KASUS PANJANG Katarak
KASUS PANJANG Katarak
Pembimbing:
dr. Lely Retno Wulandari, Sp.M (K)
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi katarak
2. Mengetahui kriteria diagnosis katarak
3. Mengetahui penatalaksanaan katarak
4. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada katarak
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman dokter muda mengenai definisi, kriteria diagnosis,
penatalaksanaan, serta komplikasi katarak serta memahami kasus yang diangkat
pada tulisan ini.
2. Dokter muda dapat menerapkan ilmu yang di pelajari pada saat pelayanan di
masyarakat sehingga status kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih baik pada
masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies dan Bahasa Latin Cataracta yang berarti
air terjun. Dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai bular, penglihatan seperti tertutup air
terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,
atau terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi pada salah satu mata atau
kedua mata yang berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam
waktu yang lama (Ilyas, 2015).
Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan
lensa yang keruh, cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang
kabur pada retina. Katarak sering digambarkan sebagai mirip dengan melihat melalui air
terjun atau kertas lilin (Gupta et al, 2014).
Katarak dapat terjadi sebagai akibat dari proses penuaan atau proses sekunder
akibat faktor kelainan metabolik, nutrisi, trauma, inflamasi, keturunan, dan radiasi.
Kekeruhan lensa karena faktor umur adalah katarak yang paling sering terjadi (Ilyas,
2015).
2.2 Epidemiologi
Katarak merupakan penyebab paling umum gangguan mata di dunia terutama di
negara berkembang yang dapat berujung pada kebutan. Pada suatu studi di India
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian katarak adalah tiga kali lipat jika dibandingkan
dengan Amerika Serikat, dengan pasien katarak berumur 75 hingga 83 tahun sebanyak
82% sedangkan di Amerika Serikat hanya sebesar 46% pada kelompok umur yang sama
(Murrill et al, 2004). Menurut data World Health Organization (WHO), katarak akibat
penuaan menyebabkan 48% kebutaan di seluruh dunia, yang mengenai sekitar 18 juta
orang (WHO, 2013).
Di Indonesia, prevalensi kebutaan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,4% dengan
prevalensi katarak nasional sebesar 1,8%. Prevalensi katarak tertinggi berada di Sulawesi
Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Perkiraan insiden katarak adalah
0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru
katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun
lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16- 22% penderita katarak
yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun (Kemenkes, 2014).
Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris, yang bila berkontraksi
akan mengendurkan tegangan zonula. Lensa menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya
dioptri yang lebih kuat untuk memfokuskan objek- objek yang lebih dekat. Relaksasi
muskulus siliaris akan menghasilkan kebalikan dari peristiwa tersebut, membuat lensa
mendatar dan memungkinkan objek- objek jauh terfokus. Dengan bertambahnya usia,
daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan- lahan seiring dengan penurunan
elastisitasnya (Vaughan, 2012).
2.5 Patogenesis
Terdapat berbagai proses patogenesis katarak, antara lain :
2.5.1 Usia
Lensa yang normal adalah suatu struktur yang jernih dan transparan. Dengan
bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna dan menjadi coklat kekuningan.
Lensa akan mengalami pertumbuhan terus-menerus dan membentuk serat lensa dengan
arah pertumbuhan yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena
lensa tertutupi oleh serat lensa. Sehingga serat lensa paling tua berada di pusat lensa
(nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul lensa (korteks).
Dengan bertambahnya usia, lensa juga bertambah berat, tebal dan keras terutama pada
bagian nukleus yang sering disebut dengan nuklear sklerosis. Selain itu fraksi protein
lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk protein
dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan transparansi lensa berkurang.
Kelainan refraksi miopia juga menyebabkan progresivitas proses nuklear sklerosis pada
katarak (Sujitha et al, 2013).
