Anda di halaman 1dari 93

THE POSSIBLE IMPOSSIBILITY:

IMAN DALAM REALITAS PLURAL MENURUT JACQUES DERRIDA


egneduta@gmail.com

OLEH:
BRAHMANA DUTA DEWA
01 12 0006

SKRIPSI UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT DALAM

MENCAPAI GELAR SARJANA PADA FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA
AGUSTUS 2016

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan


Indonesia merupakan negara yang memiliki konteks yang khas, yaitu keberagaman suku,
budaya, dan agamanya. Jika dilihat dalam relasi maupun pembahasan yang lebih khusus maka
keberagaman agama menjadi materi yang amat khas serta menarik. Dalam perkembangannya
keberagaman agama di Indonesia ini menunjukkan relasinya yang unik. Baik itu dari jalinan
relasinya yang baik antara satu agama dengan agama yang lain, maupun dari jalinan relasi yang
kurang baik, yang tidak menutup kemungkinan dapat berujung konflik.1 Berdasarkan penjelasan
ini maka bisa dikatakan bahwa semakin lama topik mengenai agama seakan-akan tidak pernah
habis untuk dibicarakan di dalam konteks Indonesia sampai dengan sekarang ini, bahkan isu-isu
mengenai agama senantiasa muncul dalam berbagai kesempatan.
Oleh karena kondisi yang seperti ini maka menarik untuk mencermati penjelasan dari
seorang sosiolog mengenai peran agama dalam ranah kehidupan manusia baik personal, maupun
egneduta@gmail.com

sosial. Peter Berger menjelaskan bahwa pada dasarnya agama itu memiliki cara serta peranan
yang unik. Hal ini dapat terlihat bahwa semakin berkembangnya zaman, agama justru semakin
memainkan peranan yang besar di dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini ia katakan
untuk memperbaiki argumentasinya yang terdahulu yang menyebutkan bahwa ketika umat
manusia sudah semakin maju peradabannya, maka peran agama dapat dianalogikan seperti
cahaya lampu yang meredup lalu mati.2 Melalui penjelasan tersebut dapat dilihat betapa agama
memiliki peranan yang unik sekaligus besar dalam kehidupan manusia, agama tentu mampu
mengarahkan manusia pada kehidupan yang lebih baik, pada saat yang sama agama juga terlibat
dalam menanggapi isu-isu sosial dan perkembangan peradaban yang ada. Tetapi perlu untuk
diperhatikan bahwa agama yang sama juga ikut serta, dan terlibat aktif dalam terciptanya
konflik, baik itu teror, perang saudara, dan konflik-konflik lainnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka pembahasan mengenai ilmu yang menganalisa
agama beserta dengan karakteristiknya pun menjadi hal yang amat penting untuk dilakukan.
Dalam hal ini penulis akan mencoba untuk melihat serta menganalisa karakteristik maupun
fenomena iman yang terjadi dalam kehidupan beragama, secara khusus agama Kristen, yang

1
Jalinan relasi yang baik antar agama yang menjunjung tinggi keterbukaan serta toleransi biasa disebut dengan
Inklusif, dan Pluralis. Lalu jalinan relasi yang kurang baik antar agama biasa ditunjukkan dengan ketertutupan diri,
kerap kali disebut dengan Eksklusif
2
Albertus Patty, Melintas Batas, (Jakarta: Grafika KreasIndo, 2014), h. 12

1
terlihat pada tindakan maupun penghayatannya. Perlu disadari sebelumnya bahwa kekristenan di
Indonesia memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan kekristenan yang ada di negara
lain. Kekristenan Indonesia diperhadapkan dengan keberagaman yang luar biasa. Baik itu
keberagaman agama, suku, dan budaya yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu menjadi
penting untuk memaknai kembali sikap iman seperti apa yang mampu memberikan pemahaman
serta kerangka berfikir bagi kekristenan di Indonesia agar mampu untuk menjadi lebih
ramah/damai bagi lingkungan maupun konteks yang beragam tersebut. Pada dasarnya
pemaknaan kembali sikap iman ini merupakan hal yang amat penting, mengingat cukup banyak
orang Kristen yang dalam keimanannya justru menunjukkan sikap-sikap yang tertutup dari
konteks yang ada. Sikap yang tertutup ini ditunjukkan dengan memberikan klaim-klaim
kebenaran atas diri sendiri, serta klaim-klaim yang menyalahkan hal-hal yang berbeda dari
dirinya, yang muncul dari konteks. Oleh karena sikap yang seperti ini tidak jarang berakhir pada
ekspresinya serta tindakannya yang menjadi amat ekstrim serta menjadi amat radikal.3
Jika hendak melihat dari latar belakangnya, maka sikap maupun ekspresi yang seperti itu
secara sederhana dapat dikatakan sebagai fundamentalisme. Menurut Gerrit Singgih dalam
tulisannya4 menjelaskan bahwa kemunculan fundamentalisme ini merupakan reaksi religius
egneduta@gmail.com

terhadap perubahan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di dunia kekristenan barat
(Eropa Barat-USA) pada saat itu amat didominasi oleh sekularisme dan modernisasi yang amat
berdampak pada teknologi modern dan tatanan berfikir yang kritis. Perlu dipahami, bahwa
konteks yang ada pada saat itu (wordview) melihat ilmu pengetahuan pasti dan alam (sains)
sebagai satu-satunya gambaran dunia yang objektif, sehingga membuat gambaran dunia yang
lain disangkal keabsahannya, dalam hal ini termasuk juga agama.5
Dalam melihat perkembangan ini, kekristenan pun memiliki tanggapan serta sikap yang
beragam. Ada sebagian kekristenan yang dapat menyesuaikan diri serta menerima gambaran
dunia sains tersebut, dalam hal ini gambaran dunia dari Kitab Suci masih tetap diterima, namun
berbicara dalam bahasa religius yang dianggap berbeda dengan bahasa ilmu pengetahuan. Tetapi
ada juga golongan Kristen yang merasa bahwa penyesuaian tersebut keliru. Bagi mereka agama
Kristen tidak boleh menyesuaikan diri dengan zaman, bahkan sebaliknya, zaman dan dunia ini
yang seharusnya dikristenkan. Oleh karena itu ketika agama Kristen sesuai dengan zaman, maka

3
Dalam hal ini contoh tindakan yang amat radikal serta ekstrim ditunjukkan ketika konflik Poso terjadi. Dalam
konflik tersebut para penganut/maupun yang menghidupi fundamentalisme Kristen tidak segan-segan untuk
melakukan pembantaian kepada umat yang beragama lain, dalam hal ini ialah agama Islam. Lih.
http://www.kompasiana.com/hogiiwan/fanatik-terhadap-agama-penyebab-konflik-bangsa-
ini_55114727813311ae33bc7ee6, diakses pada Selasa 09-02-2016. Pukul 14.00 WIB
4
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 326
5
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 326

2
agama Kristen sudah tidak murni lagi.6 Untuk itu mereka amat sangat menekankan kemurnian
dari agama Kristen yang dapat senantiasa mereka peroleh pemaknaan kemurnian tersebut dari
Alkitab.
Dilihat dari penjelasan tersebut menarik bagi kita untuk mencoba melihat lebih
mendalam lagi mengenai apa itu fundamentalisme dan perkembangannya. Hal ini menjadi
penting, karena menurut James Barr fundamentalisme sendiri pada dasarnya memiliki berbagai
perspektif, sehingga kita pun juga tidak bisa dengan mudahnya mengelompokkan kelompok-
kelompok tertentu sebagai kaum fundamentalis. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok
tersebut belum tentu mengakui dirinya sebagai penganut nilai-nilai fundamentalisme. Meskipun
begitu James Barr tetap mencoba untuk membantu mengklasifikasikan secara sederhana
mengenai dasar dari fundamentalisme ini sebagai titik tolak awal,7 klasifikasinya yaitu:
1. Adanya penekanan yang amat kuat pada ketidaksalahan (inerrancy) Alkitab. Pemahaman
ini mencoba untuk melihat bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk
apapun.
2. Lalu adanya kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode,
hasil dan akibat-akibat dari studi kritik modern terhadap Alkitab.
egneduta@gmail.com

3. Serta adanya jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak menganut nilai-nilai
pandangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah “Kristen sejati”.
Gerrit Singgih dalam hal ini juga sependapat bahwa kalangan fundamentalis amat
menekankan ketidakdapatsalahan Alkitab (inerrancy). Dalam hal ini Alkitab dipahami sebagai
pewahyuan Ilahi kepada manusia, bersifat objektif dalam arti sungguh-sungguh merupakan kata-
kata dari Allah sendiri, oleh karena itu harus dipakai sebagai pedoman kebenaran dalam segala
segi kehidupan manusia.8 Menurut Singgih pemahaman yang seperti ini amat mempengaruhi
mereka dalam upaya melakukan proses hermeneutik/pembacaan terhadap Alkitab yang bersifat
apa adanya, atau biasa disebut dengan harafiah.
Dilihat dari pengertian-pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa
fundamentalisme Kristen ini merupakan sebuah kenyataan maupun sifat religius yang ada
ditengah-tengah konteks kehidupan keberagamaan. Sifat religius ini tampak dalam idealisme
agama yang menjadi basis bagi identitas komunal dan personal. Menurut Singgih oleh karena
membawa idealisme agama, maka penghayatan religius mereka sangat berwarna ideologis 9. Jika

6
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 327
7
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 1
8
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 330
9
Menurut KBBI (Kamus Besar bahasa Indonesia) Ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, atau bisa juga dikatakan

3
hendak melihatnya dalam tatanan ideologi, maka dapat dikatakan bahwa teologi
fundamentalisme merupakan ideologi yang tertutup. Ideologi fundamentalisme tersebut ketika
sudah dimaknai sebagai sikap iman seseorang maupun kelompok maka di saat yang sama kita
juga dapat mengatakan bahwa sikap iman fundamentalis merupakan sikap iman yang tertutup.
Sikap iman tersebut ketika harus berada didalam realitas plural maka akan dapat dipastikan
bahwa mereka akan melakukan pertahanan pada diri sendiri, atau bahkan perlawanan bagi pihak
yang dianggap akan mengganggu pemaknaan imannya.
Sikap fundamentalisme yang tertutup ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh
penekanannya pada ketidakdapatsalahan Alkitab (inerrancy). Menurut Otieno Ojore sikap
fundamentalisme yang tertutup juga dipengaruhi besar oleh cara pandangnya terhadap
dogma/doktrin Kristen. Para penganut fundamentalisme ini cukup tegas dan ketat ketika
menyikapi dogma/doktrin yang ada, sehingga mereka amat menghindari pertanyaan-pertanyaan
kritis yang mengarah pada dogma/doktrin yang diyakininya. Mereka meyakini bahwa doktrin
yang ada tersebut sudah menunjukkan gambaran kebenaran yang absolut yang ditunjukkan oleh
Alkitab, termasuk kisah-kisah yang ada didalamnya baik mengenai penciptaan, maupun
keajaiban-keajaiban/mujizat-mujizat.10
egneduta@gmail.com

Berdasarkan sikap fundamentalisme yang seperti itu, Caputo menjelaskan bahwa reaksi
mereka dalam dunia dapat dipastikan akan tertutup pada pluralisme dan perkembangan sains
serta teknologi. Mereka melihat hal-hal tersebut sebagai perusak komunitas maupun tradisi
keagamaan yang mereka yakini dan hidupi selama ini.11 Oleh karena itu maka dapat dilihat
adanya reaksi-reaksi yang cukup keras yang menunjukkan penolakan mereka terhadap
perkembangan-perkembangan yang ada. Kekerasan bahkan pembunuhan muncul sebagai bentuk
perlawanan mereka, sehingga pada akhirnya kekerasan menjadi bagian yang amat lekat dengan
fundamentalisme.12
Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil hendak menunjukkan
beberapa peristiwa yang muncul dikarenakan pemahaman iman yang fundamentalis.13 Peristiwa
ini terjadi pada 10 Maret 1993, ketika Dr. David Gunn yang merupakan dokter di sebuah klinik
aborsi di Pensacola, Florida ditembak didepan kliniknya oleh Michael Griffin, seorang Kristen
fundamentalis. Lima hari kemudian setelah kejadian tersebut, Paul Hill menampakkan diri
kehadapan umum dengan tujuan untuk membenarkan tindakan Michael Griffin. Ternyata ketika

sebagai dasar berfikir seseorang atau suatu golongan. Lih. http://kbbi.web.id/ideologi, diakses pada Selasa 09-02-
2016. Pukul 14.00 WIB
10
Aloys Otieno Ojore, “Religious Fundamentalism”, dalam African Ecclesiastical Review, 2001, h. 266
11
Caputo, On Religion – Thinking in Action, (London: Routledge, 2001), h. 106
12
Caputo, On Religion – Thinking in Action, (London: Routledge, 2001), h. 107
13
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 52

4
diselidiki Paul Hill merupakan tokoh penting dalam gerakan ekstrimis antiaborsi. Dia dengan
tegas dan lantang menyuarakan untuk membunuh orang-orang yang mendukung terjadinya
aborsi. Ternyata benar tidak lama setelah peristiwa Dr. David Gunn, ia melakukan pembunuhan
Dr. John Britton di klinik yang sama di Pensacola pada 29 Juni 1994.
Jika dilihat secara lebih mendalam maka kita dapat melihat bahwa Paul Hill dan teman-
temannya yang lain merupakan bagian dari Organisasi Kristen Nasional, yang disebut dengan the
Army of God. Organisasi tersebut saling berkomunikasi, berbagi sumber, dan melakukan rapat-
rapat untuk melakukan aksi. Dalam kasus aborsi ini mereka memiliki klaim kebenaran yang
dapat dipertanggung jawabkan oleh mereka. Bagi mereka membunuh atas nama aborsi
merupakan hal yang legal. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengertian bahwa aborsi merupakan
suatu tindakan yang membuat Allah muak. Oleh karena itu sebagai Kristen yang benar maka
seharusnya bertindak secara langsung untuk menghentikan tindakan aborsi tersebut. 14 Dalam
melakukan tindakan tersebut mereka memiliki ayat-ayat Alkitab yang menguatkan mereka dalam
melakukan hal tersebut, contoh ayat-ayat yang dijadikan sebagai klaim kebenaran mereka ialah:
 Mazmur 106:37 – Mereka mengorbankan anak-anak lelaki mereka, dan anak-anak
perempuan mereka kepada roh-roh jahat
egneduta@gmail.com

 Yeremia 9:1 – Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka
siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!
 Galatia 1:10 – Jadi bagaimana sekarang: adalah kucari kesukaan manusia atau kesukaan
Allah? Adalah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba
berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.
 Ibrani 12:4 – Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan
darah.
Demikian ayat-ayat yang digunakan oleh kelompok tersebut sebagai klaim kebenaran
mereka dalam melakukan aksi pembunuhan sebagai bentuk nyata mereka atas penolakan aborsi
yang dianggap memuakkan Allah. Bisa dikatakan berdasarkan kasus yang ada tersebut seperti
hendak menegaskan analisa Singgih mengenai cara pembacaan fundamentalisme yang apa
adanya/harafiah, sehingga melalui ayat-ayat tersebut dengan mudahnya dijadikan dasar dan
ideologi tertentu untuk melakukan tindakan yang penuh dengan kekerasan.
Lalu bagaimana dengan kekristenan di Indonesia dalam merespons perbedaan maupun
kepelbagaian? Pada dasarnya agama Kristen di Indonesia merupakan agama yang minoritas, hal
ini yang membuat kaum fundamentalis Kristen tidak dapat menunjukkan dirinya secara frontal.

14
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 53

5
Tetapi tidak menutup kemungkinan di daerah lain, ketika agama Kristen menjadi mayoritas,
kaum fundamentalis/penganut fundamentalisme hendak menunjukkan sikap iman yang tertutup
secara frontal.15 Hal tersebut sebenarnya hendak menunjukkan, walaupun kekristenan di
Indonesia tidak mayoritas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ideologi-ideologi serta sikap
iman fundamentalistik Kristen mengganggu tatanan kehidupan bersama didalam konteks yang
plural. Maka dari itu tidak jarang ideologi-ideologi/nilai-nilai yang ada tentang misi dari kaum
fundamentalis ini membuat relasi antar agama menjadi lebih tegang dan kaku. Matius 28:16-20
misalnya yang sering kali dijadikan dasar atau dipahami oleh Kristen fundamentalis sebagai
kewajiban bagi setiap umat Kristen untuk memberitakan injil kepada orang-orang yang bukan
Kristen (Kristeninsasi). Dari hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi tujuan dan fokus bagi
orang-orang Kristen yang semacam ini adalah kuantitas dari umat Kristen, bukanlah kualitas dari
umat Kristen itu sendiri.
Bagi Knitter tindakan dan pemahaman tersebut tidak dapat dilepaskan juga dari
kurangnya pemahaman yang membuat umat Kristen tidak mengerti secara utuh mengenai makna
atau nilai-nilai penting yang relevan bagi kehidupan masa kini. Cukup banyak umat Kristen yang
tekun dalam iman, dan oleh karena ketekunannya itu tidak jarang membuat mereka menemui
egneduta@gmail.com

berbagai kendala/permasalahan yang muncul justru dari ayat-ayat Alkitab yang dibaca oleh
mereka. Hal ini disadari ketika ada beberapa ayat Alkitab yang terkesan mengkungkung mereka
dan membuat mereka tidak mampu untuk melarikan diri jika ingin jujur, atau sekedar untuk
mempertanyakan pemahaman keimanannya mereka sendiri.16 Oleh karena itu, tidak dapat
dipungkiri bahwa melalui beberapa ayat yang terkesan mengkungkung tersebut mempengaruhi
ajaran (dogma) Kristen klasik yang mengatakan bahwa agama Kristenlah yang merupakan satu-
satunya agama yang benar dan bahwa kebaikan yang terdapat di dalam agama-agama lain
merupakan persiapan bagi mereka untuk menerima Injil dan kemudian memeluk agama yang
benar, yaitu agama Kristen.17
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya pemahaman fundamentalisme,
yang menganggap bahwa agamanya yang paling benar itu ada dalam penghayatan iman Kristen.
Bayangkan jika penghayatan seperti itu tetap dipertahankan jika berjumpa dengan realitas plural
yang penuh keberagaman baik agama, suku, maupun budaya. Maka dapat dipastikan hanya

15
Singgih hendak menunjukkan bahwa di daerah-daerah yang mayoritas Kristen seperti Tapanuli Utara, Minahasa,
Timor Barat dan Papua, ada keinginan dari beberapa umat/kaum yang ada di daerah tersebut untuk memberlakukan
“syariat Kristen”. Dengan caranya tersebut bisa dikatakan bahwa beberapa kaum tersebut menganut nilai-nilai
fundamentalisme, sehingga apa yang hendak dilakukannya mengarah kepada sikap yang tertutup dan eksklusif. Lih.
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 341
16
Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 3
17
Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 3

6
konflik dan juga prasangka-prasangka saja yang muncul. Berangkat dari keunikan maupun
perbedaan doktrin serta teologi yang ada antara Kristen dengan agama lain, bagi Knitter
perbedaan tersebut tidak dapat dijembatani, dan memang tidak perlu untuk dijembatani. Tetapi,
ketegangan maupun relasi yang kurang baik dari perbedaan yang ada tersebut perlu untuk diatasi
dengan membangun sikap kerendahan hati dan kedewasaan untuk mau saling menerima dan
menghargai keunikan yang lain.18 Untuk itu maka berdialog menjadi aspek penting yang dapat
membuat kita untuk saling menghargai keunikan yang lain tersebut. Untuk mampu berdialog
maka menjadi penting bagi kita untuk meninjau kembali atau memeriksa sikap iman yang kita
miliki. Apakah dengan penghayatan maupun sikap iman yang kita miliki sekarang ini dapat
memampukan kita untuk dapat berdialog dengan “yang lain”?

Iman Sang Filsuf: Kajian Reflektif Bagi Konstruksi Iman

Dilihat dari kenyataan tersebut maka menarik bagi kita untuk mencoba melihat serta
mengetahui iman dari sang filsuf Perancis, yaitu Jacques Derrida. Pada dasarnya
konsep/pemahaman tentang iman Derrida ini berangkat dari keprihatinannya atas pemahaman
dan sikap iman yang ada dari setiap umat beragama yang menyatakan bahkan menegaskan
egneduta@gmail.com

bahwa agama yang mereka (seseorang) anut tersebut merupakan agama yang paling benar,
sehingga membuat mereka (seseorang) dengan mudahnya menetapkan/mengklaim bahwa agama
yang ada diluar agama mereka merupakan agama yang salah, dan tidak memiliki keselamatan
serta kebenaran. Bagi Derrida, pemahaman yang seperti ini sebenarnya mereduksi makna agama
itu sendiri. Menurut Derrida, dasar terdalam dari agama sebenarnya adalah pertanyaan, untuk itu
agama seharusnya tetap memungkinkan artikulasi pertanyaan.19 Derrida juga menuliskan bahwa
religion is response, yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa setiap umat
beragama diajak untuk merespons agamanya secara aktif. Dengan sikap yang hanya menerima
bahwa agamanya merupakan kebenaran yang absolut membuat penganut agama tersebut menjadi
perespons yang pasif. Derrida mengajak bahwa menjadi penganut agama yang merespons secara
aktif berarti mereka mau serta memberikan dirinya untuk senantiasa mempertanyakan nilai-
nilai/doktrin yang ada didalam agamanya. Usaha mempertanyakan nilai-nilai/doktrin agama ini
bukan serta merta untuk membongkar dan menjatuhkan agama tersebut, namun mencoba

18
Paul Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 5
19
Jaques Derrida, Faith and Knowledge, in Gil Anidjar (Ed.), Jacques Derrida: Act of Religion, (New York-
London: Roultledge, 2002), h. 64

7
melangkah serta masuk lebih dalam dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyertainya.
Tujuannya adalah untuk memperoleh makna-makna terdalam dari agama tersebut.20
Mengenai pertanyaan, bagi Derrida pertanyaan merupakan salah satu poin penting dalam
kehidupan beragama. Sebelum kita mencoba melihat sikap dan pemahaman Derrida tentang
iman yang lebih mendalam, mari kita lihat dahulu seberapa penting peranan dan keberadaan
pertanyaan. Franz Magnis-suseno dalam bukunya menjelaskan bahwa pada dasarnya Manusia
adalah makhluk yang bertanya. Tak ada pengetahuan apa pun yang bisa membuatnya tidak mau
bertanya lebih lanjut. Pertanyaan itu merupakan kenyataan yang terjadi pada manusia, mereka
amat membutuhkan pertanyaan untuk memuaskan hasrat diri mereka yang haus akan
pengetahuan akan segala sesuatu.21 Termasuk juga dalam rangka beragama pertanyaan itu
merupakan wujud maupun sikap yang seharusnya dilakukan, dalam hal ini mengajukan
pertanyaan tentang Tuhan. Pertanyaan tentang Tuhan merupakan pertanyaan yang sering
diajukan baik bagi orang yang berada di dalam iman (beragama), maupun orang yang berada di
luar iman (atheis). Menurut Franz Magnis-suseno, ketika pertanyaan tentang Tuhan masih
terbuka, maka disaat yang sama akan banyak pertanyaan yang diajukan untuk mencari tahu.22
Baginya orang yang percaya kepada Tuhan seharusnya tidak perlu merasa takut dengan
egneduta@gmail.com

pertanyaan, dari pertanyaan tersebut seharusnya memberikan rangsangan yang amat baik untuk
menalar apa yang sebenarnya mereka imani. Dalam hal ini Derrida kurang lebih memiliki
argumentasi yang senada, pertanyaan itu dilihat serta dimaknai amat penting dalam kehidupan
beragama, menurut Derrida pertanyaan yang muncul dari sikap beragama tidak akan ada
akhirnya. Oleh karena itu bagi Derrida pertanyaan dan usaha untuk menginterpretasi dimaknai
dengan on-going process of exploring meaning, merupakan usaha yang terus berlanjut untuk
berpetualang menemukan/merasakan makna.23 Jika melihat kembali kepada sikap yang
ditunjukkan oleh para fundamentalis, kita akan menemukan sikap yang amat berbeda. Mereka
dengan tegas menolak pemikiran kritis dan pertanyaan apapun tentang iman. Fundamentalisme
yakin bahwa orang beriman tidak akan mungkin ada keragu-raguan tentang imannya, oleh
karena itu mereka menolak penalaran murni manusiawi tentang Tuhan.24

20
Proses pencarian makna tersebut jangan dilihat sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang final atas sesuatu.
Menurut Derrida proses pencarian makna itu tidak akan pernah sampai pada titik akhir. Lih. Jaques Derrida, Faith
and Knowledge, in Gil Anidjar (Ed.), Jacques Derrida: Act of Religion, (New York-London: Roultledge, 2002), h.
64
21
Franz Magnis-suseno, menalar tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 17
22
Franz Magnis-suseno, menalar tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 18
23
Richard Kearney, “Deconstruction, God, and the Possible,” in Yvonne Sherwood and Kevin Hart (Ed.), “Derrida
and Religion: Other Testaments”, (New York-London: Roultedge. 2005), h. 303
24
Franz Magnis-suseno, menalar tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 20

8
Sikap iman yang tertutup yang ditunjukkan oleh kaum fundamentalisme ini menurut
Derrida merupakan sikap iman yang terbatas hanya pada dimensi pengetahuan. Padahal bagi
Derrida sikap iman dan pemahaman tentang iman seharusnya tidak hanya sekadar ada pada
dimensi pengetahuan. Hal ini dikarenakan jika iman hanya ada pada dimensi pengetahuan, maka
iman itu sendiri menjadi amat terbatas. Dengan menempatkan iman pada dimensi pengetahuan
maka kita juga dapat melihat adanya kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan atas nama
agama. Iman yang terperangkap pada pengetahuan25 tersebut yang membuat seseorang seakan-
akan paling mengetahui agamanya26, oleh karena itu agama menjadi amat mudah dijadikan
legitimasi atas tindakan dan sikap yang antirasio (cth: kekerasan atas nama agama). 27 Oleh
karena itu menjadi penting untuk menempatkan iman tidak pada dimensi pengetahuan saja yang
terbatas. Menurut Derrida iman haruslah ditempatkan pada dimensi rasionalitas, yang tidak
identik dengan pengetahuan. Rasionalitas yang benar selalu menyentuh dimensi kerahasiaan
yang tidak dapat dijelaskannya secara penuh.
Nilai dasar dari rasionalitas iman adalah rasionalitas ketidakpastian, atau bisa dikatakan
juga sebagai rasionalitas ketidakmungkinan yang mungkin (the possible impossibility). Dalam
hal ini yang mungkin dan yang tidak mungkin tersebut pada dasarnya bukanlah suatu hal yang
egneduta@gmail.com

saling bertentangan secara penuh.28 Menurut Derrida, ketidakmungkinan harus dilihat dalam
dasar kemungkinan dari apa yang disebut sebagai peristiwa (event).29 Mengenai peristiwa (event)
Derrida menjelaskan bahwa peristiwa tersebut sebenarnya merupakan penyingkapan
kemungkinan dari yang tidak mungkin. Kesadaran bahwa kita sering berhadapan dengan
peristiwa/pengalaman yang melampaui apa yang kita duga menunjukkan bahwa pada dasarnya
ada ketidakmungkinan yang mungkin. Seperti aktualitas menyingkapkan potensialitasnya,
demikian juga dengan peristiwa yang menunjukkan adanya ketidakmungkinan yang mungkin
tersebut. Ketidakmungkinan pada dasarnya bersifat absolut, namun ia dirindukan sebagai yang
mungkin. Yang tidak mungkin tersebut mengingatkan sekaligus menyadarkan kepada kita bahwa
adanya sesuatu yang melampaui kesanggupan dan kekuatan kita.30 Oleh karena itu maka the

25
Pengetahuan disini artinya adalah pemahaman seseorang akan doktrin-doktrin serta pewahyuan Ilahi (Alkitab)
yang ada pada tradisi keagamaan.
26
Dalam hal ini termasuk juga konsep akan Yang Ilahi (Allah)
27
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam “Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 130
28
Derrida memang amat terbiasa dengan konsep-konsep yang melampaui oposisi biner. Jadi dalam hal ini
kemungkinan dan yang tidak mungkin jangan dengan mudahnya diberi jarak pemisah. Lih. Budi Hardiman, Seni
Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 279
29
Jacques Derrida, “Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida,” in Yvonne Sherwood and Kevin Hart
(Ed.), “Derrida and Religion: Other Testaments”, (New York-London: Roultedge. 2005), h. 44
30
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam “Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 133

9
impossible merupakan sesuatu yang tidak terkondisikan, tidak teramalkan namun hanya sekadar
ungkapan kemurahhatian yang hanya dapat dirindukan kehadirannya atau keberadaannya. Jika
masuk dalam bahasan iman, maka pada dasarnya sasaran dari iman ialah Allah, dan Allah
merupakan sesuatu yang tidak dapat hadir, menghadirkan diri dan dihadirkan secara penuh.
Kehadiran sepenuhnya didalam dunia merupakan suatu kemustahilan. Namun, yang mustahil
tersebut tidak sama dengan tidak ada. Allah yang tidak dapat hadir sepenuhnya didalam dunia
itu, tidak sama maknanya dengan mengatakan bahwa Allah tidak ada. Keberadaan Allah itu
sendiri pada dasarnya adalah suatu kemungkinan. Hal ini berarti menunjukkan bahwa beriman
merupakan suatu sikap dan respons nyata terhadap sebuah kemungkinan.31
Atas dasar yang ada tersebut maka model iman the possible impossibility ini
menunjukkan adanya kesadaran bahwa beriman merupakan sebuah keberanian untuk mengambil
resiko. Beriman berarti meyakini bahwa yang tidak mungkin tersebut itu mungkin, tanpa pernah
memastikannya. Konsep iman seperti ini lebih menjadi sumber harapan yang menggelisahkan
dan kegelisahan yang memberikan harapan daripada kepastian yang hanya memberikan rasa
nyaman. Dari hal inilah kita juga dapat menemukan bahwa harapan dan kegelisahan menjadi ciri
dasar dari model iman Derrida.32 Berdasarkan pengertian yang seperti ini, maka kita dapat
egneduta@gmail.com

memaknai sikap beriman secara baru, yaitu adanya sikap kritis yang bersifat permanen.
Didasarkan pada realitas bahwa iman tidak memberikan ketenangan/kepastian, membuat orang
yang beriman sejati tidak akan dengan mudahnya menerima suatu pernyataan dan penjelasan
mengenai yang absolut. Orang yang memiliki sikap kritis akan mendengar, dan di saat yang
sama juga akan mempertanyakan. Oleh karena itu maka iman bukanlah penerimaan kebenaran,
namun iman merupakan pencarian yang terus-menerus. Pencarian yang dilakukan itu memang
akan membawa orang pada suatu penemuan, namun pada dasarnya penemuan tersebut selalu
merupakan jejak, baik itu jejak yang lebih tua, maupun jejak yang lebih muda yang menuntun
seseorang pada jejak-jejak lain.33 Dari proses ini membuat seseorang selalu memiliki pemaknaan
baru, sehingga membuat seseorang juga senantiasa akan terus bertanya dan kritis dengan tujuan
untuk senantiasa mencari jejak-jejak yang masih tersembunyi.
Oleh karena itu pemahaman tentang iman dari Derrida ini memberi penyadaran kepada
kita untuk jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan/menerima kepastian mengenai yang Ilahi,

31
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam “Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 136
32
Ada harapan bahwa yang impossible itu nyata, namun disaat yang sama ada kegelisahan bahwa yang impossible
itu benar-benar impossible. Lih. Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam
“Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober 2010, h. 136
33
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam “Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 137

10
untuk itu maka kerendahan hati juga menjadi faktor penting dalam upaya untuk berproses,
sehingga memampukan diri untuk dapat merasakan kemungkinan dari ketidakmungkinan akan
yang Ilahi tersebut. Berproses dalam pencarian menjadi penting dalam hal ini, pencarian tersebut
dapat dilihat dalam usahanya berproses bersama-sama dengan yang lain, pengertian yang lain
dalam hal ini ialah orang-orang maupun nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain.

