Anda di halaman 1dari 186

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321025477

Individu Berkebutuhan Khusus dan Pendidikan Inklusif

Book · March 2016

CITATIONS READS

0 434

1 author:

Nimatuzahroh Saidi
University of Muhammadiyah Malang
12 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Nimatuzahroh Saidi on 13 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
ii INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS


&
PENDIDIKAN INKLUSIF
Hak Cipta © Ni'matuzahroh, S.Psi, M.Si.; Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si., 2016
Hak Terbit pada UMM Press

Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang


Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144
Telepon (0341) 464318 Psw. 140
Fax. (0341) 460435
E-mail: ummpress@gmail.com
http://ummpress.umm.ac.id
Anggota APPTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)

Cetakan Pertama, Maret 2016

ISBN : 978-979-796-173-2

xii; 172 hlm.; 16 x 23 cm

Setting & Layout : Septian R.


Design Cover : A.H. Riyantono

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya


tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi,
tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap menyebutkan
sumbernya.
iii

Sanksi Pelanggaran pasal 72: Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Tentang Hak Cipta:

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
v

KATA PENGANTAR

Keberadaan individu berkebutuhan khusus tidak bisa dipisahkan


dengan masyarakat karena meraka memiliki hak yang sama dengan
individu normal lainnya, termasuk dalam hal pendidikan. Hadirnya
pendidikan inklusif merupakan sebuah strategi untuk mewujudkan
pendidikan universal yang responsif terhadap beragam kebutuhan
aktual anak dan masyarakat terutama anak berkebutuhan khusus.
Istilah inklusif sendiri merupakan istilah yang terdengar lebih positif
bagi anak-anak yang memiliki hambatan dibanding bila disebut
dengan SLB, cacat atau abnormal, karena mengandung diskriminatif
dan ketidakberdayaan mereka. Di samping itu, dalam pendidikan
inklusif diupayakan cara-cara yang lebih realistik dan menyeluruh
dan menghadapkan siswa dalam situasi kehidupan yang nyata
karena mereka dapat bertemu dengan beragam orang dalam
lingkungan sosialnya. Berbeda dengan mainstreaming dan segregasi,
pendidikan inklusif berupaya untuk melibatkan anak berkebutuhan
khusus (ABK) kedunia pendidikan secara utuh.
Dari berbagai hasil penelitian, pelaksanaan pendidikan inklusif
memiliki banyak manfaat yang dirasakan tidak hanya oleh anak
berkebutuhan khusus, melainkan juga pada siswa regular. Manfaat
bagi ABK adalah meningkatkan gambaran diri ABK menjadi lebih
positif, keterampilan sosial yang menjadi lebih baik, ABK menjadi
lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang normal,
memiliki perilaku yang sesuai di kelas dan prestasi akademik yang

v
vi INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

setara (kadangkala lebih tinggi) dengan prestasi yang dapat mereka


capai ketika berada di kelas khusus. Manfaat ini dapat dicapai jika
siswa ABK dapat menerima dan memahami keadaan dirinya dengan
segala keterbatasan yang dimilikinya, serta jika instruksi dan materi
pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka. Siswa
normal pun dapat memperoleh manfaat dari pendidikan inklusif
dalam hal tumbuhnya kesadaran mengenai hakekat perbedaan
manusia yang heterogen dan tumbuhnya kesadaran bahwa siswa
berkebutuhan khusus memiliki banyak kesamaan dengan mereka.
Dari sisi konsep, pendidikan inklusif menjadi sebuah solusi bagi
pendidikan ABK namun dalam penerapannya masih terdapat banyak
kendala yang harus dihadapi yang menyebabkan penerapan pendidikan
inklusif terutama di Indonesia menjadi belum optimal. Sangat
terbatasnya pengawasan dari pemerintah, terbatasnya sumber daya
manusia, dan terbatasnya infrastruktur yang ada membuat pendidikan
inklusi perlu dievaluasi dan dibenahi secara terus menerus. Kesiapan
sekolah dan guru dalam mendidik anak berkebutuhan khusus pun
merupakan salah satu kendala yang harus menjadi perhatian serius.
Agar optimal, pelaksanaan pendidikan inklusif membutuhkan bantuan
dari berbagai pihak seperti orangtua, siswa reguler, guru pendamping
dan masyarakat yang memahami akan pentingnya pendidikan inklusif,
sehingga pelayanan pada siswa berkebutuhan khusus semakin opti-
mal, jika tidak maka, kehadiran inklusif menjadi bumerang bagi siswa
berkebutuhan khusus sendiri karena mereka hanya akan menjadi korban
bulying yang dilakukan siswa regular dan guru di kelas inklusif seperti
yang seringkali terjadi.
Buku ini merupakan buku yang lahir dari keinginan penulis
untuk ikut andil dalam memikirkan solusi terhadap permasalahan
yang terjadi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Buku ini
ditujukan kepada guru, pendidik, mahasiswa, calon guru, pengamat
pendidikan dan pengelola sekolah inklusif yang berminat untuk
membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas inklusif.
Gagasan awal penulisan buku ini muncul karena desakan mahasiswa
pengampu mata kuliah Individu berkebutuhan khusus (IBK) yang
sangat membutuhkan buku ajar untuk mata kuliah tersebut, karena
buku-buku yang ada terutama yang berbahasa Indonesia masih
sangat terbatas.
Kata Pengantar vii

Dalam buku ini penulis mencoba memberikan uraian tentang


hakekat pendidikan inlusif, karakteristik ABK, pengelolaan kelas,
serta bagaimana menyusun program perencanaan pembelajaran bagi
siswa berkebutuhan khusus disertai contoh kasusnya.
Penulis berharap semoga kehadiran buku ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca, kepala sekolah, guru dan pembaca pada
umumnya. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan buku ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati
kritik dan saran yang membangun penyempurnaan buku ini sangat
penulis harapkan.

Malang, Maret 2016

Penulis
viii INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
ix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................... v


Daftar Isi ................................................................................................ ix

Bab 1 Memahami Individu Berkebutuhan Khusus dan Faktor-


faktor yang Mempengaruhinya .......................................... 1
A. Pengertian Individu Berkebutuhan Khusus ............... 1
B. Faktor-faktor Penyebab Gangguan Pada Individu
Berkebutuhan Khusus ..................................................... 3

Bab 2 KLasifikasi dan Karakteristik Individu Berkebutuhan


Khusus ....................................................................................... 7
A. Specific Learning Disabilities (Kesulitan Belajar
Khusus) ............................................................................... 8
B. Attention Deficit-Hiperaktif Disorder/ADHD ................. 15
C. Gangguan Spektrum Autism dan Asperger .............. 31
D. Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa ...................... 33
E. Anak Tuna Rungu ........................................................... 37
F. Tuna Netra (Gangguan Penglihatan) ........................... 38
G. Anak Tuna Wicara ........................................................... 38
H. Anak Lamban Belajar ...................................................... 39
I. Anak Keterbelakang Mental (Mental Retardation) ..... 39

ix
x INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Bab 3 Memahami Konsep Pendidikan Inklusi .......................... 43


A. Pengertian Pendidikan Inklusi ...................................... 43
B. Model-model Pendidikan Inklusi ................................. 47
C. Pendidikan Inklusi di Indonesia .................................. 48
D. Pendidikan Inklusi dan Keterlibatan Semua Pihak . 50

Bab 4 Manajemen dan Pengelolaan Kelas Inklusi ................... 55


A. Persiapan Awal Membuka Kelas Inklusif .................. 55
B. Mempersiapkan Pihak yang Terlibat di Kelas Inklusif 57
C. Mempersiapkan Sarana dan Prasarana Sekolah
Inklusif ............................................................................... 74
D. Menyusun dan Melatih Guru Membuat Program
Pembelajaran Individual (Individualized Education
Program) .............................................................................. 75
E. Metode Peningkatan Kompetensi Pada Guru dalam
Penyusunan Program Pengajaran Individual Bagi
Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi .......... 77
F. Sasaran Pendidikan Bagi ABK di Kelas Inklusif ...... 79

Bab 5 Memahami Kebutuhan ABK dalam Proses Pembelajaran


di Kelas ..................................................................................... 81
A. Pola Perkembangan Anak .............................................. 81
B. Gaya Belajar dan Berfikir ............................................... 83
D. Kepribadian dan Tempramen ........................................ 84
C. Bantuan yang Dapat Diberikan dalam Proses Belajar
pada Siswa Berkebutuhan Khusus ............................... 86

Bab 6 Penyusunan Program Pembelajaran Individual ............. 93


A. Pengertian Program Pengajaran Individual ............... 93
B. Prinsip-prinsip dalam Pemilihan Strategi Pengajaran
Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus ................................ 94
C. Rancangan Asesmen ........................................................ 98
D. Menyusun Program Pembelajaran Individual .......... 99
Daftar Isi xi

E. Pendekatan Terapi Bermain (Play Therapy) Sebagai


Media Pembelajaran Siswa Berkebutuhan Khusus .. 100

Bab 7 Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual


Bagi Siswa ADHD ................................................................. 109
A. Deskripsi Diri Siswa........................................................ 109
B. Program Pengajaran Individual Bagi FH ................... 116
C. Laporan Penerapan dan Evaluasi Program Pengajaran
IEP Siswa ADHD ............................................................. 127

Bab 8 Membangun Kemitraan Sekolah dan Orang Tua Siswa


Berkebutuhan Khusus ........................................................... 133
A. Pentingnya Membangun Kemitraan dengan Orang
Tua ....................................................................................... 133
B. Hambatan dalam Menjalankan Kemitraan ................. 136
C. Kapan & Bagaimana Membangun Kemitraan Sekolah
dengan Orang Tua? ......................................................... 137

Daftar Pustaka ...................................................................................... 141


Indeks ..................................................................................................... 153
Lampiran ................................................................................................ 161
xii INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Memahami Individu Berkebutuhan Khusus Dan
1
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

BAB 1
MEMAHAMI INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

A. Pengertian Individu Berkebutuhan Khusus


Beberapa ahli menyebut istilah individu berkebutuhan khusus
dengan sebutan anak berkebutuhan khusus karena gangguan ini
dapat teridentifikasi sejak usia dini dan banyak dialami oleh anak-
anak sehingga pembahasan para ahli lebih difokuskan pada individu
dalam ketegori usia anak-anak, dan selanjutnya dalam buku ini,
penulis banyak menggunakan istilah anak atau siswa dalam
menjelaskan istilah individu berkebutuhan khusus.
Individu berkebutuhan khusus (IBK) adalah seseorang atau
anak yang memiliki keterbatasan dalam fungsi kognitif, fisik maupun
emosi yang meghalangi kemampuan individu untuk berkembang
baik yang terklasifikasi dalam kesulitan belajar, ADHD, retardasi
mental, gangguan fisik, Sensoris, Gangguan bicara dan bahasa,
Autisme maupun gangguan emosi dan perilaku (Santrock, 2009).
Hallahan dan Kauffman (2009) mendefinisikan IBK adalah mereka
yang memerlukan pendidikan khusus dan layanan terkait. Gearheart
(dalam Mangunsong, 2009) mengatakan bahwa seorang anak
dianggap berkelainan bila memerlukan persyaratan pendidikan yang
berbeda dari rata-rata anak normal dan untuk dapat belajar secara
efektif memerlukan program, pelayanan dan materi khusus.
Mangunsong (2009) menyatakan bahwa individu berkebutuhan
khusus adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal
dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan Sensoris, fisik

1
2 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

dan neuromaskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan


berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal
diatas, sejauh mereka memerlukan modifikasi dari tugas-tugas
sekolah, metode belajar atau layanan terkait, yang ditujukan untuk
mengembangkan potensi atau kapasitas secara maksimal.
Ormrod (2009) mengklasifikasikan siswa berkebutuhan khusus
ini ke dalam kategori umum dan khusus. Kategori umum yaitu:
1. Siswa yang mengalami hambatan kognitif atau akademik khusus
yaitu kesulitan belajar, ADHD, gangguan bicara dan komunikasi.
2. Siswa yang mengalami masalah sosial atau perilaku yaitu:
gangguan emosi dan perilaku, gangguan spektrum autisme.
3. Siswa yang mengalami keterlambatan umum dalam fungsi kognitif
dan sosial: keterbelakangan mental, gangguan fisik dan kesehatan,
gangguan penglihatan, pendengaran dan ketidakmampuan atau
hambatan yang parah dan majemuk,
4. Siswa yang perkembangan kognitifnya diatas rata-rata yaitu siswa
gifted atau memiliki keberbakatan luar biasa.
Gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan anak seperti
hasil penelitian yang dilakukan oleh Fletcher, J.M, et.al (1994)
menunjukkan bahwa kesulitan membaca membuat anak memiliki
gangguan kesadaran fonologi (Phonologycal awareness). Hasil
penelitian Friedma, Harvey, Young-wirth dan Goldstein (2007)
membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara symptom
inattention, hyperaktif dan agresi anak usia 3 tahun dengan
kemampuan kognitif, motorik dan akademik awal mereka. Dari data
orangtua diketahui bahwa anak-anak dengan simptom ADHD diiringi
agresi atau tidak, sebagian besar mengalami masalah akademik dan
masalah kognitif, sementara data dari guru diketahui bahwa symptom
inattention, hiperaktif dan agresi anak usia 3 tahun tidak hanya
berhubungan dengan masalah keterampilan pra akademik melainkan
juga berhubungan dengan masalah kemampuan kognitif dan motorik.
Ormrod (2009) menjelaskan bahwa beberapa siswa berkebutuhan
khusus dapat tidak terlihat memiliki tanda-tanda hambatan fisik
namun mengalami hambatan kognitif yang mengganggu
kemampuan mereka mempelajari materi pelajaran atau mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan didalam kelas. Siswa tersebut terklasifikasi
Memahami Individu Berkebutuhan Khusus Dan
3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

mengalami kesulitan belajar, ADHD (Attention-deficit hyperactivity


Disorder), gangguan bicara dan komunikasi. Adapun kategori khusus
akan dibahas pada bab selanjutnya secara lebih mendetil.

B. Faktor-faktor Penyebab Gangguan Pada Individu


Berkebutuhan Khusus
Penyebab gangguan pada individu berkebutuhan khusus
memang beragam. Hallahan, dkk (2009); Freind (2005) mengemukakan
beberapa faktor yang menyebabkan gangguan ABK secara umum
adalah yaitu:

1. Faktor Neurologi
yaitu adanya disfungsi pada Central Nervous System (CNS) atau
sistem syaraf pusat, sementara Carlson (2007) menyatakan adanya
kelainan dalam jaringan otak yang melibatkan stratum (caudate inti
dan putamen) dan Prefontal cortex. Lebih jauh dia menjelaskan
bahwa otak orang-orang dengan ADHD kira-kira 4% lebih kecil
dibanding normal, dengan pengurangan yang paling besar di prefrontal
cortex dan caudate inti. Freind, (2005) juga menyatakan ukuran otak
anak ADHD terlihat kecil dengan aktifitas metabolik yang sedikit.

2. Faktor Genetik
Faktor genetik diduga menjadi bagian dari penyebab gangguan
pada anak berkebutuhan khusus. seperti pada gangguan kesulitan
belajar (Learning disability) diketahui merupakan gangguan yang
sifatnya herediter. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 35-
45% dari individu yang mengalami kesulitan belajar memiliki
orangtua dan saudara yang Kesulitan belajar pula. Resiko terkena
kesulitan belajar juga pada anak yang memiliki kedua orangtua
mengalami kesulitan belajar, atau pada anak-anak yang memiliki
keluarga yang mengalami gangguan bicara dan bahasa, dan ADHD
(National Institute of Mental Health, dalam Freind, 2005; Rief, 1993).
Anak-anak yang memiliki orang tua ADHD beresiko mengalami
ADHD 3 kali lipat dibanding anak lainnya.

3. Faktor Teratogenic
Yaitu kerusakan perkembangan janin dimana faktor perantara
yang dapat menyebabkan cacat atau kerusakan dalam perkembangan
4 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

janin seperti Fetal Alcholol Syndrome (FAS )yaitu suatu kondisi dimana
bayi lahir dengan berat badan kurang, kemunduran intelektual, dan
ketidaksempurnaan bentuk fisik yang merupakan penyebab utama dari
kesulitan intelektual, toxin: yaitu keracunan timah yang merupakan
faktor yang menyebabkan kesalahan pembentukan (malformation)
pada perkembangan fetus pada wanita hamil (Hallahan, 2009).

4. Faktor Medis
Faktor medis biasanya disebabkan karena kelahiran prematur
dan komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan (Hallahan,
2009), dan kekurangan oksigen pada saat proses kelahiran (Freind,
2005) menempatkan anak dalam resiko disfungsi neurology dan pediatric
AIDS yang menyebabkan kerusakan syaraf.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Ronka; 1999,
Jessor;1998; Rutter & rutter; 1992 (dalam Visser, Daniels & Cole,
2001) ada 2 faktor resiko yang membuat anak-anak memiliki
pengalaman buruk yang kemudian membutuhkan pendidikan khusus
yaitu faktor internal yaitu rendahnya kontrol emosi dalam diri,
pengalaman negatif disekolah dan rendahnya harga diri. Sementara
faktor eksternalnya adalah rendahnya sosial ekonomi orangtua,
rendahnya pendidikan, kekerasan dalam keluarga dan keluarga
yang alkolisme. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa anak-
anak yang memiliki pengalaman buruk di masa kecilnya akan
mengalami pengalaman buruk pula manakala mereka dewasa.
Hasil penelitian Biederman, Faraone, dan Monuteaux (2002)
kelas sosial yang rendah, ibu yang mengalami psikopatologi, dan
konflik keluarga secara signifikan dihubungkan dengan psikopatologi
dan kerusakan atau pelemahan fungsional di dalam otak
(meningkatkan resiko ADHD), selain itu orangtua dan ibu yang
selama kehamilan merokok. Menurut Freind, (2005) faktor lingkungan
berupa pola asuh yang permisif, ibu hamil yang merokok, minum
alkohol atau menggunakan obat-obatan.
Penelitian Friedman, Youngwirth dan Goldstein (2007) menyimpulkan
bahwa masalah kognitif dan masalah pra-akademik pada anak-anak
mulai muncul pada awal usia 3 tahun dan menyoroti tentang
pentingnya mengevaluasi hubungan antara masalah prilaku lainnya
dengan kemampuan anak-anak.
Memahami Individu Berkebutuhan Khusus Dan
5
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

5. Faktor Internal dan Eksternal


Faktor dari dalam diri yaitu hambatan yang dimiliki anak yang
berasal dari dalam diri atau karena adanya gangguan dalam diri
anak berupa anak lambat belajar, berkesulitan belajar, gangguan
penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan emosi dan perilaku,
gangguan fisik dan motorik, gangguan intelektual, gangguan autistik,
berkelainan majemuk dan berbakat, sementara faktor eksternal yaitu
hambatan yang dimiliki anak karena faktor diluar diri anak, faktor
tersebut dapat berupa bencana alam, kemiskinan, narkotik dan
obat-obat terlarang, terisolir dll. Sebagian besar siswa yang
teridentifikasi ABK di Amerika berasal dari kelompok minoritas-
etnis dan keluarga yang berpenghasilan rendah sehingga mereka
kurang mendapat jaminan kesehatan yang memadai, hidup dalam
lingkungan tercemar, tekanan hidup yang tinggi dan kurangnya
akses memperoleh layanan pendidikan prasekolah sehingga
mengakibatkan kemampuan intelektual yang lebih rendah dan
masalah perilaku yang serius (Mcloyd; U.S. Dept.of Education,
dalam Ormrod, 2009).
6 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 7

BAB 2
KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Pertumbuhan dan perkembangan individu dapat dilihat dari


tiga aspek perkembangan yaitu aspek fisik, aspek kognitif, dan
aspek sosial emosi. Ketiga aspek tersebut akan berkembang seiring
perkembangan usia mereka, dan saling terkait satu sama lainnya,
jika terjadi hambatan disalah satu aspek, maka aspek lainnya akan
ikut terhambat. Ketiga aspek perkembangan tersebut dapat menjadi
tolok ukur keberfungsian perkembangan anak. Anak berkebutuhan
khusus, merupakan anak yang memiliki hambatan pada aspek
kognitif, fisik dan sosial emosi. Hambatan tersebut dapat terjadi
pada salah satu aspek atau kombinasi dari ketiga aspek tersebut
(Santrock, 2015).
Anak yang masuk dalam kategori berkebutuhan khusus menurut
IDEA (The Individual with Disabilitities Education Act dalam Mudjito,
dkk, 2012) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu
kelompok yang disebabkan persoalan ketidaknormalan dalam
tumbuh kembangnya yang dapat dilihat dari berbagai unsur dan
pendekatan keberfungsian fisik seperti mata, telinga, maupun
keberfungsian mental yang dibawa sejak lahir seperti autism,
hiperaktifitas atau lainnya. Kelompok kedua adalah anak-anak yang
tidak memiliki hambatan seperti pada kelompok pertama, mereka
lahir secara normal namun karena faktor lingkungan seperti
kemiskinan, anak-anak yang mendapat kekerasan dalam rumah
tangga, anak korban perceraian, korban bencana, kesempatan

7
8 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

pendidikan, maupun karena tinggal didaerah terpencil. Mudjito,


dkk (2012) menyebut kelompok dari daerah marginal yang disebabkan
karena faktor geografis, sosial ekonomi yang membuat mereka tidak
mendapatkan pendidikan yang layak. Akses sekolah yang sulit dari
rumah, kondisi keterbelakangan daerah dari segi infrastruktur,
keterisolasian, dan kondisi geografis sehingga mereka terkonsentrasi
hidup didaerah terpencil, perbatasan, daerah bekas bencana, dll.
Berikut ini akan dibahas jenis hambatan yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus pada kelompok pertama.

A. Specific Learning Disabilities (Kesulitan Belajar Khusus)

1. Pengertian
Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang
digunakan dilapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun ilmu
kedokteran. Diawal tahun 1960-an di pertemuan orang tua, Samuel
Kirk (dalam Hallahan dkk., 2009) menyarankan penyatuan nama
istilah learning disability karena berbagai istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan anak dengan intelegensi yang normal yang
memiliki masalah belajar dengan istilah minimally brain injured, a
slow learner, atau perceptually disable. Beberapa orang tua dan juga
para guru percaya bahwa label minimal brain injury mengacu pada
individu yang memperlihatkan perilaku tapi tidak adanya kerusakan
pada otak.
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu
atau lebih proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman
dan penggunaan bahasa, bicara atau tulisan. Gangguan tersebut
mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan
mendengarkan, berfikir, berbicara dan membaca, menulis, mengeja
atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi seperti
gangguan perseptual, luka pada otak, dyslexia, dan perkembangan
aphasia (kehilangan kemampuan memahami kata-kata), tapi tidak
mencakup anak-anak yang memiliki problem belajar yang
penyebab utama berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan,
pendengaran atau motorik, hambatan karena retardasi mental
(tunagrahita), gangguan emosional atau kemiskinan lingkungan,
budaya dan ekonomi (Hallahan dkk., 2009).
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 9

Definisi menurut The National Joint Commitee on Learning Disabilities


(NJLD) kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam
kemahiran dan penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-
cakap, membaca, menulis, menalar atau kemampuan dalam bidang
matematika. Gangguan tersebut intrinsik dan diduga disebabkan
oleh adanya disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan
belajar mungkin terjadi bersamaan dengan adanya kondisi lain yang
mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tunagrahita, hambatan
sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya
perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor
psikogenik) berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau
pengaruh langsung (Hallahan, dkk, 2009).
Menurut PL 91-230 (dalam Mangunsong, 2009) anak dengan
kesulitan belajar khusus adalah anak-anak yang mengalami
hambatan pada satu atau lebih proses-proses psikologis dasar yang
mencakup: pengertian atau penggunaan bahasa baik lisan maupun
tulisan dimana hambatannya dapat berupa: ketidakmampuan
mendengar, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau
berhitung. Hambatan tersebut termasuk kondisi-kondisi seperti
gangguan persepsi, kerusakan otak, MBD (minimal brain dysfunction),
dyslexia dan developmental aphasia. Batasan ini tidak mencakup anak-
anak yang mengalami hambatan belajar karena akibat dari kecacatan
visual, pendengaran atau motorik, atau keterbelakangan mental
atau gangguan emosional atau karena kurangnya stimulasi dari
lingkungan.

2. Prevalensi
Prevalensi anak berkesulitan belajar terkait erat dengan definisi
yang digunakan, karena alat identifikasi dan assesmen untuk
menentukan prevalensi didasarkan atas definisi tertentu. Karenanya
tiap peneliti mengemukakan data prevalensi yang berbeda dengan
peneliti lainnya. Menurut data dari pemerintah U.S, sekolah umum
yang telah diidentifikasi memiliki siswa berkesulitan belajar antara
5 sampai 6 persen dari siswa yang berusia 6 sampai 17 tahun, dan
jumlah ini bertambah dua kali lipatnya antara tahun 1976-1977, hal
ini disebabkan karena guru terlalu cepat melabel siswa mereka yang
10 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

sedikit mengalami masalah belajar sebagai siswa yang mengalami


kesulitan belajar (Hallahan, dkk, 2009). Sementara di Indonesia,
berdasarkan hasil penelitian terhadap 3215 murid kelas satu hingga
kelas enam SD di DKI Jakarta menunjukkan bahwa terdapat 16,25%
yang oleh guru dinyatakan sebagai murid berkesulitan belajar
(Abdurrahaman & Nafsiah, 1994).
Hallahan, dkk (2009) menyatakan bahwa perbandingan antara
anak laki-laki dan perempuan adalah 3 berbanding 1. Dan beberapa
hasil penelitian membuktikan bahwa prevalensi kesulitan belajar
antara laki-laki dan perempuan terkait dengan biological vulnerability
(kerentanan secara biologi). Tingkat kematian bayi pada laki-laki
lebih tinggi dibanding dengan wanita dan laki-laki memiliki resiko
lebih besar daripada perempuan untuk berbagai abnormalitas
biologis. Peneliti lain mengemukakan bahwa kesulitan belajar tidak
hanya persoalan prevalensi antara laki-laki dan perempuan melainkan
laki-laki sering ditunjuk membutuhkan pendidikan khusus ketika
mereka memiliki masalah akademik yang disebabkan karena perilaku
lainnya yang menyusahkan guru seperti hiperaktif.

3. Penyebab Kesulitan Belajar Khusus


Menurut Hallahan, dkk (2009) ada beberapa faktor penyebab
kesulitan belajar khusus yaitu:
a. Faktor neurologi yaitu adanya disfungsi pada central nervous
system (CNS) yang dapat dideteksi dengan menggunakan scan
magnetic resonance imaging (MRI), functional magnetic resonance
imaging (FMRI), functional magnetic resonance spectroscopy (FMRS)
dan positron emission tomography (PET).
b. Faktor Genetik
Berdasarkan hasil penelitian 35-45% dari individu yang mengalami
kesulitan belajar memiliki orangtua dan saudara yang mengalami
kesulitan belajar pula. Resiko terkena kesulitan belajar juga pada
anak yang memiliki kedua orangtua yang mengalami kesulitan
belajar, atau pada anak-anak yang memiliki keluarga yang
mengalami gangguan bicara dan bahasa.
c. Faktor Teratogenic
Alat perantara yang dapat menyebabkan cacat atau kerusakan
dalam perkembangan janin seperti fetal alcholol syndrome (FAS) dan
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 11

Fetal alcohol spectrum disorder yang merupakan penyebab utama


dari kesulitan intelektual.
d. Faktor Medis
Beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan kesulitan belajar
dan juga menyebabkan intellectual disabilities yaitu kelahiran
premature yang menempatkan anak dalam resiko disfungsi
neurologi dan pertolongan pediatrik yang menyebabkan kerusakan
neurologikal yang menghasilkan kesulitan belajar.
Abdurrahman (1994) menyatakan berbagai faktor yang menyebabkan
disfungsi neourologis yang pada giliranya menyebabkan kesulitan
belajar adalah faktor genetik, luka pada otak karena trauma fisik
atau karena kekurangan oksigen, biokimia yang hilang (misalnya
biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat), biokimia
yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna makanan,
pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), gizi
yang tidak memadai dan berbagai pengaruh psikologis dan sosial
yang merugikan perkembangan anak.
Sedangkan menurut Freind (2005) kesulitan belajar disebabkan
karena penyebab psikologis yaitu karena luka atau trauma otak
yang terjadi pada masa prenatal karena ibu mengkonsumsi alkohol,
obat-obatan, merokok, hereditas, dan ketidakseimbangan kimia
seperti kekurangan vitamin, masalah tiroid atau hipoglicemia, yang
kedua disebabkan karena lingkungan berupa kekurangan nutrisi,
toxin, terlalu sedikit stimulasi dan kurangnya pengajaran.

4. Karakteristik Psikologis dan Perilaku


Menurut Mangunsong, (2009), karakteristik anak kesulitan belajar
dapat dilihat dari gejala-gejala yang mereka perlihatkan dan perilaku
dan karakteristik tiap-tiap anak kesulitan belajar berbeda satu dengan
yang lain. Sebagian mereka mengalami kesulitan dalam aspek kognitif
seperti membaca, berhitung dan berfikir anak lainnya memiliki
masalah sosial, lainnya mengalami masalah bahasa dan aspek motorik
(keterampilan motorik kasar, psikomotor, keterampilan perceptual
motorik atau kombinasi dari ketiganya). Sementara menurut
Hallahan, dkk (2009) menyatakan beberapa karakteristik anak
kesulitan belajar yaitu:
12 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

a. Variasi interindividual
Istilah ini mengacu pada heterogenitas dimana karateristik antar
siswa yang mengalami kesulitan belajar berbeda satu dengan yang
lainnya, ada yang memiliki masalah membaca, matematika,
mengeja, tidak konsentrasi dll.
b. Variasi Intraindividual
Intraindividual merupakan istilah bahwa anak kesulitan belajar
menunjukkan berbagai variabel dengan profil kemampuan mereka
sendiri. Misalnya anak mungkin memiliki tingkat nilai diatas usia
dua atau tiga tahun dalam membaca, namun menunjukkan tingkat
nilai tertinggal 2 atau 3 tahun dari usianya dalam matematika.
c. Masalah prestasi akademik: ketidakmampuan membaca, terutama
dalam decoding (kemampuan untuk mengubah cetakan untuk
bahasa ucapan), phonological awarness dan phonemic awarness,
kesulitan membaca dengan lancar, memahami bacaan. Lainnya
memiliki masalah dalam bahasa tulisan seperti menulis tangan,
mengeja dan komposisi, masalah dalam bahasa ujaran terutama
bermasalah dalam syntax, semantic dan phonology.
d. Masalah persepsi, perceptual-motor, dan koordinasi umum.
Memiliki masalah dalam mengingat betuk-bentuk visual.
e. Gangguan perhatian dan hiperaktifity dicirikan dengan
distractibility, impulsive dan hiperaktif.
f. Masalah memori dan metakognisi
Anak kesulitan belajar kesulitan untuk mengingat tanda-tanda dan
appointment. Mereka mengalami dua masalah memori yaitu STM
(short term memory) yaitu kesulitan dalam mengingat informasi
yag baru saja didengar atau dilihatnya dan Working Memory (WM)
yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyimpan
informasi dalam otaknya secara bersamaan dengan tugas kognitif
lainnya.
g. Masalah sosial dan emosional
Anak-anak dengan kesulitan belajar berada pada resiko terbesar
mengalami masalah sosial-emosional, penolakan sosial, fikiran
bunuh diri dan kesendirian. Juga mengalami penurunan dalam
kognisi sosial. Mereka salah dalam membaca tanda sosial dan
salah dalam mengartikan perasaan dan emosinya pada yang lain.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 13

h. Masalah motivasi, mereka cenderung menggunakan eksternal


locus of control, mereka percaya bahwa hidup mereka dikendalikan
oleh faktor eksternal seperti keberuntungan daripada oleh faktor
internal seperti ketetapan hati dan atau kemampuan.
i. Pelajar yang pasif dengan kurangnya strategi belajar.
Karakteristik tambahan dari anak dengan kesulitan belajar adalah
hambatan dalam orientasi ruang, arah, hambatan dalam
perkembangan bahasa, hambatan dalam pembentukan konsep,
masalah perilaku, memiliki sejarah kegagalan akademik berulangkali,
hambatan fisik maupun lingkungan berinteraksi dengan kesulitan
belajar, kecemasan yang samar-samar, perilaku yang berubah-ubah
dan tidak dapat diduga, penilaian ('label') yang keliru karena data
yang tidak lengkap dan pendidikan yang tidak memadai dengan
kebutuhan anak (menurut Harwell, dkk dalam Mangunsong, 2009).
Sementara Ormrod (2009) mereka memiliki karakteristik: kesulitan
dalam mempertahankan atensi ketika menghadapi distraksi,
keterampilan membaca yang buruk, strategi belajar dan memori
yang tidak efektif, kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang
melibatkan penalaran abstrak, kurangnya pemahaman akan diri dan
memilki motivasi yang rendah dalam menyelesaikan tugas-tugas
akademik (apalagi bila tidak mendapat bantuas khusus dalam bidang
yang menjadi kesulitan mereka, keterampilan yang buruk serta
keterampilan sosial yang buruk.
Sedangkan kesulitan belajar menurut Freind (2005) memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Karakteristik kognitif: kurangnya perhatian (kesulitan untuk
mengikuti satu stimulus lingkungan), memiliki masalah persepsi
(membedakan kiri dan kanan, menulis huruf terbalik, kaku ketika
berjalan, kurang keseimbangan dan dalam berbagai aktivitas
motor, memiliki masalah dalam STM dan LTM nya atau bahkan
pada keduanya, kurang baik dalam pemrosesan informasi atau
kemampuan berfikirnya, terutama kurang mampu untuk secara
aktif mempertimbangkan bagaimana informasi yang baru
dipelajari berhubungan dengan informasi lain yang baru saja
disimpan, atau bagaimana menerapkan pengetahuan ini dalam
situasi belajar yang baru.
14 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

b. Karakteristik akademik
Mengalami masalah penting dalam membaca, khususnya dalam
wilayah kesadaran phonologi, kelancaran dan pemahaman, bahasa
verbal terutama dalam area phonology, morphology, syntax atau
pragmatic, masalah dalam bahasa tulisan (terutama kesulitan
membedakan penggunaan homonyms tertentu, tidak mampu
mengingat ketika mereka telah memiliki kesalahan dalam menulis
kata yang salah), kesulitan dalam matematika (dyscalculia).
c. Karakteristik sosial dan emosional
Memiliki self esteem rendah, kurang mampu untuk menginterpretasi
secara akurat komunikasi nonverbal seperti ekspresi wajah, sikap,
dan kontak mata, tidak memiliki motivasi belajar.
d. Karakteristik perilaku yang sama dengan ADHD.
Assesmen pada anak kesulitan belajar ini dapat dilakukan dengan
menggunakan assesmen formal dan informal berupa (tes IQ, tes
achievement, kesulitan belajar-criterion-refferenced tes, assesmen
kelas dengan menggunakan CBM (Curriculum-based measurement),
fortopholio siswa dan observasi.
Menurut Steward (dalam Ormrod, 2009) tidak semua karakteristik
tersebut diatas dimiliki oleh semua siswa yang mengalami kesulitan
belajar, dan manifestasinya berbeda pada siswa SD dan SMP, pada
siswa SD cenderung memperlihatkan atensi dan keterampilan
motorik yang buruk, serta kesulitan dalam menguasai keterampilan
dasar, Masalah-masalah emosi juga tampak muncul karena rasa
frustasi dan kegagalan akademik yang mereka alami berulangkali
(Lerner, dalam Ormrod, 2009).
Di tingkat SMP, siswa yang mengalami kesulitan belajar ini
cenderung mengalami masalah emosi dibanding masalah atensi dan
motorik. Hal ini disebabkan karena mereka mengalami tekanan
problem remaja dan tuntutan akademik yang semakin sulit, sementara
kemampuan akademik mereka sama dengan kemampuan membaca
siswa kelas 3 sampai kelas 5 SD.

5. Identifikasi Kesulitan Belajar


Untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang akurat, maka
perlu dilakukan diagnosa dan asesmen yang dapat memahami
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 15

masalah-masalah yang dihadapi siswa dan bagaimana menolong


siswa tersebut dalam menghadapi masalah belajar. Menurut
Mangunsong (2000) ada beberapa cara yang dapat dilakukan:
a. Menggunakan tes intelegensi dan tes prestasi (pada tahun 1970-an).
b. Pendekatan response to intervention (RTI), yang lebih meyakinkan
bahwa rendahnya prestasi siswa bukan sekedar disebabkan
disebabkan oleh instruksi yang tidak efektif, namun belum banyak
studi yang meneliti efektifitas dan keberhasilan RTI ini.
c. Dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mencatat anak-anak dengan berbagai indikasi, antara lain
tugas akademik sering tidak selesai, kualitas pekerjaannya
buruk dibandingkan dengan teman sekelasnya, tidak ada
motivasi belajar, sering absen disekolah.
2) Melakukan pengamatan sistematik terhadap masing-masing
anak.
3) Menggunakan alat atau instrumen seleksi.
4) Testing psikometrik, meliputi assesmen potensi intelektual,
asesmen hasil belajar, asesmen berbagai modalitas belajar.
d. Bisa juga dengan menggunakan case history (melalui interview),
observasi, informal testing dan formal standart test.
e. Data atau informasi kesulitan belajar dapat diperoleh melalui
case history melalui interview, observasi, informal testing, dan
formal standart tes.

B. Attention Deficit-Hiperaktif Disorder/ADHD

1. Pengertian
ADHD merupakan istilah yang sangat populer, kependekan
dari Attention Deficite Hyperactiveity Disorder, (Attention = perhatian,
Deficite = berkurang, Hiperactivity = hiperaktif, dan Disorder =
gangguan). Dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan
pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sebagian besar
ahli mengacu definisi dari DSM IV dari APA (American Pshycology
Association) untuk menentukan ADHD. Lebih dari beberapa tahun,
para peneliti dan praktisi memperdebatkan apakah ADHD ini
merupakan sindrom tunggal ataukah memiliki subtype. Hasil dari
16 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

perdebatan ini maka istilah ADHD pun seringkali berubah. Beberapa


tahun yang lalu APA menggunakan istilah yang umum dengan
ADD (Attention deficit Disorder) untuk gangguan tersebut. Dan
kemudian diikuti dengan subtype ADD dengan hiperaktif dan
ADD tanpa hiperaktif. Dan saat ini mengacu pada DSM IV, istilah
ADHD merupakan istilah yang paling umum dan dibagi menjadi
beberapa bagian: 1) ADHD dengan tipe yang menonjol inattentive,
2) ADHD, dengan tipe yang menonjol hiperaktif, 3) ADHD dengan
tipe kombinasi (Hallahan, dkk, 2009).
Menurut American Psychiatric Association (dalam Hallahan,
2009) ADHD adalah pola yang pervasive dari inattention,
impulsivitas, dan atau hiperaktif-impulsivitas yang berulang-ulang
dan berat yang khas terobservasi dalam diri individu ketika
dibandingkan dengan tingkat perkembangan. Menurut Colorado
Departement of Education (dalam Freind Marilyn, 2005) adalah;
a. Gangguan perkembangan yang dimulai sebelum usia 7 tahun, dan
hal ini sering dikenal oleh orangtua ketika anak masih sangat
muda.
b. ADHD adalah menahun, lama dan tidak tiba-tiba diperoleh (bukan
hasil yang segera dari suatu kecelakaan atau luka-luka).
c. Perilaku utama adalah tidak mampu untuk diam, ciri ini menandai
suatu tingkatan dan membuat siswa menonjol dari kelompok usia
sebayanya.
d. Memiliki tingkat impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia
mereka, misalnya mereka bertindak sebelum berfikir.
e. Ketika dibandingkan dengan kelompok seusianya, siswa dengan
ADHD sering terlihat gelisah dan sangat aktif dari siswa lain.
f. ADHD sifatnya menetap. Siswa dengan ADHD mempunyai
kekacauan berlawanan dengan perilaku yang ditentukan dan
gejalanya paling nyata di sekolah karena adanya aturan dan
harapan bagi mereka.
g. Siswa dengan ADHD sering terlihat memiliki kinerja yang
menurun seperti tidak mampu menyelesaikan tugasnya.
h. Tidak disebabkan oleh situasi lingkungan atau ketidakmampuan
lainnya, tapi mungkin hadir bersamaan.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 17

Sementara menurut Barkley (dalam Hallahan, 2009) ADHD adalah


kekurangan yang disertai hambatan perilaku. Kasus yang sama
yang dialami oleh penderita ADHD adalah:
a. Masih diperkirakan bahwa banyak anak-anak ADHD memiliki
gangguan otak ringan.
b. Beberapa anak-anak ADHD memiliki intelegensi yang normal.
c. Kondisi pada umumnya diderita oleh laki-laki daripada perempuan.
d. ADHD merupakan kondisi yang disebabkan oleh herediter.
e. Beberapa anak dan saudaranya juga memiliki masalah fisik atau
psikologis seperti depresi dan tics.
Dalam DSM IV (1994) dijelaskan bahwa ADHD sebagai gangguan
perkembangan yang ditandai dengan gejala kurang perhatian dan
atau hiperaktivitas-impulsivitas yang sering dimunculkan pada anak-
anak sebelum usia 7 tahun.
ADHD adalah suatu kondisi neurologist yang melibatkan
gangguan pada proses memusatkan perhatian dan perilaku
hiperaktivitas dan impulsivitas, yang tidak sejalan dengan tingkat
usia anak (Barkley dalam Halgin & Whitbourn, 2003). Kondisi
neurologist seperti ini menunjukkan bahwa ADHD bukan semata-
mata gangguan perhatian seperti asumsi yang selama ini ada, namun
lebih kepada kegagalan perkembangan fungsi sirkuit otak yang
memonitor kontrol diri dan inhibisi. Hilangnya regulasi diri ini
mengganggu fungsi otak yang lain yang penting untuk memelihara
perhatian, termasuk kemampuan untuk menunda imbalan.
Definisi lain dari ADHD adalah sebuah gangguan perkembangan
pada anak usia 7 tahun yang mencakup hilangnya kemampuan
memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas (Halgin &
Kraus, 2003).
Gangguan ADHD ini merupakan suatu sindrom neuropsikiatrik
yang sering dijumpai dengan onset usia kanak-kanak, sebagian
besar menjadi nyata (dan menjadi perhatian medik) ditahun-tahun
pertama sekolah (Kewley, 2005). Kondisi ini merupakan suatu
gangguan heterogen dengan etiologi yang tidak diketahui.
Sementara menurut Barlow & Duran, (2007) ADHD adalah
suatu gangguan perkembangan yang memiliki karakterisitik primer
18 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

seperti individu yang termasuk dalam pola kurang perhatian,


misalnya seperti kurang memberikan perhatian di sekolah ataupun
tugas-tugas yang berkaitan dengan kegiatan bekerja, atau
hiperaktivitas dan impulsivitas. Kekurangan ini bisa secara signifikan
mengganggu upaya akademik sebaik-baiknya hubungan sosial.
Menurut American Psychiatric Association, (Freind, 2005) ADHD
adalah pola perilaku yang ditunjukkan oleh anak-anak dan remaja
dengan perkembangan yang terhambat terus menerus dalam
perhatian, mengontrol keinginan pengaturan aktifitas motorik
dalam merespon tuntutan lingkungan. ADHD ini merupakan
gangguan perilaku yang paling umum yang nampak pertama
kali masa kanak-kanak, terutama mulai terdeteksi ketika anak-anak
masuk sekolah. Anak-Anak dengan ADHD menunjukkan gejala inat-
tention, hiperaktifitas, dan impulsiitas. Kekacauan ini dilihat di 4-5
persen anak-anak sekolah dasar dan lebih sering terjadi pada anak-
anak lelaki.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ADHD adalah
gangguan pola perilaku yang banyak terjadi pada masa awal kanak-
kanak yang ditandai dengan aktivitas yang berlebihan, selalu
bergerak dan tak bisa tenang, impulsif, destruktif, tidak bisa
memusatkan perhatian pada suatu hal dalam waktu yang lama, dan
jika melakukan pekerjaan tidak pernah tuntas.