2.5.2 Radikal bebas
Pada suatu model ekperimental, stres oksidatif berkontribusi dalam pembentukan
katarak lensa dengan cara menurunkan kadar adenosine triphosphate dan glutathione
disulfide yang berfungsi sebagai bahan antioksidan di lensa (BMJ, 2016). Salah satu
sumber radikal bebas penyebab katarak adalah sinar ultraviolet yang terdapat dalam
jumlah besar di dalam sinar matahari. Memang sudah diketahui bahwa radiasi ultraviolet
menghasilkan radikal bebas di dalam jaringan. Jaringan di permukaan mata yang
transparan sangat peka terhadap sinar ultraviolet. Pada mereka yang mempunyai riwayat
terpajan sinar matahari untuk waktu lama dapat mempercepat terjadinya katarak. Di
Australia, daerah radiasi UV yang lebih tinggi menunjukkan dengan prevalensi lebih tinggi
dan onset awal katarak. Prevalensi katarak dilaporkan 3,8 kali lebih tinggi di daerah
dengan rata-rata 12 jam paparan sinar matahari sehari-hari dibandingkan dengan daerah-
daerah dengan hanya 7 jam paparan di Nepal (Hollows, 1981).
2.5.3 Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menginduksi terjadinya PSCs
(Posterior Subcapsular Cataract). Pada satu studi dilaporkan, pasien dengan
menggunakan oral prednisolon dan diobservasi selama 1-4 tahun, 11% menggunakan 10
mg/hari menjadi katarak, sekitar 30% dari mereka mendapat 10-15 mg/hari dan 80% dari
mereka mendapatkan lebih dari 15 mg/hari. Pada studi lain, beberapa pasien mendapat
steroid topikal berlanjut menjadi keratopati yang berlanjut menjadi katarak setelah
mendapatkan sekitar 2-4 tetes per hari 0,1% dexamethasone selama periode 10,5 bulan.
Beberapa steroid dapat menginduksi PSCs pada anak dan bisa reversibel setelah
penghentian penggunaan steroid.
2.5.4 Trauma
Selain itu kerusakan lensa akibat trauma dapat disebabkan oleh peradangan
mekanik, kekuatan fisikal berupa radiasi, kimia, ataupun elektrik. Katarak akibat trauma
tumpul dapat melibatkan sebagian atau seluruh dari bagian lensa. Sering, manifestasi
awal dari kontusio katarak adalah stellate atau rosette-shaped opacification. Katarak yang
terjadi biasanya disebut katarak traumatik. Sedangkan pada trauma yang bersifat
perforans dan penetrasi pada lensa sering menghasilkan kekeruhan pada bagian korteks
yang mengalami ruptur, biasanya progresifitas sangat cepat untuk menjadi kekeruhan
total. Syok elektrik dapat menyebabkan koagulasi protein dan menyebabkan katarak.
Awalnya, vakuola lensa muncul pada perifer anterior lensa, diikuti kekeruhan linier di
korteks subkapsul anterior. Katarak menyebabkan cedera elektrik mungkin membaik,
tetap diam, atau matur untuk menjadi katarak komplit selama beberapa bulan atau tahun
(Setiohadji, 2006; Ilyas, 2015).
2.5.5 Penyakit Sistemik
Peningkatan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus akan
meningkatkan komposisi glukosa dalam humor aqueous yang akan berdifusi masuk ke
dalam lensa, sehingga komposisi glukosa dalam lensa juga akan meningkat. Beberapa
dari glukosa akan di konversi oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol. Sorbitol tidak
akan dimetabolisme tetapi tetap di dalam lensa. Kemudian perubahan tekanan osmotik
menyebabkan influks cairan ke dalam lensa yang menyebabkan perubahan kekuatan
refraksi lensa. Terdapat 2 tipe klasifikasi katarak pada pasien diabetes. True diabetic
cataract atau snowflake cataract, dapat bilateral, onset terjadi secara tiba-tiba dan
menyebar sampai subkapsular lensa, tipe ini biasa terjadi pada diabetes mellitus yang
tidak terkontrol. Kekeruhan menyeluruh subkapsular seperti tampilan kepingan salju
terlihat awalnya di superfisial anterior dan korteks posterior lensa. Vakuola muncul dalam
kapsul lensa. Pembengkakan dan kematangan katarak kortikal terjadi segera sesudahnya.
