan kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan
klinis yang mendukung kearah komusio. Predictor ini bila berdiri sendiri tidak
kuat, tetapi didaerah yang tidak memiliki CT. Scan otak dapat dipakai sebagai
salah satu acuan predictor yang sederhana.
b. Gula Darah Sewaktu (GDS)
Hiperglikemi merupakan faktor resiko bermakna untuk kematian, dengan GDS
>201 mg/dl
c. Ureum Kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hyperosmolar
yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang
buruk, manitol tidak boleh diberikan.
d. AGD
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun.
e. Elektrolit (Na, K, Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menurunkan kesadaran.
f. Albumin serum
Pasien CKS dan CKB yang memiliki kadar albumin rendah mempunyai resiko
kematian lebih tinggi dibandingkan yang memiliki kadar albumin normal.
IX. KOMPLIKASI
1. Kejang
2. Edema pulmonal
Akibat dari ciddera pada otak yang menyebabkan adanya reflek cushing.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah berperan dalam proses dengan
kemungkinan cairan berpindah dalam alveolus.
3. Infeksi
4. Demam
5. Gangguan gastrointestinal.
6. Gelisah.

X. Penatalaksanaan medis.
1. Jika terdapat luka pada kulit kepala, diusahakan ditutup, dan control perdarahan
yang terjadi.
2. Luka pada kulit kepala yang tidak diatas fraktur, segera dianastesi local,
dibersihkan dan dijahit.
3. Pada depresi tengkorak dilakukan pembedahan untuk menata kembali fragmen
tulang dalan lapisan durameter yang robek.
4. Pembedahan :
- Kraniotomy
Membuka tengkorang untuk mengangkat bekuan darah atau tumor,
menghentikannperdarahan intra cranial, memperbaiki jaringan otak, atau
pembuluh darah yang rusak.
- Kraniaektomy
Mengangkat bagian tulang tengkorak.
- Kranioplasty
Memperbaiki tulang tengkorak dengan logam, lempeng plastic, untuk menutup
area yang terbuka dan memperkuat area kerudakan tulang.

XI. PENGOBATAN
1. Anti Seizure ( serangan tiba-tiba), seperti phenitoin
2. Antagonis, histamine untuk mengurangi resiko stress ulcer.
3. Analgetik : acetaminophen, kodein
4. Antibiotik
5. Diuretic untuk menurunkan TIK
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M, & Hawks, J.H. (2009). Medical-surgical nursing: Clinical management for
positive outcome (8th ed.). St.Louis: Saunders Elsevier.

deWit. S.C., & Kumagai. C., (2013), Medical surgical Nursing Concepts & Practice,
(ed.2nd), St. Louis : Saunders Elsevier.
Hudak C.M. & Gallo B.M. (1996). Keperawatan kritis:Pendekatan holistik (ed.6.). (Monica
Ester, Made Kariasa, Made Sumarwati, Efi Afifah, penerjemah). Jakarta: EGC

Lewis, S.L., Dirksen, S.R., Heitkemper, M.M., Bucher, L., & Camera, I.M. (2011). Medical-
surgical nursing: Asessment and management of clinical problems. (8th ed.). St.
Louis: Elsevier Mosby.

Moorhead. S., Johnson M., Maas, M.L., & Swanson, E., (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of Health Outcomes. (5th ed). USA: Mosby
Elsevier
Morton, P.G., & Fontaine, D.K. (2013). Essentials of critical care nursing: A holistic
approach. Philadelphia: Wolters Kluwer: Lippincot Williams & Wilkins.

Mulyatsih, E. (2013) Askep cedera kepala. Seminar Askep cedera kepala Desembser 2013.
RS Pusat pertamina.

Mutaqqin, arif. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan system
persarafan. Jakarta : salemba medika.

Pahria, Tuti., Susilaningsih, F.S., Siahaan, Elyna S,. Helwiyah. (1996). Asuhan Keperwatan
pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC

PERDOSSI,. (2006). Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta : CV Prikarsa Utama,

Smeltzer, S. C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &
Suddarth’s textbook of medical-surgical nursing. (8th ed.) Philadelphia: Wolters
Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins.

UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

Disusun Oleh

Gresty Natalia Maria Masi


NPM. 1306345876

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
2014

Anda mungkin juga menyukai