2. Prevalensi ADHD
Prevalensi ADHD tidak jelas, namun beberapa organisasi utama
termasuk The National Institute of Health (NIH) dan American Medical
Association (AMA) menyimpulkan bahwa ADHD merupakan
gangguan yang nyata dan terjadi sepanjang rentang kehidupan,
(Barkley, dalam Freind, 2005). Dari data American Psyciatric
Association, (2002), sebagian besar profesional memperkirakan bahwa
populasinya 3 sampai 7 persen, namun menurut Lahey & Rowland,
(1999), prevalensi ADHD sekitar 1 sampai 20 persen hal ini disebabkan
karena ketidaksepakatan mengenai keberadaan gangguan ini,
ketidakkonsistenan acuan definisi dan karakteristik dari ADHD dan
kecepatan perubahan informasi mengenai ADHD. Satu faktor utama
yang berpengaruh terhadap perkiraan setting prevalensi adalah
ketika penggambaran sampel yang diambil dari sekolah, rata-rata
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 19

prevalensi 6,9 persen, tapi ketika yang digunakan adalah sampel


komunitas, prevalensi bertambah menjadi 10,2 persen (American
Academy of Psychiatric, 2000). Sementara menurut Barkley, 2006
ADHD lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada pada anak
perempuan dengan perkiraan 3 banding 1, hal ini disebabkan karena
anak laki-laki cenderung memperlihatkan ADHD tipe hiperaktif
atau impulsif dibanding anak perempuan yang cenderung
menunjukkan tipe inatttentif. (Hallahan, dkk, 2009).

3. Faktor Penyebab ADHD


Penyebab ADHD masih menjadi perdebatan selama beberapa
tahun. Dulu, beberapa profesional menyatakan bahwa ADHD
disebabkan karena pola asuh orang tua yang permisif, sehingga
anak-anak terlihat memiliki perilaku yang tidak terkontrol
dikarenakan tidak ada batasan yang ditetapkan untuk mereka (Lench,
2000). Ahli lain mengatakan bahwa ADHD disebabkan karena
diet, alergi makanan, atau konsumsi gula yang terlalu banyak
(National of Mental Health, dalam Freind, 2005). Ada juga yang
menyatakan bahwa ADHD disebabkan karena gangguan fungsi otak.
Sehingga menurut Barkley (dalam Freind, 2005), banyak faktor yang
menyebabkan ADHD sehingga satu faktor belum cukup untuk
dijadikan landasan untuk menegakkan ADHD dengan segera.
Menurut Friend (2005) faktor penyebab ADHD dapat dibagi
menjadi dua:

a. Faktor Fisiologis
Faktor yang paling penting adalah herediter. Peneliti telah
mengeksplorasi karakteristik orangtua, saudara dan kerabat dekat
dari individu ADHD, hasilnya anak ADHD memiliki keluarga yang
ADHD pula. Menurut National Institute of Mental Health (2000), anak-
anak yang memiliki orang tua ADHD beresiko mengalami ADHD 3
kali lipat dibanding anak lainnya. Faktor lainnya adalah adanya
perbedaan 3 bagian otak yang berbeda pada anak ADHD dibanding
anak normal terutama pada prefrontal cortex, basal ganglia dan
cerebellum. Ukuran otak anak ADHD terlihat lebih kecil dengan
aktifitas metabolik yang lebih sedikit. Dopamine, bahan kimia
neurotransmitter yang berhubungan dengan menyampaikan
informasi, tidak berfungsi dengan baik.
20 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

b. Faktor Lingkungan
Pola asuh yang permisif, kerusakan otak yang disebabkan karena
kondisi prenatal, ibu hamil yang merokok, minum alkohol atau
menggunakan obat-obatan. Kekurangan oksigen pada saat proses
kelahiran dan Freind (2005), menyebutkan bahwa adanya kesamaan
penyebab ADHD dengan Learning disability.
Sementara Hallahan, dkk (2009) menyatakan bahwa penyebabnya
adalah adanya abnormalitas yang menetap pada ketiga area otak
yaitu prefrontal lobes, frontal lobes, basal ganglia, cerebellum dan corpus
colosum, abnormalitas neurotransmitter: dopamine dan norepinephrine,
faktor herediter, toxin yaitu pembawa yang dapat menyebabkan
malformation pada perkembangan fetus pada wanita hamil dan
faktor medis seperti komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat
badan.
Menurut Rief (1993), penyebab ADD/ADHD adalah faktor genetik
(orangtua atau famili memiliki gangguan yang sama saat kecil),
faktor biologis atau fisiologis (ketidakberfungsian neurologis pada
area diotak disebabkan ketidakseimbangan dopamine), Komplikasi
atau trauma pada saat kehamilan atau kelahiran, keracunan timah,
diet dan alergi makanan, pengunaan alkohol dan obat-obatan pada
masa prenatal/kehamilan.
Menurut Sugiarmin dan Baihaqi (2006) penyebab ADHD adalah
karena faktor diet, alergi, zat timah. Sebuah pandangan yang
populer pada tahun 70-an dan 80-an, bahwa zat tambahan pada
makanan menyebabkan anak hiperaktif dan inatentif. Adapun zat
tambahan ini bisa berupa penyedap rasa tambahan, bahan
pengawet, dan gula yang biasa digunakan ibu-ibu Selain itu zat
timah dalam kadar rendah yang bisa kita temukan pada debu,
minyak dan cat didaerah yang terdapat gasoline dan cat bertimah
yang 'sekali pakai langsung buang'.
Carlson (2007) menyatakan bahwa sebesar 75 - 91 % diturunkan,
lainnya adalah karena kelainan dalam jaringan otak yang melibatkan
stratum (caudate inti dan putamen) dan Prefontal kortex. Otak orang-
orang dengan ADHD kira-kira 4 persen lebih kecil dibanding
normal, dengan pengurangan yang paling besar di prefrontal cortex
dan caudate inti.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 21

Sementara menurut Joseph B.M.D. Stephen V.F, dan


Monuteaux, M.C. (2003) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk
menguji efek jenis kelamin dihubungkan antara adversity environ-
ment dan resiko mengalami ADHD dengan menggunakan subjek
penelitian 280 ADHD dan 242 non ADHD dari laki-laki dan
perempuan yang berusia 6 dan 17 tahun. Peneliti menguji
hubungan antara indikator adversity dari Rutters (mencakup
konflik keluarga, kelas sosial, jumlah keluarga, psychopathology ibu,
dan kriminalitas pihak ayah) dan ADHD, Hasilnya: Jenis
kelamin laki-laki memiliki resiko yang lebih besar mengalami
ADHD dibanding perempuan, kelas sosial yang rendah, ibu
yang mengalami psychopathology, dan konflik keluarga secara
signifikan dihubungkan dengan psychopathology dan kerusakan/
pelemahan fungsional didalam otak (meningkatkan resiko ADHD),
ADHD juga berhubungan dengan orangtua dan ibu yang selama
kehamilan merokok.
Freind (2005) juga menemukan bahwa faktor lingkungan seperti
pola asuh yang permisif, ibu hamil yang merokok, minum alkohol
dan menggunakan obat-obatan menyebabkan anak mengalami
ADHD.

4. Karakteristik ADHD
Kriteria diagnostik ADHD dalam DSM IV (1994) adalah:
a. Salah satu dari (1) atau (2)
1) Enam (atau lebih) dari gejala kurang mampu memperhatikan
yang berikut ini terus muncul paling sedikit 6 bulan hingga
satu tingkat maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan mental:
Inattention:
a) Sering gagal untuk memperhatian detail atau membuat
kesalahan atau kecerobohan dalam mengerjakan tugas
sekolah, pekerjaan atau aktivitas yang lain.
b) Sering mengalami kesulitan dalam pemeliharaan perhatian
dalam mengerjakan tugas atau kegiatan bermain.
c) Sering terlihat tidak perhatian ketika berbicara secara
langsung.
22 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

d) Sering tidak mengikuti instruksi dan kegagalan


menyelesaikan tugas sekolah, tugas sehari-hari, atau
kewajiban di tempat kerja (tidak dikarenakan perilaku
melawan atau kegagalan dalam memahami instruksi).
e) Sering mengalami kesulitan dalam mengorgani-sasikan
tugas dan aktivitas.
f) Sering menolak, tidak suka, atau enggan ikut serta dalam
tugas yang memerlukan usaha mental yang terus menerus
(misal: tugas sekolah atau tugas rumah).
g) Sering kehilangan benda-benda yang dibutuhkan untuk
mengerjakan tugas atau aktivitas lainnya (contohnya,
mainan, tugas sekolah, pensil, buku, atau alat-alat lainnya).
h) Mudah terganggu oleh stimulus asing (yang tidak ada
hubungannya).
i) Sering kali lupa dalam aktivitas sehari-hari.
2) Enam (atau lebih) dari gejala hiperaktif-impulsif berikut ini
yang terus muncul paling sedikit selama 6 bulan hingga satu
tingkat maladaptif dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan mental:
Hiperaktif:
a) Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat-
geliat di kursi.
b) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau
di situasi yang lain mengharuskan untuk duduk tenang.
c) Sering berlarian kesana-kemari atau memanjat yang
berlebihan dalam situasi yang menganggap hal tersebut
tidak pantas.
d) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau ikut serta
dalam aktivitas yang menyenangkan dengan tenang.
e) Sering terburu-buru atau bergerak terus-menerus seperti
didorong oleh sebuah mesin.
f) Sering terlalu banyak bicara.
Impulsivitas:
a) Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir terlebih dahulu
sebelum pertanyaan selesai.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 23

b) Sering mengalami kesulitan menunggu giliran.


c) Sering menyela atau memaksakan orang lain (misalnya
memotong suatu percakapan, permainan).
b. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau kurang memperhatikan
yang menyebabkan kelemahan itu sudah nampak sebelum usia 7
tahun
c. Beberapa kelemahan dari gejala-gejala tersebut muncul dalam dua
atau lebih setting (di sekolah, di kantor dan dirumah).
d. Harus ada bukti yang jelas dan significan secara klinis tentang
kelemahan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
e. Gejala-gejala itu tidak terus menerus terjadi selama adanya
kelainan perkembangan menahun, Skizofrenia, atau gangguan
psikotik lainnya, dan tidak lebih disebabkan oleh gangguan mental
lainnnya (contohnya: kelainan suasana hati, kecemasan, kelainan
non sosiatif, atau kelainan kepribadian).
Menurut Hallahan, dkk, (2009) dan Freind (2005), karakteristik
ADHD adalah:
a. Karakteristik Kognitif: bentuk otak yang tidak biasa, tidak
mampu mengatur perhatiannya, ketidak berfungsian eksekutif
otak yang menurut Barkley (dalam Freind 2005) fungsi eksekutif
ini dapat digolongkan menjadi 4 aktifitas mental yaitu working
memory (pada ADHD aktivitas mental ini membuat siswa tidak
mampu mengingat tanda-tanda tugas mereka, dan berapa banyak
waktu yang mereka habiskan untuk menyelesaikan tugasnya),
self-directed speech (self-talk yang merupakan mekanisme
yang digunakan siswa untuk menggambarkan bagaimana
mereka melakukan, untuk menyelesaikan masalah dan untuk
mengikuti), kontrol emosi dan motivasi (reaksi terhadap frustasi
dan emosi lainnya) dan rekonstruksi (kemampuan untuk
menghentikan apa yang dilihatnya dan mengkombinasikan
bagian ke dalam aktivitas baru.
b. Karakteristik akademik: karena ADHD tidak berhu-bungan dengan
kemampuan kognitif, tidak mengherankan jika beberapa
karakteristik akademik dari siswa ADHD sangat luar biasa,
beberapa dari mereka yang menjalani intervensi juga dapat sangat
berhasil disekolah, memilki prestasi dengan rangking yang baik,
24 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

dapat menyelesaikan SMA dan pendidikan postsecondary, namun


beberapa dari mereka mengalami kesulitan yang besar dengan
aturan dan tuntutan sekolah, dengan prestasi belajar yang rendah.
Beberapa siswa ADHD dapat ditolong dengan mengembangkan
konsep diri akademik yang positif melalui penggunaan teknologi.
c. Karakteristik sosial dan emosional: self esteem mereka tidak jelas
apakah mereka memiliki self esteem yang positif atau negatif,
namun beberapa peneliti menemukan bahwa mereka memiliki self
esteem yang lebih rendah dibanding siswa lain seusianya
(Slomkowski, Klein & Mannuza, 1995). Sementara fungsi sosial
mereka sangat jelas, siswa ADHD memiliki pengalaman yang
berubah-ubah dalam coping terhadap lingkungan sosial, tuntutan
sekolah, dirumah dan situasi lainnya. Mereka tidak menyadari
bahwa mereka harus memiliki coping yang berbeda dalam setting
yang berbeda. Tidak tepat dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sehingga mereka kesulitan dalam membangun
persahabatan. Mereka dilaporkan memiliki teman dekat yang lebih
sedikit dibanding anak normal (Bagwell, Molina, Pelham & Hoza,
2001). Mereka seringkali ditolak oleh teman sebayanya. Dari hasil
penelitian Blachman & Hinshaw (2002) pada anak perempuan
ADHD diketahui bahwa mereka memiliki teman yang lebih sedikit
anak sebaya tanpa ADHD atau mereka sama sekali tidak memiliki
teman, mereka kesulitan membina hubungan persahabatan, dan
mereka lebih sering mengalami konflik dengan teman.
d. Karakteristik Perilaku
Frekuensi dan keunikan masalah prilaku anak ADHD sangat luas
dan sangat mudah diketahui dengan mengacu pada kriteri
diagnostik dari gangguan.Siswa ADHD dengan tipe hiperaktif-
impulsif atau tipe kombinasi selalu memiliki masalah dengan guru
dan staf sekolah, seringkali membuat onar di dalam kelas, lebih
agresif dibanding anak seusianya sehingga terkadang memiliki
masalah lain disekolah. Ciri lainnya menurut Reis (2002) gagal
bekerja dengan detil, gagal dalam menyelesaikan tugas sekolah,
gagal dalam mendengarkan ketika berbicara secara langsung,
kesulitan dalam mengorganisasi tugas-tugas dan aktivitas,
menghindar, tidak suka pada tugas yang membutuhkan usaha
mental seperti PR.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 25

Menurut Carlson (2007), gejala ADHD sangat bervariasi terutama


pada anak-anak karena tidak hanya inattention melainkan juga adanya
hyperaktifitas. ADHD sering dihubungkan dengan agresi, melakukan
perusakan, kegagalan dalam belajar, tertekan, cemas dan kurang
percaya diri. Gejala ini sekitar 60 persen anak-anak dengan ADHD
berlanjut sampai dewasa dengan ciri kepribadian yang kacau, anti
sosial dan merusak.
Simptom dari ADHD dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
inattention, hiperaktif dan impulsif dengan masing-masing karakteristik
sebagai berikut (American Psyhchiatric Association, dalam Ormrod,
2009; Hoeksema, 2001):
a. Inattention
Tidak dapat menunjukkan perhatian pada detil dan membuat
kesalahan karena kecerobohannya atau sembrono, kesulitan untuk
memperhatikan secara terus-menerus (mempertahankan
perhatian), terlihat tidak mendengarkan ketika orang lain
berbicara, tidak mengikuti perintah atau menyelesaikan tugas,
kesulitan mengorganisasi perilaku, menghindari aktivitas yang
membutuhkan usaha tertentu dan membutuhkan perhatian, pelupa,
mudah bingung (fikirannya kacau), sering kehilangan sesuatu.
b. Hiperaktif
Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat-geliat di
kursi, sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau di
situasi yang lain mengharuskan untuk duduk tenang, kesulitan
berada pada aktivitas yang membutuhkan ketenangan.
c. Impulsif
Sering mengalami kesulitan menunggu giliran, sering menyela
atau memaksakan orang lain (misalnya memotong suatu
percakapan, permainan), terlibat dalam perilaku yang beresiko
atau destruktif tanpa mempertimbangkan konsekuensi-
konsekuensinya.
Dari ketiga karakteristik tersebut tidak selalu muncul sekaligus,
ada beberapa kasus anak ADHD bersikap tidak perhatian namun
tidak menunjukkan sikap hiperaktif. Namun karakateristik yang sama
pada anak yang mengalami ADHD adalah tidak mampu menahan
fikiran atau tindakan yang tidak sesuai, atau kedua-duanya.
26 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Beberapa kondisi yang terkait dengan ADHD adalah siswa


ADHD mengalami kesulitan belajar (learning disability), atau gangguan
emosi atau perilaku serta mungkin berbakat (Barkley, conte, Reeve,
dalam Ormrod, 2009). Forness & Kavale (dalam Freind, 2005)
menyatakan bahwa 26% siswa yang diidentifikasi mengalami
kesulitan belajar juga di diagnosa ADHD, tapi dengan perbedaan
yang luas. Mereka juga mengalami masalah perilaku emosi atau
emosional disability (seperti depresi kira-kira 15 sampai 38%, dan
kecemasan (23 sampai 30%).
Simptom-simptom ADHD dapat berkurang pada masa remaja,
namun sampai taraf tertentu bertahan selama masa sekolah, hal ini
membuat siswa kesulitan untuk menyelesaikan tuntutan disekolah
yang semakin meningkat dan menuntut kemandirian dan
tanggungjawab mereka, karenanya banyak siswa ADHD beresiko
putus sekolah dibanding siswa normal (Barkley, dalam Ormrod,
2009). Menurut Rief (1993) karakteristik Attention Deficit Disorder
tanpa hiperaktif (ADD), dan Attention Deficit Disorder dengan
Hiperaktif (ADHD). Dengan karakteristik masing-masing.
Karakteristik ADD, yaitu:
a. Sangat mudah terganggu oleh stimulus luar.
b. Kesulitan mendengarkan dan mengikuti perintah.
c. Kesulitan memusatkan dan tetap memperhatikan.
d. Kesulitan berkonsentrasi dan mengikuti tugas.
e. Perilaku yang tidak konsisten dalam tugas sekolah (satu hari siswa
mungkin mampu mengerjakan tugas, hari berikutnya tidak, siswa
ini terus menerus tidak konsisten.
f. Kacau (disorganized), kehilangan atau tidak dapat menemukan
miliknya (kertas, pensil, buku), meja dan ruang mungkin menjadi
tempat yang sangat berantakan.
g. Kemampuan belajar yang rendah.
h. Kesulitan bekerja secara mandiri.
Sementara karakteristik Attention Deficit Disorder dengan
Hiperaktif (ADHD) (Rief, 1993) adalah:
a. Memiliki tingkat aktivitas yang tinggi: Terlihat bergerak terus-
menerus, sering gelisah dengan tangan atau kaki, menggeliat,
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 27

jatuh dari kursi, terlihat memegang objek untuk dimainkan


atau dimasukkannya kedalam mulut menjelajah ruang kelas,
sangat sulit duduk diam.
b. Impulsif dan tidak memiliki kontrol diri
Mengeluarkan kata tanpa berfikir, sering tidak tepat, tidak bisa
menunggu gilirannya (tidak sabaran), sering menyela atau
memaksa orang lain, sering berbicara berlebihan, sering mendapat
masalah sebab anak tidak dapat berhenti dan berfikir sebelum
bertindak (merespon dulu baru kemudian berfikir), sering terlibat
dalam kegiatan yang secara fisik berbahaya tanpa memikirkan
akibatnya (seperti meloncat dari atas, mengendarai sepeda ke jalan
raya tanpa melihat), tingkat bahaya yang tinggi.
c. Kesulitan menyesuaikan dengan aktivitas transisi/ perubahan.
d. Perilaku agresif, sangat mudah terangsang.
e. Secara sosial tidak matang.
f. Self Esteem yang rendah dan tingkat frustasinya tinggi.

5. Dampak atau Pengaruh ADHD


Beberapa dampak atau pengaruh ADHD menurut Sugiarmin
dan Baihaqi (2006) antara lain:
a. Pengaruh ADHD pada pendidikan: Tidak dapat segera memulai,
prestasi kurang, bekerja terlalu lambat/cepat, selalu bingung,
menangguhkan pekerjaan, kesulitan menyelesaikan tugas,
menghindari teman, dan berperilaku kacau.
b. Pengaruh ADHD pada perilaku: Menuntut, turut campur dengan
orang lain, mudah frustasi, kurang mengendalikan diri, lebih
banyak bicara dan mengganggu, cenderung untuk mendapat
kecelakaan
c. Pengaruh ADHD pada aspek sosial: Egosentris, mementingkan
diri sendiri, cemas, kasar, tidak peka, tidak dewasa, tertekan, harga
diri rendah, keras/tenang, membuat ramai, tidak berpikir panjang.

6. Identifikasi ADHD
Karena ADHD dianggap merupakan gangguan psikiatrik
daripada gangguan pendidikan, maka siswa ADHD membutuhkan
penanganan bersama antara psikiter, dokter atau tenaga medis
28 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

lainnya dan orangtua. Prosedur penentuan diagnosa ADHD dengan


menggunakan panduan (dalam American Psychiatric Association 2000).
Menurut Freind (1995), treatment dilakukan jika orangtua telah
siap mendiskusikan perilaku anaknya dengan dokter atau psikiater
pada usia dini dan juga siswa yang telah siap untuk masuk sekolah
dan didiagnosa mengalami ADHD. Pada umumnya terjadi ketika
anak-anak menghadapi aturan dan membutuhkan bantuan khusus
agar mereka dapat berhasil di sekolah dasar. Ketika anak-anak
mengalami kesulitan dilingkungan sekolah, beberapa orangtua akan
menanyakan dokter mereka apakah perilaku anak mereka merupakan
tanda-tanda ADHD dan meminta untuk mengevaluasi gangguan ini
secara menyeluruh. Guru sekolah atau guru pendidikan khusus
juga disarankan untuk mengarahkan orangtua agar mendiskusikan
perilaku anaknya dengan dokter, sebab guru tidak memiliki
kualifikasi untuk mendiagnosa dan tidak disarankan untuk
memberikan nasehat bahwa mereka dicurigai ADHD.

7. Assesment ADHD
Tidak ada metode tunggal untuk mendiagnosa apakah seorang
anak mengalami ADHD atau tidak, sehingga assesmen ADHD
mencakup informasi dari timmedis, orang tua anggota keluarga,
dan staf sekolah. Menurut Barkley, (dalam Freind, 2005) ada beberapa
prosedur assesmen yang pada umumnya digunakan yaitu:
a. Interview diberikan secara fleksibel, baik interview tidak
terstruktur pada orangtua dan anak-anak maupun terstruktur.
b. Behavior rating scale; datanya dapat teraplikasi untuk berbagai
informasi.
c. Pengukuran laboratorium; khususnya mengukur attention dan
impulsivitas dengan menggunakan Gordon Diagnostic System,
Matching Familiar Figures Rest.
d. Prosedur observasi langsung, terutama untuk melihat bagaimana
interaksi mereka dengan orang lain, biasanya observasi dilakukan
didalam setting ruang kelas.
Sementara Anasopoulos. (1997) menyatakan bahwa metode
assesemen yang digunakan dapat berupa interiew, behavior rating
scale, clinic-based measures, direct observational procedures, dan data dari
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 29

sekolah berupa informasi fungsi intelektual anak, tingkat prestasi


akademik, status learning disability.

8. Treatmen ADHD
Treatmen yang baik sangat dipengaruhi oleh proses asesmen
yang dilakukan. Jika assesmen dilakukan secara rinci maka treatmen
juga akan berjalan dengan baik. Menurut Barkley (1992) beberapa
jenis treatmen adalah: pharmacotherapy, stimulant medication,
antidepresant medication, behavior therapy, laboratory applications of
behavior therapy, pelatihan orangtua dalam manajemen contingensi,
manajemen contingensi ruang kelas, cognitive-behavioral therapy, dan
intervensi yang dikombinasi.
Sementara Anasopoulos (1997), & Hoeksema (2001), menyatakan
bahwa treatmen dapat dilakukan dengan pharmacotherapy, training
pada orangtua yang memiliki anak ADHD pelatihan prilaku
mendukung dari orangtua, managemen taktik seperti reinforcement
positif, respon cost, dan strategi time-out. Bisa juga berupa kombinasi
training managemen kontingensi dengan didactik konseling yang
bertujuan untuk menambah wawasan orangtua dan pemahaman
tentang ADHD. Selain itu untuk membuat perubahan perilaku anak,
orangtua juga dapat diberikan training intervensi untuk
meningkatkan berbagai aspek fungsi orangtua dan keluarga,
termasuk mengurangi stres orangtua dan meningkatkan self-esteem
orangtua. Treatmen lainnya manajemen classroom contingency, Cognitif-
Behavior Therapy, intervensi yang dikombinasi misalnya therapy
obat-obat stimulant dengan manajemen kelas kontingensi, bisa juga
dikombinasi dengan intervensi kognitif-Behavior.
Volkow dan Swanson (2002) dalam jurnalnya tentang Variabel
yang mempengaruhi penggunaan klinis dan penyalahgunaan
methylphenidate dalam treatmen ADHD, meneliti tentang variabel
peningkatan extra-cellular dopamine di otak dihubungkan dengan
methylphenidate sebagai penguat seperti halnya methylphenidate yang
mempengaruhi terapi (Methylphenidate yang merupakan treatment
yang paling umum untuk ADHD). Dengan metoda: Brain image dan
literatur klinis yang telah dianalisa untuk mengidentifikasi variabel
yang berperan dalam penyalahgunaan seperti halnya kemanjuran
methylphenidate dalam klinis hasilnya adalah: 1) Dosis merupakan
30 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

suatu ambang batas untuk methylphenid termasuk penambahan


dopamine yang dipersepsi sebagai penguat dan untuk menghasilkan
efek mengobati. 2) Pharmacokinetic berfungsi untuk menguatkan efek
methylphenidate dihubungkan dengan perubahan cepat dalam
konsentrasi serum dan kecepatan peningkatan dopamine ketika
dicapai dengan suntikan kedalam pembuluh darah atau insufflation,
sedangkan efek pengobatan dihubungkan dengan menaikan
konsentrasi serum secara perlahan dan peningkatan level dopamine
yang dilakukan dengan administrasi lisan. 3) Perbedaaan individual
yaitu adanya sensitivitas individu terhadap variasi methylphenidate
antar individu dan menetapkan suatu ambang batas untuk darah
dan tingkatan otak yang diperlukan untuk menguatkan efek
(kegemaran obat/racun) dan untuk efek mengobati (pengurangan
gejala). 4) Context pengaruh methylphenidate diatur oleh keadaan
penyalahgunaan yang berbeda (untuk ritua keagamaan) dan di
dalam penggunaan klinis (permintaan eksternal aktivitas rendah
dan dipusatkan pada perhatian).
Secara detil Rief (1993) menjelaskan beberapa program treatmen
untuk ADD/ADHD adalah;
1. Modifikasi dan managemen perilaku di rumah dan di sekolah.
2. Konseling: Konseling keluarga sangat disarankan karena dengan
anak ADHD dirumah, seluruh anggota keluarga berpengaruh.
3. Konseling individual untuk menpelajari teknik coping, strategi
problem solving, dan bagaimana menangani stress dan self esteem.
4. Terapi kognitif untuk memberikan anak kemampuan untuk
mengatur perilakunya sendiri seperti teknik "stop and think".
5. Pelatihan kemampuan sosial (kadang-kadang dapat dilakukan
dalam konseling kelompok disekolah).
6. Berbagai intervensi sekolah (lingkungan, pembelajaran, perilaku).
7. Menyediakan tempat terbuka untuk latihan fisik (berenang,
olahraga karate, olahraga senam, lari , khususnya olahraga yang
non-kompetisi).
8. Intervensi medical (terapi obat).
9. Pendidikan orangtua untuk menolong orangtua belajar sebanyak
mungkin tentang ADHD sehingga mereka dapat menolong anak
mereka dan menjadi penasehat yang efektif.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 31

C. Gangguan Spektrum Autism (Autism Spectrum Disorder)


dan Asperger

1. Pengertian
Merupakan gangguan perkembangan yang mem-pengaruhi
komunikasi verbal, nonverbal dan interaksi sosial, pada umumnya
terjadi sebelum umur 3 tahun yang mempengaruhi performance
anak. Tingkat keparahan autis berbeda-beda antara satu individu
dengan yang lain. Istilah spektrum digunakan untuk
mendeskripsikan tingkat keparahan tersebut. Karakteristik yang
sering dihubungkan dengan autis adalah pengulangan gerakan dan
aktifitas, resisten terhadap perubahan lingkungan atau perubahan
dalam aktifitas rutin dan selalu tidak merespon pengalaman sensori
(IDEA, 2004 dalam Hallahan, dkk, 2009). Sementara individu yang
mengalami Asperger memiliki intelektual dan kemampuan
komunikasi yang lebih tinggi dibanding autis namun memiliki
karakteristik yang hampir sama dengan individu autis dengan
memiliki hambatan yang utama daam hal interaksi social.

2. Prevalensi Autis
Beberapa hasil penelitian mengindikasikan 0.6% (1 dari 166)
populasi mengalami gangguan autis, asperger. Data ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan dengan hasil identifikasi layanan pendidikan
khusus dengan data 0,27% (1 dari 370 siswa usia 6-17 tahun
terindentifikasi autis dan mendapatkan pendidikan khusus. Data 1
dari 166 populasi menunjukkan peningkatan yang drastis dibanding
hasil survey tahun 1970an dimana prevalansi sekitar 0,04% atau
dibanding 2500).

3. Penyebab Autis
Meningkatnya gangguan autis menyebabkan penelitian diarahkan
pada mencari penyebab gangguan tersebut. Mayoritas gangguan
autism disebabkan karena abnormalitas di otak (Gilberg & Coleman;
Nelson, Theoret, dalam Ormrod,2009). Hans Asperger (dalam
Hallahan, 2009) menyebutkan bahwa penyebab autis adalah
kurangnya perhatian dari orangtua, Bettelheim (dalam Hallahan,
2009) menegaskan bahwa ibu yang dingin dan tidak responsive
terhadap anak menyebabkan anak menjadi autis. Bell dan Harper
32 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

(2007, dalam Hallahan, 2009) juga menyatakan bahwa orangtua


yang tidak merespon bayinya maka menyebabkan anak menunjukkan
perilaku yang cuek dan menjaga jarak. Penyebab lain adalah faktor
genetik dan adanya gangguan neurologi di otaknya yang
menyebabkan anak autis kesulitan untuk merespon. Sementara
Hockstra (dalam Hallahan, 2009) menyatakan herediter menjadi
penyebab utama. Hasil penelitian membuktikan bahwa ketika dalam
keluarga ada yang mengalami autis maka anak akan mengalami hal
yang sama. Volkmar dan Pauls dalam Hallahan & Kaufmann, 2009)
individu autis memiliki kecenderungan tinggi mengalami brain
seizures dan defisit kognitif. Ukuran otak dan kepala individu autis
lebih besar dari ukuran normal, pada saat lahir otaknya berukuran
rata-rata atau lebih kecil dari rata-rata, 2 tahun pertama kehidupan
otaknya tumbuh tiba-tiba dan cepat, pertumbuhan otak mengalami
kelambatan pertumbuhan saat usia 4-5 tahun. Setelah 5 tahuan
ukuran otak mengecil dan berukuran sama dengan yang mengalami
kelainan saat dewasa.

4. Identifikasi
Tidak ada alat diagnostik yang universal yang dapat digunakan
untuk mendiagnosa gangguan ini. Diagnosa autis biasanya diarahkan
untuk mengetahui penyebab anak tersebut atau terapi diarahkan
pada kemampuan berkomunikasi, interaksi sosial dan pengulangan
pola perilaku dengan menggunakan karakteristik yang ditetapkan
dalam APA. Autis harus di diagnosa sedini mungkin agar dapat
dilakukan penanganan segera. Namun banyak ahli yang enggan
mendiagnosa sebelum usia 3 tahun dikarenakan khawatir terjadi
kesalahan dalam mendiagnosa.

5. Karakteristik Autis
Diagnosa autis menggunakan parameter Triad of Impairment
yaitu 3 area kesulitan belajar dan berkomunikasi yang tampak
dalam perkembangan anak:
a. Kesulitan bahasa dan komunikasi.
b. Kesulitan dalam interaksi sosial dan pemahaman terhadap
sekitarnya.
c. Kurangnya fleksibelitas dalam berfikir dan bertingkah laku.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 33

Karakteristik umum dari gangguan autis adalah gangguan dalam


kognisi sosial (kurang mampu mempertimbangkan persepktif
oranglain, keterampilan sosial dan interaksi sosial, menyendiri dan
membentuk kelekatan emosional yang lemah atau bahkan sama
sekali tidak mampu melakukan kelekatan dengan orang lain dan
munculnya perilaku repetitif, perilaku yang aneh dan jarang ditemui
diantara anak-anak seusianya (Ormrod, 2009).
Menurut American Psychiatric Association(1994, dalam Ormrod,
2009) tingkat keparahan kondisi siswa Autisme berbeda-beda, pada
tingkat yang ringan mereka memiliki keterampilan bahasa yang
normal dan intelegensi rata-rata atau bahkan diatas rata-rata, dalam
tingkat yang parah siswa mengalami keterlambatan yang menonjol
dalam perkembangan kognitif dan bahasa serta menampilkan
perilaku aneh (mengulang kata-kata yang diucapkan orang,
menggaruk atau mengayun-ayunkan tangan secara konstan dan
tertarik pada objek tertentu. Mereka memiliki kesadaran yang
luarbiasa akan detil-detil pada sebuah objek atau tampilan visual,
kontak mata yang minim dengan teman-teman sebaya, kurang atau
tidak berminat sama sekali mencari hiburan dari orang lain ketika
sedang terluka atau merasa gelisah, dan sikap badan atau gerakan
yang abnormal,terkadang memperlihatkan sindrom savant yaitu
memiliki kemampuan yang luar biasa dalam seni atau music yang
sangat kontas dengan aspek-aspek lain dari fungsi mentalnya
(Hobson; Treffert & Wallace; Winner, dalam Ormrod, 2009).

D. Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa

1. Pengertian Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa


Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa (CI/BI) merupakan
siswa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata serta memiliki
keterampilan khusus yang luar biasa (Sausa, 2003). Sementara
Gagne (2005) menyatakan bahwa siswa CI/BI adalah siswa yang
memiliki potensi istimewa didalam satu domain atau lebih
dengan bakat yang telah berkembang secara sistematis, yang
merupakan hasil interaksi antara faktor keturunan (genetik) dan
faktor tumbuh kembang (developmental) yang sangat dipengaruhi
oleh lingkungan.
34 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Menurut Munandar (1999) dan Direktorat Jenderal Pendidikan


Luar Biasa dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan
Belajar Bagi Siswa Berbakat Akademik (dalam Hawadi, 2002)
memisahkan makna kecerdasan istimewa sebagai kecerdasan
dibidang akademik atau intellectually gifted, sementara bakat Istimewa
untuk kemampuan yang istimewa di bidang nonakademik, seperti
bakat di bidang seni atau olahraga atau bakat khusus lain (fotografi,
gardening, desain interior, dsb). Ada tiga sifat dasar yang harus
dimiliki seseorang untuk dapat dikatakan CI/BI yaitu memiliki
kemampuan umum dan/atau khusus di atas rata-rata, kreativitas
yang tinggi, komitmen terhadap tugas yang tinggi, serta mampu
menerapkannya pada berbagai bidang dalam kehidupan
bermasyarakat (Renzulli, 1985).
Menurut United States Departement of Education (dalam Parke,
1989), yang dapat dikatakan sebagai CI/BI adalah seseorang yang
oleh profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai
prestasi tinggi karena mempunyai kemampuanyang unggul pada
area berikut, baik tunggal maupun kombinasi dari kemampuan
intelektual umum (kecerdasan dan intelegensi), kemampuan
akademik khusus, kemampuan berfikir kreatif-produktif, kemampuan
memimpin, kemampuan dalam salah satu bidang seni, dan
kemampuan psikomotor (seperti dalam olahraga).
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang
disebut dengan siswa cerdas istimewa/bakat istimewa adalah siswa
yang oleh profesional diidentifikasi sebagai anak yang memiliki
kecerdasan diatas rata-rata dan memiliki bakat istimewa dibidang
non akademik yang sifatnya bawaan dan faktor lingkungan.

2. Karakteristik dan Permasalahan Siswa Cerdas Istimewa/


Bakat Istimewa (CI/BI)
Individu yang berbakat memiliki karakteristik kognitif, afektif
dan kreativitas yang berbeda dengan siswa pada umumnya
diantaranya kemampuan memanipulasi simbol yang tinggi,
mengingat, pemahaman dan daya konsentarasi yang tinggi, hasrat
yang kuat mendalami suatu topik atau bidang studi, berfikir melalui
pengalaman problem solving (metakognisi) yang tinggi, rasa ingin tahu
yang besar, dan kritis pada diri sendiri dan orang lain. Karakteristik
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 35

afeksinya mereka memiliki kepedulian yang tinggi pada lingkungan


dan orang lain, perfeksionis, humoris, kemampuan memimpin,
kemampuan untuk menghadapi kesulitan atau bahaya ketika
menghadapi berbagai ketakutan fisik, psikologis, dan moral, energi
yang diinvestasikan untuk mencapai suatu tujuan (Renzulli, 2002;
Sausa, 2003; Balitbang Dikbud dalam Hawadi, 2002).
Faktor yang menyebabkan keberbakatan adalah hasil interaksi
faktor intrinsik (herediter), dan faktor lingkungan dengan karakteristik
memiliki kemampuan luarbiasa, memiliki dorongan dari dalam diri
yang kuat dan komitmen yang kuat pada bidang yang diminati
(Feldman, dalam smith, 2012).
Tiga karakteristik siswa yang membuat siswa berbakat
membutuhkan layanan khusus adalah pertama, mereka memiliki
sensitivitas yang tinggi, rasa keadilan dan perfeksionisme. Kedua,
siswa berbakat memiliki kecerdasan yang tinggi ditandai oleh
kemampuan memori yang luar biasa. Ketiga, mereka memiliki minat
karir yang lebih dini dibanding siswa lain seusianya, mampu
melakukan beberapa hal dengan baik, bahkan memiliki minat yang
sangat bervariasi dan beragam. Ketiga karakteristik tersebut dapat
memunculkan berbagai permasalahan dalam diri siswa berbakat
apabila tidak mendapat pelayanan yang baik (Silverman, dalam
Wahab, 2003).
Winner (dalam Ormrod, 2009) menegakan bahwa karkateristik
siswa berbakat berbeda-beda dalam hal kekuatan dan talenta mereka
yang unik, mereka dapat saja memperlihatkan talenta pada satu
bidang namun pada bidang lainnya hanya memperlihatkan
kemampuan rata-rata, meskipun demikian ada beberapa karakteristik
yang seringkali ditemui pada anak berbakat ini yaitu memiliki
perbendaharaan kata yang kaya, kemampuan berbahasa yang tinggi
dan keterampilan membaca diatas rata-rata, memiliki pengetahuan
umum yang kaya tentang dunia, memiliki kemampuan belajar lebih
cepat, mudah dan mandiri dibanding teman-teman sebayanya,
memiliki proses kognitif dan strategi belajar yang lebih canggih dan
efisien, Memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam hal gagasan
dan pendekatan terhadap tugas, standar performa yang tinggi
bahakan terkadang terlalu perfeksionis, konsep diri yang positif
khususnya yang terkait dengan usaha akademis.
36 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Permasalahan siswa berbakat dapat disebabkan karena faktor


dalam diri siswa (faktor endogenous) seperti ketidaksesuaian antara
standar terhadap diri sendiri yang tinggi dengan hasil yang dicapai.
Dapat juga disebabkan oleh lingkungan (faktor exogenous) seperti
pola pengasuhan yang salah, layanan pendidikan yang tidak tepat
(Peterson & Moon, 2008; Buescher &Highman, dalam Friend, 2005;
Semiawan; 2008).
Permasalahan yang dihadapi siswa berbakat ini membutuhkan
layanan khusus agar potensi yang mereka miliki dapat tumbuh
kembang secara optimal. Lebih jauh agar siswa berbakat tidak
terjebak kedalam perilaku yang menyimpang seperti depresi, bunuh
diri, kecemasan, underachievement, sampai pada penyahgunaan
obat-obatan terlarang (Colangelo, Feith, dalam Freind 2005;
Mendaglio & Peterson, dalam Peterson & Moon, 2008).
Siswa berbakat membutuhkan layanan khusus melalui berbagai
program pendidikan salah satunya adalah akselerasi. Program ini
dilaksanakan dengan mempercepat bahan ajar (Coleman, 1995;
Sarwono, 2004). Siswa yang dapat mengikuti program akselerasi
adalah siswa yang lolos dalam serangkaian proses penjaringan dan
penyaringan dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti
motivasi, stabilitas emosi agar siswa mampu mengikuti kegiatan
belajar yang disebut sebagai diferensiasi kurikulum. Tiga hal yang
dilakukan dalam diferensiasi kurikulum adalah enrichment
(pengayaan) kegiatan belajar yang memungkinkan perluasan materi
kurikulum, extension (pendalaman) kegiatan belajar yang
memungkinkan investigasi bidang studi secara lebih mendalam,
dan acceleration (percepatan) kegiatan belajar yang memungkinkan
untuk menyelesaikan materi belajar dalam waktu yang lebih singkat
(Davis & Rimm, 1998).
Program akselerasi mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas
belajar, penghargaan atas prestasi yang dicapai, meningkatkan waktu
untuk karir, membuka siswa pada kelompok barunya, dan ekonomis.
Program akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan
pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi
akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat dan gairah
belajarnya. Melalui program akselerasi ini diharapkan memasuki
dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh
kesempatan untuk bekerja produktif (Southern and Jones, 1991).
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 37

E. Anak Tuna Rungu

1. Pengertian
Gangguan pendengaran didefinisikan dari sudut pandang
kebutuhan pembelajaran yang dilihat juga dari tingkat berat
kehilangan pendangaran dan usia seseorang ketika kehilangan
pendengaran, hal ini penting diketahui untuk mengoptimalkan sisa
pendengaran yang ada. Menurut PL-94-142 (dalam Smith, 2012)
sulit mendengar merupakan gangguan pendengaran yang bersifat
permanen maupun sementara yang mempengaruhi prestasi belajar
anak. Istilah Tuli mengacu pada gangguan pendengaran yang sangat
berat sehingga anak tidak dapat melakukan proses informasi bahasa
melalui pendengaran dengan ataupun tanpa alat bantu pengeras
suara yang jelas menganggau akademiknya.

2. Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran


Penyebab gangguan pendengaran dapat disebabkan dua faktor
yaitu:
a. Faktor genetik: ditularkan oleh orangtua ke anaknya baik itu gen
resesif (orangtua memiliki pendengaran normal) maupun
gen-gen dominan (salah satu dari keduanya memiliki dasar
ganggguan pendengaran secara genetik). Faktor genetik
menyebabkan gangguan pendengaran jenis sensorineural dan
menyebabkan cacat tulang telinga tengah yang menyebabkan
berkurangnya pendengaran.
b. Faktor Lingkungan/Pengalaman
1) Lahir prematur: resiko tinggi mengalami gangguan
pendengaran.
2) Campak Rubella yaitu terkena infeksi yangg disebabkan
virus yang sering dihubungkan dengan kehilangan
pendengaran. Bila ibu hamil tertular rubella pada trimester
pertama kehamilan akan berefek pada gangguan
pendengaran pada janinnya. Untuk itu Vaksin rubella
menjadi penting pada saat kehamilan. Virus lain radang
selaput otak atau sumsum tulang belakang, raddang otak,
gondok dan influenza, ketidaksesuaian Rh yang terjadi bila
wanita dengan Rh negatif mengandung janin dengan Rh
38 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

positif. Radang telinga tengah atau pembentukan cairan di


telinga bagian tengah terinfeksi biasanya terjadi pada anak-
anak. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan permanen pada
telinga yang membuat hilangnya pendengaran.

F. Tuna Netra (Gangguan Penglihatan)


Adalah ketidakmampuan melihat atau biasa disebut dengan
istilah visual handicapped yang mempengaruhi prestasi akademik
siswa, baik sebagian (partial seeing) maupun buta total (Blind). Anak
yang buta total mempunyai kelainan penglihatan berat dan harus
diberikan pembelajaran dengan braille, yang penglihatan sebagian
atau rentang pandang hingga masih dapat membaca huruf cetak
yang cukup besar atau dengan alat pembesar dengan penerangan
khusus. Pengelompokkan yang terbaru adalah belajar melalui meraba
atau materi auditori.

G. Anak Tuna Wicara


Menghasilkan ucapan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan bagian tubuh laim. Kompleksitas ini yang menjadikan
tiap individu menjadi begitu unik dan menjadikan ucapan kita
dipandang sebagai aspek penting dari kepribadian. Ketidakmampuan
bicara merupakan gangguan pemahaman dan/atau ketidakmampuan
menggunakan bahasa, tulisan, dan/atau simbol-simbol lainnya
(American Speech-Language-Hearing Association, dalam Hallahan,
2009). Dapat juga diartikan sebagai ketidakmampuan mengungkapkan
pikiran seseorang melalui pengucapan suara (secara lisan) atau
dengan kata lain tidak mampu mengungkapkan dan/atau memahami
ucapan. Kelainan bicara dan bahasa (speech and language disorder) pada
umumnya terjadi pada anak dengan jenis gangguan diantaranya:
1. Kelainan artikulasi atau kesulitan dalam menghasilkan suara
yang menyusun kata.
2. Hambatan kelancaran berucap (fluency disorder) berupa
pengualangan kata atau suku kata dengan alas an yang tidak
jelas, yang biasa terjadi ketika orang merasa tertekan.
3. Ucapan gagap (stuttering) yang dicirikan adanya pengulangan
suku kata, pemanjanga (prolongation) atau memanjangkan suku
kata dan hesitation atau terbata-bata.
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 39

4. Bicara nyrocos (Cluttering) ucapan begitu cepat sehingga sanat


berantakan yang menyebabkan campuraduknya kata-kata
dengan ide-ide yang membingungkan. Kata dan frase mengalir
bersamaan sehingga tidak dapat difahami oleh orang lain.
5. Cleft Palate berupa kelainan organis yang mengganggu ucapan.
Kelainan pada otot, syaraf, gigi atau tulang yang dipakai berbicara
dapat mengakibatkan gangguan bicara.

H. Anak Lamban Belajar (Slow Learner)


Anak yang lamban belajar adalah anak yang memiliki IQ dibawah
rata-rata. IQ mereka sekitar 50-70. Karakteristik yang nampak pada
anak ini adalah sulit menangkap pelajaran, kurang mampu mengikuti
pelajaran dikelas bahkan rata-rata atau sebagian besar nilai rendah
pernah atau sering tidak naik kelas. Ormrod (2009) menggunakan
istilah untuk anak pada kategori ini dengan sebutan siswa yang
mengalami keterambatan umum dalam fungsi kognitif dan sosial
karena siswa menunjukkan pola perkembangan yang yang lambat
secara konsisten, mereka terlihat mengalami kesulitan dalam sebagian
besar atau bahkan semua mata pelajaran.

I. Anak Keterbelakang Mental (Mental Retardation)

1. Pengertian
Anak keterbelakangan mental ini sering disebut juga down
syndrome, merupakan bentuk keterbelakangan mental yang sangat
dikenal oleh banyak orang, disebabkan oleh adanya bahan kromosom
ekstra dalam sel yang biasa disebut trisomy 21 dikarenakan
kromosom yang berlebih yang dipasangkan ke kromosom ke-21.
Mereka memiliki wajah seperti orang mongol. Inilah yang membuat
mereka sangat mudah dikenali. Ciri lain yang khas adalah anak ini
sangat pendiam, koordinasi otot mulut, tangan dan kaki yang
bermasalah sehingga sering mengalami keterlambatan bicara dan
berjalan (Ambarsari, 2014).
Mereka juga memperlihatkan keterlambatan yang signifikan
disebagian besar aspek perkembangan kognitif dan sosialnya,
menurut Luckasson, dkk. (dalam Ormrod, 2009) mereka memiliki
karakteristik intelegensi umum di bawah rata-rata, biasanya memiliki
40 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

skor tes intelegensi yang cukup rendah antar 67-70, mereka belajar
secara lambat dan konsisten menunjukkan prestasi yang rendah
disemua mata pelajaran. Perilaku mereka seperti anak-anak, kurang
memiliki perilaku adaptif dan mencakup keterbatasan dalam
intelegensi praktis yaitu kurang mampu mengelola aktivitas-aktivitas
biasa sehari-hari dan rendahnya intelegensi sosial yaitu kurang
mampu bertingkahlaku secara tepat dalam berbagai situasi sosial.
Karakteristik umum yang tampak adalah hasrat yang tulus
untuk menjadi bagian dari sekolah dan merasa cocok berada
disekolah, kurangnya pengetahuan umum tentang dunia memiliki
keterampilan membaca dan berbahasa yang buruk, tidak memiliki
strategi belajar dan strategi memori yang efektif, sulit melengkapi
detil-detil ketika instruksi diberikan tidak detil dan ambigu, sulit
memahami gagasan abstrak, sulit menggeneralisasi sesuatu yang
dipelajari dalam suatu situasi ke situasi baru, memiliki keterampilan
motorik yang rendah, serta perilaku bermain dan keterampilan
interpersonal yang tidak matang (Beirne-Smith, dkk.; Turnbull dkk.,
dalam Ormrod, 2009).

2. Faktor Penyebab
Menurut Smith (2012) Faktor penyebab down syndrom adalah
faktor prakelahiran seperti cacar air atau rubella pada janin yang
terjadi pada trimester pertama kehamilan, penyakit syphilis dan
infeksi penyakit kelamin yang menyebabkan kerusakan otak. Racun
yang berasal dari alkohol dan obat-obatan yang digunakan pada
saat ibu hamil, dan merokok. Penyebab pada saat kelahiran berupa
lahir prematur yang beresiko mengalami kesulitas fisik dan kerusakan
otak, kelahiran sungsang yang menyebabkan kelahiran terhambat
dan bayi kekurangan oksigen, Penyebab selama masa perkembangan
anak dan remaja jika terkena penyakit radang selaput otak atau
radang otak. Kecelakaan, gizi buruk, keracunan timah.
Ormrod (2009) menyatakan bahwa keterbelakangan mental ini
disebabkan kondisi genetik, namun pada beberapa kasus karena
faktor biologis tetapi tidak diturunkan (inherited) seperti kekurangan
gizi, konsumsi alcohol yang berlebih pada masa hamil atau
kekurangan oksegen dalam proses kelahiran yang sulit, dalam
situasi lain disebabkan faktor lingkungan seperti diabaikan
Klasifikasi Dan Karakteristik Individu Berkebutuhan Khusus 41

orangtua, lingkungan yang sangat miskin dan kurangnya stimulasi


lingkungan.

3. Bantuan yang Dapat Diberikan dalam Proses Pembelajaran


Strategi pembelajaran yang dapat diterapkan di kelas adalah:
Guru perlu memahami bahwa mereka sangat sulit untuk
menyelesaikan tugas-tugas akademik bahkan seringkali gagal,untuk
itu dalam pembelajaran harus dilakukan pengulangan sesering
mungkin untuk memberikan kesempatan kepada mereka memahami
materi. Jika beralih ke topik lain pun harus dilakukan secara perlahan-
lahan. Pemberian instruksi dalam menyelesaikan tugas harus sangat
konkrit, spesifik dan lengkap karena mereka tidak mampu untuk
melakukan penalaran dan hanya akan melakukan sesuai perintah
yang diberikan. Mengajarkan mereka teknik belajar dan mengingat
yang sederhana misalkan diajarkan cara mereka untuk berkonsentrasi,
memberikan pedoman sederhana tentang apa yang harus dilakukan
selama belajar, serta mengajarkan strategi mengingat yang sederhana
dan konkrit seperti mengulang-ulang pelajaran yang dia terima,
Hal terpenting adalah melatih mereka untuk menguasai keterampilan
hidup yang umum dan keterampilan bekerja. Pelatihan yang
diberikan akan efektif bila disetting yang realistis dan semirip
mungkin dengan setting yang akan mereka alami setelah lulus nanti
(Turnbull dkk., dalam Ormrod, 2009).
42 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 43

BAB 3

MEMAHAMI KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Pengertian Pendidikan Inklusif


Pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep yang muncul
untuk memberi solusi terhadap persoalan pendidikan yang belum
sepenuhnya dapat diakses oleh setiap orang karena berbagai
keterbatasan yang mereka miliki, baik fisik, kognitif, sosial ekonomi
atau individu berkebutuhan khusus (IBK). Individu dengan
keterbatasan ini seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dalam
layanan pendidikan. Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah strategi untuk
mewujudkan pendidikan universal guna menciptakan sekolah yang
responsif terhadap beragam kebutuhan aktual anak dan masyarakat
(Stubbs, 2002) dan mensyaratkan IBK belajar di sekolah-sekolah
terdekat dikelas biasa bersama anak-anak seusianya (Sapon-Shevin
dalam Oneil, 1994). Arti dari pendidikan inklusi sendiri adalah
pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama
dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan
pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu
peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar
suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa,
geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan
perbedaan kondisi fisik atau mental.

43
44 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Penyelenggaraan pendidikan inklusif ini lahir dari deklarasi


Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan
Khusus tahun 1994, yang merupakan dokumen internasional utama
tentang prinsip-prinsip dan praktek pendidikan inklusif. Prinsip
fundamental yang dibahas dalam dua dokumen tersebut antara lain
adalah (a) anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam
karakteristik dan kebutuhannya, (b) bahwa keberbedaan adalah hal
yang normal (c) sekolah perlu untuk mengakomodir kebutuhan
semua peserta didik (d) anak berkebutuhan khusus sebaiknya
bersekolah di sekitar tempat tinggalnya (e) pendidikan inklusif
membutuhkan partisipasi dari seluruh komponen komunitas atau
masyarakat, (f), pengajaran dalam sekolah inklusif harus disesuaikan
dengan kondisi setiap anak, dengan menerapkan kurikulum yang
berdiferensiasi (Rudiyati, 2011).
Di Amerika Serikat telah disahkan Publik Law 94-142 dalam
kongres U.S tahun 1975 yang dikenal dengan Individuals with
Disabilities Education Act (IDEA) yang berisi tentang pemberian hak
memperoleh pendidikan sejak lahir hingga usia 21 tahun bagi
individu yang mengalami hambatan kognisi, emosi dan fisik. IDEA
menjamin beberapa hal yaitu 1) bebas memilih pendidikan yang
sesuai, mereka berhak untuk mengikuti program pendidikan yang
secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang
unik, 2) Berhak menjalani evaluasi yang fair dan tidak diskriminatif,
3) Berhak memperoleh pendidikan dalam suasana yang tidak
mengekang baik dalam lingkungan akademik, aktivitas
ekstrakulikuler dan interaksi sosial yang sama dengan kawan-
kawannya yang normal disertai bantuan tambahan dan layanan
dukungan yang memadai untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka,
3) Berhak mendapatkan program pendidikan yang disesuaikan
dengan kelebihan dan kelemahan yang dimiliki dalam individualized
education program (IEP), 4) Menghargai hak asasi individu; IDEA
memandatkan beberapa praktik yang memastikan bahwa hak-hak
siswa dan orangtua dilindungi dalam proses pengambilan keputusan-
keputusan (Ormrod, 2009).
Dari kesadaran bersama tentang hakekat pendidikan yang tidak
melihat latarbelakang seseorang ini, pendidikan inklusif menjadi
satu upaya untuk mewujudkan pendidikan universal guna menciptakan
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 45

sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual anak


dan masyarakat dan menyatukan mereka dengan anak-anak seusianya
(Stubbs, 2002; Sapon-shevin dalam Oneil, 1994).
Istilah inklusif sendiri merupakan istilah yang terdengar lebih
positif bagi anak-anak yang memiliki hambatan dibanding bila disebut
dengan SLB atau dengan sebutan cacat atau abnormal, karena
mengandung diskriminatif dan ketidakberdayaan mereka. Di samping
itu, dalam pendidikan inklusif diupayakan cara-cara yang lebih realistik
dan menyeluruh dan menghadapkan siswa dalam situasi kehidupan
yang nyata karena mereka dapat bertemu dengan beragam orang
dalam lingkungan sosialnya. Berbeda dengan mainstreaming dan
segregasi, pendidikan inklusif berupaya untuk melibatkan anak
berkebutuhan khusus (ABK) kedunia pendidikan secara utuh.
Anak yang tergolong berkebutuhan khusus antara lain mereka
yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari rata-rata anak
normal karena kekhususan mereka dari sisi intelegensi, emosi
maupun perilaku yang yang disebabkan oleh faktor neurologi
(Hallahan, dkk, 2009; Freind, 2005), kelainan dalam jaringan otak
(Carlson, 2007), genetik (Friend, 2005; Rief, 1993), kerusakan
perkembangan janin, kelahiran prematur, dan proses kelahiran
(Hallahan, 2009; Freind, 2005). Kekhususan yang mereka miliki ini
membuat mereka membutuhkan program, pelayanan dan materi
khusus untuk dapat belajar secara efektif (Gearheart dalam
Mangunsong, 2009; Fletcher, J.M, et.al,1994; Friedman, Harvey, Young
Wirth dan Goldstein ,2007),
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Ronka; 1999, Jessor;
1998; Rutter &rutter; 1992 (dalam Visser, Daniels & Cole, 2001)
meyebutkan ada 2 faktor (risk factor) yang membuat anak-anak
memiliki pengalaman buruk yang kemudian membutuhkan
pendidikan khusus yaitu faktor internal yaitu rendahnya kontrol
emosi dalam diri, pengalaman negatif disekolah dan rendahnya
harga diri. Sementara faktor eksternalnya adalah rendahnya sosial
ekonomi orantua, rendahnya pendidikan, anak mengalami kekerasan
dalam keluarga dan keluarga yang alkolisme. Dalam penelitiannya
ia menemukan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman buruk
di masa kecilnya akan mengalami pengalaman buruk pula manakala
mereka dewasa.
46 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Pendidikan inklusif diharapkan mampu melayani kebutuhan


anak-anak berkebutuhan khusus dalam hal pendidikan yang selama
ini termarginalkan. Dengan pendidikan inklusif mereka diberi
kesempatan untuk menikmati pendidikan yang sama dengan anak
normal lainnya yang disesuaikan dengan kondisi kekhususan mereka.
Stubbs (2002) menegaskan meski pendidikan inklusif mengarah
pada integrasi dan penempatan kelas reguler namun dengan filosofi
yang berbeda. Konsep pendidikan inklusif memiliki gagasan bahwa
sekolah harus menyediakan pendidikan yang dibutuhkan anak dalam
komunitas tersebut apapun tingkat dan kemampuan mereka. Dalam
konteks pendidikan inklusif semua anak dengan berbagai
latarbelakang sosial ekonomi, kultural dan emosional baik fisik dan
nonfisik dapat belajar bersama-sama sesuai kebutuhan mereka sesuai
dengan kebutuhan mereka masing-masing (Direktorat pembinaan
SLB, 2007). Smith (2012) mempertegas bahwa inklusif adalah
penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri atau visi-misi sekolah.
Tujuan utama dari pendidikan inklusif adalah untuk mendidik
anak berkebutuhan khusus dikelas reguler bersama-sama dengan
anak normal dengan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya
disekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya dan tanpa
adanya sikap diskriminatif (Stubbs, 2002; Direktorat pembinaan
SLB, 2007; Direktorat pembinaan SLB, 2007). Sementara Gargiulo
(dalam Mudjito, 2012) menyatakan bahwa tujuan pendidikan
inklusif adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan
khusus yang secara spesifik diarahkan untuk:
1. Meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan
perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak
terlibat dalam aktivitas normal.
2. Mencegah terjadinya kondisi yang lebih parah dalam
ketidakteraturan perkembangan yang membuat anak menjadi
semakin tidak berdaya.
3. Mencegah bertambahnya ketidakberdayaan siswa pada aspek
lain karena diakibatkan ketidakberdayaan pada keterbatasan
utamanya.
Praktik pendidikan inklusif memiliki banyak manfaat yang
dirasakan tidak hanya oleh ABK, melainkan juga pada siswa
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 47

regular. Manfaat bagi ABK dari beberapa hasil penelitian adalah


meningkatkan gambaran diri ABK menjadi lebih positif, keterampilan
sosial yang menjadi lebih baik, ABK menjadi lebih sering berinteraksi
dengan teman-teman sebaya yang normal, memiliki perilaku yang
sesuai di kelas dan prestasi akademik yang setara (kadangkala lebih
tinggi) dengan prestasi yang dapat mereka capai ketika berada di
kelas khusus. Manfaat ini dapat dicapai jika siswa ABK dapat
menerima dan memahami keadaan dirinya dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya, serta jika instruksi dan materi
pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan khusus mereka. (Halvorsen
& Sailor; Hunts & Goetz; Soedak & Mc Carty, dalam Ormrod, 2009).
Siswa normal pun dapat memperoleh manfaat dari pendidikan
inklusif dalam hal tumbuhnya kesadaran mengenai hakekat
perbedaan manusia yang heterogen dan tumbuhnya kesadaran bahwa
siswa berkebutuhan khusus memiliki banyak kesamaan dengan
mereka (Hunts & Goetz; Staub, dalam Ormrod, 2009).

B. Model-model Pendidikan Inklusif


Berikut ini akan diuraikan beberapa model pelaksanaan
pendidikan inklusif yang telah dilakukan selama ini di dunia:
1. Inklusif Penuh
Dalam model ini semua murid yang memiliki keterbatasan khusus
ditempatkan disekolah yang dekat dengan rumahnya dan
mengikuti pendidikan dengan anak-anak normal secara penuh
(tidak ada pemisahan atau perpindahan kelas sewaktu-waktu) dan
guru kelas memiliki tanggungjawab utama dalam menangani anak
berkebutuhan khusus tersebut (Hallahan & Kauffman, 2006), jadi
dalam model inklusif penuh ini, tidak mempermasalahkan apakah
anak dapat mengikuti program reguler, akan tetapi lebih melihat
pada kemampuan dan keinginan guru, sekolah dan sistemnya
untuk melakukan adaptasi atau modifikasi program pendidikan
sesuai dengan kebutuhan anak (Mangunsong, 2006).
2. Integrasi Model Umum
Dalam model ini anak-anak berkebutuhan khusus dididik dalam
setting terpisah terlebih dahulu, barulah setelah anak tampak siap,
anak digabung kedalam kelas reguler. Model ini diawal dengan
48 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

menyiapkan anak melalui pendekatan intervensi baik dari sisi


emosi maupun dari sisi perilaku. Jika psikolog atau terapis
menyatakan bahwa anak dinilai telah siap untuk mengikuti kelas
reguler, barulah anak dapat mengikuti kelas yang ditunjuk.
3. Integrasi Model Lanjutan
Dalam model lanjutan ini kelompok atau individu-individu dari
kelas khusus mengunjungi kelas reguler untuk aktivitas bersama
atau mata pelajaran tertentu. Model ini menunjukkan bahwa
anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan dengan ketentuan
sistem dan kelas reguler, sehingga anak yang berkebutuhan khusus
sering dianggap "tamu" dikelas reguler.
4. Model Inklusif
Didalam pembelajaran inklusif, Hallahan dan Kaufman (2006)
menegaskan ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan
agar inklusif dapat berjalan yaitu tidak melabel anak ABK sebagai
sesuatu yang membahayakan, mengubah pandangan dan hati
untuk menerima perbedaan, reorientasi yang berkaitan dengan
assemen, metode pengajaran dan menejemen kelas termasuk
penyesuaian lingkungan, redefinisi peran guru dan realokasi
sumber daya manusia, penyediaan bantuan profesional dan
pelatihan guru, pembentukan, peningkatan dan pengembangan
kemitraan antara guru, orangtua untuk berbagi pengalaman,
kurikulum dan evaluasi pembelajaran yang fleksibel.

C. Pendidikan Inklusif di Indonesia


Pendidikan inklusif lahir diawali adanya kesadaran masyarakat
terhadap hak asasi manusia dan kesadaran terhadap perbedaan
yang bukan menjadi sesuatu yang menyimpang melainkan sebagai
sesuatu yang patut disyukuri untuk kemudian menjadi saling
melengkapi. Termasuk dalam hal pendidikan, setiap warga negara
berhak mendapatkan kesempatan yang sama yang tertuang dalam
UUD 45 pasal 28C ayat 1 dan pasal 9 ayat 1 bahwa setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan kepribadian dan kecerdasan sesuai minat bakatnya
yang berlaku pula untuk anak berkebutuhan khusus. Dari kesadaran
tersebut kemudian muncullah pendidikan inklusif yang dijadikan
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 49

sebuah strategi untuk mewujudkan pendidikan universal guna


menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan
aktual anak dan masyarakat (Stubbs, 2002).
Sejak tahun 2000 pemerintah mengembangkan pendidikan
inklusif ini kemudian dilanjutkan dengan simposium internasional
di Bukit tinggi tahun 2005 yang menghasilkan penekanan pada
perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
(Mangunsong, 2009). Kemudian dikeluarkan surat edaran Dirjen
Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari
2003, perihal pendidikan inklusif, maka pendidikan inklusif ini
mulai diselenggarakan dan dikembangkan di setiap kabupaten/Kota
yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK (Ditjen Dikdasmen, 2007).
Namun persoalannya pendidikan inklusif belum terlaksana
sebagaimana yang diidealkan karena berbagai keterbatasan yang
ada didalam pelaksanaanya dilapangan, meski sejak tahun 2004
telah dilakukan berbagai pelatihan bagi masing-masing
penyelenggara pendidikan inklusif, namun pemimpin dan
perwakilan guru yang dilatih belum dapat menyebarkan infomasi
maupun pengetahuan yang diperoleh (Mangunsong, 2009). Dari
hasil-hasil penelitian diketahui berbagai permasalahan dalam
penyelenggaraan sekolah seperti kesiapan orangtua dan siswa non
ABK menerima keberadaan siswa, belum siapnya tenaga pendidikan
inklusif, fasilitas yang belum mendukung, dll, sehingga pembelajaran
di kelas inklusif belum optimal. Bahkan ABK disekolah-sekolah
inklusif masih menerima model pengajaran yang beragam dan
belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip pendidikan inklusif.
Di kelas yang lebih lanjut seperti di SMP dan SMA pendekatan
pembelajarannya masih berupa pendidikan terpadu atau terintegrasi
tanpa adanya modifikasi dalam pengajaran yang sesuai
(Mangunsong, 2009). Disamping itu masih banyak ABK yang belum
memperoleh pendidikan yang layak, hal ini dikarenakan, kurangnya
tenaga pendidik yang mau dan mampu mendidik ABK, kesiapan
sekolah untuk menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif,
kecilnya anggaran operasional yang disediakan pemerintah daerah
untuk sekolah (Dirjen PKLK, dalam Mudjito, 2012). Faktor lain
seperti kondisi social ekonomi orangtua yang kurang, jarak antara
rumah dan sekolah yang jauh, kurangnya motivasi orangtua dan
50 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

penolakan sekolah untuk menerima ABK belajar bersama. Hasil


penelitian Ni'matuzahroh dan Nurhamida (2014) membuktikan bahwa
sekolah, yang dalam hal ini meliputi guru kelas, shadow teacher,
bagian kurikulum sekolah, masih belum memiliki konsep yang
cukup matang tentang bagaimana harus menyelenggarakan
pendidikan inklusif yang tepat, dengan membumikan teori sesuai
dengan konteks sekolah.
Dari uraian tersebut tampak jelas bahwa pendidikan inklusif
masih memerlukan pembenahan dalam berbagai bidang.

D. Pendidikan Inklusif dan Keterlibatan Semua Pihak


Pendidikan inklusif membutuhkan dukungan dari lingkungan
masyarakat. Tanpa dukungan dari lingkungan masyarakat terutama
komunitas sekolah, maka pelaksanaan pendidikan inklusif tidak
akan terlaksana dengan baik. Keterlibatan masyarakat mengacu
pada pendapat yang dikembangkan oleh Vigotsky (dalam Santrock,
2015) yang menyatakan bahwa lingkungan sosial mempengaruhi
perkembangan anak dan membuat siswa dapat berkembang secara
optimal jika berada dalam lingkungan sosial yang mendukung dan
memberikan stimulasi pada anak.
Pendapat ini sejalan dengan teori ekologi yang dikembangkan
oleh Bronfenbenner (dalam Santrock, 2007) yang menyatakan bahwa
lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Lingkungan tersebut mencakup keluarga, tetangga, lingkungan
tempat siswa tinggal, teman sebaya, sekolah, masyarakat, sampai
pada komunitas terbesar yaitu bangsa. Pendidikan yang efektif
adalah pendidikan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat
yang ada disekitar individu.
Hallahan, Kauffman dan Pullen (2009) menjelaskan bahwa desain
pembelajaran dalam pendidikan inklusif harus didesain khusus
agar pembelajaran bisa optimal terutama materi pembelajaran, teknik
pembelajaran, kurikulum, sistem evaluasi dan fasilitas penunjang
yang memadai seperti transportasi khusus, assesmen psikologi,
terapi, pengobatan khusus dan konseling yang dibutuhkan agar
pembelajaran berjalan efektif karena tujuan utama dari pendidikan
inklusif ini adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan
khusus siswa. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas dan
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 51

Hanlon (2007) menegaskan bahwa pendidikan inklusif tidak hanya


sebatas melakukan mencampur siswa ABK dengan siswa non ABK
melainkan juga menyiapkan prosedur dan sistem pembelajaran
khusus untuk mereka.
Berdasarkan hasil penelitian Zigmond (dalam Hallahan,
Kauffman & Pullen, 2009) menunjukkan bahwa penyelenggaraan
inklusif membutuhkan persiapan sejumlah prioritas dan menyeleksi
secara hati-hati apa yang dibutuhkan untuk diajarkan, lebih jelasnya
dipertegas dengan penekanan pada istilah mengajar sesuatu yang
khusus dan mengajarkannya dengan cara yang khusus pula.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Gersten, Shiller dan Vaughn (2000, dalam Hallahan, Kauffman &
Pullen, 2009) beberapa hal yang digunakan dalam kelas-kelas inklusif
saat ini adalah pembelajaran berbasis komunitas (community-based
instruction), pembelajaran langsung, self monitoring, assesmen perilaku,
adaptasi sistem pembelajaran dan fasilitas pendidikan.
Prinsip utama dalam pembelajaran inklusif adalah membangun
partisipasi seluruh komponen komunitas sekolah (Orangtua ABK,
orangtua non ABK, siswa reguler, Guru, Karyawan) untuk ikut andil
dalam mensukseskan pembelajaran inklusif. ABK yang bersekolah
di kelas inklusif membutuhkan dukungan sosial semua pihak.
Dukungan sosial merupakan kenyamanan, perhatian, penghargaan
ataupun bantuan yang secara fisik dan psikologis yang diterima
individu dari berbagai sumber yang percaya, peduli, menilai, dan
mencintai kita seperti keluarga, pasangan atau kekasih, teman, atau
organisasi masyarakat dan menjadi salah satu fungsi ikatan sosial
yang menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan
interpersonal yang memiliki peran penting untuk kesejahteraan
psikologis (Baron & Byrne, 2005; Smet, 1994; Sarason dkk, 1983). Di
samping itu dukungan sosial bukan sekedar pemberian bantuan,
tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap
makna dari bantuan tersebut yang memiliki dua elemen dasar di
antaranya adalah persepsi bahwa ada sejumlah orang lain dimana
seseorang dapat mengandalkannya saat dibutuhkan dan derajat
kepuasan terhadap dukungan yang ada (Dimatteo, 2004) yang
menurut Sarafino, (2008) mengacu pada kenyamanan, kepedulian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang
52 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

lain atau kelompok (Sarafino, 2008) dan menggambarkan fungsi


dan kualitas hubungan sosial, seperti ketersediaan diberi bantuan
atau benar-benar menerima dukungan (Schwarzer & Knoll, 2007).
Dukungan sosial yang terpenting bagi individu berkebutuhan
khusus menurut Sarason, dkk adalah dari keluarga, karena keluarga
merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan individu dan
tempat pertama kali kebutuhan fisik dan psikologi terpenuhi,
lingkungan pertama yang memberikan dukungan pada anak dalam
berbagai bentuk melalui pengasuhan di dalam rumah, lingkungan
yang aman dan stabil, stimulasi intelektual, diskusi antara orang tua
dan anak, model yang baik yang diberikan pada anak.
Beberapa bentuk dukungan sosial dalam keluarga dapat berupa
1) Dukungan emosional yaitu berupa bantuan yang memberikan
dorongan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang,
memberikan perhatian, percaya terhadap individu serta
pengungkapan simpati. 2) Dukungan penghargaan melalui
penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan
maju dan semangat atau persetujuan mengenai ide atau pendapat
individu serta melakukan perbandingan secara positif terhadap
orang lain. 3) Dukungan instrumental seperti memberikan pinjaman
uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna
menyelesaikan tugas-tugas individu. 4) Dukungan informasi, berupa
pengarahan yang diberikan orangtua terkait dengan permasalahan
atau situasi yang dibutuhkan anak untuk menyelesaikan masalah.
Anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusif
memiliki tuntutan yang berat dibanding dengan yang bersekolah di
sekolah luar biasa atau yang tidak sekolah. Dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya mereka dituntut untuk dapat
melakukan kegiatan sesuai dengan tahapan, perkembangan dan
dapat berpartisipasi seperti yang diinginkan masyarakat disamping
itu mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekolah regular, guru, siswa regular, dll. Jika tidak
diberi dukungan sosial yang baik maka siswa ABK akan mengalami
tekanan dan mengarah ke stress. Jika ABK mendapatkan dukungan
emosional yang tinggi, ia akan merasa mendapatkan dorongan yang
tinggi dari anggota keluarga. Bimbingan dan motivasi dari orangtua
akan sangat membantu ABK meningkatkan prestasi belajarnya
Memahami Konsep Pendidikan Inklusif 53

disekolah (Delphie, 2006). Dukungan sosial yang baik pada ABK


akan sangat membantu mereka dalam menghadapi hambatan di
sekolah sehingga dapat berprestasi sesuai dengan kemampuannya.
Hasil Penelitian Ni'matuzahroh dan Nurhamida (2014)
membuktikan bahwa sekolah memerlukan bantuan dari berbagai
pihak, baik orang tua, pembuat kebijakan, perguruan tinggi yang
memiliki ahli-ahli inklusi, untuk ikut berkontribusi sesuai dengan
kapasitas masing-masing dalam mengoptimalkan penyelenggaraan
sekolah inklusi ini. Dari keterlibatan semua pihak yang terkait,
maka pendidikan inklusi akan berjalan efektif dalam menumbuh
kembangkan potensi individu berkebutuhan khusus.
54 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 55

BAB 4
MANAJEMEN DAN PENGELOLAAN
KELAS INKLUSI

A. Persiapan Awal Membuka Kelas Inklusif


Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi membutuhkan
persiapan yang matang agar proses pembelajaran dapat berjalan
dengan baik. Hal yang harus dipersiapkan pada tahap awal adalah
kesiapan mental komunitas sekolah untuk menerima kehadiran
siswa ABK. Kesiapan mental ini merupakan bagian yang sangat
menentukan keberlangsungan pembelajaran di kelas inklusif yang
meliputi kesadaran akan hak siswa ABK untuk mendapat pelayanan
pendidikan yang sama, sikap menerima dan berempati terhadap
kehadiran ABK yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan kemauan
berbagi.
Sikap penerimaan tersebut lahir dari pengetahuan yang dimiliki
oleh komunitas sekolah tentang hakekat pendidikan inklusif dan
karakteristik siswa ABK. Untuk itu penting bagi sekolah memberikan
pengetahuan dan membuka wawasan tentang inklusif kepada guru,
siswa reguler, karyawan, maupun orangtua regular dan ABK untuk
menumbuhkan pemahaman yang benar tentang pendidikan inklusif.
Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi penyelenggaraan
kelas inklusif yang diadakan pihak sekolah secara formal dalam sesi
yang berbeda dan bertahap pada guru dan staf karyawan sekolah,
maupun dengan siswa regular.
Dalam sosialisasi ini perlunya diberikan penjelasan tentang
alasan sekolah menyelenggarakan kelas inklusif dan manfaatnya

55
56 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

bagi komunitas sekolah untuk mengubah cara pandang mereka


terhadap ABK dan yang terpenting adalah memberikan pemahaman
yang benar tentang hakekat pendidikan inklusif serta meyakinkan
bahwa keberadaan siswa ABK di sekolah membawa banyak dampak
yang positif.
Persiapan selanjutnya adalah membentuk tim yang bertanggung
jawab untuk penyelenggaraan kelas inklusif. Tim ini dibentuk dan
dipilih oleh kepala sekolah untuk membuat berbagai persiapan
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kelas inklusif. Ketiga,
menyiapkan sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran
berupa fasilitas yang dibutuhkan, kurikulum dll. Selanjutnya adalah
melakukan assemen dan identifikasi pada siswa ABK untuk
menetapkan kritera siswa ABK yang diterima disekolah dengan
mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki sekolah, sehingga
tidak semua anak ABK dapat masuk ke kelas inklusif.
Dalam proses seleksi ini ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan
sekolah dalam menyeleksi siswa ABK agar pembelajaran menjadi
efektif yaitu:
1. Pertimbangan kemampuan intelektual atau kecerdasan siswa
Siswa ABK yang akan masuk sekolah inklusif harus diobservasi
dan diidentifiikasi kemampuan intelektualnya. Tujuannya adalah
agar mereka dapat mengikuti proses belajar mengajar, maka
sebaiknya siswa memiliki kemampuan intelektual umum rata-rata.
2. Pertimbangan kemampuan komunikasi dan interaksi siswa
dengan orang lain.
Kemampuan komunikasi merupakan hal yang menentukan
keberhasilan siswa ABK dalam mengikuti pembelajaran di kelas
inklusif. Begitupun halnya dengan kemampuan berinteraksi
yang dibutuhkan agar anak mampu bersosialisasi dengan teman
dikelasnya dan mengikuti pembelajaran yang diberikan guru
di kelas.
3. Pertimbangan Hambatan Perilaku
Karena adanya kekhususan yang dibawa siswa ABK dan muncul
dalam bentuk perilaku yang membuat mereka berbeda, maka
perilaku ini harus sudah dapat terkendali agar anak tidak menjadi
pusat perhatian maupun dapat mengganggu siswa reguler
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 57

lainnya. Siswa yang perilakunya telah masuk dalam kategori


ringan dapat masuk kedalam kelas inklusi.
Tiga kriteria ini menjadi sangat penting agar siswa ABK mampu
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan yang terpenting
adalah mampu mengikuti pembelajaran di kelas.
Selain mempertimbangkan 3 hal tersebut, prinsip yang harus
dikembangkan dalam kelas inklusi menurut Marjuki (2014) adalah
prinsip kasih sayang, layanan individual, kesiapan, keparagaan,
motivasi, belajar dan bekerja kelompok, keterampilan dan penanaman
dan penyempurnaan sikap.

B. Mempersiapkan Pihak yang Terlibat di Kelas Inklusi


Prinsip dasar keberlangsungan pendidikan inklusif adalah
adanya kerjasama dari semua pihak, dimana satu dengan yang lain
saling memberikan pengaruh baik positif atau negatif. Mereka yang
terlibat dalam pendidikan inklusif adalah anak ABK, siswa reguler,
sekolah, orangtua ABK, orangtua regular, guru kelas, shadow,
karyawan, terapis dan tenaga profesional terkait. Sekolah harus
dapat mempersiapkan mereka sekaligus melibatkannya dalam peran-
peran yang dapat mereka lakukan agar proses pembelajaran di kelas
inklusif dapat terlaksana dengan baik:

1. Orangtua ABK
Sekolah harus melibatkan orangtua sesuai peran yang dapat
dilakukannya, karena keberhasilan pendidikan inklusif sangat
ditentukan oleh partisipasi aktif mereka. Sekolah harus memiliki
komunikasi yang baik dengan orangtua ABK. Pada tahap awal
sekolah perlu mengidentifikasi tujuan dan harapan orangtua
menyekolahkan anaknya di sekolah inklusif. Hal ini menjadi penting
agar orangtua dan sekolah memiliki kesamaan pandangan terhadap
perlakuan dan tugas-tugas yang akan diberikan pada anak disekolah.
Orangtua memiliki kesadaran dan tidak menuntut terlalu berlebihan
kepada sekolah serta membangun komitmen dan memiliki
keterlibatan penuh untuk mendukung anaknya dalam pelaksanaan
pembelajaran.
Dukungan orangtua dan keluarga dekat amat dibutuhkan ABK
yang bersekolah di sekolah inklusif karena keberadaannya di kelas
58 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

inklusif membuat ABK menghadapi banyak tuntutan dan harapan


dari lingkungan sekolah. Berdasarkan Hasil penelitian Anggraeni
dan Ni'matuzahroh (2015) tentang dukungan social keluarga terhadap
prestasi belajar ABK dengan 40 subyek orang tua dari anak
berkebutuhan khusus yang berasal dari 6 SMP inklusi di Kota
Malang menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga memiliki
hubungan positif yang sangat signifikan terhadap prestasi belajar,
dengan nilai r sebesar 0,802 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka akan semakin
tinggi prestasi belajar anak berkebutuhan khusus.
Koefisien determinasi (r2) variabel dukungan sosial keluarga
berdasarkan hasil analisa data di atas adalah 0,643 yang berarti
sumbangan efektif dari dukungan sosial keluarga yang diberikan
dalam prestasi belajar pada siswa berkebutuhan khusus cukup besar
yaitu 64,3% sedangkan pengaruh faktor lain terhadap prestasi belajar
sebesar 35,7%. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa
dukungan sosial kelurga dari ABK masih tergolong rendah dibanding
yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi. Hasil penelitian
Xu & Filler (2008) membuktikan bahwa keterlibatan aktif dan
dukungan dari keluarga menjadi elemen kunci bagi keberhasilan
program pendidikan inklusif. Orang tua dari siswa yang
berkebutuhan khusus memiliki peran yang besar, baik dalam
pengambilan keputusan untuk pendidikan sampai pada pemberian
dukungan terhadap anak.
Hasil penelitian Paul (2011) membuktikan bahwa dukungan
orang tua, keterlibatan siswa, dan dukungan berupa bantuan saat
kesulitan mengerjakan pekerjaan sekolah dapat meningkatkan
prestasi akademik siswa berkebutuhan khusus. Di samping itu
orangtua sangat membantu ABK melewati masa-masa sulitnya,
bahkan mampu meningkatkan aspek akademik anak karena orangtua
mendukung perkembangan sosial dan kepribadian siswa (Smith,
2012). Penelitian Giesen, Cavenaugh dan Donall (2012) membuktikan
bahwa tingkat dukungan sosial yang diterima anak berkebutuhan
khusus memiliki hubungan yang positif terhadap prestasi belajar
siswa ABK.
Dukungan orang tua sangat membantu anak melewati masa-
masa sulitnya. Orang tua siswa berperan penting terhadap prestasi
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 59

yang diperoleh anak. Orang tua dapat menyediakan lingkungan


rumah yang positif, bantuan dalam belajar dan hal lain yang
dibutuhkan anak. Anak yang merasa dicintai oleh orang tuanya
akan menganggap dirinya berharga, sedangkan anak yang kurang
mendapat dukungan orangtua merasakan kesepian yang lebih besar
dibanding dengan mendapatkan dukungan.
Dukungan dan penerimaan dari orang tua dan anggota keluarga
yang lain akan memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak
berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha mempelajari dan mencoba
hal-hal baru yang terkait dengan keterampilan hidupnya dan pada
akhirnya dapat berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Prestasi
merupakan kumpulan hasil akhir dari suatu pekerjaan yang
telah dilakukan. Penilaian prestasi belajar pada anak berkebutuhan
khusus dapat dilihat dari aspek sosial emosional, kompetensi
akademik dan perilaku.
Prestasi belajar ABK dipengaruhi faktor internal (personal) yang
ada didalam diri ABK dan faktor eksternal atau situasional yaitu
semua faktor yang berada di luar diri anak, salah satunya adalah
faktor keluarga dalam hal ini orangtua yang memberikan dukungan
pada ABK untuk menjajaki dunia sosial yang lebih luas dan kompleks
(Santrock, 2007; Desforges, 2003). Orang tua harus menaruh perhatian
dan memberikan dukungan yang serius dalam upaya peningkatan
prestasi belajar ABK dikarenakan ABK memerlukan waktu, tempat,
dan keadaan yang kondusif untuk dapat mengikuti proses
pembelajaran karena keterbatasan yang dimilikinya. Hasil penelitian
Ahmed, Minnaert, Werf dan Kuyper (2010) membuktikan bahwa
kepercayaan, motivasi dan emosi, dari lingkungan sosial berdampak
kepada prestasi siswa di sekolah. Sebaliknya, jika orang tua tidak
dapat memberikan dorongan dan motivasi maka anak tidak dapat
belajar dengan tekun dan berdampak pada turunnya prestasi anak.
Penelitian Afolabi (2014) juga membuktikan bahwa terdapat
hubungan yang kuat dan bermakna antara keterlibatan orang tua
dan prestasi akademik siswa dimana keyakinan, harapan dan
pengalaman orang tua menjadi hal penting yang mendukung
keberhasilan akademik dan non akademik anak berkebutuhan khusus
dengan menggunakan metode atau cara yang tepat dalam mendidik
anak sesuai dengan prinsip dan pandangan hidup orang tua.
60 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Penelitian lain yang dilakukan Mohsin (2011) juga membuktikan


bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan orang tua
dengan prestasi belajar anak berkebutuhan khusus dengan
menggunakan gaya mengajar mereka dan memodifikasi perilaku
anak yang berdampak pada meningkatnya kinerja anak disekolah.
Tingginya dukungan sosial keluarga yang diberikan pada ABK
terutama yang bersekolah di sekolah inklusi memberikan efek yang
kuat dalam diri mereka untuk dapat melaksanakan tuntutan yang
ada dan menghadapi hambatan di sekolah, mereka menjadi mampu
menyesuaikan diri dan berkembang sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya.
Mengingat pentingnya peran orangtua dalam mendukung
keberhasilan siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusif, maka
pihak sekolah perlu memberikan binaan kepada para orangtua
ABK, karena orangtua ABK seringkali mengalami kebingungan
dalam menghadapi anaknya karena minimnya pengetahuan mereka
tentang kekhususan yang dialami anaknya. Para orangtua ini perlu
diberi wawasan tentang deteksi dini dan penanganan siswa ABK
dirumah sebagai kelanjutan program di sekolah.
Komunikasi yang intensif perlu selalu dibina oleh guru kelas
inklusif agar orangtua mengetahui perkembangan anak disekolah
dan menindaklanjuti kegiatan yang diterima anak disekolah pada
saat anak dirumah. Hal ini akan dapat membantu mengoptimalkan
perkembangan siswa ABK. Ada baiknya jika sekolah membentuk
komunitas orangtua ABK agar antar orangtua memiliki komunikasi
yang baik, saling sharing dan berbagi. Disamping itu sekolah perlu
melibatkan mereka dalam penyusunan program pembelajaran
individual, sekaligus memantau orangtua dalam menerapkan program-
program pembelajaran yang sudah dilakukan disekolah dirumah.