Peneliti percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terjadinya true diabetic
cataract pada manusia sangat erat kaitannya dengan katarak sorbitol yang dipelajari pada
hewan percobaan.
Galaktosemia adalah inherediter autosomal resesif ketidakmampuan untuk
mengkonversi galaktosa menjadi glukosa. Sebagai konsekuensi ketidakmampuan hal
tersebut, terjadi akumulasi galaktosa pada seluruh jaringan tubuh, lebih lanjut lagi
galaktosa dikonversi menjadi galaktitol (dulcitol), sejenis gula alcohol dari galaktosa.
Galaktosemia dapat terjadi akibat defek pada 1 dari 3 enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme galaktosa : galactosa 1-phosphate uridyl transferase, galactokinase, atau
UDP-galactose-4-epimerase. Pada pasien dengan galaktosemia, 75% akan berlanjut
menjadi katarak. Akumulasi dari galaktosa dan galaktitol dalam sel lensa akan
meningkatkan tekanan osmotik dan influks cairan kedalam lensa.
2.6 Klasifikasi Katarak
Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan morfologis dan waktu munculnya
katarak.
2.6.1 Berdasarkan Morfologis
1. Katarak kapsular, katarak yang melibatkan kapsul lensa baik anterior atau
posterior. Katarak kapsular dapat disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan
dengan sinekia posterior, obat-obatan, radiasi, dan trauma.
3. Katarak kortikal, katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan katarak
yang paling sering terjadi. Karatak kortikal sering disebabkan oleh usia dan
diabetes melituss.
4. Katarak nuklear, katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa dan sering kali
disebabkan faktor usia. Katarak nuklear adalah sklerosis normal yang berlebihan
atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut.
5. Katarak supranuklear, katarak yang melibatkan bagian korteks lensa yang paling
dalam, tepat di atas nucleus.
6. Katarak polar, katarak yang melibatkan kapsul lensa dan superfisial korteks lensa
hanya di regio polar, dapat berupa katarak polar anterior dan katarak polar
posterior. Katarak polar sering kali terjadi pada katarak kongenital atau karena
trauma sekunder.
7. Katarak campuran, ketarak yang muncul lebih dari satu tipe katarak secara
bersamaan (Khurana, 2007).
2.6.2 Berdasarkan Waktu Munculnya
1. Katarak kongenital, katarak yang terjadi pada bayi baru lahir hingga anak usia
kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan salah satu penyebab kebutaan
pada bayi yang cukup berarti. Sekitar 50% katarak kongenital bersifat sporadik
dengan etiologi yang belum jelas. Pada kasus katarak kongenital perlu digali
riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubela pada kehamilan trimester pertama dan
pemakaian obat selama kehamilan. Pada beberapa kasus ditemukan ibu hamil
dengan riwayat kejang, tetani, ikterus atau hepatosplenomegali. Katarak kongenital
sering ditemukan pada bayi yang dilhairkan oleh ibu yang menderita penyakit
rubela, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidism,
homosisteinuri, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histoplasmosis. Katarak
kongenital juga sering ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem saraf
seperti retardasi mental.
2. Katarak juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai
terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil
biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital.
3. Katarak senilis, semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia
di atas 50 tahun (Ilyas, 2015).
Katarak senilis nuklear merupakan hasil proses penuaan lensa yang berlebihan,
yang melibatkan nukleus lensa yang berwarna kecoklatan. Korteks anterior dan posterior
cenderung jernih dan masih tipis. Bentuk kekeruhan nuklear ini dapat menyebabkan
terjadinya miopia berat yang memungkinkan penderita membaca jarak dekat tanpa
memakai kacamata koreksi seperti seharusnya (second sight of the aged) (Vaughan,
2012).
