Anda di halaman 1dari 37

KASUS PANJANG

ODS Katarak Buratto Grade IV

Pembimbing:
dr. Lely Retno Wulandari, Sp.M (K)

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutaan adalah salah satu topik yang menjadi fokus WHO demi mewujudkan
Vision 2020. Sebagai titik awal perencanaan program penanggulangan kebutaan dan
gangguan penglihatan yang direkomendasikan oleh WHO melalui Vision 2020 adalah
ketersediaan data mengenai keadaan kebutaan dan gangguan penglihatan di suatu
wilayah atau negara melalui metoda survei yang dapat diandalkan (Kemenkes, 2014).
Orang-orang yang berusia 50 tahun dan lebih merupakan kelompok usia di mana
gangguan penglihatan dan kebutaan banyak terjadi. Sekitar 65% dari penderita gangguan
penglihatan, dan 82% kebutaan terjadi pada orang-orang usia 50 tahun dan lebih,
walaupun jumlah kelompok usia ini hanya 20% dari populasi dunia (Kemenkes, 2014).
Penyebab kebutaan terbanyak di seluruh dunia adalah katarak, diikuti oleh
glaukoma dan age related macular degeneration (AMD). Sebesar 21% tidak dapat
ditentukan penyebabnya dan 4% adalah gangguan penglihatan sejak masa kanak-kanak
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian katarak yang cukup
tinggi. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun diantara 1.000
orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki
kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah
subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun
(Kemenkes, 2014).
Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa. Penuaan merupakan penyebab
katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain:
trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok, dan herediter. Katarak
akibat penuaan merupakan penyebab umum gangguan penglihatan. Berbagai studi cross-
sectional melaporkan prevalensi katarak pada individu berusia 65-74 tahun adalah
sebanyak 50%. Prevalensi ini meningkat hingga 70% pada individu di atas 75 tahun.
Ada berbagai jenis katarak yang dapat terjadi. Katarak matur adalah bentuk katarak
yang seluruh proteinnya telah mengalami kekeruhan, sedangkan katarak imatur hanya
memiliki sebagian protein yang transparan. Katarak yang lensanya dapat menyerap air
adalah katarak intumesen. Dan katarak hipermatur adalah katarak yang proteinnya sudah
mencair sehingga dapat keluar dari lensa dan menyebabkan lensa mengkerut. Katarak
hipermatur yang nukleusnya mengambang bebas di dalam kantung kapsul disebut katarak
morgagni (Salmon, 2010).
Karena berbagai alasan yang mendasari katarak sebagai penyebab kebutaan
terbesar itulah penulis melaporkan pasien Ny. Mudrikah usia 68 tahun dengan diagnosis
ODS katarak Buratto grade IV.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi katarak?
2. Bagaimana kriteria diagnosis katarak?
3. Bagaimana penatalaksanaan katarak?
4. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi katarak?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi katarak
2. Mengetahui kriteria diagnosis katarak
3. Mengetahui penatalaksanaan katarak
4. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada katarak

1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman dokter muda mengenai definisi, kriteria diagnosis,
penatalaksanaan, serta komplikasi katarak serta memahami kasus yang diangkat
pada tulisan ini.
2. Dokter muda dapat menerapkan ilmu yang di pelajari pada saat pelayanan di
masyarakat sehingga status kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih baik pada
masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies dan Bahasa Latin Cataracta yang berarti
air terjun. Dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai bular, penglihatan seperti tertutup air
terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,
atau terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi pada salah satu mata atau
kedua mata yang berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam
waktu yang lama (Ilyas, 2015).
Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan
lensa yang keruh, cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang
kabur pada retina. Katarak sering digambarkan sebagai mirip dengan melihat melalui air
terjun atau kertas lilin (Gupta et al, 2014).
Katarak dapat terjadi sebagai akibat dari proses penuaan atau proses sekunder
akibat faktor kelainan metabolik, nutrisi, trauma, inflamasi, keturunan, dan radiasi.
Kekeruhan lensa karena faktor umur adalah katarak yang paling sering terjadi (Ilyas,
2015).

2.2 Epidemiologi
Katarak merupakan penyebab paling umum gangguan mata di dunia terutama di
negara berkembang yang dapat berujung pada kebutan. Pada suatu studi di India
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian katarak adalah tiga kali lipat jika dibandingkan
dengan Amerika Serikat, dengan pasien katarak berumur 75 hingga 83 tahun sebanyak
82% sedangkan di Amerika Serikat hanya sebesar 46% pada kelompok umur yang sama
(Murrill et al, 2004). Menurut data World Health Organization (WHO), katarak akibat
penuaan menyebabkan 48% kebutaan di seluruh dunia, yang mengenai sekitar 18 juta
orang (WHO, 2013).
Di Indonesia, prevalensi kebutaan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,4% dengan
prevalensi katarak nasional sebesar 1,8%. Prevalensi katarak tertinggi berada di Sulawesi
Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Perkiraan insiden katarak adalah
0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang penderita baru
katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun
lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16- 22% penderita katarak
yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun (Kemenkes, 2014).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Lensa


Lensa merupakan bagian segmen anterior mata yang berfungsi sebagai media
refraksi bersama kornea. Bagian anterior lensa adalah iris yang berfungsi dalam mengatur
jumlah cahaya yang masuk ke mata (LifeMap, 2015). Sedangkan bagian posterior lensa
adalah badan vitreous. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang
memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak memiliki serabut saraf,
pembuluh darah, dan jaringan ikat. Lensa disangga oleh serat-serta zonula yang berasal
dari badan siliar. Serat-serat tersebut menyisip ke bagian ekuator kapsul lensa. Lensa
memiliki bentuk ellipsoid, biconveks seperti cakram. Pada orang dewasa berat lensa
sekitar 220 mg dengan diameter 10 mm dan memiliki panjang aksial 4 mm. Lensa
mempunyai daya akomodasi yang berfungi mengubah jarak fokus mata dengan
bentuknya yang berubah sehingga memungkinkan cahaya dibiaskan jatuh tepat dan fokus
di retina. Total kekuatan refraktif sekitar 10-20 Dioptri bergantung pada akomodasi tiap
individu (Duker, 2008).
Secara histologi lensa mempunya tiga bagian utama, yaitu kapsul lensa, epitelium
lensa dan serat-serat lensa, Kapsul lensa adalah suatu membran basalis yang
mengelilingi substansi lensa yang terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein.
Kapsul lensa ini bersifat semipermeabel, homogen, refraktil, dan kaya akan kabohidrat
yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid
yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Epitel ini berbentuk kuboid dan akan
berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan terus memanjang membentuk serat
lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng.
Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasa dari sel-sel
subkapsular. Sel-sel epitel dekat ekuator lensa membelah sepanjang hidup sehingga
serat-serat lensa yang lebih tua dimampatkan ke nukleus sentral. Serat-serat muda yang
kurang padat, di sekeliling nukleus menyusun korteks lensa (LifeMap, 2015).

