Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

COMBUSTIO
Tugas Kepanitraan Klinik Madya

Pembimbing
dr. Deddy Setyo Nugroho, Sp.B

Disusun Oleh:
Irme Adhitya
21801401051

LABORATORIUM ILMU BEDAH


RSUD KANJURUHAN KEPANJEN MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISMA
2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase lanjut.
Pada kasus luka bakar, harus diperhatikan berbagai aspek, karena pada kasus luka
bakar memerlukan biaya yang sangat besar, perlu perawatan yang lama, perlu operasi
berulang kali, bahkan meskipun sembuh bisa menimbulkan kecacatan yang menetap.
Pada mulanya luka bakar merupakan topik yang dikelola oleh bedah plastik, sebab
selain patofisiologi kerusakan jaringan yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka
menjadi materi pembahasan dan umumnya dikuasai oleh para spesialis bedah plastik. Namun
seiring dengan perkembangan ilmu, khususnya bidang traumatologi dan penanganan terpadu,
luka bakar disadari merupakan suatu bentuk kasus trauma yang memerlukan penanganan
multidisipliner dan atau interdisipliner. Oleh karena itu, penanganan luka bakar sebaiknya
dikelola oleh tim trauma yang terdiri dari tim spesialis bedah ( bedah plastik, bedah toraks,
bedah umum), spesialis penyakit dalam (khususnya hematologi, gastroenterologi, ginjal dan
hipertensi), ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikolog.

1.2.Tujuan
Tujuan penulisan lapsus ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan luka bakar dan penatalaksanaan terhadap kasus-kasus luka bakar.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Usia : 56 tahun (11/06/1963)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Sumberpetung, Kalipare
Tanggal MRS : 12 Juni 2019 17:45 wib melalui IGD
No. Registrasi : 411672
Tanggal Pemeriksaan : 15 Juni 2019

2.2. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kulit melepuh.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. M diantar keluarganya ke Puskesmas Sumbermanjing kemudian dirujuk ke
IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen. Tn. M mengalami kecelakaan pada hari Rabu (12
Juni 2019) sekitar pukul 15.30 WIB. Tn. M mengeluhkan kulitnya yang melepuh
setelah terkena kuah bakso yaitu di area wajah, leher, dada, punggung, lengan dan
tangan. Setelah kecelakaan tersebut, Tn. M merasakan telinga kiri budek, suara
serak, dada sesak, serta pangkal paha sebelah kanan sakit bila duduk.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Hipertensi : Disangkal
- DM : Disangkal
- Penyakit Paru : Disangkal
- Penyakit lain : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Hipertensi : Disangkal
3

- DM : Disangkal
- Penyakit Paru : Disangkal
- Penyakit lain : Disangkal
5. Riwayat Alergi : Disangkal
6. Riwayat Pengobatan : Pemberian salep dari puskesmas
7. Riwayat Kebiasaan : Tn. M bekerja sebagai penjual bakso keliling (menggunakan
sepeda motor) dan bertani. Tn. M mengaku perokok aktif, jarang minum kopi, dan
tidak minum alkohol.
2.3. Pemeriksaan Fisik (Umum)
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : GCS E4V5 M6
3. Tanda Vital
a. Tensi : 120/60 mmHg
b. Nadi : 91 x/menit, reguler
c. RR : 20 x/menit
d. Suhu : 36,4º C
4. Kulit
Warna kulit sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-).
5. Kepala
Bentuk simetris, luka (-), makula (-), papula (-), nodul (-), deformitas (-).
6. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), edema palpebra
(-/-), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3 mm, radang (-/-), lagoftalmus (-/-),
racoon eye (-/-).
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (-/-).
8. Mulut
Sianosis (-), bibir pucat (-), tremor (-), gusi berdarah (-)
9. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/+) berwarna kekuningan, pendengaran
berkurang (-/-)
10. Leher
Trakea ditengah, peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-), tampak adanya
combustio grade II
4

11. Toraks : Normochest, simetris, retraksi (-) ICS melebar (-), tampak adanya
combustio grade II
 Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah : ICS V Mid Clavicular Line Sinistra
batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra
(batas jantung terkesan normal)
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 single, murmur (-)
 Pulmo :
- Inspeksi : Pengembangan dada kanan sama dengan kiri
- Palpasi : Fremitus raba kiri sama dengan kanan
- Perkusi : Sonor/Sonor
- Auskultasi : Suara dasar Vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
12. Abdomen
- Inspeksi : bentuk datar, caput medusa (-), spider nevi (-), scar (-)
- Auskultasi : BU (+) normal
- Palpasi : dinding perut supel, undulasi (-), distensi abdomen (-), hepar 2 cm dibawah
arcus costae dengan permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan abdomen (-) ,
defans muskuler (-)
- Perkusi : Timpani , shifting dullness (-)
13. Ekstremitas:
- Atas: Tremor (-/-), Akral dingin (-/-), Edema (-/-), tampak adanya combustio
grade II
- Bawah: Tremor (-/-), Akral dingin (-/-), Edema (-/-), Ulkus (-/-)
14. Sistem genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
5

2.4. Foto Klinis

2.5. Resume
Tn. M diantar keluarganya ke Puskesmas Sumbermanjing kemudian dirujuk ke
IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen. Tn. M mengalami kecelakaan pada hari Rabu (12
Juni 2019) sekitar pukul 15.30 WIB. Tn. M mengeluhkan kulitnya yang melepuh
setelah terkena kuah bakso yaitu di area wajah, leher, dada, punggung, lengan dan
tangan. Setelah kecelakaan tersebut, Tn. M merasakan telinga kiri budek, suara serak,
dada sesak, serta pangkal paha sebelah kanan sakit bila duduk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 456, TD 120/60 mmHg, nadi
91x/menit, suhu 36,4º C, terlihat sekret berwarna kekuningan pada meatus akutikus
6

externa sinistra, serta pada regio cervical, thoracal, dan ekstremitas superior tampak
adanya combustio grade II.

2.6 Differential Diagnosis


1. Combustio grade I
2. Combustio grade II
3. Combustio grade III

2.7 Working Diagnosis


Combustio grade II AB 23% et causa kuah panas

2.8 Planning Terapi


1. Non-Operatif
Non-Medikamentosa
 KIE edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien
 Inform consent bahwa pasien harus MRS untuk evaluasi dan persiapan
dilakukan tindakan selanjutnya
 Inform consent mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien
 Cek DL, hemostasis, kimia klinik, elektrolit, imunoserologi
 Foto thorax AP
 EKG
 Konsultasi ke dokter spesialis ilmu penyakit dalam
 Konsultasi ke dokter spesialis anestesi
Medikamentosa
 IVFD RL 8 jam pertama 2.760 cc; 16 jam selanjutnya 2.760 cc
 Inj Omeprazole 1x40 mg
 Inj Ketorolac 3x30 mg
 Inj ATS
 Inj Sharox 2x750 mg
2. Operatif
 Pro debridement besok (Kamis 13 Juni 2019 jam 12.00 wib)
7

2.9 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium 12/06/2019 20:27 wib
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 14.3 13.4-17.7 g/dl
Hematokrit 41.2 40-47%
MCV 87.3 80-93 fL
MCH 30.3 27-31 pg
MCHC 34.7 32-36 g/dl
Eritrosit 4.72 4.0-5.5 juta/μl
Leukosit 13,310 4,300-10,300/ μl
Trombosit 250,000 142,000-424,000/ μl
HEMOSTASIS
PT 10.5 9.4-11.3 detik
INR 0.97 2.0-3.5
APTT 32.2 24.6-30.6 detik
KIMIA KLINIK
Gula darah (sewaktu) 243 <200 mg/dL
SGOT (AST) 24 0-40 U/L
SGPT (ALT) 27 0-41 U/L
Ureum 21 10-20 mg/dL
Kreatinin 1.01 <1.2 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) 135 136-145 mmol/L
Kalium (K) 3.3 3.5-5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 101 98-106 mmol/L
IMUNOSEROLOGI
HbsAg (RPHA) Non Reaktif Non Reaktif
8