Pada katarak senilis kortikal kekeruhan lensa melibatkan korteks anterior, posterior,
serta ekuatorial. Pada awalnya katarak bermula dengan adanya vakuol air pada korteks
yang kemudian menyusup diantara lamelar korteks. Kekeruhan dimulai pada daerah
perifer dan menjalar menuju sentral dan sering digambarkan sebagai radial spoke-like,
atau shield-like configuration. Pada katarak kortikal terjadi peningkatan cairan yang masuk
pada lensa mengakibatkan separasi lamelar dan akhirnya terjadi kekeruhan seluruh
korteks berwarna abu-abu putih yang tidak merata. Kekeruhan ini bisa terjadi cepat tetapi
juga bisa tahunan. Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa
dekat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan (Vaughan, 2012).
Pada katarak senilis subkapsular anterior kekeruhan terjadi tepat dibawah kapsula
lensa dan dihubungkan dengan metaplasi fibrosa dari epitel anterior lensa. Sedangkan
tipe subkapsular posterior kekeruhan terjadi didepan kapsula posterior, dan dihubungkan
dengan migrasi sel epitel posterior dari lensa. Pasien katarak tipe ini terutama berusia
lebih muda dan mengalami kesulitan jika menghadapi cahaya lampu mobil dari arah yang
berlawanan dan juga oleh sinar matahari terik. Penglihatan jarak dekat mereka lebih
terganggu dibandingkan penglihatan jarak jauh. Tipe subkapsular posterior sering
dihubungkan dengan katarak akibat paparan sinar ultraviolet, penggunaan kortikosteroid
jangka panjang, trauma, peradangan, dan retinitis pigmentosa (Mariannete, 1999).
2.8 Diagnosis
Banyak pasien dengan katarak yang terdiagnosis karena mereka datang untuk
melakukan pemeriksaan saat mengalami gejala penurunan kualitas penglihatan yang
berefek pada aktivitas sehari-hari.
2.8.1 Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui data demografi pasien sebelum
menggali riwayat penyakit sekarang (contohnya: umur, jenis kelamin, ras, dsb). Perlu
ditanyakan bagaimana pasien mengalami penurunan kualitas penglihatan apakah secara
tiba-tiba atau bertahap. Jarang dijumpai kasus penurunan tajam penglihat yang terjadi
mendadak pada pasien katarak. Pada beberapa kasus katarak telah terjadi bertahun-
tahun namun baru diketahui ketika pasien merasa penglihatannya terganggu (Murril et al,
2004).
Keluhan yang membawa pasien datang berobat antara lain :
1. Penglihatan kabur atau berkabut
Kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang perlahan-
lahan karena cahaya tidak dapat masuk ke retina. Bila diberikan pin-hole, tidak
mengalami kemajuan.
2. Penglihatan buruk di malam hari
Penderita mengaku penglihatan lebih menurun pada saat malam hari
dibandingkan dengan siang hari.
3. Penglihatan warna berkurang atau berubah
Lensa yang berubah menjadi berwarna karena umur, dapat menyebabkan
objek menjadi terlihat menjadi lebih kuning.
4. Penglihatan silau dan halo
Penderita katarak sering mengeluh silau ketika melihat cahaya terutama
pada malam hari. Penderita juga bisa melihat pelangi di sekitar cahaya lampu.
5. Diplopia atau poliplopia
Bayangan yang terlihat lebih dari satu akibat kekeruhan lensa yang ireguler
pada katarak kortikal menyebabkan poliplopia atau diplopia. Sedangkan pada
katarak nuklear biasanya pasien mengeluh diplopia.
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Indikasi Operasi Katarak
Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun terakhir
dengan adanya mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, perkembangan lensa
intraokular dan perubahan-perubahan teknik anestesi lokal (Vaughan, 2012).