Gambar 2.1 Anatomi lensa histologi (LifeMap, 2015)

Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris, yang bila berkontraksi
akan mengendurkan tegangan zonula. Lensa menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya
dioptri yang lebih kuat untuk memfokuskan objek- objek yang lebih dekat. Relaksasi
muskulus siliaris akan menghasilkan kebalikan dari peristiwa tersebut, membuat lensa
mendatar dan memungkinkan objek- objek jauh terfokus. Dengan bertambahnya usia,
daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan- lahan seiring dengan penurunan
elastisitasnya (Vaughan, 2012).

2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya katarak sangat luas tergantung dari proses patogenesis serta
faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsi. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara lain
adalah umur, jenis kelamin dan faktor genetik sedangkan faktor ekstrinsik yang
berpengaruh antara lain adalah pekerjaan, rokok, radiasi ultraviolet, diabetes mellitus, dan
faktor lingkungan (Zorab et al, 2005).
1. Pekerjaan
Pekerjaan dalam hal ini erat kaitannya dengan paparan sinar matahari. Suatu
penelitian yang menilai secara individual, menunjukkan nelayan mempunyai jumlah
paparan terhadap sinar ultraviolet yang tinggi sehingga meningkatkan risiko terjadinya
katarak kortikal dan katarak posterior kapsular.
2. Perokok
Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan
dihubungkan dengan penurunan antioksidan, askorbat dan karetenoid. Merokok
menyebabkan penumpukan molekul berpigmen -3 hydroxykhynurine dan
chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan lensa. Sianat dalam rokok
juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan amplitude
akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat pula kadar
glukosa dalam humor akuos. Keadaan hiperglikemia akan menyebabkan glukosa
ekstraseluler masuk secara difusi ke lensa yang dapat menyebabkan modifikasi
transisional. Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose reduktase menjadi
sorbitol, yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa.
4. Alkohol
Peminum alkohol kronis mempunyai risiko tinggi terkena berbagai penyakit mata,
termasuk katarak. Pada peminum alkohol berat akan mengalami penurunan intake
nutrisi. Hal ini disebabkan oleh alkohol yang dapat menekan nafsu makan dan
mengganggu proses metabolisme serta absorpsi nutrisi. Pecandu alkohol juga
mengalami kekurangan vitamin. Normalnya vitamin A dan E sebagai antioksidan
berada di hati, namun kadar vitamin tersebut dapat berkurang dengan konsumsi
alkohol berat. Status nutrisi yang buruk telah diketahui sebagai faktor risiki katarak.
5. Kortikosteroid
Pada penelitian tahun 1960 menyatakn bahwa terdapat hubungan antara penggunaan
steroid ssistemik dengan perkembangan katarak subkapsular posterior. Penggunaan
kortikosteroid sebagai terapi inflamasi, kelainan sistem imun seperti asma, rheumatoid
arthritis, dan lupus menunjukkan peningkatan angka prevalensi katarak subkapsular
posterior, khususnya pada anak-anak.
6. Hipertensi
Studi Framingham menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan darah
tinggi dengan katarak senil. Hal ini masih belum jelas bagaimana tekanan darah tinggi
dapat menyebabkan katarak senil.
7. Diare dan defek genetik
Pada pasien diare terjadi malnutrisi sekunder karena malabsorpsi nutrisi; alkalasi
relatif karena proses rehidrasi cairan bikarbonat; dan dehidrasi yang memicu
gangguan tekanan osmotik dan mengganggu metabolisme kolesterol. Defek genetik
contohnya Smith Lemli Opitz Syndrome dan Mevalonic aciduria menyebabkan
gangguan biosintesis kolesterol pada fase awal dan akhir. Sedangkan pada
Cerebrotendeous xanthomatosis terjadi akumulasi sterol di semua jaringan termasuk
pada lensa (Sujitha et al, 2013).