2. Guru Sekolah
Guru sebagai tonggak keberhasilan pembelajaran di kelas inklusif,
harus dipersiapkan mental dan pengetahuannya tentang pendidikan
inklusif karena mereka yang menjadi penentu keberhasilan program
inklusif. Dalam proses pembelajaran dikelas, gurulah yang
memegang kendali terutama mendorong, membimbing dan
memberikan fasilitas belajar agar ABK dapat mencapai tujuannya
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 61

sekaligus terlayani dengan baik. Gurulah yang bertanggungjawab


untuk mengendalikan situasi yang terjadi dikelas untuk
perkembangan seluruh siswa. Dibutuhkan guru yang memiliki kinerja
yang baik yang memiliki kemampuan dan kemauan. Sebagai instrument
utama dalam keberhasilan proses pembelajaran dalam kelas sekaligus
sebagai instruktur kelas yang memberikan arahan dalam setiap
bahasan pembelajaran, guru inklusif dituntut lebih kreatif dan
kompetitif dalam mengelola kelas, karena adanya siswa berkebutuhan
khusus yang menjadi bagian dari kelas. Pada kenyataannya, guru
menjadi salah satu kendala dalam pelaksanaan inklusif salah satunya
kesiapan guru dalam mengajar kelas inklusif yang masih minim.
Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pengelolaan
kelas, belum adanya guru yang memadai, serta guru kelas yang
masih dipandang not sensitive and proactive terhadap keberadaan
ABK (Sunardi dalam Arifin, 2012). Karenanya kinerja guru menjadi
faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran
di kelas inklusif.
Kinerja guru merupakan kemampuan yang dimiliki guru dalam
memfasilitasi pembelajaran dikelas yang didasarkan atas
pengetahuan, sikap, keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan
pembelajaran yang optimal. Kinerja guru dapat dilihat dari
kompetensi yang dimilikinya terutama kompetensi professional
berupa kompetensi pedagogic, kepribadian, professional dan
kompetensi sosial (Karen Dan Wilson dalam Mudjito, 2012). Dit.PPK-
LK, 2010) menambahkan bahwa disamping empat aspek utama
tersebut, guru inklusif harus memiliki tiga kemampuan utama yaitu:
a. Kemampuan umum (general ability) yaitu kemampuan yang
diperlukan untuk mendidikan peserta didik pada umumnya.
b. Kemampuan dasar (basic ability) yaitu kemampuan tambahan yang
harus dimiliki dalam mendidik siswa berkebutuhan khusus
disekolah berupa, kemampuan menciptakan iklim belajar yang
kondusif, menyusun dan melaksanakan assesmen serta menyusun
pembelajaran dengan kurikulum berdiferensiasi, kemampuan
melakukan penilaian serta kemampuan memberikan program
remidi pengajaran.
c. Kemampuan Khusus (spesifik ability) adalah kemampuan yang
dibutuhkan oleh Guru Pendamping Khusus (GPK) untuk mendidik
62 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

ABK dengan jenis tertentu antara lain: menyusun instrumen


pendidikan khusus, melakukan pendampingan untuk pendidikan
khusus, memberikan bantuan layanan khusus, memberikan
bimbingan secara berkesinambungan pada ABK.
Pengetahuan dan skill guru dalam menangani siswa perlu dilatih
agar mereka dapat memberikan pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi siswa AB secara interaktif dan mengajar. Guru dapat menjadi
penghubung komunikasi orangtua regular dan ABK maupun siswa
regular dengan ABK. Disamping itu guru dapat memberikan
wawasan tentang deteksi dini dan penanganan ABK dirumah kepada
orangtua ABK terutama agar mereka melanjutkan program-program
yang sudah dilakukan sekolah saat mereka berada di rumah.
Penelitian yang menyorot tentang kinerja guru dikelas inklusif
menemukan bahwa masih banyak ditemukan tenaga pendidik yang
belum memiliki pemahaman, kemampuan dan pengalaman yang
memadai untuk membimbing siswa dengan kebutuhan khusus.
Oleh karena itu, peningkatan kompetensi guru dalam mengajar dan
mengelola kelas inklusif menjadi bagian terpenting yang harus
segera mendapat perhatian serius.
Menurut Rudiyati (Arifin, 2012), kompetensi guru yang belum
memadai pada sekolah inklusi mencakup kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi
profesional. Pertama, dari komponen kompetensi pedagogik sendiri
diantaranya; guru harus menguasai karakteristik peserta didik
berkebutuhan khusus baik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional dan intelektual. Pada umumnya guru sekolah inklusi
belum secara memadai melakukan identifikasi atau asesmen terhadap
karakteristik peserta didik yang berkebutuhan khusus. Hal ini masih
dilakukan sepenuhnya oleh guru khusus atau Guru Pembimbing
Khusus (GPK); yang seharusnya dilakukan bersama-sama sehingga
hasil asesmen tersebut dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan
rencana pembejalaran individual bagi siswa berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan program individual untuk siswa berkebutuhan khusus
tersebut nantinya dapat dilakukan secara bersama oleh guru reguler
dan GPK di kelas regular atau inklusi maupun di ruang sumber
atau ruang bimbingan khusus.
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 63

Kedua, komponen kompetensi kepribadian yang meliputi


penampilan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan
teladan bagi peserta didik dan masyarakat, serta dapat
memperlakukan peserta didik yang berkebutuhan khusus. Pada
umumnya, guru reguler dalam sekolah inklusi cenderung melindungi
secara berlebihan terhadap anak berkebutuhan khusus, atau
sebaliknya menganggap bahwa mereka tidak mampu mengikuti
kegiatan pembelajaran, sehingga kurang melibatkan yang
bersangkutan secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Ketiga ialah komponen kompetensi sosial, yaitu guru harus
bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak bertindak
diskriminatif terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus,
baik karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik,
latar belakang keluarga maupun status sosial ekonomi. Pada
umumnya guru reguler dalam kelas inklusi masih cenderung tidak
objektif dan diskriminatif dalam memberikan kesempatan
berpartisipasi dalam pembelajaran terhadap anak berkebutuhan
khusus tersebut. Keempat adalah komponen kompetensi profesional,
yang mana guru harus mengembangkan materi pembelajaran yang
diampu secara kreatif dan inovatif, yakni mengembangkan
keprofesionalannya secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan
reflektif. Guru juga dianjurkan mampu memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
diri dalam pembelajaran pada peserta didik dengan kebutuhan
khusus (Kurnia, 2013).
Dari hasil jabaran komponen kompetensi guru untuk sekolah
inklusi, hal tersebut masih banyak yang belum terlaksana dengan
baik oleh guru-guru inklusi. Tuntutan tugas yang bertambah mampu
menjadi beban dalam pengajaran yang berdampak pada kinerja
guru. Kurikulum yang sebelumnya hanya mencakup pembelajaran
sekolah reguler sekarang ditambah menjadi kurikulum inklusi dengan
tanggung jawab yang ditambah. Perubahan tersebut bisa menjadi
sebuah beban kerja pada guru-guru inklusi yang dapat menjadi
pencetus timbulnya stres, apa lagi jika guru inklusi belum memiliki
basis pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Hasil penelitian Pertiwi, Ni'matuzahroh dan Suharsono (2015)
tentang identifikasi masalah guru-guru inklusif tingkat SMP di kota
64 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Malang menunjukkan bahwa guru inklusif memiliki masalah


terutama pada kompetensi pedagogis dan personal. Kompetensi
pedagogis meliputi kemampuan memahami dan mengembangkan
karakter, kemampuan potensi dan gaya belajar siswa berkebutuhan
khusus, membimbing siswa dalam menghadapi masalah; memahami
stadard kompetensi dan mengembangkannya menjadi indikator-
indikator belajar; memilih strategi pembelajaran dan penilaian yang
efektif untuk siswanya, kemampuan mengelola kelas dan melakukan
tindak lanjut penilaian terhadap kinerja siswa berkebutuhan khusus.
Sementara kompetensi personal berhubungan dengan dirinya sendiri
meliputi kepercayaan diri terhadap kemampuannya mengajar kelas
inklusif sehingga mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk
dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru.
Para guru masih belum memiliki kepercayaan diri bahwa dirinya
mampu mengajar kelas inklusif dengan baik, motivasi yang kuat
untuk membantu dan mengoptimalkan kemampuan siswa ABK pun
masih tergolong kurang, padahal motivasi ini merupakan faktor
yang penting bagi guru agar guru mampu mengajar dengan sepenuh
hati, bukan karena keterpaksaan.
Hasil penelitian Bhatnagar & Das (2014) pada guru inklusif di
New Delhi membuktikan bahwa guru-guru memiliki kekhawatiran
terkait pelaksanaan sekolah inklusi. Kekhawatiran tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena belum adanya
basis dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus, belum
adanya atau kurangnya pelatihan terkait penanganan dalam
pendidikan inklusi, serta kurangnya diferensiasi dalam instruksi
pembelajaran. Penelitian Woodcock, dkk (2012) tentang kesiapan
guru bantu atau Pre-service teacher di Australia lebih menekankan
pada pre-service teacher (guru bantu) yang mengajar di sekolah
inklusi. Pre-service di sini ialah guru-guru sekolah reguler yang
diminta untuk mengajar di sekolah inklusi. Dalam penelitian tersebut
Woodcock, dkk (2012) menyatakan bahwa guru pre-service mengalami
kekhawatiran pada saat mengajar di kelas inklusi. Alasan
kekhawatiran tersebut karena guru pre-service merasakan beban kerja
yang lebih meningkat dibandingkan saat mengajar di kelas reguler,
selain itu juga kurangnya penerimaan dari guru pre-service terhadap
siswa-siswa dengan kebutuhan khusus. Hal-hal tersebut disebabkan
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 65

karena kurangnya pemahaman dari guru pre-service tentang dasar


pendidikan dan penanganan anak berkebutuhan khusus sehingga
menjadikan guru pre-service kurang mampu dalam mengelola dan
mengajar kelas inklusif.
Dari sini tampak bahwa guru kelas inklusif memiliki beban
yang lebih berat karena guru harus berjuang keras memenuhi
tuntutan hati nurani untuk membekali pengetahuan kepada para
peserta didiknya, sementara para guru sendiri masih minim
keterampilan untuk mengolah materi yang akan diajarkan di kelas
agar mudah diterima baik bagi siswa normal maupun siswa dengan
kebutuhan khusus. Kondisi seperti ini menurut Praptiningrum (2010)
berdampak pada terciptanya eksklusifisme yang muncul bagi siswa
dengan kebutuhan khusus dalam lingkungan kelas regular dan
menjadi momok besar para guru yang mengajar di kelas-kelas
inklusi. Kompetensi dan kesiapan guru dalam mengajar kelas inklusif
merupakan penentu keberhasilan proses pembelajaran di kelas
inklusif yang tidak bisa ditawar karena berdampak pada kondisi
psikologis yang dialami guru selama menjalankan tugas-tugasnya,
perasaan tertekan, ketidaksiapan mengajar kelas inklusif termasuk
perasaan tidak mampu menjalankan tugas sebagai guru inklusif
menyebabkan guru mengalami stress kerja.
Penelitian lain yang dilakukan Hariyanti (2004) terhadap 54
guru SLB di kota Semarang menunjukkan bahwa 61,1% guru SLB di
kota Semarang mengalami gejala stres kerja rendah, sedangkan
25,9% mengalami gejala stres kerja sedang dan 13% mengalami
gejala stres kerja berat. Hasil tersebut dikarenakan banyak tuntutan
yang harus dilakukan oleh guru SLB, seperti tuntutan untuk
mempunyai kesabaran yang tinggi, serta memiliki kesehatan fisik
dan mental yang baik dalam bekerja. Mereka juga dituntut melakukan
tugas fungsional (mengajar satu per satu siswanya dengan penuh
kesabaran), melakukan tugas administrasi seperti membuat rapor,
dan tugas struktural dalam organisasi sekolah.
Stres merupakan suatu kondisi negatif pada diri seseorang yang
berpengaruh pada perilaku yang kurang baik dan bisa menimbulkan
penyakit fisik maupun mental. Pada dasarnya stres adalah suatu
bentuk ketegasan psikis, fisik dan mental pada diri seseorang. Stres
dapat menyebankan produktivitas dan kinerja seseorang menjadi
66 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

menurun. Anoraga (2005) mengungkapkan stres kerja adalah suatu


tanggapan seseorang baik secara fisik maupun mental terhadap
perubahan lingkungan sehingga menyebabkan dirinya merasa
terancam. Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi.
Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan
yang inovatif dan konstruktif. Seseorang yang bekerja pada tingkat
optimal menunjukkan antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan
dalam berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Stres
yang meningkat sampai unjuk kerja mencapai titik optimal
merupakan jenis stres yang baik. Namun, sebelum mencapai titik
optimal tersebut, peristiwa atau situasi yang dialami disebut
sebagai tantangan atau tekanan. Kemudian, setelah melewati titik
optimal, stres menjadi distress, yaitu peristiwa atau situasi yang
dialami dianggap sebagai ancaman yang mencemaskan. Penyebab
stres kerja menurut Luthans (2006) disebabkan dari beberapa faktor,
diantaranya;
1. Stressor di Luar Organisasi
Stressor yang berasal dari variabel organisasi mencakup; perubahan
sosial individu, globalisasi, keluarga, relokasi, kondisi ekonomi
dan keuangan, ras, kelas, serta kondisi tempat tinggal atau
masyarakat.
2. Stressor Organisasi
Meski organisasi terbentuk dari kelompok dan individu, terdapat
dimensi yang lebih kecil lagi di dalamnya, yaitu sistem dalam
organisasi yang mencakup: Kebijakan dan strategi administrasi,
Struktur dan desain organisasi, Proses organisasi, Kondisi kerja.
3. Stressor Tingkat Individual
Individual stresor adalah stresor yang berkaitan langsung dengan
tugas-tugas kerja seseorang yang meliputi; tuntutan pekerjaan,
beban kerja, konflik peran, ambigunitas peran, kesibukan sehari-
hari, pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul
dalam lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan.
4. Stressor Tingkat Kelompok
Setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan diantara
kelompok-kelompok. Karakteristik kelompok dapat menjadi
stresor yang kuat bagi beberapa individu.
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 67

Fimian dalam Reilly (2012) menjabarkan stres kerja yang terbagi


menjadi dua bagian, yaitu Faktor Stres dan Manifestasi Stres. Faktor
stress terdiri dari dari 5 komponen, yaitu; 1) Time Managemen atau
manajemen waktu (untuk menjamin keseimbangan antara aturan
dan tugas guru), 2) Work-related stressor atau ketidaksesuaian tempat
kerja (persiapan, beban kerja, ukuran kelas, urusan administrasi dan
tanggung jawab), 3) Professional distress (ketidaksesuaian
antara pengorbanan yang telah diberikan guru dengan hasil yang
diperoleh, seperti tidak mendapatkan tunjangan kesehatan, promo
kenaikan jabatan maupun pemberian insentif yang tidak sebanding),
4) Discipline/motivation (berisi tentang hubungan pengajaran
guru, kewenangan guru dan pengajaran di bawah tekanan) dan 5)
Professional investment atau investasi profesionalitas (mengacu pada
keterlibatan personal guru berkenaan dengan posisi).
Manifestasi Stres guru dapat berupa; 1) Emotional manifestation
(respon guru terhadap stres di sekolah, seperti cemas dan tertekan),
2) Fatigue manifestation (kelelahan yang dirasakan guru seperti
kebiasaan tertidur), 3) Cardiovascular manifestation (seperti tekanan
darah maupun debar jantung meningkat), 4) Gastrointestinal
manifestation (gangguan perut maupun kram pada perut) dan 5)
Behaviour manifestation (seperti perubahan perilaku, sering izin sakit/
tidak masuk tanpa alasan). Guru-guru yang belum siap untuk
mengajar dikelas inklusif akan mengalami stress kerja dengan
berbagai manifestasinya.
Hasil penelitian Rodliati, Ni'matuzahroh dan Nurhamida (2015)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara self efficacy dalam mengajar dengan stres kerja pada 100
guru kelas inklusi dikota Malang. Dengan koefisiensi korelasi (r)
= -0,217 dengan probability error (p) 0,03 (p = 0,03 < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi self efficacy guru dalam
mengajar maka semakin rendah stres kerja yang dialami guru
inklusi, sebaliknya semakin rendah self efficacy guru dalam mengajar
maka semakin tinggi stres kerja yang dialami guru inklusi. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa guru yang masuk dalam
kategori stres kerja tinggi lebih banyak dari pada guru yang
memiliki kategori stres kerja rendah. Hal tersebut dilihat dari hasil
yang diperoleh dari 100 guru yang dijadikan sampel, terdapat 54
68 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

orang yang memiliki stres kerja tinggi yang artinya 54% dari total
subjek. Kemudian terdapat 46 orang yang memiliki stres kerja
rendah yang artinya 46% dari total jumlah subjek.

3. Orangtua Siswa Reguler


Orangtua siswa reguler perlu diberikan sosialisasi dan
penyuluhan tentang siswa ABK dan kelas inklusif, hal ini menjadi
penting agar tidak terjadi penolakan dari mereka karena kekhawatiran
yang berlebihan terhadap kehadiran siswa ABK di kelas dan
kesalahan pengetahuan tentang siswa ABK. Pertemuan awal untuk
sosialisasi dan pertemuan bersama dalam forum sharing dengan
orangtua ABK akan sangat membantu sekolah dalam membangun
kerjasama para orangtua.
Disamping itu orangtua regular dapat diberikan wawasan tentang
pendidikan inklusif dan karakterstik siswa ABK, agar lebih baik.
Mereka pun perlu diberi pelatihan tentang membangun empati
terutama untuk memberikan wawasan tentang ABK serta pelatihan
membangun empati. pengetahuan yang mereka miliki diharapkan
dapat ditularkan pada komunitas orangtua lainnya untuk
mendukung keberhasilan program inklusif sekaligus memberikan
pemahaman dan menumbuhkan empati pada siswa regular agar
mereka dapat menerima kehadiran ABK di kelas.

4. Siswa Reguler di Kelas Inklusi


Siswa regular merupakan bagian dari komunitas sekolah yang
juga perlu disiapkan untuk menjadi bagian dari komunitas yang
akan menerima keberadaan siswa ABK. Perlunya memberikan
pengertian dan wawasan tentang filosofi inklusif dan pemahaman
tentang ABK agar mereka memiliki kesiapan mental dalam
menyambut keberadaan siswa ABK nantinya sekaligus menjadi
partner belajar siswa ABK. Siswa regular perlu di berikan pemahaman
tentag manfaat bekerjasama dengan siswa ABK, agar mereka mau
menerima dan bekerjasama dengan siswa ABK di kelas. Beberapa
hasil penelitian tentang sikap dan penerimaan siswa regular terhadap
ABK menunjukkan bahwa siswa reguler belum siap dalam menerima
kehadiran siswa ABK, sehingga seringkali mereka melakukan
bullying pada siswa ABK. Untuk itu mereka perlu diberi pemahaman
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 69

tentang membangun empati dan bekerjasama dalam pembelajaran


dikelas. Dengan empati yang dimiliki siswa reguler diharapkan
mereka menerima kehadiran siswa ABK dengan baik dan mampu
berkolaborasi dalam memahami materi pelajaran. Siswa reguler
yang memahami siswa ABK diharapkan pula menjadi teman sebaya
yang membimbing siswa ABK memahami materi pelajaran dikelas.
Bullying yang dilakukan oleh siswa regular terhadap siswa ABK
juga dipengaruhi oleh faktor sikap menerima siswa regular terhadap
kehadiran siswa ABK. Hasil penelitian Hasanah, Ni'matuzahroh
dan Nurhamida (2015) tentang sikap siswa regular terhadap siswa
berkebutuhan khusus dengan kecenderungan Bullying dikelas inklusi
menunjukkan adanya hubungan negatif antara sikap siswa siswa
reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan kecenderungan
bullying yaitu (r= -0.234; p=0.000; p<0.01). Semakin negatif sikap
siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus maka semakin
tinggi kecenderungan perilaku bullying begitupun sebaliknya.
Hasil temuan dari penelitian tersebut menggambarkan bahwa
dari 200 subjek penelitian atau siswa, diperoleh sebesar 115 subjek
(57.5%) memiliki sikap yang positif terhadap siswa berkebutuhan
khusus, dan sebesar 85 subjek yaitu (42.5%) siswa reguler memiliki
sikap yang negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus. Sehingga
dapat dideskripsikan bahwa sebagian besar siswa siswa reguler
memiliki sikap yang lebih positif terhadap siswa berkebutuhan
khusus. Hal ini seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa sikap
siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus adalah pandangan
siswa reguler baik laki-laki maupun perempuan dalam memutuskan
suatu perilaku baik menolong, menerima, menghargai, mendekati
dan menyenangi atau siswa reguler berlaku menghindari, menjauhi,
membenci, mengucilkan dan meremehkan kepada siswa
berkebutuhan khusus yang dilakukan secara verbal maupun non-
verbal, yang melibatkan komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan
konatif. Selain itu pada variabel kecenderungan perilaku bullying
pada hasil penelitian menemukan, bahwa dari 200 subjek penelitian
atau siswa yang diteliti, menggambarkan bahwa 106 subjek (53%)
termasuk dalam kategori kecenderungan bullying yang tinggi dan
sebanyak 94 subjek (47%) termasuk dalam kategori kecenderungan
bullying yang rendah.
70 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Bullying merupakan tindakan menyakiti berupa kekerasan secara


fisik, verbal, maupun psikis yang dilakukan secara terencana oleh
pihak yang lebih memiliki kuasa terhadap pihak yang lebih lemah.
Wiyani (2012) menjelaskan bahwa fenomena bullying bisa terjadi
dimana saja, selama ada interaksi sosial yang terjadi, diantaranya
adalah bullying yang terjadi di sekolah disebut sebagai school bullying,
bullying di tempat kerja disebut sebagai workplace bullying, bullying
dengan media internet disebut cyber-bullying, bullying yang terjadi di
politik disebut political bullying dan bullying yang terjadi di lingkungan
militer disebut military bullying.
Menurut Pellegrini dan Bartini (2000) bullying yang terjadi di
sekolah sering dilakukan pada masa remaja yaitu terjadi antar
teman sebaya atau peer grup. Pada survey yang dilakukan oleh
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) bulan April tahun
2012 menemukan bahwa 87,6% mengalami kekerasan dalam bentuk
siksaan mental yaitu kekerasan secara psikologis, dan juga berupa
siksaan fisik, selain itu bentuk kekerasan name calling dan pemukulan
juga dilakukan pelaku bullying terhadap korban, dengan rincian
42.1% kekerasan dilakukan oleh teman sebaya, 29.9% dilakukan
oleh guru dan staf sekolah dan 28% dilakukan oleh petugas
kebersihan sekolah dan keamanan sekolah. Survey ini dilakukan
pada 1.026 orang responden. Dari tahun 2011 sampai 2014 tercatat
ada 369 kasus terkait masalah bullying, sehingga dari 1.480 kasus
ada sebanyak 25% kasus bullying dari kasus-kasus lainnya
(Web.KPAI, 2014).
Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan oleh Amy Huneck
pakar intervensi permasalahan bullying dari Amerika Serikat,
menemukan bahwa 10-16% siswa Indonesia menerima perilaku
dalam kategori bullying yaitu penghinaan dan ejekan kata-kata
yang kurang mengenakan, selain itu perilaku disisihkan dari
lingkungan sosialnya, kekerasan dengan cara dipukuli dan ditendang
dan juga didorong (Wiyani, 2012).
Durand, V., et.al. (2013); Borowsky, I.W., et.al (2013) menerangkan
bahwa dampak besar bagi korban bullying adalah pada mental dan
kesehatan fisiknya yaitu depresi, rasa cemas yang berlebihan,
pemikiran untuk bunuh diri hingga percobaan untuk melakukan
bunuh diri. Selain itu, Rigby, Smith dan Pepler (2004) juga mejelaskan
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 71

dampak rendahnya self-esteem korban, hilangnya rasa kepercayaan


terhadap apapun, psychomatic symtoms, dan menghindari sekolah.
Peran guru dalam permasalahan ini sudah pasti sangat berpengaruh,
namun dalam studi Rigby (2002), Ruggieri. S., et. al. (2013) menemukan
bahwa 30% guru tidak tertarik dan hanya sesekali akan menghentikan
bullying. Penelitian oleh Salend (dalam Salim, 2013) juga menemukan
bahwa selain dampak positif dari kelas inklusif berupa siswa
berkebutuhan khusus dapat berinteraksi langsung dengan siswa
reguler, namun terdapat isolasi dan frustasi yang dialami oleh siswa
berkebutuhan disebabkan karena keterbatasan dan keistimewaan
siswa reguler dalam kelas inklusi menjadikan siswa berkebutuhan
khusus rentan mendapatkan bullying dari teman-temannya yang
normal, terlebih anak berkebutuhan khusus tidak memahami bahwa
bullying adalah sesuatu yang buruk dan posisi diri ABK yang
menjadi korban tidak disadari. Hal inilah yang menjadikan siswa
reguler melakukan bullying kepada anak berkebutuhan khusus di
kelas inklusi.
Penelitian yang dilakukan oleh Salim (2013) mendapatkan bahwa
adanya hubungan positif antar perilaku bullying dengan empati
siswa regular yaitu semakin tinggi empati siswa reguler maka
kecenderungan untuk melakukan bullying menjadi rendah terhadap
ABK. Sedangkan apabila empati siswa reguler tinggi maka
kecenderungan melakukan defending tinggi pada ABK untuk menjadi
korban bullying.
Rigby (2002) dan Rigby, et. al., (2004) menyebutkan bahwa bullying
merupakan perilaku agresif atau menindas yang dilakukan karena
ketidakseimbangan kekuatan, yang terjadi berlang-ulang, di sengaja
dan diserang tanpa keadilan. Baik secara fisik, verbal maupun tidak
langsung. Selain itu menurut Rigby (2002) terdapat empat aspek
bentuk perilaku bullying, yaitu: pertama, bullying secara fisik seperti
perilaku memukul, menendang dan perilaku menyakiti lainnya.
Kedua, bullying verbal yaitu perilaku menyakiti yang dilakukan
secara verbal seperti menghina, mengejek dan mengolok-olok. Ketiga,
bullying yang dilakukan dengan mengguakan isyarat tubuh seperti
mengancam. Dan keempat, bullying yang dilakukan dengan cara
membentuk kelompok untuk menghasut agar menghidari atau
menyakiti korban bullying.
72 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Karakteristik perilaku bullying pada seorang Bully yaitu adanya


keinginan untuk menguasai atas diri seseorang, tidak mempedulikan
keinginan orang lain atau korban karena yang paling penting adalah
keinginannya dapat terpenuhi tidak mempedulikan sudut pandang
orang lain atau keinginan dan harapan orang lain, serta kurang
empati. Hal ini dinyatakan dalam perilakunya yang suka melakukan
intimitasi, agresif, impulsive dan suka memukul. Hal ini di motivasi
oleh rasa kebencian, perasaan iri terhadap orang lain atau korban
dan adanya dendam yang harus dilampiaskan. Perilaku bullying ini
juga bisa disebabkan karena adanya perasaan untuk menutupi
kegelisahan dan perasaan malu sehingga dengan melakukan bullying
rasa percaya diri akan muncul karena ada objek yang dibuatnysa
tidak berarti (dalam Rosada, 2010). Karakteristik target korban
bullying disebabkan karena faktor eksternal korban yang kecil dan
lemah cenderung mendapat perilaku bullying dari temannya yang
lebih besar. Bisa juga karena senioritas siswa terhadap adik kelasnya,
berdasarkan pada penelitian Bernstein dan Watson (1997).
Faktor lain yang memungkinkan terjadinya bullying adalah latar
belakang sosial-ekonomi dan budaya-agama, status sebagai siswa
baru, karena warna kulit dan rambut dan faktor intelektual Wiyani
(2012). Bullying sendiri sering terjadi pada siswa yang terlihat lemah
dan tidak dapat melindungi diri, sehingga dampak yang didapat
dari korbannya sangat membekas baik secara fisik maupun
psikologis. Bullying tidak hanya melibatkan korban dan pelaku
bullying saja melainkan juga adanya bystanders atau saksi mata.
Meskipun seperti itu bystanders tidak bisa melakukan apa-apa
dalam menghentikan bullying dan cenderung menghindar (Sullivan,
et. al., 2004).
Kondisi siswa berkebutuhan khusus yang berbeda dengan siswa
reguler baik secara fisik, sosio-emosional maupun intelegensi akan
menjadikan atau menuntut siswa reguler harus bisa menerima kondisi
apapun yang ada pada siswa berkebutuhan khusus. Ketika siswa
reguler dapat bersikap positif terhadap siswa berkebutuhan khusus
maka siswa reguler akan cenderung menerima dan peduli dengan
keadaan apapun yang sedang disandang oleh siswa berkebutuhan
khusus, sebaliknya apabila siswa reguler memiliki sikap yang negatif
terhadap siswa berkebutuhan khusus maka siswa reguler akan
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 73

meremehkan, membenci, hingga memunculkan kecenderungan untuk


berperilaku bullying kepada siswa berkebutuhan khusus. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tumon (2014) yang
menemukan bahwa pelaku tindakan bullying cenderung mencari
korban dengan kriteria adalah teman yang kurang bisa dalam
bergaul,teman dengan kekurang fisik dan mereka yang menjadi
adik kelas para pelaku bullying.
Swearer, S.M., et.al. (2009) mengungkapkan ada beberapa faktor
lain yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu adanya faktor dari
diri sendiri yaitu mengenai stabilitas emosi individu, pola
pengasuhan atau hubungan keluarga yang kaku secara emosional,
bullying yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari teman
sebayanya, iklim sekolah yang dibangun secara negatif, dan
hubungan masyarakat yang mengitimidasi. Jika dirangkum maka
faktor-faktor tersebut dapat terbagi menjadi 2 faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Pada faktor internal berhubungan
dengan faktor psikologis mengenai gangguan psikologis maupun
gangguan secara emosional, sedangkan pada faktor eksternal
dipengaruhi oleh lingkungan yaitu teman sebaya, keluarga yang
kurang harmonis, ekonomi keluarga dan penggunaan teknologi
yang tidak bijaksana. Sikap merupakan faktor kecil yang
mempengaruhi perilaku bullying sedangkan sebagian besar lain
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekstenal lain.

5. Karyawan
Karyawan di sekolah inklusif perlu juga dipersiapkan dan diberi
wawasan tentang pendidikan inklusi dan pelatihan pelayanan sesuai
dengan kebutuhan ABK, karena mereka adalah bagian dari komunitas
sekolah yang akan berhadapan dengan siswa ABK. Sikap empati
dan menerima siswa ABK ini akan dapat menjadi model bagi siswa
disekolah.

6. Tenaga Profesional Terkait


Sekolah perlu membangun jaringan kerjasama dengan profesional
yang terkait dengan perkembangan anak yaitu dokter yang bertugas
memantau aspek perkembangan fisik anak, psikolog yang membantu
aspek psikologis dan konsultan perkembangan anak, terapis yang
74 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

membantu sekolah dalam menterapi prilaku anak disekolah, serta


guru pendamping yang juga harus tersedia di dalam kelas. Semua
tenaga profesional ini idealnya duduk bersama untuk ikut
memberikan pembinaan terhadap pelaksanaan pembelajaran di kelas
inklusif serta saling berkomunikasi dalam membantu guru menyusun
program pelayanan bagi siswa ABK yang sesuai kebutuhan siswa.

7. Anak Berkebutuhan Khusus


Selain melakukan seleksi terhadap 3 aspek penting agar siswa
dapat masuk ke kelas inklusi (kecerdasan, komunikasi dan interaksi
serta hambatan perilaku), sekolah juga harus melakukan orientasi
pada ABK dengan mengenalkan mereka dengan situasi lingkungan
sekolah, mengenalkan dengan guru-guru dan teman-teman
sekelasnya,termasuk tugas-tugas yang akan mereka dapatkan di
sekolah. Hal ini menjadi penting agar anak menjadi siap secara
mental. Sekolah perlu juga mempertimbangkan gaya belajar anak,
kesiapan anak belajar dalam kelompok, kesiapan anak dalam
mengikuti rutinitas sekolah, kesanggupan mengerjakan tugas secara
mandiri dan kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan transisi
atau perubahan didalam kelas. Identifikasi ini dapat dilakukan
sekolah dengan berkolaborasi bersama psikolog, hasil identifikasi
ini disampaikan kepada guru kelas dan orangtua sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun rencana pembelajaran dikelas.

C. Mempersiapkan Sarana dan Prasarana Sekolah


Sekolah tidak cukup hanya memiliki sikap menerima, melainkan
harus melakukan modifikasi lingkungan, penyuluhan pada orangtua
dan anak reguler, melakukan pelatihan terhadap guru dan karyawan,
memberikan konseling pada saudara kandung siswa ABK jika siswa
ABK yang akan masuk ke sekolah tersebut memiliki saudara kandung
yang lebih dulu sekolah di tempat tersebut, namun perlu
mempersiapkan fasilitas sarana dan prasarana berupa fasilitas dan
kurikulum yang akan digunakan oleh siswa. Kondisi kekhususan
siswa yang diterima disekolah menjadi langkah awal yang harus
disiapkan, misalnya sekolah akan menerima siswa yang menggunakan
kursi roda, maka fasilitas yang disiapkan adalah akses jalan yang
dapat digunakan siswa, program pembelajaran yang diterapkan, dll.
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 75

D. Menyusun dan Melatih Guru Membuat Program


Pembelajaran Individual (Individualized Education Program)
Siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusif perlu diberikan
perlakuan yang berbeda dengan siswa reguler yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan kekhususan mereka (lihat hasil asesmen
awalnya). Mereka perlu dibuatkan kurikulum yang khusus untuk
mengoptimalkan potensi mereka. Kurikulum ini dibuat oleh guru
dengan bantuan dari psikolog, orangtua dan terapis yang terinci
dan program pembelajaran individual.
Hasil penelitian Ni'matuzahroh (2015) tentang kompetensi guru
dalam menyusun Program Pembelajaran Individual (IEP)
menunjukkan bahwa guru memiliki sikap yang positif terhadap
penyelenggaraan kelas inklusi bahkan mereka bersedia untuk
mengajar kelas inklusi, hanya saja guru merasa bahwa sekolah
belum siap dalam menyelenggarakan kelas inklusi dan berpendapat
bahwa tidak semua sekolah perlu diubah menjadi kelas inklusi, hal
ini disebabkan karena mereka belum memiliki pengetahuan dan
sarana yang belum memadai tentang penyelenggaraan inklusi. Guru
memerlukan pendampingan dalam mengelola kelas inklusi dan
metode yang efektif untuk peningkatan kompetensi guru dalam
penyusunan program pengajaran individu di kelas inklusi adalah
pemberian pemahaman tentang inklusi, karakteristik dan identifikasi
siswa dilanjutkan dengan pemberian keterampilan penyusunan
program pembelajaran individual dengan menggunakan ceramah,
FGD dan Role play.
Metode tersebut akan efektif jika diberikan pada guru-guru
yang memang telah menangani kelas inklusi. Hasil identifikasi
kemampuan guru dalam penyusunan program pembelajaran
individual menunjukkan bahwa guru kurang memahami tentang
program pembelajaran individual bahkan sebagian besar guru belum
mengetahui apa yang dimaksud dengan program pembelajaran
individual, fungsinya dan cara menyusunnya. Sedangkan pada
hasil wawancara langsung dan observasi dari shadow dan orang
tua berkebutuhan khusus didapatkan bahwa kebanyakan shadow
yang mendampingi anak berkebutuhan khusus tidak dari kalangan
ahli melainkan hanya orang tua asuh atau asisten rumah tangga
sehingga ada perlakuan yang salah yang diberikan oleh orangtua
76 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

maupun shadow. Hal ini menunjukkan kurangnya pengetahuan,


pemahaman dan perhatian tentang cara melakukan penanganan
secara khsuus untuk siswa berkebutuhan khusus.
Hasil identifikasi kesiapan guru dalam mengajar kelas inklusif
adalah meski guru memiliki sikap yang mendukung terhadap
penyelenggaraan kelas inklusi dan bersedia untuk mengajar kelas
inklusi namun mereka merasa belum siap dalam menyelenggarakan
kelas inklusi dan memiliki pandangan bahwa tidak semua sekolah
perlu diubah menjadi kelas inklusi, hal ini disebabkan karena
mereka belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dalam penyelenggaraan inklusi. Menurut mereka sulit
mengajar siswa berkebutuhan khusus bersama siswa reguler karena
mereka membutuhkan perhatian khusus dalam proses belajar. Para
guru pun merasa tidak yakin jika siswa reguler bersedia belajar
dikelas yang sama dengan siswa berkebutuhan khusus, Meski
demikian para guru menyatakan bersedia untuk mempelajari cara
menangani siswa berkebutuhan khusus, untuk itu para guru merasa
perlu diberikan pemahaman terlebih dahulu tentang siswa
berkebutuhan khusus dan alasan adanya inklusi agar mereka mau
belajar bersama dengan siswa yang berkebutuhan khusus dan
melibatkan semua pihak seperti orangtua, guru, karyawan dan
siswa regular untuk menyaksikan pelaksanaan kelas inklusi.
Hasil penelitian ini juga mengungkap bahwa guru merasa perlu
dibekali pengetahuan dan cara mengajar siswa berkebutuhan khusus
hal ini disebabkan karena guru tidak memahami cara menangani
siswa berkebutuhan khusus, perencanaan tentang pembelajaran siswa
berkebutuhan khusus, dan tidak mampu memantau perkembangan
siswa berkebutuhan khusus. Mereka pun tidak mengetahui apa
yang harus dilakukan saat mengajar siswa berkebutuhan khusus.
Mereka bersedia untuk meluangkan waktu mempelajari penyusunan
program pembelajaran individual sehingga mampu memberikan
materi pelajaran yang berbeda anatara siswa berkebutuhan khusus
dan regular.
Dari hasil identifikasi tersebut, diketahui bahwa guru perlu
diberikan wawasan dan pelatihan tentang pengelolaan kelas inklusi
yang diarahkan pada 3 hal yaitu pengetahuan tentang karakteristik
siswa berkebutuhan khusus dan identifikasinya, kegiatan penyusunan
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 77

program pembelajaran individual untuk siswa berkebutuhan


khusus serta pemberian keterampilan tentang pengelolan stress
melalui teknik relaksasi yang penting dimiliki guru untuk
meminimalisir tekanan yang dialami saat melaksanakan pembelajaran
di kelas inklusi.