Operasi katarak dapat dipertimbangkan bagi penderita yang tajam penglihatannya
menurun pada satu atau kedua mata. Tidak ada angka yang mutlak untuk indikasi
dilakukannya operasi. Katarak matur adalah indikasi dilakukannya operasi. Katarak matur
yang tidak dioperasi dapat menimbulkan komplikasi seperti uveitis dan glaukoma
(Jackson, 2008).
2.9.2 Teknik Pembedahan Katarak
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dibagi menjadi 4 teknik :
1. Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama dengan kapsul.
Dapat dilakukan pada zonula zinn yang telah rapuh atau berdegenerasi dan
mudah diputus. Pada katarak ini tidak akan terjadi katarak sekunder dan
merupakan tindakan pembedahan yang lama populer. Pembedahan ini dilakukan
dengan mempergunakan mikroskop dan pemakaian alat khusus. Kontraindikasi
operasi ini adalah pasien yang usianya kurang dari 40 tahun karena masih memiliki
ligamen hialoidea kapsular. Penyulit pada operasi ini adalah astigmat, glaukoma,
uveitis, endoftalmus, dan pendarahan (Sidarta, 2015).
2.10 Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dapat terjadi secara dini, beberapa minggu setelahnya,
dan komplikasi yang muncul lambat. Komplikasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Komplikasi dini pascaoperasi
Hipertensi okular, glaukoma maligna, COA dangkal, endophthalmitis, iris atau
vitreous prolaps, dislokasi lensa intra okular, retina robek dan lepas.
2. Komplikasi awal pascaoperasi
Ptosis, diplopia, luka yang bocor dengan COA normal, edema kornea akut, hifema,
uveitis anterior, lepasnya koroidal, iskemik neuropati optik anterior.
3. Komplikasi lambat pascaoperasi
Ptosis, diplopia, hipertensi okular atau glaukoma, edema kornea kronis, hifema
lambat, uveitis anterior kronis, kekeruhan kapsul posterior, pseudophakic cystoid
macular edema.
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena
proses fakolitik, fakotopik, fakotoksik.
a. Fakolitik
Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi lensa akan
keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli anterior terutama
bagian kapsul lensa.
Dengan keluarnya substansi lensa maka pada kamera okuli anterior akan
bertumpuk pula serbukan fagosit atau makrofag yang berfungsi
merabsorbsi substansi lensa tersebut.
Tumpukan akan menutup sudut kamera okuli anterior sehingga timbul
glaukoma.
b. Fakotopik
Berdasarkan posisi lensa
Oleh karena proses intumesensi, iris, terdorong ke depan sudut kamera
okuli anterior menjadi sempit sehingga aliran humor aqueous tidak lancar
sedangkan produksi berjalan terus, akibatnya tekanan intraokuler akan
meningkat dan timbul glaukoma
c. Fakotoksik
Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat toksik bagi mata
sendiri (auto toksik)
2.11 Prognosis
Pembedahan katarak yang bertujuan untuk ekstraksi katarak yang diikuti dengan
penanaman lensa intraokuler dapat meningkatkan tajam penglihatan pada mayoritas
penderita. Sebanyak lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan visual setelah dilakukan
operasi. Hal ini juga membuat perbaikan pada aktivitas sehari-hari dan merubah kualitas
hidup serta status mental. Sedangkan prognosis visual pada pasien anak yang mengalami
katarak dan menjalani operasi tidak sebaik pada pasien dengan katarak yang
berhubungan dengan umur (AOA, 2004).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 68 tahun
Alamat : Bululawang, Malang
Pekerjaan : Pensiunan
Agama/Suku : Islam / Jawa
No. Register : 10749xxx
Tanggal Pemeriksaan : 25 Agustus 2017
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama : Kedua mata kabur
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang mengeluhkan mata kanan dan kiri kabur perlahan-lahan sejak 1
tahun yang lalu, seperti melihat kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama
kabut semakin menebal dan mengganggu penglihatan. Silau pada malam hari (+), mata
merah (-), nyeri (-), belekan (-), nrocoh (-), trauma (-).