2.5 Patogenesis
Terdapat berbagai proses patogenesis katarak, antara lain :
2.5.1 Usia
Lensa yang normal adalah suatu struktur yang jernih dan transparan. Dengan
bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna dan menjadi coklat kekuningan.
Lensa akan mengalami pertumbuhan terus-menerus dan membentuk serat lensa dengan
arah pertumbuhan yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena
lensa tertutupi oleh serat lensa. Sehingga serat lensa paling tua berada di pusat lensa
(nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul lensa (korteks).
Dengan bertambahnya usia, lensa juga bertambah berat, tebal dan keras terutama pada
bagian nukleus yang sering disebut dengan nuklear sklerosis. Selain itu fraksi protein
lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk protein
dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan transparansi lensa berkurang.
Kelainan refraksi miopia juga menyebabkan progresivitas proses nuklear sklerosis pada
katarak (Sujitha et al, 2013).
2.5.2 Radikal bebas
Pada suatu model ekperimental, stres oksidatif berkontribusi dalam pembentukan
katarak lensa dengan cara menurunkan kadar adenosine triphosphate dan glutathione
disulfide yang berfungsi sebagai bahan antioksidan di lensa (BMJ, 2016). Salah satu
sumber radikal bebas penyebab katarak adalah sinar ultraviolet yang terdapat dalam
jumlah besar di dalam sinar matahari. Memang sudah diketahui bahwa radiasi ultraviolet
menghasilkan radikal bebas di dalam jaringan. Jaringan di permukaan mata yang
transparan sangat peka terhadap sinar ultraviolet. Pada mereka yang mempunyai riwayat
terpajan sinar matahari untuk waktu lama dapat mempercepat terjadinya katarak. Di
Australia, daerah radiasi UV yang lebih tinggi menunjukkan dengan prevalensi lebih tinggi
dan onset awal katarak. Prevalensi katarak dilaporkan 3,8 kali lebih tinggi di daerah
dengan rata-rata 12 jam paparan sinar matahari sehari-hari dibandingkan dengan daerah-
daerah dengan hanya 7 jam paparan di Nepal (Hollows, 1981).
2.5.3 Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menginduksi terjadinya PSCs
(Posterior Subcapsular Cataract). Pada satu studi dilaporkan, pasien dengan
menggunakan oral prednisolon dan diobservasi selama 1-4 tahun, 11% menggunakan 10
mg/hari menjadi katarak, sekitar 30% dari mereka mendapat 10-15 mg/hari dan 80% dari
mereka mendapatkan lebih dari 15 mg/hari. Pada studi lain, beberapa pasien mendapat
steroid topikal berlanjut menjadi keratopati yang berlanjut menjadi katarak setelah
mendapatkan sekitar 2-4 tetes per hari 0,1% dexamethasone selama periode 10,5 bulan.
Beberapa steroid dapat menginduksi PSCs pada anak dan bisa reversibel setelah
penghentian penggunaan steroid.
2.5.4 Trauma
Selain itu kerusakan lensa akibat trauma dapat disebabkan oleh peradangan
mekanik, kekuatan fisikal berupa radiasi, kimia, ataupun elektrik. Katarak akibat trauma
tumpul dapat melibatkan sebagian atau seluruh dari bagian lensa. Sering, manifestasi
awal dari kontusio katarak adalah stellate atau rosette-shaped opacification. Katarak yang
terjadi biasanya disebut katarak traumatik. Sedangkan pada trauma yang bersifat
perforans dan penetrasi pada lensa sering menghasilkan kekeruhan pada bagian korteks
yang mengalami ruptur, biasanya progresifitas sangat cepat untuk menjadi kekeruhan
total. Syok elektrik dapat menyebabkan koagulasi protein dan menyebabkan katarak.
Awalnya, vakuola lensa muncul pada perifer anterior lensa, diikuti kekeruhan linier di
korteks subkapsul anterior. Katarak menyebabkan cedera elektrik mungkin membaik,
tetap diam, atau matur untuk menjadi katarak komplit selama beberapa bulan atau tahun
(Setiohadji, 2006; Ilyas, 2015).
2.5.5 Penyakit Sistemik
Peningkatan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus akan
meningkatkan komposisi glukosa dalam humor aqueous yang akan berdifusi masuk ke
dalam lensa, sehingga komposisi glukosa dalam lensa juga akan meningkat. Beberapa
dari glukosa akan di konversi oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol. Sorbitol tidak
akan dimetabolisme tetapi tetap di dalam lensa. Kemudian perubahan tekanan osmotik
menyebabkan influks cairan ke dalam lensa yang menyebabkan perubahan kekuatan
refraksi lensa. Terdapat 2 tipe klasifikasi katarak pada pasien diabetes. True diabetic
cataract atau snowflake cataract, dapat bilateral, onset terjadi secara tiba-tiba dan
menyebar sampai subkapsular lensa, tipe ini biasa terjadi pada diabetes mellitus yang
tidak terkontrol. Kekeruhan menyeluruh subkapsular seperti tampilan kepingan salju
terlihat awalnya di superfisial anterior dan korteks posterior lensa. Vakuola muncul dalam
kapsul lensa. Pembengkakan dan kematangan katarak kortikal terjadi segera sesudahnya.
Peneliti percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terjadinya true diabetic
cataract pada manusia sangat erat kaitannya dengan katarak sorbitol yang dipelajari pada
hewan percobaan.
Galaktosemia adalah inherediter autosomal resesif ketidakmampuan untuk
mengkonversi galaktosa menjadi glukosa. Sebagai konsekuensi ketidakmampuan hal
tersebut, terjadi akumulasi galaktosa pada seluruh jaringan tubuh, lebih lanjut lagi
galaktosa dikonversi menjadi galaktitol (dulcitol), sejenis gula alcohol dari galaktosa.
Galaktosemia dapat terjadi akibat defek pada 1 dari 3 enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme galaktosa : galactosa 1-phosphate uridyl transferase, galactokinase, atau
UDP-galactose-4-epimerase. Pada pasien dengan galaktosemia, 75% akan berlanjut
menjadi katarak. Akumulasi dari galaktosa dan galaktitol dalam sel lensa akan
meningkatkan tekanan osmotik dan influks cairan kedalam lensa.
2.6 Klasifikasi Katarak
Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan morfologis dan waktu munculnya
katarak.
2.6.1 Berdasarkan Morfologis
1. Katarak kapsular, katarak yang melibatkan kapsul lensa baik anterior atau
posterior. Katarak kapsular dapat disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan
dengan sinekia posterior, obat-obatan, radiasi, dan trauma.

2. Katarak subkapsular, katarak yang melibatkan bagian superfisial korteks atau


tepat di bawah kapsul lensa baik anterior atau posterior.

3. Katarak kortikal, katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan katarak
yang paling sering terjadi. Karatak kortikal sering disebabkan oleh usia dan
diabetes melituss.

4. Katarak nuklear, katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa dan sering kali
disebabkan faktor usia. Katarak nuklear adalah sklerosis normal yang berlebihan
atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut.

5. Katarak supranuklear, katarak yang melibatkan bagian korteks lensa yang paling
dalam, tepat di atas nucleus.
6. Katarak polar, katarak yang melibatkan kapsul lensa dan superfisial korteks lensa
hanya di regio polar, dapat berupa katarak polar anterior dan katarak polar
posterior. Katarak polar sering kali terjadi pada katarak kongenital atau karena
trauma sekunder.
7. Katarak campuran, ketarak yang muncul lebih dari satu tipe katarak secara
bersamaan (Khurana, 2007).
2.6.2 Berdasarkan Waktu Munculnya
1. Katarak kongenital, katarak yang terjadi pada bayi baru lahir hingga anak usia
kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan salah satu penyebab kebutaan
pada bayi yang cukup berarti. Sekitar 50% katarak kongenital bersifat sporadik
dengan etiologi yang belum jelas. Pada kasus katarak kongenital perlu digali
riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubela pada kehamilan trimester pertama dan
pemakaian obat selama kehamilan. Pada beberapa kasus ditemukan ibu hamil
dengan riwayat kejang, tetani, ikterus atau hepatosplenomegali. Katarak kongenital
sering ditemukan pada bayi yang dilhairkan oleh ibu yang menderita penyakit
rubela, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidism,
homosisteinuri, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histoplasmosis. Katarak
kongenital juga sering ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem saraf
seperti retardasi mental.
2. Katarak juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai
terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil
biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital.
3. Katarak senilis, semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia
di atas 50 tahun (Ilyas, 2015).

2.7 Katarak Senilis


2.7.1 Stadium dan Klasifikasi
Stadium katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
1. Katarak Insipien
Kekeruhan dimulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks anterior
dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks. Katarak
subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior,
celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degeneratif
(benda Morgagni) pada katarak insipien. Kekeruhan ini dapat menimbulkan
poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa.
Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama. Visus pada katarak
insipien masih dalam batas normal.
2. Katarak Imatur
Hanya sebagian lensa saja yang mengalami kekeruhan (katarak belum
mengenai seluruh lapisan lensa). Pada katarak imatur akan dapat bertambah
volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif.
Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil,
sehingga terjadi glaukoma sekunder. Visus pada stadium ini biasanya berkisar
antara 5/6 hingga 1/60.
3. Katarak Matur
Adalah bentuk katarak yang seluruh proteinnya telah mengalami kekeruhan.
Pada keadaan matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Kekeruhan
ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak imatur atau
intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa
kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila
mana akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akan berukuran
kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh,
sehingga uji bayangan iris negatif. Visus pada stadium ini berkisar antara 1/60
hingga Light Perception (LP) (+).
4. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang
berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil,
berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan
lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
hubungan dengan zonula zinn menjadi kendor. Bila proses katarak berjalan lanjut
disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak
dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat.
Keadaan ini disebut katarak Morgagni.
5. Katarak Nigra
Katarak yang berwarna coklat sampai hitam (katarak nigra) terutama pada
lensa, juga dapat terjadi pada katarak pasien diabetes mellitus dan miopia tinggi.
Sering tajam penglihatan lebih baik dari dugaan sebelumnya dan biasanya ini
terdapat pada orang berusia lebih dari 65 tahun yang belum memperlihatkan
adanya katarak kortikal posterior posterior (Ilyas, 2015).
Tabel 2.1 Perbedaan Stadium Katarak Senilis
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaukoma

Katarak senilis nuklear merupakan hasil proses penuaan lensa yang berlebihan,
yang melibatkan nukleus lensa yang berwarna kecoklatan. Korteks anterior dan posterior
cenderung jernih dan masih tipis. Bentuk kekeruhan nuklear ini dapat menyebabkan
terjadinya miopia berat yang memungkinkan penderita membaca jarak dekat tanpa
memakai kacamata koreksi seperti seharusnya (second sight of the aged) (Vaughan,
2012).
Pada katarak senilis kortikal kekeruhan lensa melibatkan korteks anterior, posterior,
serta ekuatorial. Pada awalnya katarak bermula dengan adanya vakuol air pada korteks
yang kemudian menyusup diantara lamelar korteks. Kekeruhan dimulai pada daerah
perifer dan menjalar menuju sentral dan sering digambarkan sebagai radial spoke-like,
atau shield-like configuration. Pada katarak kortikal terjadi peningkatan cairan yang masuk
pada lensa mengakibatkan separasi lamelar dan akhirnya terjadi kekeruhan seluruh
korteks berwarna abu-abu putih yang tidak merata. Kekeruhan ini bisa terjadi cepat tetapi
juga bisa tahunan. Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa
dekat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan (Vaughan, 2012).
Pada katarak senilis subkapsular anterior kekeruhan terjadi tepat dibawah kapsula
lensa dan dihubungkan dengan metaplasi fibrosa dari epitel anterior lensa. Sedangkan
tipe subkapsular posterior kekeruhan terjadi didepan kapsula posterior, dan dihubungkan
dengan migrasi sel epitel posterior dari lensa. Pasien katarak tipe ini terutama berusia
lebih muda dan mengalami kesulitan jika menghadapi cahaya lampu mobil dari arah yang
berlawanan dan juga oleh sinar matahari terik. Penglihatan jarak dekat mereka lebih
terganggu dibandingkan penglihatan jarak jauh. Tipe subkapsular posterior sering
dihubungkan dengan katarak akibat paparan sinar ultraviolet, penggunaan kortikosteroid
jangka panjang, trauma, peradangan, dan retinitis pigmentosa (Mariannete, 1999).

Gambar 2.2 Morfologi lensa pada katarak senilis

2.8 Diagnosis
Banyak pasien dengan katarak yang terdiagnosis karena mereka datang untuk
melakukan pemeriksaan saat mengalami gejala penurunan kualitas penglihatan yang
berefek pada aktivitas sehari-hari.
2.8.1 Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui data demografi pasien sebelum
menggali riwayat penyakit sekarang (contohnya: umur, jenis kelamin, ras, dsb). Perlu
ditanyakan bagaimana pasien mengalami penurunan kualitas penglihatan apakah secara
tiba-tiba atau bertahap. Jarang dijumpai kasus penurunan tajam penglihat yang terjadi
mendadak pada pasien katarak. Pada beberapa kasus katarak telah terjadi bertahun-
tahun namun baru diketahui ketika pasien merasa penglihatannya terganggu (Murril et al,
2004).
Keluhan yang membawa pasien datang berobat antara lain :
1. Penglihatan kabur atau berkabut
Kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang perlahan-
lahan karena cahaya tidak dapat masuk ke retina. Bila diberikan pin-hole, tidak
mengalami kemajuan.
2. Penglihatan buruk di malam hari
Penderita mengaku penglihatan lebih menurun pada saat malam hari
dibandingkan dengan siang hari.
3. Penglihatan warna berkurang atau berubah
Lensa yang berubah menjadi berwarna karena umur, dapat menyebabkan
objek menjadi terlihat menjadi lebih kuning.
4. Penglihatan silau dan halo
Penderita katarak sering mengeluh silau ketika melihat cahaya terutama
pada malam hari. Penderita juga bisa melihat pelangi di sekitar cahaya lampu.
5. Diplopia atau poliplopia
Bayangan yang terlihat lebih dari satu akibat kekeruhan lensa yang ireguler
pada katarak kortikal menyebabkan poliplopia atau diplopia. Sedangkan pada
katarak nuklear biasanya pasien mengeluh diplopia.

Penggalian riwayat pasien harus mencakup riwayat refraksi, penyakit mata


sebelumnya, ada atau tidaknya ambliopia, operasi mata sebelumnya dan riwayat trauma.
Perlu juga ditanyakan mengenai kesulitan melihat dalam beberapa kondisi seperti: saat
berjalan, berkendara, membaca dalam suasana sangat terang, membaca label obat, atau
saat beraktivitas sehari-hari serta bekerja (Murrill et al, 2004).

2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Setelah melakukan penggalian riwayat terhadap pasien kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik yang teliti serta sistematis pada seluruh tubuh untuk mengetahui
adanya penyakit sistemik yang mempengaruhi terbentuknya katarak. Sedangkan
pemeriksaan lokal mata yang dapat dilakukan adalah :
1. Ketajaman penglihatan
Katarak sering kali berkaitan dengan terjadinya penurunan ketajaman
penglihatan, baik untuk melihat jauh maupun dekat. Walaupun telah diberikan
pinhole tetapi tajam penglihatan tetap tidak membaik (Vaughan, 2012).
2. Tes Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD)
Penting dilakukan test RAPD atau Marcus Gunn pupil yang mengindikasikan
adanya lesi pada saraf optik atau keterlibatan retina secara difus. Pasien katarak
dengan RAPD yang positif diharapkan menjaga dan memperhatikan prognosis
visual bahkan setelah suatu ekstraksi katarak yang tidak rumit (Medscape, 2017).
3. Pemeriksaan menggunakan Slit-lamp
Pemeriksaan menggunakan slit-lamp memungkinkan untuk memeriksa
bagian yang lebih kecil sehingga dapat mendeteksi keabnormalitasan secara dini
(Mayo, 2016). Pemeriksaan menggunakan lampu slit tidak hanya fokus untuk
mengevaluasi kekeruhan lensa namun juga struktur okular lainnya seperti
konjungtiva, kornea, iris, dan ruang okuli anterior. Ketebalan kornea dan adanya
kekeruhan kornea seperti korneal gutata harus diperiksa dengan hati-hati.
Penampakan lensa juga diperiksa secara teliti baik sebelum dan sesudah dilatasi
pupil (Medscape, 2017).
4. Iris shadow test
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Pada
pemeriksaan ini, sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45˚
dengan dataran iris. Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka
semakin besar bayangan iris pada lensa tersebut (American Academy of
Opthalmology, 2007).
Penilaian :
 Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil
berarti lensa belum keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur, keadaan
ini disebut iris shadow test (+).
 Bila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat terhadap pupil berarti lensa
sudah keruh seluruhnya. Keadaan ini terjadi pada katarak matur dengan iris
shadow test (-).
 Pada katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya mengecil serta terletak
jauh di belakang pupil, sehingga bayangan iris pada lensa besar dengan iris
shadow test pseudopositif.
5. Miopisasi
Pada tahap awal akan terjadi peningkatan indeks refraksi lensa (myopic
shift), sehingga pada beberapa penderita presbiopi akan merasa dapat membaca
kembali dari jarak dekat tanpa bantuan kacamata baca.
Hal ini merupakan akibat meningkatnya kekuatan fokus lensa bagian sentral.
Gejala lain dapat berupa diskriminasi warna yang buruk atau diplopia monookuler.
Sebagian besar katarak nuklear adalah bilateral tetapi bisa asimetris (Whitehead,
2004).