E. Metode Peningkatan Kompetensi Guru dalam Penyusunan


Program Pengajaran Individual (Individualized Education
Program) Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi
Peningkatan kompetensi guru dalam penyusunan program
pengajaran individual bagi siswa ABK di kelas inklusi sangat
mendesak untuk dilakukan, mengingat hasil asesmen awal
menunjukkan bahwa sebagian besar guru kurang memiliki
kemampuan untuk mengajar dikelas inklusi. Mereka perlu
mendapatkan pendampingan yang terus-menerus terutama agar
dapat memberikan layanan yang optimal pada siswa abk. Salah satu
keterampilan yang harus dilatih adalah keterampilan dalam
menyusun program penmbelajaran individual.
Metode yang peneliti coba untuk dikembangkan dalam
meningkatkan kompetensi guru dalam penyusunan program
pembelajaran individual adalah melatih mereka tidak hanya dari
sisi pengetahuan melainkan juga dari sisi pengetahuan dan
keterampilan. Metode yang diberikan melalui beberap tahapan yang
menurut hemat peneliti sangat mendasar dan menentukan
keberhasilan meningkatnya kompetensi guru dalam menyusun
program pembelajaran individual.
1. Memberikan pemahaman tentang filosofi pendidikan inklusi.
2. Memberikan pemahaman tentang apa dan siapa siswa
berkebutuhan khusus (pemahaman berupa pengertian dan
karakteristik siswa berkebutuhan khusus).
3. Memberikan wawasan tentang teknik identfikasi dan deteksi pada
siswa berkebutuhan khusus.
4. Pemahaman tentang bagaimana penanganan siswa berkebutuhan
khusus.
5. Dilanjutkan dengan penyusunan program pembelajaran
individual.
78 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Aktivitas ini penting dilakukan secara berkelanjutan mengingat


para guru tidak memiliki latar belakang psikologi, sehingga perlu
diberikan arahan yang mendetil dan berkelanjutan dan yang lebih
penting diberikan secara bertahap sampai para guru benar-benar
memahami. Berikut ini diagram Alur Program Peningkatan
Kompetensi Guru dalam Penyusunan Program Pembelajaran
Individual.

Penyusunan program pembelajaran individual dilakukan secara


bersama-sama oleh orangtua, guru kelas, terapis. Dalam penyusunan
instruksional pembelajaran ditentukan atas tiga pertimbangan yaitu
tujuan instruksional dari pembelajaran, bentuk dan isi dari materi
pelajaran dan karakteristik serta kemampuan siswa (Ormrod, dalam
Mangunsong, 2014).
Dalam penyusunan strategi pengajaran beberapa hal yang
diperhatikan adalah: 1) Tipe kecacatan dan tingkat keparahan
Anak, 2) Tingkatan usia siswa, perkembangan fisik maupun psikis,
perlunya memperhatikan tingkatan usia adalah untuk menentukan
metode pengajaran. Adapun Langkah-langkah dalam pemilihan
strategi pengajaran individual adalah Identifikasi atribut-atribut,
menentukan tujuan-tujuan pengajaran, pemilihan strategi,
pemilihan materi, uji strategi dan materi, serta evaluasi performansi
(Mangunsong, 2009).
Manajemen Dan Pengelolaan Kelas Inklusi 79

F. Sasaran Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus


di Kelas Inklusif
Pembelajaran bagi siswa ABK dikelas inklusif diarahkan pada
tiga aspek utama (Lam Chee Meng & Chen Yee dalam Marjuki,
2014) yaitu:
1. Mengajarkan kebiasaan regulasi diri (Work Habit Self-Regulation)
Anak diarahkan untuk dapat melakukan aktivitas keseharian dari
yang paling sederhana sampai pada aktifitas optimal yang bisa
dilakukan anak seusianya. Regulasi diri dapat dimunculkan
dengan cara melatih secara terus menerus dan berkelanjutan atau
mengatur aktivitas yang akan dilakukannya. Ada tiga tahapan
dalam memunculkan regulasi diri yaitu memanipulasi
faktor eksternal (dengan memberikan standar pribadi untuk
mengevaluasi tingkah laku yang didapat dari hasil interaksi,
memberi penguatan (reinforcement) positif ketika perilaku muncul
dan punishment ketika tidak dilakukan. Penilaian didapat dari hasil
monitor dan evaluasi tingkah laku internal (observasi terhadap
perilaku yang dimunculkan anak, kemudian diberi penilaian.
2. Mengajarkan kemandirian (Self Help Independence)
Kemandirian pada anak dapat dilakukan dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk melakukan aktifitasnya sendiri,
konsisten dalam mengajarkan materi, adanya imbalan seperti
pujian, hadiah dan sebagainya agar anak mau mengulang kembali
perilaku yang diharapkan, adanya dukungan dari orang terdekat,
serta adanya keteladanan atau modeling dari orangtua.
3. Mengajarkan sosialisasi dan fungsi komunikasi (Functional
Comunication)
Sosialisasi merupakan faktor penting yang harus diajarkan pada
siswa berkebutuhan khusus. Yang mendasar adalah mengajarkan
keterampilan sosial sehari-hari dengan teknik pengajaran langsung
dan tak terduga. Anak juga perlu diajarkan untuk melakukan
interaksi sosial yang terstruktur. Guru dan orangtua perlu
memahami bahwa seringkali anak ingin berinteraksi dengan
oranglain namun tidak mengerti bagaimana cara memulainya,
untuk itu perlu dirancang strategi saat memberikan latihan
bersosialisasi misalkan dengan cara anak sering diajak untuk
80 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

berinteraksi dalam kelompok kecil dan memberi penguatan saat


anak mampu berinteraksi dengan baik.
Faktor penentu keberhasilan sosialisasi adalah komunikasi, untuk
itu anak perlu dilatih untuk mampu berkomunikasi dengan orang
lain baik secara verbal maupun non verbal. Sosialisasi dengan
lingkungan diutamakan adalah komunikasi verbal sehingga latihan-
laihan diarahkan untuk mampu mengucapkan kata-kata yang benar
yang diterima secara sosial. Dalam melatih komunikasi orangtua
dan guru perlu mengenali kemampuan masing-masing anak,
mengajarkan anak keterampilan komunikasi fungsional yang dasar
seperti mengucapkan salam, berterima kasih, meminta maaf. Perlunya
guru mangatur kesempatan dimana anak harus berkomunikasi,
melatih mereka untuk berkomunikasi dengan bahasa yang sesuai
untuk anak yaitu dengan struktur kalimat pendek. Gerakan tertentu
yang fungsional juga perlu diajarkan misalnya bersalaman ketika
bertemu dengan orang yang lebih tua, tersenyum ketika disapa
orang lain, dll.
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
81
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

BAB 5
MEMAHAMI KEBUTUHAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DALAM PROSES PEMBELAJARAN
DI KELAS

Kehadiran anak berkebutuhan khusus dikelas inklusif membawa


berbagai harapan bagi orangtua siswa berkebutuhan khusus maupun
guru kelas. Para orangtua siswa berkebutuhan khusus berharap agar
anak mendapatkan pendidikan yang dibutuhkan minimal bakat
anak mereka dapat tergali di sekolah dengan segala keterbatasan
yang mereka miliki. Guru memiliki harapan agar mereka benar-
benar dapat mengenali dan menggali potensi siswa sesuai
kemampuan yang dimiliki, meskipun mereka harus bekerja keras
memahami keadaaan siswa berkebutuhan khusus . Bahkan seringkali
guru memiliki pertanyaan tentang hal apasaja yang dapat diberikan
agar potensi siswa berkebutuhan khusus berkembang.

A. Pola Perkembangan Anak


Untuk memahami kebutuhan siswa berkebutuhan khusus , guru
dan orangtua perlu memahami pola perkembangan yang umum
terjadi pada anak-anak normal terutama variasi individual yang
dimiliki anak sebagai bahan pertimbangan pada variasi mana siswa
berkebutuhan khusus butuh pengembangan. Di antara variasi
invidual anak adalah intelegensi, gaya belajar dan berfikir, serta
kepribadian dan tempranen.
Intelegensi merupakan keterampilan dalam menyelasaikan
masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari

81
82 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

pengalaman kehidupan sehari-hari. Kapasitas intelegensi seseorang


tergambar dalam konsep intelegence quotient/IQ (William Stern, dalam
santrock, 2009) yang dikembangkan dari konsep usia mental binet
(mental Age/ MA) yaitu tingkat perkembangan mental seseorang bila
dibandingkan dengan orang lain dibagi usia kronologis (Chronological
age/CA) di kali 100 (IQ = MA/CA x 100), selain itu dapat juga diukur
dengan skala wechler untuk melihat IQ secara keseluruhan maupun
IQ verbal dan kinerja.
Di samping itu, Gardner menyatakan bahwa intelegensi terwujud
dalam banyak jenis intelegensi khusus diantaranya:
1. Intelegensi verbal yaitu kemampuan seseorang untuk berfikir
dengan kata-kata dan bahasa dalam mengungkapkan makna.
Orang dengan intelegensi verbal yang tinggi dapat menjadi
penulis, jurnalis dan pembicara.
2. Intelegensi matematis yaitu, kemampuan seseorang dalam
menjalankan operasi matematik, Orang dengan intelegensi
matematik yang tinggi dapat menjadi ilmuan, insinyur, akuntan.
3 Intelegensi ruang, kemampuan untuk berfikir tiga dimensi.
Orang dengan intelegensi matematik yang tinggi dapat menjadi
(arsitek, seniman, pelaut).
4. Intelegensi musical yaitu kecerdasan sesorang dalam menguasi
pola tangga nada, lagu, ritme, dan nada. Orang dengan intelegensi
musical yang tinggi dapat menjadi musisi, composer, pencipta
lagu, dll).
5. Intelegensi kinestetik tubuh yaitu kemampuan seseorang dalam
memanipulasi objek dan sangat terampil dalam olah tubuh,
Orang dengan intelegensi kinestetik tubuh yang tinggi ini dapat
menjadi penari, atlet, dll.
6. Intelegensi intrapersonal yaitu kemampuan seseorang dalam
memahami diri sendiri dan kemampuan mengarahkan hidup
orang lain. Orang dengan intelegensi intrapersonal yang tinggi
ini dapat menjadi psikolog, ahli agama.
7. Intelegensi interpersonal yaitu kemampuan seseorang dalam
memahami orang lain dan terampil dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Individu dengan intelegensi interpersonal
yang tinggi dapat menjadi guru, ahli kesehatan mental, dll.
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
83
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

8. Intelegensi naturalis yaitu kemampuan mengamati gejala alam


serta memahamisistem buatan manusia dan alam. Orang dengan
intelegensi natural yang tinggi dapat menjadi petani, ahli botani,
ahli ekologi.
Gardner menjelaskan bahwa setiap bentuk intelegensi bisa
dihancurkan oleh pola kerusakan otak yang berbeda karena ke
delapan intelegensi tersebut melibatkan keterampilan kognitif yang
unik dan setiap intelegensi muncul dalam cara yang unik baik pada
siswa yang cerdas maupun yang berkebutuhan khusus tapi memiliki
bakat yang luar biasa dalam bidang tertentu seperti melukis, music,
olahraga, dll). Karenanya menurut garner, penting bagi orangtua
untuk memberikan stimulasi untuk mengembangkan potensi anak
pada beberapa bidang intelegensi anak melalui kelas yang
memberikan materi beragam dan menarik untuk dapat menstimulasi
kedelapan intelegensi anak.
Anak-anak juga memiliki intelegensi emosional (emosional
Intelegence) yaitu kemampuan anak dalam merasakan dan
mengungkapkan emosinya secara tepat dan adaptif. Anak dengan
intelegensi emosinal yang tinggi akan mampu mengendalikan
emosinya sendiri dan mampu mengekspresikannya dalam situasi
yang tepat. Anak inipun mampu untuk memahami emosi orang lain
(Salovey & Mayer, dalam Santrock, 2009).

B. Gaya Belajar dan Berfikir


Gaya belajar merupakan cara yang dilakukan anak untuk belajar
dan memperoleh informasi. Anak-anak memiliki gaya belajar dan
berfikir yang berbeda-beda. Yang paling umum terdapat dua gaya
belajar yaitu:
1. Gaya impulsive VS reflektif, gaya belajar impulsive adalah
kecenderungan anak untuk bertindak dengan cepat dan impul-
sive, sehingga mereka seringkali melakukan kesalahan. Sebaliknya
anak dengan gaya belajar yang reflektif lebih banyak menggunakan
waktu untuk merespon dan memikirkan ketepatan jawaban.
Anak-anak dengan gaya belajar yang reflektif mampu menginput
informasi secara terstruktur, membaca secara komprehensif dan
melakukan interpretasi serta berorientasi pada menyelesaikan
masalah dan mengambil keputusan.
84 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

2. Gaya mendalam vs Permukaan. Gaya belajar mendalam adalah


gaya belajar dimana anak menggunakan cara yang membantu
mereka memahami arti dari materi yang mereka dapatkan,
sementara gaya belajar permukaan yaitu gaya yang digunakan
anak untuk memahami apa yang mereka perlu ketahui saja
sehinggga seringkali gagal untuk menghubungkan apa yang
dipelajari kedalam konseptual yang lebih besar, cara belajarnya
pasif dan cenderung mengingat informasi diluar kepala.

C. Kepribadian dan Tempramen


Kepribadian merupakan pemikiran, emosi dan perilaku yang
menggambarkan cara seseorang menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Kepribadian dibentuk oleh lingkungan dimana seseorang
tinggal, yang terwakili dalam big five personality yaitu keterbukaan,
kehati-hatian, ekstraversi, kebaikan, dan neurotisme. Sementara
tempramen merupakan gaya perilaku dan cara khas pemberian
respon seseorang. Ada tiga gaya tempramen anak yaitu: 1) anak
yang mudah beradaptasi dan memiliki suasana hati yang positif,
2) anak yang sulit yaitu anak yang seringkali bereaksi secara negatif
dan seringkali menangis, dan lamban dalam menerima perubahan
dan 3) anak yang lambat adalah anak yang mrmiliki intensitas
suasana hati yang rendah dan mempunyai tingkat aktivitas yang
rendah dan agak negatif. Dari ketiga variasi individual tersebut,
guru dan orangtua dapat mengindentifikasi variasi individual pada
anak berkebutuhan khusus, variasi mana yang dominan dan mana
yang menonjol dari diri siswa berkebutuhan khusus.
Selain itu guru perlu memahami empat ranah yang seharusnya
diberikan dalam proses belajar mengajar, yaitu ranah kognitif,
sensorimotorik, soft skill dan ranah pengembangan karakter. Pada ranah
kognitif, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan
berfikir anak, kemampuan memecahkan masalah yang sesuai dengan
perkembangan kognitif dan usia anak. Pada anak berkebutuhan khusus
ranah ini diajarkan dari yang paling sederhana yaitu mereka dapat
dididik untuk mampu mendengarkan dan berkonsentrasi dalam
menerima pelajaran di kelas. Guru harus berupaya untuk membuat
siswa tertarik agar dapat memperhatikan pelajaran yang diberikan,
barulah diarahkan untuk mengasah kemampuan mamahami dan
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
85
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

menalar dengan memberikan stimulasi melalui penjelasan dan


memberikan pertanyaan untuk merangsang kemampuan metakognitif
anak. Pertanyaan diberikan dari hal yang sangat sederhana dan terus
dikembangkan pada hal-hal yang lebih rumit, sehingga anak terlatih
untuk menemukan alternatif pengambilan keputusan.
Ranah Sensorimotorik diarahkan pada pengembangan
keterampilan yang ada dalam diri anak berupa motorik halus
maupun morotik kasar. Ranah ini penting dikembangkan untuk
mengidentifikasi bakat alamiah yang ada dalam diri anak sebagai
sumber kemandirian mereka di masa depan. Bakat ini dapat berupa
olahraga, maupun menulis, melukis dan lain sebagainya. Mudjito,
dkk (2012), menjelaskan bahwa pengembangan sensor motorik dapat
dilakukan melalui Gross and Fine motor ability. Gross sensor motorik
diarahkan untuk mengasah sensor utama, mengajarkan anak untuk
melakukan refleksi terhadap berbagai hal yang mereka rasakan di
sekeliling mereka, sementara fine motor abilities diarahkan untuk
mengembangkan dan meningkatkan sensorial agar menjadi lebih
lincah. Jika keduanya berkembang dalam diri ABK maka akan
membuat daya tangkap dan kemampuan refleksi mereka menjadi
meningkat.
Ranah soft skill diarahkan pada mengembangkan kemampuan
diri yang tidak dapat terlihat secara langsung seperti halnya
keterampilan psikomotorik, melainkan tercermin dalam performance
anak, berupa keterampilan intrapersonal atau kemampuan memahami
diri yang dapat dilatih dengan mengembangkan keterampilan anak
untuk peduli pada diri sendiri, dan keterampilan interpersonal
yaitu keterampilan untuk mampu beradaptasi dan berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya. Sementara ranah karakter adalah
membangun kepribadian anak yang tangguh dalam menghadapi
setiap masalah seperti bekerja keras, bertanggungjawab, dll. Untuk
mencapai perkembangan yang optimal, maka guru perlu mendesain
rencana pembelajaran yang spesifik bagi siswa berkebutuhan khusus
yang disesuaikan dengan karakteristik siswa berkebutuhan khusus.
Ketiga ranah tersebut penting untuk menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan program pembelajaran individual, dan
diupayakan dalam satu kegiatan dapat menyentuh ketiga ranah
tersebut. Ketercapaian perkembangan aspek fisik, kognitif dan
86 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

sosial-emosi pada diri siswa berkebutuhan khusus membutuhkan


waktu yang lebih panjang dibanding pada siswa reguler. Mereka
membutuhkan pendampingan dan bimbingan yang intensif dari
orang-orang disekitarnya.

D. Bantuan yang Dapat Diberikan dalam Proses Belajar pada


Siswa Berkebutuhan Khusus
Siswa berkebutuhan khusus membutuhkan pendampingan yang
intensif dalam proses pembelajaran yang diarahkan untuk
mengembangkan kemampuan dasar yang mereka miliki. Berikut
beberapa contoh bantuan belajar yang dapat diberikan kepada siswa
berkebutuhan khusus:

1. Bantuan Belajar pada Siswa Berkesulitan Belajar


Bagi siswa berkesulitan belajar perlu diberikan strategi
pembelajaran yang disesuaikan dengan kelebihan dan kelemahan
spesifik mereka seperti: meminimalkan stimulus-stimulus yang
potensial mengganggu konsentrasi mereka, menggunakan berbagai
modalitas untuk menyajikan informasi atau saat mengajarkan mereka
membaca, misalnya menuliskan kata, mengulang kata-kata,
menggunakan video atau rekaman, dll., mengajarkan mereka
keterampilan dan strategi belajar seperti cara membuat catatan,
trik-trik mengingat, cara mengorganisasi pekerjaan rumah,
menyediakan alat bantu belajar seperti bimbingan belajar dan bantuan
lainnya (Ormrod, 2009).

2. Bantuan Belajar pada ADHD


Untuk membantu siswa ADHD, perlu diberikan metode
pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa seperti:
a. Memodifikasi jadual siswa dan lingkungan kerja, dengan
memberikan tugas-tugas sulit atau pelajaran di pagi hari,
menjauhkan posisi duduk siswa dari tempat yang mudah
mendisktraksi siswa seperti jauhkan dari jendela atau pintu dan
dekatkan tempat duduknya dengan guru untuk mempermudah
monitoring mereka.
b. Mengajarkan strategi mempertahankan perhatian seperti
meminta mereka untuk mengarahkan pandangannya ke arah
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
87
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

pembicara saat sedang memberikan informasi baru, meminta


mereka berpindah duduk apabila mereka mengalami distraksi
pandangan atau pendengaran.
c. Memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyalurkan
energinya yang berlebihan berupa latihan fisik.
d. Membantu siswa mengelola dan menggunakan waktunya secara
efektif dengan melatih mereka membuat daftar tugas yang harus
dikerjakan, membuat jadual harian (Ormrod, 2009).

3. Bantuan Belajar pada Siswa Autis


Untuk anak autis yang mengalami masalah sosial dan perilaku
perlu diberikan batasan perilaku yang diharapkan secara jelas dan
spesifik, mereka perlu diberikan konsekuensi atas perilaku yang
boleh dan tidak boleh untuk memberikan penguatan dan pemahaman
pada mereka, selalu berikan umpan balik atas perilaku yang sesuai
yang sudah dilakukannya, kenali tanda-tanda munculnya perilaku
pada diri anak autis agar guru dapat mencegah perilaku tersebut
dengan mengalihkan pada objek lain misalnya guru mengenali jika
marah, seorang anak autis akan selalu memereh telinganya, saat
telinganya memerah guru segera mengalihkan rasa marahnya ke
mainan atau benda lain dimana si anak dapat melampiaskan rasa
marahnya dan bukan pada orang disekitarnya.
Di samping itu guru harus memahami bahwa anak dengan
gangguan autis merasa lebih nyaman dan aman dalam lingkungan
fisik yang tetap sama dan menjalani rutinitas yang dapat
diprediksi, sehingga penataan ruang hanya dilakukan diawal
tahun, perubahan penataan ruang dilakukan hanya jika terjadi
kondisi darurat seperti kelas digunakan untuk latihan atau
pertemuan. Guru sebaiknya menjadwalkan aktivitas-aktivitas
tertentu pada waktu yang sama setiap hari, jika ada perubahan,
siswa harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan tersebut, sebelum perubahan diberlakukan.
Pelatihan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain
juga diperlukan melalui instruksi yang eksplisit, pemberian contoh
dan praktik langsung, meski perkembangannya akan sangat
lambat, namun guru harus tetap sabar dalam memberikan latihan
(Ormrod, 2009).
88 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Dalam proses belajar mengajar, guru perlu mempertimbangkan


bahwa anak autis memiliki keterampilan visual-spasial yang kuat
namun kesulitan dalam keterampilan bahasa, sehingga bahan ajar yang
visual perlu diperbanyak seperti menggunakan berbagai objek, gambar
dan foto serta menggunakan isyarat visual untuk menandai dimulainya
aktivitas baru (Peterson, Hogdon, Quill, dalam Ormrod, 2009).

4. Bantuan Belajar untuk Optimalisasi Potensi Siswa Cerdas


Istimewa/Bakat Istimewa
Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa (CI/BI) merupakan siswa
yang memiliki keunggulan baik dari sisiwa kecerdasan maupun bakat
dan minat. Namun demikian mereka memiliki permasalahan yang
spesifik pula dikarenakan keunggulan yang dimilikinya sehingga
mereka membutuhkan arahan dan bimbingan dari lingkungan.
Menurut Semiawan (2008) anak-anak dengan keberbakatan luarbiasa
ini harus diberikan pengayaan untuk meningkatkan potensi yang
dimilikinya melalui kegiatan enrichment atau pengayaan. Menurut
Renzuli (dalam semiawan, 2008) mereka perlu dikumpulkan dalam
satu pool atau kelompok anak yang memiliki keunggulan-keunggulan
tertentu dalam bidang tertentu.
Siswa CI/BI perlu dioptimalkan potensinya melalui kegiatan
belajar yang efektif. Kelas yang dikelola sedemikian rupa untuk
mengoptimalkan potensinya berupa kelas dengan stress minimal
namun tinggi harapan (high expectancy) dengan metode yang santai
akan semakin mempercepat proses input informasi. Metode semacam
ini (metode pembelajaran induktif) merupakan metode yang sangat
disarankan karena telah dibuktikan efektif oleh penelitian National
Research Council of the National Academy of Sciences di USA.
Bahkan dalam suasana "kesadaran yang tak disadari" masukan
informasi yang diproseskan oleh otak kita, lebih mantap (de Tagle
dalam semiawan 2008). Semiawan mempertegas bahwa potensi
siswa CI/BI akan semakin berkembang dalam kegiatan pembelajaran
yang ditandai oleh suasana prakarsa, keberanian, dan bahkan
kemungkinan untuk boleh membuat kesalahan (mistake), menjadikan
pengalaman belajar lebih kaya. Pembelajaran bagi mereka harus
dikemas dalam suasana yang tidak hanya membangkitkan aspek
kognitif, melainkan juga aspek emosional dan fisik (Setiawan, 2008).
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
89
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

Untuk mencapai proses pembelajaran semacam ini dibutuhkan


guru yang memiliki komitmen dan kompetensi mengajar yang baik.
Guru yang mengajar dikelas akselerasi dituntut untuk mampu
memberikan pembelajaran dengan nuansa yang menyenangkan
dan memahami betul karakteristik siswa CI/BI agar metode yang
diterapkannya sesuai dengan perkembangan mereka. Dengan
kekhasan yang mereka miliki, guru dituntut untuk mengembangkan
pembelajaran dengan berbasis kurikulum berdifferensiasi yaitu
kurikulum yang ditujukan untuk penanjakan kehidupan mental
melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya
serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual pada tingkat
tinggi, mengingat anak berbakat memiliki kebutuhan khusus yang
tidak bisa dilayani dengan pendekatan kurikulum umum yang
komprehensif. Kebutuhan spesifik mereka seperti kemampuan
berfikir yang cepat luar biasa juga tidak bisa dipenuhi melalui
pembelajaran biasa seperti yang dilakukan dikelas reguler.
Menurut Kitano & Kirby (dalam Semiawan, 2008) kurikulum
berdifferensiasi berasal dari teori spesialisasi belahan otak terutama
bagi pengembangan belahan otak kanan, dirancang untuk
memberikan pengalaman belajar untuk pemekarannya secara
optimal. Kurikulum berdifferensiasi bagi anak CI/BI merupakan
kurikulum yang dirancang untuk jangka panjang yang diupayakan
untuk pengembangan potensi siswa CI/BI yang disesuaikan
karakteristik masing-masing individu. Guru perlu memahami beberapa
komponen utama dalam penyusunan kurikulum berdifferensiasi.
Komponen pertama, guru akselerasi perlu memahami komponen
kurikulum dan perlu mengetahui potensi siswa CI/BI. Informasi
tentang potensi siswa ini dapat diketahui dari hasil identifikasi/
assesmen siswa yang berisi tentang profil kemampuan dan kelemahan
siswa CI/BI. Di samping itu, guru perlu memperhatikan
kecenderungan, kecepatan dan cara belajar mereka. Dari sinilah
kemudian guru melakukan penyusunan materi kurikulum pada
aspek mana yang perlu diperdalam dan diperluas. Proses inilah
yang disebut sebagai metode belajar “compacting” atau digemukkan
dengan tetap berpegang pada kurikulum umum sebagai dasar untuk
penyusunan kurikulum berdifferensiasi.
Komponen kedua adalah merancang kegiatan belajar yang
ditujukan untuk menyulut fungsi belahan otak kanan siswa CI/BI
90 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

atau dikenal denga istilah “triggering”. Pada Proses ini lebih


menekankan pada pengalaman baru apa yang dapat diperoleh
siswa CI/BI dan dengan cara atau metode apa yang dilakukan agar
siswa mampu menyerap pengalaman/pengetahuan baru yang
dianjurkan. Pembelajaran dengan metode triggering ini diharapkan
mampu meningkatkan kreatifitas dan menggali potensi yang paling
baik yang masih tersembunyi dalam diri siswa CI/BI.
Proses belajar semacam ini, siswa diajak untuk mengembangkan
ide, inspirasi dan imajinasinya serta terlibat langsung baik secara
fisik maupun kognisi dan emosinya sehingga mereka dapat
mengaktualisasikan ide-ide mereka, mengekspresikan perasaannya
tanpa rasa takut, mengasah intuisi mereka untuk peka terhadap
berbagai masalah konsep teori, maupun fakta-fakta yang ada di
sekitarnya. Semiawan mempertegas bahwa prinsip yang harus
dipegang dalam mengajar siswa CI/BI adalah tidak hanya fokus
pada materi yang diberikan, tetapi yang lebih penting adalah
membuat siswa CI/Bi mampu menggunakan fikirannya dan semua
modalitas mentalnya untuk belajar bagaimana ia seharusnya belajar
(to learn how to learn).
Komponen ketiga adalah guru harus memahami orientasi belajar
yang ingin dicapai apakah pada konten, produk atau proses. Siswa
berbakat memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga pembelajaran
harus mengacu pada proses (nurtururing effect) bagaimana mencapai
bukan pada produk. Situasi belajar harus dibuat dengan suasan
yang menantang. Komponen ke empat bersifat teknis dalam
mempersiapkan logistik (fasilitas, ruang, peralatan, pengaturan jam
belajar, personalia) serta subsistem yang mendukungnya dalam
penyelenggaraan kurikulum berdiferensiasi. Administrasi kurikulum
juga tidak kalah penting sebagai subsistem yang suportif terhadap
pengembangan kurikulum berdiferensiasi.
Hal yang tidak kalah penting dalam mengoptimalkan potensi
siswa disekolah adalah guru harus memperhatikan disain konten
kurikulum itu sendiri dengan memperhatikan ciri-ciri keberbakatan
yang disebut sebagai matra untuk dapat merancang kurikulum
sesuai kebutuhan perkembangan anak berbakat, yang pertama adalah
matra umum dengan memperhatikan konsep esensial. Konsep
esensial dari materi kurikulum umum perlu dipilih sesuai dengan
Memahami Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
91
Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

kekuatan dan/atau kelemahan profil siswa CI/BI untuk dijadikan


dasar kumpulan kegiatan belajar yang menunjuk pada perbedaan-
perbedaan individual atau kelompok tertentu (misalnya pertimbangan
daerah), yang perilakunya juga berbeda-beda (terdiferensiasikan) dalam
rangka pengembangan kreativitasnya (local genius). Kemudian
mempertimbangkan keluasan dan kedalaman materi, iklim akademis
yang kondusif untuk menciptakan suasana interaksi antar siswa,
antar guru dan siswa, guru dan guru, serta guru dan kepala
sekolah, peraturan disiplin yang berlaku yang menandai interaksi
belajar, merupakan suasana yang amat menentukan keberhasilan
kualitas belajar (matra subliminal).
Guru juga harus mempertimbangkan kegiatan ekstrakurikuler
di luar sekolah seperti kegiatan kunjungan ke berbagai tempat-
tempat edukatif agar pembelajaran tidak terpaku pada pengetahuan
yang ada di dalam buku pelajaran dan kurikulum. Aktivitas ini
disebut mantra non akademis.
92 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 93

BAB 6
PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN
INDIVIDUAL

A. Pengertian Program Pengajaran Individual


Hallahan, Kauffman dan Pullen (2009) menjelaskan bahwa desain
pembelajaran dalam pendidikan inklusif harus didesain khusus
agar pembelajaran bisa optimal terutama materi pembelajaran, teknik
pembelajaran, kurikulum, sistem evaluasi dan fasilitas penunjang
yang memadai seperti transportasi khusus, assesmen psikologi,
terapi, penggobatan khusus dan konseling yang dibutuhkan agar
pembelajaran berjalan efektif karena tujuan utama dari pendidikan
inklusif ini adalah menemukan dan mengembangkan kemampuan
khusus siswa.
Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas dan Hanlon (2007)
menegaskan bahwa pendidikan inklusif tidak hanya sebatas
mencampur siswa ABK dengan siswa non berkebutuhan khusus
melainkan juga menyiapkan prosedur dan sistem pembelajaran
khusus untuk mereka. Berdasarkan hasil penelitian Zigmond, (dalam
Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009) penyelenggaraan inklusif
membutuhkan persiapan sejumlah prioritas dan menyeleksi secara
hati-hati apa yang dibutuhkan untuk diajarkan, lebih jelasnya
dipertegas dengan penekanan pada istilah mengajar sesuatu yang
khusus dan mengajarkannya dengan cara yang khusus pula.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Gersten, Shiller dan Vaughn (dalam Hallahan, Kauffman & Pullen,
2009) beberapa hal yang digunakan dalam kelas-kelas inklusif saat

93
94 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

ini adalah pembelajaran berbasis komunitas (community-based


instruction), pembelajaran langsung, self monitoring, assesmen
perilaku, adaptasi sistem pembelajaran dan fasilitas pendidikan.
Siswa berkebutuhan khusus membutuhkan kurikulum tersendiri
di kelas inklusif sehingga perlunya memilih kegiatan belajar yang
paling efektif dan efisien dalam memberikan pengalaman belajar
pada mereka. Sekolah inklusif dan guru harus membuat tujuan
instruksional yang mengacu kepada khususan mereka. Program
pengajaran individual menurut Depdikbud (1984 dalam
Mangunsong, 2009) merupakan kegiatan yang dipilih guru dalam
proses belajar mengajar, yang dapat memberikan kemudahan atau
fasilitas kepada siswa menuju tercapainya tujuan instruksional
tertentu yang telah ditetapkan.
Tujuan dari program pembelajaran individual adalah
mendeskripsikan serangkaian strategi yang diarahkan untuk
kebutuhan pengajaran khusus bagi siswa berkebutuhan khusus.
Penyusunan program pembelajaran individual dilakukan secara
bersama-sama oleh orangtua, guru kelas, terapis. Dalam penyusunan
program pembelajaran ditentukan atas tiga pertimbangan yaitu
tujuan instruksional dari pembelajaran, bentuk dan isi dari
materi pelajaran dan karakteristik serta kemampuan siswa (Ormrod,
dalam Mangunsong 2014).

B. Prinsip-Prinsip dalam Pemilihan Strategi Pengajaran Bagi


Siswa Berkebutuhan Khusus
Dalam penyusunan strategi pengajaran beberapa hal yang
diperhatikan adalah: 1) Tipe kecacatan dan tingkat keparahan anak,
2) Tingkatan usia siswa, 3) perkembangan fisik maupun psikis
untuk menentukan metode pengajaran. Adapun Langkah-langkah
dalam pemilihan strategi pengajaran individual adalah identifikasi
atribut-atribut, menentukan tujuan-tujuan pengajaran, pemilihan
strategi, pemilihan materi, uji strategi dan materi, serta evaluasi
performansi (Mangunsong, 2009). Tujuan dari program pembelajaran
individual adalah agar tiap siswa berkebutuhan khusus mendapat
perlakuan dalam proses pembelajaran yang sesuai kebutuhannya.
Kompleksitas program pembelajaran individual sangat
tergantung pada kebutuhan individu. Semakin kompleks
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 95

permasalahannya, maka akan semakin mendetil program


pembelajaran individual yang dibuat untuk individu tersebut. Sebuah
program pembelajaran individual perlu mencakup tujuan
pembelajaran individual, makna penting mencapai tujuan tersebut,
layanan tambahan yang diperlukan serta bagaimana layanan tersebut
diberikan sehingga diharapkan program pembelajaran individual
dapat menjadi petunjuk bagi guru untuk memantau pertumbuhan
dan kemajuan peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Dalam pembuatan program pembelajaran individual, ada tiga
tahapan penting yang harus selalu dilalui, yaitu perencanaan
(planning), pelaksanaan (implementing), dan evaluasi (evaluating).
Ketiga tahap tersebut terdiri atas tujuh komponen aktivitas yang
perlu dilakukan, yaitu asesmen, kolaborasi, penulisan, pengenalan,
pemantauan (monitoring), peninjauan (reviewing), dan pelaporan
(Ministry of Education Province of British Columbia, 2009)

1. Tahap Perencanaan
Asesmen dan kolaborasi perlu dilakukan sebagai bagian dari
perencanaan sebelum memulai tahap penulisan program
pembelajaran individual.Pertanyaannya, mengapa asesmen untuk
siswa berkebutuhan khusus menjadi sesuatu yang penting? Taylor
(2009), dalam bukunya menjelaskan bahwa dengan perencanaan
yang hati-hati, ada beberapa tujuan yang secara sekaligus dapat
dicapai dari asesmen, yaitu: Identifikasi atau screening awal,
Penentuan dan evaluasi dari proses pembelajaran, Penetapan dari
tingkat performansi dan kebutuhan pendidikan, keputusan tentang
kelayakan, pengembangan program pendidikan individual dan
keputusan tentang penempatan program. (Taylor, 2009).
Secara umum, proses asesmen terdiri atas 4 jenis kegiatan,
yaitu Reviewing, Interviewing, Observing, dan Testing. Sebelum
mengaplikasikan sebuah rancangan pembelajaran kepada siswa
berkebutuhan khusus, tim perancang program pembelajaran
individual (yang biasanya terdiri atas guru, manager kasus, konselor
sekolah, ahli komunitas, orangtua, dan terapis) perlu mengetahui
kemampuan dan kesiapan peserta didik. Asesmen kemampuan
(abilities) meliputi asesmen inteligensi, perilaku adaptif dan asesmen
status emosi dan perilaku asesmen bahasa lisan serta asesmen
96 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

prestasi (achievement) yang meliputi: prestasi umum, kemampuan


membaca. Ada inventori dan tes khusus yang dapat dilakukan
untuk mengetahui kemampuan membaca siswa berkebutuhan
khusus, kemampuan matematika, kemampuan mengeluarkan
ekspresi tertulis (written expression).
Selain melakukan asesmen bahasa lisan sebagai tolak ukur
kemampuan berbahasa siswa berkebutuhan khusus, perancang
program pembelajaran individual juga perlu melakukan asesmen
terkait kemampuan mengeluaran ekspresi tertulis pada siswa
berkebutuhan khusus, karena ada siswa yang memiliki kemampuan
berbahasa lisan yang buruk tetapi sangat lihai mengolah kata dalam
bahasa tertulis, misalnya saja Temple Grandin, seorang profesor
ilmu peternakan yang merupakan penderita asperger. Grandin
memiliki kesulitan berbahas lisan, tetapi mampu mengekspresikan
pikiran-pikirannya melalui tulisan sampai akhirnya dibukukan.
Dalam kasus siswa berkebutuhan khusus, semakin dini gangguan
diidentifikasi, maka akan semakin cepat penanganan yang bisa
dilakukan untuk mengatasinya. Ada asesmen play-based yang bisa
digunakan baik oleh psikolog sekolah dalam melihat potensi
kemampuan yang dimiliki oleh siswa berkebutuhan khusus sedini
mungkin. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa bermain
merupakan cara seorang anak untuk berkomunikasi dan berbagi
dunianya, baik berupa pikiran maupun perasaan (Cochran, Nordling,
& Cochran, 2010). Hal-hal yang ada dalam penulisan program
pembelajaran individual adalah:
a. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari proses pendidikan
dalam rentang waktu tertentu. Penetapan tujuan ini harus
mengacu pada konsep SMART (Specific, Measurable, Achievable and
action-oriented, Realistic, dan Time-Limited).
b. Strategi yang relevan untuk mencapai tujuan.
c. Metode asesmen dapat digunakan untuk memantau perkembangan
peserta didik dan mengevaluasi program pembelajaran individual
yang telah dibuat.
Selain 3 poin pokok di atas, program pembelajaran individual
juga sebaiknya dilengkapi dengan daftar layanan pendukung yang
dibutuhkan oleh siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya dan
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 97

daftar materi pendidikan, strategi pemberian instruksi, dan metode


asesmen yang diadaptasi secara khusus untuk memenuhi kebutuhan
peserta didik.

2. Tahap Pelaksanaan
Setelah program pembelajaran individual selesai dibuat, maka
program pembelajaran individual apat diperkenalkan kepada peserta
didik untuk kemudian diaplikasikan. Tujuan perkenalan ini adalah
agar peserta didik mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam
pembelajarannya dan memahami peran yang harus dia lakukan agar
tujuan tersebut dapat dicapai. Guru sebagai penanggungjawab
pelaksanaan program pembelajaran individual juga perlu memastikan
kepada siswa bahwa semua kebutuhan pendidikannya akan
didukung oleh pihak-pihak lain sesuai kebutuhannya. Pada fase ini,
komunikasi yang berkualitas antar pemangku kepentingan yang
telah terjalin dari proses awal harus tetap dipelihara, sehingga
fungsi kontrol dan pemantauan perkembangan siswa tetap terjaga.
Pemantauan (monitoring) merupakan suatu proses di mana para
pendidik menilai respon siswa terhadap strategi yang diterapkan
apakah dapat memenuhi tujuan yang dicanangkan. Proses pemantauan
dilakukan oleh seluruh anggota pembuat program pembelajaran
individual dengan guru sebagai penanggungjawab utamanya.
Pemantauan dilakukan dengan menggunakan serangkaian
metode asesmen baik formal maupun informal, seperti misalnya
dengan menggunakan behavioral checklist untuk melakukan observasi.
Proses pemantauan ini nantinya akan menghasilkan feedback atau
umpan balik agar dapat dilakukan berbagai penyesuaian jika data
menunjukkan bahwa strategi yang diaplikasikan kurang cocok bagi
siswa atau tujuan yang dicanangkan kurang realistis. Masukan
dapat diberikan oleh siapapun anggota yang terlibat dalam
pembuatan program pembelajaran individual, termasuk orangtua
dan siswa sendiri. Akan tetapi sebelum memutuskan bahwa suatu
strategi tidak efektif, maka perlu dipastikan kembali kesiapan siswa
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, faktor yang
menghambat kemajuan siswa tetapi belum terpantau, perubahan
yang terjadi pada siswa di luar sekolah, dan situasi yang dibuat
terlalu menantang untuk siswa.
98 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

3. Tahap Evaluasi
Pada tahap ini, ada dua kegiatan pokok yang perlu dilakukan,
yaitu peninjauan (reviewing) dan pelaporan. Peninjauan perlu
dilakukan untuk menentukan kelayakan dan keefektifan sebuah
program pembelajaran individual, melihat kemajuan siswa, dan
mengidentifikasi strategi yang efektif pada masa persiapan transisi.
Idealnya, tiap program pembelajaran individual setidaknya ditinjau
setahun sekali.
Tinjauan terhadap program pembelajaran individual ini menjadi
dasar untuk membuat program pembelajaran individual pada tahun
berikutnya, sehingga jika seorang siswa naik kelas, guru di tingkat
berikutnya tidak perlu membuat program pembelajaran individual
dari awal, hanya perlu melanjutkan saja berdasarkan evaluasi
terhadap kemajuan yang dibuat oleh siswa. sehingga ada kontinyuitas
dalam proses pembelajaran siswa berkebutuhan khusus.
Laporan kemajuan menggambarkan proses dan kemajuan yang
dibuat oleh siswa selama proses pembelajaran yang direncanakan
dalam program pembelajaran individual diimplementasikan. Sebisa
mungkin penulisan laporan bebas dari jargon sehingga bisa diakses
oleh semua anggota tim program pembelajaran individual bahkan
yang paling awam sekalipun.

C. Rancangan Asesmen
Assesmen merupakan proses pemeriksaan dan pengumpulan
informasi dengan menggunakan berbagai metode untuk mengetahui
kondisi siswa yang digunakan untuk menegakkan diagnosis terhadap
kondisi yang dialami siswa (Taylor, 2009). Pemeriksaan yang
dilakukan harus komprehensif yang meliputi berbagai aspek yang
terkait individu antara lain riwayat hidup siswa, pendidikan,
psikologis, dan kesehatan. Dari assesmen ini akan dihasilkan
kebutuhan dan kekuatan siswa. Hasil dari asesmen ini digunakan
untuk menyusun program pembelajaran individual yang sesuai.
Assesmen pada siswa berkebutuhan khusus terbagi menjadi:
1. Asesmen Inteligensi
Aspek fungsi inteligensi merupakan salah satu aspek yang
digunakan sebagai kriteria penegakan diagnosis disabilitas
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 99

intelektual, sehingga administrasi tes inteligensi sangat penting


dilakukan pada siswa. Selain sebagai pedoman penegakan
diagnosis, dengan mengetahui potensi inteligensinya, guru
dapat merancang program pembelajaran individual yang
secara spesifik sesuai untuk siswa. Contoh alat tes yang bisa
diadministrasikan: Stanford-Binet Intelligence Scale, Wechsler
Intelligence Scale for Children (WISC).
2. Asesmen Perilaku Adaptif
Asesemen terhadap perilaku bisa dilakukan dengan metode
Functional Behavioral Asessment(FBA) yang melibatkan guru,
orangtua, dan psikolog sekolah (Hallahan, Kauffman, & Pullen,
2009). Metode ini menggunakan paradigma ABC dalam perilaku,
yaitu ada Antecedents, Behaviors, dan Consequences. Berikut ini
adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam metode Functional
Behavior Assesmen:
a. Mendefinisikan perilaku.
b. Mengidentifikasi variabel yang memprediksi munculnya
perilaku (antecedents).
c. Mengidentifikasi variabel yang muncul segera setelah perilaku
(consequences).
d. Menentukan hipotesis.
e. Mengumpulkan data observasi yang mendukung hipotesis.
f. Membuat dan mengevaluasi rancangan intervensi.