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien didiagnosis ODS NPDR + CSME + katarak imatur + hipermetropia +
presbiopia pada tahun 2012
3.2.4 Riwayat Terapi
Pasien belum berobat untuk keluhannya
3.2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
3.2.6 Riwayat Operasi
Laser fotokoagulasi mata kanan pada tahun 2012
3.2.7 Riwayat Penggunaan Kacamata
(+) sejak kelas 3 SMP
3.2.8 Riwayat Penyakit Sistemik
Riwayat DM (+) sejak 15 tahun yang lalu rutin kontrol, riwayat penyakit jantung (+)
rutin kontrol
3.2.9 Riwayat Sosial
Pasien merupakan
3.3 Pemeriksaan Fisik (25 Agustus 2017)
3.3.1 Status Generalis
GCS 456, compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 70x/menit
Respirasi : 16x/menit
Suhu aksial : 37ºC
3.3.2 Pemeriksaan Ophthalmologi
OD OS
LP + Visus 1/300
+ +
+
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
Sekret (-), CI (-), PCI (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Clear Cornea Clear
Deep C.O.A Deep
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
Keruh, rata Lensa Keruh, rata
12,2 mmHg TIO 14,6 mmHg
FR (-), detail sde Funduscopy FR (-), detail sde
3.4 Assessment
ODS Katarak Buratto Grade IV + NPDR + CSME
3.5 Rencana
3.5.1 Rencana Diagnosis (-)
3.5.2 Rencana Terapi
Pro OD Phaco + IOL / LA (28/8/2017)
3.5.3 Rencana Monitoring
Visus
Segmen Anterior
TIO
3.5.4 Rencana KIE
Penjelasan tentang penyakit
Tindakan operasi
Komplikasi penyakit dan operasi
Prognosis visus
3.5.5 Prognosis
Visam : dubia
Vitam : bonam
Functionam : dubia
Sanationam : dubia
Kosmetik : bonam (bila dilakukan operasi)
1. Pemeriksaan ophthalmologi
OD OS
LP + Visus 1/300
+
+
+
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
Sekret (-), CI (-), PCI (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Clear Cornea Clear
Deep C.O.A Deep
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
Keruh, rata Lensa Keruh, rata
n/p TIO n/p
FR (-), detail sde Funduscopy FR (-), detail sde
2. Pemeriksaan laboratorium
Hasil Nilai normal
Hematokrit 29,40 % 38 - 42
Neutrofil 69,2 % 51 – 67
Limfosit 22,6 % 25 - 33
Assessment
ODS Katarak Burrato Grade IV + NPDR + CSME
Planning
Pro OD phaco + IOL/LA Senin, 28 Agustus 2017
Raber IPD endokrin
Premedikasi :
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Diazepam 2 mg 0-0-1
28 Agustus 2017
Laporan operasi
Diagnosis pra bedah : ODS Katarak Buratto Grade IV + NPDR
Diagnosis pasca bedah : OD pseudofakia – OS Katarak Buratto Grade IV
Tindakan operasi : OD phaco + IOL/LA
Uraian operasi :
1. Pasien supine
2. Tetes mata pantocain
3. Desinfeksi lapangan operasi, eyedrape + blefarospat
4. Injeksi lidocain subkonjungtiva
5. Insisi subkonjungtiva
6. Insisi kornea
7. Capsulotomi anterior
8. Phacoemulsifikasi
9. Aspirasi kornea
10. Implantasi lensa tanam
11. Aspirasi viscoelastis
12. Injeksi udara ke COA
13. Hidrasi kornea
14. Tetes mata antibiotik
15. Tutup dengan dop mata
16. Operasi mata selesai
29 Agustus 2017
Subjektif : nyeri post operasi
Objektif :
Pemeriksaan ophthalmologi
OD OS
1/300 Visus 1/300
Assessment
OD pseudofakia post phaco hari I