2.8.3 Pemeriksaan Tambahan


1. Funduskopi
Menilai segmen posterior baik diskus, retina dan makula.
2. USG
Menilai segmen posterior bila tidak dapat dinilai dengan funduskopi (Ilyas,
2015).

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Indikasi Operasi Katarak
Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun terakhir
dengan adanya mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, perkembangan lensa
intraokular dan perubahan-perubahan teknik anestesi lokal (Vaughan, 2012).
Operasi katarak dapat dipertimbangkan bagi penderita yang tajam penglihatannya
menurun pada satu atau kedua mata. Tidak ada angka yang mutlak untuk indikasi
dilakukannya operasi. Katarak matur adalah indikasi dilakukannya operasi. Katarak matur
yang tidak dioperasi dapat menimbulkan komplikasi seperti uveitis dan glaukoma
(Jackson, 2008).
2.9.2 Teknik Pembedahan Katarak
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dibagi menjadi 4 teknik :
1. Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama dengan kapsul.
Dapat dilakukan pada zonula zinn yang telah rapuh atau berdegenerasi dan
mudah diputus. Pada katarak ini tidak akan terjadi katarak sekunder dan
merupakan tindakan pembedahan yang lama populer. Pembedahan ini dilakukan
dengan mempergunakan mikroskop dan pemakaian alat khusus. Kontraindikasi
operasi ini adalah pasien yang usianya kurang dari 40 tahun karena masih memiliki
ligamen hialoidea kapsular. Penyulit pada operasi ini adalah astigmat, glaukoma,
uveitis, endoftalmus, dan pendarahan (Sidarta, 2015).

Gambar 2.3 Ekstraksi Katarak Intra Kapsular


2. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dewasa atau anak- anak
adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa. Penanaman lensa intraokular
merupakan bagian dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer,
bagian superior atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior lalu
nukleus serta korteks lensa akan diangkat. Kemudian lensa intraokular
ditempatkan pada ’’kantung kapsular’’ yang sudah kosong, disangga oleh kapsul
posterior yang masih utuh (Vaughan, 2012).
Jahitan pada mata dilakukan dengan nilon monofilamen halus. Jahitan ini
dapat diangkat pada periode selanjutnya jika menyebabkan distorsi pada mata dan
astigmatisme, dapat juga diserap dengan sendirinya dalam 2-3 tahun (Jackson,
2008).

Gambar 2.4 Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular


3. Fakoemulsifikasi
Saat ini teknik fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak ekstrakapsular
yang paling sering digunakan. Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik
genggam untuk menghancurkan nukleus yang keras sehingga substansi nukleus
dan korteks dapat diaspirasi melalui suatu insisi berukuran sekitar 3 mm. Ukuran
insisi tersebut cukup untuk memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat
(foldable intraocular lens). Jika digunakan lensa intaokular yang kaku, insisi perlu
dilebarkan sampai sekitar 5 mm. Keuntungan yang didapat dari tindakan bedah
insisi kecil adalah kondisi intraoperasi lebih terkendali, menghindari penjahitan,
perbaikan luka yang lebih cepat dengan derajat distorsi kornea yang lebih rendah,
dan mengurangi peradangan intraokular pasca operasi dimana semuanya
berakibat pada rehabilitasi penglihatan yang lebih singkat (Vaughan, 2012).
Walaupun demikian, teknik fakoemulsifikasi ini menimbulkan risiko yang lebih
tinggi terhadap terjadinya pergeseran materi nukleus ke posterior melalui robekan
kapsul posterior. Kejadian ini membutuhkan tindakan bedah vitreoretina yang
kompleks. Setelah tindakan bedah katarak ekstrakapsular apapun, mungkin terjadi
kekeruhan sekunder pada kapsul posterior yang memerlukan disisi dengan
menggunakan laser YAG-neodymium. Metode ini termasuk non-invasif dengan
memberikan pulsasi energi laser yang menimbulkan “ledakan-ledakan” kecil di
jaringan sasaran, membentuk sebuah lubang kecil pada kapsul posterior di sumbu
pupil (Vaughan, 2012).
4. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik ECCE, yang mengeluarkan
nukleus dengan tetap mempertahankan kapsul posterior berada di tempatnya.
Dengan metode ini, insisi dilakukan sepanjang 5-7 mm pada superior limbus.
Setelah lensa intraokular dimasukkan, insisi akan dijahit (Vaughan, 2012).

2.9.3 Perawatan Pascaoperasi


Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pascaoperasi biasanya lebih
pendek. Pasien umumnya diperbolehkan pulang pada hari operasi atau hari setelahnya,
tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati-hati dan menghindari peregangan atau
mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan. Mata penderita dapat dibalut pada
hari operasi. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi
kebanyakan pasien dapat melihat cukup baik melalui lensa intraokular sambil menunggu
kacamata permanen. Biasanya, penyembuhan akan selesai dalam waktu 8 minggu
(Vaughan, 2012).
Saat perawatan pascaoperasi dapat dilakukan penanganan farmakologis dengan
pemberian kombinasi antibiotik sprektum luas dan steroid topikal, pemberian antibiotik oral
dan pemberian analgesik oral. Penangan non farmakologis antara lain adalah menjaga
higienitas tangan saat sebelum dan sesudah meneteskan obat ke mata, tidak mengucek
mata, menjaga kebersihan mata dengan membersihkan darah atau kotoran yang ada
pada mata, dianjurkan untuk bergerak hati-hati dan menghindari mengangkat benda berat
selama kurang lebih satu bulan (Jackson, 2008).
2.9.4 Rencana Monitoring
1. Keluhan pasien
2. Visus
3. Evaluasi terhadap konjungtiva, kornea, COA, IOL, kapsul dan luka bekas operasi
4. Tekanan intra okuli
5. Funduskopi dilakukan bila ada indikasi kelainan pada retina