- Foto rontgen thorax 12/06/2019

- EKG 13/06/2019 06.00 wib

2.10 Follow-Up
No Tgl S O A P
1 13/06/2019 - KU cukup Combustio - Instruksi Post
grade II AB Debridement:
14.30 wib 23% post - Program cairan dan
debridement analgetik  anestesi
(hari ke-0) - Inj Sharox 2x750 mg
- Inj OMZ 1x40 mg
- Inj Ondancentron 3x8
mg k/p
- Diet nasi TKTP
- Mobilisasi sedini
mungkin
- Rawat luka hari ke-2
9

2 14/06/2019 Badan KU cukup Combustio - Rehidrasi RL 1000 cc,


kaku S 39 °C grade II AB maintenance RL:D5 3:2
13.15 wib semua, 23% post fl / 24 jam
demam debridement - Inj Sharox 2x750 mg
(I) - Inj OMZ 1x40 mg
- Inj Antrain 3x1 g
- Diet nasi TKTP
- Mobilisasi sedini
mungkin
- Rawat luka sabtu dan
senin dengan Ialuset
cream + sufratulle 
bagian leher dan wajah
perawatan terbuka
- Senin terapi ganti oral:
- Clindamycin 2x300 mg
- Ranitidin 2x150 mg
- As. Mefenamat 3x500
mg
- Jika taa senin KRS
3 15/06/2019 Nyeri pada KU cukup Combustio - Lanjutkan terapi
luka TD 120/60 grade II AB - Jika taa senin terapi
08.00 wib mmHg 23% post ganti oral, KRS
N debridement
90x/menit (II)
10

LAPORAN OPERASI

No. RM : 411672
Nama : Tn. M****
Tanggal Lahir : 11/06/1963
Alamat : Sumberpetung, Kalipare
IRNA : Diponegoro
Nama ahli bedah : dr. Deddy, SpB / dr. Amukti, SpB
Tanggal Operasi : 13/06/2019
Jaringan Yang di Excisi / Incisi : Kulit yang nekrosis
Jenis Anestesi : GA
Diagnosa Prabedah : Combustio Grade II AB 23% ec Kuah Panas
Diagnosa Pasca Bedah : Combustio Grade II AB 23% ec Kuah Panas
Tindakan Pembedahan : Debridement
Laporan Pembedahan :
1. Informed consent, posisi supine, antisepsis: betadin yang diencerkan, antisepsis :
doek steril.
2. Evaluasi : didapatkan combustio gr II AB di wajah dan leher 5%, dada 6%, punggung
7%, extremitas superior dextra 5%.
3. Dilakukan debridement.
4. Olesi salep SSD, tutup sufratulle.
5. Tutup kassa.
Instruksi Pasca Bedah :
- Program cairan dan analgetik  anestesi
- Inj Sharox 2x750 mg
- Inj OMZ 1x40 mg
- Lain2  CPPT.
11

Foto Klinis 15/06/2019 post debridement (II)


12

Foto Klinis 17/06/2019 post debridement (IV)


13

Foto Klinis kontrol ke-1 (hari ke-VI) Rabu 19/06/2019 tidak ada dokumentasi

Foto Klinis kontrol ke-2 (hari ke-XI) Senin 24/06/2019 pukul 10.00 wib
14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan fisiologi kulit


Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada
orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit
tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas.
Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang
berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.

Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel
berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal
epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh
ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari
lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :
1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak
kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya
ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula
keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filament (tonofibril) yang dianggap
memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi
terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan
tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis
15

diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia
dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Stratum basale
dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi.
Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,
pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel
Langerhans) .

Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True
Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan
jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
- Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
- Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung
beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat.
Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis.
Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan
shearing forces dan respon inflamasi.

Subkutis
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan
di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan
nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan
kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber.

Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah
memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi,
mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi
kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan
sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah
16

satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada
daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan
cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami
proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal.
Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila
temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi
temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat
meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit
akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas.

Gambar 1. Anatomi Kulit


3.2 Etiologi Luka bakar
Luka Bakar di definisikan sebagai kerusakan atau kehilangan jaringan pada tubuh
akibat konduksi panas langsung atau radiasi elektromagnektik. Luka bakar juga didefinisikan
sebagai luka akibat kontak langsung dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan
kimia dan radiasi.
Kerusakan jaringan disebabkan oleh api lebih berat dibandingkan dengan air panas;
kerusakan jaringan akibat bahan yang bersifat koloid (misalnya bubur panas) lebih berat
dibandingkan air panas. Luka bakar akibat ledakan juga menyebabkan kerusakan organ dalam
akibat daya ledak (eksplosif). Pada luka bakar yang disebabkan oleh bahan kimia terutama
asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi
diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan.

3.3 Patofisiologi luka bakar


Berdasarkan perjalanan penyakitnya, luka bakar dibedakan dalam beberapa fase
dengan permasalahannya masing-masing. Terdapat 3 fase luka bakar, yaitu :
17

a. Fase awal / fase akut / fase shock


Permasalahan yang terdapat pada fase ini antara lain adanya gangguan saluran
pernafasan, gangguan mekanisme bernapas serta gangguan sirkulasi (keseimbangan
cairan dan elektrolit) yang menyebabkan gangguan perfusi.

Cedera Inhalasi
Cedera inhalasi merupakan suatu bentuk gangguan yang terjadi pada saluran
pernapasan. Cedera inhalasi ini sendiri merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan mukosa saluran napas akibat adanya paparan terhadap suatu iritan dan
menimbulkan manifestasi klinik berupa distress pernapasan. Reaksi yang timbul antara lain:
inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran nafas. Iritan yang dimaksud
disini jarang berupa kontak langsung dengan sumber panas, karena pada keadaan normal
terjadi reflek fisiologis berupa menahan napas sebagai mekanisme pertahanan. Iritan yang
dimaksud adalah berupa produk toksik yang berasal dari sisa pembakaran yang tidak
sempurna (toxic fumes) atau zat kimia. Paparan tersebut biasanya terjadi pada kecelakaan
yang disebabkan oleh api atau zat kimia di ruang tertutup, atau korban dalam keadaan tidak
sadar.
Edema mukosa yang massif di saluran nafas bagian atas (di sekitar glottis)
menyebabkan obstruksi lumen, terjadi kurang dari 8 jam pasca cedera. Kondisi ini
menyebabkan sumbatan total saluran nafas bagian atas yang berkorelasi dengan tingginya
angka kematian.
Perubahan inflamatorik pada saluran napas bagian bawah terjadi lebih lambat.
Patofisiologi perubahan inflamatorik saluran napas dikaitkan dengan peran sitokin dan radikal
bebas yang melibatkan mukosa alveoli, susunan pembuluh darah kapiler perialveolar dan
parenkim paru yang mengakibatkan gangguan difusi oksigen (oxygen exchange). Kondisi ini
dikenal sebagai Acquired Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yang umumnya timbul
pada 4-5 hari pasca cedera termis dan memiliki prognosa sangat buruk. Pemberian oksigen
konsentrasi tinggi menyebabkan cedera reperfusi yang merupakan suatu bentuk stress
oksidasi dimana terjadi hepatisasi parenkim paru yang memperburuk prognosis.

Gangguan mekanisme bernapas


Adanya luka / skar yang melingkar di permukaan rongga thoraks (khususnya dinding
dada) menyebabkan gangguan ekspansi rongga thoraks pada proses respirasi, terutama
inspirasi. Dengan keterbatasan tersebut, volume inspirasi berkurang sehingga menyebabkan
18

gangguan secara tidak langsung pada proses oxygen exchange. Proses yang sama akan terjadi
dengan adanya cedera pada rangka tulang rongga thoraks, misalnya fraktur tulang-tulang iga
yang disebabkan cedera multiple.

Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi yang terjadi pada luka bakar disebabkan perubahan permeabilitas
kapiler, perubahan tekanan onkotik dan hidrostatik yang diikuti ekstravasasi cairan dengan
manifestasi hipovolemi dan penimbunan cairan di jaringan interstitial (edema).
Epitel tunika intima dari sel-sel endotel yang mengalami edema dan adanya
penambahan jarak interseluler, menyebabkan ekstravasasi cairan intravaskuler ke ruang
interstitial, termasuk protein plasma dan elektrolit. Keseimbangan tekanan onkotik dan
hidrostatik terganggu sehingga sirkulasi ke distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi
sel/jaringan organ. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas kapiler yang
hampir menyeluruh, penimbunan jaringan massif di ruang interstitial menyebabkan keadaan
hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit sehingga menimbulkan
ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan.kondisi ini
disebut syok.
Reaksi yang timbul akibat adanya gangguan pada system homeostasis tersebut adalah
vasokonstriksi pembuluh-pembuluh perifer. Sirkulasi dipertahankan melalui kompensasi
organ pemompa (jantung) untuk memenuhi kebutuhan perfusi organ-organ vital di tingkat
sentral (otak, jantung, paru). Manifestasi klinik yang ditemui saat ini adalah meningkatnya
aktifitas pernapasan (dengan gejala dan tanda nafas cepat dan dangkal), peningkatan aktifitas
jantung (dengan gejala dan tanda palpitasi, takikardi), gangguan sirkulasi otak (dengan gejala
dan tanda disorientasi, gelisah, penrunan kesadaran), serta manifestasi yang timbul akibat
adanya vasokonstriksi perifer (dengan gejala dan tanda penurunan suhu core dan permukaan,
penurunan produksi urin, gangguan system pencernaan).
Otak
Sel-sel otak mutlak memerlukan oksigen, dalam waktu 4 menit, sel-sel otak
dihadapkan pada kondisi hipoksia dan akan terjadi perubahan degeneratif dari berbagai
derajat (edema sampai atrofi seluler). Dengan demikian, sirkulasi otak merupakan prioritas
untuk dipertahankan pada keadaan hipovolemik.
Jantung
Sebagai alat pemompa, jantung melakukan kompensasi dengan meningkatkan
aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen. Mekanisme kompensasi
19

pertama adalah dengan meningkatkan frekuensi heart rate. Mekanisme kompensasi ini akan
terus berlangsung sampai kebutuhan sirkulasi (perfusi) terpenuhi.
Paru
Sebagai organ yang menyelenggarkan pertukaran karbondioksida dengan oksigen,
paru mengadakan kompensasi dengan meningkatkan frekuensi pernapasan. Mekanisme ini
menimbulkan hiperventilasi yang memiliki dampak terhadap metabolisme selular.
Hepar
Gangguan pada hepar menyebabkan gangguan pada proses metabolisme dan proses
detoksifikasi di hepar. Gangguan fungsi hepar tersebut dapat dilihat dari peningkatan kadar
serum transaminase (SGOT dan SGPT), peningkatan kadar enzim alkali fosfatase, gamma
globulin transferase (gamma GT) dan perubahan kadar bilirubin. Peningkatan kadar glukosa
dalam darah selain mencerminkan gangguan fungsi hepar juga menggambarkan adanya stress
metabolisme fase awal, sebelum kadar kortisol dan katekolamin menunjukkan peningkatan.
Pada fase akut ini terjadi hipometabolisme.
Saluran Cerna
Sirkulasi mesenterial mengambil 20-25% cardiac output. Penurunan aliran
mesenterial selain mempengaruhi hepar juga mempengaruhi gaster, duodenum, usus halus,
dan usus besar. Gangguan perfusi menyebabkan iskemia mukosa saluran cerna yang
mengakibatkan gangguan integritas mukosa dan vili yang menyebabkan disrupsi mukosa
awalnya berupa suatu erosi mukosa yang pada keadaan lebih lanjut dapat terjadi artrofi. Erosi
biasanya terjadi permukaan (superfisial) sampai ke tunika adventisia usus. Manifestasi klinis
yang dapat dijumpai akibat gangguan integritas tersebut antara lain: perdarahan (stress ulcer,
curling’s ulcer), gangguan motilitas saluran cerna (ileus), dan translokasi bakteri. Iskemi pada
saluran cerna juga merupakan stimulant dilepaskannya sitokin dan radikal bebas, dan faktor
depresan miokard yang memperburuk kerja jantung.
Renal
Terjadi penurunan aliran darah renal yang menyebabkan keadaan iskemia renalis.
Manifestasi klinis yang tampak adalah penurunan ekskresi urin mulai dari oliguri sampai
anuri. Hipoksia parenkim ginjal merupakan stimulasi dilepaskannya rennin dan angiotensin
oleh sel-sel juxtaglomerulus renalis yang merangsang hormone antidiuretik (ADH) dan
kelenjar suprarenal memproduksi hormone kortisol dan glukagon. Rangkaian selanjutnya
adalah rangsangan pada hipofisis posterior untuk melepaskan hormone adenokortikotropik
(ACTH) yang merupakan stimulant bagi sistim saraf parasimpatik dan saraf simpatik.
20

Seluler
Gangguan perfusi menyebabkan perubahan integritas sel yang mengakibatkan
gangguan metabolisme intraseluler. Awalnya terjadi metabolisme anaerob yang kemudian
menyebabkan peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat yang menimbulkan asidosis.
Dengan gangguan sirkulasi dan perfusi yang ada, sulit untuk mempertahankan kelangsungan
hidup sel, sehingga iskemia jaringan akan berakhir dengan nekrosis.
Kompensasi yang dilakukan oleh organ-organ sistemik ini sangat terbatas dan suatu
saat akan mencapai batas maksimal. Jika kebutuhan belum terpenuhi, maka akan terjadi
dekompensasi dan disfungsi organ. Hal ini sangat bergantung dengan waktu iskemia masing-
masing organ. Kegagalan fungsi organ-organ tersebut tidak terlepas dari peran mediator-
mediator inflamasi. Reaksi ini disebut sebagai Systemic Inflammation Response Syndrome
(SIRS) dan kondisi klinis yang terlihat disebut sebagai Multisystem Organ Disfunction
(MOD) yang akan berakhir sebagai Multisystem Organ Failure (MOF). Proses ini dapat
berakhir pada kematian.

b. Fase subakut / fase setelah shock berakhir / diatasi


Fase ini berlangsung setelah shock berakhir atau dapat diatasi. Luka terbuka
akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya) yang kemudian dapat
menimbulkan masalah-masalah, antara lain :
 Proses inflamasi.
Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan luka sayat elektif;
proses inflamasi disini terjadi lebih hebat disertai eksudasi dan kebocoran
protein. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian berkembang
menjadi reaksi sistemik dengan dilepasnya zat-zat yang berhubungan dengan
proses imunologik, yaitu kompleks lipoprotein (lipid protein complex, burn
toxin) yang menginduksi respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammation
Response Syndrome—SIRS).
 Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis.
 Proses penguapan cairan tubuh disertai panas / energy (evaporative heat loss)
yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme.
c. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadinya maturasi.
Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut
21

hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan atau
organ-organ struktural (misal: bouttonierre deformity).
Fase ketiga atau fase lanjut tersebut diatas kemudian dibedakan lagi menjadi
fase lanjut dan fase sangat lanjut. Pada fase lanjut terdapat jaringan granulasi yang
memerlukan penutupan kulit (skin grafting, sebelumnya dianggap sebagai bagian dari
fase subakut oleh Dimick). Sedangkan fase sangat lanjut adalah fase dimana terjadi
penyulit berupa masalah parut hipertrofik dan kontraktur.

3.4 Pembagian Zona Kerusakan Jaringan


 Zona koagulasi
Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi Protein) akibat pengaruh panas.
 Zona statis
Suatu daerah yang berada di luar Zona koagulasi, pada daerah ini terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah, trombosit, dan lekosit, sehingga terjadi gangguan perfusi
jaringan (no flow phenomena), diikuti perubahan perubahan permeabilitas kapiler dan
respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan
mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
 Zona hiperemi
Daerah di luar zona stasis dimana terjadi vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi
seluler. Tergantung pada keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat
mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.

Gambar 2. Zona Kerusakan Jaringan Akibat Luka Bakar


22

3.5 Klasifikasi luka bakar


Klasifikasi luka bakar dapat dibagi berdasarkan penyebab dan kedalaman kerusakan
jaringan yang perlu dicantumkan didalam diagnosis, yaitu :
a. Berdasarkan penyebab
Luka bakar dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain :
1) Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)
 Gas (mis. luka bakar karena api)
 Cairan (mis. luka bakar karena air panas)
 Bahan padat (solid)
2) Luka bakar bahan kimia (chemical burn)
 Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat asam kuat
 Luka bakar karena bahan kimia yang bersifat basa kuat
3) Luka bakar sengatan listrik atau petir (electrical burn)
4) Luka bakar radiasi (radiation injury)
5) Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite)
b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan
Pembagian tersebut didasarkan pada sejauh mana luka bakar menyebabkan
perlukaan pada epidermis, dermis atau lapisan subcutaneous dari kulit. Kedalaman
luka yang ditimbulkan bergantung pada sumber, penyebab dan lama kontak sumber
panas dengan tubuh penderita. Pada zaman dahulu Dupuytnen membagi kedalaman ini
hingga 6 tingkatan, namun saat ini hanya dibagi menjadi 3 derajat kedalaman,
kedalaman tersebut dibagi menjadi:
1. Luka Bakar Derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial). Ditandai dengan kulit
kering, berwarna kemerahan berupa eritem. Tidak dijumpai bulae. Terasa nyeri
akibat ujung saraf sensoris yang teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam waktu 5-10 hari.

Gambar 3. Luka Bakar Derajat I


23

2. Luka Bakar Derajat II


Terjadinya kerusakan pada epidermis dan sebagian dermis berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi. Ditandai dengan timbulnya bulae. Terasa nyeri
akibat ujung saraf sensoris yang teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat,
sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal. Dalam fase penyembuhan akan
tampak daerah bintik-bintik biru dari kelenjar keringat dan akar rambut.

Gambar 4. Luka ini digolongkan ke


dalam luka bakar derajat dua, karena
epidermis berada diatas luka dan
terdapat bulae

Derajat 2 ini dibagi menjadi :


1. Derajat II-A superficial: Dapat sembuh secara spontan dalam 2 minggu (10-14
hari) tanpa terdapat sikatrik. Kerusakan mengenai bagian epidermis dan
lapisan atas dari corium dermis. Folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
keringat masih utuh.
2. Derajat II-B dalam: Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis. Organ
kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar keringat sebagian
besar masih utuh. Penyembuhan lebih lama dari derajat II-A tergantung pada
jumlah epitel yang masih tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu
lebih dari 1 bulan disertai jaringan parut dan hipertrofi.

Gambar 5. Luka bakar derajat dua dalam, luka berwarna merah muda, lunak pada
penekanan, dan tampak basah
24

3. Luka Bakar Derajat III


Kerusakan seluruh lapisan dermis atau lebih dalam mencapai jaringan
subkutan, otot dan tulang. Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan
kelenjar keringat mengalami kerusakan. Tidak ada bula, dan tidak terasa nyeri dan
hilang sensasi akibat ujung-ujung saraf sensoris mengalami kerusakan / kematian.
Kulit yang terbakar berwarna putih atau abu-abu pucat karena koagulasi protein
pada dermis. Dermis yang terbakar kemudian dapat mengering dan menciut,
letaknya lebih rendah dibandingkan dengan kulit sekitar dan dikenal sebagai
eskar. Bila eskar melingkar akan menekan arteri, vena, saraf perifer, yang pertama
tertekan biasanya syaraf dengan gejala kesemutan. Setelah minggu kedua eskar
mulai lepas karena lesi diperbatas dengan jaringan sehat kemudian tampak
jaringan granulasi dan memerlukan penutupan dengan skin graft. Bila granulasi
dibiarkan, akan menebal dan berakhir dengan jaringan parut yang tebal dan
menyempit yang biasa disebut kontraktur. Proses penyembuhan tersebut terjadi
lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dasar luka.

Gambar 6. Luka bakar derajat tiga


25

Gambar 7. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman luka

Tabel 1. Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalaman luka


Klasifikasi Lapisan Penyebab Penampakan Sensasi Healing Jaringan
Kulit yang luar Time parut
terkena
Luka bakar Epidermal Sinar UV, paparan Kering dan merah; Nyeri 3 – 6 hari Tidak terjadi
dangkal nyala api memucat dengan jaringan parut
(superficial penekanan
burn)
Luka bakar Epidermal dan Cairan atau uap Gelembung berisi Nyeri bila 7-20 hari Umumnya tidak
sebagian dangkal bagian atas panas (tumpahan cairan, berkeringat, terpapar terjadi jaringan
(superficial lapisan dermal atau percikan), merah; memucat udara dan parut; potensial
partial-thickness paparan nyala api dengan penekanan panas untuk perubahan
burn) pigmen
Luka bakar Epidermal dan Cairan atau uap Gelembung berisi Terasa >21 hari Hipertrofi, berisiko
sebagian dalam dermal panas (tumpahan), cairan (rapuh); basah dengan untuk kontraktur
(deep partial- api, minyak panas atau kering berminyak, penekanan (kekakuan akibat
thickness berwarna dari putih saja jaringan parut yang
burn) sampai merah; tidak berlebih)
memucat dengan
penekanan

Luka bakar Epidermal, Cairan atau uap Putih berminyak Terasa Tidak Risiko sangat
seluruh lapisan dermal, dan panas, api, sampai abu-abu dan hanya dapat tinggi untuk terjadi
(full thickness jaringan minyak, bahan kehitaman; kering dan dengan sembuh kontraktur
burn) subkutan kimia, listrik tidak elastis; tidak penekanan
tegangan tinggi memucat dengan yang kuat
penekanan
26

3.6 Luas Luka Bakar


Luas luka bakar dan lokasi luka pada tubuh diukur dengan presentase. Pengukuran ini
disebut rule of nines. Luka bakar yang ada dihitung dan dijumlahkan sesuai dengan regio
yang terkena, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong,
ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan,
serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Pada bayi dan anak dilakukan beberapa modifikasi karena perbandingan luas
permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda. Pengukuran tersebut dikenal sebagai rumus 10
untuk bayi dan rumus 10-15-20 untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan
dan belakang masing-masing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%,
ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%.

Gambar 8. Rumus – rumus perhitungan luas luka bakar

Hanya luka bakar derajat dua dan tigalah yang dihitung menggunakan rumus rule of
nine, sementara luka bakar derajat satu tidak dimasukkan sebab permukaan kulit relative
bagus sehingga fungsi kulit sebagai regulasi cairan dan suhu masih baik.
3.7 Berat-Ringannya Luka Bakar
Menurut American Burn Assosiation untuk membagi ke dalam berat ringannya luka
bakar, maka hal yang harus dipertimbangkan antara lain sebagai berikut :
1. Luas luka bakar
2. Kedalaman luka bakar
3. Umur Penderita luka bakar
27

4. Trauma yang menyertai atau bersamaan dengan luka bakar


Berdasarkan penjelasan diatas, maka berat ringannya luka bakar diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Berat dan Kritis
1. Derajat II > 20% pada anak, >25% pada dewasa
2. Derajat III > 10 %
3. Derajat III pada tangan, kaki atau wajah
4. Luka Bakar disertai trauma jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar
5. Disertai trauma lainnya seperti trauma jaringan lunak luas atau fraktur
6. Luka Bakar akibat listrik.
2. Sedang
1. Derajat II dengan luas 10-20% pada anak, 15-25% pada dewasa
2. Derajat III < 10 %, yang tidak mengenai kaki, tangan atau wajah.
3. Ringan
1. Derajat II < 10% pada anak, <15% pada dewasa
2. Derajat III < 1%.
Penentuan berat-ringan luka bakar ini ditujukan untuk kepentingan prognosis, yang
berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas.

3.8 Penatalaksanaan Luka bakar


Penatalaksanaan pada kasus luka bakar dibedakan berdasarkan berbagai hal, yaitu:
 Berdasarkan penyebab
 Berdasarkan berat-ringannya luka bakar
 Tindakan awal dan tindakan lanjut
Secara sistematik dapat dilakukan 6C : Clothing, Cooling, Cleaning,
Chemoprophylaxis, Covering dan Comforting (contoh: pengurang nyeri). Untuk pertolongan
pertama dapat dilakukan langkah clothing dan cooling, baru selanjutnya dilakukan pada
fasilitas kesehatan.

3.8.1 Penatalaksanaan Awal


Berikut adalah beberapa prinsip dalam penatalaksanaan luka bakar secara umum,
antara lain :
a. Hentikan proses kombusio dan Clothing
28

Tindakan pertolongan yang pertama dan utama dalam kasus luka bakar adalah
menghentikan kontak dengan sumber panas; tindakan ini akan mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih parah. Tindakan yang perlu dilakukan, antara lain:
 Bila sumber panas adalah api, segera hentikan proses kombusio dengan air atau
bahan yang tidak mudah terbakar (karung basah, handuk basah, dsb).
 Pakaian (khususnya yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar seperti nilon,
tetoron, dsb) segera dilepaskan sebagai upaya menghentikan kontak tubuh dengan
sumber panas. Bahan pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka
dibiarkan untuk sampai pada fase cleaning.
 Bila penyebab luka bakar tersebut adalah listrik, segera putuskan aliran listrik.

b. Upaya mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah (Cooling)


 Apapun penyebab luka bakar, segera netralisir suhu tinggi dengan upaya
menurunkan suhu dengan cara mendinginkannya dengan menggunakan kompres
air dingin atau air mengalir selama 15-20 menit. Hindari hipotermia (penurunan
suhu di bawah normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif sampai
dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar.
 Kompres dengan air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa
dingin) sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi.
 Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut
(vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko
hipotermia.
 Tidak benar melakukan pertolongan dengan memberikan minyak, margarine, kopi,
dsb karena akan menimbulkan reaksi dengan jaringan yang menambah derajat
kerusakan jaringan yang menambah derajat kerusakan jaringan, termasuk infeksi.
 Bila penyebabnya zat kimia, ada ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu : luka
bakar yang bersifat asam kuat jangan diatasi dengan pemberian zat kimia yang
bersifat basa karena akan timbul reaksi yang justru akan memperberat kerusakan.
Hal yang harus dilakukan adalah menetralisir dengan air.
c. Segera pindahkan penderita dari ruang tertutup ke ruang terbuka atau ruangan yang
memiliki ventilasi yang baik.
29

3.8.2 Penatalaksanaan Lanjutan


Setelah penatalaksanaan awal dilakukan, maka seterusnya dapat dilakukan
penatalaksanaan lanjutan yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan.
a. Cleaning : pembersihan luka tergantung dari derajat berat luka bakar, kriteria minor
cukup dilakukan dengan zat anastesi lokal, sedangkan untuk kriteria moderate sampai
major dilakukan dengan anastesi umum di ruang operasi untuk mengurangi rasa sakit.
Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses penyembuhan akan lebih cepat
dan risiko infeksi berkurang.
b. Chemoprophylaxis : pemberian anti tetanus, dapat diberikan pada luka yang lebih
dalam dari superficial partial thickness. Pemberian krim silver sulvadiazin untuk
penanganan infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh
diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir, ibu
menyusui dengan bayi kurang dari 2 bulan.
c. Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan derajat luka
bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa atau bahan lainnya.
Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan) bertujuan untuk mengurangi
pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya lapisan kulit akibat luka bakar.
Jangan berikan mentega, minyak, oli atau larutan lainnya, akan menghambat
penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.
d. Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.
Dapat diberikan penghilang nyeri berupa :
 Paracetamol dan codein (PO-per oral)- 20-30mg/kg
 Morphine (IV-intra vena) 0,1mg/kg diberikan dengan dosis titrasi bolus
 Morphine (I.M-intramuskular) 0,2mg/kg

3.8.3 Penilaian ABC


Airway and breathing
Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwarna jelaga
(black sputum), gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak pada wajah. Luka
bakar pada daerah orofaring dan leher membutuhkan tatalaksana intubasi (pemasangan
pipa saluran napas ke dalam trakea/batang tenggorok) untuk menjaga jalan napas yang
adekuat/tetap terbuka. Intubasi dilakukan di fasilitas kesehatan yang lengkap.

Circulation
30

Penilaian terhadap keadaan cairan harus dilakukan. Pastikan luas luka bakar
untuk perhitungan pemberian cairan. Pemberian cairan intravena (melalui infus)
diberikan bila luas luka bakar >10%. Bila kurang dari itu dapat diberikan cairan
melalui mulut. Cairan merupakan komponen penting karena pada luka bakar terjadi
kehilangan cairan baik melalui penguapan karena kulit yang berfungsi sebagai
proteksi sudah rusak dan mekanisme dimana terjadi perembesan cairan dari pembuluh
darah ke jaringan sekitar pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya
pembengkakan (edema). Bila hal ini terjadi dalam jumlah yang banyak dan tidak
tergantikan maka volume cairan dalam pembuluh darah dapat berkurang dan
mengakibatkan kekurangan cairan yang berat dan mengganggu fungsi organ-organ
tubuh.

Pemberian cairan intravena


Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m2 pada anak baru lahir
sampai 1m2 pada orang dewasa. Apabila kulit terbakar atau terpajan suhu tinggi, pembuluh
kapiler dibawahnya, area sekitarnya dan area yang jauh sekali pun akan rusak dan
menyebabkan permeabilitasnya meningkat. Terjadilah kebocoran cairan intrakapiler ke
interstisial sehingga terjadi oedem dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Rusaknya
kulit akibat luka bakar akan mengakibatkan hilangnya fungsi kulit sebagai barier dan penahan
penguapan.
Kedua penyebab di atas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan
intravaskular. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok
hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil
dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi
perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam.
Indikasi terapi cairan pada penderita luka bakar yaitu luka bakar derajat 2 atau 3
dengan luas luka >25% dan pasien yang tidak dapat minum untuk memenuhi kebutuhan
cairannya dan dihentikan apabila intake oral dapat menggantikan parenteral.
Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada penatalaksanaan kasus luka
bakar. Tindakan ini ditujukan untuk melakukan koreksi syok hipovolemik yang terjadi akibat
ekstravasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan intersisiel. Dalam melakukan resusitasi pada
luka bakar beberapa hal yang menentukan keberhasilan, antara lain :
- Penentuan derajat dan luas luka bakar
31

- Mengukur berat badan pasien


- Pemberian cairan, jumlah cairan, jenis cairan, dan pemantauan yang dilakukan
- Informasi mengenai fungsi organ-organ penting seperti ginjal, paru, jantung, hati.
- Penggunaan obat-obat yang rasional

3.8.4 Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama


Bila dijumpai syok, atasi syok (hipovolemi) dengan pemberian cairan. Syok terjadi
bila tubuh kehilangan cairan 25-30% dari jumlah total cairan tubuh. Bila seseorang dengan
berat badan 70 kg (jumlah cairan ±5 liter) mengalami syok, maka cairan yang hilang (dalam
hal ini keluar ke jaringan intersisiel) minimal 1,25-1,5 liter. Untuk mengganti cairan yang
hilang tersebut, diperlukan cairan dan elektrolit (kristaloid) sebanyak 3 (tiga) kali jumlah
cairan yang hilang (±3,75-4,5 liter). Cairan yang diberikan untuk mengatasi syok diberikan
dalam waktu sesingkat-singkatnya melalui beberapa iv line.
Setelah syok diatasi, pemberian cairan dilanjutkan berdasarkan regimen pemberian
cairan yang ada. Terdapat dua pedoman yang dianut beberapa tahun terakhir, yaitu:

a) Regimen (formula) Evans-Brooke


Cairan yang diberikan adalah larutan fisiologis, koloid dan glukosa. Ketiga jenis cairan
ini diberikan dalam dua puluh empat jam pertama. Dasar pemikirannya adalah bahwa
pada luka bakar, dijumpai anemi daan kehilangan energi; yang mempengaruhi proses
penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah dan asupan energi dalam bentuk glukosa.
Jumlah cairan diberkan dengan memperhitungkan luas permukaan luka bakar dan berat
badan pasien (dalam kilogram).

Formula Evans Formula Brooke


1 ml/KgBB/%LB darah (koloid) 0,5 ml/KgBB/%LB darah (koloid)
1 ml/KgBB/%LB larutan salin 0,5 ml/KgBB/%LB larutan salin
(elektrolit) (elektrolit)
2000 ml glukosa 2000 ml glukosa

b) Regimen (formula) Baxter (Parkland)


Menurut Baxter (Parkland) pada kondisi syok yang dibutuhkan adalah mengganti cairan,
dan cairan yang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit). Sehingga
32

rumus ini hanya mengandalkan larutan ringer lactate. Dan ternyata pemberian ringer
lactate ini sudah mencukupi, bahkan mengurangi kebutuhan akan transfusi.

4 ml / KgBB/%LB Ringer Lactate

Untuk mencegah overload yang memberatkan beban jantung dan ginjal, pemberian
cairan pada luka bakar yang mengenai >50% luas permukaan tubuh; dianggap sebagai 50%.
Pada hari pertama, separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam kemudian. Pemberian cairan tersebut dilakukan dengan pemantauan
yang dilakukan untuk menilai sirkulasi, antara lain :
o Jumlah produksi urin 25 – 50 ml/jam (0,5 – 1 ml/KgBB/jam) dipantau melalui kateter
o Bila produksi urin < 0,5 ml/Kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan
ditingkatkan 50% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya.
o Bila produksi urin > 1 ml/Kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan
dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya.
o Central Venous Pressure dipertahankan antara (+2 cmH2O)
o Pemeriksaan darah perifer lengkap. Komposisi nilai hemoglobin dan hematokrit darah,
yang menggambarkan hemokonsentrasi (cairan yang diberikan kurang) atau
hemodilusi (kelebihan cairan). Nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ini harus
dikonfirmasi pula dengan nilai leukosit dan trombosit; karena pada umumnya terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah, yang menyebabkan perlekatan komponen-
komponen darah tersebut pada dinding vaskuler. Pemeriksaan Hb, Ht dilakukan tiap 8
jam pada 2 hari pertama, dan tiap 2 hari pada 10 hari selanjutnya
o Pemeriksaan BGA bila nafas lebih dari 32x/menit
o Pemeriksaan laboratorium lainnya yang diperlukan seperti :
o Fungsi metabolisme : kadar glukosa darah, kortisol, asam laktat
o Fungsi hati dan ginjal tiap minggu
o Pemeriksaan elektrolit tiap hari pada minggu pertama
o Urinalisis seperti berat jenis urin, pH, dan sedimen
o Mikrobiologi : Kultur jaringan pada hari ke-1, 3, 7.
Pada hari kedua, jumlah cairan yang diberikan sebanyak ½ dari jumlah cairan yang
diberikan pada hari pertama dan diberikan merata dalam 24 jam. Selanjutnya pada hari ketiga
dapat diberikan ½ jumlah cairan hari kedua. Namun jika diuresis pada hari ketiga memuaskan
33

dan penderita dapat minum tanpa kesulitan, infus dapat dikurangi dan diberikan hanya sesuai
dengan kebutuhan cairan harian, atau bahkan dapat dihentikan.
Pada hari kedua, cairan yang mengandung glukosa, koloid atau plasma dapat
diberikan. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24 jam. Jenis cairan yang diberikan pada
hari kedua :
o Glukosa 5% atau 10%, 1500 – 2000 ml
o Koloid / plasma
% luas luka bakar Kebutuhan plasma (ml)
pada BB 70 Kg
20 – 40 0 – 500
40 – 60 500 – 1700
60 – 80 1000 – 3000
> 80 1500 – 3500
Untuk berat badan 50 kg diperlukan konversi

o Dextran 70, albumin, atau Haes 10% (plasma expander)


Catatan :
Pemberian koloid/plasma, menyebabkan penarikan cairan dari jaringan intersisiel ke
intravaskuler. Peningkatan volume intravaskuler dengan sendirinya meningkat (dipantau
melalui peningkatan CVP, preload jantung meningkat), sehingga harus diyakini bahwa
jantung dan ginjal dalam keadaan baik.
Pemantauan produksi urin :
 Bila produksi urin < 1 ml/Kg/jam dan CVP meningkat >5 cmH2O, berikan furosemid
dan dopamine dosis renal (2 µg/kg/menit).
 Bila pada pemeriksaan urinalisis dijumpai pigmen, berikan manitol per infuse 0,5
mg/kg.

3.8.5 Penatalaksanaan setelah 48 jam


Pada saat ini gangguan sirkulasi teratasi dan berada dalam kondisi terkompensasi.
masalah yang dijumpai pada saat ini ada 2, yaitu:
1. Fungsi ginjal baik
a. Cairan dari jaringan intersisiel ditarik kembali ke intravaskuler akan
dikeluarkan melalui urin.
34

b. Pada kondisi cairan intersisiel tidak ditarik kembali (karena tekanan hidrostatik
dan onkotik belum kembali normal), penarikan cairan ke intravaskuler dapat
diupayakan dengan pemberian cairan yang memeiliki osmolaritas tinggi seperti
NaCl 3%, manitol, dextrose 10% atau fresh frozen plasma (FFP).
c. Pada kondisi cairan intravaskuler meningkat akibat penarikan cairan dari
jaringan intersisiel, diupayakan meningkatkan diuresis dengan pemberian
furosemid.
i. Peningkatan CVP (>10 cmH2O)
ii. Kadar albumin darah > 2,5 g/dl
iii. Kadar ureum dan kreatinin darah dalam batas normal
2. Fungsi ginjal tidak baik
a. Kondisi ini terjadi akibat iskemi ginjal pada fase syok, biasanya bersifat
irreversibel.
b. Cairan dari jaringan intersisiel yang ditarik kembali ke rongga intravaskuler
tidak dapat dikeluarkan (overloaded) dan menyebabkan edema paru.
c. Pada kondisi cairan intravaskuler meningkat akibat penarikan cairan dari
jaringan intersisiel, upaya meningkatkan diuresis dengan pemberian furosemid
tidak dapat dilakukan; edema paru merupakan ancaman dengan angka
mortalitas tinggi; dalam hal ini tindakan hemodialisa perlu dipertimbangkan.

3.8.6 Tindakan Bedah


Pemotongan eskar atau eskarotomi dilakukan pada luka bakar derajat tiga yang
melingkar pada ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dan pembengkakan yang
terus berlangsung dapat mengakibatkan penyempitan yang membahayakan sirkulasi sehingga
bagian distal bisa mati. Tanda dini penyempitan adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa
sampai kebas pada ujung-ujung distal. Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat
irisan memanjang yang membuka keropeng sampai jepitan terlepas.
Debridemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati dengan jalan
eksisi tangensial. Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah keadaan penderita menjadi
stabil karena eksisi tangensial juga menyebabkan perdarahan. Biasanya eksisi dini ini
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan pasti boleh dilakukan pada hari ke-10. Eksisi
tangensial sebaiknya tidak dilakukan lebih dari 10% luas permukaan tubuh, karena dapat
terjadi perdarahan yang cukup banyak. Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi
dapat ditutup dengan skin graft yang umumnya diambil dari kulit penderita sendiri (skin
35

grafting autologus). Penutupan luka bakar dengan bahan biologis seperti kulit mayat atau kulit
binatang atau amnion manusia dapat dilakukan jika terdapat keterbatasan luas kulit penderita
atau terlalu payah. Walaupun kemungkinan ditolak, bahan tersebut dapat berfungsi sementara
sebagai penghalang penguapan berlebihan, pencegah infeksi yang lebih parah, dan
mengurangi nyeri. Namun, sedikit demi sedikit penutup sementara ini harus diganti dengan
kulit penderita sendiri sebagai penutup permanen.
Sebaiknya pada penderita luka bakar derajat dua dalam dan derajat tiga dilakukan skin
grafting untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang hipertropik. Skin grafting
dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh, yaitu sebelum timbulnya jaringan granulasi.
Saat ini telah banyak terdapat material pengganti kulit (skin subtitute) yang dapat
digunakan jika skin grafting tidak bisa dilakukan. Skin subtitute ini antara lain integra,
aloderm, dan dermagraft. Aloderm adalah dermis manusia yang elemen-elemen epitelnya
telah dibuang sehingga secara teoritis bersifat bebas antigen, dan berfungsi sebagai kerangka
pengganti dermis. Dermagraft merupakan hasil pembiakan fibroblas neonatus yang digabung
dengan membran silikon, kolagen babi, dan jaring (mesh) nilon. Setelah dua minggu,
membran silikon dikelupas dan digantikan dengan STTG (split thickness skin graft). Integra
merupakan analog dermis yang terbuat dari lapisan kolagen dan kondroitin ditambah lapisan
silikon tipis.

3.8.7 Nutrisi
Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan keseimbangan
nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu sebanyak 2.500-3.000 kalori sehari dengan
kadar protein tinggi. Kalau perlu makanan diberikan melalui pipa lambung atau ditambah
dengan nutrisi parenteral.

3.8.8 Fisioterapi
Penderita yang sudah mulai stabil keadaannya memerlukan fisioterapi untuk
memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Kalau perlu, sendi
diistirahatkan dalam posisi fungsional dengan bidai.

3.8.9 Medikamentosa
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit
diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
36

Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab
infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi
kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi
nosokomial biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari
kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif.
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas
dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim
penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk
nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang bayak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering
dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik;
akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan
trombosis.
Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang banyak
dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap pseudomonas. Bila ada infeksi,
antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji kepekaan kuman.
Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui intravena dalam dosis
serendah mungkin yang bisa menghasilkan analgesia yang adekuat namun tanpa disertai
hipotensi. Selanjutnya, diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.
Luka bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupa kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan sembuh sendiri, asal dijaga
supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak karena infeksi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pencegahan infeksi. Pada luka lebih dalam, perlu diusahakan secepat mungkin
membuang jaringan kulit yang mati dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi
sampai mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka
atau tertutup.
Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti golongan silver sulfadiazine dan yang
terbaru MEBO (moist exposure burn ointment). Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk
larutan, salep atau krim. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle).
37

Antiseptik yang dipakai adalah yodium povidon atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-
argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman.
Obat ini mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna hitam sehingga
mengotori semua kain. Krim silver sulfadiazine 1% sangat berguna karena bersifat
bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak
menimbulkan resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat dibersihkan
dan diganti setiap hari.
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu
terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Kerugiannya, bila
digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur menjadi kotor. Penderita dan
keluarga pun merasa kurang enak karena melihat luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin
luka dibiarkan terbuka setelah diolesi obat.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan untuk
menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi tutupnya sedemikian rupa sehingga
masih cukup longgar untuk berlangsungnya penguapan. Keuntungan perawatan tertutup
adalah luka tampak rapi, terlindung, dan enak bagi penderita. Hanya, diperlukan tenaga dan
dan lebih banyak pembalut dan antiseptik. Kadang suasana luka yang lembap dan hangat
memungkinkan kuman untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada
luka, tetapi tidak berbau, sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi ditunggu sampai terlepas sendiri.

3.8.10 Penatalaksanaan luka bakar ringan


Luka bakar derajat I dan II yang tidak terlalu luas akan sembuh secara spontan
meskipun tanpa pengobatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Mengatasi rasa nyeri
 Kompres air dingin selama beberapa saat dalam upaya mencegah
kerusakansebagaimana dijelaskan sebelumnya yang juga merupakan tindakan
pertama mengatasi nyeri. Suhu yang rendah memberikan efek anestesi karena
terjadai vasokonstriksi. Pemberian preparat yang mengandung vehikulum jel
memberikan rasa nyaman (misalnya, bioplacenton); disamping zat aktif ekstrak
plasenta yang dikandungnya memacu proses epitelisasi dalam proses
penyembuhan dapat digunakan.
 Pemberian analgetik dalam berbagai golongan maupun bentuk sediaan (per oral,
injeksi atau suppositori).
38

b. Penatalaksanaan luka
 Luka bakar derajat I cukup dirawat dengan vaselin atau krim pelembab, tanpa
harus memberikan antibiotic. Tidak ada ketentuan melarang luka tidak boleh kena
air pada saat mandi. Dengan membersihkan kulit saat mandi, proses penyembuhan
akan berlangsung sebagaimana mestinya.
 Luka bakar derajat II superficial
o Luka bakar yang termasuk katagori ini ditandai dengan adanya bula. Bula
adalah epidermis yang terlepas dari dasarnya (dermis), merupakan suatu proses
epidermolisis, disertai akumulasi eksudat membentuk suatu gelembung. Bila
ukuran bula relative kecil, cukup dibiarkan dan akan mengalami penyembuhan
spontan. Bila menganggu, dilakukan aspirasi pada cairan bula tanpa melakukan
pembuangan lapisan epidermis yang menutupinya. Bila ukuran bula cukup luas
atau besar, lakukan insisi atatu aspirasi tanpa membuang lapisan epidermis.
Kemudian tutup dengan tulle dan kassa adsorben atatu hidrofil. Kadang
diperlukan pemberian antibiotic topical dalam bentuk sediaan krim. Kassa
yang kualitasnya kurang baik biasanya tidak memiliki efek hidrofilik yang baik
sehingga perlu dibasahi dan diperas sehingga cukup lembab (bukan basah) dan
dapat menyerap produksi eksudat. Balutan ini tidak perlu diganti bila tidak
jenuh atau tidak kotor, dalam waktu 5-7 hari biasanya epitel yang lepas dari
lapisan dermis sudah melekat kembali (sebagai graft). Bila tidak melekat, ia
bertindak sebagai sarana biological dressing yang memfasilitasi proses
epitelisasi jaringan di bawahnya. Dalam perawatan luka ini upayakan luka
tetap bersih dan tidak kena air selama 5-7 hari. Setelah kurun waktu tersebut
justru dengan mandi kulit akan bersih dan segar, sehingga proses
penyembuhan akan berjalan sebagaiman mestinya.
o Bagian tubuh terkena biasanya perlu diistirahatkan (immobilisasi) dalam
tenggang waktu tertentu untuk mempercepat proses penyembuhan.
o Dalam hal diet, tidak ada pantangan terhadap jenis makanan apapun; bahkan
diperlukan diet tinggi kalori dan tinggi protein ditambah dengan vitamin dan
mineral khususnya vitamin A, D, E, dan C, serta zinc (Zn).

3.8.11 Penatalaksanaan luka bakar sedang dan berat


Luka bakar sedang dan berat merupakan indikasi untuk dirawat dirujuk ke rumah
sakit yang memiliki fasilitas perawatan luka bakar dengan tim penanganan luka bakar terpadu,
39

ahli bedah plastik atau ahli ahli bedah yang terlatih menangani luka bakar. Luka bakar yang
mengenai tangan dan kaki memerlukan tidakan spesialistik, karena menyangkut fungsi.
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar yang termasuk katagori luka bakar sedang dan
berat paling sering adalah luka bakar karena api, lalu diikuti luka bakar karena air panas,
bahan kimia dan ledakan, listrik. Sedangkan menurut derajat keparahannya, secara berututan
adalah listrik, bahan kimia, api, minyak panas, dan yang paling akhir, air panas.
Prinsip penatalaksanaan luka bakar katagori sedang dan berat mengacu pada pola
penatalaksanaan traumatologi, berdasarkan prioritas ABC. Penatalaksanaannya dibedakan
pada penatalaksanaan awal segera setibanya di klnik atau pusat pelayanan masyarakat tempat
pertama kali pasien datang meminta pertolongan, penatalaksanaan rujukan dan
penatalaksanaan di rumah sakit.

3.9 Komplikasi
Luka bakar dapat memberikan komplikasi pada setiap fasenya. Antara lain :
- Fase Akut: syok, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Fase Subakut: infeksi dan sepsis
- Fase Lanjut: parut hipertropik

1. Syok hipovolemik
Akibat pertama dari luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh
kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada
di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas
menyebabkan udem dan menimbulkan bula dengan membawa serta elektrolit. Hal ini
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar
menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan yang
masuk ke bula pada luka bakar derajat II dan pengeluaran cairan dari kropeng pada luka bakar
derajat III .
Bila luas luka bakar < 20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasi tetapi bila > 20 % terjadi Syok hipovolemik dengan gejala yang khas seperti
gelisah, pucat, dingin , berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi
urin berkurang. Pembengkakan terjadi perlahan lahan dan maksimal pada delapan jam.

2. Oedem laring
40

Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka terjadi di muka,. Dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas , asap, uap panas yang terhisap, udem yang terjadi
dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas karena udem laring. Gejala yang
timbul adalah sesak napas, takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap karena
jelaga. Setelah 12 – 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi dan
penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah . ini ditandai dengan meningkatnya
diuresis.

3. Keracunan gas CO
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain. Karbon monoksida akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen.
Tanda-tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada
keracunan yang berat terjadi koma. Bila > 60 % hemoglobin terikat dengan CO, penderita
dapat meninggal.

4. SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)


Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium
yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit untuk
mengalami penyembuhan karena tidak terjangkau oleh pembuluh darah kapiler yang
mengalami trombosis. Kuman penyebab infeksi berasal dari kulitnya sendiri, juga dari
kontaminasi kuman dari saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial ini biasanya berbahaya karena banyak yang sudah resisten terhadap
antibiotik.
Prosesnya dimulai oleh aktivasi makrofag, netrofil, dan pelepasan mediator –
mediator, yang kemudian diikuti oleh :
1. Gangguan hemodinamik berupa vasodilatasi, depresi miokardium, gangguan sirkulasi
dan redistribusi aliran.
2. Perubahan mikrovaskuler karena endotel dan edema jaringan, mikroemboli, dan
maldigesti aliran.
3. Gangguan oksigenasi jaringan. Ketiganya menyebabkan hipoksia seluler dan
menyebabkan kegagalan fungsi organ. Yang ditandai dengan meningkatnya kadar
limfokin dan sitokin dalam darah.

5. MOF (Multi Organ Failure)


41

Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar menyebabkan gangguan


sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan perubahan metabolisme. Pada
tahap awal terjadi proses perubahan metabolisme anaerob yang diikuti peningkatan produksi
dan penimbunan asam laktat menimbulkan asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan
perfusi, sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemi jaringan akan berakhir
dengan nekrosis.
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan gangguan perfusi ke jaringan – jaringan
organ penting terutama otak, hepar, paru, jantung, ginjal, yang selanjutnya mengalami
kegagalan menjalankan fungsinya. Dalam mekanisme pertahanan tubuh, terjadi gangguan
pada sistem keseimbangan tubuh (homeostasis), maka organ yang dimaksud dalam hal ini
adalah ginjal. Dengan adanya penurunan atau disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
Resusitasi cairan yang inadekuat pada fase ini menyebabkan berjalannya proses
sebagaimana diuraikan diatas. Sebaliknya bila terjadi kelebihan pemberian cairan (overload)
sementara sirkulasi dan perifer tidak atau belum berjalan normal, atau pada kondisi syok;
cairan akan ditahan dalam jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak sebagai edema
paru yang menyebabkan kegagalan fungsi paru sebagai alat pernafasan, khususnya pertukaran
oksigen dengan karbondioksida, kadar oksigen dalam darah sangat rendah, dan jaringan
hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat irreversible. Sel – sel otak adalah organ yang
paling sensitive; bila dalam waktu 4 menit terjadi kondisi hipoksik, maka sel – sel otak
mengalami kerusakan dan kematian; yang menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di
tingkat sentral.
Sementara edema paru juga merupakan beban bagi jantung sebagai suatu pompa. Pada
mulanya jantung menjalankan mekanisme kompensasi, namun akhirnya terjadi dekompensasi.

6. Kontraktur
Kontraktur merupakan salah satu komplikasi dari penyembuhan luka, terutama luka
bakar. Kontraktur adalah jenis scar yang terbentuk dari sisa kulit yang sehat di sekitar luka,
yang tertarik ke sisi kulit yang terluka. Kontraktur yang terkena hingga lapisan otot dan
jaringan tendon dapat menyebabkan terbatasnya pergerakan.
Pada tahap penyembuhan luka, kontraksi akan terjadi pada hari ke-4 dimana proses ini
bersamaan dengan epitelisasi dan proses biokimia dan seluler dari penyembuhan luka.
Kontraktur fleksi dapat terjadi hanya karena kehilangan lapisan superfisial dari kulit.
Biasanya dengan dilakukan eksisi dari jaringan parut yang tidak elastik ini akan menyebabkan
sendi dapat ekstensi penuh kembali. Pada luka bakar yang lebih dalam, jaringan yang banyak
42

mengandung kolagen akan meliputi neurovascular bundles dan ensheathed flexor tendons, juga
permukaan volar dari sendi akan mengalami kontraksi atau perlekatan sehingga akan
membatasi range of motion. Kontraktur yang disebabkan oleh hilangnya kulit atau luka bakar
derajat III pada daerah persendian harus segera dilakukan skin grafting.
3.10 Indikasi Rawat Inap
Pasien luka bakar diindikasikan untuk rawat inap harus mengikuti pedoman dari
American Burn Association:
- Luka bakar derajat II : luas luka > 15% pada dewasa dan >10% pada anak/geriatri
- Luka bakar derajat III : luas luka > 2% pada dewasa dan setiap derajat III pada anak-
anak
- Luka bakar karena listrik atau kimia
- Luka bakar yang mengenai daerah muka, tangan, genital, perineal
- Luka bakar disertai dengan penyakit lain (DM, Hipertensi, dll) atau trauma atau cedera
inhalasi
3.11 Prognosis
Prognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan menyangkut
mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of outcome ; yang mana
bersifat bersifat kompleks. Prognosis luka bakar tergantung pada:
1. Derajat Luka Bakar
2. Luas Permukaan
3. Daerah yang terkena luka bakar seperti perineum, ketiak, leher, dan tangan lama
sembuh karena sulit perawatan dan mudah kontraktur.
4. Usia dan kesehatan pendertia
Hal yang dapat terjadi pada penderita luka bakar setelah mengalami suatu cedera luka
bakar diantaranya sebagai berikut :
1. Sembuh tanpa cacat/ bekas luka
Bila luka bakarnya hanya berupa eritema ataupun vesikel yang tanpa disertai
kerusakan jaringan bawah kulit, biasanya terjadi pada luka bakar derajat 1.
2. Sembuh dengan cacat/ bekas luka
Bila luka bakar tersebut disetai kerusakan seluruh tebal kulit dan kerusakan pada
jaringan bawah kulit. Biasanya terjadi pada luka bakar derajat 2-3.
3. Meninggal
Biasanya terjadi pada luka bakar derajat 3 dengan luas luka lebih dari 50% dan telah
mengalami kegagalan sistem pernafasan dan sirkulasi.
43

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Luka bakar merupakan luka yang terjadi akibat kontak langsung dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi
yang memerlukan tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal sampai fase
lanjut.
Luka bakar dangkal dan ringan (superfisial) dapat sembuh dengan cepat dan tidak
menimbulkan jaringan parut. Namun apabila luka bakarnya dalam dan luas, maka penanganan
memerlukan perawatan di fasilitas yang lengkap dan komplikasi semakin besar serta
kecacatan dapat terjadi.
Pada kasus luka bakar, harus diperhatikan berbagai aspek, karena pada kasus luka
bakar memerlukan biaya yang sangat besar, perlu perawatan yang lama, perlu operasi
berulang kali, bahkan meskipun sembuh bisa menimbulkan kecacatan yang menetap.
44

DAFTAR PUSTAKA

Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith’s Plastic Surgery. Lippincott Raven.
Philadelphia-New York. 1997. Ch: 19; p: 145.
Baue, A.E., Faist, E., Fry, E.D. Multiple Organ Failure, Pathophisiology, Prevention and
Therapy. Springer New York berlin, Heidelberg Barcelona Budapest Hongkong
London Milan Paris Santa Clara Singapore Tokyo. 2000.
Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I.
Jakarta: Universitas Indonesia. 1997. Hal: 48-50
Dimmick, AR. 1983. Burn and cold injury, in hardy’s textbook of surgery. Philadelphia : JB
Lippincott company. P.177
Fenlon S, Nene S. Burns in children. Continuing Education in Anasthesia, Critical
Care&Pain. British Journal of Anasthesia. 2007
Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Jakarta : Penerbit buku kedokteran
EGC.
Kartohadmojo S. Luka Bakar. Surabaya: Airlangga University Press. 2008. Hal: 3 14
Kvetan, V. 1998. The effect of pressor and inotopes on regulation of cytokine release in
shock. Crit. Care and Shock. 1 : 26-39
Mansjoer, Arif, dkk (editor); Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, edisi III – Luka Bakar;
Jakarta, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
Marzoeki, Djohansjah. Ilmu Bedah Luka dan Perawatannya, Airlangga University Press,
Surabaya 1993 : 10 - 19.
Moenadjat, Yefta. 2001. Luka Bakar – pengetahuan klinis praktis. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Muller et all. The challenge of burns. Lancet 1 : 22 94, vol 343, issue 8891, p216
Seolarto, dkk. Luka Bakar dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
1995. Hal: 435-439 15
Sjamsuhidajat, de Jong. Luka bakar dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed 3. Jakarta: penerbit
Buku Kedokteran EGC.2007. Hlm: 103-110.
Steven J. Schwults, J Perren Cobb. Wasington Manual Of Surgery, Ed 5. 2008. Hlm: 418-
425.

Anda mungkin juga menyukai