D. Menyusun Program Pembelajaran Individual


Dalam setting formal di sekolah atau institusi pendidikan untuk
individu berkebutuhan khusus, rancangan program disusun dalam
bentuk pembelajaran yang spesifik. Sesuai dengan namanya,
perencanaan intervensi dilakukan secara spesifik untuk individu
berdasarkan kebutuhan dan potensi kemampuannya. Dari data hasi
asesmen yang dilakukan secara menyeluruh, maka tim sekolah yang
terdiri dari guru, orangtua, terapis dan psikolog, dapat menyusun
program pembelajaran individual dengan langkah-langkah meliputi:
1. Mendeskripsikan kondisi siswa berdasarkan hasil assesmen
selengkap mungkin mulai dari riwayat gangguan siswa, kondisi
internal berupa intelektual, kondisi perilaku, sosial emosi, Motorik
100 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

kasar dan halus, kemampuan bahasa, kemampuan merawat diri,


kondisi eksternal siswa.
2. Menentukan tujuan
Tujuan intervensi sangat ditentukan dari hasil assesmen yang
menyeluruh, semakin detil asesmen dilakukan maka tujuan
intervensi akan spesifik. Tujuan intervensi harus ditetapkan pada
kemampuan dasar yang akan dibenahi pada siswa.
3. Menyusun program pendidikan yang sesuai kebutuhan dan
kemampuan individu dalam program ini diuraikan secara metode
yang digunakan, tujuan khusus, tujuan umum, lamanya program
dilakukan, pelaksananya siapa, media yang digunakan, dan
strategi atau tahap-tahap kegiatan.
4. Mengimplementasikan program pembelajaran individual
Mereview dan memperbarui program pembelajaran individual
sesuai hasil evaluasi.
Keempat langkah tersebut disusun oleh tim program
pembelajaran individual kemudian diterapkan dan dilakukan
review dan diperbaharui sesuai kondisi anak dan reaksi anak
terhadap lingkungan (terutama kelas). Tim program pembelajaran
individual terutama guru kelas harus memantau perkembangan
anak secara teliti kemudian mencatat hasil observasi untuk kemudian
dilaporkan pada tim untuk menentukan intervensi lanjutan jika
intervensi awal berhasil diterapkan atau memperbaharui program
pembelajaran individual yang ada jika ternyata anak kurang
menunjukkan perkembangan sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
Orangtua juga berperan dalam menerapkan program pembelajaran
individual dirumah dan memantau perilaku anak selama masa
intervensi, kemudian mencatat data perkembangan anak dirumah
sebagai bahan masukan bagi timpenyusun program pembelajaran
individual dalam mereview tujuan intervensi yang ditetapkan.

E. Pendekatan Terapi Bermain (Play Therapy) Sebagai Media


Pembelajaran Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian
Bermain atau "play" merupakan istilah yang digunakan secara
bebas sehingga mengkaburkan arti utamanya. Arti yang tepat
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 101

ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang


ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir (Hurlock,
2001). Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai
hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis
yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan
materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan
suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya
mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran,
pengalaman, dan perilakunya), melalui media bermain.
International Asosiation for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi
terapi bermain yang berpusat di Amerika, mendefinisikan terapi
bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis
untuk memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain
menggunakan kekuatan terapeutik permainan untuk membantu klien
mencegah atau menyelesaikan kesulitan psikososial dan mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Landreth, 2001).
Cohen (1993) menjelaskan play therapy sebagai artifak dari bermain
yang digunakan untuk membantu anak-anak untuk berbicara tentang
hal-hal terpendam dalam diri anak muncul kepermukaan. Dalam
hal lebih menekankan dalam teori relaksasi, bahwa dengan kondisi
relaks anak dapat menghilangkan perasaan intimidasi dan lebih
mudah untuk berbicara.
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada
beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe dan jumlah permainan yang
digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat; (d)
urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g)
tingkat usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Dari beberapa definisi terapi bermain di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa terapi bermain adalah pemanfaatan permainan
sebagai media yang efektif bagi terapis, untuk membantu klien
mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan
mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui
kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.

2. Nilai Terapeutik dari Bermain


Bermain pada anak-anak adalah sebuah verbalisasi bagi orang
dewasa, dimana anak-anak sering mengalami kesulitan dalam
102 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

mengekspresikan perasaannya. Biasanya mereka mengekspresikan


rasa marah, takut, puas, bahagia, frustasi, kesenangan adalah dengan
ekspresi yang sangat berbeda, dimana dinamika ekspresi tersebut
hampir mirip pada orang dewasa.
Anak-anak mungkin sangat kesulitan dalam mencoba untuk
mengatakan apa yang mereka katakan atau bagaimana mereka
dipengaruhi oleh apa yang sudah mereka lakukan atau alami. Akan
tetapi dengan hadirnya orang dewasa yang peduli, sensitif, dan
empati, mereka akan memperlihatkan perasaan atau peristiwa yang
mempengaruhi dirinya melalui mainan dan materi lainnya yang
mereka pilih, apa yang mereka lakukan pada material itu, dan mulai
memainkan cerita (landreth, 2001).
Hartup & Smothhergill (dalam Landreth, 2001) menyatakan
bahwa dalam bermain, anak dapat mengurangi tegangan,
mengendalikan kecemasan, merespon secara wajar, atau
memanifestasikannya dalam penerimaan.
Isaacs (dalam Cohen, 1993) dengan teori social relationship-nya,
menyoroti dengan tajam pada bermain lebih pada bermain sebagai
ekspresi total kepribadian. Klein (dalam Cohen, 1993) menyatakan
bahwa bermain merupakan suatu pendekatan yang dapat digunakan
dalam mengakses alam bawah sadar dari anak.
Cohen (1993) berdasarkan penelitian yang pernah dilakukannya
pada tahun 1920 mengungkapkan bahwa "Play could voice the
inarticulate" yaitu bermain dapat menyuarakan atau mengungkapkan
hal-hal yang terpendam atau tidak bisa diungkapkan secara langsung
oleh anak.
Saat anak mengeluarkan perasaannya melalui permainan akan
membawa mereka pada perasaan terbuka ke dalam tingkat kesadaran,
sehingga mereka bisa terbuka, menerima, dan belajar menolak atau
mengendalikan tingkah laku yang tidak diinginkan (Axline dalam
Landreth, 2001).
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa kegiatan bermain
dapat dijadikan sebagai salah satu metode terapi. Oleh karena itu,
penulis mencoba menyajikan play therapy sebagai alternatif terapi
yang dapat digunakan untuk mengurangi hiperaktivitas pada anak
penyandang ADHD.
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 103

3. Manfaat Play Therapy


Play therapy dapat menciptakan atmosfer yang santai, dimana
anak akan kehilangan perasaan terintimidasi oleh kehadiran seorang
terapis dan dapat lebih bersikap terbuka. Selain itu play therapy juga
dapat membantu anak untuk menjelaskan secara detail tentang
berbagai macam kekerasan yang pernah dialaminya (Cohen, 1993).
Frith (dalam Cohen, 1993) menyebutkan bahwa pada anak autis
yang cenderung tidak suka dekat secara fisik dengan orang lain,
maka dengan play therapy seorang terapis dapat melakukan
pendekatan secara bertahap dengan anak tersebut.

4. Macam-macam Play Therapy


O'Connor dan Braverman (1997) menyebutkan ada beberapa
macam play therapy berdasarkan teori-teori kepribadian, yaitu:
a. Child-Centered play therapy
Play therapy ini dicetuskan pertama kali oleh Landreth dan Sweeney
berdasar dari konsep teori dari Client-centered Therapy yang
diciptakan oleh Rogers (1951) yang kemudian dikembangkan
oleh Virginia Axline salah seorang dari murid Rogers. Teori
Child-centered dari kepribadian berdasar dari tiga konsep dasar:
(1) individu itu sendiri, (2) medan fenomenal, dan (3) system self.
b. Psychoanalytic play therapy
Play therapy ini pertama kali dimulai oleh Lee berdasar dari teori
psikoanalitik milik Freud, dimana play therapy ini memiliki peran
penting dalam perkembangan dari analisis anak. Teknik ini lebih
menekankan pada harapan masa kanak-kanak yaitu fantasi dan
pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan orang-orang
penting pada masa lalunya yang terletak pada alam bawah sadar.
c. Cognitive-behavioral play therapy
Knell adalah tokoh yang menciptakan play therapy ini berdasarkan
pada behavioral and cognitive theory dari perkembangan secara
emosional dan psikopatologi dan pada pemberian intervensi
dari teori ini.
d. Jungian play therapy
Play therapy ini digunakan sebagai therapy oleh Allan berdasarkan
pada teori kepribadian Jung tentang Axis self-ego. Konsep ini
104 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

menjelaskan tentang konsep alamiah dari sebuah hubungan antara


kesadaran (ego) dan ketidak sadaran (self).
e. Fillial play therapy
Pencetus Fillial Therapy (FT) adalah Guerney. Dimana Play Therapy
ini menggunakan metode Play Therapy yang melibatkan orang tua
dalam proses bermain. Play therapy ini juga berdasarkan teori
Rogers yang diterjemahkan oleh Virginia Axline. Dimana instruksi
orang tua pada ketrampilan play therapy adalah berorientasi secara
efektif dengan emphasis dari prinsip client-centered therapy yaitu
empati dan penerimaan.
f. Developmental play therapy
Brody mengangkat play therapy ini berdasar dari pengalaman
menyentuh termasuk tangan, jari-jari, wajah, kaki, jari-jari kaki,
dan tubuh sebagai sebuah keseluruhan dari anak ketika bermain
ayunan atau ketika bermain salah satu dari developmental therapy.
g. Gestalt play therapy
Play therapy ini diciptakan Carroll dan Oaklander berdasar dari
teori gestalt yang termasuk dalam aliran humanistik. Bentuk proses
dan orientasi dari terapi ini berkonsentrasi pada fungsi integrasi
dari semua aspek dari individu: akal, tubuh, emosi dan kecerdasan.
Teori Bermain milik Hurlock (2001) dapat juga dikombinasikan
dengan play therapy, yaitu:
a. Bermain Aktif
Kesenangan timbul dari apa yang dilakukan oleh individu.
Adapun bentuk permainannya seperti; permainan bebas, spontan,
dramatisasi (bermain pura-pura), melamun, bermain konstruksi,
bermain fisik, bermain koleksi, eksplorasi, permainan, dan olah raga.
b. Bermain Pasif
Kesenangan timbul dari apa yang dilakukan oleh orang lain.
Misalnya; melihat TV, mendengarkan radio, atau hanya sekedar
melihat teman-temanya bermain.
c. Bermain Sosial
Kegiatan bermain yang dilakukan bersama orang lain. Misalnya;
sepak bola, monopoli, game yang melibatkan lebih dari dua
orang.
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 105

d. Bermain sendiri
Kegiatan bermain tanpa melibatkan atau tidak berhubungan
dengan orang lain. Misalnya; bermain boneka.

5. Prinsip-prinsip dalam Penerapan Terapi Bermain untuk Anak


ADHD
Berdasarkan luasnya batasan terapi bermain maka
penerapannya bagi anak ADHD memerlukan batasan-batasan yang
lebih spesifik, disesuaikan dengan karakteristik penyandang
ADHD sendiri. Pada anak anak ADHD, terapi bermain dapat
dilakukan untuk membantu mengendalikan aktivitas yang
berlebihan (hiperaktivitas), melatih kemampuan mempertahankan
perhatian pada objek tertentu, mengembangkan keterampilan
menunggu giliran, dan mengendalikan tingkat agresivitas.
Tentu saja pemberian terapi perilaku ini akan kurang efektif
tanpa dibarengi dengan treatment berupa obat-obatan yang
membantu untuk mengendalikan agresivitas, memberikan
ketenangan kepada anak, dan mengurangi kecemasan.
Pada prinsipnya terapi bermain digunakan untuk menjadi media
bagi anak untuk:
a. Mengalihkan perhatian anak dari aktivitas yang berlebihan namun
tidak bermanfaat, dalam hal ini prinsip bermain ini lebih pada
pelepasan energi berlebihan dari anak dan sebagai katarsis
emosional bagi subjek.
b. Melatih anak melakukan tugas satu persatu
Dengan menggunakan prinsip bermain fisik, misalnya
melakukan 2 perintah sederhana secara runtut dan urut dari
instruksi yang diberikan oleh guru/terapis. Dalam hal ini anak
dilatih untuk mengerti satu-persatu instruksi yang diberikan oleh
guru/terapis.
c. Melatih anak menunggu giliran, dengan menggunakan prinsip
bermain pura-pura dalam proses terapi.
d. Mengalihkan sasaran agresivitas anak.
Perilaku agresif sering kali berakar dari keinginan, harapan,
atau perasaan yang tidak dapat diekspresikan. Anak-anak sering
106 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

mengalami penahanan emosi yang kuat, dimana mereka tidak


memiliki kata-kata untuk menggambarkan atau mengungkapkan
apa yang mereka rasakan (Landreth, 2001).
Berikut ini contoh play therapy yang akan digunakan untuk
tujuan mengurangi inattention.

6. Play Therapy Inattention


Dalam menangani Inattention, penulis menggunakan prinsip
bermain konstruktif, yaitu bentuk bermain dimana anak-anak
menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk
tujuan bermanfaat melainkan lebih ditujukan bagi kegembiraan
yang diperolehnya dari melakukannya. Play therapy ini untuk
meningkatkan konsentrasi anak. Adapun jenis permainan yang akan
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Meronce
Meronce ini menggunakan potongan kayu dengan bentuk macam-
macam dan tali 60 cm. dengan batas waktu 15 menit bertujuan
untuk melatih konsentrasi anak.
b. Mewarna
Pada kegiatan bermain ini subjek diberikan gambar dengan bentuk
sederhana. Subjek diminta mewarna gambar yang telah disediakan.
Dalam tahap pewarnaan subjek harus mengikuti instruksi dengan
baik dan urut. Adapun instruksi tersebut seperti: warnailah aku
dengan warna hijau, aku adalah bagian dari pohon, selain itu aku
juga ada diatas tanah.
c. Memasukkan kelereng kedalam botol
Permainan ini mengunakan 50 kelereng yang ditempatkan didalam
wadah plastic. Anak diminta memasukkan kelereng kedalam botol
aqua dengan waktu 30 menit.
Ketiga kegiatan play therapy yaitu meronce, memasukkan kelereng
kedalam botol dan mewarnai bentuk sederhanaini dapat diterapkan
selama 1 bulan, 4 kali pertemuan. Metode ini merupakan permainan
yang mudah dilakukan dimanapun, peralatan yang digunakan sangat
sederhana, dengan instruksi yang mudah sehingga mudah dilakukan
oleh guru dan orang tua.
Penyusunan Program Pembelajaran Individual 107

7. Behavior Modification
Play therapy yang dilakukan dimodifikasi pula dengan
pemberian reinforcement (penguatan) agar siswa ABK semakin
tertarik untuk mengikuti permainan. Pendekatan yang digunakan
adalah Contingency management yaitu strategi dari modifikasi
perilaku yang dapat diterapkan dirumah atau disekolah yang
dimonitor oleh seorang profesional. Tujuannya adalah meningkatkan
perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan dengan prinsip operant-conditioning (Schwartzberg, 2000).
Salah satu cara adalah dengan pemberian reinforcement berupa
token, yaitu pemberian sesuatu yang sangat disukai anak bisa
berupa makanan, mainan atau aktivitas yang disukai anak (Wehman
& Mc.Laughlin, 1981). Pada contoh kasus nanti, siswa sangat
menyukai air putih dan bermain ayunan. Sehingga keduanya bisa
menjadi token yang digunakan untuk meningkatkan prosocial dan
academic behavior-nya. Penulis pun menggunakan Respon-Cost yaitu
program untuk mengurangi perilaku yang mengganggu (distructive
behavior). Pada respon-cost ini, anak akan kehilangan reward yang
telah disepakati, bila anak melakukan perilaku yang tidak
diinginkan (unwanted behavior).

8. Motivation
Selain pemberian token, play therapy juga dimodifikasi dengan
pemberian motivasi terutama untuk meningkatkan motivasi intrinsik
siswa yang menurut Deci (dalam Pintrinch & Meece, 2008) adalah
kebutuhan seseorang untuk menjadi kompeten dan self-determining
dalam berhubungan dengan lingkungannya yang memberi kekuatan
pada will seseorang untuk memuaskan kebutuhan, menyelesaikan
konflik diantara berbagai kebutuhan dan mengontrol kebutuhan
tersebut. Dapat diberikan berupa pemberian reward yang berfungsi
untuk mengontrol dan menginformasikan perilaku apabila diberikan
berdekatan waktunya dengan selesainya tugas individu pada level
tertentu. Bentuk lainnya berupa feedback positif yang diberikan ketika
anak dapat melakukan kegiatan dengan benar. Bentuk Feedback
positif juga dapat disesuaikan dengan aktivitas yang disukai siswa
seperti memberikan tepukan, pelukan maupun hadiah.
108 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 109

BAB 7
CONTOH RANCANGAN PROGRAM PENGAJARAN
INDIVIDUAL BAGI SISWA ADHD

A. Deskripsi Diri Siswa

1. Profil Diri
Ananda FH lahir di Kota X pada tanggal 8 Maret 2003, saat ini
usianya 5 tahun 6 bulan. FH adalah anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan W dan R. FH pernah bersekolah di TK Z, namun 2
kali di keluarkan pihak sekolah dengan alasan FH seringkali
mengganggu anak lain. Dan saat ini mengikuti kelas intervensi di
TK Z.
Pada awal kehamilan FH, tidak ada gangguan kehamilan yang
berarti, ibu merasa kandungannya sehat-sehat saja. Hanya pada
bulan-bulan pertama ibu merasa sangat mual dan tidak nafsu makan.
Dalam kondisi hamil, si ibu masih terus bekerja hingga cuti untuk
melahirkan. Pada usia kehamilan 9 bulan, Ibu berangkat ke Kota X
dengan menggunakan pesawat karena ia ingin melahirkan dirumah
orangtuanya. Sampai usia FH 2 bulan, ia kembali ke rumahnya
karena bekerja dan diusia FH 3 bulan FH diberikan susu kaleng
karena ASI tidak mencukupi, karena ibu bekerja hingga malam. Di
rumah, FH diasuh oleh sepupu ibunya, namun kondisi FH waktu
itu sangat kurus dengan berat badan dibawah garis normal untuk
anak seusianya. Karena menurut informasi yang didapat ibu dari
para tetangga, FH kurang terurus masalah makannya karena
seringkali dibawa bepergian oleh sepupunya pada saat si ibu bekerja.
Untuk perkembangan fisik dan motorik lainnya, berkembang dalam

109
110 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

batas yang normal. Namun di usia 2 tahun FH belum dapat


mengucapkan sepatah katapun sehingga ibu berinisiatif untuk
membawa anaknya ke THT. Hasilnya pendengaran FH normal.
Menurut ibunya, FH pernah diberi imunisasi MMR dan mengalami
demam tinggi.
FH, telah didiagnosa ADHA Sejak umur 3 tahun dan telah
menjalani beberapa pemeriksaan dan terapi-terapi, pemeriksaan yang
telah dilakukan oleh FH adalah tes laboratorium yaitu berupa tes
darah, rambut, feaces dan kuku untuk mengetahui kadar timbal atau
zat-zat apa saja yang terkandung didalam tubuhnya. FH juga telah
melakukan beberapa terapi selama kurang lebih satu tahun dan
telah menjalani terapi berupa terapi okupasi, terapi wicara dan
terapi behavior. FH tinggal bersama kedua orang tuanya, dan dalam
mengantarkan FH ke tempat terapi, ibu yang lebih berperan. FH
tidak mempunya riwayat penyakit yang berbahaya hanya kulit FH
yang sensitif, karena jika gatal akan berbekas menjadi koreng.
Menurut Ibunya, FH melakukan diet ketat untuk menghindari
terjadinya perilaku-prilaku yang lebih hiperaktif. FH sangat pantang
dengan makanan yang mengandung terigu, coklat, MSG dan
makanan fast food. Orang tua sangat berharap FH bisa berkembang
sesuai dengan usia perkembangan anak-anak normal pada umumnya
juga sangat mengharapkan kemandirian serta masuk sekolah.

2. Kondisi Internal
a. Perilaku, Sosial dan Emosi
Perilaku secara umum, terutama ketika berada pada suatu
ruangan atau situasi tidak bisa tenang, ia berjalan mengelilingi
ruang sambil mata melihat kesekelililng secara bergantian, dan
tangannya meraih sesuatu yang menarik perhatiannya sesaat dan
kemudian sibuk memperhatikan hal lain.
Kemampuan FH untuk berinteraksi dan bersosialisasi terlihat
masih sangat kurang, karena terlihat FH masih suka bermain
sendiri, berlari kesana kemari dan lompat-lompat. Kontak mata
hanya bertahan beberapa saat, kemudian mata akan tertuju ke
arah benda lain, sambil mengeluarkan suara yang tidak jelas
intonasinya. Memerlukan instruksi berulang agar FH mau
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 111

melakukan aktivitas tertentu. FH masih belum mempunyai


kesadaran terhadap lingkungan, kontrol emosi FH saat diberikan
aktivitas yang memerlukan ketelitian dalam mengerjakannya masih
memerlukan arahan karena FH selalu tampak marah jika ia tidak
bisa mengerjakan dengan baik. FH sangat mudah bosan dengan
aktivitas yang diberikan. Dia hanya dapat duduk dengan tenang
didalam kelas untuk beberapa waktu tertentu, masih tergantung
dengan mood.

b. Intelektual
Saat pemberian aktivitas, FH masih sulit untuk memperhatikan
dan konsentrasinya masih mudah terpecah. Perhatiannya mudah
teralih pada hal lain. FH masih sangat memerlukan arahan untuk
fokus dan menyelesaikan tugas yang diberikan karena saat
mengerjakan aktivitas, ia tidak bertahan lama, ia akan
memperhatikan ke hal lain dan seringkali melihat teman-temannya
yang juga sedang mengerjakan tugasnya. Koordinasi mata tangan
FH juga masih memerlukan arahan. Kemampuan FH dalam
memahami suatu instruksi secara verbal masih memerlukan
instruksi berulang, karena adanya hiperaktif yang menyebabkan
setiap instruksi yang diberikan seperti tidak didengarkan atau
tidak diperhatikan oleh FH. Kemampuan akademik FH saat
itu masih sangat kurang, FH hanya mengenal warna biru
dan merah. FH juga belum mampu mengidentifikasi anggota
tubuhnya dengan baik, FH hanya mengenal gigi dan hidung,
itupun belum konsisten.
c. Kemampuan Motorik Kasar dan Halus
Kemampuan motorik kasar FH terlihat cukup baik, karena saat
aktivitas dikelas terlihat FH mau melakukan aktifitas dengan baik
seperti merangkak, berjalan diatas meja dan kursi, melompat
ditrampolin, dan berguling. Koordinasi seluruh tubuh dan integrasi
bilateral FH dengan ke dua tangannya saat melempar tangkap bola,
juga kontrol postur FH saat bermain cukup baik. Kemampuan
motorik halus masih kurang, terlihat pada saat diberikan aktifitas
untuk mewarna ia mewarnai dengan arah yang tidak beraturan
dengan mata menatap kearah lain sambil mengeluarkan suara
bergumam. Tingkat kesabaran FH masih perlu arahan karena selalu
112 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

terburu-terburu dan ingin cepat selesai, kemampuan FH dalam


memindahkan benda-benda juga cukup baik. Koordinasi mata dan
tangan masih perlu arahan agar FH mau melihat benda yang
diarahkan kepadanya. Ia tampak hanya sesaat memperhatikan benda
yang diberikan kepadanya dan segera melihat ke arah lain.

d. Komponen Bahasa
Kemampuan lisan FH masih belum jelas, terdengar setiap
diberikan instruksi untuk mengikuti suku kata atau kata sederhana,
terdengar hanya baru suku kata saja itupun terkadang masih
mengikuti secara asal, belum sesuai dengan yang diinstruksikan.
Seperti "mama" menjadi "mma.." "Papa" menjadi "Ppah..".
Penekanan suara FH juga terdengar cukup kuat setiap mengikuti
instruksi. Untuk mengikuti instruksi sederhana FH memerlukan
instruksi berulang agar paham dan mengikuti instruksi dengan
baik. FH mampu berkomunikasi satu arah, untuk mengungkapkan
keinginannya.

e. Kemampuan Merawat Diri/Keseharian


Kemampuan FH dalam melakukan aktivitas life skill masih
memerlukan arahan, saat melakukan simulasi untuk latihan memakai
dan melepas pakaian FH menangis, karena menurut ibunya FH
trauma saat terapi, ia diharuskan membuka pakaian, jadi saat aktivitas
melepas dan membuka pakaian FH menolak dan menangis. FH
sudah cukup mampu untuk makan dan minum, meskipun masih
berantakan dan hanya memakan lauknya saja. FH masih pipis
sesuai dengan jadwal yang ada yaitu setiap satu jam sesuai jadual
yang dibuat terapis.
f. Karakteristik Gangguan FH Berdasarkan DSM IV
Untuk mengetahui ciri-ciri gangguan yang dialami FH, peneliti
memberikan check-list identifikasi prilaku ADHD (yang peneliti
buat berdasarkan kriteria ADHD menurut DSM IV). Check-list ini
digunakan sebagai guide observasi perilaku FH. Berdasarkan data
yang diperoleh FH memiliki ciri-ciri gangguan sebagai berikut:
1) Inattention; dia sering gagal memperhatikan detil atau sering
membuat kesalahan atau kecerobohan dalam mengerjakan tugas
seperti saat menggunting atau mewarnai dia mengerjakannya
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 113

dengan terburu-buru, sehingga proses dan hasilnya tidak


optimal, kontak matanya terkadang masih mudah teralihkan,
sering terlihat tidak perhatian ketika berbicara langsung, saat
diberikan instruksi bertahap, ia terburu-buru mengerjakan karena
kurang memperhatikan, sering salah dalam menyelesaikan tugas.
Ia kesulitan mengorganisasi tugas dan aktifitas, sering menolak
tidak suka ikut serta dalam aktifitas kelompok, mudah terganggu
stimulus luar.
2) Hiperaktif; sering gelisah dengan tangan atau kaki menggeliat di
kursi, sering meninggalkan tempat duduk saat pelajaran atau saat
kegiatan bersama seperti makan bersama, seringkali berlarian
kesana kemari dan memanjat, dan sering terburu-buru atau
bergerak terus menerus.
3) Impulsif; kesulitan menunggu giliran dan sering menyela atau
memaksakan kehendaknya pada oranglain.
4) Agresif; sering marah secara tiba-tiba, terutama jika keinginannya
tidak dipenuhi, biasanya dia akan melakukan tantrum yang baru
akan berhenti ketika keinginannya dipenuhi.

3. Kondisi Eksternal Subyek


a. Latar Belakang dan Interaksi dalam Keluarga
FH tinggal bersama ayah, ibu dan 3 adik perempuannya yang
saat ini berusia 4 tahun, 3 tahun dan 1,5 tahun. Ayahnya karyawan
disebuah perusahaan swasta dan ibu dulunya pernah bekerja
diperusahaan yang sama, namun memutuskan untuk berhenti bekerja
setelah FH berusia 2,5 tahun dan mulai menunjukkan tanda-tanda
tidak juga bicara, sebulan setelah ia berhenti bekerja, si ibu
mengandung anak keduanya. Ayah dan Ibu memiliki pendidikan
sarjana S1. Dari segi ekonomi baik dan memadai. Di rumah, FH
hanya sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Ia sangat suka berteriak-
teriak dan mengeluarkan suara tanpa jelas maknanya sambil matanya
mengarah menatap ke sekeliling sambil tertawa. Menurut ibunya,
pernah dua kali FH keluar rumah tanpa diketahui, yang pertama
pada saat ibu sedang memasak dan ia lupa menutup pintu, ia keluar
dan memanjat gerbang depan. Saat dicari-cari ternyata FH sedang
bermain ayunan di TK dekat rumahnya. Yang kedua, 6 bulan yang
lalu pada saat ibu ketiduran karena lelah, FH diam-diam keluar dan
114 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

memanjat gerbang, dan ditemukan sedang berlari-lari kecil dijalan


raya dekat perumahan menuju ke TK yang sama, saat ini adiknya
yang menjaga FH agar tidak lagi keluar rumah.

b. Tetangga dan Lingkungan Keseharian


FH hidup dalam lingkungan perumahan. Menurut ibunya,
disekitar rumah jarang yang memiliki anak seusia FH, sehingga FH
tidak mempunyai teman dan kegiatan sehari-hari hanya didalam
rumah dengan 3 adiknya. FH hanya keluar rumah saat sekolah
seminggu 3 kali dan saat renang pada hari sabtu dan minggu. Ibu
pun jarang sekali melakukan kunjungan ke rumah tetangga, begitupun
sebaliknya. Menurut ibu, karena diperumahan, satu sama lain tidak
saling mengenal. Keseharian kegiatan ibu hanya disibukkan mengurus
anak-anak dan rumah tangga, terutama mengantar dan menjemput
FH dan adiknya. Mereka tidak pernah mendapat kunjungan dari
keluarganya karena keluarga besar yang jauh. FH hanya menghabiskan
hari-hari bersama 3 orang adiknya dan ibunya sambil menunggu
ayahnya pulang dari kantor.

c. Gambaran Guru, Teman dan Sekolah Siswa


Saat ini FH bersekolah di TK Inklusif sekaligus pusat terapi
Merupakan kelas yang digunakan untuk tempat belajar anak-anak
yang mengalami hambatan atau keterlambatan dan biasanya disebut
dengan "special Need" dengan menggunakan kurikulum yang telah
disesuaikan untuk anak tersebut. Pusat intervensi dikelola dengan
sistem manajemen modern secara profesional mengikuti kurikulum
pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini dari departemen
pendidikan nasional yag disesuaikan dengan DAP (Developmentally
appropriate Practice) yang kemudian dikombinasi dengan sistem
pembelajaran sentra yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori
(1870-1952). Guru pusat terapi ada 6 orang, dengan latar belakang
pendidikan yang berbeda-beda, diantaranya 2 orang D3 okupasi, 2
orang dari akademi terapi wicara, 2 orang dari sarjana psikologi
pendidikan yang menangani terapi behaviour. Siswa kelas intervensi
seluruhnya berjumlah 28 siswa terdiri dari 4 orang ADHD, 4 orang
Delay, 3 orang Learning disability dan sisanya adalah anak autis.
FH masuk kelas Basic setiap Selasa, kamis dan jum'at FH
berangkat kesekolah diantar ibunya dengan mobil pribadi. Kelas FH
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 115

dimulai pukul 08.00 sampai 11.00 WIB, kecuali jum'at pukul 8.00
sampai 10.30 WIB dengan kegiatan bersama dengan anak-anak play
group, TK dan SD di lapangan, setiap 1 bulan sekali sekolah
mengadakan field trip untuk mengenalkan anak dengan lingkungan
luar. FH ditangani oleh 3 orang terapis dengan latar belakang
pendidikan D3 terapis yang telah memiliki pengalaman mengajar
lebih dari 3 tahun. Ke tiga terapis tersebut menangani 3 orang anak
dengan 2 orang anak lainnya adalah autis. Terapis tersebut bergantian
mengajarkan FH berbagai aktifitas berdasarkan IEP FH.
Pada awal sekolah FH sangat agresif dengan temannya, ia suka
mendorong dan memukul temannya. Namun saat ini perilakunya
mengalami perubahan. Ia sudah dapat menyesuaikan diri dengan
baik meski tidak ada komunikasi 2 arah dengan teman-temannya,
namun ia tidak lagi mengganggu temannya. Sekolah memiliki
program yang variatif, 2 hari di kelas, hari jum'at kegiatan bersama
dengan siswa lain di luar kelas, adanya konsultasi harian untuk
para orang tua dengan terapis, konsultasi bulanan dengan psikolog
dan ada konferensi kasus yang diadakan pertiga bulan disesuaikan
dengan jadwal psikolognya untuk memantau perkembangan anak
dan untuk menentukan apakah anak akan naik ke level berikutnya
atau mengulang. Guru melihat FH mengalami banyak kemajuan,
terutama dalam hal keterampilan life skill-nya dibandingkan ketika
ia baru masuk kelas intervensi.

d. Faktor yang Menguntungkan (Kondisi Kelebihan FH)


a. Anak memiliki fisik yang sehat, postur tubuh yang tinggi dan
besar untuk anak seusianya.
b. Anak dapat beradaptasi dengan baik.
c. Anak memiliki daya tangkap yang cepat sehingga dapat mengikuti
instruksi yang diberikan meskipun dengan arahan agar dapat
melakukan instruksi dengan benar.
d. Sudah sedikit mampu mengendalikan perilaku agresifnya seperti
tidak lagi memukul teman jika marah, tidak lagi berteriak-teriak
ketika keinginannya tidak dipenuhi, ia hanya menggeleng-
gelengkan kepala saat tidak mau melakukan instruksi. Dan jika
bosan tidak lagi menangis melainkan melakukan pekerjaannya
dengan asal-asalan dengan mata menatap kearah lain dan
mengeluarkan suara yang tidak jelas intonasinya.
116 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

e. Orangtua terutama ibu memiliki keinginan yang kuat untuk


memberikan yang terbaik untuk anaknya, sangat mendukung
kegiatan yang dapat bermanfaat untuk perkembangan anaknya.
f. Ibu selalu mengantar sendiri anaknya sehingga memudahkan guru
untuk berkomunikasi dengan orangtua.

B. Program Pengajaran Individual Bagi FH

1. Pendahuluan
Berdasarkan ilustrasi kasus diatas, kita dapat melihat kekurangan
FH terutama dalam hal Inattention (dia sering gagal memperhatikan
detil atau sering membuat kesalahan atau kecerobohan dalam
mengerjakan tugas seperti saat menggunting dia mengerjakannya
dengan terburu-buru, sehingga proses dan hasilnya tidak optimal,
kontak matanya yang masih mudah teralihkan, sering terlihat tidak
perhatian ketika berbicara langsung, saat diberikan instruksi bertahap,
ia terburu-buru mengerjakan karena kurang memperhatikan, sering
salah dalam menyelesaikan tugas, ia kesulitan mengorganisasi tugas
dan aktifitas, sering menolak dan tidak suka ikut serta dalam
aktifitas kelompok, mudah terganggu stimulus luar), Hiperaktif
(Meskipun FH sudah mampu duduk dengan tenang untuk
mengerjakan tugas yang diberikan, namun ia masih tampak gelisah
dengan tangan atau kaki menggeliat di kursi, dan cepat bosan dengan
kegiatan yang dilakukannya) dan Impulsif (kesulitan menunggu
giliran dan sering menyela atau memaksakan kehendaknya pada
oranglain), Namun yang paling mendasar dan paling sering muncul
pada perilaku FH adalah inattention-nya, yang membuatnya kesulitan
untuk menerima pelajaran yang diberikan dikelas
Berdasarkan hal tersebut penulis memutuskan untuk membuat
program, pembentukan perilaku mengatasi inattention melalui terapi
bermain, hal ini disebabkan karena inattention yang dialami FH
menyebabkan FH kesulitan untuk menguasi keterampilan lain yang
diajarkan oleh guru dikelas. Program ini merupakan program yang
mudah dan sederhana sehingga dapat dilakukan tidak hanya oleh
guru dikelas melainkan orangtua di rumah. Kerjasama antar keduanya
akan memberikan hasil yang optimal.
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 117

I. STRATEGI DAN PROSEDUR TEKNIS PELAKSANAAN


PROGRAM
PLAY TERAPI
Nama Siswa : FH
Tempat/Tgl. Lahir : Malang, 8 Maret 2003
Usia : 5 tahun 7 bulan.
Lama Program : 1 bulan (3 kali pertemuan dalam 1 minggu)
Jenis Program : Meronce, memasukkan kelereng kedalam botol
dan mewarnai.

A. Tujuan Umum
Tujuan umum dari play therapy ini adalah untuk melatih FH
meningkatkan kemampuan konsentrasinya.

B. Tujuan Khusus
1. FH dapat memusatkan perhatian pada objek.
2. FH dapat mengontrol diri untuk tidak melihat rangsangan baru
3. FH tidak melihat kearah lain pada saat mengerjakan tugas.

C. Pelaksana
Terapis, Guru dan orangtua

D. Frekuensi
4 x pertemuan

E. Media
Meronce, memasukkan kelereng kedalam botol dan mewarnai
bentuk sederhana.

F. Tahapan Program
Program diberikan secara bertahap mulai dari meronce,
memasukkan kelereng kedalam botol dan mewarnai, diberikan
bergantian setiap kali pertemuan dengan tujuan agar anak tidak
bosan. Untuk kegiatan meronce dan memasukkan kelereng kedalam
botol bisa diberikan secara bergantian tiap pertemuan dengan tujuan
agar anak tidak bosan. Adapun rincian strategi kegiatan sebagai
berikut:
118 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

PROGRAM 1 : MERONCE
1. Tujuan Khusus : Latihan Konsentrasi dalam waktu 15 menit
2. Frekuensi : 4 x pertemuan
3. Durasi : 1 sesi 20 menit
4. Metode : Demontrasi dan praktek langsung
5. Bahan yang dibutuhkan:
Tali panjang 60 cm, kayu yang dipotong dan dibentuk dengan
berbagai macam bentuk dengan tengahnya diberi lubang kecil
berjumlah 30 buah dan wadah untuk meletakkan potonga kayu.
6. Prosedur Pelaksanaan Kegiatan

Tahap I : Persiapan
1. Waktu: 3 menit
2. Strategi:
a. Siapkan meja dengan kursi yang saling berhadapan, (dalam
menyiapkan meja dan kursi, terapis boleh meminta FH yang
melakukannya, hal ini berfungsi untuk mengeluarkan energi
FH yang berlebihan sehingga pada saat meronce, ia dapat
duduk dengan tenang dan lebih berkonsentrasi). Siapkan juga
seluruh bahan-bahan kegiatan yang akan digunakan, letakkan
diatas meja.
b. Minta FH untuk duduk dikursi yang telah disiapkan tadi.
c. Terapis memberikan instruksi sederhana bahwa tugas FH
adalah memasukan potongan kayu kedalam benang sambil
mendemontrasikan cara melakukannya.

Tahap II : Pelaksanaan
1. Waktu : 15 Menit
2. Strategi :
a. Setelah selesai mendemontrasikan, terapis meminta FH untuk
melakukannya dengan menginstruksikan tali dipegang
ditangan kiri dan tangan kanan mengambil potongan kayu
dan memasukkan tali kelubang porongan kayu.
b. Jika anak telah memahami tugasnya, biarkan anak melakukannya
sendiri dengan batasan waktu 15 menit.
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 119

c. Saat anak bekerja, terapis terus memberikan motivasi agar


anak lebih cepat menyelesaikan tugasnya dan memberikan
pujian setiap kali anak berhasil memasukkan tali kelubang
potongan kayu.
d. Setelah 15 menit minta anak menghentikan kegiatan dan
berilah pujian bahwa dia telah bekerja dengan baik. Pujian
bisa berupa tepuk tangan sambil mengucapkan, "FH hebat...",
kemudian ajak dia tos.

Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif


1. Waktu : 5 menit
2. Strategi:
Pada prinsipnya, penguatan positif mulai diberikan pada tahap
awal pelaksanaan kegiatan, hal ini dilakukan untuk memotivasi
agar FH mau menyelesaikan tugasnya sampai selesai. Namun
tahap ketiga ini adalah tahap pemberian hadiah dan penguatan
positif yang dilakukan setelah karya FH selesai.Tujuannya adalah
membuat FH bangga dan termotivasi untuk terus terlibat dalam
kegiatan yang sedang ia lakukan. Tahap ini juga bertujuan
mengembangkan self-efficacy dan Self-Esteem FH secara perlahan:
a. Minta FH mengangkat tinggi-tinggi hasil meroncenya sambil
memberikan kata-kata positif berupa pujian bahwa dia telah
berhasil meronce.
b. Terapis mengajak anak untuk menghitung berapa potongan
kayu yang berhasil dirangkainya.
Berapapun hasil yang diperolehnya, terapis harus tetap
memberi pujian dan memberinya hadiah: "Hebat sekali...FH
sudah bisa meronce sampai 10...nih..ibu punya hadiah buat FH...".
c. Sodorkan beberapa pilihan hadiah kehadapan anak agar ia
memilih sendiri apa yang disukainya (hadiah disesuaikan
dengan kesukaan anak untuk FH karena dia diet makanan,
maka terapis menyiapkan hadiah berupa barang-barang
mainan, seperti aneka jepit rambut, cincin boneka, gantungan
kunci dan bandana).
d. Hadiah diberikan diakhir kegiatan agar tidak memecah
perhatian FH saat mengerjakan tugas.
120 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Tahap IV : Evaluasi Kegiatan


1. Dalam waktu 15 menit dipertemuan pertama, mencatat berapa
banyak anak dapat memasukkan meronce dengan cara
menghitung potongan kayu yang bisa ia rangkai, kemudian catat
untuk dibandingkan dengan hasil meronce pada pertemuan kedua
dihari berikutnya. Kemudian dilihat kemajuan yang diperoleh FH
pada setiap pertemuan, adakah perubahan (bertambahnya jumlah
potongan kayu yang dapat dironce anak), tidak ada perubahan,
atau justru jumlahnya berkurang.
2. Bagaimana perilaku anak selama meronce, berapa menit ia dapat
berkonsentrasi penuh pada kegiatannya. Apa yang membuat
perhatiannya buyar dan perilaku anak selama mengerjakan
kegiatan.