2.10 Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dapat terjadi secara dini, beberapa minggu setelahnya,
dan komplikasi yang muncul lambat. Komplikasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Komplikasi dini pascaoperasi
Hipertensi okular, glaukoma maligna, COA dangkal, endophthalmitis, iris atau
vitreous prolaps, dislokasi lensa intra okular, retina robek dan lepas.
2. Komplikasi awal pascaoperasi
Ptosis, diplopia, luka yang bocor dengan COA normal, edema kornea akut, hifema,
uveitis anterior, lepasnya koroidal, iskemik neuropati optik anterior.
3. Komplikasi lambat pascaoperasi
Ptosis, diplopia, hipertensi okular atau glaukoma, edema kornea kronis, hifema
lambat, uveitis anterior kronis, kekeruhan kapsul posterior, pseudophakic cystoid
macular edema.
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena
proses fakolitik, fakotopik, fakotoksik.
a. Fakolitik
 Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi lensa akan
keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli anterior terutama
bagian kapsul lensa.
 Dengan keluarnya substansi lensa maka pada kamera okuli anterior akan
bertumpuk pula serbukan fagosit atau makrofag yang berfungsi
merabsorbsi substansi lensa tersebut.
 Tumpukan akan menutup sudut kamera okuli anterior sehingga timbul
glaukoma.
b. Fakotopik
 Berdasarkan posisi lensa
 Oleh karena proses intumesensi, iris, terdorong ke depan sudut kamera
okuli anterior menjadi sempit sehingga aliran humor aqueous tidak lancar
sedangkan produksi berjalan terus, akibatnya tekanan intraokuler akan
meningkat dan timbul glaukoma
c. Fakotoksik
 Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat toksik bagi mata
sendiri (auto toksik)

 Terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga timbul uveitis, yang kemudian akan


menjadi glaukoma.

2.11 Prognosis
Pembedahan katarak yang bertujuan untuk ekstraksi katarak yang diikuti dengan
penanaman lensa intraokuler dapat meningkatkan tajam penglihatan pada mayoritas
penderita. Sebanyak lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan visual setelah dilakukan
operasi. Hal ini juga membuat perbaikan pada aktivitas sehari-hari dan merubah kualitas
hidup serta status mental. Sedangkan prognosis visual pada pasien anak yang mengalami
katarak dan menjalani operasi tidak sebaik pada pasien dengan katarak yang
berhubungan dengan umur (AOA, 2004).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 68 tahun
Alamat : Bululawang, Malang
Pekerjaan : Pensiunan
Agama/Suku : Islam / Jawa
No. Register : 10749xxx
Tanggal Pemeriksaan : 25 Agustus 2017

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama : Kedua mata kabur
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang mengeluhkan mata kanan dan kiri kabur perlahan-lahan sejak 1
tahun yang lalu, seperti melihat kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama
kabut semakin menebal dan mengganggu penglihatan. Silau pada malam hari (+), mata
merah (-), nyeri (-), belekan (-), nrocoh (-), trauma (-).
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien didiagnosis ODS NPDR + CSME + katarak imatur + hipermetropia +
presbiopia pada tahun 2012
3.2.4 Riwayat Terapi
Pasien belum berobat untuk keluhannya
3.2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
3.2.6 Riwayat Operasi
Laser fotokoagulasi mata kanan pada tahun 2012
3.2.7 Riwayat Penggunaan Kacamata
(+) sejak kelas 3 SMP
3.2.8 Riwayat Penyakit Sistemik
Riwayat DM (+) sejak 15 tahun yang lalu rutin kontrol, riwayat penyakit jantung (+)
rutin kontrol
3.2.9 Riwayat Sosial
Pasien merupakan
3.3 Pemeriksaan Fisik (25 Agustus 2017)
3.3.1 Status Generalis
GCS 456, compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 70x/menit
Respirasi : 16x/menit
Suhu aksial : 37ºC
3.3.2 Pemeriksaan Ophthalmologi
OD OS
LP + Visus 1/300
+ +
+
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
Sekret (-), CI (-), PCI (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Clear Cornea Clear
Deep C.O.A Deep
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
Keruh, rata Lensa Keruh, rata
12,2 mmHg TIO 14,6 mmHg
FR (-), detail sde Funduscopy FR (-), detail sde

3.3.3 Status Lokalis Mata


(Foto)

3.4 Assessment
ODS Katarak Buratto Grade IV + NPDR + CSME
3.5 Rencana
3.5.1 Rencana Diagnosis (-)
3.5.2 Rencana Terapi
 Pro OD Phaco + IOL / LA (28/8/2017)
3.5.3 Rencana Monitoring
 Visus
 Segmen Anterior
 TIO
3.5.4 Rencana KIE
 Penjelasan tentang penyakit
 Tindakan operasi
 Komplikasi penyakit dan operasi
 Prognosis visus
3.5.5 Prognosis
 Visam : dubia
 Vitam : bonam
 Functionam : dubia
 Sanationam : dubia
 Kosmetik : bonam (bila dilakukan operasi)

3.6 Catatan Perkembangan Medis


27 Agustus 2017
 Subjektif : kedua mata kabur
 Objektif :

1. Pemeriksaan ophthalmologi
OD OS
LP + Visus 1/300
+
+
+
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
Sekret (-), CI (-), PCI (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Clear Cornea Clear
Deep C.O.A Deep
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
Keruh, rata Lensa Keruh, rata
n/p TIO n/p
FR (-), detail sde Funduscopy FR (-), detail sde

2. Pemeriksaan laboratorium
Hasil Nilai normal

Hemoglobin 9,40 gr/dl 13.4 – 17.7

Leukosit 9.610 /µl 4.300 – 10.300

Hematokrit 29,40 % 38 - 42

Trombosit 340.000 /µL 142.000 – 424.000

Eosinofil 2,0 % 0–4

Basofil 0,8 % 0–1

Neutrofil 69,2 % 51 – 67

Limfosit 22,6 % 25 - 33

Monosit 5,4 % 2-5


SGOT 7 U/L 9.4 – 11.3

SGOT 7 U/L 24.6 – 30.6

GDS 213 mg/dL < 200

 Assessment
ODS Katarak Burrato Grade IV + NPDR + CSME
 Planning
Pro OD phaco + IOL/LA  Senin, 28 Agustus 2017
Raber IPD endokrin
Premedikasi :
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Diazepam 2 mg 0-0-1

28 Agustus 2017
 Laporan operasi
Diagnosis pra bedah : ODS Katarak Buratto Grade IV + NPDR
Diagnosis pasca bedah : OD pseudofakia – OS Katarak Buratto Grade IV
Tindakan operasi : OD phaco + IOL/LA
Uraian operasi :
1. Pasien supine
2. Tetes mata pantocain
3. Desinfeksi lapangan operasi, eyedrape + blefarospat
4. Injeksi lidocain subkonjungtiva
5. Insisi subkonjungtiva
6. Insisi kornea
7. Capsulotomi anterior
8. Phacoemulsifikasi
9. Aspirasi kornea
10. Implantasi lensa tanam
11. Aspirasi viscoelastis
12. Injeksi udara ke COA
13. Hidrasi kornea
14. Tetes mata antibiotik
15. Tutup dengan dop mata
16. Operasi mata selesai