1.2. Permasalahan dan Pembatasan Masalah


Permasalahan yang akan dibahas serta dianalisa dalam skripsi ini adalah:

1. Mengenai fundamentalisme Kristen, seperti apa wujud tindakan-tindakan yang dilakukan


berdasarkan pemahaman yang fundamentalistik?
2. Mengenai pemikiran Jacques Derrida itu sendiri: argumen Derrida seperti apa yang
membuatnya memiliki struktur serta konsep iman The Possible Impossibility? Pemikiran-
pemikiran apa saja yang melatarbelakanginya? Selain itu, menjadi penting untuk melihat
bagaimana analisa Derrida atas nilai-nilai fundamentalisme dan pengaruhnya terhadap
iman dalam realitas plural?

Dalam upaya penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk membatasi permasalahan dengan
egneduta@gmail.com

berfokus pada:
1. Persoalan fundamentalisme yang dirasa amat penting dan mempengaruhi konstruksi
beriman umat Kristen yang tidak jarang menyebabkan konflik ketika berjumpa dengan
realitas plural yang ada disekitarnya. Dalam pembahasan ini penulis akan melihat
fundamentalisme sebagai ideologi, serta menganalisanya berdasarkan tatanan
epistemologis, bukan berdasarkan kelompok-kelompok, maupun golongan tertentu.
2. Pembahasan mengenai sikap iman dalam konstruksi berfikir Jacques Derrida yang
melihat bahwa beriman merupakan upaya pencarian terus menerus. Untuk itu maka
pembahasan filsafat Derrida menjadi dasar bagi konstruksi iman dalam realitas plural.
Dalam upaya pembahasan ini akan dibantu juga oleh sumber-sumber sekunder yang
mengkaji pemikiran filsafat Derrida.

1.3. Judul Skripsi dan Penjelasan Pemilihan Judul


Dari latar belakang serta pembatasan masalah di atas, penulis menentukan judul skripsi sebagai
berikut:

The Possible Impossibility: Iman dalam Realitas Plural menurut Jacques Derrida

11
Alasan pemilihan judul:

The Possible Impossibility : merupakan pemahaman Derrida mengenai iman yang menjadi
faktor penting dalam melihat dan menyikapi nilai-nilai fundamentalisme.

Realitas Plural : realitas Plural dalam hal ini dilihat sebagai konteks yang beragam
yang pada dasarnya harus disikapi oleh umat beragama dengan iman yang mereka hayati.

1.4. Tujuan dan Alasan Penelitian


Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Menemukan relasi antara sikap-sikap iman yang tertutup pada realitas plural dengan
nilai-nilai dalam fundamentalisme.
2. Mengembangkan pemahaman serta sikap iman yang bersahabat dengan realitas plural.
Hal ini dilakukan dengan kembali memberikan kesadaran akan nilai-nilai
fundamentalisme yang tanpa sadar dimaknai dalam keimanan Kristen. Hal ini dilakukan
sebagai tanggung jawab Kristen yang seharusnya ikut serta dan mengambil bagian
didalam realitas plural, yang terwujud dalam dialog dan relasi aktif antar agama.
egneduta@gmail.com

1.5. Metode Penelitian


Penulisan skripsi ini akan menggunakan metode penelitian studi literatur, dengan melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan bersifat deskriptif-analitis terhadap berbagai literatur yang relevan
dengan tema penulisan skripsi. Pembahasan deskriptif dilakukan dengan menguraikan kerangka
berfikir filsafat Derrida, yang lalu diterapkan dalam perumusan iman dalam realitas plural.

1.6. Sistematika Penulisan


Berikut ini adalah sistematika penulisan yang saya rencanakan untuk mencoba mendeskripsikan
pembahasan masalah-masalah yang ada:

BAB I
Pendahuluan
Bagian ini berisi latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, dan juga judul, metode,
serta sistematika penulisan skripsi.

12
BAB II
Iman dan Fundamentalisme
Bagian ini akan mengulas secara kritis mengenai fundamentalisme, latar belakang
kemunculannya, pergerakan serta pengaruhnya bagi sikap beriman Kristen.

BAB III
Agama & Yang Ilahi Menurut Jacques Derrida
Bagian ini akan mengulas filsafat Derrida serta analisa kritisnya terhadap agama & konstruksi
mengenai sosok Yang Ilahi (Tuhan) yang akan digunakan sebagai kerangka berfikir dalam
merumuskan iman dalam realitas plural.

BAB IV
Iman yang terbuka pada Ketidakmungkinan: Beriman dalam Realitas Plural
Bab ini berisikan rumusan iman secara sistematis berdasarkan kerangka berfikir dari Jacques
Derrida yang amat memberikan perhatian bagi “yang lain” dalam realitas plural. Dari hal ini
diharapakan dapat memberikan respons kritis bagi pemaknaan iman yang eksklusif.

BAB V
egneduta@gmail.com

Refleksi dan Penutup


Bab ini berisi kesimpulan dan juga refleksi atas keseluruhan bab dalam skripsi ini.

13
BAB II
IMAN & FUNDAMENTALISME

Pendahuluan
Kehidupan beragama sudah tentu memiliki unsur-unsur penting, yang mampu mengarahkan serta
mempengaruhi penganutnya kedalam hidup benar yang sesuai dengan nilai-nilai dari agama
tersebut. Selain daripada itu kehidupan beragama juga menuntut komitmen diri dari para
penganutnya dalam relasinya kepada sosok yang Ilahi dari agama tersebut. Untuk itu penulis
dalam bab ini hendak melihat nilai-nilai maupun unsur-unsur tersebut yang mampu membuat
seseorang memiliki kepercayaan kepada setiap nilai-nilai yang ada pada suatu agama. Dalam hal
ini penulis akan melihat serta menganalisa berdasarkan tradisi agama Kristen. Sikap orang dalam
beragama ini menjadi penting ketika berada di dalam lingkup yang lebih luas, baik dalam
relasinya kepada Yang Ilahi, maupun relasinya terhadap komunitas/konteks kehidupannya.
Berbagai macam sikap dapat ditunjukkan serta dimaknai, termasuk sikap yang fundamentalistik,
yang tidak jarang merugikan bahkan menyakiti banyak pihak maupun konteks yang lain.
egneduta@gmail.com

2.1. IMAN

Iman tanpa perbuatan mati.34 Penggalan tersebut amat familiar di kalangan Kristen.
Bagaimana tidak penggalan tersebut adalah salah satu bagian yang berasal dari kitab suci agama
Kristen. Pemaknaan bahwa iman tanpa perbuatan mati dalam konteks Alkitab hendak
menunjukkan bahwa sebagai orang yang mengaku percaya kepada Kristus sebagai Tuhan
selayaknya menunjukkan rasa percayanya tersebut juga dengan perbuatan baik yang nyata.
Dalam tatanan ini bisa perbuatan yang menunjukkan relasi kepada Tuhan, maupun perbuatan
yang menunjukkan relasi kepada sesama manusia. Secara sederhana bagian tersebut hendak
menunjukkan bagaimana selayaknya manusia yang beriman mengaktualisasikan dirinya. Proses
mengaktualisasikan diri ini pada perkembangannya menjadi perdebatan. Hal ini dikarenakan
aktualisasi atau sikap iman yang berbagai macam. Ada yang menunjukkan sikapnya dengan
menjalin relasi dengan sesama, sehingga keimanannya justru dapat diwujudkan dalam
kebersamaan dan kedamaian. Tetapi ada juga yang menunjukkan sikap imannya dengan
menutup diri bahkan bermusuhan terhadap orang maupun konteks yang lain, dengan alasan

34
Yakobus 2:26. Lembaga Alkitab Indonesia. Penulis mengutip ayat ini hendak menunjukkan betapa iman memiliki
peranan penting dalam kehidupan kekristenan. Secara sederhana, makna perbuatan dalam konteks kitab Yakobus ini
hendak menekankan pada pertanggung jawaban iman kepada Yang Ilahi. Ketika diri beriman, maka diri juga harus
menunjukkan pertanggung jawaban sebagai wujud keberimanan itu sendiri.

14
menjaga kemurnian dirinya sebagai seorang Kristen. Hal ini yang tidak jarang menimbulkan
permasalahan bahkan konflik tersendiri.
Dari penggambaran sederhana yang hendak diangkat dari Surat Yakobus tersebut juga
menunjukkan bagaimana sikap iman dapat dimaknai oleh setiap orang dengan berbeda
berdasarkan pembacaannya terhadap nilai-nilai kekristenan yang di perolehnya baik dari Alkitab,
maupun dari ajaran gereja lainnya. Oleh karena itu maka pada bagian ini penulis hendak melihat
apa itu iman, serta unsur-unsur seperti apa yang dapat berpengaruh bagi proses keimanan
seseorang yang berdampak juga pada tindakannya. Dalam upaya ini penulis akan melihat
konsep-konsep dan pemahaman iman yang diajukan oleh beberapa tokoh, yang dari tokoh-tokoh
tersebut nantinya memampukan kita untuk melihat iman dari berbagai macam perspektif.
Sehingga pemahaman akan iman dapat di maknai secara lebih mendalam.

2.1.1 Tom Jacobs


Tokoh yang pertama adalah Tom Jacobs. Dalam bukunya “paham Allah” Jacobs hendak
menunjukkan bagaimana proses manusia dalam upaya pencariannya, dalam hal ini upaya
pencarian pemahaman manusia akan Allah. Dalam proses tersebut Jacobs menunjukkan betapa
egneduta@gmail.com

iman memiliki peranan yang penting sebagai keyakinan dan prinsip diri terhadap Allah. Untuk
itu pemahaman mendalam mengenai iman menjadi penting dalam kehidupan sehari-hari, terlebih
dalam relasi manusia dengan Sang Ilahi.

a. Iman melampaui Agama


Dalam konteks Indonesia pemaknaan dan refleksi iman yang lebih mendalam menjadi
suatu hal yang cukup asing dan tidak biasa. Menurut Jacobs hal tersebut dipengaruhi oleh adanya
peraturan/kewajiban bagi setiap warga negara untuk menjadi penganut salah satu agama yang
diresmikan oleh pemerintah. Pada akhirnya kehidupan beragama menjadi suatu hal yang sifatnya
formalitas semata, dalam arti keimanan dari para penganutnya tidak menjadi perhatian dan
kesadaran sebagai faktor utama.35 Hal inilah yang membuat banyak orang beragama, namun
tidak beriman. Untuk itu menjadi penting bagi kita melihat serta memaknai kembali iman yang
merupakan faktor utama dalam keagamaan.
Pertama-tama perlu untuk disadari apa itu agama? Terlebih ketika hendak mengenal iman
secara lebih mendalam. Bagi Jacobs, agama merupakan wujud dari pengungkapan dan
penghayatan iman, dalam arti agama hanyalah sarana bagi manusia untuk menghayati relasi
dirinya dengan Allah.36 Mengenai hal ini Karl Barth juga menjelaskan adanya kedalaman makna

35
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 40
36
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 13

15
yang lain antara iman dan agama. Baginya agama adalah wujud kreasi manusia, entah sebagai
ciptaan hati dan budinya sendiri, atau sebagai tanggapan terhadap firman/wahyu Allah. 37 Melalui
pemaknaan ini sebenarnya mengajak kita untuk mengenal dan mengetahui lebih mendalam
mengenai iman dan agama, akan tetapi kesadaran untuk mau mengenal lebih dalam ini seringkali
luput dari kesadaran manusia. Sehingga membuat manusia terjebak pada keagamaan tanpa
mampu untuk melihat dan menyadari lebih mendalam bahwa agama hanyalah sarana yang
didalamnya manusia dapat terbantu untuk menghayati hidup dan dirinya dalam relasinya
bersama-sama dengan Allah. Sikap dan situasi manusia yang terjebak pada agama ini tanpa sadar
membuat agama bagaikan suatu piramida besar yang didalamnya “kebenaran dikuburkan”
bagaikan mumi dalam kayu dan batu. Hal inilah yang oleh Barth disebut sebagai arogansi
kriminal agama.38 Terlebih lagi ketika institusi agama dengan sistematisasi, klaim-klaim, dan
peraturan-peraturan yang ada didalamnya membuat keterbatasan-keterbatasan tersendiri dalam
upaya menghayati relasi yang lebih dalam antara pribadi dengan Allah. Secara khusus Barth
melihat keterbatasan-keterbatasan institusi agama ada dalam gereja, oleh karena itu dalam
kritiknya ia menegaskan bahwa gereja bukanlah wahyu Allah yang diubah menjadi lembaga,
juga bukanlah merupakan kumpulan orang yang mau mengembangkan kesan, pengalaman dan
egneduta@gmail.com

gerakan yang diperoleh manusia dari wahyu Allah itu. Gereja haruslah menyadari dirinya
sebagai manusia yang mendengarkan Allah, yang berfirman. Gereja yang mendengarkan Allah
menunjukkan betapa gereja bersifat manusiawi, duniawi, profan. Oleh karena itu tidak heran jika
sifat kemanusiaannya tersebut membuat gereja juga terlibat dalam masa-masa kegelapan umat
manusia.39
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disadari betapa pengenalan makna antara
iman dengan agama menjadi penting. Iman menurut Barth memiliki peranan penting yang
memampukan gereja untuk sadar penuh pada sifat profannya. Dari hal ini gereja seharusnya
semakin menyadari bahwa dirinya bukan Kristus, namun yang beriman kepada Kristus.40
Melalui hal ini Barth hendak menegaskan agama yang bersifat manusiawi dan penuh dengan
keterbatasan. Keterbatasan yang ada pada agama tersebut sebenarnya mengaskan betapa iman

37
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 34
38
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 33
39
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 34. Sebagai contoh gereja terlibat dalam masa-masa
kegelapan umat manusia adalah klaim-klaim kebenaran gereja yang membuat banyak orang Kristen saling
membunuh oleh karena perbedaan nilai-nilai maupun doktrin yang dianggap tidak sesuai, selain itu klaim-klaim
gereja juga hadir dan membenarkan pemerintah Nazi Jerman yang membantai orang-orang Yahudi (Masa perang
dunia ke-II)
40
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 34. Argumen tersebut hendak menjelaskan betapa
gereja yang seluruhnya manusiawi, oleh karena itu gereja harus hidup dalam ketaatan kepada Kristus. Terkadang
gereja suka melebih-lebihkan dirinya dengan segala retorika dan klaim-klaim yang ada padanya. Hal ini yang
seringkali membatasi manusia ketika hendak memaknai dirinya terhadap yang Ilahi dalam iman.

16
memiliki peranan yang sentral ketika hendak menjalin relasi dengan Yang Ilahi. Untuk itu iman
bagi Jacobs tidak melulu terikat pada agama.41 Hal ini dikarenakan agama yang sebagai wujud
bahasa iman seringkali membatasi diri ketika hendak mendalami/menjalin relasi dengan Yang
Ilahi.
Pemaknaan yang telah dijelaskan tersebut menunjukkan betapa dimensi yang ada antara
iman dan agama amatlah berbeda ketika melihat relasi diri manusia dengan Yang Ilahi.
Keterbatasan yang ditimbulkan oleh agama terkadang membuat makna dari iman yang
sebenarnya menjadi hilang dan kabur, lalu dominasi pemikiran dan karakteristik agamalah yang
semakin memenuhi diri. Untuk itu pemahaman lebih mendalam mengenai iman ini menjadi
menarik agar manusia juga mampu mengenali serta menghayati dimensi iman dalam relasinya
dengan Sang Transenden yang lebih mendalam dari sekedar agama. Untuk itu dalam upaya
pengenalan akan iman yang mendalam ini, pada bagian selanjutnya Jacobs memberikan analisa
menarik mengenai unsur-unsur yang mempengaruhi proses iman.

b. Religiositas
Dalam menjelaskan religiositas, Jacobs mencoba mendasarkannya pada buku Romo
egneduta@gmail.com

Mangunwijaya yang berjudul Sastra dan Religiositas.42 Pada buku tersebut Romo Mangun
menunjukkan perbedaan yang mendasar antara agama dengan religiositas. Baginya agama lebih
merujuk pada kelembagaan kebaktian (ritual) kepada Tuhan atau kepada ‘Dunia Atas’ dalam
aspeknya yang resmi, yuridis dengan peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta
keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya, yang meliputi segi-segi kemasyarakatan
(Gesellschaft, bahasa Jerman). Hal ini berbeda dengan religiositas yang lebih melihat aspek yang
ada ‘di dalam lubuk hati’, riak getaran nurani pribadi; sikap personal yang memiliki misteri, serta
cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi/nurani) kedalaman pribadi
manusia. Berdasarkan hal tersebut hendak menunjukkan betapa religiositas memiliki kedalaman
yang mendalam jika dibandingkan dengan agama yang tampak, formal, resmi. Religiositas lebih
bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang memiliki ciri jauh lebih intim.43
Dari penjelasan Romo Mangun tersebut dapat terlihat bagaimana fokus yang mau coba
digambarkan, yaitu religiositas, bukanlah agama. Menurut Romo Mangun agama harus sadar
betul mengakui dirinya yang hanya sebagai sarana belaka, yang menolong manusia untuk lebih
mudah mengarahkan dirinya kepada Tuhan. Agama selaku lembaga yang sarat dengan unsur
manusiawinya tidak dapat mengklaim ketaatan mutlak dari warga, hal ini dikarenakan agama

41
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 39
42
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Sinar Harapan: Jakarta, 1982)
43
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Sinar Harapan: Jakarta, 1982), h. 11-12

17
tidak pernah identik dengan Allah. Peraturan yang ada pada agama mana pun pada hakikatnya
diadakan selaku lambang dan hanya sekedar ekspresi spiritual. Akan tetapi seiring dengan
perkembangan zaman, sadar maupun tidak pada akhirnya agama justru yang dijadikan sebagai
tujuan. Padahal pada dasarnya agama yang sebagai lambang hanyalah sarana, dan bukan
tujuan.44
Oleh karena itu agama tidak boleh dilepaskan dari religiositas, apalagi jika religiositas ini
berkembang menjadi iman. Jacobs menjelaskan bahwa iman bukanlah suatu perasaan yang
kabur. Iman/faith yang utuh ialah kepercayaan yang mengikutsertakan keseluruhan diri,
termasuk di dalamnya bakat-bakat manusia, yaitu akal dan rasio.45 Oleh sebab itu manusia yang
beriman dituntut juga untuk mampu mempertanggungjawabkan imannya dalam bahasa rasional.
Jika hendak melihat kembali kepada religiositas, maka dapat terlihat bahwa religiositas memang
tidak bekerja dalam ranah pengertian-pengertian (otak), akan tetapi ia juga ada dan aktif dalam
pengalaman, serta penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi, dan
bahkan tidak terbatas pada perasaan maupun afektifitas semata.46 Religiositas juga yang
memberi kesadaran pada manusia untuk beramal, serta menolong orang lain. Berdasarkan hal
tersebut maka kita dapat memaknai religiositas, khususnya sebagai iman personal yang dapat
egneduta@gmail.com

memampukan diri untuk menjalin relasi dengan setiap orang, baik yang ekspresi keagamaan
serta dogmanya sama maupun yang berbeda satu dengan yang lain.

c. Iman & Pengetahuan


Ada yang menarik dalam upaya pemeriksaan dan pencarian Jacobs akan iman. Jacobs
mencoba melihat serta menganalisa iman lebih dalam dengan mencoba melihat apa yang
dikatakan oleh Paulus. Dalam 1 Tes 2:13 Paulus mengatakan: “Kamu telah menerima firman
Allah yang kami beritakan itu, bukan sebagai perkataan manusia, tetapi – dan memang sungguh-
sungguh demikian – sebagai firman Allah.” Dari perkataan Paulus tersebut lalu Jacobs
mengajukan pertanyaan yang menurut penulis cukup menarik jika hendak melihat lebih dalam
mengenai iman. Bagaimana bisa perkataan manusia dikenal dan diakui sebagai firman Allah?47
Berdasarkan pertanyaan tersebut Jacobs memiliki beberapa kemungkinan jawaban yang
coba diajukan.48 Sebagai contoh, salah satu jawaban yang diberikan adalah dengan melihat
bahwa cukuplah manusia dengan refleksinya untuk sampai pada kesadaran bahwa pewartaan

44
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Sinar Harapan: Jakarta, 1982), h. 54-55
45
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 15
46
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 15
47
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 113
48
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 113. Sebenarnya berbagai macam jawaban atas
pertanyaan tersebut dapat dilihat langsung pada buku. Penulis dalam hal ini akan menjelaskan/memunculkan
jawaban yang lebih sesuai dengan kebutuhan penulisan ini.

18
pantas untuk diimani (credible) sebagai firman Allah. Sesudah itu dalam fase selanjutnya yaitu
dalam tatanan/pengakuan iman pribadi disadari penuh sebagai firman Allah. Lalu ada juga
jawaban yang menjelaskan bahwa seluruh proses iman pada dasarnya sudah merupakan iman itu
sendiri, dalam hal ini ketika membuka diri pada firman Allah. Bagi Jacobs pada proses ini tidak
bisa dibedakan antara fase pikiran dengan fase iman, walaupun memang diri masih ada dalam
proses pencarian akan Allah. Dari konsep tersebut maka dapat dikatakan juga bahwa dasar iman
adalah pengalaman keselamatan. Jika kembali pada jawaban awal, mengenai pengertian “pantas
diimani” sebenarnya juga dapat dilihat sebagai pengertian iman. Berdasarkan hal ini maka proses
iman juga dapat dilihat sebagai perkembangan dari sikap penyerahan diri yang dapat membawa
ke dalam kesadaran tertentu. Oleh karena itu perlu dilihat bahwa masalah yang ada sebenarnya
bukan pada perbedaan antara wahyu dan iman, namun antara wahyu sebagai “kesaksian batin”
(Roh/Rahmat) dan “kesaksian lahir” (historis). Pada akhirnya proses iman bisa dimengerti ketika
kesaksian lahir dan kesaksian batin dapat dilihat menjadi satu kesatuan.
Berangkat dari hal tersebut lalu Jacobs menjelaskan betapa iman pada dasarnya juga
merupakan pengetahuan, atau istilah yang bisa digunakan adalah usaha/proses untuk mengenal.
Jika pengetahuan atau pengenalan tersebut berhubungan dengan wahyu maka dapat dikatakan
egneduta@gmail.com

bahwa iman merupakan sikap atau tanggapan terhadap wahyu historis. Iman yang merupakan
pengetahuan memiliki kesadaran akan keselamatan yang diwartakan dalam wahyu historis.
Dalam arti ini iman merupakan keterbukaan untuk mengalami perjumpaan dengan Allah, dimana
perjumpaan tersebut mengarah pada kesatuan mistik.49 Oleh karena itu menurut Jacobs
sebenarnya iman terhadap firman Allah yang disampaikan secara historis merupakan proses yang
berkembang secara terus-menerus, maka dari itu betapa pengetahuan dan juga pengalaman
merupakan dua faktor yang saling berkaitan dalam tatanan iman. Pengalaman dan pengetahuan
ini yang memungkinkan seseorang dalam penghayatan hidupnya di dunia memperoleh makna-
makna baru secara terus-menerus, namun tidak menutup kemungkinan juga bahwa makna-
makna yang diperoleh tersebut dapat membuat pribadi mengalami krisis dan kegelapannya
tersendiri. Akan tetapi dalam proses yang berkembang secara terus-menerus tersebut sebenarnya
dapat juga membuat pribadi tergugah untuk mau masuk dan berproses aktif dalam pencarian,
sehingga memampukan dirinya untuk dapat keluar dari krisis dan kegelapan tersebut.50
Sebagai tambahan, menarik jika melihat 1 Petrus 3:15, yang menjelaskan bahwa setiap
orang beriman seharusnya “siap untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang
yang meminta pertanggungjawaban tentang pengharapan yang ada padanya”. Bagian Alkitab itu

49
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 114
50
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 114

19
hendak menunjukkan betapa seseorang harus siap dan mampu untuk berhadapan dengan
pemikiran-pemikiran dan pandangan orang lain ketika harus berbicara mengenai keimanannya.
Oleh karena itu keimanan pada dirinya sendiri seharusnya mampu untuk
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini perlu disadari bahwa iman tidak buta, iman memiliki arti
yang konkret. Maka dari itu wahyu historis amat perlu dimengerti serta dimaknai dalam
keseluruhan pengalaman hidup manusia secara holistik.

d. Iman & Rasio


Dalam tatanan reformasi Protestan terdapat istilah yang penting, yaitu sola fide, sola
scriptura, sola gracia. Dari istilah-istilah tersebut ada satu istilah yang lekat hubungannya
dengan iman Kristen yaitu, Sola fide. Istilah ini memiliki arti yang menjadi dasar/tatanan
tersendiri bagi keimanan Kristen, bahkan sampai dengan sekarang ini. Istilah tersebut sebenarnya
hendak mengatakan bahwa manusia hanya dapat diselamatkan oleh iman. Dalam
perkembangannya istilah ini memiliki pergumulannya tersendiri, terutama ketika hendak melihat
iman dalam terang rasionalitas. Martin Luther yang merupakan orang sangat berpengaruh bagi
gereja Protestan dengan tegas menolak serta menghindari pemikiran-pemikiran kritis mengenai
egneduta@gmail.com

proses iman. Menurut Martin Luther ada hal yang sebenarnya jauh lebih penting ketimbang
mempertanyakan proses iman, yaitu penyerahan diri kepada Allah yang menyelamatkan manusia
dalam Yesus Kristus, karena dari proses tersebutlah yang juga memampukan manusia
memperoleh karunia roh kudus dalam kepastian imannya. Untuk itulah maka iman yang dimiliki
oleh manusia tidak perlu dipikirkan/dianalisa bahkan dipertanyakan. Pandangan dari Martin
Luther tersebut terkesan amat kaku dan membatasi kehendak bebas manusia yang pada dasarnya
juga diberikan oleh Allah. Hal ini dapat dimengerti bahwa pandangan Martin Luther yang seperti
itu tidak terlepas dari pemaknaannya tentang iman. Baginya iman bukan hanya sekedar syarat
menuju keselamatan, namun iman merupakan keselamatan itu sendiri.51
Pada abad ke-18 atau sejak pencerahan/Aufklarung iman justru dicari penjelasan objektif
ilmiahnya. Dalam prosesnya F.D.E. Schleiermacher amat berusaha untuk menerangkan iman
sebagai suatu pengalaman subjektif dalam relasinya antara pribadi manusia dengan Allah sebagai
Sang Pencipta. Lalu pengalaman/realitas kemakhlukan (alam semesta) dilihatnya sebagai dasar
objektif untuk iman yang subjektif tersebut.52 Tetapi pada akhirnya Schleiermacher melihat
bahwa iman merupakan suatu “perasaan” yang sangat unik yang asalnya bukan dari kegiatan
manusia namun dari karya Roh dalam batin dan panggilan firman dari luar.