PROGRAM 2 : MEMASUKKAN KELERENG KE DALAM BOTOL


1. Tujuan Khusus : Latihan Konsentrasi dalam waktu 30 menit
2. Frekuensi : 4 x pertemuan
3. Durasi : 1 sesi 35 menit
4 Metode : Praktek langsung
5. Bahan yang dibutuhkan:
50 biji kelereng, wadah plastik untuk meletakkan kelereng, botol
aqua kecil. Masukkan kelereng kedalam wadah.
6. Prosedur Pelaksanaan Kegiatan

Tahap I : Persiapan
1. Waktu: 3 menit
2. Strategi:
a. Siapkan meja, letakkan meja merapat ke dinding agar tidak
bergeser pada saat diletakkan beban berat.
b. Minta FH untuk berdiri membelakangi meja kemudian minta
dia meletakkan kedua telapak tangannya dilantai dengan
posisi badan membungkuk dengan kepala menempel diatas
tangan.
c. Kemudian, terapis menaikkan kedua kaki FH keatas meja,
sehingga posisi kaki diatas dan kepala dibawah dengan
bertumpu pada kedua tangannya.
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 121

d. Letakkan wadah yang berisi kelereng dan botol aqua ukuran


kecil dihadapan FH

Tahap II : Pelaksanaan
1. Waktu : 15 Menit
2. Strategi :
a. Minta anak untuk memasukkan kelereng kedalam botol aqua
dengan tangan kanan dan kiri secara bergantian.
b. Jika anak belum faham, terapis mencontohkan dengan
mengarahkan tangan kanan anak ke tempat kelereng dan
memintanya untuk mengambil satu kelereng, kemudian
memasukkan kedalam botol aqua.
c. Minta anak mengerjakan sendiri tanpa arahan sambil terus
memotivasi anak bahwa dia dapat melakukannya dengan baik.
d. Beri pujian dan tepuk tangan saat FH berhasil memasukkan
kelereng kedalam botol.
e. Beri motivasi jika anak tampak lambat dalam mengerjakan
tugas ini.
f. Setelah 30 menit minta anak menghentikan kegiatan dan bantu
anak untuk menurunkan kakinya dari atas meja.
g. Berilah pujian bahwa dia telah bekerja dengan baik. Pujian
bisa berupa tepuk tangan sambil mengucapkan, "FH hebat...",
kemudian ajak dia tos.
Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif
a. Waktu : 5 menit
b. Strategi:
Sama halnya dengan meronce, penguatan positif pada kegiatan
ini mulai diberikan pada tahap awal pelaksanaan kegiatan, hal
ini dilakukan untuk memotivasi agar FH mau menyelesaikan
tugasnya sampai selesai. Namun tahap ketiga ini adalah tahap
pemberian hadiah dan penguatan positif yang dilakukan setelah
karya FH selesai. Dengan tujuan membuat FH bangga dan
termotivasi untuk terus terlibat dalam kegiatan yang sedang ia
lakukan. Tahap ini juga bertujuan mengembangkan self-efficacy dan
Self-Esteem FH secara perlahan. Minta FH mengangkat tinggi-tinggi
122 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

botol aqua yang berisi kelereng dan berikan pujian bahwa ia telah
berhasil memasukkan kelereng kedalam botol. Kemudian
sodorkan beberapa hadiah dan biarkan anak memilih benda
yang disukainya.

Tahap IV : Evaluasi Kegiatan


Evaluasi yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah:
1. Dalam waktu 30 menit dipertemuan pertama berapa banyak anak
dapat memasukkan kelereng kedalam botol Aqua (penuh, setengah
atau kurang dari setengah). Agar lebih pasti terapis bisa juga
menghitung berapa biji kelereng yang berhasil dimasukkan
kedalam botol, catat di lembar monitoring sebagai bahan
perbandingan pada pertemuan selanjutnya .
2. Bagaimana perilaku anak selama 15 menit pelaksanaan kegiatan,
apakah ia menangis, teriak-teriak, mengerjakan dengan lambat
atau menghentikan kegiatan sebelum 30 menit. Catat pada lembar
monitoring kemudian bandingkan perilaku FH pada pertemuan
berikutnya.

PROGRAM 3 : MEWARNAI BENTUK SEDERHANA


1. Tujuan Khusus:
a. FH mampu mewarnai bentuk-bentuk sederhana.
b. FH dapat memusatkan perhatian pada objek yang diwarnai.
c. FH dapat mewarnai gambar dengan memperhatikan bagian-
bagian gambar tanpa melewati garis.
d. FH dapat mewarnai gambar sampai selesai dengan hasil yang
rapih.
2. Frekuensi : 4 x pertemuan
3. Durasi : 1 sesi 35 menit
4 Metode : Praktek langsung
5. Bahan yang dibutuhkan:
Gambar bentuk sederhana, crayon atau pensil warna dan lembar
monitoring yang berisi perilaku yang diharapkan, papan dari
stereoform yang ditempel didinding, Jarum Stereoform, benda-
benda hiasan untuk hadiah.
6. Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 123

Tahap I : Persiapan
1. Waktu: 5 - 10 menit
2. Strategi:
a. Siapkan meja dengan kursi yang saling berhadapan, (dalam
menyiapkan meja dan kursi, terapis boleh meminta FH yang
melakukannya, hal ini berfungsi untuk mengeluarkan energi
FH yang berlebihan sehingga pada saat mewarnai ia dapat
duduk dengan tenang dan lebih berkonsentrasi). Siapkan juga
seluruh bahan-bahan kegiatan yang akan digunakan, letakkan
dibawah meja agar tidak terlihat FH.
b. Minta FH untuk duduk dikursi yang telah disiapkan tadi.
c. Kemudian, FH diminta untuk memilih satu gambar bentuk
sederhana, agar menarik, sediakan gambar binatang, gambar
kartun seperti mickey mouse, teletubbies, dora dan gambar
buah-buahan. FH diminta berpartisipasi dalam pemilihan tema
agar ia terikat untuk mewarnai tanpa merasa terpaksa. (agar
FH dapat memilih, gambar dijejer diatas meja, dan instruksi
diberikan perlahan-lahan agar FH mampu menangkap maksud
intruksi dengan baik).
d. Kemudian FH diminta mengambil gambar yang disukainya
dan meletakkan diatas meja. Berikutnya FH diminta memilih
apakah ingin menggunakan crayon, atau pensil warna, sambil
ditunjukkan satu persatu benda tersebut. Saat menunjukkan
benda, benda diangkat keatas (hal ini dilakukan untuk
membuat FH memperhatikan hanya kearah benda yang
ditunjukkan).

Tahap II : Pelaksanaan
1. Waktu : 20-25 Menit
2. Strategi :
a. Setelah semuanya siap, terapis mulai dengan memberikan
instruksi pelaksanaan mewarna dengan instruksi perlahan-
lahan dan satu persatu.
b. Instruksi diberikan sambil bercerita agar imaginasi FH juga
ikut tersentuh dengan intonasi suara yang variatif dan
komunikatif, dan yang terpenting adalah anak sangat
124 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

menyukai dongeng, sehingga diharapkan perhatian FH hanya


tertuju ke objek, contohnya:
"Haloo, FH...aku adalah buah apel, aku hidup disebuah pohon yang
besar dan rindang bersama apel-apel lain yang cantik-cantik, lihat
nih warna kami bagus-bagus, ada yang hijau, kekuningan dan ada
yang merah...(sambil ditunjukkan gambar pohon apel dengan buah
apel yang lebat). Kamu tahu ngga aku sangat manis...sekali! apalagi
yang sudah merah hmmm...maniss...pernah ngga kamu makan
apel...? oke...sebelum makan aku...warnailah aku dulu ya....biar aku
tambah cantik...".
c. Kemudian Sodorkan crayon dan minta FH memilih warna
hijau, jika masih salah terapis ambilkan warna hijau sambil
diangkat tinggi-tinggi .
"Nah...FH...aku adalah pohon besar, rumahnya apel, aku punya daun
batang dan ranting, sekarang warnai daunku ya, dengan warna hijau,
ini warna hijau....lihat FH ini warna hijau..sekarang FH warnai ya
disini...., tidak boleh melewati garis...".
Saat FH mulai mewarna, terapis memperhatikan FH dengan
cermat dan membetulkan jika dia mulai mewarna keluar dari
garis.
d. Setelah selesai satu warna, segera berikan tepuk tangan dan
komentar positif, "Hore...FH pintar....sekali, daunku jadi hijau dan
aku kelihatan jadi segaaa..rr sekarang, terima kasih FH yang baik...!"
Kemudian lanjutkan dengan instruksi berikutnya: "Tapi...
batangku kok masih polos ya...maukan warnai aku dengan warna
coklat...".
e. Kemudian sodorkan kembali crayon dan minta FH memilih
warna coklat, jika masih salah terapis ambilkan warna coklat
sambil diangkat tinggi-tinggi.
f. Begitu seterusnya sampai seluruh gambar selesai diwarnai.
g. Prinsip yang penting yang tidak boleh terlupakan adalah
setiap kali selesai mewarnai satu bagian, berikan reward
berupa pujian, "bagus..FH hebat..! tos dulu....dong..." dan
kemudian berikan reinforcement berupa pemberian makanan
atau minuman yang disukainya yang sudah disiapkan dan
membolehkannya memilih makanan yang disukai.
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 125

h. Tanyakan pada anak apakah ia senang dan maukah dia


mendapat hadiah lainnya? Jelaskan bahwa terapis punya
banyak hadiah untuknya.
i. Kemudian terapis kembali memberi instruksi untuk
menyelesaikan mewarnai bagian yang belum diselesaikan
dengan prinsip yang sama dengan instruksi sebelumnya. Dan
memberikan pujian positif setiap kali dia selesai melakukan
tugas dengan baik.
j. Setelah FH selesai mewarnai seluruh gambar, beri tepuk tangan
sambil mengucapkan, "FH hebat...gambarnya sudah selesai...",
kemudian ajak dia tos dan beri kesukaannya misalnya
minuman atau pelukan.
k. Pada tahap ini, terapis juga mencatat semua respon FH pada
lembar monitoring, mencatat waktu yang dihabiskan FH untuk
menyelesaikan gambar dan mencatat cara FH menyelesaikan
gambar, apakah dikerjakan dengan asal-asalan, mata melihat
penuh kearah gambar atau FH masih menoleh kesana sini pada
saat mewarnai, termasuk respon FH ketika diberi reward, hal
ini penting untuk mengetahui apakah FH senang atau
sebaliknya ketika diberi reward. Yang terpenting adalah
mencatat berapa kali FH dapat mengikuti instruksi dengan
baik, catatan ini penting karena perilaku ini akan diberi
penguatan pada tahap ke empat.
Prinsip-prinsip dasar pelaksanaan kegiatan:
a. Kegiatan dimulai dengan menciptakan suasana yang
menyenangkan.
b. Mulai dengan gambar yang menarik dengan struktur gambar
yang sederhana.
c. Jika anak telah berhasil mewarnai gambar sederhana, terapis
dapat mengganti gambar dengan struktur yang lebih sulit.
d. Tema gambar dapat disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
dikelas (IEP yang telah dimiliki guru kelas, misalnya anggota
tubuh, mengenal warna, dll..).
e. Terapis selalu berusaha membangkitkan minat anak untuk
melakukan kegiatan sesuai instruksi dengan menunjukkan
antusiasme dan terus memotivasi anak dengan sabar.
126 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif


1. Waktu : 5 - 7 menit
2. Strategi:
Prinsip pemberian hadiah sama seperti kegiatan meronce dan
memeasukkan kelereng kedalam botol dengan strategi:
a. Angkat tinggi-tinggi hasil karya FH sambil memberikan kata-
kata positif, dan ajak FH untuk ikut dalam aktivitas tersebut.
"Wow...bagus sekali karya FH...,karena karya ini bagus...saya mau
menyimpannya ditempat yang bisa terlihat orang lain, FH bantu
ya...".
b. Terapis mengajak FH ke papan karyaku (dari streoform yang
sudah ditempel didinding) kemudian bersama-sama
menempelkan karya FH. Bisa juga sambil dibacakan cerita:
"Terima kasih FH...hari ini aku adalah pohon apel yang paling
berbahagia, karena kamu sudah membuatku cantik...terima kasih
ya...sayang..sekarang aku ngga malu lagi ditempel disini....".
c. Kemudian ajak FH kembali ke tempat duduknya, untuk
diberikan hadiah yang sudah disiapkan, (hadiah diberikan
setelah selesai mewarnai agar tidak memecah perhatian FH
pada saat mewarnai), berikan hadiah yang didapat FH sambil
terapis menyebutkan mengapa FH mendapatkan hadiah
tersebut. Misalnya, "FH saya beri hadiah karena tadi FH sudah
mau duduk manis, mau mewarnai sampai selesai, mau membantu
saya menempelkan gambar di papan, berarti FH dapat 3 hadiah hari
ini...".
d. Keluarkan beberapa hadiah dan minta FH untuk memilih 3
hadiah yang disukainya (karena FH diet makanan, maka
terapis menyiapkan hadiah berupa barang-barang mainan,
seperti aneka jepit rambut, cincin boneka, gantungan kunci).

Tahap IV : Evaluasi Kegiatan


Setelah FH selesai membuka hadiah yang didapatnya, terapis
dapat melakukan evaluasi sebagai berikut:
1. Berapa lama FH dapat berkonsentrasi dalam mewarnai
pada pertemuan pertama, kemudian bandingkan dengan
kemampuan konsentrasinya pada pertemuan-pertemuan
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 127

berikutnya, untuk mengetahui adakah peningkatan konsentrasi


anak saat melakukan kegiatan.
2. Bagaimana respon anak pada saat menggambar.
3. Bagaimana anak menyelesaikan gambar, apakah ia dapat mewarnai
tanpa melewati garis.

C. Laporan Penerapan dan Evaluasi Program Pengajaran IEP


Siswa ADHD
1. PAPARAN DATA:
Subjek : FH
Usia : 5 tahun 6 bulan
Jenis Gangguan: ADHD
Pelaksana : NZ
Waktu Kegiatan : 08.00-10.00
Hari/Tanggal : Selasa, 26 Mei 2009
Tempat : Kelas Intervensi
Jenis Treatment : Meronce, Memasukkan kelereng kedalam botol
dan mewarnai
Tujuan : Melatih Konsentrasi

2. DESKRIPSI PELAKSANAAN KEGIATAN:

PROGRAM 1 : MERONCE
1. Tujuan Khusus : Latihan Konsentrasi dalam waktu 15 menit
2. Durasi : 1 sesi 20 menit
3. Metode : Demontrasi dan praktek langsung
4. Deskripsi Pelaksanaan Kegiatan:

Tahap I : Persiapan
1. Waktu: 3 menit
2. Deskripsi
Pada tahap ini FH duduk berhadapan dan melihat kearah penulis,
ketika diberikan instruksi ia tampak memperhatikan dan
tangannya segera mengambil beberapa potongan kayu dan tali,
kemudian demontrasi dilakukan dengan praktek langsung. FH
128 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

tampak memahami intruksi permainan dan terlihat berusaha


memasukkan tali ke lubang potongan kayu sambil tersenyum.

Tahap II:Pelaksanaan
a. Waktu: 15 menit
b. Deskripsi :
Pada tahap ini, ia melakukan dengan konsentrasi hanya pada 10
menit pertama, dan berhasil meronce sepuluh potongan kayu.
Pandangan matanya mulai mengarah ke sekeliling dan sesekali
mengeluarkan suara yang tak jelas. Kemudian dia menumpahkan
seluruh potongan kayu kemeja dan memasukkannya ke wadah.
Setelah dimotivasi FH memegang kembali tali dan mulai meronce
kembali. 5 menit terakhir, ia berhasil meronce 3 buah, itupun
dilakukannya sambil tersenyum-senyum dan sesekali
mengarahkan pandangan kekiri dan kekanannya.

Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif


Saat disodorkan hadiah, mata FH tampak melebar dan tersenyum,
ia segera mengambil kantong berisi gelang dan cincin sebelum
diperintahkan. Kemudian penulis jejer hadiah itu dihadapannya
dan diminta untuk memilih yang ia suka. Ia mengambil gelang dan
segera ia pakai ditangan kirinya. Ketika ditanya apakah ia menyukai
hadiahnya, ia tersenyum sambil mengangguk kemudian segera pergi
keruang bermain.
Evaluasi Pelaksanaan kegiatan:
Kegiatan meronce tampak kurang efektif dikarenakan kegiatan
ini dilakukan diakhir pelajaran, dan dilakukan setelah ia makan
siang. Ia tampak tidak tertarik lagi untuk mengikuti kegiatan karena
ia menganggap setelah makan siang adalah waktunya untuk pulang.
FH sudah bersiap-siap pulang dan mengambil tasnya, namun guru
melarangnya dan meminta FH duduk kembali untuk mengikuti
kegiatan bersama penulis.

PROGRAM 2 : MEMASUKKAN KELERENG KE DALAM BOTOL


1. Tujuan Khusus : Latihan Konsentrasi dalam waktu 30 menit
2. Durasi : 1 sesi 35 menit
3. Metode : Praktek langsung
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 129

4. Deskripsi Pelaksanaan Kegiatan


Tahap I : Persiapan
Pada tahap ini FH membantu terapis merapikan meja yang
dirapatkan didinding. Ia dapat mengikuti semua instruksi yang
diberikan hingga posisinya kepala dibawah dengan kaki diatas
meja. Dan mengikuti demonstrasi yang diberikan terapis.

Tahap II : Pelaksanaan
1. Waktu : 30 Menit
2. Deskripsi
FH dapat memasukkan kelereng kedalam botol satu persatu
dengan tangan kiri dan kanan secara bergantian. Selama 30 menit
ia dapat memenuhi botol aqua kecil dengan kelereng. Sesekali ia
mengeluarkan suara bergumam karena tampak kelelahan. Ia pun
memijat tangannya perlahan, namun ketika dimotivasi untuk terus
mengerjakan tugas tersebut, ia kembali lagi mengerjakannya,
sampai ia dapat memenuhi botol dengan kelereng. Meskipun telah
penuh, FH terus saja mencoba memasukkan kelereng kedalam
botol, dan menghentikannya saat diberikan instruksi selesai.
Segera penulis dan guru menurunkan kakinya, FH berguman
sambil memijat tangan kirinya dengan tangan kanannya, kemudian
berkata “uddah...uddah...”.

Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif


Sama halnya dengan meronce, penguatan positif pada kegiatan
ini mulai diberikan pada tahap awal pelaksanaan kegiatan, hal ini
dilakukan untuk memotivasi agar FH mau menyelesaikan tugasnya
sampai selesai. Ia sangat bersemangat menyelesaikan kegiatan ini,
apalagi pada saat diberikan pujian, ia tampak lebih cepat lagi
memasukkan kelereng itu kedalam botol hingga penuh. Karena
diberi pujian oleh guru dan penulis, FH tampak bersemangat
menyelesaikan tugasnya dengan cepat, bahkan terus memaksa
memasukkan kelereng ke botol meski botol sudah penuh.

Tahap IV : Evaluasi Kegiatan


Pada kegiatan ini, ia tampak senang dan dapat menyelesaikan
tugasnya dengan baik. Ia pun mampu memenuhi botol Aqua dengan
130 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

kelerang bahkan ketika diminta untuk berhenti dia masih terus


mencoba memasukkan kelereng kedalam botol. Perilaku selama
kegiatan yang menonjol adalah FH masih kurang sabar, terlihat ia
mencoba mengambil kelereng dengan menggenggamnya agar banyak
kelereng yang ia dapat, dan mencoba memasukkannya sekaligus,
hingga beberapa kelereng jatuh kelantai. Melihat hal ini guru dan
terapis mengingatkannya agar mengambil satu persatu. Dari
mulutnya keluar kata-kata yang tak jelas yang menurut gurunya
tanda bahwa ia akan menangis, sehingga guru segera memotivasi
agar FH segera menyelesaikan tugasnya.

PROGRAM 3 : MEWARNAI
1. Tujuan Khusus:
a. FH mampu mewarnai bentuk-bentuk sederhana
b. FH dapat memusatkan perhatian pada objek yang sedang
diwarnai.
c. FH dapat mewarnai gambar dengan memperhatikan bagian-
bagian gambar tanpa melewati garis.
d. FH dapat mewarnai gambar sampai selesai dengan hasil yang
rapih.
3. Durasi : 1 sesi 35 menit
4. Metode : Praktek langsung
5. Deskripsi Pelaksanaan Kegiatan:

Tahap I : Persiapan
1. Waktu: 5 menit
2. Deskripsi
Pada tahap ini FH duduk berhadapan, matanya masih memandang
ke arah lain. Untuk menarik perhatiannya, penulis memintanya
memilih 3 buah gambar sederhana yang penulis jejer diatas meja.
Ia tampak menganggukkan kepalanya ketika ditanya apakah ia
mengerti apa yang harus dilakukannya. Ketika disodorkan crayon
warna, ia segera membukanya sambil tersenyum.

Tahap II : Pelaksanaan
1. Waktu : 20-25 menit
Contoh Rancangan Program Pengajaran Individual Bagi Siswa ADHD 131

2. Deskripsi:
FH tampak senang ketika instruksi diberikan sambil bercerita, dan
ia dapat mengikuti instruksi yang diberikan. Hanya 10 menit ia
dapat berkonsentrasi pada tugasnya, setelah itu matanya menatap
kearah lain, sehingga beberapa kali penulis harus mengingatkan
FH untuk fokus pada pekerjaannya. Ia masih harus diarahkan
memilih warna sesuai instruksi karena ia baru mengenal warna
merah dan kuning. Ia pun tampak kurang sabaran dalam
mewarnai, bahkan dengan arah yang tak beraturan, serta keluar
dari garis. Sesekali ia mengeluarkan suara yang tak jelas dan
matanya menoleh kesana kemari. Namun ia dapat
menyelesaikankan mewarnai gambar dengan cepat dan dengan
hasil yang masih berantakan.

Tahap III : Pemberian Hadiah dan Penguatan Positif


Ketika karyanya diberi pujian, FH tampak senang dan ia segera
mengikuti penulis untuk menempel karyanya didepan kelas.Ia pun
segera berlari kearah tempat duduknya setelah mendengar bahwa ia
akan diberi hadiah karena sudah menyelesaikan gambarnya, dan ia
sangat senang ketika diminta memilih hadiah. Namun, ia tampak
menolak ketika guru memasangkan bandana dikepalanya, menurut
gur, FH memang tidak suka dikuncir atau diberi hiasan dikepalanya.
Ia hanya menyukai bentuk hiasan yang ada dibandana dan mencoba
untuk mencopotnya.

Tahap IV : Evaluasi Kegiatan


Pada sesi ini FH tampak menyukainya karena diberikan dengan
bercerita dan diberikan motivasi saat dia terlihat enggan mewarnai.
Namun ia tampak kesulitan dalam mengikuti instruksi untuk
mengambil warna-warna tertentu dan gambar yang diwarnai menurut
guru masih kurang sederhana untuk FH. Ia baru dapat mewarnai
dengan satu warna dan bentuk yang paling sederhana. Pemberian
hadiah sebagai reward harus diperhatikan, karena ada beberapa
hadiah yang ternyata tidak ia sukai dan ia menolak ketika diberikan.
Kemampuan konsentrasinya pada kegiatan mewarnai ini hanya
mampu bertahan 10 menit, selebihnya perilaku inattentionnya muncul
kembali, matanya mengarah kesana-kemari hingga guru mencoba
membuatnya fokus pada gambar dengan memegang kepalanya.
132 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Untuk pertemuan berikutnya gambar yang diberikan harus gambar


yang sangat sederhana dan mewarnai hanya dengan satu warna
terlebih dahulu baru setelah anak mampu menguasai ini, terapi
ditingkatkan dengan menggunakan 2 warna. Begitu seterusnya
dengan melihat kemajuan anak.

REKOMENDASI
Hasil dari program yang telah dibuat mungkin tidak dapat
langsung dirasakan hasilnya, terutama pada anak-anak yang
mengalami gangguan ADHD seperti FH. Perlunya diberikan secara
berulang-ulang dan diberikan setiap hari diawal pelajaran, setidaknya
sampai anak menunjukkan perilaku yang diinginkan. Penulis hanya
dapat menerapkan program ini terhadap FH satu kali yaitu pada
hari selasa, tanggal 26 mei 2009, hal ini disebabkan karena
keterbatasan waktu yang dimiliki penulis dan pihak sekolah, karena
pada saat program ini selesai, belajar mengajar akan berakhir dan
sedang menunggu dilakukannya konferensi kasus, sehingga sekolah
akan diliburkan untuk kenaikan ke tingkat berikutnya.
Meskipun demikian, penulis berharap program pengajaran
individual ini dapat diterapkan terutama oleh orangtua dirumah
untuk mengisi masa liburan anak, juga oleh guru dikelas sebagai
alternatif treatment pada FH. Dari penerapan program pengajaran
individual ini, penulis sangat berharap adanya masukan dan saran
baik dari pihak orangtua maupun guru untuk mengetahui berbagai
hal yang masih harus penulis perbaiki.
Penulis yakin, dengan kerjasama yang baik dari orangtua
dan guru untuk terus memberikan stimulasi dan pengajaran yang
melatih berbagai keterampilan dasar secara berkesinambungan dan penuh
kesungguhan, akan menghasilkan kemajuan dan perkembangan
yang baik pada FH, sehingga ia dapat menguasai life skill yang
dibutuhkan untuk masa depannya.
Membangun Kemitraan Sekolah Dan Orangtua
133
Siswa Berkebutuhan Khusus

BAB 8
MEMBANGUN KEMITRAAN SEKOLAH DAN
ORANGTUA SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Pentingnya Membangun Kemitraan Dengan Orangtua


Secara umum kemitraan antara sekolah dengan keluarga siswa,
dalam hal ini orangtua siswa sebenarnya bukan hanya diperlukan
pada sekolah inklusi namun juga berlaku pada sekolah reguler.
Ditinjau dari kebijakan pendidikan Indonesia, keterlibatan orangtua
dalam pendidikan juga selaras dengan Undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 7 ayat 1 yang
menyatakan bahwa: "Orang tua berhak berperan serta dalam memilih
satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan
pendidikan anaknya."
Kemitraan keluarga dan sekolah merupakan hubungan
kolaboratif dan aktifitas yang melibatkan staf sekolah, orangtua,
dan anggota keluarga lainnya pada sebuah sekolah. Kemitraan yang
efektif berlandaskan hubungan saling mempercayai dan menghormati,
dan berbagi tanggungjawab atas pendidikan anak dan remaja di
sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang efektif memiliki
tingkat kemitraan yang tinggi baik dengan keluarga maupun dengan
komunitas. Kemitraan ini disebutkan berhubungan kuat dengan
pembelajaran siswa, kehadiran, dan perilaku siswa.
Jika dalam sekolah reguler saja dibutuhkan kemitraan dengan
orangtua, terlebih lagi pada sekolah inklusi, yang memiliki masalah-
masalah yang spesifik yang tidak dialami sekolah reguler. Misalnya
saja, sekolah mengalami masalah terkait kompetensi guru untuk

133
134 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

mengajar kelas inklusi, kurangnya ketersediaan sarana prasarana


untuk mengakomodir kebutuhan siswa inklusi, belum adanya
kesadaran komponen sekolah yang lain terhadap pendidikan inklusi,
dan kebijakan pemerintah yang terus berkembang dari waktu ke
waktu terkait pendidikan inklusi. Sehingga peran orangtua siswa
berkebutuhan khusus menjadi sangat penting untuk bekerjasama
dengan sekolah dalam mengupayakan yang terbaik bagi siswa
berkebutuhan khusus.
Pada prinsipnya, dalam melaksanakan pendidikan inklusi,
sekolah membutuhkan kerjasama dengan banyak pihak agar
program-program yang didesain untuk siswa berkebutuhan khusus
dan siswa regular di kelas inklusi dapat berjalan dengan optimal.
Orangtua atau keluarga siswa berkebutuhan khusus adalah salah
satu pihak yang penting untuk bekerjasama dengan sekolah. Cukup
banyak hasil penelitian yang menyebutkan betapa pentingnya
keterlibatan orang tua dalam keberhasilan pelaksanaan kelas inklusi.
Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Afolabi, Mukhopadhyayh,
dan Nenty (2013), yang menunjukkan orangtua sebagai aktor sosial
yang keterlibatannya berhubungan dengan hasil positif pada siswa
berkebutuhan khusus dalam setting inklusi. Demikian juga penelitian
lain yang menyatakan bahwa keterlibatan aktif keluarga dianggap
sebagai faktor penting yang terkait dengan hasil pendidikan yang
lebih baik pada anak-anak baik yang berkebutuhan khusus atau
tidak dalam program inklusif di usia anak-anak (Berger, 1995; Levy,
Kim, & Olive, 2006; Pérez Carreón, Drake, & Barton, 2005 dalam Xu
dan Filler, 2008).
Hasil penelitian lain yang juga menunjukkan keterlibatan
orangtua yang tinggi berhubungan dengan peningkatan performansi
akademik, skor tes yang lebih tinggi, pandangan yang lebih positif
terhadap sekolah, tingkat penyelesaian PR yang lebih tinggi,
rendahnya tingkat penempatan siswa di SLB, tingkat drop out yang
rendah (Christenson, Hurley, Sheridan, & Fenstermacher, 1997;
Hoover-Dempsey & Sandler, 1997; Pérez Carreón, et al. dalam Xu
dan Filler, 2008).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemitraan dengan
keluarga atau orangtua menjadi hal yang penting, diantaranya
adalah:
Membangun Kemitraan Sekolah Dan Orangtua
135
Siswa Berkebutuhan Khusus

1. Keluarga adalah pendidik pertama bagi anak dan pihak yang


paling banyak memberikan mempengaruhi pembelajaran anak
selama masa sekolah dan bahkan setelahnya. Dalam hal ini sekolah
memiliki tanggungjawab yang penting dalam membantu untuk
merawat dan mengajar generasi masa depan dan keluarga
mempercayai sekolah untuk menyediakan pendidikan yang
menjadi landasan bagi masa depan anak-anak. Namun, sekolah
juga perlu untuk memahami peran utama keluarga dalam
pendidikan.
2. Dalam konteks pendidikan inklusi, orangtua siswa berkebutuhan
khusus dapat menjadi partner dalam melakukan identifikasi
kekhususan siswa, cara yang efektif untuk mengajar siswa,cara
berkomunikasi dengan siswa, sarana prasarana yang dibutuhkan
siswa, minat atau bakat siswa yang dapat diketahui orang tua
melalui pengamatan sehari-hari. Selain itu, orangtua juga perlu
untuk menjadi mitra sekolah dalam melanjutkan pembelajaran
yang dilaksanakan di sekolah agar berjalan optimal.
Orangtua siswa berkebutuhan bekerjasama dengan pihak sekolah
tentang penempatan anaknya yang berkebutuhan khusus, dilibatkan
dalam perencanaan, pengembangan, dan implementasi program
pendidikan untuk anaknya, serta mendapatkan informasi tentang
kehadiran, perilaku, dan kemajuan anaknya di sekolah. Sekolah
bersama orangtua perlu duduk bersama dalam menyusun target
capaian pembelajaran bagi anaknya agar orang tua dapat mengelola
harapannya pada sekolah secara lebih realistis, tidak menuntut
sekolah dengan pencapaian yang setara dengan siswa reguler.
Tujuan dari kemitraan antara sekolah dan orang tua adalah
untuk mendorong kerjasama yang berkelanjutan dan efektif antara
semua anggota komunitas sekolah, termasuk guru, keluarga, dan
siswa. Kemitraan tersebut harus didasari dengan kontribusi
yang setara dan berharga dari setiap komponen komunitas
sekolah dengan tetap memberikan rasa hormat atas perbedaan
kontribusi. Selain itu, kemitraan harus menghargai minat siswa,
mempertimbangkan hambatan yang dialami keluarga untuk terlibat
di sekolah, dan secara aktif membantu keluarga yang belum terlibat
agar dapat terlibat. Kemitraan juga bertujuan untuk menghasilkan
program, kesempatan, dan pembelajaran yang lebih baik,
136 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

memberikan ruang pada keluarga untuk berkontribusi dalam


pengambilan keputusan sekolah.
Meskipun demikian, membangun kemitraan memang bukan hal
yang mudah karena membutuhkan waktu dan komitmen yang
tinggi dari sekolah. Upaya tersebut layak untuk ditempuh sekolah
karena keluarga yang memahami sistem pendidikan dan kesulitan
yang dihadapi sekolah akan menjadi sumber dukungan bagi sekolah.
Sekolah yang melibatkan keluarga dalam pemebelajaran anaknya
akan mendapatkan sumber informasi yang kaya dan keahlian yang
dapat membantu untuk mengembangkan komunitas sekolah.

B. Hambatan Dalam Menjalankan Kemitraan


Sekolah perlu untuk menyusun rencana dalam membangun
kemitraan serta memetakan kemungkinan hambatan yang muncul
dalam membangun kemitraan dengan orangtua. Beberapa hambatan-
hambatan yang perlu diatasi agar kemitraan ini berjalan dengan
efektif dan mencapai tujuan bersama, adalah sebagai berikut:
1. Orangtua memiliki persepsi yang kurang tepat tentang konsep
sekolah inklusi dan memandang sekolah akan "menyembuhkan"
anaknya dan menjadikannya sama dengan siswa reguler. Hal ini
akan menyebabkan orangtua menaruh harapan yang berlebihan
pada sekolah dan menganggap perkembangan dan keberhasilan
akademik maupun sosial anaknya adalah tanggungjawab sekolah
sepenuhnya. Pandangan tersebut menyebabkan orangtua
bertindak pasif dan kurang bersedia terlibat dalam pembelajaran
anaknya, atau sebaliknya bertindak agresif dengan mengajukan
tuntutan-tuntutan yang tidak realistis pada sekolah ataupun
khususnya guru anaknya.
2. Bagi banyak orangtua, terlibat dalam pendidikan anak dapat
memunculkan perasaan lelah, terkadang membutuhkan banyak
waktu, dan dirasakan menyulitkan. Terlebih lagi orangtua dengan
anak berkebutuhan merasakan partisipasi dalam pendidikan
anaknya tersebut penuh dengan tuntutan, karena menuntut
orangtua masuk ke dalam sistem, pemahaman yang baik terhadap
kebijakan, hukum, memahami hak dan tanggungjawab anak serta
peran dan tanggungjawab pihak professional lain yang terkait
dengan system.
Membangun Kemitraan Sekolah Dan Orangtua
137
Siswa Berkebutuhan Khusus

3. Orangtua kurang memahami bahwa sekolah inklusi di Indonesia


dilaksanakan dalam kondisi yang kurang ideal baik dari segi
kompetensi guru, ketersediaan sarana pra sarana, sampai
pada penyusunan kurikulumnya (Ni'matuzahroh & Nurhamida,
2014). Dalam situasi ini, sebenarnya keluarga atau orangtua
menjadi mitra penting bagi sekolah untuk saling memberikan
kontribusinya agar pembelajaran dapat berjalan optimal dalam
seala keterbatasannya. Namun terkadang yang terjadi sebaliknya,
orangtua dan sekolah saling menyalahkan akan kondisi yang tidak
ideal yang justru akan memperparah keadaan dan menempatkan
siswa sebagai korban.
4. Pihak sekolah terkadang juga memiliki pandangan yang kurang
tepat seperti keterlibatan orangtua dipandang sebagai ikut campur
atau merasa lebih tahu dari orangtua tentang konsep sekolah
inklusi. Terkadang guru juga resisten terhadap keterlibatan
orangtua dan merasa terancam karena orangtua yang terlalu
menuntut atau terlalu memaksakan pencapaian target yang tidak
realistis. Padahal kehadiran orangtua secara fisik di sekolah adalah
hal yang penting karena dapat membangun komunikasi dengan
guru yang akan memberikan pengaruh postif terhadap
perkembangan sosial, akademik, dan ketrampilan siswa.
5. Sekolah atau guru memandang penyelenggaraan sekolah inklusi
sebagai beban karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi
seperti kompetensi guru kelas inklusi, penyediaan Guru
Pendamping Khusus, penyusunan program pengajaran individual,
dsb. Sehingga sekolah menganggap keharusan membangun
kemitraan sebagai tambahan beban yang harus dikerjakan sekolah
karena harus membangun dialog dengan orangtua siswa
berkebutuhan khusus.

C. Kapan dan Bagaimana Membangun Kemitraan Sekolah


Dengan Orangtua?
Sekolah dengan tingkat kesiapan yang baik untuk melaksanakan
kelas inklusi tentu telah memiliki prosedur standar yang harus
dilakukan sejak penerimaan siswa baru, selama proses belajar mengajar
sampai siswa lulus. Pada sekolah yang telah siap ini, membangun
kemitraan dengan orangtua sudah menjadi bagian yang tidak
138 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

terpisahkan dari pelaksanaan kelas inklusi. Namun demikian tidak


menutup kemungkinan sekolah belum sepenuhnya siap saat
menyelenggarakan sekolah inklusi karena beberapa sebab. Dalam
situasi seperti ini, orangtua siswa berkebutuhan khusus dapat
berinisiatif untuk menjalin komunikasi dan kemitraan dengan sekolah.
Kemitraan dapat dimulai sejak masa penerimaan siswa baru.
Pada tahapan ini, sekolah dapat mengkomunikasikan pada orangtua
siswa berkebutuhan khusus tentang kondisi sekolah secara terbuka.
Misalnya terkait ketersediaan Guru Pendamping Khusus atau belum,
sarana prasarana yang telah dimiliki, dan perlu untuk menyampaikan
secara jelas peran yang harus dilakukan orangtua. Sekolah dapat
meminta seluruh rekam diagnosa siswa berkebutuhan khusus, riwayat
bakat minat siswa, terapi yang telah dilaksanakan. Berdasarkan
informasi tersebut, jika sekolah menilai siswa layak diterima, sekolah
dapat mulai menyusun program pengajaran individual siswa bersama
dengan orang tua dan terapis siswa, menentukan target hasil belajar
yang bersifat individual untuk setiap siswa berkebutuhan khusus dan
menyepakati indikator ketercapaian tujuan pembelajaran tersebut.
Sekolah dapat meminta masukan dari orangtua dan terapis terkait
metode pembelajaran yang pernah diterapkan pada siswa tersebut
sebelumnya dan terbukti sesuai atau menunjukkan keberhasilan.
Selanjutnya pada saat proses belajar mengajar, sekolah dapat
melibatkan orangtua dengan menyampaikan perkembangan siswa
secara kontinu, yang dapat ditetapkan kurun waktunya, misalnya
sebulan sekali. Demikian juga sekolah dapat meminta masukan
pada orangtua jika perencanaan yang disusun sebelumnya tidak
mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Orangtua juga dapat
menjalankan peran sebagai guru bagi anaknya saat di rumah dengan
membimbing siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah.Peran
lain yang dapat dijalankan orangtua sebagaimana hasil penelitian
Ni'matuzahroh dan Nurhamida (2014) dalam proses pengumpulan
data penelitian adalah melakukan edukasi pada komponen komunitas
sekolah yang lain, seperti siswa reguler, orangtua siswa reguler, dan
staf sekolah agar siswa berkebutuhan khusus mendapatkan
penerimaan sosial dari seluruh komponen sekolah.
Pada setiap masa penyampaian hasil evaluasi pembelajaran,
sekolah dapat mendiskusikan hasil pembelajaran bersama dengan
Membangun Kemitraan Sekolah Dan Orangtua
139
Siswa Berkebutuhan Khusus

orangtua untuk menentukan apakah capaian pembelajaran yang


telah ditetapkan sebelumnya sudah tercapai atau belum. Berdasarkan
hasil evaluasi tersebut, dapat disusun capaian pembelajaran
berikutnya dan metode pembelajaran yang akan digunakan.
Secara umum, peran orangtua dalam kemitraan ini meliputi
menjadi tempat sekolah untuk berkonsultasi terkait penempatan
yang tepat anaknya yang berkebutuhan khusus, dilibatkan dalam
perencanaan, pengembangan, implementasi program untuk anak,
mendapatkan informasi kehadiran, perilaku, dan kemajuan yang
dicapai anak di sekolah.
Orang tua yang memiliki pemahaman yang baik tentang
perannya dalam kemitraan adalah yang orang tua yang telah berdaya
dan memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1. Memahami hak anak yang berkebutuhan khusus.
2. Mengetahui fasilitas dan layanan yang tersedia untuk anaknya.
3. Mengetahui apa yang baik dan tidak baik untuk anaknya dan
mampu untuk mengatakan tidak pada sesuatu yang tidak sesuai
dengan anaknya.
4. Dapat memandu dan mendapatkan i'tikad baik orangtua lain dan
komunitas lokal.
5. Mengeksplorasi hukum dan kebijakan nasional untuk menemukan
bagaimana negara melindungi dan melayani anak-anak mereka
dan anak-anak yang lain.
6. Mengetahui jalur untuk mencari keadilan bagi anaknya.
7. Memahami bahwa anak merek membutuhkan bantuan dan
dukungan untuk mendapatkan keuntungan dari lingkungan yang
sama sebagaimana orang lain.
8. Memiliki semangat untuk mempromosikan inklusi dalam
keluarga, komunitas, dan mencari upaya pemenuhannya dalam
pemerintah local maupun nasional.
9. Memahami bahwa anak berkebutuuhan khusus layak untuk
mendapatkan penghargaan atau harga diri sebagaimana anak-anak
yang lain.
10. Memahami konsep hak asasi dan keadilan sosial.
140 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Daftar Pustaka 141

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M., & Nafsiah I, (1994). "Survai tentang perkiraan


jumlah siswa di DKI Jakarta yang membutuhkan Pelayanan
PLB", Laporan Hasil Penelitian, Jakarta: lembaga Penelitian
IKIP Jakarta.
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar. 2003.
PT. Rineka Cipta: Jakarta.
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Diasorders 4th ed. Washington, DC: American
Psychiatric Association.
Anoraga, P. (2009). Psikologi kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Apriliaswati, R. (2015). Stres pada guru. Diakses pada 15 November
2015 dari http://www.academia.edu/3684269/TEACHER_
STRESS.
Arifin. (2012). Pendidikan inklusi di indonesia: akar masalah dan solusinya.
Diakses pada 19 Desember 2014.
Afolabi, O.E. (2014). Parents' involvement in Inclusive Education: An
Empirical Test for the Psycho-educational Development of
Learners with Special Educational Needs. International Journal of
Educational Administration and Policy Studies. 6(10), 196-208.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Diasorders-Text Revision, 4th edition. Washington,
DC: American Psychiatric Association.