29 Agustus 2017
 Subjektif : nyeri post operasi
 Objektif :
Pemeriksaan ophthalmologi
OD OS
1/300 Visus 1/300

Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)


CI (-), PCI (-), SCH (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Striae (+), edema (+) Cornea Clear
Fl cell grade IV, deep C.O.A Deep
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
IOL on place Lensa Keruh, rata
20,6 mmHg TIO 17,3 mmHg
FR (+) dim ec edema kornea, Funduscopy FR (-) ec katarak, detail sde
detail sde

 Assessment
OD pseudofakia post phaco hari I
OS katarak Buratto grade IV + NPDR + CSME

 Planning
Levofloxacin ed 6x1 gtt OD
Fluorometholon ed 6x1 gtt OD
Siloxan ed 6x1 gtt OD
PO Ciprofloxacin 2 x 500 mg
PO Asam mefenamat 3 x 500 mg
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ny. M berusia 68 tahun datang ke poli mata RSSA Malang dengan keluhan
utama mata kanan dan kiri kabur perlahan-lahan sejak 1 tahun yang lalu, seperti melihat
kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama kabut semakin menebal dan
mengganggu penglihatan. Pasien didiagnosis ODS NPDR + CSME + katarak imatur +
hipermetropia + presbiopia pada tahun 2012 dan memiliki riwayat diabetes mellitus yang
rutin kontrol sejak 15 tahun yang lalu. Keluhan yang dialami pasien sesuai dengan
manifestasi klinis pada pasien katarak yaitu munculnya perkabutan pada mata yang
mengganggu penglihatan. Munculnya perkabutan ini diakibatkan oleh adanya proses
opasifikasi pada lensa mata, membuat lensa mata tidak sepenuhnya bening, dan
mengganggu fungsinya sebagai organ refraksi. Proses opasifikasi ini akan berjalan secara
perlahan, dengan gejala yang dialami pasien yaitu adanya penurunan visus secara
bertahap.

Katarak yang dialami oleh pasien termasuk pada klasifikasi katarak senilis, yaitu
katarak yang terkait dengan usia lanjut. Proses terbentuknya kekeruhan lensa akibat
proses penuaan ini melibatkan berbagai patomekanisme. Proses penuaan pada lensa
menyebabkan peningkatan ketebalan lapisan kortikal secara konsentris, menekan nukleus
sentralis lensa. Nukleus sentralis kemudian akan mengeras dan menimbulkan nukleus
sklerosis. Selain itu, degenerasi epitel kapsular juga mengurangi transparensi lensa.
Faktor-faktor resiko yang dapat mempercepat proses terbentuknya kekeruhan lensa
diantaranya adanya trauma pada mata, menderita diabetes melitus, pemakaian steroid
dalam jangka waktu lama, hingga merokok. Pada pasien ini, selain faktor usia didapatkan
adanya faktor resiko yang mendukung proses terbentuknya katarak yaitu menderita
diabetes mellitus.

Pada pemeriksaan ophthalmologi didapatkan visus naturalis pada mata kanan


yaitu light perception positif proyeksi baik semua arah dan mata kiri 1/300. Pada
pemeriksaan segmen anterior mata, tidak didapatkan kelainan pada palpebra, konjungtiva,
kornea, COA, iris dan pupil, namun didapatkan kekeruhan yang merata pada kedua lensa.
Hal ini sesuai dengan tingkat keparahan penurunan visus pasien. Kekeruhan lensa yang
merata merupakan tanda utama katarak matur, sedangkan kekeruhan lensa yang tidak
merata menandakan katarak imatur. Pada katarak matur, terjadi penurunan visus antara
1/60 hingga LP (+), sedangkan pada katarak imatur terjadi penurunan visus antara 5/6
hingga 1/60. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan yang didapatkan pada pasien.

Pasien didiagnosis dengan ODS katarak Buratto grade IV setelah dilakukan


pemeriksaan dengan slit lamp. Grading didasarkan pada densitas kekerasan lensa
menggunakan staging Buratto, dimana kekerasan lensa pada katarak dibagi menjadi 5
grade, yaitu :

 Grade I : nukleus lunak, visus lebih baik dari 6/12, lensa hanya tampak
sedikit keruh, refleks fundus (+)
 Grade II : nukleus mengeras, visus antara 6/12 hingga 6/30, tampak
gambaran katarak subkapsularis posterior
 Grade III : nukleus tampak kekuningan dengan korteks lensa mengeruh, visus
antara 6/30 hingga 3/60
 Grade IV : nukleus keras berwarna kuning kecoklatan, visus< 3/60, refleks
fundus (-)
 Grade V : nukleus kecoklatan, visus semakin buruk

Pada pasien didapatkan katarak pada kedua matanya, dan tatalaksana definitif
dari katarak adalah dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan pada mata kanan
terlebih dahulu sesuai permintaan pasien. Selain untuk memperbaiki visus, indikasi
pembedahan pada pasien ini adalah juga untuk indikasi medis, mengetahui keadaan
patologis mata melalui funduskopi. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 15
tahun yang lalu dan telah didiagnosis ODS NPDR dan CSME sejak tahun 2012. Evaluasi
berkala diperlukan dengan pemeriksaan funduskopi yang tidak dapat dilakukan dengan
kondisi pasien katarak.

Pembedahan yang dilakukan pada pasien ini menggunakan metode


fakoemulsifikasi dengan pemasangan IOL (Intra Ocular Lens) dengan pemberian anestesi
lokal. Pembedahan pada pasien katarak dapat dilakukan dengan beberapa metode,
diantaranya ICCE, ECCE, SICS dan fakoemulsifikasi. ICCE merupakan metode operasi
dengan mengangkat seluruh lensa beserta kapsulnya. ECCE merupakan metode untuk
mengeluarkan nukleus dan korteks lensa dengan mempertahankan kapsulnya. SICS
merupakan modifikasi dari teknik ECCE, yang mengeluarkan nukleus dengan tetap
mempertahankan kapsul posterior, dengan insisi yang lebih kecil yaitu sepanjang 5-7 mm
pada superior limbus. Fakoemulsifikasi merupakan pengembangan dari teknik ECCE yang
menggunakan gelombang ultrasonik untuk menghancurkan nukleus dan korteks yang
kemudian fragmennya akan dikeluarkan.

Teknik fakoemulsifikasi merupakan teknik ekstraksi katarak ekstrakapsular yang


paling sering digunakan. Teknik ini menggunakan vibrator ultrasonik genggam untuk
menghancurkan nukleus yang keras sehingga substansi nukleus dan korteks dapat
diaspirasi melalui suatu insisi berukuran sekitar 3 mm. Ukuran insisi tersebut cukup untuk
memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat (foldable intraocular lens). Jika
digunakan lensa intaokular yang kaku, insisi perlu dilebarkan sampai sekitar 5 mm.
Keuntungan yang didapat dari tindakan bedah insisi kecil adalah kondisi intraoperasi lebih
terkendali, menghindari penjahitan, perbaikan luka yang lebih cepat dengan derajat
distorsi kornea yang lebih rendah, dan mengurangi peradangan intraokular pasca operasi
dimana semuanya berakibat pada rehabilitasi penglihatan yang lebih singkat.

Setelah dilakukan operasi, visus naturalis mata kanan pasien meningkat menjadi
1/300. Medikamentosa yang diberikan pada pasien paska operasi diantaranya antibiotik
(tetes mata levofloxacin dan PO ciprofloxacin), steroid topikal (tetes mata fluorometholon),
agen hipertonik topikal (Siloxan) dan analgesik asam mefenamat. Antibiotik yang diberikan
baik secara tetes mata maupun peroral merupakan golongan fluoroquinolon, yang
memiliki spektrum bakterisidal luas meliputi bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Pemberian steroid bertujuan untuk mengurangi reaksi inflamasi paska operasi, terutama
pada kamera okuli anterior. Steroid tetes mata dapat diberikan karena tidak didapatkan
defek epitel kornea pada pemeriksaan ophthalmologi. Steroid diberikan selama reaksi akut
paska operasi, yang kemudian dihentikan bila tidak didapatkan inflamasi lanjutan pada
mata. Pemberian steroid yang terlalu lama dapat mengganggu proses penyembuhan
sutura pada korneo-scleral margin. Agen hipertonik topikal yaitu Siloxan diberikan untuk
mengurangi edema kornea.
Selain pemberian medikamentosa, KIE pada pasien juga berperan penting untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang dapat mengganggu proses penyembuhan mata.
Selama 1 hari paska operasi, mata pasien diberikan patching untuk mencegah masuknya
patogen maupun benda asing dan mencegah terjadinya trauma pada mata. Selama 1
bulan pertama, pasien diminta untuk menghindari aktivitas-aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan intra okuli, misalnya mengangkat benda berat, mengejan saat
defekasi, dan berolahraga berat. Menjaga higienitas mata dan tubuh secara keseluruhan
juga penting untuk mencegah terjadinya infeksi, dengan kondisi pasien yang diberikan
terapi steroid. Pasien dapat dipulangkan bila dalam 1x24 jam paska operasi tidak
didapatkan keluhan pada mata dan tidak ditemukan komplikasi awal seperti peningkatan
TIO, inflamasi yang memberat hingga terjadi uveitis dan endophthalmitis, keratopati
striata, prolaps iris, dan lain-lain.
BAB V
KESIMPULAN

Katarak adalah munculnya kekeruhan pada lensa mata, yang dapat menyebabkan
gangguan penglihatan. Berdasarkan kekeruhannya, katarak dapat dibagi menjadi katarak
insipien, katarak imatur, katarak matur, dan katarak hipermatur. Penyebab terjadinya
katarak tidak diketahui hingga saat ini, namun beberapa faktor risiko dapat meningkatkan
risiko seseorang mengalami katarak, seperti usia lanjut, diabetes mellitus, riwayat trauma
pada mata, riwayat penggunaan steroid dalam jangka waktu yang lama, serta merokok.
Pasien ini memiliki faktor risiko selain usia lanjut, yaitu memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 15 tahun yang lalu.

Pasien katarak terutama mengeluhkan melihat adanya perkabutan yang


mengganggu penglihatan, awalnya ringan namun semakin lama semakin memberat. Pada
kasus ini, pasien datang dengan keluhan utama kedua mata kabur perlahan seperti
melihat kabut sejak 1 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya
penurunan visus pada kedua mata, pada mata kanan visus LP (+) proyeksi baik semua
arah sedangkan pada mata kiri didapatkan visus 1/300. Pada pemeriksaan segmen
anterior tampak kekeruhan homogen pada lensa mata kiri dan kanan.

Berdasarkan temuan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang dengan slit lamp, pasien didiagnosis dengan ODS katarak Br. grade IV. Karena
visus pasien sudah sangat menurun, dilakukan pembedahan dengan metode
fakoemulsifikasi untuk mengganti lensa mata yang mengalami kekeruhan dengan IOL.
Setelah dilakukan operasi, diberikan medikamentosa yang menunjang proses
penyembuhan mata, seperti antibiotik, steroid, agen hipertonik topikal dan analgesik.
Monitoring yang dilakukan pada pasien meliputi adanya keluhan paska operasi, visus
mata kanan, dan adanya tanda-tanda komplikasi awal paska operasi.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2007. Lens and Cataract Section 11. San Fransisco.

American Optometric Association. 2004. Care of The Adult Patient with Cataract. Practice
Guideline.

Duker, Myron Yanoff, Jay S. 2008. Ophthalmology (3rd ed.). Edinburgh: Mosby. p. 382.
ISBN 978-0323057516.

Gupta, V. B., Rajagopala, M., & Ravishankar, B. 2014. Etiopathogenesis of cataract: An


appraisal. Indian Journal of Ophthalmology, 62(2), 103–110.
http://doi.org/10.4103/0301-4738.121141. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

Hollows F, Moran D, 1981. Cataract-the ultraviolet risk factor. Lancet. 1981;11:1249–50.


[PubMed].

Ilyas H, Sidarta., Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jackson, C.R.S., Finlay, R.D. 2008. The Eye In General Practice. Textbook. Hal.74-8.

Kemenkes RI. 2014. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.


http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
penglihatan.pdf. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2017.

Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophtamology. 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Limited.

LifeMap. 2015. The Anatomy and Structure of the Adult Human Lens.
https://discovery.lifemapsc.com/library/images/the-anatomy-and-structure-of-the-
adult-human-lens. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

Mariannete, J. 1999. Cataract and Lens Disorder, Clinical Guide to Comprehensive


Opthalmology. New York: Thieme Medical Publishers. Hal: 303-331.

Medscape. 2017. Senile Cataract (Age-Related Cataract) Clinical Presentation.


http://emedicine.medscape.com/article/1210914-clinical#b4. Diakses pada tanggal
28 Agustus 2017.

Murrill, Cynthia A et al. 2004. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Adult
Patient with Cataract. U.S.A: American Optometric Association.
Salmon, J F. 2010. Glaukoma. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC. Hal. 212 – 229.

Setiohadji, B. 2006. Community Opthalmology. Cicendo Eye Hospital/Dept of


Ophthalmology Medical Faculty of,Padjadjaran University.

Sujitha et al. 2013. Risk Factors Associated with The Development of Cataract: A
Prospective Study. Palakkad: World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Science. Vol 2, Issue 1, 544-553.

Vaughan, Daniel G. 2012. Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Whitehead,N.Alfred. 2004. Anatomi dan Fisiologi lensa. Dalam transisi menuju


fakoemulsifikasi oleh Istiantoro Soekardi dan johan A Hutauruk. Granit kelompok
yayasan Obor Indonesia. Jakarta;8-12.

WHO. 2013. Priority eye disease.


http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index1.html. Diakses pada tanggal
28 Agustus 2017.

Zorab, A et al. 2005. Lens and cataract. Chapter 5 Pathology. Hal: 45-46.

Anda mungkin juga menyukai