51
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 117
52
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 118

20
Berdasarkan penjelasan dan pencarian Scheiermacher inilah yang membuat Karl Barth
menekankan kembali prinsip sola fide. Hal ini didasarkan dari pengertian bahwa iman tidak
berasal dari manusia sebagai subjek otonom, melainkan dari Allah sendiri yang membentuk
manusia untuk menjadi subjek Kristiani sehingga mampu menanggapi wahyu dalam iman. Iman
mampu untuk menerangkan dirinya sendiri, dan tidak membutuhkan penerangan dari luar. Allah
sendirilah yang berfirman kepada manusia melalui Roh Kudus. Oleh karena itu maka iman
dilihat sebagai satu-satunya jalan kepada Allah.53 Gerrit Singgih dalam hal ini memiliki
argumentasi yang cukup berbeda, hal ini terlihat dalam tulisannya yang mengulas relasi antara
mistik dengan sains menurut Fritjof Capra (seorang fisikawan).54 Gerrit Singgih menjelaskan
betapa keterbatasan itu ada dalam agama, mistik dan juga ilmu pengetahuan. Dalam
keterbatasannya tersebut, masing-masing tetap mencoba untuk memahami realitasnya, baik
dalam kehidupan sehari-hari, maupun pada tatanan yang terdalam dari realitas. Oleh karena itu
masing-masing juga terlibat dalam memberikan bayangan mengenai realitas yang terdalam
tersebut. Bagi Gerrit Singgih umumnya agama, mistik, dan ilmu pengetahuan berangkat dari
subjektivitas, yang lalu hendak menjadikan realitas objektif sebagai cita-cita yang dikejar
bersama secara oikumenis-dialogis. Dari hal inilah Gerrit Singgih hendak menyampaikan bahwa
egneduta@gmail.com

agama, mistik, dan ilmu pengetahuan juga perlu untuk dilihat sebagai tritunggal yang berbeda,
namun disaat yang sama saling melengkapi serta memainkan peranannya secara berimbang
antara satu dengan yang lain.55
Berdasarkan penjelasan yang ada dari masing-masing tokoh dengan konteks dan
pergumulan yang dihadapinya menunjukkan pandangan yang berbeda mengenai iman dan
rasionalitas. Dalam hal ini penulis setuju dengan analisa Gerrit Singgih mengenai relasi yang ada
antara agama, mistik dan ilmu pengetahuan dalam upayanya untuk memahami realitas terdalam.
Sebenarnya iman juga hadir dalam proses pemahaman akan realitas tersebut. Iman yang
dimaknai sebagai bentuk/wujud respons manusia terhadap Yang Ilahi dalam proses refleksi diri
sebenarnya juga hadir dan terlibat ketika diperhadapkan dengan ketiga hal tersebut. Agama,
mistik dan ilmu senantiasa diperhadapkan dengan iman dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu
iman yang berefleksi aktif seharusnya juga mampu melihat ketiga hal tersebut sebagai unsur-
unsur yang ikut berdampak dalam upaya memaknai dirinya. Berdasarkan hal tersebut maka
rasionalitas bisa dikatakan memiliki peranan dalam kaitannya dengan iman.

53
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h .118
54
Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 31-47
55
Gerrit Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 47

21
Dari analisa iman yang ada berdasarkan beberapa pemikiran dari Tom Jacobs ini pada
akhirnya hendak menunjukkan betapa iman merupakan wujud tanggapan manusia terhadap
wahyu Ilahi yang dialaminya, baik dalam pengalaman pribadi, maupun pengalaman yang
diperoleh berdasarkan pencariannya terhadap wahyu historis. Pada saat yang sama manusia
beriman juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan imannya baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain.

2.1.2. John Hick


Setelah melihat analisa dan pembahasan iman menurut Tom Jacobs yang turut
melibatkan pengetahuan serta rasio dalam prosesnya, menjadi menarik untuk mencoba melihat
proses iman dari perspektif dan pemahaman yang lain. Untuk itu pada bagian ini penulis hendak
menunjukkan perspektif dan pemahaman yang lain mengenai iman, berdasarkan analisa John
Hick. John Hick dalam bukunya An Interpretation of Religion mencoba memposisikan iman
sebagai religious experience/pengalaman religius. Secara spesifik iman dilihat sebagai suatu
elemen yang senantiasa mengalami interpretasi di dalam setiap peristiwa dan pengalaman
religius. Untuk itu secara lebih mendalam Hick mencoba melihat iman dalam tatanan
egneduta@gmail.com

pengalaman berdasarkan penjelasan dari Thomas Aquinas. Dalam analisa Aquinas, pertama-
tama iman perlu di mengerti dahulu sebagai misteri Ilahi yang melampaui akal dan pengetahuan
manusia. Dari pemahaman tersebut maka iman memiliki tempat tersendri dan istimewa jika
dibandingkan dengan opini (opinion) dan pengetahuan (Scientia). Oleh karena itu iman bisa
dikatakan berbeda dengan pengetahuan yang mampu dijelaskan/dideskripsikan secara teori. 56
Iman dilihat memiliki penempatan tersendiri dalam diri manusia. Jika berbicara mengenai
iman, berarti kita juga berbicara mengenai keterlibatan diri manusia dalam pilihan dan
komitmennya. Iman berbicara mengenai prinsip dan pengabdian diri yang dapat memberikan
manfaat tertentu, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Untuk itu Aquinas juga melihat iman
sebagai kebajikan diri. Bagi Aquinas kebajikan iman ini berbicara bukan hanya dalam ranah
formalitas, maksudnya ketika orang beriman itu berarti merupakan pilihannya, bukanlah sekedar
formalitas “kan Allah sudah menyuruh kita untuk percaya”. Iman dilihat sebagai pilihan diri
dengan penuh sadar. Oleh karena itu dalam iman, kebajikan diri melibatkan kedalaman hati yang
membuka diri serta mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan. Oleh karena itu menurut
Aquinas fokus/objek utama dari iman adalah Tuhan sendiri sebagai Kebenaran yang pertama dan
utama.57

56
John Hick, An Interpretation of Religion, ( London: Macmillan Press LTD, 1989), h. 158
57
John Hick, An Interpretation of Religion, ( London: Macmillan Press LTD, 1989), h. 159

22
Dalam upaya pemahaman akan yang Ilahi melalui iman, menurut Aquinas pemikiran
manusia dengan rasionya masih tetap memiliki peranan. Pengungkapan akan yang Ilahi masih
dapat dikenali, dipahami, dan coba untuk dimengerti oleh rasio manusia. Tetapi perlu di ingat
bahwa rasio manusia masih terbatas, hanya dengan iman yang memampukan manusia untuk
mempercayai misteri Ilahi tersebut, yang pada dasarnya melampaui akal dan pengalaman
manusia. Iman, memampukan manusia untuk menunjukkan kedalaman ekspresinya atas pilihan
dan perasaannya terhadap pengungkapan/wahyu Ilahi tersebut.
Pengertian dan pemahaman fundamental mengenai iman tersebut memberi kita
pemahaman untuk mencoba mengenali lebih dalam tentang iman dalam kehidupan di dunia.
Iman ini bisa dikatakan menjadi tatanan tersendiri dalam pengalaman religius. Baik dalam
kehidupan individual. Maupun kehidupan komunal, pengalaman religius yang di maknai dalam
iman dapat tetap terus dirasakan. Oleh karena itu menurut Hick, iman merupakan suatu aktifitas
interpretasi yang tidak akan pernah selesai, yang dialami dalam setiap pengalaman religius. Bagi
Hick iman yang proporsional adalah ketika ia memiliki relasi dengan misteri Ilahi, iman sebagai
laku interpretasi merupakan respons manusia dalam menanggapi kemisteriusan yang ambigu
itu.58 Dalam melihat tatanan rasionalitas dalam iman, Hick agak serupa dengan Aquinas. Hick
egneduta@gmail.com

mengatakan bahwa walaupun iman mampu untuk disentuh dengan keputusan-keputusan


rasio/kognitif, namun penting untuk di sadari bahwa pada hakekatnya iman tetap ambigu. Untuk
itu Hick memberikan pembedaan antara pengalaman religius dengan percaya kepada hal-
hal/unsur-unsur religius. Ide tentang Allah pertama-tama justru tidak masuk dalam tatanan
pengalaman teistik sebagai konsep yang netral, namun justru ada dalam pertimbangan yang
positif, yang datang dari kesadaran atas pengalaman itu sendiri. Dalam setiap situasi, dan dalam
setiap orang Allah dapat menghadirkan dirinya.59 Pembedaan ini menjadi penting ketika
berbicara mengenai iman yang merupakan interpretasi sebagai wujud respons manusia. Ketika
manusia dalam keimanannya hanya ada dalam tatanan formalitas, maka makna pencarian
sebagai laku iman menjadi kosong, sehingga makna-makna baru yang dapat memperkaya diri
menjadi tidak diperolehnya. Oleh karena itu, iman dalam hal ini dapat dimengerti sebagai wujud
kebebasan manusia dalam merespons Allah.

2.1.3. Iman: Proses Pencarian Terus Menerus yang Terarah pada Allah
Analisa yang diberikan oleh Tom Jacobs dan John Hick memberikan kekhasan tersendiri
ketika berbicara mengenai iman. Memang analisa yang diberikan bukan merupakan
penggambaran final mengenai iman, namun dari kedua tokoh tersebut dapat dipahami bagaimana
58
John Hick, An Interpretation of Religion, ( London: Macmillan Press LTD, 1989), h. 159
59
John Hick, An Interpretation of Religion, ( London: Macmillan Press LTD, 1989), h. 160

23
sikap iman itu dapat dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Jacobs dan Hick dalam berbicara
mengenai iman ini memiliki pendekatan yang agak berbeda, namun perbedaan itu bukan berarti
tidak dapat direfleksikan bersama-sama. Perbedaan yang ada dari keduanya justru saling
melengkapi serta memperkaya berdasarkan perspektif masing-masing. Pertama-tama Hick dalam
analisanya mencoba mendekati iman sebagai wujud kedalaman diri yang terfokus pada Allah.
Dalam hal ini iman dilihat sebagai kebajikan diri, yang membutuhkan komitmen dan kesadaran
diri terdalam untuk menjalaninya. Lalu Jacobs menunjukkan betapa iman pun tidak terlepas dari
pengalaman. Iman yang perlu dilihat memiliki kedalaman yang berbeda dengan hanya sekedar
beragama ini perlu untuk memiliki tempat tersendiri dalam upaya merefleksikan dirinya dalam
relasinya dengan Allah (Sang Transenden). Oleh karena itu Jacobs menjelaskan betapa
pengetahuan, dan rasio penting dalam upaya untuk menghayati keimanan secara lebih
mendalam. Pengetahuan bagi Jacobs merupakan wujud realitas penampakan-penampakan yang
dikehendaki oleh Allah untuk manusia peroleh. Untuk itu pengetahuan berperan ketika manusia
hendak merespons wahyu-wahyu historis (Kitab Suci, dogma-dogma, pengalaman-pengalaman
spiritual), dan juga wahyu/penampakkan Ilahi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam
tatanan ini rasionalitas memainkan peran bagi manusia untuk memproses dan berefleksi atas
egneduta@gmail.com

penampakan tersebut. Untuk itulah maka Jacobs menjelaskan betapa iman berproses tanpa henti
ketika menghayati relasi dirinya dengan yang Ilahi.
Dalam kacamata filsafat kedua analisa tersebut berbicara dalam dimensi perennial. Hick
dan Jacobs masing-masing berbicara dalam dimensinya yang sama-sama memiliki tujuan yang
sama mengenai iman sebagai proses pencarian terus-menerus akan Allah. Filsafat perennial
sendiri juga sebenarnya hendak berbicara/memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada
dalam alam semesta ini dengan realitas terakhir (Tuhan).60 Pada proses tersebut bagi Jacobs dan
Hick iman amat berperan sehingga refleksi diri dalam upaya melihat keterkaitan tersebut dapat
dimaknai dengan lebih mendalam. Berdasarkan pendekatan Schuon dalam melihat kaitan
eksistensi dengan realitas terakhir, menurut penulis sendiri Hick lebih berbicara dalam dimensi
esoterik, sedangkan Jacobs lebih berbicara dalam dimensi eksoterik. Hal ini terlihat dari
pengertian betapa iman merupakan kebajikan diri dan prinsip diri kepada Allah. Untuk itu iman
memerlukan pengabdian diri yang terarah sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam proses ini Jacobs
menjelaskan dalam bagaimana pengetahuan dan rasionalitas amat berpengaruh dalam upaya
respons iman diri terhadap realitas yang ada. Allah yang mahakuasa dan Tunggal tersebut
memampukan dirinya untuk menampakkan diri pada realitas, baik terhadap pengalaman historis,

60
Budi Munawar Rachman, “Kata Pengatar”, dalam Komaruddin Hidayat & Muhamad Wahyuni Nafis,
Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 20

24
maupun pengalaman masa kini, bahkan Ia pun juga mampu untuk berbicara pada setiap diri.
Untuk itu Jacobs menjelaskan individu yang beriman harus mampu menanggapi dan berefleksi
dari hal tersebut sebagai wujud pencarian yang terus menerus akan Allah. Pencarian yang
dilakukan dari realitas tersebut yang nantinya akan membentuk diri dan menjadikan diri
memiliki pengabdian yang mendalam pada Allah. Menurut Hick pengabdian tersebut yang dapat
menjadi dasar juga bagi sikap/keimanan diri ketika berelasi atau ada didalam realitas juga.
Dari penjelasan dan analisa mengenai iman yang ada dari kedua tokoh ini memberikan
pemahaman tersendiri kepada kita mengenai iman. Dalam kajian kedua tokoh tersebut terlihat
betapa religiousitas memiliki peranan yang cukup penting. Iman juga dimaknai bukan sebagai
suatu elemen formalitas dalam kehidupan kekristenan. Iman yang kaku dan terbatas
menunjukkan keterbatasan pada dirinya sendiri. Memang dalam perkembangannya sulit untuk
melihat iman dan rasio jalan berdampingan. Tetapi perlahan-lahan mulai ada pengertian-
pengertian dan kebutuhan untuk melihat iman dalam terang rasionalitas. Walaupun memang
tidak dapat menggambarkan secara utuh bagaimana relasi atau gambaran akan yang Ilahi secara
penuh. Tetapi setidaknya pengenalan-pengenalan dapat juga dirasakan seiring pemeriksaan dan
keaktifan diri untuk senantiasa memberikan pertanyaan-pertanyaan atas apa yang terjadi. Oleh
egneduta@gmail.com

karena itu Aquinas dan Hick yang menunjukkan bahwa intepretasi sebagai respons manusia yang
beriman menjadi penting. Kesadaran bahwa yang Ilahi merupakan misteri tidak kalah penting
dalam rangka memberikan kesadaran kepada manusia untuk senantiasa tergugah dalam setiap
pencarian dan setiap pengungkapan yang boleh dirasakan dalam setiap pengalaman religius.
Pengertian dan pemahaman tentang iman ini menjadi penting bagi penulisan ini.
Pemahaman seseorang akan iman juga berpengaruh besar pada sikap dan ekspresinya. Pada
pembahasan selanjutnya pengertian-pengertian iman yang berdampak pada ekspresi seseorang
akan terlihat. Fundamentalisme sebagai pengertian maupun ‘ekspresi’ iman tidak jarang menjadi
pergumulan tersendiri dalam kehidupan sekarang ini. Untuk itu mari kita melihat lebih dalam
relasi yang ada antara iman dan fundamentalisme, serta responsnya terhadap pengalaman.

2.2. FUNDAMENTALISME

Pembahasan mengenai iman memampukan kita melihat makna yang lebih mendalam
mengenai iman itu sendiri. Pada bagian ini iman juga memiliki peranan tersendiri dalam
penghayatan diri seseorang akan sesuatu. Fundamentalisme salah satunya, yang merupakan
wujud nyata dari realitas kehidupan iman. Oleh karena itu pada bagian ini penulis akan
menjelaskan serta menganalisa fundamentalisme dalam kerangka yang lebih dalam.

25
Fundamentalisme yang tidak melulu terbatas hanya pada kelompok-kelompok tertentu. Tetapi
lebih dalam daripada itu fundamentalisme secara ideologis dan epistemologis yang menjadi
dasar utama laku iman seseorang. Oleh karena itu menarik bagi kita untuk mengetahui mengenai
bagaimana konsep-konsep fundamentalisme itu terbentuk, dan bagaimana proses kemunculan
fundamentalisme, serta respons fundamentalisme atas isu-isu dan peristiwa tertentu.

2.2.1. Realitas Fundamentalisme


Perkembangan zaman dan kehidupan modern, yang mengajak orang-orang untuk
semakin kritis terhadap realitas ternyata menuai berbagai tanggapan yang berbeda dari masing-
masing individu yang berproses didalamnya. Ada orang yang merespons secara baik sehingga
orang tersebut memiliki kekritisan dalam melihat segala sesuatunya, sehingga memunculkan
berbagai refleksi diri yang beragam dan produktif. Tetapi, disaat yang sama ada juga orang yang
menolak perkembangan tersebut, sehingga memunculkan fanatisme-fanatisme tersendiri dalam
rangka menunjukkan penolakan tersebut. Respons yang seperti ini secara sederhana bisa
dikatakan sebagai fundamentalisme. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (baca: KBBI)
fundamentalisme (fun·da·men·ta·lisI), adalah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot
egneduta@gmail.com

dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat
dalam kitab suci.61 Definisi tersebut menunjukkan respons penolakan fundamentalisme atas
modernitas, atau perkembangan-perkembangan yang dianggap mengganggu tatanan/prinsip-
prinsip dasar. Selain definisi tersebut, Nigel Dower juga menjelaskan mengenai definisi
fundamentalisme yang menarik untuk diperhatikan.62 Fundamentalisme dalam pencarian Nigel
Dower merupakan suatu gerakan yang disertai dengan sikap yang keras berdasarkan nilai-nilai
doktrin tertentu. Dalam hal ini bisa mencakup gerakan keagamaan, maupun gerakan politik yang
berbasiskan pada pembacaan literal serta ketaatan keras atas doktrin. Fundamentalisme juga
sangat mendukung penjelasan makna-makna secara literal. Kaum fundamentalis (para penganut
fundamentalisme) amat yakin bahwa nilai-nilai religius atau doktrin harus di implementasikan
secara literal, untuk itu maka tidak diperlukannya adaptasi maupun interpretasi-interpretasi
tertentu.63

61
http://kbbi.web.id/fundamentalis, diakses pada 29 April 2016.
62
Nigel Dower, “Development and Fundamentalism”, in Heidi and Christoph Stuckelberger (Ed.), Overcoming
Fundamentalism: Ethical Respons from Five Continents, 2009, Globethics.net Series No.2, h. 20. Dalam tulisannya
Nigel Dower mencoba melakukan pencarian atas konsep fundamentalist dengan konsep liberalist. Dalam tulisannya
ia menjelaskan bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama, namun dengan pemaknaan (ideologi) yang berbeda.
63
Nigel Dower, “Development and Fundamentalism”, in Heidi and Christoph Stuckelberger (Ed.), Overcoming
Fundamentalism: Ethical Respons from Five Continents, 2009, Globethics.net Series No.2, h. 20. Selain itu ada tiga
definisi lain yang Dower peroleh dari berbagai sumber berdasarkan pencariannya menggunakan Google untuk
melihat definisi-definisi populer atas fundamentalisme. Pertama, gerakan atau sikap yang keras untuk melakukan
ketaatan murni pada prinsip-prinsip dasar. Kedua, merupakan gerakan keagamaan atau cara pandang yang hendak

26
Definisi-definisi fundamentalisme yang ada tersebut sebenarnya hendak menunjukkan
betapa nilai atau prinsip yang ada memberi penggambaran pada penghayatan dan keyakinan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip sederhana. Fundamentalisme sebenarnya ada di berbagai
macam sektor baik ekonomi, politik, dan agama. Secara sederhana kita dapat mengenalnya
dengan mudah berdasarkan definisi yang ada tersebut. Dari beberapa sektor yang telah
disebutkan, ada salah satu sektor yang memperoleh perhatian khusus pada konteks sekarang ini.
Yaitu Agama, keagamaan memperoleh sorotan tersendiri ketika berbicara mengenai
fundamentalisme. Hal ini dikarenakan penghayatan dan pergerakan fundamentalisme yang ada
sangat berpengaruh bagi umat dari setiap agama.
Secara umum gerakan-gerakan keagamaan yang didasarkan atas nilai-nilai
fundamentalisme, dapat dikenali ketika mereka muncul di publik. Malise Ruthven menuliskan
ada beberapa peristiwa yang diindikasikan terpengaruh oleh nilai-nilai fundamentalisme agama.
Ruthven menuliskan salah satu peristiwa yang umum di kenal dengan istilah “911” 64. Peristiwa
ini terjadi ketika beberapa militan Islam (al-Qaeda) membajak tiga maskapai penerbangan
Amerika untuk melancarkan misi bunuh diri mereka (Jihad). Dari pembajakan yang dilakukan
akhirnya mereka melakukan aksi bunuh diri dengan menabrakkan pesawat tersebut ke gedung
egneduta@gmail.com

WCC di New York dan Pentagon yang merupakan markas besar militer AS dekat Washington.65
Ruthven menjelaskan walaupun memang peristiwa kekerasan atas nama agama yang terjadi saat
ini lebih banyak dilakukan oleh para fundamentalis Islam, namun tidak menutup kemungkinan
bahwa di dalam agama yang lain dapat ditemukan tindakan-tindakan kekerasan yang
mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip mendasar dari agama tersebut. Sri Lanka dan India
misalnya, kita juga dapat menemukan ketegangan yang terjadi antara para fundamentalis Sikh
dan Hindu yang melakukan kekerasan, bahkan tidak jarang memakan korban oleh karena
pengertian fundamental yang di pahami secara literal.66
Hal yang serupa juga terjadi pada kekristenan. Bahkan Ruthven mencatat sejak 1920-an
jurnalis Amerika, H. L. Mencken sudah menuliskan begitu banyak peristiwa yang di sebabkan
oleh para fundamentalis Kristen, dan itu hampir menyebar di seluruh bagian Amerika Serikat. 67
Mulai dari tindakan pembunuhan yang terjadi sebagai wujud penolakkan terhadap aborsi,

menekankan/menjalankan prinsip-prinsip fundamental (dasar), dengan ketaatan yang keras pada prinsip tersebut,
sehingga tidak mentolerir pandangan-pandangan lain, terlebih pada sekularisme. Ketiga, fundamentalisme
merupakan posisi keagamaan, memiliki karakteristik pada ketaatannya yang keras terhadap nilai-nilai dasar dan
prinsip-prinsip yang tradisional atas kepercayaan agama tersebut.
64
“911” merupakan peristiwa besar yang terjadi di Amerika Serikat. Peristiwa itu terjadi pada 11 September 2001,
dan memakan korban kurang lebih 3000 orang.
65
Malise Ruthven, Fundamentalism: The Search for Meaning, (New York: Oxford University Press, 2004), h. 2
66
Malise Ruthven, Fundamentalism: The Search for Meaning, (New York: Oxford University Press, 2004), h. 2
67
Malise Ruthven, Fundamentalism: The Search for Meaning, (New York: Oxford University Press, 2004), h. 1

27
maupun penolakkan-penolakkan lainnya atas modernitas, terlebih liberalisme. Menurut Ruthven
berdasarkan pada rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut membuat fundamentalisme menjadi
kata yang sangat familiar bagi kehidupan setiap orang pada masa-masa sekarang ini. Oleh karena
itu menjadi wajar jika hampir setiap hari kita dapat menemukan pembicaraan maupun
pemberitaan mengenai aksi-aksi teror yang dilakukan atas pengertian yang amat mendasar
terhadap nilai-nilai religius tertentu.
Setelah melihat dan mengetahui betapa realitas fundamentalisme ini merupakan suatu
keniscayaan dalam konteks masa kini, memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk
membahas secara lebih mendalam mengenai fundamentalisme dalam kekristenan. Hal ini amat
penting karena fundamentalisme sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai kelompok-
kelompok tertentu dalam suatu agama68, namun mencoba melihatnya secara lebih mendalam
sebagai suatu ideologi dan sikap tersendiri bagi setiap individu. Karna itu dalam prosesnya amat
penting untuk mengenal karakteristik fundamentalisme Kristen dan unsur-unsur yang ada
didalamnya, sehingga mampu memberikan pengaruh bagi seseorang untuk memiliki pemahaman
bahkan sikap tersendiri yang tanpa disadari dapat membawa individu tersebut pada tindakan-
tindakan yang menindas.
egneduta@gmail.com

2.2.2. Fundamentalisme Kristen


Fundamentalisme Kristen secara umum memang dapat dikenali. James Barr dalam
bukunya bahkan menuliskan beberapa ciri-ciri umum dan mendasar yang sering diidentikkan
orang sebagai pemahaman fundamentalisme Kristen.69 Ciri-ciri tersebut ialah:
a) Penekanan yang amat kuat pada ketidaksalahan (inerrancy) Alkitab. Bahwa Alkitab
tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun;
b) Adanya kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil
dan akibat-akibat studi kritik modern terhadap Alkitab;
c) Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan
mereka sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati’.
Perlu di pahami betul bahwa ciri-ciri yang ada tersebut memang tidak dapat
menggambarkan secara penuh dan utuh mengenai fundamentalisme Kristen. Barr bahkan
mengatakan bahwa ciri-ciri tersebut amat patut dikembangkan dalam upaya untuk mengenal
fundamentalisme Kristen. Dalam perkembangannya, fundamentalisme kini menjadi istilah yang
buruk di mata publik. Individu maupun kelompok yang dikenai dengan istilah ini bahkan

68
Hal ini didasarkan dari pengalaman pribadi penulis ketika banyak orang yang selalu mengidentikkan
fundamentalisme dengan kelompok-kelompok/gereja-gereja tertentu.
69
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 1

28
menolaknya, karena mereka tidak suka disebut demikian. Hal ini dikarenakan istilah tersebut
memiliki paradigma yang cukup buruk dimata orang banyak, dan dianggap juga memiliki unsur
fanatisme, menghambat kemajuan, menunjukkan kesempitan pandangan, juga sektarianisme
(semangat membela sekte).70 Oleh karena itu umumnya banyak orang yang dianggap
fundamentalis memilih untuk tidak disebut dengan istilah tersebut, dan memilih untuk disebut
dengan istilah lain. Walaupun memang apa yang dimaknainya bisa dikategorikan sebagai
fundamentalisme.
Walaupun fundamentalisme tidak dapat dengan mudahnya dikenakan kepada kelompok
maupun individu tertentu, James Barr tetap mencoba menjelaskan mengenai keunikan-keunikan
beberapa kelompok yang dianggap memiliki kenyakinan-keyakinan mendasar akan nilai-nilai
tertentu dalam kekristenan. James Barr mencoba menjelaskan perbedaan yang ada antara
Pentakosta, Kharismatik, dan Evangelis-Konservatif yang dianggap merepresentasikan Kristen
fundamentalis arus utama.71 Bagi Yahya Wijaya, berdasarkan penjelasan dari James Barr
tersebut dapat dikenali bagaimana posisi-posisi dari fundamentalisme Kristen. Dalam tulisannya
Yahya Wijaya menyertakan dua hal, yaitu fundamentalisme yang berfokus pada pendekatan-
pendekatan rasional (bebasiskan literatur), yang termasuk pada kelompok ini ialah Evangelis-
egneduta@gmail.com

Konservatif. Lalu fundamentalisme yang befokus pada pengalaman-pengalaman rohani (salah


satu contohnya penekanan pada bahasa roh), yang termasuk pada kelompok ini ialah
Kharismatik, dan Pentakosta fundamentalis.72
Pengelompokkan yang ada tersebut merupakan ciri-ciri yang secara sederhana coba
untuk dirumuskan. Tetapi perlu untuk disadari bahwa kecenderungan unsur-unsur
fundamentalisme itu ada di setiap orang Kristen, sehingga makna dari fundamentalisme tidak
hanya terbatas pada pengelompokkan itu saja, namun lebih dalam mengenai keyakinan serta
ideologi yang dihidupi oleh setiap orang. Oleh karena itu penulis hendak mengetahui lebih
mendalam mengenai fundamentalisme Kristen, terlebih pengaruhnya bagi orang-orang sehingga
mereka memiliki tindakan tertentu berdasarkan pada pemahaman-pemahaman yang fundamental
akan kekristenan. Dalam hal ini penulis hendak mendekatinya dari beberapa unsur seperti kitab
suci & dogma.

70
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 2
71
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 242
72
Yahya Wijaya, “The Economic Ethics of Christian and Islamic Fundamentalism”, in Heidi and Christoph
Stuckelberger (Ed.), Overcoming Fundamentalism: Ethical Respons from Five Continents, 2009, Globethics.net
Series No.2, h. 132

29
2.2.3. Kitab Suci & Dogma
Bisa dikatakan bahwa hampir semua teolog setuju jika fundamentalisme Kristen
memiliki cara/metode pembacaan Alkitab yang khas, dan disaat yang sama cara mereka dalam
melihat dan memaknai dogma juga dengan cara-cara yang mendasar serta tertutup (terbatas pada
beberapa hal yang memperoleh penekanan tersendiri). Alister McGrath, dalam bukunya
mencoba melihat beberapa keputusan-keputusan yang ada pada kekristenan yang dianggap
berbahaya.73 Salah satunya adalah tindakan serta pemikiran Martin Luther, yang berjuang agar
semua orang Kristen dapat membaca dan memahami Alkitab, hal ini ia lakukan dikarenakan
konteks pada saat itu melarang orang-orang Kristen awam untuk membaca dan memahami
Alkitab. Yang hanya diperbolehkan untuk membaca dan memahami Alkitab adalah para klerus
serta pejabat gereja lainnya. Para jemaat/orang Kristen awam hanya boleh mengerti dan
memahami Alkitab dengan pertolongan para imam. Dengan penuh perjuangan, akhirnya harapan
Luther tersebut berhasil, dan sampai dengan sekarang ini keputusan serta harapan Luther yang
memperbolehkan siapapun untuk membaca dan memahami Alkitab menjadi identitas tersendiri
bagi Kristen Protestan. Berdasarkan keputusan inilah McGrath melihat adanya dampak tersendiri
yang amat berbahaya bagi kehidupan kekristenan sekarang ini.
egneduta@gmail.com

McGrath melihat ide Luther yang sekarang menjadi identitas tersendiri bagi Kristen
Protestan, mengenai pembebasan pembacaan, serta interpretasi Alkitab bagi semua orang
memiliki dampak tersendiri yang cukup berbahaya. Memang di satu sisi hal ini memiliki makna
teologis yang dalam bahwa keselamatan dan karya-karya Allah layak untuk diketahui dan
dimaknai oleh setiap orang percaya, jika menggunakan istilah Luther “priesthood of all
believers” hendak menekankan fungsi imam pada umat yang memampukan umat untuk dapat
memaknai serta menginterpretasi Alkitab secara mandiri.74 Tetapi bagi McGrath hal tersebut
memiliki dampak tersendiri yang cukup berbahaya. Dengan memberikan otoritas pembacaan dan
pemaknaan Alkitab kepada semua orang percaya berarti Alkitab akan dimaknai sesuai dengan
kehendak penafsirnya, dan disaat yang sama orang-orang yang menafsir tersebut akan
menafsirkan hal-hal yang dirasa akan memuaskan dirinya, terlebih mengenai makna-makna
kebenaran yang dapat menguatkan kepercayaan mereka terhadap Sang Ilahi. Oleh karena itu bagi
McGrath penafsiran yang ada akan sangat bebas dan tak terkontrol, dan dari hal tersebutlah akan

73
Alister McGrath, Christianity’s Dangerous Idea, (Australia: HarperCollins Publishers, 2007), h. 2
74
Priesthood of all believer amat ditekankan oleh Luther mengingat betapa gereja sebelumnya membedakan dengan
tegas antara imam dengan umat (kaum awam), hal ini juga yang mempengaruhi otoritas atas Alkitab baik dalam hal
pembacaan maupun pemaknaannya. Lih. Alister McGrath, Christianity’s Dangerous Idea, (Australia: HarperCollins
Publishers, 2007), h. 3

30
muncul bibit-bibit awal pemaknaan-pemaknaan fundamentalistik yang dapat mengacu pada
tindakan/sikap yang sangat radikal dan juga individualistik.75
McGrath menunjukkan bahwa dalam upaya penafsiran yang dilakukan oleh seseorang
tidak terlepas dari lingkungan/konteks yang ada disekitarnya. Penafsiran dapat beragam namun
disaat yang sama keberagaman yang ada tergantung dari bagaimana setiap individu
melihat/merespons konteks.76 Begitu juga dalam fundamentalisme Kristen, setiap cara
penafsiran/pembacaan yang dilakukan merupakan respons atau bentuk sikapnya terhadap
konteks/realitas yang terjadi di sekitarnya. Itulah sebabnya fundamentalisme dalam kekristenan
tidak jarang dilihat sebagai bentuk proteksi diri dari perkembangan maupun keberagaman yang
ada pada konteks. Perkembangan dan keberagaman ini dilihat oleh fundamentalisme sebagai
realitas yang cukup mengancam keyakinan/sebutlah imannya. Untuk itu menarik jika melihat
bagaimana kaum fundamentalisme melakukan pembacaan atas Kitab Suci (Alkitab).
Gerrit Singgih dalam tulisannya menunjukkan mengenai kecenderungan-kecenderungan
cara membaca kitab suci secara fundamentalistik. Pertama-tama perlunya pengakuan yang tegas
mengenai otoritas kitab suci/Alkitab.77 Alkitab dalam hal ini dilihat sebagai teks suci yang tidak
dapat salah, karena Alkitab dilihat sebagai wujud pewahyuan Ilahi kepada manusia, serta bersifat
egneduta@gmail.com

objektif dalam arti yang sesungguhnya merupakan kata-kata dari Allah sendiri yang dapat
digunakan sebagai pedoman kebenaran dalam segala segi kehidupan manusia. Berdasarkan hal
ini maka otoritasnya tidak dapat diragukan, maupun dipertimbangkan ulang. 78 Berangkat dari
pengertian bahwa Alkitab memiliki otoritas yang tidak dapat diragukan memiliki dampak bagi
pembacaan atasnya yang cukup kaku/terbatas. Dalam hal ini Alkitab dibaca secara apa adanya,
atau dengan istilah yang cukup populer disebut dengan pembacaan secara ‘harafiah’.79
Dalam tulisannya Gerrit Singgih menunjukkan bahwa pembacaan fundamentalistik yang
apa adanya/harafiah terhadap Alkitab, ternyata tidak dilakukan/disikapi terhadap keseluruhan
bagian dari Alkitab. Hal ini ini ia temukan ketika melihat orang fundamentalis pada era perang

75
Alister McGrath, Christianity’s Dangerous Idea, (Australia: HarperCollins Publishers, 2007), h. 3
76
Dalam hal ini Mcgrath hendak menunjukkan betapa penafsiran protestan yang diajukan Luther amat kontekstual,
karena tidak menutup kemungkinan bahwa penafsiran yang dilakukan untuk mencoba menyentuh konteks yang
plural, dan dari penafsiran tersebut tumbuh kesadaran hidup bersama. Tetapi disaat yang sama dapat memunculkan
penafsiran yang menghindarkan diri dari konteks yang plural, untuk melindungi diri pada konteks yang aman bagi
dirinya. Lih. Alister McGrath, Christianity’s Dangerous Idea, (Australia: HarperCollins Publishers, 2007), h. 4
77
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 330
78
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 330
79
Pembacaan secara harafiah merupakan wujud pembacaan yang non-kritik, dalam arti teks dilihat seperti adanya
teks tersebut tanpa mencoba melakukan pemikiran yang lebih kritis atasnya, baik dalam segi grammar, maupun dari
segi hermeneutik. Lih. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 330

31
dingin mengenai pandangannya terhadap penciptaan dalam Alkitab.80 Untuk itu maka menurut
Gerrit Singgih pengakuan bahwa ketidakdapatsalahan pada teks Alkitab yang berujung pada
pembacaan harafiah merupakan sebuah pengakuan yang bersifat normatif dan bukan karena
keharafiahan dari teks itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh pengakuan yang dijelaskan Daniel
Lucas Lukito. Ia menunjukkan bahwa inerrancy bukan merupakan sebuah kepercayaan yang
bersifat empiris. Inerrancy juga bukanlah suatu metode induksi melainkan juga deduksi. Gerrit
Singgih mencoba memperjelas dengan suatu hipotesa berdasarkan 1 Petrus 2:22. Berdasarkan
hal tersebut dapat dikatakan jika ada teks yang mengemukakan bahwa Yesus marah atau tidak
mengetahui akhir zaman, teks tersebut tidak dapat dijadikan bukti untuk memperlihatkan
kebersalahan Alkitab. Dalam arti lain secara prinsip Yesus tidak pernah marah dan mengetahui
akhir zaman, dan itulah kebenaran Alkitab yang hendak disampaikan. Jika pada akhirnya
ditemukan bahwa ada teks Alkitab yang mengatakan bahwa Yesus marah maka teks tersebut
harus diabaikan. Hal ini menunjukkan adanya seleksi dalam membaca teks Alkitab, jika ada teks
yang menunjukkan Yesus marah, maka teks tersebut harus diabaikan. Hal ini menunjukkan
adanya seleksi dalam membaca teks Alkitab, jika ada teks yang menunjukkan Yesus marah,
maka teks tersebut harus diabaikan.81 Berangkat dari penegasan ini maka bisa dikatakan bahwa
egneduta@gmail.com

ketidakdapatsalahan pada Alkitab bersifat normatif dan tidak disikapi hal tersebut pada seluruh
bagian Alkitab. Berdasarkan dari hal ini juga menurut Gerrit Singgih bisa dikatakan bahwa
metode pembacaan harafiah yang dilakukan oleh mereka merupakan metode pembacaan dengan
sistem keterpilihan/seleksi terhadap ayat-ayat maupun bagian teks Alkitab tertentu yang tentu
jika sesuai dengan doktrin, keyakinan, bahkan kepentingan mereka.82 Jika sesuai maka teks
tersebut diterima dengan apa adanya, teks atau bagian bacaan memiliki nilai/makna yang tidak
sesuai dengan doktrin mereka maka teks tersebut diabaikan.
Proses pemilihan/istilah Gerrit Singgih seleksi pada bagian kitab suci ini berdasarkan
kesesuaian pada doktrin sebenarnya tidak begitu dirasakan (atau mungkin tidak disadari) oleh
para pembaca fundamentalis, hal ini dikarenakan mereka berangkat dari asumsi bahwa mereka
‘alkitabiah’ dalam arti mereka yakin sudah membaca keseluruhan bagian Alkitab. Padahal
menurut Gerrit Singgih berdasarkan analisanya tersebut mereka hanya berasumsi saja sudah
membaca keseluruhan bagian Alkitab, sebenarnya yang sudah dibaca/dikuasai hanyalah bagian-

80
Gerrit Singgih melihat adanya unsur-unsur dalam Alkitab yang dilihat tidak harafiah kembali oleh karena memang
unsur-unsur penciptaan di dalamnya ternyata tidak sesuai secara tepat dengan ilmu pengetahuan yang berkembang.
Hal ini ia temukan ketika membahas mengenai creationists yang dilihat menjaga apa yang biasa disebut dengan
creation-science, yaitu sains yang bertolak dari pemahaman mengenai alam semesta sebagai ciptaan. Lih. Gerrit
Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 331-332
81
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 332
82
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 333

32
bagian tertentu/ayat-ayat tertentu dalam Alkitab yang dianggap sesuai dengan doktrin mereka,
dan bagi mereka bagian-bagian yang dipilih tersebutlah yang dianggap sudah mewakili seluruh
Alkitab. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa para kalangan fundamentalis yang membaca
Alkitab secara harafiah/apa adanya berarti mereka melakukan pola tersebut pada teks-teks yang
sesuai dengan doktrin mereka dan dipahami serta dimengerti/bermakna secara harafiah.
Sedangkan bagian yang lain dalam Alkitab tidak akan memperoleh pembacaan yang sama, dan
bagian yang lain tersebut akan dimaknai secara alegoris/metaforis.83

2.2.4. Dampak dari Pemahaman Fundamentalisme


Pada bagian ini menarik untuk melihat contoh nyata dari proses pembacaan Alkitab
secara fundamentalis, dalam hal ini dengan metode harafiah atas teks-teks tertentu. Charles
Kimball menunjukkan contoh nyata yang terjadi di Amerika Serikat, mengenai pembacaan
harafiah atas teks-teks tertentu sebagai yang dijadikan legitimasi/pembenaran atas tindakan yang
dilakukan oleh suatu kelompok yang berbasiskan pemahaman fundamentalis. Dalam bukunya
When Religion Becomes Evil ia menunjukkan adanya peristiwa yang terjadi pada 10 Maret 1993,
pada saat itu Dr. David Gunn yang merupakan dokter di sebuah klinik aborsi di Pensacola,
egneduta@gmail.com

Florida di tembak di depan kliniknya sendiri oleh Michael Griffin, yang menamakan dirinya
seorang Kristen fundamentalis. Dalam proses tersebut ternyata ada orang lain yang bernama Paul
Hill yang muncul/menampakkan diri dihadapan publik seraya menunjukkan serta membenarkan
peristiwa yang dilakukan oleh Michael Griffin tersebut. Ternyata dalam proses penyelidikan
diketahui bahwa Paul Hill merupakan tokoh yang berpengaruh dalam gerakan ekstrimis
antiaborsi. Paul Hill secara tegas dan lantang menyuarakan aksi untuk membunuh orang-orang
yang dianggap terlibat, maupun yang mendukung terjadinya proses aborsi. Dalam
perkembangannya setelah peristiwa Dr. David Gunn, ternyata peristiwa pembunuhan terjadi lagi
kepada Dr. John Britton di klinik yang sama di Pensacola pada 29 Juni 1994.84
Jika hendak melihat serta menganalisa lebih mendalam mengenai peristiwa ini maka
dapat diketahui bahwa Paul Hill dan teman-temannya yang menyuarakan dengan tegas akan aksi
untuk membunuh orang-orang yang terlibat dalam proses aborsi ternyata hal tersebut merupakan
bagian dari Organisasi Kristen Nasional, yang biasa disebut dengan “the Army of God”.
Organisasi tersebut saling berkomunikasi, berbagi sumber, dan melakukan rapat-rapat
tersembunyi untuk merencanakan aksi. Mengenai tindakan mereka atas kasus aborsi ini, mereka
mengklaim memiliki landasan yang kuat serta dapat dipertanggungjawabkan untuk dijadikan
dasar dari tindakan mereka yang membunuh dokter-dokter yang bekerja di klinik aborsi
83
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 333
84
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 52

33
tersebut.85 Landasan utama itu didasarkan pada teks-teks Alkitab yang mereka pahami, dan
menguatkan mereka untuk melakukan tindakan tersebut. Ayat-ayatnya ialah:
 Mazmur 106:37 – Mereka mengorbankan anak-anak lelaki mereka, dan anak-anak
perempuan mereka kepada roh-roh jahat
 Yeremia 9:1 – Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka
siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!
 Galatia 1:10 – Jadi bagaimana sekarang: adalah kucari kesukaan manusia atau kesukaan
Allah? Adalah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba
berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.
 Ibrani 12:4 – Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan
darah.
Ayat-ayat tersebut oleh kelompok/Organisasi Kristen Nasional dijadikan sebagai
landasan klaim kebenaran mereka yang dapat menguatkan mereka ketika melakukan tindakan
pembunuhan sebagai reaksi tegas mereka terhadap aborsi. Ayat-ayat tersebut mereka pilih dan
mereka tafsirkan begitu saja, atau secara harafiah. Mereka melihat makna teks Alkitab tersebut
secara apa adanya tanpa mencoba memahami secara mendalam dengan hermeneutik tertentu
egneduta@gmail.com

untuk sekedar melihat makna yang hendak disampaikan melalui bagian Alkitab tersebut. Atas
bagian bacaan tersebut dengan mudahnya mereka melihat bahwa teks itu mewujudkan dirinya
seraya hendak menunjukkan betapa aborsi salah dan harus disudahi aktivitasnya. Akan tetapi
tanpa sadar usaha mereka untuk memperjuangkan ‘kebenaran’ yaitu menghilangkan aborsi untuk
menyelamatkan nyawa anak-anak/manusia, dengan cara-cara yang justru menghilangkan nyawa.
Ternyata apa yang mereka perjuangkan tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan dalam
proses memperjuangkan nilai tertentu.
Dari tindakan tersebut maka dapat dilihat betapa klaim kebenaran yang hendak mereka
perjuangkan ternyata tidak sesuai dengan tindakan yang mereka lakukan. Bagaimana tidak
pembunuhan yang dilakukan sebenarnya menunjukkan betapa pengertian yang mereka miliki
akan makna ‘kebenaran’ sangatlah terbatas. Dari cara mereka menyikapi teks-teks kitab suci
menunjukkan bahwa mereka mencoba memilih teks-teks tertentu dan menafsirkannya sesuai
dengan kepentingan perjuangan yang hendak mereka lakukan. Tanpa disadari hal tersebut
sangatlah membatasi diri akan makna-makna Alkitab yang sebenarnya tak terbatas.
Berdasarkan analisa yang menunjukkan bagaimana fundamentalisme bertindak dan
melihat realitas menunjukkan betapa karakteristik fundamentalisme yang amat menghindari

85
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 52

34
keberagaman, serta menjunjung tinggi keseragaman. Dimulai dari cara pembacaan apa
adanya/harafiah yang cukup problematis dan disaat yang sama menunjukkan betapa
fundamentalisme amat menghindarkan dirinya terhadap realitas lain yang berada diluar dirinya
bahkan diluar keyakinannya. Caputo menjelaskan bahwa “dunia” masa kini dalam kacamata
fundamentalisme dilihat bagaikan lakon “Sodom dan Gomora” yang ada dalam Alkitab.
Homoseksualitas, perceraian, feminisme, seks bebas, kehamilan di luar pernikahan, HIV-AIDS,
dan aborsi dilihat sebagai kehancuran pada dunia. Dalam tatanan ini mereka (kaum
fundamentalisme) menganggap diri mereka sebagai pihak yang harus hadir untuk
‘menyelamatkan’ dunia dari dosa-dosa maupun kekacauan tersebut. Hal inilah yang
mengarahkan pada tindakan militan yang didasarkan pada ayat-ayat Alkitab untuk
membenarkan/melegitimasi tindakannya atas nama kebenaran Allah.86
Dari perspektif terhadap realitas tersebut menunjukkan betapa mereka amat menghindari,
dan bahkan menolak pluralitas. Hal ini terwujud dari sikap yang hendak melawan dan membatasi
kebebasan, hak untuk memilih, dan hak untuk berbeda. Sebagai bukti, penolakan terhadap
realitas-realitas tersebut yang dianggap sebagai wujud dosa tertentu dan harus diatasi. Bagi
seorang fundamentalis hal kebebasan baik untuk memilih dan hidup berbeda dilihat sebagai
egneduta@gmail.com

kemerosotan moral, kegilaan dunia, serta pemberhalaa. Pada saat yang sama hal tersebut
dianggap mengganggu keyakinan mereka akan dogma atau kepastian tertentu. Para
fundamentalis melihat hal tersebut sebagai suatu kesesatan yang harus dihadapi dengan tindakan
keras. Terbukti betapa tindakan yang ditunjukkan “mengepalkan tinju” dan berdiri di sekeliling
Firman Allah yang dilihat oleh mereka sebagai sesuatu yang konstan, yang dapat menjaganya di
tengah-tengah dunia yang menggila ini. Firman Allah dilihat sebagai satu-satunya jangkar yang
kepadanya para fundamentalis berpegang dengan keharafiahannya. 87 Penolakan yang
ditunjukkan terhadap pluralisme ada dalam taraf yang amat memprihatinkan. Bagi fundamentalis
ketika dunia semakin beragam/pluralis semakin mereka mempertahankan diri dengan
mengalungkan ayat-ayat dan dogma-dogma terhadap dirinya dan menjadikannya tameng tertutup
dalam menghadapi konteks plural tersebut.88
Dengan caranya yang seperti ini menurut Caputo para fundamentalis menunjukkan
betapa kegairahan yang ekstrem dengan memperjuangkan nilai tertentu melalui diri Allah yang
dijadikan nama ‘terror’. Bagi Caputo hal ini amat membatasi Allah itu sendiri, bahkan aksi-aksi
maupun tindakan yang dilakukan oleh para fundamentalis menunjukkan betapa keterbatasan-

86
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, terj. Martin Sinaga, (Bandung: Mizan, 2003), h. 124
87
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, terj. Martin Sinaga, (Bandung: Mizan, 2003), h. 124
88
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, terj. Martin Sinaga, (Bandung: Mizan, 2003), h. 125

35
keterbatasan yang ada ketika kasih Allah yang tak terbatas itu dipadatkan pada hal-hal tertentu
untuk melegitimasi keyakinannya. Untuk itu secara definitif Caputo menjelaskan bahwa
fundamentalisme merupakan usaha untuk menciutkan kasih Allah ke dalam bentuk kepercayaan
dan praktik, membuat berhala dari sesuatu yang sebenarnya dirajut dari kain keberhinggaan,
serta menjadikan sesuatu yang terbuat dalam sejarah dengan stempel keabadian. Dalam hal ini
Caputo melihat bahwa fundamentalisme mempresentasikan kegagalan dalam menghadapi denyut
religius, suatu kegagalan untuk melihat betapa cinta-kasih Allah yang tak terbatas itu dapat
mengambil rupa dan bentuk yang tak terhitung dan tak terjelaskan.89

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang ada mengenai iman dan fundamentalisme kita dapat melihat
betapa iman memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan beragama. Iman yang
seharusnya dimaknai secara luas terkadang sulit untuk bisa dimengerti dalam kehidupan sehari-
hari. Fundamentalisme sebagai wujud sikap beriman menunjukkan betapa pemahaman akan
iman yang kurang tepat dapat menghasilkan sikap yang merugikan tatanan kehidupan. Dalam
analisa yang ada amat menunjukkan betapa fundamentalisme sebagai wujud sikap yang terbatas
egneduta@gmail.com

membuat pemaknaan-pemaknaan baru dan yang seharusnya dilihat sebagai point penting dalam
kehidupan beragama menjadi kabur. Dengan adanya fundamentalisme menunjukkan betapa
kehidupan beragama yang ada hanya ingin berada dalam tatanan yang nyaman dan tak tersentuh.
Sehingga kehidupan beragama yang fundamentalis ini menunjukkan dirinya sebagai kelompok
yang tak mau tersentuh perkembangan atau setidaknya kekritisan dalam kehidupan beragama.
Untuk itu makna iman yang lebih dalam dari hanya sekedar agama amat perlu dilihat dan
diperhatikan kembali dalam kehidupan masa kini. Dalam bab selanjutnya kita akan melihat
analisa yang ada mengenai Derrida. Derrida dalam perkembangannya terakhir cukup
memberikan perhatian yang mendalam terhadap perkembangan agama. Agama di satu sisi dapat
dilihat sebagai anugerah, namun disisi yang lain juga dapat dilihat sebagai musibah. Dengan
istilah Derrida agama tanpa agama (religion without religion)90 hendak menunjukkan betapa
agama mulai kembali menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara-cara yang baru, namun yang
tetap menjaga/menyebarkan kepastian-kepastian. Untuk itu dalam merespons hal ini Derrida
menunjukkan betapa pentingnya iman dalam kehidupan beragama agar diri tidak membatasi diri
hanya pada klaim-klaim kebenaran yang akhirnya bermuara pada kekerasan atas nama agama.

89
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, terj. Martin Sinaga, (Bandung: Mizan, 2003), h. 126
90
Jacques Derrida, kekerasan “Agama Tanpa Agama”, h. 73-96. Dalam Thomas Santoso (ed), kekerasan agama
tanpa agama, Jakarta: PT Pustaka Utan Kayu.

36
BAB III
AGAMA & YANG ILAHI MENURUT JACQUES DERRIDA

Pendahuluan
Pada bab ini Jacques Derrida beserta dengan pemikirannya akan menjadi pembahasan yang
utama. Latar belakang sejarah kehidupannya, pemikirannya dalam alam postmodernisme,
differance, dan dekonstruksi menjadi pokok yang tidak dapat dilepaskan ketika hendak berbicara
mengenai Derrida. Pada prosesnya kita akan melihat betapa perjalanan pemikiran Derrida juga
menyentuh dimensi agama dan iman. Dengan differance dan dekonstruksinya, Derrida hendak
menunjukkan dimensi yang berbeda mengenai agama dan sosok Yang Ilahi.

3.1. Latar Belakang Sejarah

Derrida secara khusus memang tidak pernah menuliskan otobiografi secara utuh
mengenai dirinya. Dia beralasan bahwa seorang filsuf harus lebih mementingkan karya dan
pemikirannya ketimbang kisah hidupnya.91 Namun, menjadi menarik ketika hendak membahas
egneduta@gmail.com

pemikiran Derrida, kita mencoba juga untuk melihat latar belakang kehidupannya secara
sederhana.92 Derrida merupakan seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu
wilayah Aljazair yang cukup terpencil, pada Juli 1930. Masa kecil Derrida dipenuhi dengan
kekerasan dan perang, hal ini dikarenakan Aljazair, tempat dimana ia dilahirkan ketika itu ada
dalam masa penjajahan Prancis. Menurut Al-Fayyadl, situasi yang terjadi di Aljazair tersebut
memberikan berkah tersendiri bagi Derrida, karena ia dapat melihat sendiri betapa kekuasaan
kolonial mencengkeram sekaligus menindas tanah-tanah jajahan di dunia ketiga. Dalam karya-
karya dan pemikiran Derrida nantinya dapat ditemukan betapa Derrida memiliki sikap yang
cukup keras terhadap penindasan-penindasan yang terjadi. Tidak menutup kemungkinan
perlawanan tersebut merupakan wujud refleksi dari pengalamannya sendiri ketika ia kecil.
Derrida sedari kecil sudah membaca dan mengenal Rousseau, Gide, dan Nietzsche. Menurut
penelusuran Hardiman, dari buku-buku yang ia miliki dan ia baca, Derrida menemukan
keteduhan tersendiri.93 Sebagai seorang keturunan Yahudi, Derrida juga pernah mengalami
diskriminasi dalam kehidupannya yang terjadi pada masa pemerintahan Vichy di Prancis, yang
ketika itu berkolaborasi dengan Nazi Jerman. Situasi ini pada akhirnya membuat Derrida

91
Kristine McKenna, “The Three Ages of Jacques Derrida: An Interview with the Father of Deconstructionism”, LA
Weekly, 8-14 November 2002.
92
Untuk semua data biografis Derrida, saya mengacu pada F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta:
Kanisius, 2015), h. 274 dst. Serta Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 2 dst.
93
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 275

37
dikeluarkan dari sekolahnya, sehingga membuat Derrida sempat berfikir untuk menjadi
pesepakbola atau aktor.
Pada tahun 1952 ia berhasil masuk ke Ecole Normale Superieure (ENS), sekolah
bergengsi yang telah meluluskan banyak filsuf Perancis. Setelah selesai dengan pendidikan di
hypokhagne, asrama persiapan masuk Ecole Normale, ia berkenalan dengan dosen-dosen yang
terkenal, seperti: Louis Althusser, Michel Foucault, Pierre Bourdieu, dll. Sekitar tahun 1953
sampai 1954 Derrida mempelajari arsip-arsip Husserl di Universitas Leuven Belgia. Hal
tersebutlah yang membuatnya menulis disertasi dengan judul Le Probleme de la genese dans la
philosophie de Husserl (Masalah Asal-usul dalam Filsafat Husserl, 1954). Setelah itu sekitar
tahun 1960 sampai 1964 Derrida mengajar di Universitas Paris I Sorbonne-Pantheon, ia juga
sempat menjadi asisten Ricoeur sebelum kemudian kembali ke Ecole Normale sebagai pengajar.
Oleh karena kegemilangannya Derrida sempat dinominasi untuk menggantikan kedudukan
Ricoeur di Universitas Nanterre, namun menteri pendidikan perancis saat itu, Alice Saunier-Seite
menolaknya. Penolakan yang ada tersebut memberikan kepahitan tersendiri di hati Derrida.
Sejak saat itu juga Derrida mulai banyak mengalihkan kesibukannya ke luar Perancis, yaitu
Amerika Serikat, dan mulai dari Amerika Serikat Derrida menjadi filsuf internasional yang
egneduta@gmail.com

semakin dikenal.94
Pada 1967, Derrida melakukan serangkaian kuliah yang disampaikan pada konferensi
Baltimore, Amerika Serikat. Pada tahun ini Derrida menerbitkan tiga bukunya: of
Grammatology, Writing and Differences, dan Speech and Phenomena. Bisa dikatakan of
Grammatology merupakan karya besar Derrida. Pada buku tersebut ia memulai sebuah proyek
filsafat yang berbasis pada tulisan, sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi logosentrisme
dalam metafisika barat.95Ketiga buku Derrida tersebut dihasilkan atas sejumlah esai hasil
pembacaannya atas Jean-Jacques Rousseau, Ferdinand de Saussure, Husserl, Levinas,
Heidegger, Bataille, Hegel, Foucault, Descartes, Levi-Strauss, Freud, Edmond Jabes, dan
Antonin Artaud. Lima tahun berikutnya, pada tahun 1972, Derrida menerbitkan dua bukunya,
yaitu Disemination dan Margins of Philosophy. Pada tahun yang sama terbit juga wawancaranya,
Positions. Setiap tahun sesudah itu Derrida secara berturut-turut mempublikasikan buku dan
sejumlah esai. Hingga kini, bibliografi karya Derrida sudah mencapai lebih dari 60 buku dan
ratusan esai yang diterbitkan secara massal di jurnal-jurnal internasional.96

94
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 276
95
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 5
96
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 6

38
Selain karya-karya tulisnya yang fenomenal, ternyata Derrida memiliki prinsip yang kuat,
terlebih dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan. Hal itu ditunjukkannya dari beberapa aksi
yang ia lakukan. Mulai dari perlawanannya terhadap komunisme totaliter terutama di
Cekoslovakia, dimana dalam hal ini ia berpartisipasi dalam komunitas kampanye solidaritas
bersama dengan para intelektual disiden. Atas perlawanannya tersebut Derrida dipenjara di
Praha, dengan tuduhan menyeludupkan narkoba. Namun atas campur tangan dari Presiden
Francois Mitterand Derrida dapat dibebaskan. Tidak hanya itu, Derrida juga berkampanye
melawan apartheid dan rasisme dalam berbagai bentuk, membela kaum imigran di Prancis, serta
melawan terorisme negara.97 Pada 9 Oktober 2004 Derrida meninggal. Berita duka cita tersebut
diumumkan secara resmi oleh kantor Presiden Republik Prancis, peristiwa ini cukup langka
bahwa pemerintah memberi pengakuan pada seorang filsuf akademis yang karya-karyanya sulit
dibaca dan berdiri di sayap Kiri politik yang waktu itu dipimpin sayap Kanan, Jacques Chirac. 98
Derrida dalam karya-karyanya yang fenomenal, ia berhutang budi kepada Heidegger,
Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, dan Saussure. Hal tersebut tertuang dalam esai-
esainya, maupun pada cara pembacaannya terhadap teks-teks filsafat. Namun bagi Derrida,
Heidegger tetap memberikan warna tersendiri. Hal ini dikarenakan Heidegger-lah orang pertama
egneduta@gmail.com

yang mempertanyakan ontologi dan juga memulai diskusi filosofis atas metafisika. Semangat
yang sama diwarisi Derrida dari Nietzsche, yang telah membebaskan metafisika dengan
permainan dan sinismenya yang khas tersebut. Hal yang serupa juga dialaminya dari Adorno,
Levinas, dan Freud, yang bagi Derrida lebih dari sekedar memberikan nuansa baru bagi
pemikiran filsafat, tetapi juga ada nilai yang menumbangkan klaim-klaim modernitas dan proyek
emansipasi khas Pencerahan. Untuk itu menurut Al-Fayyadl dalam proses memahami Derrida
kita juga perlu memahami posmodernisme. Hal ini dikarenakan adanya kaitan yang kuat antara
Derrida dan posmodernisme yang tidak dapat dilepaskan. Terlihat dari bagaimana kritik teks dan
pembacaan diskursif melalui dekonstruksi telah ikut berpartisipasi dalam mengawali lahirnya
posstrukturalisme yang merupakan bagian dalam posmodenisme. Oleh karena itu menjadi
penting untuk mengerti posmodernisme dalam konstruksi pemikiran filsafat, yang didalamnya
juga Derrida melakukan filsafatnya.

3.2. Modernisme dalam Krisis

Dalam upaya membahas postmodernisme memang kita juga harus mengenal modernisme
yang menjadi dasar dari respons kritis postmodernisme. Modernisme sendiri muncul di awal

97
Barry Stocker, Derrida on Deconstruction, (New York: Routledge, 2006), h. 6
98
Barry Stocker, Derrida on Deconstruction, (New York: Routledge, 2006), h. 3

39
abad pencerahan (Aufklärung), abad ke-18. Modernisme ini dipahami sebagai suatu proses
berkembangnya dan menyebarnya rasionalitas Barat ke segenap segi kehidupan manusia serta
tingkah laku sosialnya. Kehadiran manusia di dunia sebagai ‘aku’ identik dengan ‘rasio’
(kesadaran). Rasio diyakini juga sebagai suatu kemampuan otonom yang dianggap mampu untuk
mengatasi kekuatan metafisik dan transcendental. Ia mengatasi semua pengalaman yang bersifat
partikular dan khusus, dan juga dianggap dapat menghasilkan kebenaran mutlak, universal dan
tidak terikat wahyu.99
Sebelum membahas lebih jauh, perlu diperhatikan juga perbedaan yang mendasar antara
konsep modern, modernitas, dan modernisme. Konsep modernism biasanya dikaitkan dengan
fenomena dan kategori kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan penggalan sejarah atau
periodisasi. Sementara konsep modernitas digunakan untuk menjelaskan mengenai totalitas
kehidupan. Jika hal ini dikaitkan dengan eksistensi manusia dalam ruang dan waktu, maka
Heidegger menjelaskan dalam karyanya mengenai Nietzsche, sebagaimana dikutip oleh David
Michel Levin dalam The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, bahwa
apa yang disebut dengan periode modern adalah yang dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan
bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua yang ‘ada’ (beings).100
egneduta@gmail.com

Dunia modern Barat ini muncul melalui spirit yang berkembang di abad Renaissans, yang
dengan gemilang telah meruntuhkan prasangka-prasangka teologis dan metafisis atas alam
semesta. Oleh karena itu adanya pergeseran mendasar dalam pola pikir masyarakat modern
Barat, yaitu pergeseran dari metafisik ke rasional-empiris, yang telah menghasilkan penemuan-
penemuan sains dan teknologi yang luar biasa. Hal ini bisa dikatakan semakin mengukuhkan
kebenaran rasionalitas daripada kebenaran teologis. Pada alam berfikir Barat inilah rasionalitas
dijadikan sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran masyarakat modern Barat. Rasionalitas
inilah juga yang diagung-agungkan sebagai alat terakhir dalam menjelaskan segala sesuatu yang
dianggap nyata.101
Menurut Santoso, realitas modern yang seperti itu tidak terlepaskan juga dari prinsip
dasar filsafat Hegel yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang real adalah rasional dan segala
yang rasional adalah real. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu dapat dimengerti, segala
sesuatu dapat mewujudkan dirinya dalam ide, yaitu unsur yang rasional. Penting untuk

99
Listiyono Santoso, Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Listiyono Santoso,
dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media), h. 329. Wacana yang mengistimewakan rasio tersebut
tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Rene Descartes (1596-1650) yang mencanangkan cogito ergo sum.
100
Listiyono Santoso, Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Listiyono Santoso,
dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media), h. 329
101
Listiyono Santoso, Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Listiyono Santoso,
dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media), h. 329

40
diperhatikan bahwa rasionalitas dalam tatanan filsafat Hegel ini dianggap sebagai representasi
satu-satunya bagi ukuran kebenaran, karena adanya penempatan rasionalitas absolut yang dilihat
menentukan dan mengatur tatanan-tatanan yang ada. Oleh karena itu sesuatu yang real adalah
rasional dan segala yang rasional adalah real hendak menunjukkan realitas rasional absolut
tersebut. Tatanan inilah juga yang menghasilkan nilai-nilai modernisme yang dilihat senantiasa
‘bergerak maju’ dan teratur. Dalam tatanan tersebut pemikiran khas Cartesian yang dikenal
dengan semangat humanismenya juga memiliki andil dalam menyabut modernisme. Dalam
semangat humanisme ini menjadikan manusia dengan segala kemampuan rasionalnya sebagai
‘aku’ (subyek) yang sentral dan menjadi pusat dalam pemecahan masalah dunia. Berangkat dari
wawasan humanisme khas Cartesian yang bersifat sangat mekanistis, dalam arti pengertian
bahwa rasio dijadikan sebagai ukuran tunggal ‘kebenaran’, dan ‘mesin’ yang menjadikannya
sebagai paradigma tunggal dalam mewujudkan mimpi-mimpi maupun harapan utopis manusia
modern akan kekuasaan.102
Pada sepanjang abad ke-19 dan ke-20, proyek modernitas juga terus berlanjut meliputi
berbagai bidang kehidupan manusia. Proyek modernitas tersebut menggunakan ukuran ‘bergerak
maju’ atau kemajuan menjadi arah dan tujuan gerakan. Kemajuan dilihat sebagai emansipasi
egneduta@gmail.com

dalam arti memampukan manusia untuk terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan.
Modernitas ditandai dengan grand-narrative, dan meta-narrative.103 Kisah-kisah besar yang
memiliki fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos
yang mendasari masyarakat primitif. Tetapi hal tersebut tidak sama dengan mitos dalam
masyarakat primitf, grand-narrative tidak berusaha mencari legitimasi dalam suatu peristiwa
yang terjadi pada awal kehidupan (seperti penciptaan dewa-dewa), namun dalam suatu masa
depan, dalam suatu ide yang harus diwujudkan, yang bersifat universal dan berlaku dimana-
mana. Sebagai contoh, emansipasi progresif dari rasio dan kebebasan dalam liberalisme politik.
Selain itu juga adanya emansipasi para pekerja melalui perjuangan sosialisme, kemajuan umat
manusia melalui perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalis, dan sebagainya.104
Apakah konsep grand-narrative seperti itu terbebas dari masalah? Ternyata tidak, grand-
narrative yang dilahirkan pada masa modernisme tersebut ternyata memiliki kegagalan karena
bukan memberikan kemajuan bagi peradaban manusia, namun justru semakin menjerumuskan
manusia dalam keadaan dehumanisasi. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya genocida terhadap

102
Listiyono Santoso, Purnawacana: Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Listiyono Santoso,
dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media), h. 330
103
Modernitas ini juga yang menghasilkan kapitalisme, tanpa disadari kapitalisme justru memberikan jarak semakin
ekstrem antara kaum elit, dan kaum proletar. Kapitalisme muncul dengan semangat ‘pembebasan’ yang sama.
104
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 348

41
kaum Yahudi oleh Hitler, yang membantai enam juta orang Yahudi oleh nasionalisme-sosialisme
Jerman. Peristiwa ini dianggap sebagai bukti yang menunjukkan betapa modernism justru gagal
untuk memajukan peradaban umat manusia. Sebagai peristiwa lainnya adalah benturan
peradaban Barat terhadap Islam, Kristen versus Islam di Ambon, suku Dayak dan Madura di
Sampit, menunjukkan betapa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai salah satu
bagian dari ‘proyek’ modern justru memberikan dan menampilkan ketakutan bagi sebagian besar
masyarakat, yaitu perang, pencemaran lingkungan, dst.105
Dari hal-hal tersebut menunjukkan betapa proyek modernitas semakin tampak jelas
dalam suatu kondisi yang krisis. Hal tersebut merupakan akibat tersendiri dari adanya logika
dominasi sains dan teknologi yang secara totalisme rasional diperagakan oleh masyarakat
modern, hal ini juga yang secara langsung memicu lahirnya pemikiran postmodern sebagai
respons kritik atas kehidupan dan unsur-unsur modern. Berdasarkan penjelasan dan analisa
tersebut postmodern mencoba menunjukkan adanya pergeseran yang hendak menjelaskan bahwa
pengetahuan tidak lagi harus dilegitimasi oleh suatu kesatuan (homology) melainkan oleh
keberagaman (paralogy). Oleh karena itu juga istilah-istilah kunci dalam postmodern tidak lagi
mengenai dialektika ruh, emansipasi, kebebasan, dan sebagainya, melainkan pluralisme,
egneduta@gmail.com

fragmentasi, heterogenitas, skeptisisme, dekonstruksi, ambiguitas, ketidakpastian dan perbedaan.

3.3. Post-modern-isme dan Bayang-Bayang Derrida

Postmodernisme merupakan istilah akan jaman dimana pemikiran filsafat memperoleh


perkembangannya yang fenomenal. Tidak ada definisi yang benar dan pasti mengenai
postmodernisme, bahkan sampai dengan sekarang postmodernisme bisa dikatakan berada dalam
wilayah gelap, yang masih senantiasa didiskusikan bahkan dipertentangkan keberadaannya.106
Tetapi dalam proses ini kita masih bisa mengenal karakteristik dari postmodernisme secara
sederhana.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai lembaran baru dalam dunia filsafat pasca-
Nietzsche. Jean-Francois Lyotard (1924-1998) melalui karya seminarnya, The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge, menjelaskan bagaimana asumsi-asumsi filosofis

105
Oleh Derrida dibahas secara mendalam pada kekerasan agama tanpa agama. Dalam tulisan Derrida tersebut
secara sederhana menunjukkan betapa kepentingan dalam struktur pemikiran modern menunjukkan kekuasaan yang
mendiskriminasi dan memberikan penderitaan terhadap yang lemah dan terpinggirkan. Hal tersebut terwujud nyata
dari kekerasan-kekerasan yang didasarkan pada pembacaan tertentu. Lih. Listiyono Santoso, Purnawacana:
Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta:
AR-RUZZ Media), h. 331
106
Dinamika akan diskusi postmodernisme tersebut dijelaskan dengan apik oleh Sugiharto. Ia pun menjelaskan
bahwa diskusi serta pemaknaan-pemaknaan akan postmodernisme itu masih tetap berjalan sampai dengan sekarang
ini. Lih. I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 15-21

42
modernisme sedikit demi sedikit mulai berguguran dan kehilangan legitimasinya. Lyotard
menyebutkan asumsi-asumsi tersebut sebagai “narasi-narasi besar” (grand narratives) yang basis
legitimasinya berupa rasionalisme, positivisme, materialisme, dan humanisme. Semua paham
tersebut melegitimasi proyek-proyek Pencerahan (renaissance) seperti Kebebasan, Kemajuan,
serta Emansipasi.107 Dari sederetan narasi tersebut pada intinya hendak menegaskan posisi
manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusatnya. Menurut Al-Fayyald dalam era Postmodern
narasi-narasi tersebut dianggap telah usang dan tidak relevan lagi, karena ditemukan bahwa
kedudukan manusia dengan rasionya bukanlah segala-galanya, dan bahwa pengetahuan manusia
tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif, namun lahir dari pengalaman yang sering kali
ambigu, eksistensial, dan dramatik.108 Lyotard juga menegaskan betapa narasi-narasi besar para
filsuf pencerahan tersebut terbukti otoriter karena menyatukan segala bentuk pengetahuan ke
dalam suatu sistem yang tunggal, koheren dan stabil. Berangkat dari perspektif tersebut,
postmodern hadir dan dimaknai sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar,
yang menjelma dalam filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk sistem pemikiran
yang menotalisasi.109
Heri Santoso dalam tulisannya juga menjelaskan mengenai respons kritis
egneduta@gmail.com

postmodernisme terhadap modernisme, yaitu pertama, modernisme dianggap gagal mewujudkan


perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana yang diinginkan oleh para pemikir dan
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern pun juga dianggap tidak mampu melepaskan
dirinya dari kesewenang-wenangan serta adanya penyalahgunaan otoritas, hal ini yang nantinya
dapat terlihat pada hasrat akan kebenaran yang menghasilkan klaim-klaim kebenaran tunggal
universal. Ketiga, adanya semacam konstradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan
ilmu-ilmu modern. Hal ini yang oleh Derrida ditunjukkan bahwa adanya keambiguan dalam
perkembangan filsafat modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia serta
lingkungannya. Nyatanya keyakinan tersebut keliru dan tidak dapat terwujudkan ketika
kelaparan, kemiskinan, serta kerusakan lingkungan terus terjadi dan menyertai perkembangan
ilmu pengetahuan serta teknologi. Kelima, ilmu-ilmu modern dianggap kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia, karena terlalu menekankan pada atribut
fisik individu, terutama rasio.110

107
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 27
108
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 10
109
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 11
110
Heri Santoso, Metode Dekonstruksi Jacques Derrida: Kritik Atas Metafisika dan Epistemologi Modern, dalam
Listiyono Santoso (ed), Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2016), h. 248

43
Pada dasarnya, rangkaian permainan kata dari “post-modern-isme” telah menunjukkan
betapa kehadirannya merupakan respons kritis atas alam berfikir filsafat modern dengan
konstruksi-konstruksi yang ada pada dirinya, terkhusus responsnya pada filsafat masa
pencerahan (renaisans). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ketika rasio diagung-
agungkan, maka dapat terlihat betapa hasrat akan kebenaran – yang tunggal – menjadi hasrat
yang terbesar dalam dunia filsafat. Hal inilah yang memunculkan konstruksi-konstruksi tertentu
yang dibangun demi memperoleh kebenaran tunggal. Dalam istilah Foucault, pada akhirnya
rezim-rezim kekuasaan senantiasa ada di balik segala pengetahuan.111 Diskursus postmodern
yang hendak mempertimbangkan ulang segala pemikiran filsafat modern dengan segala klaim-
klaim kebenarannya membuat postmodernisme sendiri tidak terikat pada satu pengertian,
melainkan terbuka dan merangkul berbagai penafsiran yang berbeda dengan tujuan untuk
membendung ambisi modern sebagai proyek pemikiran dan konsekuensi-konsekuensi negatif
yang ada padanya. Oleh karena itu postmodernisme merupakan gerakan yang sangat beragam.
Hal ini sesuai dengan nilai postmodernisme yang merayakan perbedaan, serta menolak untuk
mereduksi segala hal ke dalam satu pengertian atau pola tertentu.112
Dari karakteristik postmodernisme tersebut membuat banyak orang menempatkan
egneduta@gmail.com

Derrida sebagai salah satu pemikir berpengaruh dalam era perkembangan postmodernisme.113
Postmodernisme yang diwarnai oleh beragamnya pemikiran membuat pengelompokkan
pemikiran-pemikiran harus dilakukan dengan hati-hati. Demikian juga yang dilakukan oleh
Sugiharto yang mencoba memberikan pengelompokkan pemikiran postmodernisme secara kasar.
Ia mencoba membaginya menjadi kelompok “Dekonstruktif” dan kelompok “Konstruktif” atau
revisioner. Pada kelompok Dekonstruktif dapat dikelompokkan pemikiran-pemikiran dari
Derrida, Lyotard, Foucault dan mungkin Rorty. Sedangkan pada kubu konstruktif atau revisioner
dapat kita masukkan misalnya Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse.114

111
Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), h. 11. Untuk itu maka Foucault mengajukan
kecurigaan yang luar biasa terhadap kekuasaan yang di balik segala konstruksi berfikir, yang menghasilkan
pendekatan-pendekatan atas kejahatan dan penyiksaan, serta seksualitas.
112
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 11. Keragaman-keragaman tersebut dapat terlihat
pada bentuk reaksi dan sikap para penggagasnya dalam memperlakukan/menanggapi modernisme.
113
Tidak jarang Jacques Derrida bersama-sama dengan Paul Ricoeur, Michel Foucault, Jean Baudrillard, dan Gilles
Deleuze dikatakan juga sebagai pemikir-pemikir post-strukturalis, oleh karena pemikiran-pemikiran kritisnya
terhadap apa saja yang mengklaim diri/pemikirannya sebagai kepastian tunggal. Lih. Haryatmoko, Membongkar
Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), h. 7-9
114
Dalam ragam pemikiran postmodernisme yang tak pernah usai tersebut memang sulit jika hendak memberikan
pengelompokkan yang tepat. Untuk itu pengelompokkan tersebut dengan hati-hati coba diberikan berdasarkan
karakteristik yang ada. Dekonstruksi dilihat sebagai pemikiran yang mempertimbangkan serta membongkar segala
pemikiran modern yang penuh dengan keterbatasan dan klaim-klaim kebenaran. Tapi disaat yang sama ada
pemikiran konstruktif/revisioner yang membongkar pemikiran-pemikiran, namun disaat yang sama masih berupaya
untuk mempertahankan beberapa aspek lain kemodernan yang di anggap penting dan bahkan mengolahnya secara

44
Dari pengelompokkan yang dilakukan Sugiharto (jangan dilihat sebagai pengelompokkan
baku) maka terlihat bahwa Derrida ada bersama-sama dengan pemikir yang lain dalam kelompok
dekonstruktif. Hal tersebut cukup sesuai ketika kita hendak melihat pemikiran Derrida secara
mendalam, bahkan dapat dikatakan dari pemikiran Derrida tersebut juga yang membuat bayang-
bayangnya memainkan peranan tersendiri dalam perkembangan postmodernisme. Seperti yang
sudah dijelaskan bahwa postmodernisme merupakan masa yang merespons filsafat pasca-
Nietzsche, di saat yang sama postmodernisme tidak dapat dijelaskan kedalam satu definisi yang
baku oleh karena sifatnya yang memberikan tempat akan keterbukaan. Hal ini menjadikan
bayang-bayang Derrida dalam perkembangan postmodernisme juga menjadi hal yang penuh
dengan permainan, dalam arti tidak dapat didefinisikan secara tunggal bagaimana peranan dari
pemikiran Derrida.115 Walaupun begitu setidaknya kita dapat mengenal bagaimana bayang-
bayang Derrida bermain dalam perkembangan postmodernisme.
Bayang-bayang Derrida memiliki peranannya sendiri dalam menghiasi dunia
postmodern. Tanggapan serta respons kritisnya atas konstruksi filsafat modern seperti
metafisika, logosentrisme, dianggap menjadi peranan yang penting dalam dunia postmodern.
Dari respons Derrida atas pemikiran-pemikiran tersebut memberikan buah-buah pemikiran yang
egneduta@gmail.com

unik, sekaligus kontroversial sampai dengan sekarang ini. Buah-buah pemikiran Derrida tersebut
ialah permainan kata penuh makna differance, dan dekonstruksi. Kedua hal tersebut merupakan
sebagian dari pemikiran-pemikiran Derrida yang lain. Dari kedua pemikiran tersebut secara
sederhana Derrida hendak menekankan betapa filsafat merupakan wacana sastra manusia yang
sama dengan wacana-wacana lainnya, yang disadari penuh tidak dapat berbicara mengenai
kebenaran absolut, serta tidak terkungkung dengan waktu oleh karena sifatnya yang abstrak. Dari
hal ini Derrida hendak menunjukkan bahwa filsafat pada dasarnya adalah sastra (teks) yang
dapat dimaknai beragam.116 Hal tersebut semakin menunjukkan betapa pemikiran Derrida hadir
merespons pemikiran serta konstruksi Barat yang selama ini terkesan sempurna dan tak tersentuh
(baik dominasi, maupun kekuasaannya). Untuk itu mari mendekati lebih dalam kedua pemikiran

baru dalam upaya mengkonstruksikan sebuah gambaran-dunia yang baru pula. Lih. I. Bambang Sugiharto,
Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 16
115
Penulis menyebutkan Derrida sebagai bayang-bayang dalam postmodernisme oleh karena Derrida membuka diri
untuk ditafsir secara luas dan tak terbataskan. Goenawan Mohamad dalam tulisannya pada pendahuluan buku
“Derrida” mengutip wawancara terakhir Derrida di surat kabar Le Monde, yang terbit pada Agustus 2004. Dari
kutipan tersebut berintikan bahwa Derrida melihat ‘kematian’-nya dalam tulisannya. Atau dalam arti lain
ketidakhadiran yang selalu membelah merasuk ke dalam tulisan. Pernyataan Derrida hendak menyampaikan betapa
Derrida dalam tulisan dan pemikirannya “muncul-dan-lenyap” karena ia pun menyadari bahwa pada tulisannya
tersebut otoritasnya sudah tidak ada pada dirinya, tulisannya dengan bebas dapat ditafsirkan amat beragam.
Meskipun begitu tanpa sadar dalam tafsiran yang beragam tersebut Derrida tetap muncul, namun tidak dapat muncul
sepenuhnya. Lih. Goenawan Mohamad, Sebuah Rekomendasi untuk La Survie, dalam Muhammad Al-Fayyadl,
Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. xii
116
Kevin O’Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), h. 25

45
Derrida tersebut, yang didalamnya kita dapat melihat bagaimana pergulatan Derrida untuk
meretas dominasi, otoritas, maupun kekuasaan yang selama ini ada dalam konstruksi filsafat
Barat.

3.4. Dekonstruksi

Jacques Derrida muncul dengan pemikiran-pemikirannya yang kontroversial.