OS katarak Buratto grade IV + NPDR + CSME
Planning
Levofloxacin ed 6x1 gtt OD
Fluorometholon ed 6x1 gtt OD
Siloxan ed 6x1 gtt OD
PO Ciprofloxacin 2 x 500 mg
PO Asam mefenamat 3 x 500 mg
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Ny. M berusia 68 tahun datang ke poli mata RSSA Malang dengan keluhan
utama mata kanan dan kiri kabur perlahan-lahan sejak 1 tahun yang lalu, seperti melihat
kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama kabut semakin menebal dan
mengganggu penglihatan. Pasien didiagnosis ODS NPDR + CSME + katarak imatur +
hipermetropia + presbiopia pada tahun 2012 dan memiliki riwayat diabetes mellitus yang
rutin kontrol sejak 15 tahun yang lalu. Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan
manifestasi klinis pada pasien katarak yaitu munculnya perkabutan pada mata yang
mengganggu penglihatan. Munculnya perkabutan ini diakibatkan oleh adanya proses
opasifikasi pada lensa mata, membuat lensa mata tidak sepenuhnya bening, dan
mengganggu fungsinya sebagai organ refraksi. Proses opasifikasi ini akan berjalan secara
perlahan, dengan gejala yang dialami pasien yaitu adanya penurunan visus secara
bertahap.
Katarak yang dialami oleh pasien termasuk pada klasifikasi katarak senilis, yaitu
katarak yang terkait dengan usia lanjut. Proses terbentuknya kekeruhan lensa akibat
proses penuaan ini melibatkan berbagai patomekanisme. Proses penuaan pada lensa
menyebabkan peningkatan ketebalan lapisan kortikal secara konsentris, menekan nukleus
sentralis lensa. Nukleus sentralis kemudian akan mengeras dan menimbulkan nukleus
sklerosis. Selain itu, degenerasi epitel kapsular juga mengurangi transparensi lensa.
Faktor-faktor resiko yang dapat mempercepat proses terbentuknya kekeruhan lensa
diantaranya adanya trauma pada mata, menderita diabetes melitus, pemakaian steroid
dalam jangka waktu lama, hingga merokok. Pada pasien ini, selain faktor usia didapatkan
adanya faktor resiko yang mendukung proses terbentuknya katarak yaitu menderita
diabetes mellitus.
Grade I : nukleus lunak, visus lebih baik dari 6/12, lensa hanya tampak
sedikit keruh, refleks fundus (+)
Grade II : nukleus mengeras, visus antara 6/12 hingga 6/30, tampak
gambaran katarak subkapsularis posterior
Grade III : nukleus tampak kekuningan dengan korteks lensa mengeruh, visus
antara 6/30 hingga 3/60
Grade IV : nukleus keras berwarna kuning kecoklatan, visus< 3/60, refleks
fundus (-)
Grade V : nukleus kecoklatan, visus semakin buruk
Pada pasien didapatkan katarak pada kedua matanya, dan tatalaksana definitif
dari katarak adalah dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan pada mata kanan
terlebih dahulu sesuai permintaan pasien. Selain untuk memperbaiki visus, indikasi
pembedahan pada pasien ini adalah juga untuk indikasi medis, mengetahui keadaan
patologis mata melalui funduskopi. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 15
tahun yang lalu dan telah didiagnosis ODS NPDR dan CSME sejak tahun 2012. Evaluasi
berkala diperlukan dengan pemeriksaan funduskopi yang tidak dapat dilakukan dengan
kondisi pasien katarak.
Setelah dilakukan operasi, visus naturalis mata kanan pasien meningkat menjadi
1/300. Medikamentosa yang diberikan pada pasien paska operasi diantaranya antibiotik
(tetes mata levofloxacin dan PO ciprofloxacin), steroid topikal (tetes mata fluorometholon),
agen hipertonik topikal (Siloxan) dan analgesik asam mefenamat. Antibiotik yang diberikan
baik secara tetes mata maupun peroral merupakan golongan fluoroquinolon, yang
memiliki spektrum bakterisidal luas meliputi bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Pemberian steroid bertujuan untuk mengurangi reaksi inflamasi paska operasi, terutama
pada kamera okuli anterior. Steroid tetes mata dapat diberikan karena tidak didapatkan
defek epitel kornea pada pemeriksaan ophthalmologi. Steroid diberikan selama reaksi akut
paska operasi, yang kemudian dihentikan bila tidak didapatkan inflamasi lanjutan pada
mata. Pemberian steroid yang terlalu lama dapat mengganggu proses penyembuhan
sutura pada korneo-scleral margin. Agen hipertonik topikal yaitu Siloxan diberikan untuk
mengurangi edema kornea.
Selain pemberian medikamentosa, KIE pada pasien juga berperan penting untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu proses penyembuhan mata.
Selama 1 hari paska operasi, mata pasien diberikan patching untuk mencegah masuknya
patogen maupun benda asing dan mencegah terjadinya trauma pada mata. Selama 1
bulan pertama, pasien diminta untuk menghindari aktivitas-aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan intra okuli, misalnya mengangkat benda berat, mengejan saat
defekasi, dan berolahraga berat. Menjaga higienitas mata dan tubuh secara keseluruhan
juga penting untuk mencegah terjadinya infeksi, dengan kondisi pasien yang diberikan
terapi steroid. Pasien dapat dipulangkan bila dalam 1x24 jam paska operasi tidak
didapatkan keluhan pada mata dan tidak ditemukan komplikasi awal seperti peningkatan
TIO, inflamasi yang memberat hingga terjadi uveitis dan endophthalmitis, keratopati
striata, prolaps iris, dan lain-lain.
BAB V
KESIMPULAN
Katarak adalah munculnya kekeruhan pada lensa mata, yang dapat menyebabkan
gangguan penglihatan. Berdasarkan kekeruhannya, katarak dapat dibagi menjadi katarak
insipien, katarak imatur, katarak matur, dan katarak hipermatur. Penyebab terjadinya
katarak tidak diketahui hingga saat ini, namun beberapa faktor risiko dapat meningkatkan
risiko seseorang mengalami katarak, seperti usia lanjut, diabetes mellitus, riwayat trauma
pada mata, riwayat penggunaan steroid dalam jangka waktu yang lama, serta merokok.
Pasien ini memiliki faktor risiko selain usia lanjut, yaitu memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 15 tahun yang lalu.
American Academy of Opthalmology. 2007. Lens and Cataract Section 11. San Fransisco.
American Optometric Association. 2004. Care of The Adult Patient with Cataract. Practice
Guideline.
Duker, Myron Yanoff, Jay S. 2008. Ophthalmology (3rd ed.). Edinburgh: Mosby. p. 382.
ISBN 978-0323057516.
Ilyas H, Sidarta., Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jackson, C.R.S., Finlay, R.D. 2008. The Eye In General Practice. Textbook. Hal.74-8.
Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophtamology. 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Limited.
LifeMap. 2015. The Anatomy and Structure of the Adult Human Lens.
https://discovery.lifemapsc.com/library/images/the-anatomy-and-structure-of-the-
adult-human-lens. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.
Murrill, Cynthia A et al. 2004. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Adult
Patient with Cataract. U.S.A: American Optometric Association.
Salmon, J F. 2010. Glaukoma. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC. Hal. 212 – 229.
Sujitha et al. 2013. Risk Factors Associated with The Development of Cataract: A
Prospective Study. Palakkad: World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Science. Vol 2, Issue 1, 544-553.
Zorab, A et al. 2005. Lens and cataract. Chapter 5 Pathology. Hal: 45-46.