141
142 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Ammerman, R.T. Ph.D & Hersen, M. Ph.D. 1997. Handbook of


Prevention and Treatment with children and adolescents: Intervention
in the real worl contect. Canada: USA. John wiley & Sons, Inc.
Ambarsari, M.A.(2014). Mengenal ABK, Anak berkebutuhan Khusus.
Biro Psikologi Aktualita: Surabaya.
Anastopoulos, A, D. & Barkley, russel A.(1992) Handbook of Clinical
Child Psychology Second Edition. John willey & Sons,Inc.
Anastopoulos, A, D. (1997). Handbook of prevention and treatment with
children and adolescents. John Willey & Son.Inc.Canada.
Anderson, C.A & Bushman, B.J. (2002). Human Aggression. Annual
Reviews Psychology.
Anderson, C.A., & Dewall, C.N. (2011). The general aggression model:
theoretical extensions to violence. Psychology of violence American
Psychological Association, 1.
Australian Government. Department of Education, Employment and
Workplace Relations. Family-School Partnership Framework.A
guide for schools and families.
Berns, R.M. (2007). Child, family, school, community: Socialization and
support. Seventh Edition. California: Thomson Wadsworth.
Bhatnagar, Das. (2014). Regular school teachers' concerns and perceived
barriers to implement inclusive education in new delhi, india.
International Journal of Instruction Vol. 7, No. 2 (diakses pada
28 November 2014)
Brackenreed, D. (2011). Inclusive education: Identifying teachers'
strategies for coping with perceived stressorsi in inclusive
classrooms. Canadian Journal of Educational Administration
and Policy, Issue 122 (diakses 28 November 2014).
Bernstein, J.Y. & Watson, M.W. (1997). Children who are targets of
bullying: a victim pattern. Journal Of Interpersonal Violence.
Biederman,J. Faraone M.D, Monuteaux, M.C.(2002). Differential Effect
of Environmental Adversity Gender: Rutter's Index of Adversity in
a Group of Boys and Girls With and Without ADHD. Journal
Psychiatry 2002; 158:1556-1562.
Buku panduan pengajaran pendidikan intervensi (2008). Taman Balita
Segar. Tidak dipublikasikan.
Daftar Pustaka 143

Carlson, Neil.R (2007). Physiology of Behavior. Pearson Educcation,


Inc. United State of America.
Christie, P., Newson, E., Prevezer, W., Canddler, S., (2009). Langkah
Awal Berinteraksi dengan Anak Autis. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Cochran, N., Nordling, W., & Cochran, J. (2010). Child-Centered Play
Therapy: A Practical Guide to Developing Therapeutic Relationship
with Children. New Jersey: John Wiley & Sons.
Cohen, D. (1993). The Development of Play 2nd ed. Canada: USA.
Routledge. Great Britain
Cohen, S. (1988). Psychosocial Models of the Role of Social Support in the
Etiology of Physical Disease. Health Psychology, 7, 269-297.
Davis, G.A dan Rimm, S.B. (1998). Teaching the Gifted and Talented
Children. Boston: Allyin & Bacon.
Desforges, A. (2003). The Impact of Parental Involvement, Parental
Support and Family Education on Pupil achievements and Adjusments
a Literature Review. Queens Printer.
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam
Setting Pendidikan Inklusi. Bandung : Refika Aditama.
Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surabaya. (2014). Pelaksanaan dan
permasalahan pendidikan ABK di Surabaya. Makalah Seminar &
Workshop pembentukan jaringan kerjasama dan penanganan
ABK.UNESA:Surabaya.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan Nasional. (2007). Model pembelajaran dan
pendidikan penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus.
(2010) Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Jakarta: Kemendiknas.
Dockett, S & Fleer, M.(1999). Play and Pedagogy in early childhood,
bending the rules. Thomson : Australia.
Durand, M. V & Barlow, D.H. (2007). Intisari Psikologi Abnormal. Buku
2 Cetakan 1 Edisi bahasa Indonesia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
144 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Erickson, M.T.(1998). Behavior Disorder of children & adolescents. New


Jersey: prentice-Hall.
Fimian, M.J. (1984). The defelopment of an instrument to measure
occupational stress in teachers: the teacher stress inventory. Journal
of Occupational Psychology 57,277-293.doi:10/1111/j.2044-
8325.1984.tb00169.k.
Freind, M.(2005). Special Education: Contemporary perspective for school
professional. Pearson Education, Inc: United State of America.
Fletcher, et.al. (1994). Cognitive Profile of reading Disability: Comparisons
of Discrepancy and Low Achievement Definitions. Journal of
Educational Psychology.1994.vo.84. No.1, 6-23.
Freidman, Harvey, Youngwirth dan Goldstein. (2007). The Relation
Between 3-Year-Old Children's Skills and Their Hyperactivity,
Inattention, and Aggression. Journal of Educational Psychology,
2007,vol.99, No.3. 671-681.
Gagné, F. (2005). "From Gifts to Talents: The DMGT as a Developmental
Model". In R.J. Sternberg & J.E. Davidson (Ed.). Conceptions of
Giftedness. 2nd ed. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Giesen, J.M., Cavenaugh, B.S., Donnall, M.C. (2012). Academic Supports,
Cognitive Disability and Mathematics Achievement for Visually
Imparied Youth: A Multilevel Modeling Approach. International
Journal of Special Education. 27 (1).
Hallahan, D.P., Kauffman, J.M, Pullen, P.C. (2009). Exceptional Learners.
An Introduction to Special Education. Pearson Education, Inc:
United State of America.
Hasanah, Ni’matuzahroh, Nurhamidah, Y. (2016). Sikap siswa reguler
terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan kecenderungan bullying
di kelas inklusi. (2015). Skripsi Fakultas Psikologi UMM. Tidak
diterbitkan.
Hawadi, R.A, (2002). Identifikasi keberbakatan intelektual melalui metode
Non-Tes dengan pendekatan konsep keberbakatan Renzulli. Grasindo:
Jakarta.
Halgin, P, Richard.,& Whitbourn, K, Susan. (2003). Abnormal Psychology:
International edition, 4th ed. America: Mc. Graw-Hill.
Daftar Pustaka 145

Hariyanti. (2004). Tinjauan stres kerja pada guru sekolah luar biasa widya
bakti semarang bulan. Jurnal Edukasi. Vol.13.h.29-40. Diakses
pada 26 Oktober 2015.
Henniger, M.L.(2009). Teaching Young Children an Introduction. Fouth
Edition. America: Mc. Graw-Hill.
Hoeksma & Nolen, S. (2001). Abnormal Psichology: International
Edition, 2nd ed. America: Mc. Graw Hill.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlanggga.
______________. (1993). Perkembangan Anak, Jilid 1 Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Ismail, A. (2006). Education Games: Menjadi Cerdas dan Ceria dengan
Permainan Edukatif. Jogjakarta: Pilar Media.
Joseph B.M.D., Stephen V. Faraone, Ph.D. Michael C.Monuteaux,
B.A. Differential Effect of Environmental Adversity Gender: Rutter's
Index of Adversity in a Group of Boys and Girls With and Without
ADHD (Am J Psychiatry 2002; 158:1556-1562).
Kewley, G, D. (2005). Attention Defecit Hyperactivity Disorder; what can
teachers do? 2nd Ed. UK: David Fulton Publisher.
Khatena, J.(1992). Gifted: Challence and response for education. F. E.
Peacock Publishers, Inc. Itasca, Illinois.
Kurtz, S.M.S (2005) Summer School For Social Skill. (Online). Available:
http://www.abouttourkids.org/aboutour/disorder/ADHD.html.
Kuffner, T. (2004). Play & Learn: 280 Aktivitas bermain dan Belajar Bersama
Anak (usia 6-10 tahun). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia.
Kurnia, V.U. (3 Juli 2013). 4 Kompetensi guru profesional. Diakses pada
19 Desember 2014, dari http://www.informasi-pendidikan.com/
2013/07/4-kompetensi-guru-profesional.html?m=1.
Kulusic, T. (2006). A parents handbook of inclusive education. BC
Association for Community Living-Third Edition.
Landreth, G. L. (2001). Innovation in Play Therapy: Issues, process, and
special population. Philadelphia USA: Brouner-Routledge.
Lerner, J.W. (1985) Learning Disabilities. Boston: Houghton Mifflin
Company.Abnormal Psychology.
146 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi


Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan anak Berkebutuhan
Khusus. Jilid 1. LPSP3UI: Jakarta
Miltenberger, R. (2012). Behavior Modification: Principles and Procedures.
Belmont: Wadsworth.
______________. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan
khusus. Jilid 2. LPSP3UI: Jakarta.
Marjuki.(2014). Penanganan ASD dirumah serta mengantarkan mereka
menuju pendidikan inklusi. Makalah seminar dan workshop
pembentukan jaringan kerjasama penanganan pendidikan
inklusi. UNESA: Surabaya.
Mohsin, M.N., Khan, T.M., Doger, A.H., & Awan, A.S. (2011). Role of
Parents in Training of Children with Intellectual Disability. International
Journal of Humanities and Social Science. 1 (9).
Munandar, U.(1999). Pengembangan Kreativitas Anak berbakat. Rineka
Cipta: Jakarta.
Mudjito, Harizal, Elfindri.(2012). Pendidikan Inklusif: Tuntunan untuk
guru dan orangtua anak berkebutuhan khusus dan layanan khusus.
Baduose Media: Jakarta.
Nora D. Volkow, M.D.& James M. Swanson, Ph.D. (2003) Variables
That Affect the Clinical Use and Abuse of Methylphenidate in the
Treatment of ADHD. (Am J Psychiatry 2003; 160:1909-1918)
Ni'matuzahroh., Nurhamida, Y. (2014). Pengembangan Model Pendidikan
Inklisi Berbasis komunitas tingkat sekolah dasar di Kota Malang.
Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Departemen Pendidikan
Tinggi.
Ni'matuzahroh., Nurhamida, Y. (2015). Pengembangan Model Pendidikan
Inklisi Berbasis komunitas tingkat sekolah dasar di Kota Malang.
Penelitian Hibah Bersaing Tahun II. Departemen Pendidikan
Tinggi.
O' Connor, J, Kevin., & Braverman, L, Mages. (1997). Play Therapy
Theory and Practice: a comparative presentation/edited. America:
John Willey & Sons. Inc.
Ormrod, J.E.(2009). Psikologi Pendidikan. Membantu Siswa tumbuh
dan berkembang. Jilid 1. Erlangga: Jakarta
Daftar Pustaka 147

Olusegun AFOLABI 1 Sourav mukhopadhyayh.Johnson Nenty.


Implementation of inclusive Education: Do Matter? Specijalna
edukacija i rehabilitacija (Beograd), Vol. 12, br. 3. 373-401, 2013.
Oneil, J. (1994). Building schools as communities: A conversation with
James Comer. Educational Leadership, 54, 6-10.
Parke, B.N. (1989). Gifted student in regular classroom. Allyn and
Bacon: United States America.
Paul, S.M. (2011). Outcomes of Students with Disabilities in a Developing
Country: Tobago. International Journal of Special Education. 26 (3).
Pellegrini, A. D., & Bartini, M. (2000). An empirical comparison of
methods of sampling aggression and victimization in school settings.
Journal Of Educational Psychology.
Pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusif. (2007).
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
70 tahun 2009, (2014) http://staff.uny.ac.id/..../PERMEN%2070%
20TH%202009%20INKLUSI.pdf, (Diakses, 3 Desember 2014).
Pertiwi, NC., Ni’matuzahroh, Suharsono. Y. (2015). Identifikasi masalah-
masalah pada guru di sekolah inklusi. Fakultas Psikologi UMM.
Praptiningrum, N. (2010). Fenomena penyelenggaraan pendidikan inklusi
bagi anak berkebutuhan khusus. Jurnal Pendidikan Khusus Vol.7.
no.2. November 2010. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/
default/files/131576237/scan0001.pdf pada 13 November 2015.
Peterson, J.E.& Moon,S.M. (2008). Counseling the gifted. In Preiffer,
S.I. Handbook of Giftedness in Children, Psychoeducational
Theory, Research & Best Practices.Springer: New York.
Rapport, M. D. (1987). Behavior with Children & adolescents a clinical
Approach. John Willey & Sons. Inc. Canada.
Reilly, E. (2012). An empirical investigation of teacher's self-efficacy,
self-esteem, and job stress as predictors of satisfaction. Dublin
Business School. Diakses pada 15 April 2015 dari http://
hdl.dandle.net/10788/422
Rief, S. F.(1993). How to Reach and Teach ADD/ADHD Children. The
Center for Applied Research in Education. New York. America.
148 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Rigby, K (2002). New Prespective on bullying. London: Jessica Kingsley.


Rigby, K., Smith, P.K.,& Pepler, D. (2004). Bullying in schools:
How successful can intervention be? Cambidge. Cambridge
University Press.
Rosada, A. (2010). I am not a bully, I am a buddy: sebuah program
penanganan bullying di SD tumbuh 2 yogyakarta. Disertasi
doctoral, Program Magister Profesi Psikologi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rodliati, Ni’matuzahroh, Nurhamida, Y. (2015) Hubungan self efficacy
dalam mengajar dengan stres kerja pada guru kelas inklusi. Fakultas
Psikologi UMM. Tidak diterbitkan.
Ruggieri, S.,et.al. (2013). Selection and influence effects in defending a
victim of bullying: the moderating effects of school context. Procedia
Social And Behavioral Sciences, 79, 117-126.
Renzulli, J.S. (2002). "Expanding the conception of giftedness to Include
Co-Cognitive Traits and to Promote Social Capital". Phi Delta
Kappan, 84(1).
Renzulli, J.S. and Reis, S.M. (1985). The schoolwide enricmnet model.
creative learning press. Inc.
Salim, M. (2013). Hubungan antara empati dengan perilaku bullying dan
dafending terhadap siswa dengan ASD. Studi pada siswa reguler
di SMPN Inklusif di Jakarta. Universitas Indonesia. Depok
Santrock, J.W.(2007). Remaja. Edisi 11 Jilid 1. Erlangga: Jakarta.
Sausa, D.A.(2003). How the Gifted Brain Learns. Corwin Press, Inc:
California.
_________. (2009). Psikologi Pendidikan. Edisi 3 buku 1. Erlangga: Jakarta.
_________. (2015). Psikologi Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Erlangga: Jakarta.
Sarafino, E.P. (2011). Health Psychology. Biopsychosocial Interaction
(7th Edition). United States of America: John Wiley & Sons, inc.
Sarason, I.G., Levine, H.M., Basham, R.B., Sarason, B.R. (1983).
Assesing social support: The social support questionnaire. Journal of
Personality and Social Psychology. 44(1). 127-139. Accesed on
March, 3 2015 from http://web.psych.washington.edu/research/
sarason/files/SocialSupportQuestionnaire.pdf.
Daftar Pustaka 149

Schwarzer, R & Knoll, N. (2007). Functional roles of social support


within the stress and coping process: A theoretical and emprical
overview. International Journal of Psychology. 42 (4), 243-252.
Semiawan. C. 2008. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Grasindo:
Jakarta.
Susan, N., & Hoeksema.(2001) Abnormal Psychology. Second Edition.
The Mc.Graw hill Companies, Inc.
Seamus, H., & Mithu, A., (2002) Education & Children with Special
Needs. Sage Publications. New Delhi.
Smith, J.D. (2012). Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran.
Penerbit Nuansa: Bandung.
Schunk, D. H., Paul R.Pintrinch, & Judith L. Meece.(2008). Motivation
in Education: Theory, Research, and Application. New jersey:
Pearson Prentice Hall.
Schwartzberg, Steven S., (2000). Casebook of Psychological Disorder,
USA: Allyn & Bacon.
Southern, W.T dan Jones, E.D. 1991. The academic Acceleration of gifted
Children. New York: Teacher Collage Press.
Stubbs, S. (2002). Inclusive Education where there are few resources, olso:
The Atlas Alliance.
Sugiarmin, M & Baihaqi ,MIF. 2006. Memahami dan Membantu Anak
ADHD. PT. Bandung: Refika Aditama.
Sullivan, K.Cleary, M. & Sullvan, G.(2004). Bullying Secondary
Schools: What it looks like and How to Manage it. California:
Corwin pres
Swearer, S.M., Espelage, D.L & Napolitano, S.A (2009). Bullying
prevention and intervention: realistic strategies for scools. New
York: The Guliford Press
Trevi,& Respati W. S. (2012). Sikap siswa kelas X SMK Y tangerang
terhadap bullying. Jurnal Psikologi,. 10.
Tumon, M. (2014), Studi deskriptif perilaku bullying pada remaja.
Jurnal ilmiah mahasiswa universitas Surabaya. 3,1.
Taylor, R. (2009). Assessment of Exceptional Students, Educational and
Psychological Procedures. New Jersey: Pearson.
150 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

The Individualized Education Program Individual (IEP). www.


direct-inservice.org/cadre/parent/artifact/VFN-4%20IEP%
2001.09.pdf
Thomas, G dan Hanlon, C .(2007). Inclusive Education : Deconstructing
special Education & Contructing Inclusion.2nd Edition. Mc. Graw
Hill: Open University Press.
Vancouver: British Columbia Association for Community Living
Visser, J., Daniels, H dan Cole, T.(2001). International Perspective
on Inclusive Education, Volume 1, Emotional& Behavioural
Difficulties in Mainstream School. Elsevier Science Ltd: UK.
Wahab, R. (2003). Bimbingan Sosial Pribadi Berbasis model Perkembangan.
Bandung: PPs UPI. Disertasi.
Wenar, C. & Kerig, P. (2000). Developmental Psychopathology: From
Infancy Trough Adolescence, 4th ed. USA: Mcgraw-hill,Inc.
Wehman, Paul & McLaughlin, P.J (1981). Program Development in
Special Education. USA: McGraw-Hill.
Woodcock, S., Hemmings, B., Kay, R. (2012). Does study of an
inclusive education Subject influence pre-service teacher's concerns
and self-efficacy about inclusion?. Australian Jurnal of Teacher
Education, 37(6). Diakses pada 28 November 2014, dari http:/
/dx.doi.org/10.14221/ajte.2012v37n6.5.
Wortham, S.C.(2005). Assesment In Early Childhood Education. Pearson
Education, Inc: New Jersey.
Website Inklusif. (2012) Khusus Bukan Berbeda, Tak Bisa Dipaksakan
Sama. (Online). Diakses Tanggal 08 Desember 2014 diperoleh
dari http://pokja inklusifkalsel.org/berita/detail/57
Web. KPAI. (2014). KPAI: kasus bullying dan pendidikan karakter.
(Online). Diakses tanggal 22 desember 2014 diperoleh
dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-
pendidkan-karakter
Wiyani, N.A. (2012). Save our children from school bullying. Yogyakarta:
Ar-ruzz media
Xu, Y & Filler, J. (2008). Facilitating Family Involvement and Support
for Inclusive Education. The School Community Journal. 18 (2).
Daftar Pustaka 151

Xu, Yaoying., Filler, J. (2008). Facilitating Family Involvement


and Support for Inclusive Education. The School Community
Journal, Vol. 18, No. 2
Yuniardi, M.S. (2011). Inclusive Education Focused On Resiliency. LPSP3
UI.
Xu, Y. and Filler, J. (2008). Facilitating Family Involvement and Support
for Inclusive Education. The School Community Journal, Vol. 18,
No. 2.
152 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF
Indeks 153

INDEKS

A Antusiasme, 66, 125


A slow learner, 8 Aphasia, 8
ABK, 3, 5, 43, 45, 46, 47, 49, 52 Appointment, 12
Abnormalitas, 10, 20, 31 Asesmen prestasi, 95
Abnormalitas biologis, 10 Asperger, 31, 96
Academic behavior, 107 Assesmen, 9, 14, 15, 28, 50, 89,
93, 98
ADHD, 2, 3, 15, 16, 17
Assesmen prilaku, 51
Adversity environment, 21
Atensi, 13, 14
Afektif, 34, 69
Attention Deficit Disorder, 16, 26
Agresif, 24, 27, 71, 105, 113, 115,
136 Autisme, 1, 2, 33

Akselerasi, 36, 59 B
Aktifitas metabolik, 3, 19 Bahasa verbal, 14
Aktivitas transisi, 27 Basal ganglia, 19, 20
Alam bawah sadar, 102, 103 Basic ability, 61
Alkolisme, 4, 45 Behavior rating scale, 28
Anak Berkebutuhan khusus Behaviors, 99
(ABK), 45 Behaviour manifestation, 67
Antecedents, 99 Belahan otak kanan, 89
Anti sosial, 25 Berfikir kreatif-produktif, 34
Antidepresant, 29 Berkelainan majemuk, 5

153
154 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Bermain Sosial, 104 Developmentally appropriate


Biokimia, 11 Practice, 114
Biological vulnerability, 10 Diagnosa, 14, 26, 28, 32, 110, 138
Brain image, Didactik konseling, 39
Bullying, 29 Diferensiasi kurikulum, 36
Bystanders, 72 Direct observational procedures, 28
Disfungsi, 3, 4, 9, 10, 11
C Disfungsi neurology, 4
Campak Rubella, 37 Disorder, 3, 11, 15, 26, 31, 35
Cardiovascular manifestation, 67 Disorganized, 26
Case history, 15 Distractibility, 12
Cerebellum, 19, 20 Distraksi, 13, 87
Check-list, 112 Distress, 66, 67
Chronological age, 82 Dopamine, 19, 20, 29, 30
Client-centered Therapy, 103, 104 Down syndrome, 40
Clinic-based measures, 28 Dyscalculia, 14
Cluttering, 39 Dyslexia, 8, 9
Cognitive-behavioral theraphy, 29
E
Community-based instruction, 51
Ego, 103, 104
Consequences, 99
Emotional manifestation, 67
Corpus colosum, 20
Endogenous, 36
Curriculum-based measurement, 14
Enrichment, 36, 88
Cyber-bullying, 70 Etiologi, 17
D Evaluating, 95
Daerah marginal, 8 Exogenous, 36
Decoding, 12 Extension, 36
Defisit kognitif., 32 F
Deklarasi Salamanca, 44 Faktor genetic, 3, 10, 11, 20, 32,
Depresi, 17, 26, 36, 70 37
Destruktif, 18, 25 Faktor geografis, 8
Developmental aphasia, 9 Faktor neurologi, 3, 10, 45
Indeks 155

Faktor perantara, 3 Gasoline, 20


Faktor psikogenik, 9 Gaya belajar, 74, 81, 83
Fast food, 110 Gen dominan, 37
Fatigue manifestation, 67 Gen resesif, 37
Feedback, 97, 107 General ability, 61
Fetal alcholol syndrome (FAS), 4 Generalisasi, 40
Fetal alcohol spectrum disorder, 11 Gifted, 2, 34
Fetus, 4, 20 Gross sensor motorik, 55
Field trip, 115 Guide observasi, 112
Filosofi inklusif, 68
Fine motor abilities, 65
H
Harga diri, 4, 27, 45, 139
Fluency disorder, 38
Heterogenitas, 12
Formal standart test, 15
Fortopholio, 14 High expectancy, 88
Frontal lobes, 20 Hiperaktif, 7, 10, 12, 15, 16, 110,
111, 113, 116
Functional Behavioral Asessment,
99 Hiperaktif-impulsif, 16, 22, 23,
24
Functional magnetic resonance
imaging (FMRI), 10 Homonyms, 14
Functional magnetic resonance
I
spectroscopy (FMRS), 10
Ikatan sosial, 51
Fungsi Kognitif, 1, 2, 39
Implementing, 95
Fungsi otak, 17, 19
Impulsif, 18, 22, 23, 24, 113, 116
Fungsi sirkuit otak, 17
Impulsive, 12, 27, 72, 83
Fungsi sosial, 23, 24
Impulsivitas, 16, 17, 18, 22, 28
G Inattention, 2, 18, 21, 25, 106,
Gangguan bicara, 1, 2, 3, 10, 39 112, 116, 131
Gangguan bicara dan bahasa, 1, Individu berkebutuhan khusus,
10 1, 2, 3
Gangguan kesadaran Fonologis, Individualized education program,
2 44, 75, 77
Gangguan sensoris, 9 Inhibisi, 17
156 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Instruktur kelas, 61 Keterampilan intrapersonal, 85


Instrumen seleksi, 15 Keterampilan sosial, 13, 33, 47, 79
Intelegensi, 8, 15, 33, 34, 40, 81, Ketidakseimbangan kimia, 11
82 Kognisi sosial, 12, 33
Intelegensi praktis, 40 Kolaborasi, 69, 74, 95
Intellectual disabilities, 11 Kompetensi guru, 62, 63, 75, 77,
Interindividual, 12 78, 137
Intervensi, 23, 29, 30, 48, 99, 100, Kompetensi pedagogic, 61, 62
103, 114 Kompetensi professional, 61
Interview, 15, 28, 95 Kompetensi social, 61, 62, 63
Intraindividual, 12 Komplikasi, 4, 20
Intrinsik, 9, 35, 107 Komponen komunitas sekolah,
51, 135
J Konatif, 69
Jaminan kesehatan, 5 Kondisi neurologis, 17
K Konferensi kasus, 115, 132
Keberfungsian fisik, 7 Konflik, 4, 21, 24, 107
Keberfungsian mental, 7 Konflik keluarga, 4, 21
Kegagalan akademik, 13, 14 Konflik peran, 66
Kelahiran prematur, 4, 45 Konsep diri, 24, 35, 46
Kelas inklusi, 49, 51, 55, 56, 57, 60 Konteks sekolah, 50
Kemampuan motorik, 111 Kontrol diri, 17, 27
Kemandirian, 26, 79, 85, 110 Kontrol emosi, 4, 23, 45, 111
Kerusakan pada otak, 8 Kromosom ekstra, 39
Kerusakan syaraf, 4 Kualifikasi, 28
Kurikulum berdiferensiasi, 61, 90
Kesadaran phonologi, 14
Kurikulum inklusi, 63
Kesejahteraan psikologis, 51
Kesejahteraan psikologis, 51 L
Kesulitan belajar, 1, 2, 3, 8, 9, 10 Layanan individual, 57
Kesulitan belajar khusus, 8, 9, 10 Layanan pendidikan prasekolah,
Kesulitan intelektual, 4, 11 5
Keterampilan interpersonal, 40, 85 Learning disability, 3, 8, 20, 26, 114
Indeks 157

Life skill, 112, 115, 132 Nutrisi, 11


Longitudinal, 4, 45
O
M Observasi, 14, 15, 16, 28, 75, 79
Malformation, 4, 20 Oksigen, 4, 11, 20, 40
Masalah akademik, 2, 10 Okupasi, 110, 114
Masalah persepsi, 12, 13 Orientasi belajar, 90
Medan fenomenal, 103 Orientasi ruang, 13
Mental clarity, 66
P
Mental Retardation, 39
Pediatric AIDS, 4
Metakognisi, 12, 34
Peer grup, 70
Military bullying, 70
Pembelajaran berbasis komunitas,
Minimally brain injured, 8
51, 94
Minoritas-etnis, 5
Pembelajaran induktif, 88
Modalitas belajar, 15
Pemrosesan informasi, 13
Modifikasi, 2, 30, 47, 49, 60, 74,
Penalaran abstrak, 13
86, 107
Pencemaran timah hitam, 11
Motivasi, 13, 14, 15, 49, 52, 59,
61, 64, 107, 119, 121 Pendidikan inklusif, 43, 44, 45,
46, 47, 50
Motivasi belajar, 14, 15
Pengamatan sistematik, 15
Motorik halus, 85, 111
Penolakan sosial, 12
Motorik kasar, 11, 99
Perceptual, 11, 12
Multidisipliner, 8
Perceptually disable, 8
N Perceptual-motor, 11, 12
Name calling, 70 Perfeksionis, 35
Neuromaskular, 2 Perfeksionisme, 35
Neurotransmitter, 19, 20 Performance, 31, 85
Non-verbal, 69 Perilaku adaptif, 40, 45, 99
Norepinephrine, 20 Perkembangan mental, 21, 22, 82
Not sensitive, 61 Perlakuan diskriminatif, 43
Ntelegence quotient, 82 Pharmacotherapy, 29
Nurtururing effect, 90 Phonemic awareness, 12
158 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Phonological awarness, 12 Ranah karakter, 85


Phonology, 2, 12, 14 Reflektif, 63, 83
Planning, 95 Regulasi diri, 17, 79
Play therapy, 100, 101, 102, 103, Reinforcement positif, 29
107 Rekam diagnosa, 138
Political bullying, 70 Rekonstruksi, 23
Pool, 88 Repetitif, 33
Positron emission tomography Respon-Cost, 107
(PET), 10 Response to intervention, 15
Pra-akademik, 4 Retardasi mental, 1, 8
Pragmatic, 14 Reviewing, 95, 98
Prefontal cortex, 3 Reward, 107, 124, 125, 131
Prefontal kortex, 20 Rh positif, 37
Prefrontal lobes, 20 Risk factor, 45
Prematur, 4, 40
Premature, 11 S
Pre-service, 64 Saksi mata, 72
Prevalensi, 9, 18, 31 Sampel komunitas, 19
Proactive, 61 Scan magnetic resonance imaging
(MRI), 10
Professional distress, 67
School bullying, 70
Professional investment, 67
Screening awal, 95
Prolongation, 38
Segregasi, 45
Proses psikologis, 8, 9
Self efficacy, 67
Prosocial, 107
Self esteem, 14, 24, 27, 30
Psikogenik, 9
Self esteem, 14, 24, 27, 30
Psikomotorik, 85
Self Help Independence, 79
Psikotik, 23
Self monitoring, 51, 94
Psychopathology, 21
Self-determining, 107
Punishment, 79
Self-directed speech, 23
R Self-talk, 23
Radang selaput otak, 37, 40 Semantic, 12
Indeks 159

Shadow, 57, 70, 75 Teori social relationship, 102


Shadow teacher, 50 Teori spesialisasi belahan otak, 89
Short term memory, 12 Terapi bermain, 100, 101, 105,
Simptom, 2, 25, 26 116
Sindrom neuropsikiatrik, 17 Terapis, 48, 57, 73, 75, 78, 95, 99,
103
Sindrom savant, 33
Teratogenic, 3, 10
Sindrom tunggal, 15
Tes achievement, 14
Sistem syaraf pusat, 3
Tes intelegensi, 15, 40
Soft skill, 84, 85
Tes prestasi, 15
Sosial emosi, 7, 59, 99
Testing psikometrik, 15
Sosial-emosional, 12
Tics, 17
Special Need, 114
Time Managemen, 67
Specific Learning Disabilities, 8
Tindakan reflektif, 63
Spesifik ability, 61
Titik optimal, 66
Stabilitas emosi, 36, 73
Tolak ukur, 96
Stimulant medication, 29
Toxin, 4, 11, 20
Strategi belajar, 13, 35, 40
Training managemen kontingensi,
Strategi problem solving, 30
29
Strategi time-out, 29
Trauma otak, 11
Stress kerja, 65, 67
Treatment, 28, 29, 30, 127, 132
Stuttering, 38
Triad of Impairment, 32
Symptom inattention, 2
Tunagrahita, 8
Syntax, 12, 14
System self, 103 U
Umpan Balik, 87, 97
T Underachievement, 36
Talenta, 35
Usia kronologis, 82
Tampilan visual, 33
Teman sebaya, 24, 33, 35, 47, 50, V
70 Vaksin rubella, 37
Tempramen, 84 Variasi individual, 81, 84
Teori ekologi, 50 Vigotsky, 20
160 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Visual-spasial, 88

W
Work Habit Self-Regulation, 79
Working Memory, 12, 23
Workplace bullying, 70
Work-related stressor, 67
Written expression, 96
Lampiran 161

LAMPIRAN

Lampiran 1
Guide Identifikasi Perilaku ADHD
Hari/Tanggal : .........................................................................................
Observer : .........................................................................................

No Kriteria ADHD DSM IV Ya Tidak Keterangan


1. Inattention:
a. Sering gagal untuk memperhatian
detail atau membuat kesalahan /
kecerobohan dalam mengerjakan
tugas sekolah, pekerjaan atau
kaktivitas yang lain.
b. Sering mengalami kesulitan dalam
pemeliharaan perhatian dalam
mengerjakan tugas atau kegiatan
bermain.
c. Sering terlihat tidak perhatian ketika
berbicara secara langsung.
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan
kegagalan me-nyelesaikan tugas
sekolah, tugas sehari-hari, atau
kewajiban-kewajiban di tempat
kerja (tidak dikarenakan perilaku
melawan atau kegagalan dalam
memahami instruksi).

161
162 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

e. Sering mengalami kesulitan dalam


mengorganisasikan tugas dan
aktivitas.
f. Sering menolak, tidak suka, atau
enggan ikut serta dalam tugas yang
memerlukan usaha mental yang
terus menerus (misal: tugas sekolah
atau tugas rumah).
g. Sering kehilangan benda-benda
yang dibutuhkan untuk mengerja-
kan tugas atau aktivitas lainnya
(contohnya, mainan, tugas sekolah,
pensil, buku, atau alat-alat lainnya).
h. Adalah mudah terganggu oleh
stimulus asing (yang tidak ada
hubungannya).
i. Sering kali lupa dalam aktivitas
sehari-hari.
2. Hiperaktif:
a. Sering gelisah dengan tangan atau
kaki atau menggeliat-geliat di kursi.
b. Sering meninggalkan tempat duduk
di dalam kelas/situasi yang lain
mengharuskan untuk duduk tenang.
c. Sering berlarian kesana-kemari atau
memanjat yang berlebihan dalam
situasi yang menganggap hal
tersebut tidak pantas.
d. Sering mengalami kesulitan dalam
bermain atau ikut serta dalam
aktivitas yang menyenangkan
dengan tenang.
e. Sering terburu-buru atau bergerak
terus-menerus seperti didorong oleh
sebuah mesin.
f. Sering terlalu banyak bicara.
3. Impulsif:
a. Sering menjawab pertanyaan tanpa
berfikir terlebih dahulu sebelum
pertanyaan selesai.
Lampiran 163

b. Sering mengalami kesulitan


menunggu giliran.
c. Sering menyela atau memaksakan
orang lain (misalnya memotong
suatu percakapan, permainan).
4. Agresif:
a. Sering mendesak, mengancam, atau
mengintimidasi orang lain.
b. Sering memulai perkelahian.
c. Menggunakan senjata tajam yang
dapat melukai orang lain.
d. Berlaku kasar secara fisik terhadap
orang lain.
e. Marah secara tiba-tiba.
f. Menyanggah jika dikonfrontasi
dengan korbannya.
g. Memaksa orang lain melakukan
aktivitas seksualnya.
164 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Lampiran 2
Guide Wawancara Riwayat Hidup

Data Anak
1. Nama : .............................................................................
2. Tempat, tgl lahir : .............................................................................
3. Usia : .............................................................................
4. Jenis kelamin : .............................................................................
5. Anak ke : .............................................................................
6. Alamat : .............................................................................
7. Sekolah : .............................................................................
8. Kelas : .............................................................................
9. Nama orang tua : .............................................................................
Ibu : .............................................................................
Usia : .............................................................................
Pekerjaan : .............................................................................
Pendidikan : .............................................................................
Bapak : .............................................................................
Usia : .............................................................................
Pekerjaan : .............................................................................
Pendidikan : .............................................................................

10. Saudara kandung : .............................................................................


11. Adakah anggota keluarga yang mempunyai seperti ini? ..............
.............................................................................................................
.............................................................................................................
12. Riwayat kehamilan dan kelahiran:
a. Kehamilan
1) Mengalami keguguran sebelumnya? ya / tidak
2) Merasa sedih / bingung / kesal karena: ...............................
...............................................................................................
3) Anak tergolong yang diinginkan? ya / tidak / tidak tahu
Lampiran 165

b. Kelahiran
1) Umur kandungan: cukup / kurang
2) Saat kelahiran: biasa / lama / sukar / dengan cara: ...........
...............................................................................................
3) Tempat kelahiran: di rumah sendiri / di rumah sakit
4) Di tolong oleh: .....................................................................
5) Berat badan bayi: .................................................................
13. Riwayat makanan
a. Menetek ibu hingga umur: .........................................................
b. Minum susu kaleng hingga umur: ..............................................
c. Kualitas makanan: cukup / kurang
d. Kuantitas makanan: cukup / kurang
e. Kesukaran pemberian makanan berupa: ...................................
14. Riwayat toilet training
a. Dapat mengatur buang air kecil pada umur: ............................
b. Dilatih dengan cara: .......................................................................
c. Dapat mengatur buang air besar pada umur: ...........................
d. Dilatih dengan cara: .....................................................................
15. Riwayat perkembangan motorik
16. Tengkurap .......... bulan
17. Duduk .......... bulan
18. merangkak .......... bulan
19. Berdiri .......... bulan
20. Berjalan .......... bulan
21. Riwayat perkembangan bicara
a. Berbicara kata-kata pertama .......... bulan
b. Berbicara dengan kalimat lengkap .......... bulan
c. Kesulitan dalam bahasa: .............................................................
d. Kesulitan dalam gerak: .................................................................
22. Riwayat perkembangan sosial
a. Hubungan dengan saudara (kandung / tiri / angkat): ..............
......................................................................................................
166 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

b. Hubungan dengan teman: .........................................................


c. Hobi: ............................................................................................
d. Aktivitas di rumah: ....................................................................
e. Aktivitas rekreasi: ......................................................................
f. Sikap orang tua dengan anak: ....................................................
g. Penerimaan dan tanggung jawab: ..............................................
h. Sikap terhadap masalah besar: ...................................................
23. Riwayat perkembangan emosi: ........................................................
...............................................................................................................
24. Riwayat pengobatan: .........................................................................
..............................................................................................................
25. Apakah anak mempunyai riwayat penyakit yang serius? .................
.............................................................................................................
26. Apakah sedang menjalani treatment obat? ..........................................
.............................................................................................................

Kesulitan Belajar
27. Keluhan orang tua: ..............................................................................
.............................................................................................................
28. Keluhan guru: .......................................................................................
.............................................................................................................
29. Konsul professional
Nama Organisasi
tanggal/bulan/tahun
a. Dokter : ....................... .......................
b. Psikolog : ....................... .......................
c. Okupasi terapis : ....................... .......................
d. Terapi wicara : ....................... .......................
e. Profesi lain : ....................... .......................

Kalau sudah pernah konsul ke professional dan terdapat hasil


tertulis tolong dilampirkan dan apabila tidak ada data, silahkan
menulis rangkuman dari professional tersebut.
.............................................................................................................
Lampiran 167

.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
30. Apa yang dilakukan sebagai hasil konsul ke professional tersebut?
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
31. Kegiatan lain di luar Terapi yang diikuti anak (ekstrakulikuler).
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
32. Bagaimana kondisi lingkungan tetangga dan keseharian.
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
.............................................................................................................
168 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Lampiran 3
Lembar Evaluasi Kegiatan Mewarnai Bentuk Sederhana

Jenis Program : Mewarnai bentuk sederhana


Tempat/Tgl. Kegiatan : .............................................................................
Pelaksana : .............................................................................
Waktu : .............................................................................

No Target Perilaku Respon Anak Keterangan


1. Kemampuan konsentrasi
2. Kemampuan memfokuskan
perhatian objek yg sedang
diwarnai
3. Mewarnai tanpa melewati
garis
4. Mewarnai gambar sampai
selesai
5. Mampu mengontrol diri
dengan adanya rangsang baru
Lampiran 169

Lampiran 4
Lembar Evaluasi Kegiatan Memasukkan Kelereng Ke Dalam Botol

Jenis Program : Memasukkan kelereng ke dalam botol


Tempat/Tgl. Kegiatan : .............................................................................
Pelaksana : .............................................................................
Waktu : .............................................................................

No Target Perilaku Respon Anak Keterangan


1. Banyaknya kelereng yang
dapat dimasukkan dalam
waktu 30 menit
2. Perilaku anak pada saat
melaksanakan kegiatan
170 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

Lampiran 5
Lembar Evaluasi Kegiatan Meronce

Jenis Program : Meronce


Tempat/Tgl. Kegiatan : .............................................................................
Pelaksana : .............................................................................
Waktu : .............................................................................

No Target Perilaku Respon Anak Keterangan


1. Kemampuan konsentrasi
2. Banyaknya potongan kayu
yang dimasukkan dalam
waktu 15 menit
3. Perilaku anak pada saat
meronce
Lampiran 171

TENTANG PENULIS
Ni'matuzahroh, S.Psi., M.Si., Lahir di Jakarta,
8 Maret 1977. Menempuh Pendidikan SD sampai
SMA di Tanah kelahirannya. Gelar sarjana S1
diraihnya Tahun 2000 di Fakultas Psikologi
UMM. Tahun 2008, melanjutkan studi S2 di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia jurusan
Sains Pendidikan dan meraih gelar magister
tahun 2010. Sejak tahun 2003 sampai saat
ini menjadi dosen tetap Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang. Kiprahnya
dalam dunia pendidikan ditunjukkan dengan aktifitasnya sebagai
konsultan pendidikan, maupun sebagai narasumber dan trainer
dalam berbagai seminar dan pelatihan.
Penulis juga aktif menekuni penelitian dan pengabdian yang
banyak mengangkat isu pendidikan bagi anak Cerdas Istimewa/
Bakat Istimewa maupun Individu Berkebutuhan Khusus serta
Pendidikan Inklusi yang didanai DIKTI. Saat ini mengajar mata
kuliah Psikologi Pendidikan dan Psikologi Individu Berkebutuhan
Khusus dan menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Psikologi UMM,
setelah sebelumnya menjadi ketua Program Studi Fakultas Psikologi
UMM. Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah buku tes grafis:
Crhomatic dan Achromatic Test, Observasi Dalam Psikologi,
Pengelolaan Kelas Inklusi, serta buku Pendidikan dan Bimbingan
Karir Bagi Siswa Cerdas Istimewa/Bakat Istimewa.

Yuni Nurhamida S.Psi., M.Si., penulis


menyelesaikan studi Sarjana S1 di Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada (2001),
gelar Master diperolehnya dari program Pasca
Sarjana Magister Psikologi Sosial Universitas
Indonesia (2010). Penerima beasiswa BPPS saat
menempuh pendidikan Pasca Sarjana di
Universitas Indonesia ini menekuni isu
psikologi sosial yang terkait dengan isu
perempuan dan kemiskinan dari perspektif
172 INDIVIDU BERKEBUTUHAN KHUSUS & PENDIDIKAN INKLUSIF

psikologi. Selain itu Ia juga tertarik untuk meneliti psikologi


kelompok marginal, termasuk diantaranya anak berkebutuhan khusus
dan anak yang berasal dari kelompok kurang mampu.
Ketertarikan pada isu inklusi telah membawanya memperoleh
dana penelitian hibah bersaing DIKTI dengan tema pendidikan
inklusi berbasis komunitas selama dua tahun berturut-turut di tahun
2013 dan 2014. Isu inklusi juga telah membuatnya menjadi Dosen
Pendamping Program Kreatifitas Mahasiswa yang mencapai finalis
dan dipresentasikan oleh mahasiswa bimbingannya pada PIMNAS
di Kendari, 2015. Saat ini Ia menjadi pengajar mata kuliah Psikologi
Sosial dan Psikologi Komunitas sekaligus sebagai Ketua Program
Studi di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebelumnya Ia juga menjabat sebagai Kepala Laboratorium Fakultas
Psikologi UMM pada kurun waktu 2010-2013.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai