Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Mielitis Transversa (MT) merupakan sindrom klinis yang prosesnya dimediasi


oleh sistem imun yang menyebabkan cedera neural medula spinalis dan mengakibatkan
berbagai derajat disfungsi motorik, sensori, dan autonom1. Mielitis transversa jarang
terjadi, dengan insiden antara satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk
pertahun. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak
terjadi pada umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun2. Sekitar 20% kasus mielitis
transversus akut terjadi pada anak-anak3.
Kelainan neurologi pada mielitis transversa disebabkan oleh peradangan
sepanjang medulla spinalis yang melibatkan beberapa tingkat atau segmen dari medulla
spinalis. Suatu gangguan neurologi pada MT dikarena kan oleh kehilangan selubung
mielin pada medulla spinalis, disebut juga sebagai demielinisasi. Demielinisasi ini
muncul secara idiopatik menyertai infeksi atau vaksinisasi, atau disebabkan atau
berhubungan dengan penyakit lain, seperti multipel sclerosis dan sebagainya. Pada
mielitis transversa akut, onset terjadi tiba – tiba dan progresif dalam beberapa jam dan
atau beberapa hari. Lesi dapat terjadi di setiap bagian dari medulla spinalis meskipun
biasanya terbatas pada bagian kecil saja.1, 3
Kemajuan telah banyak dicapai dalam memahami etiologi dan pengobatan
mielitis transversal akut. Klasifikasi berdasarkan presentasi klinis, neuroimaging, dan
temuan cairan serebrospinal membantu diagnosis klinis sehingga mendapat hasil
pengobatan terbaik. Namun, walaupun dilakukan banyak pemeriksaan diagnostik,
banyak kasus dianggap idiopatik. Karena heterogenitas patogenesis, dan kesamaan
presentasi klinisnya dengan berbagai mielopati non inflammatory. Sehingga mielitis
transversal sering dipandang sebagai dilema diagnostik4, 5.
Banyak penyebab lain myelopathy dapat hadir dengan gambaran serupa.
Pemeriksaan awal dilakukan, terutama untuk diferensiasi berbagai klinis yang serupa
tersebut. Hasil tatalaksana optimal tergantung pada pengobatan yang diketahui
komplikasinya serta mempertimbangkan pengobatan sesuai pedoman klinis. Makalah

1
ini merangkum literatur yang diterbitkan saat ini tentang mielitis transversal akut pada
anak, termasuk epidemiologi, kriteria diagnostik, patogenesis, presentasi klinis,
evaluasi klinis, diagnosis banding serta gambaran pencitraan neuroimaging.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Mielitis Transversa (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu
area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik
akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik,
sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla
spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna
posterior, dan funikulus anterior.4, 5
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan
terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus
komplikasi mielitis transversa setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara
klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak.
Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal
sebagai mielitis transversa. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada
pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan3.

2.2. Epidemiologi

Di semua populasi usia, kejadian mielitis tranversl akut dilaporkan 1 sampai 8


kasus per juta orang di Amerika Serikat, mengakibatkan sekitar 1.400 kasus baru per
tahun yang didiagnosis di Amerika Serikat. Tiga puluh empat ribu orang dewasa dan
anak-anak memiliki cacat residual sekunder akibat mielitis transversal akut. Sekitar
20% Kasus mielitis transversa akut terjadi pada anak-anak6. Program Surveilans pada
anak-anak di Kanada melaporkan kejadian MT akut pada 2 kasus per satu juta anak-
anak7.

Ada 2 puncak kejadian anak-anak, antara 0 - 2 tahun dan 5 -17 tahun, dengan
usia kejadian tertinggi antara kelahiran dan 2 tahun, meskipun ini mungkin
mencerminkan bias pusat rujukan8. Suatu penelitian menunjukkan laki-laki sedikit

3
lebih dominan (laki-laki/perempuan = 1 /0,81)7. Namun, laporan penelitian pada anak-
anak di Kanada yang lebih baru dengan mielitis transversa akut menemukan sedikit
lebih dominan pada perempuan (1,2: 1) pada anak di bawah usia 10 tahun, dan 2,6: 1
untuk anak-anak di atas 10 tahun8. Kejadian ini serupa untuk populasi orang dewasa di
mana mielitis transversa sekunder, multiple sclerosis dan penyebab inflamasi lainnya
lebih sering terjadi pada wanita6.

2.3. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya Mielitis transversa tidak diketahui. Mielitis transversa
bisa terjadi akibat komplikasi dari penyakit sifilis, measles, beberapa vaksinasi seperti
chickenpox dan rabies. Mielitis transversa bisa terjadi secara idiopatik. Beberapa
infeksi seperti infeksi virus varicella zooster, herpes simplex, cytomegalovirus, Epstein
barr, influenza, echovirus, HIV, hepatitis A, rubella, dan schistosomiasis. Suplai darah
yang berkurang seperti pada penyakit vaskuler aterosklerosis yang menyebabkan
iskemik, sehingga terjadi penurunan suplai oksigen pada jaringan saraf bisa juga
menyebabkan Mielitis transversa.
Mielitis transversa juga dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik
seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang
berhubungan dengan gejala LES yang aktif3.

2.4. Patogenesis
a. Mielitis transversa akut post-vaksinasi

Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan
demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit T pada nerve
roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di
perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi
menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang
menjadi MT9.

4
b. Mielitis transversa akut Parainfeksi

Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversa , terdapat adanya keluhan


respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah
digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan
injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang
dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang
menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis ,
dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis.
Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di
medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai
akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada pada
organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada
suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.

c. Mimikri molekuler

Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf


sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter jejuni
dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan
saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2,
dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik,
juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar
lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam
serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat
komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat
terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi
sebelumnya9.

5
d. Microbial superantigen-mediated inflammation

Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu
dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan
peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan
berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah
diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan
eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur
yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti
antigen konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya
molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi
antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional.
Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon
limfosit T yang menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa
saat setelah aktivasi9.

Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan


mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan
selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan
superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen
memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan
autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus
menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan
ensefalomielitis diseminata akut dan mielopati nekrotikan ditemukan memiliki
superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan
protein dasar myelin9.

e. Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral,
dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”.
Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari

6
sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis.
Antibodi yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu
area di medulla spinalis9.

2.5. Manifestasi klinis

Gejala prodormal mielitis transversa akut pada anak didahului adanya penyakit
ringan dalam 3 minggu sebelum onset gejala10. Mielitis transversa dapat timbul berdiri
sendiri atau bersama-sama dengan penyakit lain. Mielitis transversa dikatakan akut bila
tanda dan gejala berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub
akut gejala klinis berkembang lebih dari 1–2 minggu. Gejala klinis mielitis transversa
berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45% pasien
mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam3, 5.
Diagnostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis
berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik, sensoris
dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun subakut. Inflamasi
di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan menyebabkan hadirnya simptom
umum dari mielitis transversa 4, 10.
Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif cepat,
dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan.
Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran keterlibatan
traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu kedua setelah onset
sakit8.
Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri dapat
timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan tanda awal yang
paling umum mielitis transversa pada orang dewasa dan tidak pada anak-anak. Sensasi
berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar pasien,
begitu pula nyeri dan suhu2.
Gejala otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia
urin dan alvi , pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Keterlibatan
sistem saraf sensoris dan otonom serta adanya disfungsi seksual juga sering

7
didapatkan. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling
parah dalam 10 hari sesudah onset dari awal munculnya gejala, walaupun perburukan
fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-
21 hari4

2.6. Diagnostik

Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun
kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit
lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis
dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi11. Kriteria diagnostik untuk Mielitis
Transversa Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Mielitis transversa11

Kriteria Inklusi
1. Terdapat danya disfungsi sensorik, motorik atau otonom yang berkembang,
disebabkan gangguan pada sumsum tulang belakang
2. Tanda atau gejala bilateral (meski tidak harus simetris)
3. Terdapat gangguan tingkat sensorik yang jelas
4. Penyebab kompresi tulang belakang dapat disingkirkan dari pemeriksaan neuroimaging
(MRI atau myelography; CT tulang belakang tidak memadai)
5. Peradangan di dalam sumsum tulang belakang yang ditunjukkan oleh pleositosis CSF
atau peningkatan indeks IgG atau peningkatan gadolinium. Jika tidak ada kriteria
inflamasi yang terpenuhi pada onset gejala, ulangi evaluasi MRI dan LP antara 2 dan 7
hari setelah onset gejala memenuhi kriteria.
6. Progresifitas penyakit terjadi antara 4 jam dan 21 hari setelah onset gejala (jika
penderita terbangun dengan gejala, gejala harus menjadi lebih terasa dari titik bangun)
Kriteria eklusi
1. Riwayat radiasi pada tulang belakang dalam 10 tahun terakhir sebelumnya
2. Terdapat defisit klinis distribusi arteri yang jelas sesuai dengan trombosis arteri spinal
anterior
3. Gangguan aliran abnormal pada permukaan sumsum tulang belakang yang sesuai
dengan AVM
4. Bukti serologis atau klinis penyakit jaringan ikat (sarcoidosis, penyakit Behcet,
sindrom Sjogren, SLE, gangguan jaringan ikat, dll.)
5) Manifestasi SSP dari sifilis, penyakit Lyme, HIV, HTLV-1, mikoplasma, infeksi virus
lainnya (misalnya HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enterovirus)
(a) Kelainan MRI Otak yang menandakan MSa
(b) Riwayat klinis neuritisa optik
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF,
cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human herpesvirus;

8
HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic
resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus.

2.7. Pemeriksaan Penunjang


 MRI (penjelasan lebih rinci dalam sub bab berikutnya)
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi11.
 CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan
ini tidak dapat menilai medulla spinalis11.
 Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab structural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan
yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati inflamasi ataupun non-
inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan
sitologi CSF harus diperiksa11.
 Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren
(pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau penggunaan obat-
obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan
atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk
etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF,
PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan11.
 Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi
sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau
penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus

9
dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibody
antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen11.

Tabel 2.2. Test Diagnostik untuk Mielitis transversa1

Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang


Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR CSF;
Foto Thorax dan pemeriksaan imaging lainnya
dengan indikasi
Autoimun Sistemik atau Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan serologi; Foto
Penyakit Inflamasi Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya
dengan indikasi
Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibody
paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating MRI otak dengan kontras gadolinium; CSF
Disease (sklerosis multiple, optic rutin; pemeriksaan visual evoked potential;
neuromielitis ) serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi
sebelumnya; konfirmasi serologi adanya infeksi;
eksklusi penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis . The New England Journal of
Medicine 2010;363:564-72)
Alur penentuan diagnostik pada pasien dengan mielitis transversa akut ditampikan
dalam gambar 2.1.11

Gambar 2.1: Alur penentuan diagnostik pasien dengan mielitis transversa akut

10
2.8. Neuroimaging pada mielitis transversa

2.8.1. Foto polos


Rontgen foto polos memiliki peranan yang terbatas dalam neuro imaging. Pemeriksaan
foto polos perlu dilakukan untuk kasus –kasus sebagai berikut12:

 Menyingkirkan adanya benda asing


 Skull fracture
 Deteksi awal sinusitis akut
 Menyingkirkan opaque salivary gland canaliculi
 Karakteristik lesi tulang
 Menyingkirkan epiglotitis vs croup di ruang emergency
 Cervical spine fracture
 Spondylosis
 Flexion-extension instability
 Trauma wajah (gross fractures)

2.8.2. Pemeriksaan CT scan


Pemeriksaan CT scan pada kasus neurologi efektif dilakukan pada kasus-kasus
sebagai berikut12:
 Menyingkirkan perdarahan subaracnoid
 Cedera kepala akut
 Sinusitis
 Penyakit salivary gland calculus
 Subtle bony irregularities
 Deteksi lesi kalsifikasi
 Lesi odontegenik
 Penyakit degeneratif
 CT angiography
 CT perfusion
 Bony spinal stenosis
 Saat MRI dikontraindikasikan atau tidak tersedia
 Evaluasi post operatif segera
 Temporal bone disease (external, middle, inner ear)

2.8.3. Pemeriksaan MRI


Temuan gambaran MRI merupakan komponen penting dalam kriteria diagnostik
MT. Selain peran dasar ini, gambaran MRI dapat memberi petunjuk mengenai

11
penyebab yang mendasari, dengan panduan adanya riwayat klinis yang sesuai dan
pemeriksaan khusus lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis12.
Peran pencitraan pada mielitis transversa adalah untuk:
a. mengeklusikan dengan segera adanya kompresi sumsum tulang,
b. mencari penyebab mielopati lainnya,
c. mencari gambaran pencitraan yang berhubungan dengan penyakit, sehingga
dapat dilakukan terapi spesifik,
d. pencitraan tindak lanjut untuk menilai temporal evolusi dan respon terhadap
pengobatan.
Jika tidak ada kompresi sumsum tulang yang teridentifikasi, pencitraan MRI
spinal cord dengan kontras dan pencitraan MRI pada otak kemudian bisa dilakukan
untuk melengkapi penilaiannya. Karakteristik pencitraan mielitis transversa idiopatik
dan mielitis transversa sub tipe terkait penyakit akan dijelaskan secara rinci. Pola
gambaran MRI merupakan pendekatan untuk membedakan diagnosis etiologi
berdasarkan lokasi lesi T2-hyperintense pada tulang belakang, sehingga dapat
membantu dalam mempersempit perbedaan diagnosis selain riwayat klinis yang
lengkap13.
Gambaran khas MRI pada mielitis transversa adalah lesi medula spinalis
hiperintensif T2 sentral lebih dari dua segmen, melibatkan lebih dari dua pertiga luas
penampang segmen MS. Meskipun setiap segmen MS bisa terlibat, namun gambaran
klasik terdapat pada segmen thoracal MS. Enhancement terjadi pada 37-74% kasus.
Pola enhanccement bervariasi: gambaran enhencement difuse, heterogen dan periferal.
Enhancement kadang bisa tidak ditemukan pada saat akut, karena lebih banyak
terdapat pada kondisi sub akut, sehingga kadang dibutuhkan follow up ulang
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis13.

12
Gambar 2.2: gambaran MRI mielitis transversa
MRI berperan dalam membedakan Mielitis transversa idiopatik dengan
mielitis/mielopathy lainnya yang berhubungan dengan penyakit tertentu atau proses
lain yang mendasari seperti : demielinisasi (multiple sclerosis, MS; neuromielitis
optica, NMO), kondisi autoimun sistemik seperti sytemic lupus rythematosus (SLE)
dan Sjogren's syndrome, atau etiologi infeksi / parainfeksi14.
Hal ini dilakukan dengan melakukan pendekatan sistematis untuk menganalisis
temuan tersebut. Temuan klinis bisa membantu tapi bisa sangat mirip pada sebagian
besar gangguan sumsum tulang belakang.

13
Note : MS : multiple slerosis. TM : Tranversus myelitis, NMO : Neuromyelitikus optic,
ADEM : Acute disseminated encephalomyelitis
Gambar 2.3. Ilustrasi alur penegakkan diagnosis mielitis transversa berdasarkan
pemeriksaan MRI
Pendekatan analisis pada pemeriksaan MRI meliputi faktor-faktor dibawah ini
berikut gambar ilustrasi analisis diagnostik seperti gambar diatas.15, 16
a. Keterlibatan segemen Medula spinalis : segmen pendek atau panjang
b. Berapa bagian dari segmen melintang Medulla spinalis yang terlibat?
c. Lokasi keterlibatan segmen transversal
d. Apakah terdapat enhancement ?

14
Gambar 2.4.Differensial diagnosis Mielitis Transversa berdasarkan pemeriksaan
MRI

15
2.9. Diagnosis Banding
Ada lima kelompok kelainan yang hadir sebagai myelopathy akut: demyelinasi,
infeksi, inflamasi lainnya, gangguan pembuluh darah, dan neoplastik / paraneoplastik.
Tiga yang pertama dipertimbangkan gangguan inflamasi15.
1. Gangguan demyelinating (misalnya, MS,NMO, ADEM),
Awalan gejala neurologis pada gangguan demielinisasi terjadi dalam beberapa hari,
dengan gejala gangguan sensorik dan motorik gejala otonom. Terkadang didahului
oleh penyakit virus nonspesifik.
a. Multiple sclerosis : lesi segmen pendek tulang medulla spinalis, dan oleh karena itu
menyebabkan tanda dan gejala asimetris. Gejalanya biasanya selesaikan dalam
beberapa minggu sampai berbulan-bulan
b. Neuromielitis optika : Bentuk dimielienisasi yang paling sering melibatkan SSP,
terutama mempengaruhi saraf optik. Lesi biasanya panjang (> 3 segmen vertebral),
terletak terpusat dan nekrotik, lebih menyebabkan tanda dan gejala sistemik
daripada multiple sclerosis, dan pemulihan kurang sempurna.
c. ADEM adalah gangguan monofasik itu mempengaruhi otak dan kadang – kadang
medula spinalis. Seringkali terdapat riwayat infeksi virus sebelumnya atau penyakit
menular lainnya. Otak dan sumsum tulang belakang menunjukkan lesi
demyelinating yang umumnya terjadi usia yang sama. ADEM bisa berkembang
proses perjalanan penyakitnya sampai 3 bulan dan lebih umum pada anak-anak.

16
Gambar 2.5. a. Multiple sclerosis, b. Neuromielitis optica

2. Infeksi
Infeksi viral, bakteri, jamur, dan parasit juga bisa menyebabkan mielitis akut.
Pasien biasanya sakit secara sistemik dengan demam dan tanda meningeal.
Organisme penyebab termasuk HSV, VZV,CMV, EBV, HHV-6, enterovirus,
influenza, dengue, West Nile, mycoplas ma, Lyme, dan sifilis

17
Gambar 2.6. Viral mielitis
3. Kondisi auto imun sistemik
Mielitis transversa pada kondisi autoimmune yang tersering adalah SLE. Presentasi
klinis Mielitis terkait SLE telah digambarkan sebagai onset akut, disertai dengan
gejala prodromal, sakit kepala, dan malaise. Terdapat korelasi dengan penanda
aktivitas lupus dan autoantibodi antifosfolipid bervariasi dalam literatur yang
dilaporkan. Luaran buruk didapat pada pasien dengan onset kelemahan yang cepat dan
didukung dengan temuan pencitraan MR awal yang luas dengan keterlibatan sumsum
tulang belakang yang menyebar.
Pencitraan MR dari sumsum tulang belakang adalah normal pada 16%-30%
dengan mielitis klinis. Sisanya, sebagian besar kasus yang dikemukakan
mengidentifikasi T2 pusat segmen panjang hiperintensitas dan ekspansi sedangkan
kasus terisolasi menunjukkan T3-hyperintens lesi multifokal.

18
Gambar 2.7. SLE mielitis

2.10. Tatalaksana

Pengobatan awal pasien yang diduga memiliki lesi sumsum tulang belakang meliputi
evaluasi jalan nafas, pernapasan, dan sirkulasi. Riwayat trauma membutuhkan
imobilisasi awal sumsum tulang belakang sampai studi pencitraan dan evaluasi
neurologis menyingkirkan myelopathy yang berhubungan dengan trauma. Adanya
gangguan miksi, baik inkontinensia atau retensi, dilakukan pemasangan kateter urin3.
Pengobatan untuk lini pertama pada mielitis transversus akut adalah steroid
dosis tinggi : metilprednisolon 30 mg / kg / hari selama 5 sampai 7 hari, dengan dosis
maksimum 1 gram / hari. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi bisa mengurangi
panjangnya cacat dan memperbaiki hasil. Jika pasien tidak ada perbaikan dan
memburuk dalam waktu 24 sampai 48 jam awal kortikosteroid pengobatan,
pertimbangan harus diberikan terapi plasmapharesis, terutama mielitis transversa
ektensif longitudinal.3
Bukti terbatas ada untuk terapi tambahan yang bisa diberikan adalah
imunoglobulin intravena dan siklofosfamid. Imunoglobulin intravena biasanya

19
diberikan pada 2 g / kg dibagi lebih dari 2 sampai 5 hari Cyclophosphamide 500 sampai
750 mg / m2 sekali sebagai alternatif lain3.

2.11. Prognosis
Prognosis pada anak telah dilaporkan dalam beberapa kasus serial sebagai
pemulihan lengkap pada 33% - 50% pasien, dengan hasil buruk pada 10% - 20% kasus.
Penelitian di India pada tahun 2007 terhadap 15 pasien dengan mielitis transversal akut
menunjukkan 53% dengan pemulihan lengkap, 46% dengan gangguan kandung kemih,
20% dengan sekuele motorik ringan, dan 20% tergantung kursi roda. Sebuah penelitian
retrospektif di Australia pada tahun 2009 menunjukkan 73% memiliki outcome
motorik bagus, 77% memiliki fungsi miksi normal. dan 9% memiliki gejala sensorik
sisa. Sebuah penelitian pada tahun 2007 dari 47 kasus mielitis transversus idiopatik
akut pada pasien yang awalnya dipresentasikan sebelum usia 18 tahun di pusat
perawatan tersier melaporkan 2 kematian dan menunjukkan bahwa 40% pasien
bergantung pada kursi roda, 80% mengalami defisit kontrol sfingter, dan 27%
memerlukan bantuan untuk tugas - tugas kehidupan sehari-hari. Secara umum, pasien
dengan pemulihan motor yang lebih baik tampaknya juga dengan pemulihan kontrol
urin yang baik3.

20
BAB III
ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien perempuan umur 8 tahun dirawat di bangsal anak RSUP Dr. M
Djamil Padang pada Juli 2018 selama 8 hari, dengan:

Keluhan utama
Kelemahan pada keempat ekstremitas sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang : Kelemahan pada keempat ekstremitas sejak 6 hari


sebelum masuk rumah sakit . Awalnya berat pda kaki kanan sejak 6 hari yang lalu,
anak berjalan menyeret. Satu hari kemudian berat pada kedua tungkai, dan lemah pada
kedua tangan. Terasa nyeri dan kebas pada keempat ekstremitas 4 hari ini. Demam
tidak ada, kejang tidak ada. Batuk tidak ada, pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada .
Muntah tidak ada, pandangan kabur tidak ada. Riwayat trauma tidak ada,riwayat
mendapat vaksinasi dalam beberapa minggu terakhir tidak ada. Riwayat keluar cairan
dari telinga tidak ada, riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis tidak ada, riwayat
penurunan berat badan tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil biasa. Anak masih
bisa menahan buang air besar dan buang air kecil. Anak sebelumnya telah dirawat
selama 3 hari di RSUD Muko-muko, telah dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil
Hb 12.5 g/dl, leukosit 8.800/mm3, trombosit 355.0000/mm3, Ht 37%, LED 22mm/jam.

Riwayat penyakit dahulu : Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan
yang sama

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan, dan kebiasaan :Pasien merupakan


anak pertama dari dua saudara, lahir lahir spontan, ditolong bidan, cukup bulan, berat
badan lahir 3100 gram, panjang badan lahir 50 cm, langsung menangis. Imunisasi dasar

21
lengkap, pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal. Ibu berusia 45 tahun,
pendidikan SLTA, Ibu rumah tangga. Ayah berusia 50 tahun, pendidikan SLTA,
pekerjaan petani. Higiene dan sanitasi lingkungan buruk

Pemeriksaan fisik
Pasien tampak sakit berat,sadar, TD 110/60 mmHg, laju denyut nadi 100 kali permenit,
laju nafas 20 kali permenit, suhu 37 0C, BB 21 kg, PB 136 cm, dengan status gizi
kurang. Tidak tampak anemis, tidak didapatkan sianosis, edema, dan ikterik. Kulit
teraba hangat.Mata tampak konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
diameter 2 mm/ 2mm, reflek cahaya +/+ normal. Tidak teraba pembesaran kelenjar
getah bening. Kepala bulat, simetris. Telinga, hidung dan tenggorokan tidak ditemukan
kelainan. Mukosa bibir dan mulut basah. Pemeriksaan leher tidak ditemukan kaku
kuduk. Thorak tampak simetris, tidak ditemukan retraksi. Irama jantung teratur, bising
tidak ada. Pemeriksaan paru, didapatkan suara nafas vesikuler, tidak ditemukan ronkhi
ataupun wheezing di kedua lapangan paru. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan
distensi, hepar dan lien tidak teraba dan bising usus (+) normal. Genitalia tidak
ditemukan kelainan dengan status pubertas A1P1G1. Pada ekstremitas didapatkan
akral hangat, refilling kapiler baik, reflek fisiologis +/+ normal, reflek patologis -/-,
tanda rangsangan meningeal negatif. Pemeriksaan saraf kranial tidak ditemukan
kelainan.
Reflek fisiologis +/+ meningkat, reflek posisi (+)
Reflek patologis : babinsky (-/-), chaddock (-/-), Oppenheim (-/-), Schaefer (-/-),
Gordon (-/-)
Sensasi raba/sentuhan : menurun dari thoracal V ke bawah
Sensasi nyeri : menurun dari SIAS ke bawah
Sensasi hangat/dingin : menurun dari SIAS ke bawah
Kekuatan Motorik 222-222
333-333
Susunan saraf Otonom : inkotinensia uri (-), inkotinensia alvi (-)
Columna Vertebralis : dalam batas normal

22
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,3 g/dL, leukosit 10.100/mm3,
trombosit 330.000/mm3 hitung jenis 0/0/0/82/16/2, Ht 44 vol%.Urinalisis dan feses
rutin dalam batas normal.

Diagnosis kerja
 Tetraparese ec suspect mielitis tranversa
DD: tumor spinal cord, kompresi spina cor
 Gizi kurang

Rencana
 Pemeriksaan Na, K, Ca, GDR
 Konsultasi bagian mata
 Pemeriksaan Lumbal punksi
 MRI thoracolumbal.

Hasil laboratorium:
Natrium 142 mmol/L, Kalium 3,9 mmol/L (dalam batas normal), Calsium 10.8 mmol/L
(dalam batas normal) GDR : 117 mg/dL (dalam batas normal).

23
Pemeriksaan MRI

24
25
Ekspertise:
 Tampak lesi hiperintens batas tidak tegas pada T2VVI di medula spinalis level
C2-7 dengan gambaran medulla spinalis level tersebut menebal. Ukuran lesi
0.73 cm x 0.67 cm x 5.5 cm
 Struktur korpus , lamina, processus transversus dan spinosus masih intak.
 Tak tampak intensitas patologis corpus vertebre servikal

26
 Tak tampak spur formation
 Tak tampak penurunan intensitas maupun penonjolan discus intervetebralis
cervikalis ke posterior yang menekan dural sac/ radiks
 Intensitas discus tidak tampak menurun. Tidak ada penonjolan discus
intervetebrakis thoracolumbal ke posterior yang menekan dural sac/ radik.
 Ligamentum flavum, ligamentus inter spinosum dan ligamentun longitudinale
anterior dan posterior tidak menebal. Sendi apofisis kanan kiri dalam batas
normal.
 Jaringan lunak paravetebrata tidak memperlihatkan penebalan maupun lesi
patologis lain
Kesan : Sesuai dengan gambaran Myelitis Transversa Level C2-7

Jawaban konsultasi ke bagian mata:


OD OS
Visus 20/20 20/20
Palpebral Edem (-), Edem (-)
Konjunctiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea Bening Bening
CoA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
2 9Pupil Bulat, rf (+) N Ø 3 mm Bulat, rf (+) N Ø 3 mm
Lensa Bening Bening
TIO N (p) N (p)
Funduskopi
Media Bening Bening
Papil Bulat, batas tegas dd 0,3-0,4 Bulat, batas tegas dd 0,1-0,2
Pembuluh darah aa : vv = 2:3 aa : vv = 2:3
Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-)
Makula rf fovea (+) rf fovea (+)

27
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
Kesan: saat ini tidak ditemukan tanda-tanda papil edema

Hasil pemeriksaan Liquor Cerebro Spinalis (LCS) didapatkan hasil :


warna : jernih, pH 8,0, None (+), Pandy (+). Glukosa LCS 94 mg%, GDR : 102 mg%.
Jumlah sel 45. PMN 15 %, MN 85 %

Penderita diterapi dengan pemberian injeksi intravena steroid dosis tinggi,


methylprednison 1 gram IV dalam 100 cc NaCl 0,9%, diberikan dalam 30 menit selama
7 hari berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1 mg/kg BB/hari
selama 14 hari dan ditappering off dan dilakukan rehabilitasi medis. Klinis penderita
membaik setelah pemberian terapi selama 1 minggu dengan dapat digerakannya kedua
tungkai dan mampu berjalan sendiri.

28
BAB IV
DISKUSI

Pada kasus ini telah dirawat seorang perempuan, usia 8 tahun, didiagnosis dengan
mielitis transversa berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan, keluhan utama lemah pada
keempat ekstremitas hingga anak tidak bisa berjalan, tanpa ada riwayat trauma dan
tidak ada demam.
Mielitis transversa dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan
penyakit lain. Inflamasi dapat berasal dari akibat infeksi virus, reaksi abnormal reaksi
imun atau insufisiensi aliran darah yang melewati pembuluh darah yang berlokasi di
medula spinalis. Mielitis transversa dikatakan akut bila tanda dan gejala berkembang
dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut gejala klinis
berkembang lebih dari 1–2 minggu1. Pada pasien ini gejala terjadi akut, berkembang
kurang dari satu minggu.
Simptom mielitis transversa berkembang cepat dari beberapa jam sampai
beberapa minggu. Sekitar 45% pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam
24 jam11. Sesuai dengan kriteria diagnostik (Tabel 1), untuk menegakkan diaganostik
pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis berkembangnya tanda dan
gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik, sensoris dan otonom dan traktus
saraf di medula spinalis baik akut maupun subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis
memutus jaras-jaras ini dan menyebabkan hadirnya simptom umum dari mielitis
transversa . Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif
cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan tangan.
Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri
dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan tanda awal

29
yang paling umum mielitis transversa pada orang dewasa dan tidak pada anak-anak.
Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada sebagian besar
pasien, begitu pula nyeri dan suhu. Pada pemeriksaan sensibilitas penderita pada kasus
kali ini dijumpai hipoestesia setinggi C2 –C7. Simptom otonom bervariasi terdiri dari
peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi kesulitan atau tak dapat buang
air, pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan
sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi
seksual.17
Pemeriksaan vegetatif pada penderita ini dijumpai anhidrosis setinggi C2-C7.
Perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya
berlangsung dalam 4-21 hari.1,3 MRI spinal dan punksi lumbal pada penderita kasus ini
menunjukan bukti adanya proses inflamasi, hal ini sesuai dengan pendapat Krishnan17,
dalam penelitiannya dari 170 pasien dengan idiopatik mielitis transversa mendapatkan
abnormalitas T2 signal servikal sebesar 44%, abnormalitas T2 signal pada thorak
sebesar 37%, 5% mempunyai lesi multifokal dan 6% mempunyai lesi T1 hipointens.
42% pasien mempunyai kelainan pleositosis pada LCS dengan hitung sel darah
putihnya 38 ± 13 sel dan 50% pasien mengalami peninggian level proteinnya. Pada
penderita ini dijumpai lesi mielitis di segmen torakal dan pada pemeriksaan LCS
dijumpainya peningkatan jumlah sel dan adanya peninggian protein.
Pemeriksaan foto polos dan CT Scan tidak dilakukan pada pasien ini.
Pemeriksaan CT scan dilakukan jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat
untuk menilai kelainan struktural. Namun pemeriksaan CT Scan tidak dapat menilai
medulla spinalis.
Pemeriksaan MRI pada pasien ini sesuai dengan gambaran Mielitis transversa,
walaupun enhancement tidak bisa kita buktikan karena tidak mengunakan kontras
dalam pemeriksaan. Selain itu dari literatur menyatakan adanya gambaran
enhancement hanya 37-74% kasus. Namun bukti adanya inflamasi pada pasien ini di
medulla spinalis dibuktikan dengan pemeriksaan lumbal punksi sesuai dengan mielitis
transversa. Gambaran MRI pada pasien ini adalah lesi medula spinalis hiperintensif

30
T2 lebih dari dua segmen,yaitu dari C2 sampai dengan C7, serta melibatkan lebih dari
dua pertiga luas penampang segmen MS.
Berdasarkan keterlibatan lesi segemen medula spinalis pada MRI, sesuai
dengan gambar 2.4, banyak diagnosis banding dari diagnosis pasien dari pemeriksaan
MRI. Namum karena tidak adanya riwayat klinis dan pemeriksaan lain yang menjurus
pada penyakit atau risiko kondisi autoimun serta infeksi lainnya, maka pasien
didiagnosis dengan mielitis transversa idiopatik.
Semua lesi dari pemeriksaan MRI yang melibatkan segmen panjang medulla
spinalis didiagnosis banding sebagai mielitis transversa, seperti Neuromielitis optikus,
Mielitis SLE, Syringomielia, parainfection and post vaccination mielitis , malformasi
vascular dan defisiensi cobalamin dan Vitamin B12. Perbedaan pada masing-masing
diagnosis serta kolerasi kondisi pasien sesuai kasus ditampilkan pada tabel dibawah
ini:

Tabel. Diagnosis banding berdasarkan pemeriksaan MRI


Diagnosis banding Gambaran MRI Ketidaksesuaian dengan
pasien
Neuromielitis optik Melibatkan segmen panjang Tidak ada keluhan mata, tidak
MS, terbanyak unifokal ada gangguan SSP.
dibanding multifocal. T1
hypointense pada fase akut
sepanjang MS dan melibatkan
gangguan SSP, T2 hyperi ntense
brain lesions.
Systemic autoimmune Lesi T2 hyperintense segmen Tidak ada keluhan gangguan
Myelopathy panjang, keterlibatan pada autoimun, tes ANA tidak
posterolateral MS dilakukan. Tidak dicurigai
dengan SLE
Parainfectious Transverse long segment T2 hyperintensity, Tidak ada riwayat infeksi dan
Mielitis dan postvaccination biasanya dengan gambaran imunisasi sebelumnya
mielitis ekspansi dan enhancement

31
Cobalamin and Copper long segment bilateral T2 Anak gizi baik , tidak ada
Deficiency hyperintensity riwayat defisiensi gizi
Sphyngomielin Hyperintense di T2 dan Gambaran T2
hypointense di T1 melibatkan hyperintense dan T1
segmen panjang MS dengan hypointense pada MRI tidak
gambaran lebih homogen homogen
Mielitis tranversalis Melibatkan segmen panjang Tidak ada ketidaksesuaian.
MS, hypointense di T1 dan Anak sesuai klinis dan
hyperintense di T2 pemeriksaan penunjang dengan
MTA, respon dan perbaikan
dengan pemberian steroid

Mielitis transversa merupakan suatu mielitis non infeksius tipe inflamasi.


Kategori ini diambil dari suatu bentuk leukomielitis baik demyelinisasi atau nekrosis
dari traktus di medula spinalis, dan di dalam patogenesisnya didapatkan gambaran
penting proses respons imun terhadap suatu infeksi yang sering timbul setelah infeksi
virus. Pada kasus mielitis transversa post-infeksius, mekanisme sistem imun lebih
memegang peranan penting dalam menimbulkan kerusakan medula spinalis. Pada
penyakit autoimun, sistem imun yang seharusnya bertanggung jawab melindungi tubuh
dari organisme asing, beraksi sebaliknya menyerang jaringan tubuhnya sendiri dan
menyebabkan inflamasi dan menghancurkan myelin di dalam medula spinalis. Ketika
mielitis transversa tidak dijumpai penyakit yang mendasarinya maka disebut sebagai
idiopatik. Penyebab mielitis transversa idiopatik tidak diketahui, tetapi banyak bukti
mendukung adanya suatu proses autoimun, artinya pasien yang mempunyai sistem
imun yang abnormal menstimulasi adanya serangan terhadap medulla spinalis yang
menimbulkan inflamasi dan kerusakan jaringan9.
Diagnosis banding pertama dengan tumor medula spinalis didasarkan adanya
keluhan paraperesis yang terjadi progresif lambat dan tidak bersamaan antara kiri dan
kanan, tapi pada pasien ini paresis dimulai bersamaan pada kaki kanan dan kaki kiri,
dan disingkirkan dengan pemeriksaan MRI, dimana hasilnya tidak didapatkan SOL
karena tumor medula spinalis. Guillain Barre Syndrome juga dibuat sebagai diagnosis
banding karena sifat paraparesis pada pasien ini bersifat assenden dimulai dari kaki

32
kemudian naik ke betis lutut lalu sampai setinggi dada, tetapi hal ini disingkirkan
karena pasien sebelumnya tidak menderita ISPA, dan hasil MRI menyingkirkan hal
tersebut (seharusnya pada GBS gambaran MRI normal).
Penderita diterapi dengan pemberian steroid dosis tinggi.18 Terapi lain yang
dapat diberikan Plasma exchange sering mulai diberikan apabila penderita mengalami
mielitis transversa yang moderate sampai berat dan menunjukan perkembangan klinis
yang lambat dalam 5–7 hari pemberian steroid intravena. Beberapa peneliti ada juga
yang menyarankan pemberian cyclophosphamide untuk pasien yang tetap mengalami
progresifitas penyakit.

33
Daftar Pustaka

1. Frohman EM, Wingerchuk DM. Transverse yelitis. The New England Journal of
Medicine 2010;363:564-72.

2. National Institut of neurological disorder and stroke, myelitis trasversa dalam


www.ninds.nih.gov/disorder/trasversemyeilitis.
3. Wolf VL, Lupo PJ . Lotze T. Pediatric acute transverse myelitis overview and
differential diagnosis. Journal of Child Neurology. 2012. 1-11.
4. Gerald MF. Transverse myelitis. In : Gerald MF. Clinical Pediatric Neurology
5th ed. Tennessee: Elsevier Saunders, 2001;264-65. .
5. Krishnan C, Kaplin AI, Despande DM. Transverse myelitis: pathogenesis,
diagnosis and treatment. Baltimore: John Hopkins University School of
Medicine. 2004; 1483-99.
6. Scott TF, Frohman EM, De Seze J. Evidence-based guideline: clinical evaluation
and treatment of transverse myelitis.Report of the Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology.
2011;77(24):2128-2134.
7. Banwell B, Kennedy J, Sadovnick D. Incidence of acquired demyelination of the
CNS in canadian children. Neurology. 2009;72(3):232-239.
8. Pidcock FS, Krishnan C, Crawford TO. Acute transverse myelitis in childhood:
center-based analysis of 47 cases. Neurology. 2007;68(18):1474-1480.
9. Kerr DA, Ayetey H. Immunopathogenesis of acute transverse myelitis. Current
Opinion in Neurology 2002.15:339-347
10. Ahmad, Seguias. Diagnosis and treatment of pediatric acute transverse myelitis.
Pediatric annals; 2012: 41: 477-482.
11. Transverse Myelitis Consortium Working Group. Proposed diagnostic criteria and
nosology of acute transverse myelitis. Neurology. 2002;59(4):499–505.
12. Yoesem, David M. Grosman. Techniques in neuroimaging. In: Neuroradiology;
the requisites. edition 3. Mosby elsevier. 2010: 1-20.
13. Goh C, Desmond PM, Phal PM. MRI in transverse myelitis. J Magn Reson
Imaging. 2014;40(6):1267-79.
14. Ghoh, Phal, Desmon P . Neuroimaging in acute transverse myelitis. Neuroimag
Clin N Am. 2011. 951–973.
15. Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An approach to the diagnosis of acute transverse
myelitis. Semin Liver Dis. 2008; 1; 105-120. .
16. Thurnher, Smithuis R. Spine - Myelopathy. in Radiology Assitant. 2012.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p4f789faf60fa4/spine-myelopathy.html
diakses pada 10-12- 2017.
17. Krishnan C, Kaplin AI, Deshpande DM,Pardo CA, Kerr DA. Transverse myelitis:
patogenesis, diagnosis and treatment.Bioscience.2004. 9: 1483–1499. .
18. Sebire G, Hollenberg H, Meyer L, Huault G, Landrieu P, Tardieu M. High doses
methylprednisolone in severe Akut transverse myelopathy. Archieves of disease
in the childhood. 1997; 76: 167–168. .

34
35

Anda mungkin juga menyukai