Dekonstruksi salah satunya menjadi pemikiran yang senantiasa memperoleh tanggapan beragam
dari para pembacanya, bahkan sampai dengan sekarang ini. Banyak yang melihat dekonstruksi
sebagai metode yang relativis, atau bahkan nihilistik terhadap diskursus, sehingga tak jarang
dekonstruksi dikatakan sebagai intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) yang tidak berisi
apa-apa selain permainan kata-kata. Sebagai contoh ketidakgemaran terhadap Derrida adalah
ketika seorang profesor di Amerika, dengan setengah sinis, mengejek kaum dekonstruksionis,
telah keracunan virus bernama derridium, ini merupakan kata yang diplesetkan dari delirium,
yaitu semacam gangguan mental yang mengakibatkan halusinasi, kesintingan, dan delusi yang
melambangkan bahwa penderitanya mengalami instabilitas emosi, dan pikiran.117
Tidak mau terjebak pada kontroversi yang ada membuat penulis hendak melihat lebih
egneduta@gmail.com

mendalam mengenai dekonstruksi. Hal ini penting untuk tidak terjebak pada klasifikasi maupun
legitimasi orang lain terhadap dekonstruksi. Sebenarnya bagaimana dekonstruksi itu bekerja
dalam pemikiran filsafat secara mendalam perlu memperoleh perhatian dan pembahasannya
tersendiri. Dekonstruksi, banyak yang mengatakan bahwa dekonstruksi merupakan metode yang
membingungkan, metode yang “kosong” tak berdasar, dan sebagainya. Sebenarnya jika mengacu
pada Derrida, ia tidak pernah mengatakan dekonstruksi sebagai ‘metode’. Bahkan Derrida
cenderung untuk menghindari definisi yang baku akan dekonstruksi itu sendiri.118 Untuk itu
dalam proses memahami pemikiran Derrida, terkhusus dekonstruksi ini, kita harus melihatnya
secara lebih luas. Pemikiran Derrida muncul ketika modernisme dan proyek Pencerahan seperti
yang diperjuangkan para filsuf berhaluan humanis sedang mengalami krisis yang begitu akut,
dan mendekati titik-titik kehancurannya. Proyek Pencerahan yang memiliki hasrat besar akan
kebenaran (metafisika, logosentrisme) dianggap usang, karena pada akhirnya para pemikir-
pemikir modern tidak dapat memunculkan kebenaran yang seutuhnya.119 Dalam konteks yang
seperti ini Derrida dengan dekonstruksinya muncul untuk membongkar struktur pemikiran yang

117
Dinamika pemikiran Derrida dapat dilihat lebih lengkap pada, Jacques Derrida, Writing and Difference, h. 307-
330
118
Penghindaran diri dari definisi tunggal/baku inilah yang memberikan kesan bahwa dekonstruksi tak berdasar,
relativistik, dan nihilistik.
119
Lihat pembahasan pada bagian sebelumnya mengenai “Post-modern-isme dan Bayang-Bayang Derrida”

46
ada, serta mempertimbangkan ulang segala konstruksi yang dihasilkan oleh filsafat
modern/proyek Pencerahan tersebut.
Dalam konteks seperti ini perlahan-lahan kita mulai memahami bagaimana dekonstruksi
itu memainkan peran dalam filsafat. Walaupun anti metode dan menghindari definisi tunggal,
setidaknya kita dapat mencoba mengenali lebih mendalam dekonstruksi dari tinjauannya atas
filsafat modern. Al-Fayyadl menegaskan jika hendak mengenal dekonstruksi secara mendalam,
harus dimengerti bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori dalam pengertian yang normal,
melainkan teori yang membuka diri untuk ditafsirkan oleh siapa pun, dikarenakan dimensinya
yang amatlah luas.120 Pada proses pemahaman ini analisa dari McQuillan dapat menolong.121
Menurutnya ada “lima strategi” untuk memahami dekonstruksi.
Pertama, kata “cara” (dalam cara baca) atau “metode” sebetulnya tidak tepat digunakan
untuk dekonstruksi. Derrida sendiri menyebutnya dengan “pas de methode”, dan makna dari kata
pas dalam bahasa Prancis berarti “tidak” atau “langkah”. Oleh karena itu, dekonstruksi bukanlah
metode122, namun disaat yang sama ia juga sekaligus suatu “langkah”. Dengan istilah F. Budi
Hardiman, hal ini dapat dimengerti dengan peristiwa pembacaan.123 Ia tidak dapat diulangi
seperti metode, disaat yang sama ia singular dan unik, oleh karena ia adalah peristiwa.
egneduta@gmail.com

Dekonstruksi bisa dikatakan mustahil karena ia membiarkan yang lain berbicara, sehingga tujuan
pemahaman – Istilah Hardiman – Sang Pemahaman dibuat sia-sia oleh kemunculan yang lain
tersebut.124
Kedua, dekonstruksi menyangkut kontaminasi atau “bartardisasi” oposisi-oposisi biner
(pasangan makna yang berlawanan). Oposisi-oposisi biner, seperti: kultur/natur,
rasional/irasional, maskulin/feminine, fiksi/realitas, manusia/hewan, aktivitas/pasivitas,
absen/presen, ordol/chaos, dst., beroperasi dalam seluruh peradaban Barat yang berkontribusi
bagi pembangunan hierarki makna dengan mengunggulkan salah satu. Berdasarkan hal tersebut

120
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 8
121
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 278. Untuk ulasan yang lebih lengkap. Lih.
Martin McQuillan, “Introduction: Five Strategies for Deconstruction”, dalam: Martin McQuillan (ed.),
Deconstruction. A Reader, Edinburg University Press, Edinburgh, 2000, h. 3-42
122
McQuillan mengatakan “tak ada perangkat aturan, tak ada kriteria, tak ada prosedur, tak ada program, tak ada
urutan langkah-langkah, tak ada teori untuk diikuti dalam dekonstruksi. Lih. Martin McQuillan, “Introduction: Five
Strategies for Deconstruction”, dalam: Martin McQuillan (ed.), Deconstruction. A Reader, (Edinburg: University
Press, 2000), h. 4
123
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 278
124
Hal ini dapat dimengerti jika melihat dekonstruksi memainkan peran dalam membongkar segala pemikiran
filsafat modern. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang bagi unsur-unsur maupun hal-hal yang selama ini
terpinggirkan karena hasrat untuk merumuskan kebenaran. Dari proses tersebut dekonstruksi memungkinkan
munculnya makna-makna baru dalam proses/penafsiran yang baru pula. Lih. Haryatmoko. 2016. Membongkar
Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius, h. 134

47
menurut McQuillan dekonstruksi menempuh dua “tahap”. 125
Pertama, oposisi biner itu harus
dibalikkan, misalnya, pria/wanita, menjadi wanita/pria, lalu ditunjukkan bahwa seluruh makna
teks sebenarnya telah didikte oleh oposisi biner tersebut. Dengan membalikkan makna oposisi
seperti itu, diharapkan tercipta suatu keseimbangan, namun hal tersebut tidaklah cukup tanpa
tahap kedua. Pada tahap kedua ini, setelah makna tersebut dibalik, sistem pemikiran yang didikte
oposisi biner tersebut haruslah disingkirkan, sehingga istilah-istilah dalam oposisi biner tersebut
dipikirkan tanpa pemikiran biner kembali. Jika pemikiran biner ini tidak dihentikan, maka
pembacaan hanya akan terjebak ke dalam logika biner yang lain (menciptakan makna
perlawanan/ketidaksetaraan yang baru). Bagi Hardiman proses yang ada tersebut akan
menunjukkan bahwa kutub-kutub yang ada dalam oposisi-oposisi tersebut tidak dapat dijaga
kemurniannya dan konsistensinya. Kedua kutub tersebut akan saling menodai, yaitu
mendekonstruksi diri.126 Secara mendalam Derrida menjelaskan hal ini pada differance untuk
menjelaskan kontaminasi tersebut.
Ketiga, dekonstruksi memberikan perhatian pada yang terpinggirkan. Dalam oposisi-
oposisi biner yang sudah dijelaskan tadi merupakan istilah yang berada di pusat dan ada juga
yang di pinggiran, yaitu yang marjinal. Dekonstruksi meminati dan memberikan perhatian
egneduta@gmail.com

mendalam pada yang marjinal tersebut. Jika hendak kembali pada oposisi biner tadi maka
dekonstruksi memberikan perhatiannya pada wanita, emosional, terbelakang, dst. Dalam hal ini
dekonstruksi hadir bukan untuk membela mereka, melainkan untuk membiarkan bahwa
marjinalisasi (juga sentralisasi) itu menjadi proses yang tidak konsisten pada dirinya sendiri.
Perlu untuk diperhatikan bahwa dekonstruksi tidak memasukkan kekuatan dari luar ke dalam
teks, melainkan memberi tempat bagi kekuatan yang sebenarnya sudah ada pada teks itu
sendiri.127 Oleh karena itu pada proses ini bisa dikatakan bahwa teks tersebut mendekonstruksi
dirinya sendiri. Yang marjinal dalam oposisi biner tersebut tidak pernah stabil, dan dekonstruksi
hadir untuk memberikan tempat, serta peranan pada instabilitas itu.
Keempat, dekonstruksi adalah sejarah. Pengertian ini dapat dimengerti ketika istilah yang
selama ini diunggulkan dalam oposisi biner, seperti pria, rasional, progresif, tidak stabil, artinya
mereka mendekonstruksi diri mereka sendiri di dalam sejarah. Budi Hardiman menjelaskan
betapa setiap kata atau istilah memiliki sejarahnya, dari sejarah tersebut memperlihatkan bahwa
istilah yang diunggulkan juga tidak pernah stabil dan tidak tetap, mereka senantiasa memiliki

125
Martin McQuillan, “Introduction: Five Strategies for Deconstruction”, dalam: Martin McQuillan (ed.),
Deconstruction. A Reader, (Edinburg: University Press, 2000), h. 12
126
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 280
127
Dekonstruksi yang memberikan perhatian pada unsur-unsur yang termarjinalisasi tersebut membuat teks yang
ada menjadi kacau pada dirinya sendiri. Lih. F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h.
280

48
jaringan dengan hal-hal lain. Sebagai contoh, istilah “subyek” (pasangan binernya “objek”)
senantiasa berubah dalam runtutan sejarah Barat. Subyek dalam teologi Yahudi-Kristiani
berbeda dari subyek Cartesian (cogito), lalu subyek menurut Cartesian pun berbeda dengan
subyek Freudian atau Lacanian.128 Dapat terlihat betapa sulit untuk mempertahankan
homogenitas dalam istilah “subyek” tersebut. Derrida juga memberikan contoh lain untuk
menunjukkan betapa makna dapat mendekonstruksikan dirinya. Ia memberikan contoh konsep
“narkoba”, baginya konsep tersebut tidak dapat berdiri sendiri, karena pada dirinya terkait
jejaring makna yang berkelindang dengan politik, ekonomi, kesusastraan, sejarah pemikiran
Barat, metafisika, dll. Hal tersebut hendak membuktian bahwa dekonstruksi berciri historis,
tetapi ciri historisnya itu tanpa sejarah, karena pembacaan dekonstruktif tidak mengasalkan
dirinya pada suatu konsep induk tertentu di masa lalu, melainkan membiarkan hal-hal yang lain
untuk terkait dengannya, yang muncul di seputar konsep tersebut.129
Kelima, tidak ada yang bebas-teks. Derrida mengungkapkan hal menarik dalam bahasa
Prancis dalam De la grammatologie, yaitu il n’y a pas de hors-texte (tak ada yang di luar teks).
Dari ungkapan ini Derrida hendak menjelaskan betapa dekonstruksi itu tidak membedakan antara
teks dan konteks (kedua hal ini juga merupakan oposisi biner). Bagi Derrida apa yang biasanya
egneduta@gmail.com

disebut sebagai konteks, seperti persoalan sejarah, politik, kebudayaan, agama, ekonomi, dst,
tidak berada di luar teks, melainkan sudah ada di dalam teks dan dapat diakses, diperiksa
langsung di dalam teks tersebut. Oleh karena itu dalam proses pembacaan dekonstruksif, makna
teks lebih dilihat pada rangkaian jejak-jejak (trace, yang disebut juga sebagai peristiwa), yaitu
konteks-konteks yang ada di dalam teks itu, yang memberikan teks tersebut makna.
Dari kelima analisa yang telah dijelaskan tersebut memberikan pemahaman bahwa
dekonstruksi hadir sebagai wujud respons kritis atas unsur-unsur yang ada dalam filsafat Barat,
baik itu dari oposisi biner, dari penunggalan makna, dan konstruksi sejarah. Sejauh dipahami
bahwa dekonstruksi bukanlah metode memberikan kebebasan bagi dekonstruksi untuk
memainkan peran atas unsur-unsur filsafat Barat tersebut. Jati diri dekonstruksi yang melampaui
metode memberikan tempat tersendiri bagi dirinya untuk bebas memainkan peran yang tiada
henti bagi pembongkaran-pembongkaran atas unsur-unsur filsafat Barat. Dekonstruksi juga
menawarkan perubahan pada pemahaman yang selama ini dilihat sebagai sesuatu yang sudah
pasti dan tidak dapat terubahkan, familiar, diwariskan, dan sesuai dengan tradisi. Perubahan yang

128
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 281
129
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 281. Berdasarkan penjelasan tersebut
McQuillan juga menegaskan betapa dekonstruksi membatalkan oposisi biner antara historisme/formalisme. Lih.
Martin McQuillan, “Introduction: Five Strategies for Deconstruction”, dalam: Martin McQuillan (ed.),
Deconstruction. A Reader, (Edinburg: University Press, 2000), h. 35

49
hendak diajukan oleh dekonstruksi dengan jejak-jejak maupun peristiwanya hendak memberikan
pesan mendalam untuk membuka diri secara radikal dan bebas pada perspektif-perspektif baru.
Dalam proses dan upaya pencarian perspektif maupun makna-makna baru inilah yang juga dapat
kita temukan dalam permainan kata penuh makna differance. Dari differance terlihat betapa teks-
teks maupun unsur-unsur ternyata amat ambigu sehingga kepastian, maupun ketunggalan makna
menjadi hal yang mustahil.

3.5. Differance

Jika hendak mengenal dan mengetahui pemikiran Derrida, maka kita tidak dapat luput
dari pembahasannya mengenai Differance. Sesungguhnya Differance secara sederhana
merupakan wujud pemikiran Derrida dalam menghadapi teks. Tetapi perlu ditekankan di sini
bahwa Differance bukanlah metode, dan cara-cara yang baku dalam mendekati suatu teks seperti
metode-metode hermeneutik yang ada selama ini. Derrida menjelaskan bahwa Differance
merupakan sebuah kata tanpa konsep, dalam arti tidak ada langkah-langkah maupun metode
yang baku dalam Differance. Tetapi walaupun tanpa konsep bukan berarti Differance tidak dapat
dijelaskan, atau setidaknya dipahami.130 Sebelumnya perlu diketahui, bahwa istilah Differance
egneduta@gmail.com

pertama kali diperkenalkan oleh Derrida pada ceramahnya di depan Societe francaise de
philosophie pada 27 Januari 1968.131 Kosa kata yang digunakan oleh Derrida ini sebenarnya
merupakan neologi yang digunakannya untuk menggantikan kosa kata-kosa kata lama yang
baginya telah usang atau tidak memadai.132 Secara sederhana kita dapat melihat kemiripan antara
differance dan difference, yang berarti “perbedaan”. Tetapi, differance lebih dari sekedar
perbedaan yang menunjukkan ketidaksamaan antara dua hal tersebut. Hal ini dikarenakan
differance merujuk pada “penundaan” yang tidak memungkinkan sesuatu
(makna/kebenaran/logos) hadir. Pengertian ganda ini dipicu oleh ambivalensi huruf a dalam
differ(a)nce, yang memiliki dua makna: “membedakan/menjadi berbeda” (to differ) dan
“menunda” (to defer). Huruf a menggabungkan sekaligus dua makna tersebut dalam satu kata.
Bagi Derrida penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce, merupakan strategi tekstual
untuk menunjukkan watak ambigu bahasa.133

130
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, terj. Alan Bass, (Sussex: The Harvester Press, 1982), h. 3
131
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, terj. Alan Bass, (Sussex: The Harvester Press, 1982), h. 1, dan Jacques
Derrida, “Difference”, h. 278
132
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 110. Coba jelaskan pembacaannya atas
Nietzsche, Saussure, Levinas, dsb
133
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 110. Keambiguan bahasa tersebut Derrida
tegaskan dengan pernyataan, it is read, or it is written, but it cannot be heard. Jadi kata tersebut dapat dituliskan dan
di baca namun bagi Derrida tidak dapat didengarkan (perbedaannya tidak dapat dikenali ketika disebutkan), karena

50
Keambiguan dan wajah ganda yang dimiliki oleh differance juga menandakan
perlawanan terhadap dominasi tuturan dalam metafisika. Dengan penggantian huruf yang ada
menunjukkan betapa ucapan yang dalam kacamata metafisika dianggap prioritas, ternyata tidak
mampu melukiskan makna, dalam hal ini makna kata dari differance tersebut. Berdasarkan
penjelasan mengenai susunan kata dalam differance terlihat betapa keduanya hanya dapat
dikenali jika ada dalam bentuk tulisan, dan maknanya akan kabur jika diucapkan dengan
suara.134 Untuk itu berangkat dari differance, Derrida hendak mengawali lahirnya sebuah era
baru metafor yang kaya akan makna, serta menandai kematian makna literal yang selama ini
mendapat tempat istimewa dalam filsafat. Differance yang bukanlah metode, maupun konsep
tertentu yang tetap menunjukkan betapa differance tidak memiliki eksistensi atau esensi, serta
tidak dapat dikategorikan ke dalam suatu bentuk kehadiran, juga absensi. Hal ini menunjukkan
bahwa differance lebih merupakan suatu strategi – istilah Derrida, Petualangan – untuk
memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan terhadap
totalitas makna dalam teks.135 Menurut Al-Fayyadl, sebagai sebuah strategi, differance dapat
ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran (adanya kekuasaan dalam
penafsiran), sejarah, atau hal apapun yang senantiasa berupaya untuk membakukan makna,
egneduta@gmail.com

memberi penafsiran tunggal terhadap realitas, dan juga menghadirkan satu model pembacaan
atas segala sesuatu. Bagi Derrida semua hal tersebut adalah “teks”, dan sejauh dipahami sebagai
teks maka hal tersebut sangat terbuka untuk dibaca, dibongkar, serta ditafsirkan ulang secara
terus-menerus tanpa pernah usai.136 Untuk itulah Derrida mengoperasikan differance untuk
membedah secara radikal kelemahan-kelemahan internal dari metafisika Barat (yang merupakan
teks juga).
Dalam proses pemahaman akan differance ini, Budi Hardiman memberikan penjelasan
yang menarik. Ia mencoba berangkat dari analisa Derrida atas pemikiran Husserl yang mencoba
membedakan dua aspek tanda.137 Bagi Husserl ada perbedaan mendasar antara tanda yang
menyatakan kelangsungan, kehadiran, kedekatan, serta kesadaran, dan dengan tanda yang

bunyi dari hasil pengucapannya akan sama kedengarannya. Itulah wujud nyata dari keambiguan bahasa. Lih.
Jacques Derrida, Margins of Philosophy, h. 4
134
Dalam bahasa Prancis, akhiran a dan e dalam sufiks -ance atau -ence dibunyikan dengan tanda fonetik yang
sama. Oleh karena itu maka differance dan difference, akan sama bunyinya jika dilafalkan dengan suara. Lih.
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 111
135
Menurut Derrida differance selain merupakan strategi, ia juga merupakan suatu petualangan. Karena differance
(yang merupakan strategi) bukanlah sembarang strategi seperti yang kita kenal selama ini yang berorientasi pada
taktik menuju tujuan akhir (telos, atau tema dominasi maupun kekuasaan tertentu). Differance merupakan ‘strategi’
tanpa akhir, atau bisa juga disebut sebagai ‘taktik buta’. Untuk itu permainan-permainan tanpa akhir menjadi bagian
penting dalam proses differance ini. Lih. Jacques Derrida, Margins of Philosophy, h. 7
136
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 111
137
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 287

51
menunjukkan ketaklangsungan, ketidakhadiran dan jarak. Berdasarkan hal ini Derrida
menjelaskan, betapa mustahilnya untuk mempertahankan distingsi/pembedaan tersebut. Baginya
sebuah tanda pada dasarnya menyatakan pembedaan tersebut secara bersamaan. Jika begitu
maka sebuah tanda disaat yang sama menyatakan kelangsungan sekaligus ketaklangsungan,
kehadiran sekaligus ketidakhadiran, kedekatan sekaligus jarak. Dari hal tersebut maka muncul
differance, yang menunjukkan ketiadaan makna tunggal.138 Pada analisa Derrida atas Husserl
tersebut terlihat bagaimana Derrida dengan differance-nya mencoba menunjukkan kelemahan
konsep-konsep yang dikenakan atas tanda. Konsep-konsep yang mau hendak disampaikan
Husserl merupakan wujud dari oposisi-oposisi biner yang didalamnya ada pemisahan maupun
pembedaan makna tertentu. Differance dalam hal ini hadir mematahkan oposisi-oposisi biner
tersebut, dan menunjukkan kerancuan atas konsep-konsep tertentu.
Leslie Hill menjelaskan ada setidaknya tiga hal yang dipikirkan Derrida dengan
differance-nya. Pertama, oleh karena differance diucapkan sama dengan difference139, maka
Derrida hendak menunjukkan bahwa bahasa yang tertulis tidak dapat direduksi pada tuturan.
Kedua, nir-kata tersebut (differance) hendak menyatakan sesuatu yang mendahului penangguhan
dan pembedaan. Hal ini berarti, di dalam nir-kata tersebut terkandung dua arti/momen sekaligus,
egneduta@gmail.com

yakni: temporalisasi dan spasialisasi. Dengan itu maka differance adalah membedakan
(spasialisasi) sekaligus menangguhkan (temporalisasi) suatu pemaknaan. Ketiga, nir-kata
tersebut berasal dari kata kerja transitif sekaligus intransitif, sehingga dapat menunjukkan
gerakan yang pasif sekaligus aktif, yaitu menangguhkan oposisi-oposisi biner, seperti hadir dan
tak hadir, natur dan kultur, subyek dan obyek, emosional dan rasional. Dengan differance yang
nir-kata dan tak terstruktur ini Derrida hendak menunjukkan betapa makna tidak dapat
diputuskan secara final, dan juga tidak dapat distabilisasi dengan deskripsi maupun struktur
tertentu. Makna selalu bebas dan menunjukkan dirinya yang tak terkungkung dengan konstruksi
pemikiran apapun.140 Dengan differance ini nantinya kita juga dapat melihat betapa Derrida amat
menghindari kepastian makna dari Yang Ilahi.

3.6. Dekonstruksi wajah agama-agama

138
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 288
139
Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa huruf a dalam nir-kata (istilah Hardiman karena
kata differance tidak ada di dalam kamus) itu murni tulisan yang tak terdengar telinga atau sebuah “monumen
bungkam”. Lih. F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 288
140
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 289. Di saat yang sama differance juga
merupakan yang aktif dan yang pasif, yang hadir/presensi, dan ketidakhadiran/absensi. Hal-hal ini menunjukkan
ketidakterbatasan makna/definisi dari differance. Lih. Jacques Derrida, Margins of Philosophy, h. 9

52
Peziarahan seorang Derrida yang mencoba berangkat dari teks-teks filosofis untuk
menunjukkan betapa logosentrisme dan metafisika kehadiran sangatlah lemah ketika hendak
menunjukkan serta menunggalkan ‘kebenaran’. Yang sebenarnya makna dari ‘kebenaran’ itu
sendiri tidak dapat dikonstruksikan secara utuh, ia bebas dan melampaui konstruksi yang ada.
Dengan dekonstruksi dan differance-nya, Derrida sering kali menyulitkan pembacanya untuk
sekedar mengerti dan memahami maksud dari pemikirannya. Permainan yang senantiasa ia
tunjukkan dalam tulisannya mengajak pembacanya untuk ikut bersamanya dalam pembongkaran
sedemikian rupa terhadap makna-makna filosofis yang sangat ambisius akan keutuhan kebenaran
makna. Meskipun begitu ternyata dalam perkembangannya pemikiran Derrida tidak melulu
membahas tentang teks-teks dan konstruksi filosofis. Kerumitan dan permainan konsepnya
tersebut ternyata mulai menyentuh pada kehidupan kongkret sehari-hari, dalam hal ini mengenai
agama. Berangkat dari hal ini menjadi penting untuk melihat betapa dekonstruksi Derrida
ternyata menyentuh wajah ke-agama-an dan klaim-klaim yang ada padanya, terlebih klaimnya
mengenai Yang Ilahi.
Derrida dengan sadar melihat betapa pembahasan mengenai agama dan klaim-klaimnya
mengenai Yang Ilahi amat relevan dan sentral dalam kehidupan sekarang ini, karena tanpa
egneduta@gmail.com

disadari agama mampu untuk kembali bangkit dalam konteks kehidupan dengan wujud dan
semangat yang berbeda.141 Sebagai contoh terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme
dianggap menjadi wujud kembalinya agama ke dalam realitas sehari-hari yang mempengaruhi
kehidupan dan relasi setiap orang terhadap sosok Yang Ilahi.
Pembicaraan tentang agama dalam wacana/pemikiran Derrida memang sebagian besar
ada dalam kerangka tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam). Hal ini tak terlepaskan juga
dari tradisi masa kecil Derrida yang berlatar belakang Yahudi. Dalam perkembangannya Derrida
melihat betapa persoalan konflik antar agama didominasi oleh ketiga agama yang justru berasal
dari satu sumber yang sama, yaitu tradisi Abrahamik. Memang dalam prosesnya ketiga agama
dalam tradisi Abrahamik itu telah membelah diri ke dalam berbagai konfigurasi geotekstual, dan
juga memperumit dirinya ke dalam berbagai jalur teologiko-politis masing-masing. Dalam
kerangka tersebut ketiganya berposisi sebagai mesin pengulang dan pembenaran, sekaligus
mesin pemecah dan penggandaan, dengan cara menyuarakan dan membungkam, mengingat dan
menghapus, mengangkat dan menghancurkan. Oleh karena itu ketiganya sekarang terombang-

141
Makna kebangkitan agama ini berangkat dari realitas di Eropa bahwa skularisme sudah merasuk dalam budaya
Eropa, terutama Prancis. Hal inilah yang tidak jarang membuat banyak orang di Eropa yang cukup skeptis dengan
agama yang dilihat hanya sebagai institusi formal, sehingga membuat orang di Eropa khususnya Prancis cukup
banyak tidak beragama. Akan tetapi dalam beberapa tahun belakangan Derrida melihat seakan-akan agama bangkit
kembali dengan wacana dan semangat baru. Hal ini ia lihat dalam diri fundamentalisme agama, dan yang secara
ekstrim pada tindakan terorisme.

53
ambing antara tendensi fundamentalistik yang destruktif dan juga janji keselamatan
(perdamaian) yang utopistik, maka dari itu ketiganya juga berkutat antara idealisme teologis dan
kepentingan politik praktis.142 Bisa dikatakan hal-hal ini juga yang membuat ketiga agama
tersebut saling bergesekan satu dengan yang lain demi mempertahankan klaim-klaim
kebenarannya, dan juga klaim-klaim atas sosok yang Ilahi (“Tuhan”).
Pemikiran Derrida mengenai agama dan sosok Yang Ilahi ini ternyata menarik perhatian
banyak teolog abad ke-21 ini. Sebut saja John Caputo, Richard Kearney, Kevin Hart, dst. Bahkan
mereka pun mengakui betapa Derrida menjadi inspirasi penting dalam kehidupan berteologi
mereka. Hal ini juga menunjukkan betapa pemikiran Derrida terhadap agama dan sosok Yang
Ilahi cukup relevan dalam konteks sekarang ini, ketika agama justru semakin jauh dalam
melakukan fungsinya dan tugasnya di dunia. Untuk itu dalam pembahasannya menjadi menarik
untuk melihat respons Derrida terhadap agama dan sosok Yang Ilahi berangkat dari dekonstruksi
dan juga differance-nya.
Persoalan akan agama ini sebelumnya juga sudah dipikirkan oleh Heidegger di dalam
ceramah-ceramahnya.143 Heidegger melihat bahwa status ontologis agama dan “Tuhan” telah
disterilkan dari pengaruh destruksi dalam metafisika Barat, sehingga tidak mungkin untuk
egneduta@gmail.com

dipertanyakan atau dipersoalkan kembali. Akibatnya, ketika Nietzsche muncul dengan


nihilismenya, metafisika mengalami ketegangan dilematis, antara “menyelamatkan” Tuhan
dengan menariknya ke wilayah dogma atau membebaskan Tuhan dengan memperangkapnya ke
dalam wilayah lain yang juga tak kalah “dogmatis”: Akal (cogito). Akan tetapi disadari betul
dogmatisme religius dan rasionalisme metafisik ini tidak dapat menghadapi tantangan nihilisme
yang begitu deras. Nihilisme akan tetap menjadi momok tersendiri bagi umat beragama.
Berangkat dari hal ini, maka Heidegger mencoba memulai kembali pertanyaan tentang Tuhan
dengan memikirkan ulang sejarah ontologi, asumsi-asumsi kehadiran, dan horizon yang
memungkinkan umat beragama mendekati Tuhan sebagai yang-tak-mungkin itu.144
Dalam responsnya terhadap agama tersebut, Derrida mencoba mempersoalkan “Tuhan”
dalam hal ini Derrida menyebutkan sebagai “Yang Tak Mungkin”. Meskipun Derrida tidak
pernah mengatakan secara langsung bahwa ia berteologi, namun dengan dekonstruksinya

142
Bambang Sugiharto, “Dekonstruksi Atas Agama: Penghancuran Diri Agama-Agama” dalam Basis No.11-12,
tahun ke-54, Nov-Des 2005, h. 26
143
Tidak menutup kemungkinan analisa dari Heidegger ini mempengaruhi pemikiran/respons Derria atas agama.
Karena sedikit banyak Derrida terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Heidegger.
144
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 185, berdasarkan David R. Crowfield, “The
Question of God: Thinking after Heidegger”, Philosophy Today, edisi 40, 1996, hlm. 48.

54
menurut Al-Fayyadl Derrida menunjukkan dimensi ‘teologis’.145 Dimensi ‘teologis’ dalam
kerangka dekonstruksi ini hendak menegaskan pada ketidakmungkinan itu sendiri, yaitu
ketidakmungkinan dalam membicarakan “Tuhan” (berbicara mengenai Tuhan).146 Dekonstruksi
hadir seraya menunjukkan betapa ketidakmungkinan untuk mencapai kebenaran tersebut berasal
dari ketidakadaannya lagi horizon pemaknaan yang dapat dibangun untuk mengetahui
sepenuhnya kebenaran. Menurut Derrida horizon itu telah hancur (setidaknya
tertunda/suspension) karena kebenaran dalam teks (kebenaran yang diinvensi dalam tekstualitas
differance tulisan) tidak akan pernah hadir sepenuhnya, selain hanya sebagai jejak (trace) yang
terus menunda kemungkinan untuk mencapai kebenaran secara penuh.147
Jika melihat Derrida lebih mendalam pada tulisan-tulisannya, kita akan menemukan
proses tersendiri pada dirinya yang perlahan-lahan “melampaui” agama dan beralih masuk ke
dalam penghayatan “Agama tanpa-agama”148, ‘agama’ yang lahir dari kegairahan total akan
Yang Ilahi sebagai Yang Tak Mungkin.149 Perlu diperhatikan bahwa konsep ‘agama’ di sini
cukup unik dan berbeda dengan konsep agama institusional tradisi Abrahamik. Keunikan dari
“agama” yang hendak dijelaskan Derrida ada pada penekanannya akan kegairahan total terhadap
Yang Ilahi sebagai the wholly Other, yang tidak mungkin untuk dibahasakan, melampaui
egneduta@gmail.com

pengetahuan, serta yang tak terjemahkan (untranslatable).150

145
Perlu diperhatikan bahwa makna ‘teologis’ di sini berbeda dengan pemahaman yang ada dalam kerangka
metafisika kehadiran yang merujuk pada adanya sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Lih.
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 184
146
Makna ketidakmungkinan dalam membicarakan “Tuhan” ini muncul oleh karena kerinduan Derrida akan Yang
Ilahi melampaui struktur dogma-dogma yang ada pada diri agama. Untuk itu makna ‘ketidakmungkinan’ ini
menunjukkan betapa dogma-dogma akan Yang Ilahi tidak akan pernah mampu menghadirkan dirinya sepenuhnya.
Lih. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 185
147
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 185
148
Konsep “Agama tanpa-agama” memang secara eksplisit tidak muncul dari Derrida. “Agama tanpa-agama” ini
muncul dari pembacaan John D. Caputo atas Derrida. Meskipun begitu Derrida cukup puas dengan pembacaan
Caputo atasnya dan ia mengapresiasi pembacaan Caputo atas dirinya. Lih. Mark Dooley, “The Becoming Possible
of The Impossible: An Interview with Jacques Derrida,” in Mark Dooley (Ed.), A Passion for the Impossible, (New
York: State University of New York Press, 2003), h. 22-23
149
Proses tersebut dapat terlihat dari argument Derrida sendiri dalam wawancaranya bersama Yvonne Sherwood,
John Caputo, dan Kevin Hart. Dalam wawancara tersebut Derrida mengatakan bahwa adanya perubahan
penghayatan akan Yang Ilahi dari sewaktu ia kecil (seorang Yahudi), dengan kehidupan yang melalui proses
pengalaman baik dari segi budaya, segi filosofis (proses pembacaannya akan teks-teks filosofis), dan
pengalamannya ketika ia merespons agama yang berangkat dari Feuerbach to Nietzsche. Ia menyebutkan
pengalaman tersebut dengan the experience of a nonbeliever. Lih. Jacques Derrida, “Epoche and Faith: An Interview
with Jacques Derrida,” in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Eds.), Derrida and Religion, (New York: Routledge,
2005), h. 27-49
150
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. Hal ini ditegaskan dalam wawancara dengan
Derrida mengenai doa. Derrida menjelaskan bahwa ia pengalaman doanya setelah melalui perjalanan kehidupannya
membuatnya tidak mengerti kepada siapa ia berdoa. Hal ini disebutkannya karena ketidakmampuannya untuk
menyebutkan sosok Yang Ilahi tersebut. Ia dalam wawancaranya pun menyebutkan untuk menghindari penamaan
akan sosok Yang Ilahi tersebut (Yang Tidak Mungkin). Untuk itulah pengalaman doanya ia istilahkan dengan
sophisticated experience. Lih. Jacques Derrida, “Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida,” in Kevin
Hart and Yvonne Sherwood (Eds.), Derrida and Religion, h. 30

55
“Agama tanpa-agama” ini berbeda dengan institusi agama yang selama ini kita temukan
dalam sejarah. “Agama tanpa-agama” lebih merupakan sebuah undangan yang menuju pada
keberagaman baru dan upaya untuk memaknai pengalaman religius dalam relasinya dengan
Yang Ilahi. “Agama tanpa-agama” hanya ingin menunjukkan pelampauan diri dari tradisi
maupun institusi agama, serta mengajak untuk membebaskan pengalaman religius dari
keterbatasan tradisi atau institusi agama itu sendiri.151 Penghayatan akan agama dalam perspektif
Derrida ini tidak sekedar menganut dogma dan juga melaksanakan ritual yang diwajibkan oleh
institusi agama. Menghayati dalam kerangka dekonstruksi ini berarti berani untuk
mempertanyakan, menggugat, dan menjadikan iman sebagai eksperimentasi terus-menerus untuk
menguji serta mempertimbangkan secara terus-menerus pengalaman diri terhadap Yang Ilahi.
Dalam kajian ini Derrida mengajak untuk melampaui pemaknaan bahwa “iman” akan selesai
begitu saja. Iman dalam perspektif Derrida selalu berproses dan tak pernah berakhir.152
Hal ini sungguh berbeda dengan konsepsi dari agama-agama semitik yang dalam
perkembangannya senantiasa membenarkan diri masing-masing dengan dogma-dogma maupun
klaim-klaim yang ada pada dirinya. Klaim-klaim tersebut membuat agama menjadi kebal dan
mengebalkan diri sehingga membuat dirinya seakan-akan kuat dengan penggambarannya akan
egneduta@gmail.com

tuhan yang tunggal. Derrida menyebut sifat agama yang seperti ini sebagai general logic of auto-
immunization.153 Agama dilihat sebagai sistem yang penuh dengan perhitungan154, sistem dari
agama ini terlebih dengan sifatnya akan pembenaran/pengkebalan diri bagi Derrida menghantui
komunitas/masyarakat dengan klaim-klaim kebenarannya. Dalam kerangka ini iman dimaknai
dengan begitu terbatasnya hanya pada ketaatan terhadap ritual keagamaan dan dogma-dogma
yang dianggap sebagai wujud nyata dari kebenaran/kehadiran tuhan yang mutlak.155

3.7. Adieu : Wajah Yang Ilahi yang tak terjelaskan

151
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 186
152
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 186
153
Jacques Derrida, “Faith and Knowledge” in Gil Anidjar (Ed.), Jacques Derrida: Act of Religion, (New York:
Roultledge, 2002), h. 41
154
Derrida dalam tulisannya mengenai pemberian menjelaskan betapa agama amat lekat relasinya dengan
hukum/logika ekonomi pertukaran. Dimana dalam agama orang memberikan diri sepenuhnya sebagai wujud
penyerahan diri penuh kepada Tuhan. Pada tatanan ini Derrida melihat bagaimana pemberian diri itu juga sebagai
wujud pengharapan kembali atas pemberian. Untuk itu Derrida menjelaskan betapa pemberian seharusnya tulus, dan
tidak mengharapkan apa-apa dari pemberian tersebut. Hal ini ia jelaskan lebih dalam pada konsepnya mengenai
pemberian hadiah. Lih. Jacques Derrida, The Gift of Death, terj. David Wills (Chicago: The University of Chicago
Press, 1992), h. 35-52
155
Anggapan pada dogma dan ritual keagamaan sebagai wujud kebenaran/kehadiran mutlak menurut Derrida
merupakan resiko nyata dari sifat auto-immunization agama. Lih. Jacques Derrida, “Faith and Knowledge” in Gil
Anidjar (Ed.), Jacques Derrida: Act of Religion, h. 41

56
Ketika melihat wacana “Agama-tanpa agama” Derrida ini ternyata tidak dapat dilepaskan
begitu saja tanpa pemikiran Derrida tentang Yang Ilahi, memang dalam pembahasan sebelumnya
dijelaskan betapa sosok Yang Ilahi harus dilihat sebagai Yang tak mungkin (the Impossible)
karena memang Derrida sangat menekankan kehati-hatian, bahkan cenderung untuk menghindari
penggambaran, terlebih penamaan akan Yang Ilahi. Pembahasannya mengenai Yang Ilahi dapat
kita lihat juga dalam tulisannya kepada Emmanuel Levinas. Ia menulis ini tidak lama setelah
kepergian sahabatnya Emmanuel Levinas. Tulisan itu berjudul Adieu. Dalam wacananya tentang
Adieu ini kita akan menemukan betapa differance Derrida bermain, dan dari permainan itu juga
Derrida hendak menunjukkan betapa Yang Ilahi amat sulit untuk digambarkan dan dijelaskan.
Sutanto menjelaskan betapa Derrida bersama dengan adieu-nya mengantar dan
mendorong kita untuk masuk dan bermain di dalam medan pemaknaan yang senantiasa terus
bergerak. Permainan tersebut ada di dalam kata Prancis yang sebenarnya sederhana, yaitu antara
adieu, a-Dieu, dan à-Dieu.156 Secara sederhana Derrida menjelaskan ada tiga makna yang dapat
disampaikan melalui adieu. Yang pertama adalah sebagai salam atau berkat yang diberikan oleh
seseorang ketika ada dalam situasi tertentu di Prancis, seperti berjumpa dengan orang lain,
kurang lebih serupa dengan “halo, apa kabar”. Tetapi, disaat yang sama kata itu juga bermakna
egneduta@gmail.com

salam atau berkat ketika berpisah, melihat orang lain pergi dan entah nantinya akan kembali
bertemu kembali atau mati, sehingga di sini adieu menjadi semacam kadish.157 Lalu à-Dieu,
bermakna “kepada Tuhan”, atau “di hadapan Tuhan”, kata tersebut biasanya digunakan seperti
saat kita berdoa dan menyapa Tuhan.158 Derrida menjelaskan bahwa imbuhan à dalam kata
tersebut sudah mengandaikan à I’infini, pada yang-tak-terbatas, dalam kosa kata Levinas,
meretakkan totalitas sehingga memungkinkan “Sang Liyan” menyapa dan meminta pertanggung
jawaban kita. Dalam rangka ini menurut Derrida maka adieu juga merupakan undangan, atau
bahkan perintah, dari “Sang Liyan” untuk mau berkata “selamat datang” (biennvenue) bagi orang
asing, membuka pintu dan menampung mereka dalam keramahtamahan (hospitality). Tetapi
penting diperhatikan bahwa adieu tetap sekaligus membuka horizon rujukan maupun relasi

156
Trisno S. Sutanto, “Adieu. Berteologi Bersama Derrida”, dalam “Diskursus” Vol. 5, No. 1, April 2006, h. 91
157
Trisno S. Sutanto, “Adieu. Berteologi Bersama Derrida”, dalam “Diskursus” Vol. 5, No. 1, April 2006, h. 91.
Saya juga bertanya kepada teman dari sastra Prancis Universitas Padjadjaran, Bandung untuk mengetahui makna
dari adieu secara lebih mendalam. Menurutnya adieu cukup jarang untuk digunakan oleh orang Prancis ketika
hendak berpisah. Pasalnya makna dari adieu tersebut merupakan salam yang diberikan ketika hendak berpisah untuk
waktu yang sangat lama atau bahkan tidak akan pernah bertemu kembali. Sebagai contoh, jika ada astronot hendak
bertugas ke planet terjauh dalam semesta untuk penelitian, maka kawan-kawan, keluarganya, maupun staf yang
berada di bumi akan mengatakan adieu, karena bisa saja orang tersebut mati, atau ia kembali namun untuk waktu
yang sangatlah lama. Untuk itu pada umumnya salam perpisahan dalam masyarakat Prancis menggunakan au revoir.
158
Jacques Derrida, The Gift of Death, (Chicago: University of Chicago Press, 1995), h. 47. Menurut wawancara
saya terhadap teman saya yang dari sastra Prancis UNPAD. Ia menjelaskan bahwa à-Dieu merujuk pada sesuatu
yang mahakuasa (Adi kodrati). Bisa Dewa, maupun Tuhan.

57
kepada Yang Tak Terbatas. Sebab à-Dieu sekaligus juga dapat menjadi a-Dieu, “non Tuhan”,
yang hendak menandakan kelainan dari “Sang Liyan” sebagai wujud retakan-retakan serta
persebaran dari Yang Ilahi.159
Dari kata adieu dengan keberagaman maknanya a-Dieu, dan à-Dieu ternyata memiliki
penyebutan (vocal) yang sama (əˈdo͞o,əˈdyo͞o). Hal ini menunjukkan betapa makna yang ada dari
penyebutan sulit untuk dibedakan. Bukankah itu yang Derrida hendak sampaikan ketika melihat
Yang Ilahi. Kita bahkan tidak bisa, dan tidak akan pernah mampu untuk menjelaskannya secara
pasti. Dengan adieu menunjukkan bahwa Yang Ilahi bisa dirasakan, namun tidak dapat
dijelaskan. Hal ini perlu diperhatikan bahwa à-Dieu bisa berarti a-Dieu yang menunjukkan
tanpa/tiadanya Tuhan (the Impossibility). Disaat yang sama à-Dieu bisa menjadi adieu yang
merupakan salam dengan makna penantian dalam ketidakpastian. Kita tidak akan tahu kapan
Yang Ilahi itu datang dan hadir, kita hanya bisa berharap sambil merasakan bayang-bayang-
Nya.160
Melalui adieu, Derrida dengan differance-nya hendak menjelaskan labilitas makna
penghadiran tunggal akan sosok Yang Ilahi. Dari tatanan dan permainan yang dilakukan melalui
adieu ini menunjukkan bahwa konstruksi-konstruksi manusia mengenai sosok Yang Ilahi tidak
egneduta@gmail.com

akan pernah mampu menggambarkan atau ‘menghadirkan’ Dia sepenuhnya. Ketika Yang Ilahi
itu digambarkan sedemikian rupa, terlebih dibakukan maka di saat yang sama Ia muncul dalam
sosok yang berbeda, yang sama sekali lain. Ia Yang Ilahi itu yang sebenarnya tak tersentuh dan
Absolut mampu untuk menghadirkan diri-Nya dalam wujud, rupa, dan rasa yang berbeda sama
sekali. Dari adieu semakin menegaskan betapa kehadiran akan Yang Ilahi tidak dapat dijelaskan
secara pasti. Ia hanya mampu untuk dirasakan, itupun hanya sebagai jejak-jejak (trace) yang
senantiasa perlu untuk di cari terus menerus.

Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai Derrida dan konteks yang menyekitarinya, maka dapat
terlihat betapa pemikiran Derrida bisa dikatakan cukup radikal terhadap konsep maupun
konstruksi-konstruksi filsafat Barat (metafisika, logosentrisme, dst). Betapa konstruksi yang
kokoh dengan kekuasaan-kekuasaan maupun kepentingan yang ada didalamnya dihancurkan
begitu rupa, bahkan ia melakukan penghancurannya melalui teks itu sendiri. Hal ini yang

159
Trisno S. Sutanto, “Adieu. Berteologi Bersama Derrida”, dalam “Diskursus” Vol. 5, No. 1, April 2006, h. 91.
“non Tuhan” dalam perspektif Derrida berarti wujud keberlainan Yang Ilahi yang tak dapat dipahami, dijelaskan,
dan diproyeksikan. Sehingga keberlainan itu menandakan Yang Ilahi mewujudkan dirinya melampaui horizon-
horizon pemaknaan manusia (the Other).
160
Trisno S. Sutanto, “Adieu. Berteologi Bersama Derrida”, dalam “Diskursus” Vol. 5, No. 1, April 2006, h. 92

58
menjadi menarik, Derrida dengan dekonstruksi dan differance hendak menunjukkan
inkonsistensi yang ada pada fisafat Barat, usaha dari Derrida tersebut membuat filsafat Barat
menjadi hilang otoritasnya, terlebih terhadap sesuatu/hal-hal yang selama ini didiskriminasi,
serta disembunyikan demi konsep-konsep maupun konstruksi tertentu yang hendak diagung-
agungkan. Berangkat dari kajian serta permainan Derrida atas filsafat Barat membuat kita dapat
melihat betapa Derrida secara radikal hendak memberi tempat bagi hal-hal yang selama ini
didiskriminasi, serta tidak memperoleh perhatian. Perhatian Derrida yang hendak memberikan
tempat ini amat penting, ia hendak menunjukkan keragaman makna yang sebenarnya dapat
muncul dan justru memperkaya makna itu sendiri. Proses dekonstruksi dan differance hendak
menunjukkan betapa pemaknaan merupakan proses yang tidak akan selesai, dan bahkan
pemaknaan itu partikular tidak tunggal seperti yang selama ini dilakukan serta dikonstruksikan
oleh filsafat Barat. Untuk itu kesadaran akan keberlainan dan ketidakmungkinan 161 menjadi
penting ketika hendak memahami Derrida.
Keluarbiasaan filsafat Barat pada masanya ternyata memiliki dampak yang luar biasa
pula. Seperti yang sudah disampaikan oleh Derrida, bahwa filsafat Barat dengan konstruksinya
mempengaruhi segala alam maupun rumusan berfikir lintas disipliner. Oleh karena
egneduta@gmail.com

keluarbiasaannya membuat konstruksi filsafat Barat ini dijadikan dasar bagi pemikiran bahasa,
ekonomi, politik, sejarah, budaya, fisika, dan juga teologi. Tidak terkecuali teologi Kristen yang
secara langsung berjumpa dan bersentuhan dengan perkembangan filsafat Barat. Teologi sebagai
dasar tersendiri bagi agama ternyata memiliki konsep-konsep kuasa yang sifatnya institusional.
Dalam perkembangannya kita dapat mengenal betapa gereja pra-reformasi memiliki konstruksi-
konstruksi pada dirinya yang mendiskriminasi konsep-konsep lain, yang membuat orang-orang
berfikir tunggal ketika ia beragama dan disaat yang sama berelasi dengan Allah. Dengan
dekonstruksi dan differance Derrida hendak membongkar struktur maupun konstruksi pemikiran
yang justru mendiskreditkan bahkan mengkerdilkan makna Allah kedalam pemikiran yang
penuh dengan kepentingan. Pada akhirnya benar dan terbukti betapa gereja sebagai sebuah
institusi justru hadir menunggalkan makna dan disaat yang sama mengarahkan ketunggalan
makna tersebut pada kepentingan tertentu. Hal ini dapat terlihat dari dalil-dalil yang menjadi
perlawanan Martin Luther kepada gereja yang amat institusional tersebut.
Sifat otoritatif pada pemaknaan yang diwujudkan dalam dogma-dogma tertentu ternyata
masih menjadi pergumulan tersendiri pada diri kekristenan masa kini, hal tersebut tidak terlepas

161
Ke-tidak-mungkin-an merupakan permainan kata, didalam ketidakmungkinan tersebut ada sesuatu yang
mungkin. Kata ini hendak menunjukkan betapa kekayaan serta permainan makna akan senantiasa terus terjalin,
bahkan pada hal-hal yang mungkin selama ini dianggap tidak mungkin.

59
dari nilai maupun pemaknaan fundamentalistik di dalamnya. Menurut Derrida realitas
fundamentalistik ini menjadi pergumulan nyata bagi iman. Iman dalam tatanan fundamentalistik
menjadi iman yang terperangkap pada kepastian-kepastian. Hal ini tidak jarang berujung pada
konsekuensi tertentu, yaitu klaim-klaim tertentu atas nama Allah, dan secara ekstrem berujung
pada tindakan kekerasan atas nama agama. Oleh karena itu pada bab selanjutnya kita akan
melihat betapa Derrida memberikan pemikiran yang menarik mengenai iman, dalam hal ini
penting juga untuk melihat fundamentalisme melalui kekritisan Derrida di dalamnya.
egneduta@gmail.com

60
BAB IV
IMAN YANG TERBUKA PADA KETIDAKMUNGKINAN: BERIMAN
DALAM REALITAS PLURAL

Pendahuluan
Jacques Derrida dengan pemikiran-pemikirannya yang cukup kontroversial tidak pernah lepas
dari pembicaraan dan diskursus. Bahkan tidak jarang, banyak filsuf maupun teolog yang melihat
Derrida sebagai pemikir nihilistik yang dianggap tidak memberikan sumbangan tertentu bagi
khazanah filsafat maupun teologi. Terlepas dari itu disaat yang sama ternyata cukup banyak
filsuf bahkan teolog yang terinspirasi oleh pemikiran dan kekritisan Derrida atas
pemikirankonstruksi filsafat, serta agama-agama, terutama pada agama semitik/Abrahamik.
Pemikiran Derrida yang amat kritis tersebut ternyata menyentuh realitas keagamaan yang
terpampang nyata dalam diri fundamentalisme yang amat frontal dalam menunjukkan klaim-
klaim kepastiannya mengenai Allah dan pewahyuan historis yang terwujud dalam Alkitab.
Untuk itu menjadi menarik melalui Derrida melihat lebih dalam serta merespons secara kritis
fundamentalisme sebagai realitas keagamaan. Pada proses ini nantinya dapat terlihat betapa
egneduta@gmail.com

Derrida hendak menunjukkan realitas-realitas yang selama ini terperangkap dalam konstruksi
kepastian yang ada dalam realitas keagamaan, khususnya fundamentalisme.

4.1. Derrida Nihilisme-kah?

Kontroversial pemikiran Derrida memang tidak dapat dilepaskan dari semangat


dekonstruksi yang membongkar segala pemikiran, terutama khazanah pemikiran filsafat modern
dengan logosentrisme dan metafisika kehadiran. Memang ketika melihat dan memperhatikan
pemikiran Derrida, kita pun akan teringat dengan sosok Nietzsche. Perlu disadari bahwa
pemikiran-pemikiran kritis yang kontroversial terhadap filsafat khususnya mengenai metafisika
kehadiran sudah diawali terlebih dahulu dengan represifnya pemikiran Nietzsche. Lalu, ketika
melihat pemikiran Derrida memang kesan akan bayang-bayang Nietzsche tidak dapat dilepaskan
dari dirinya. Meskipun begitu tetap ada yang membedakan antara Derrida dengan Nietzsche.
Dalam filsafat dan pemikirannya Derrida dilihat meradikalkan elemen penting dari Nietzsche,
yaitu konsep main/permainan.162
Filsafat dalam pemikiran Derrida dilihat memperoleh energinya kembali pada
kekhasannya dalam melihat tulisan sebagai permainan. Dalam usahanya ini Derrida memiliki

Abdul Hakim, “Nietzsche, Derrida, dan Dekonstruksi”, dalam A. Setyo Wibowo, dkk. Para pembunuh Tuhan,
162

(Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 110


61
dua strategi yang dilakukan: pertama membalikkan oposisi metafisik (oposisi biner), lalu
bermain melalui bahasa. Kedua dari pembalikkan ini membawa kita pada titik yang paling
ekstrem, yaitu destabilitas tanpa batas. Pemainan yang cukup radikal ini dengan dekonstruksinya
akan terlihat jelas dalam analisa maupun respons kritisnya terhadap fundamentalisme. Nantinya
terlihat juga keunikan dari Derrida yang bagi penulis melampaui nihilisme163 yang selama ini
seringkali dikaitkan dengan pemikiran Derrida.

4.2. Dekonstruksi Fundamentalisme Kristen

Fundamentalisme memperoleh respons kritis dari Derrida dalam pembahasannya


mengenai agama dan Yang Ilahi. Respons kritis tersebut tidak terlepaskan dari cara maupun
pemaknaan fundamentalisme terhadap makna, terlebih bagaimana ia melihat kebenaran (baik
terhadap makna kitab suci, maupun konstruksi atas sosok Allah). Menarik bahwa keagamaan
dalam perkembangannya terafiliasi dan meresapkan filsafat modern kedalamnya, hal ini diawali
oleh gebrakan ‘palu’ filsafat Nietzsche yang menunjukkan betapa agama ada dalam krisis
terdalamnya. Untuk itu mau tidak mau agama harus mengkonstruksikan dirinya kembali. Ketika
itu agama ada dalam dua pilihan, apakah mau tetap ada dalam tradisi dogmatis yang justru hal ini
egneduta@gmail.com

yang menjadi gugatan Nietzsche atau justru membuat kontruksi lain yang pada dasarnya sama
dogmatisnya namun berbeda dalam bentuk dan rupanya.164
Berdasarkan pengalaman perkembangannya itu membuat agama dalam bahasa Derrida
terbatas dalam tradisi dogmatis yang amat kuat. Kekristenan yang dalam perjalanan sejarahnya
bersentuhan langsung dengan Nietzsche dan perkembangan filsafat Barat ternyata membuat
dirinya tidak dapat terbebas dari penunggalan makna dan penguatan tradisi dogmatis. Hal inilah
yang berdampak pada munculnya fundamentalisme dalam diri kekristenan. Fundamentalisme
secara sederhana merupakan buah nyata dari sifat dan karakter dasar agama yang memiliki
konstruksi kuat akan kebenaran.

163
Pengertian mengenai nihilisme dapat dirinci sebagai berikut: 1. Peyangkalan mutlak. Dalam konteks ini nihilisme
berarti titik pandang yang menolak ideal positif mana pun; 2. Dalam epistemologi, nihilisme berarti peyangkalan
terhadap setiap dasar kebenaran yang dianggap objektif dan real; 3. Teori bahwa tidak ada yang dapat diketahui.
Dalam nihilisme semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermanfaat, tidak berarti, relatif (nisbi) dan tidak bermakna;
4. Bagi nihilisme, tidak ada pengetahuan yang mungkin; 5. Nihilisme merupakan keadaan psikologis dan filosofis
yang melihat tidak adanya nilai etis, religius, politis, dan sosial; 6. Nihilisme berarti juga penyangkalan skeptis
terhadap semua yang dianggap sebagai real/tidak real, pengetahuan/kekeliruan, ada/tiada, ilusi/nonilusi. Itu berarti
dalam nihilisme mau ditunjukkan adanya penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan. Lih. Lorens Bagus,
Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 712
164
Thomas Hidya Tjaya, “Diskursus Mengenai Tuhan di Luar Metafisika”, dalam Basis, Nomor 09-10, Tahun ke-
64, 2015, h. 50

62
4.2.1. Literalisme sebagai Metodologi Pembacaan
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab dua, betapa fundamentalisme memiliki klaim-
klaim tersendiri yang didasarkan pada kitab suci untuk menguatkan aktivitas maupun
tindakannya. Pembacaan yang bersifat harafiah tersebut menjadi sumber permasalahan sendiri
berdasarkan ciri-ciri yang dijelaskan oleh Barr dalam bab dua menunjukkan betapa prinsip
ketidakdapatsalahan (inerrancy) Alkitab berdampak pada cara baca/metode pembacaan terhadap
Alkitab. Terlebih kecenderungan untuk menghindari metode-metode pembacaan Alkitab menjadi
penguatan tersendiri betapa metode pembacaan apa adanya/harafiah menjadi prinsip/landasan
utama bagi fundamentalisme Kristen.165
Berdasarkan prinsip fundamentalisme tersebut Hardiman memberikan beberapa catatan
mengenai literalisme yang merupakan perkembangan/pengembangan dari metode pembacaan
fundamentalisme tersebut. Pertama-tama perlu untuk dimengerti apa itu literalisme dan
bagaimana dampaknya bagi kehidupan kekristenan, terutama fundamentalisme yang menjadi
permasalahan tersendiri. Literalisme merupakan pemahaman tertentu yang diperoleh melalui
cara baca/proses pembacaan teks tanpa memberi perhatian pada konteks, melainkan berdasarkan
makna harafiahnya.166 Literalisme juga merupakan proses dari pembacaan literal, dimana sang
egneduta@gmail.com

pembaca tidak melihat secara mendalam makna dari bacaan, baik di antara setiap baris-baris,
kata, dan kalimatnya, melainkan menyalin begitu saja setiap makna dari baris-baris, kata dan
kalimat tersebut. Proses pembacaan literal dapat menjadi literalisme ketika ada keyakinan dari
pembaca bahwa makna harafiah/literal tersebut merupakan makna final yang dimaksud oleh teks
yang telah di baca. Dalam proses ini menurut Hardiman tidak ada upaya sama sekali untuk
menerangi makna teks dengan hal-hal yang lain di luar teks tersebut, sebagai contoh melihat teks
berdasarkan kondisi historis, politis, sosial, dan kultural yang merupakan teks-teks lain yang
mempengaruhi proses penulisan maupun pembentukan teks tersebut.167
Dalam kehidupan beragama, literalisme cukup dikenal. Bahkan dalam dunia kekristenan
literalisme telah dikenal dengan istilah Biblical literalism atau literalisme Alkitabiah. Dalam
literalisme Alkitabiah168 ini Ralph W. Hood Jr memberi penjelasan yang amat membantu

165
James Barr, Fundamentalisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), h. 1
166
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 309
167
Dalam hal ini seorang literalis menganggap bahwa makna teks dapat diturunkan dari ungkapan teks itu sendiri,
karena seorang literalis meyakini bahwa suatu teks memang memiliki maksud untuk menyatakan apa yang sudah
tertulis, tidak lebih, dan tidak kurang, teks dianggap sempurna pada dirinya sendiri. Lih. F. Budi Hardiman, Seni
Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 309
168
Hardiman mencoba untuk tidak terbatas pada kekristenan, sehingga ia menyebutkannya dengan literalisme
skriptural. Dalam hal ini Hardiman berangkat dari kesadaran bahwa literalisme dalam membaca teks kitab suci ada
dalam kehidupan beragama dimanapun, baik dalam kekristenan, Islam, maupun Yahudi. Untuk itu agar maknanya
dapat diterima secara luas Hardiman menyebutkannya dengan literalisme skriptural. Namun demi kepentingan
penulisan ini penulis tetap mempertahankan pembahasan literalisme ini kedalam dunia kekristenan dengan

63
pemahaman secara mendalam terhadap apa yang disebut “model intratekstual”. Model
intratekstual adalah pengertian dimana makna teks sakral ditemukan dari dalam teks itu sendiri
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, sementara sumber-sumber lain di luarnya,
seperti sejarah atau sains, hanya akan dapat diterima jika sesuai dengan makna kebenaran mutlak
pada teks sakral yang dipahami secara intratekstual tersebut.169 Untuk itu literalisme ini bisa
dikatakan sebagai cara termudah yang menawarkan pemaknaan sebagai “kebenaran siap-pakai”
yang tidak perlu untuk dipersoalkan kembali. Jika begitu, pada akhirnya makna suatu teks
(Alkitab) tidak perlu dipahami melalui konteks-konteks lain, baik yang berada di dalam teks,
apalagi yang berada di luar teks.
Dalam kehidupan beragama terkhusus kekristenan, pembacaan literalisme ini kerap kali
menjadi momok tersendiri, karena bisa dipastikan pembacaan yang literal seperti ini memiliki
kecenderungan yang negatif dalam kehidupan beriman. Akan tetapi walaupun berdampak negatif
bagi kehidupan beriman, literalisme tidak dengan mudahnya untuk diatasi, malah justru seakan-
akan berkembang biak dan berkembang dengan begitu mudah dan bebasnya. Berdasarkan
realitas ini Hardiman menunjukkan bahwa ada tiga hal yang menjadi alasan sulitnya literalisme
ini diatasi. Pertama, agama merupakan sebuah Weltanschauung,170 yaitu suatu wawasan dunia
egneduta@gmail.com

yang menyeluruh serta nilai-nilainya dibatinkan oleh para pemeluknya dan mengendap menjadi
identitas mereka. Wawasan dunia dalam hal ini bersumber dari teks yang diyakini sebagai wahyu
ilahi, yaitu kitab suci. Hal ini nyata sekali terjadi dalam kehidupan beragama, ketika setiap umat
melihat serta meyakini kebenaran isi wahyu ilahi secara literalisme. Bahkan tidak sedikit dari
mereka yang melihat interpretasi non-literalis sebagai hal yang tabu, bahkan cenderung dihindari
karena dianggap mengarahkan makna kitab suci (Alkitab) pada ketidakmurnian. Kedua, umat
beragama memandang kitab suci (Alkitab) sebagai sumber otoritas yang melampaui ruang dan
waktu, bahkan nalar. Untuk itu memahami kitab suci (Alkitab) secara non-literal dapat dianggap
sebagai upaya yang dapat membawa orang untuk tidak percaya pada otoritas Alkitab. 171 Ketiga,
anggapan dan keyakinan bahwa kitab suci (Alkitab) memiliki otoritasnya yang tinggi, akan

menyebutkannya literalisme Alkitabiah. Lih. F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h.
310
169
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 311. Berdasarkan Ralph W. Hood Jr, The
Psychology of Religious Fundamentalism, (New York: The Guilford Press, 2005), h. 23
170
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 311
171
Dalam hal ini maka literalisme amat berkaitan dengan fideisme, yaitu suatu pandangan yang menolak peran nalar
(rasio) dan memutlakkan iman (fides) dalam menanggapi wahyu ilahi. Lih. F. Budi Hardiman, Seni Memahami,
(Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 312

64
dengan mudah dapat disalahgunakan oleh orang-orang yang berkuasa untuk melegitimasikan
kekuasaan, kepentingan, dan tindakan-tindakan politis mereka.172
Melalui ketiga hal tersebut memudahkan kita untuk mengerti mengapa literalisme
menjadi sangat mudah diterapkan dan dimaknai dalam kehidupan beragama, serta cukup sulit
untuk diatasi. Ketiga hal tersebut juga menunjukkan bahwa literalisme dengan mudahnya
membawa wawasan dunia religius/kehidupan beragama ke dalam sifat yang otoritatif dan
kecenderungan untuk melegitimasi kitab suci. Jika kembali melihat fundamentalisme sebagai
realitas keagamaan bukankah ketiga ciri literalisme tersebut akrab dengan filosofi hidup
fundamentalisme dengan segala ideologi maupun tindakan yang ada padanya?

4.2.2. Literalisme sebagai Metode Pembacaan yang Lemah


Derrida dalam analisanya terhadap agama mulai menyentuh unsur-unsur teologis,
maupun latar belakang yang mempengaruhi ideologinya. Untuk itu menjadi menarik melalui
Derrida melihat serta menganalisa metode pembacaan literalisme yang dihayati fundamentalisme
dalam menyikapi Alkitab. Derrida dengan dekonstruksinya membongkar konstruksi-konstruksi
mapan dalam teks yang dianggap mendiskriminasi makna tertentu/makna lain yang
egneduta@gmail.com

disembunyikan. Ciri khas dekonstruksi yaitu permainan antara teks, konteks, dan tradisi
membuat dirinya mampu untuk membuka kemungkinan-kemungkinan makna baru pada teks,
terutama memunculkan makna-makna tersembunyi serta menghancurkan ‘menara’ kemapanan
makna.173 Hal ini berimplikasi pada teks yang mampu melahirkan beragam makna, bahkan
makna yang dapat bertentangan satu dengan yang lain. Untuk itu multikonteks, multitradisi, dan
juga metafora-metafora tentu menjadi perhatian yang berharga dalam dekonstruksi.
Hal tersebut tentu amat berbeda dalam proses pembacaan literalisme yang secara sekilas
mampu dikenali ciri khasnya yang amat menutup diri pada pemaknaan multikonteks, dan
metafor-metafor. Cara seperti ini yang lalu membuat mereka dipenuhi dengan kepentingan-
kepentingan yang bermuara pada keterutuhan makna yang akrab dengan penetapan
norma/ukuran yang menjadi otoriter akan konteks maupun realitas di luar dirinya. Pembacaan
maupun tafsiran otoriter ini terwujud dalam diri fundamentalisme yang menjadikan literalisme
sebagai metode pembacaan. Sebagai contoh nyata pada bab sebelumnya terlihat betapa
pembacaan literalis ini dijadikan norma/ukuran bagi tindakan suatu kelompok di Amerika yang

172
Berdasarkan hal ini literalisme berbasiskan kitab suci (Alkitab) ini dapat dilakukan oleh siapapun untuk
melegitimasi tindakan dan kepentingannya. Dalam konteks ini tidak menutup kemungkinan bahwa literalisme kitab
suci (Alkitab) bersifat politis, karena melayani kepentingan kekuasaan. Lih. F. Budi Hardiman, Seni Memahami,
(Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 312
173
Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, (Yogyakarta: Kanisius, 2016),
h. 134

65
mengatasnamakan Allah dalam melakukan tindakan pembunuhan terhadap pihak-pihak yang
dianggap bertanggung jawab atas aborsi.174
Kelompok-kelompok yang menamakan dirinya the Army of God dengan tegas dan frontal
menunjukkan betapa ayat-ayat tertentu dilihat sebagai pewahyuan langsung Allah kepada
mereka, dan sebab itu mengharuskan mereka sebagai umat yang taat kepada Allah untuk
memperjuangkan ayat-ayat tersebut/pewahyuan tersebut agar kehidupan dunia seturut dengan
kemauan dan kehendak Allah. Mereka meyakini bahwa melalui ayat-ayat tersebut Allah
memberi perintah langsung kepada mereka untuk mengatasi/mencegah terjadinya aborsi yang
merupakan wujud kekerasan bagi janin yang merupakan awal mula kehidupan. Mereka melihat
aborsi sebagai tindakan yang berdosa karena membunuh kehidupan atau melawan struktur
penciptaan Allah. Sekilas tujuan yang dimiliki oleh the Army of God adalah perjuangan yang
baik memperjuangkan kehidupan. Akan tetapi tindakan yang dilakukan oleh mereka justru
membunuh kehidupan itu sendiri. Terbukti dengan terbunuhnya Dr. David Gunn yang
merupakan dokter di sebuah klinik aborsi di Pensacola.175 Padahal ada juga tertulis di dalam
Alkitab jika hendak menerapkan metode yang sama. Dalam Keluaran 20 ayat 13 jelas tertulis
dalam Alkitab perintah “Jangan Membunuh”. Bagian bacaan ini ada dalam perikop kisah
egneduta@gmail.com

mengenai kesepuluh firman yang diberikan Allah kepada Musa di gunung Sinai.
Apa yang dijelaskan ini bukan semata-mata untuk membela Aborsi. Tidak ada yang
dibela dalam penulisan ini, karena keduanya pun sama pada dasarnya melakukan pembunuhan.
Namun, jika hendak kembali pada fundamentalisme, tindakan yang dilakukan oleh the Army of
God dengan klaim-klaim kitab sucinya tidak dapat dibenarkan. Bahkan terlihat ada inkonsistensi
dari para fundamentalis dalam melihat Alkitab, terbukti dengan adanya perintah untuk jangan
membunuh ternyata tidak mereka lihat secara literal juga. Hal ini penting karena jika mereka
melihatnya secara literal juga sudah pasti mereka tidak akan melakukan pembunuhan, apalagi
dengan mengatasnamakan Allah di dalamnya.
Kelemahan cara baca literalisme yang sarat dengan kepentingan serta struktur yang
menindas ini ditegaskan kembali oleh analisa Gerrit Singgih yang menjelaskan bahwa cara
pembacaan/metode hermeneutik mereka adalah keterpilihan berdasarkan pada hal-hal atau ayat-
ayat tertentu yang dianggap sesuai dengan penghayatan mereka, atau sesuai untuk dijadikan
doktrin bahkan legitimasi kepentingan mereka.176 Untuk itu berarti penerapan literalisme sebagai

174
Mazmur 106:37; Yeremia 9:1; Galatia 1:10; Ibrani 12:4. Ayat-ayat tersebut dijadikan landasan yang melegitimasi
tindakan mereka untuk melakukan kekerasan yang beratributkan nama Allah. Lih. Charles Kimball, When Religion
Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 52
175
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (Australia: HarperCollins Publishers, 2008), h. 52
176
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 332

66
metode tunggal dalam menyikapi dan memahami Alkitab merupakan argumen yang lemah. Hal
ini terbukti dari beberapa hal. Pertama, mereka kaum fundamentalisme tidak menerapkan
pembacaan literalisme ini terhadap seluruh bagian Alkitab, hal ini menunjukkan inkonsistensi
dalam diri mereka sendiri. Jika kita menjadikan kasus yang dilakukan oleh the Army of God
sebagai contoh, maka seharusnya mereka tidak melakukan pembunuhan sebagai upaya untuk
mengatasi pembunuhan. Karena dalam Alkitab sendiri perintah untuk tidak melakukan
pembunuhan jelas dituliskan, dan hal tersebut tidak menjadi perhatian bagi kaum
fundamentalisme, dalam hal ini the Army of God.
Kedua, perlu untuk diperhatikan bahwa setiap bagian Alkitab memiliki konteks-konteks
bahkan ideologi yang berbeda-beda tergantung dari situasi dan penghayatan maupun kondisi dari
para penulis kitab itu sendiri. Menarik bagamana analisa Gerrit Singgih yang menunjukkan
betapa Alkitab perlu dilihat secara berbeda berdasarkan konteks yang meliputinya. Dalam
Perjanjian Baru ada teks Matius 3:3, yang berbunyi: “Ada suara orang yang berseru-seru di
padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya”. Ayat ini
sebenarnya merupakan kutipan dari teks Perjanjian Lama, yaitu Yesaya 40:3 yang berbunyi:
“Ada suara yang berseru-seru: Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah
egneduta@gmail.com

di padang belantara jalan raya bagi Allah kita!”.177 Secara sederhana kutipan pada Matius 3:3
terlihat mulus, namun pada dasarnya kutipan tersebut memiliki masalah. Masalah ini terdapat
pada pemindahan tanda baca (:) dari sesudah “berseru-seru” ke sesudah “padang gurun”, tanpa
disadari hal ini sebenarnya memberikan perubahan makna yang cukup mendalam. 178 Menurut
Gerrit Singgih pada Yesaya 40:3 suara yang berseru-seru itu merupakan suara dari panglima bala
tentara surga, yang memberikan komando bagi pasukan-pasukan khusus (pasukan zeni) untuk
membangun infra struktur untuk bersiap-siap membuat jalan di gurun untuk Tuhan.179 Akan
tetapi, dalam Matius 3:3 makna dari “Suara orang yang berseru-seru di padang gurun” mengarah
pada Yohanes Pembaptis. Lalu makna dari “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan
bagi-Nya” jika melihat konteks Matius adalah hati yang tidak terarah bahkan mungkin hancur
oleh tingkah laku dan ego manusia untuk diluruskan, diratakan, atau diperbaiki dalam rangka
menyambut dan menghadap Tuhan. Perubahan makna dan penempatan (:) ini sudah terjadi dan
dapat dilihat pada LXX180. Hal ini berdampak pada umat gereja perdana di Perjanjian Baru (PB)

177
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 333
178
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 334
179
Dalam penjelasannya ia menambahkan bahwa dalam transmisi teks ini dari zaman ke zaman terjadi semacam
perubahan makna. Jika melihat dalam tatanan masa kini makna dari komando itu ditujukan pada pasukan-pasukan
pelopor dari umat Israel. Lih. Gerrit Singgih, dari Babel ke Yerusalem: Sebuah Tafsir Yesaya Pasal 40-55,
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), h. 25
180
Septuaginta yang merupakan kitab dalam terjemahan bahasa Yunani

67
yang melakukan pengutipan LXX yang dapat dilihat adanya perubahan dalam penempatan (:)
dan berimplikasi pada pemaknaan.181 Dalam melihat hal ini ternyata cukup banyak penafsir yang
menganggap bagian teks tersebut sebagai transmisi yang cukup wajar. Hal ini dikarenakan
penulis Perjanjian Baru mereinterpretasikan teks dari masa lalu, sehingga menjadi relevan serta
aktual pada masa/konteks sang penulis.182 Dari kedua teks tersebut dapat terlihat betapa konteks
menjadi hal yang amat penting. Konteks inilah juga yang menunjukkan bahwa penunggalan
metode pembacaan seperti literalisme tidak dapat dibenarkan dan dipertahankan ketika hendak
melihat teks Alkitab. Menurut Derrida hal ini juga tidak terlepas dari tekstualitas teks yang
dibentuk dari perbedaan-perbedaan dan jejak dari jejak, karena semua teks merupakan perubahan
dari teks lain. Untuk itu permainan dalam proses pencarian makna menjadi proses penting untuk
menunjukkan keberagaman makna-makna melalui konteks.183
Berdasarkan kedua hal tersebut semakin menunjukkan betapa literalisme sebagai metode
pembacaan tunggal atas Alkitab merupakan kelemahan tersendiri. Terbukti bahwa Alkitab
memiliki konteks-konteks yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya. Hal ini juga yang disebut
oleh Derrida sebagai labilitas makna. Makna akan senantiasa labil dan tidak memiliki kekuatan
pada dirinya sendiri. Keterpusatan makna dalam pembacaan literalisme pada teks-teks tertentu
egneduta@gmail.com

menunjukkan betapa usaha dalam melakukan pembatasan makna menjadi suatu


ketidakmungkinan. Untuk itu Derrida dengan dekonstruksinya berangkat dari kesadaran akan
ketiadaan makna secara utuh, sehingga menuntut pembacaan terhadap Alkitab secara kreatif
melalui persilangan teks, dan konteks yang ada. Baik itu konteks yang ada di dalam teks tersebut
maupun konteks yang ada di luar teks. Kreatifitas di sini menunjukkan betapa proses pembacaan
dan intepretasi dilakukan secara terus-menerus tanpa pernah usai. Kesadaran akan makna yang
tidak mungkin tersebut membuat pencarian maupun penelusuran makna teks menjadi tiada akhir.
Proses pembacaan atas Alkitab yang seperti ini juga amat berpengaruh bagi iman. Tentunya
iman dalam tatanan ini menjadi amat berbeda. Makna-makna serta kesan terhadap yang Ilahi
memperoleh perluasan makna yang luar biasa. Di saat yang sama proses pengenalan dalam
relasinya dengan Yang Ilahi pun menjadikan diri lebih terbuka terhadap setiap kemungkinan.
Cara pembacaan dekonstruktif terhadap Alkitab akan membawa diri untuk mau juga terbebas
dari struktur kebenaran tunggal yang otoritatif.

181
Gerrit Singgih, dari Babel ke Yerusalem: Sebuah Tafsir Yesaya Pasal 40-55, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), h. 25
182
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 334
183
Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, h. 142

68
4.2.3. Fundamentalisme: Wujud Iman yang Terbelenggu pada Pengetahuan
Literalisme sebagai metode pembacaan yang lemah menunjukkan betapa konstruksi
fundamentalisme akan kebenaran pun juga lemah. Terlebih dari analisa terhadap literalisme
sebagai metode pembacaan menunjukkan betapa fundamentalisme Kristen sebagai ideologi
dalam mengkonstruksi klaim-klaimnya menunjukkan kelemahan. Pada bagian ini menjadi
menarik untuk melihat bagaimana Derrida menunjukkan kelemahan fundamentalisme tersebut
melalui konsepnya tentang iman. Fundamentalisme Kristen tidak jarang dapat menjadi
penghayatan maupun sikap iman seseorang. Hal tersebut tidak terlepas dari konteks lingkungan,
metode pembacaan terhadap Alkitab, maupun perspektifnya terhadap realitas. Iman yang
fundamentalis ini memiliki kesan awal bahwa pengetahuannya akan sosok Yang Ilahi (Allah)
merupakan pengetahuan yang paling tepat dan absolut, sehingga dalam setiap aktivitasnya tidak
jarang seorang yang fundamentalis mendasarkan setiap perilakunya terhadap gambaran maupun
pengetahuannya terhadap sosok Yang Ilahi tersebut. Hal ini tidak terlepas juga dari
pembacaannya terhadap Alkitab yang dipercaya menjadi wahyu langsung dari Allah.
Pertama-tama penting untuk memperhatikan bagaimana Derrida melihat iman. Menurut
Derrida, iman merupakan elemen yang penting dan utama dari agama, akan tetapi iman disadari
egneduta@gmail.com

memiliki dimensi yang tidak hanya terbatas pada agama. Hal ini dikarenakan iman memiliki
kaitan yang erat dengan relasi, untuk itu dimana ada relasi dan interaksi, di situ diyakini terdapat
iman.184 Untuk itu Derrida menegaskan betapa iman dapat dimengerti dan dimaknai sebagai
pengalaman sosial, karena baginya orang hanya dapat berinteraksi apabila ada iman. 185Hal ini
ditunjukkan dalam bentuk relasi yang sangat sederhana, yaitu relasi dalam wujud interaksi
pembicaraan. Pada situasi tersebut kita tidak akan pernah mengetahui secara pasti apa yang
hendak dimaksudkan/disampaikan oleh lawan bicara kita. Makna yang hadir (dari interaksi
dengan partner wicara) hanya akan dapat diandaikan dan tidak akan dapat diterima dengan
pemaknaan yang pasti, karena kesadaran bahwa relasi yang ada dengan yang lain (dalam hal ini
melalui interaksi) tidak dapat dibuktikan secara empiris,186 yang ada hanyalah kesediaan untuk
menerima tanpa pendasaran yang pasti. Bagi Derrida, proses ini merupakan iman, hal itu

184
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 123.
185
Jacques Derrida,”Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood
(Eds.), Derrida and Religion: Other Testament, (New York-London: Roultedge, 2005), h. 45
186
Kesadaran bahwa makna yang hadir merupakan pengandaian, tidak dapat dilepaskan dari kesadaran bahwa
bahasa memiliki keterbatasan. Dalam hal ini apa yang dipikirkan sebelum melakukan pembicaraan bisa dikatakan
merupakan kelayakan tema pembicaraan, tetapi bukan kelayakan bahasa. Dalam bahasa Rei Terada bahasa/kata-kata
memiliki ‘minimal trustworthiness’. Lih. Paulus B. Kleden “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam
Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober 2010, h. 123. Berdasarkan Rei Terada, “Scruples, or Faith in Derrida,” South
Atlantic Quarterly 106 (2007), h. 246

69
terwujud dari adanya proses pembangunan relasi dan interaksi yang didasarkan pada rasa
percaya.187
Berdasarkan hal tersebut maka iman adalah kepercayaan dan penerimaan tanpa syarat,
baik terhadap apa yang disebut sebagai wahyu di dalam tradisi agama-agama tertentu maupun
terhadap bahasa yang hadir melalui percakapan sehari-hari manusia. Oleh karena itu Derrida
amat menghindari ketunggalan makna iman yang dilihat hanya sebagai sikap khusus manusia
terhadap pengalaman akan Tuhan yang mencintai. Meskipun begitu, Derrida pun juga mengakui
pemaknaan khusus iman sebagai sikap yang dalam kehidupan Kristen disebut sebagai “anugerah
Ilahi”.188
Berdasarkan analisa iman Derrida ini menjadi menarik untuk melihat fundamentalisme
Kristen yang dengan klaim-klaimnya menunjukkan keterbatasan-keterbatasan tertentu yang
disebut oleh Derrida sebagai pengetahuan. Ketika kita hendak menganalisa fundamentalisme
Kristen melalui Derrida, kita tidak dapat melepaskan diri dari analisa Derrida terhadap Kant
mengenai agama. Berdasarkan analisa Derrida terhadap Kant, ia melihat betapa agama memiliki
keterarahan radikal yang memungkinkan agama untuk dialami sebagai sarana dalam memaknai
atau sarana untuk bertemu dengan Yang Ilahi, namun disaat yang sama agama juga dapat dilihat
egneduta@gmail.com

sebagai mesin pencetak keburukan, bahkan keburukan radikal.189


Kedua hal tersebut menurut Derrida harus dapat diterima sebagai wujud kemungkinan
dari agama terhadap keterbukaan total. Keterbukaan total menurut Derrida adalah keterbukaan
187
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 123. Pemahaman ini dapat diperlengkapi dengan analisis iman menurut Heidegger. Walaupun memang
Heidegger sendiri menjelaskan bahwa iman tidak memiliki tempat dalam pikiran, namun hal tersebut ternyata
berdampak juga pada pemahaman akan iman. Dalam analisisnya Heidegger menjelaskan bahwa kita tidak berfikir
dari ketiadaan, namun dari Faktum yang tidak dapat didasarkan lagi. Dalam hal ini bagi Derrida, itulah yang disebut
iman, yaitu sikap untuk mau menerima sesuatu sebagai dasar tanpa mampu mendasarkannya. Meskipun begitu kita
juga harus melihat penolakan Heidegger terhadap iman dalam berfikir dapat dimengerti karena iman pun juga
merupakan penerimaan atas dasar otoritas, iman yang dogmatis. Lih. Jacques Derrida, “Epoche and Faith: An
Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Eds.), Derrida and Religion: Other
Testament, h. 94-98
188
Dalam dialognya dengan Kevin Hart, Derrida menyadari bahwa dekonstruksinya menjadi tak berarti apa-apa
ketika berhadapan dengan “anugerah Ilahi”. Namun penting, Derrida menempatkan “anugerah Ilahi” sebagai
ketidakmungkinan yang penuh dengan kerahasiaan. Untuk itu dekonstruksi ada dan dapat memainkan peran jika
berhadapan dengan kemungkinan, dalam hal ini terhadap kemungkinan dari “anugerah Ilahi”. Lih. Jacques Derrida,
”Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Eds.), Derrida and
Religion: Other Testament, h. 39
189
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h.129. Analisa ini didasarkan pada pembedaan agama menurut Kant. Ia membaginya kedalam dua jenis
agama. Yaitu agama kultis yang berorientasi pada pencarian akan kemurahan Tuhan, dan agama moral yang tertuju
pada perubahan sikap manusia dan masyarakat kepada kebaikan. Masing-masing agama ini memiliki obsesinya
yang tentu berbeda pula. Agama kultis amat berobsesi untuk mengetahui apa yang hendak dilaksanakan Tuhan
terhadap dunia. Hal ini mengarahkan agama kultis pada doa, dan harapan, bukan tindakan yang utama. Bahaya dari
agama ini adalah sifat dogmatisnya yang dilihat oleh Derrida sebagai pengetahuan terbatas. Agama moral terobsesi
pada perbuatan manusia yang sifatnya moral-etis, sehingga (secara ekstrem) orang tidak perlu mencari tahu tentang
Tuhan untuk melakukan hal/tindakan yang bermoral. Lih. Jacques Derrida, “Faith and Knowledge” in Gill Anidjar
(Ed.), Jacques Derrida, (New York-London: Roultledge, 2002), h. 49-50

70
terhadap yang tidak mungkin, dalam hal ini Yang Ilahi. Bagi Derrida sosok Yang Ilahi
merupakan sosok yang tidak mungkin, tak tersentuh dan tak terjelaskan. Kebaikan dan
keburukan dari agama dilihat oleh Derria sebagai dampak/pengaruhnya tidak terlepaskan dari
pengertiannya terhadap Yang Ilahi. Kebaikan maupun keburukan (Istilah Kant agama
reflektif/moral, dan agama dogmatis) memiliki kecenderungan yang sama ketika berbicara
mengenai Tuhan sosok Yang Ilahi yang sama-sama dapat mengarah pada fundamentalisme
tertentu.190 Analisa ini amat menarik, dimana Derrida memberikan dimensi baru dalam melihat
fundamentalisme secara lebih mendalam. Bagi Derrida, kedua kecenderungan agama kebaikan
dan keburukan atau jika hendak kembali pada istilah Kant, agama reflektif dan agama dogmatis,
keduanya ini sama-sama memiliki pandangan tertentu mengenai Allah yang masing-masing
pandangan tersebut dikategorikan oleh Derrida sebagai pengetahuan.191
Mengapa Derrida menyebutkannya sebagai pengetahuan? Lalu apakah perbedaannya
dengan iman dalam relasinya dengan Yang Ilahi? Derrida menyebutnya sebagai pengetahuan
karena masing-masing baik agama reflektif maupun agama dogmatis memiliki
proyeksinya/konstruksinya mengenai Yang Ilahi. Pada agama dogmatis, Derrida cukup keras
menyebutkan bahwa agama tersebut adalah agama tanpa iman.192 Hal ini tidak terlepas dari
egneduta@gmail.com

kepastian dogmatis yang ada pada agama tersebut, kepastian dogmatis ini membuat orang
merasa tahu secara pasti mengenai sosok Yang Ilahi. Pengetahuan pada agama ini terletak pada
alasan serta evidensi yang jelas. Kejelasan itu mereka peroleh dan konstruksikan berdasarkan
wahyu-wahyu Ilahi yang terwujud dalam Alkitab. Berdasarkan pewahyuan historis tersebutlah
mereka menyusun dan memastikan nilai-nilai dogmatis mengenai sosok Yang Ilahi.
Lalu pada agama reflektif yang pada dasarnya mereka beroperasi tanpa Tuhan. Hal ini
disadari dari tindakan-tindakan moral mereka yang seolah-olah tanpa Tuhan. Hal ini disadari
bahwa ada atau tidak adanya Tuhan tidak mempengaruhi diri mereka dalam
melakukan/bertindak secara moral. Menurut Kant, ide-ide regulatif dalam konsep agama reflektif
ini merupakan bentuk ide-ide budi praktis, yaitu ide-ide manusia yang lahir tanpa memerlukan

190
Fundamentalisme Kristen juga bisa menyentuh hal-hal maupun tindakan moral yang sekilas memiliki misi
kebaikan. Gerrit Singgih mengistilahkannya dengan fundamentalisme kiri yang bersifat sosialistis-religius. Dalam
pandangan mereka orang rohani atau orang benar adalah menjadi orang miskin, sedangkan orang duniawi atau orang
berdosa adalah menjadi orang kaya. Lalu dalam menguatkan ideologinya, ayat-ayat yang digunakan dan diseleksi
dari Alkitab adalah ayat-ayat yang menyerang orang kaya atau kekayaan, dan memuliakan kemiskinan serta orang-
orang miskin. Menurut Gerrit Singgih di Indonesia sendiri, hal ini dapat dideteksi pada beberapa aktivis Kristen di
LSM-LSM yang cukup sering mengeluarkan pernyataan anti gereja. Lih. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa
Depan, h. 336
191
Bagi Derrida pengetahuan berbeda dengan Iman. Iman bagi Derrida memiliki dimensi yang lebih mendalam dan
ketersediaan akan keterbukaan terhadap yang tidak mungkin. Pengetahuan dilihat oleh Derrida sebagai keterbatasan
dalam proses berelasi dengan Yang Ilahi.
192
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 127

71
referensi pada wahyu dari dan mengenai Tuhan.193 Ide-ide budi praktis ini berpengaruh dalam
melihat Tuhan. Selanjutnya Tuhan dalam wacana agama reflektif memiliki konsekuensi pada
pelarangan penghadiran-Nya dalam gambar.194 Untuk itu bisa dikatakan bahwa ikonoklasi195
adalah wujud konsekuensi nyata dari agama reflektif. Akan tetapi bagi Derrida hal ini pun
menimbulkan problem baru. Pembebasan Tuhan dari gambar dalam agama reflektif justru
membuat Tuhan/Yang Ilahi terperangkap dalam pengertian dan konsep. Tuhan justru direduksi
menjadi apa yang dipikirkan oleh manusia, disaat yang sama Tuhan menjadi apa yang
dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi sistem berpikirnya.196
Berdasarkan analisa Derrida atas kedua model agama tersebut menunjukkan betapa
konsep fundamentalisme ada dalam kedua model agama tersebut ketika berbicara mengenai
Yang Ilahi. Bahwa Yang Ilahi sama-sama direduksi dalam diri manusia baik dalam bentuk
dogma-dogma maupun dalam bentuk tindakan. Bagi Derrida pereduksian Yang Ilahi ke dalam
konsep-konsep tertentu merupakan bentuk pengetahuan, bukan iman. Derrida menjelaskan
bahwa filsafat seharusnya memainkan peran dalam hal ini untuk mengembalikan agama pada
iman sebagai keterbukaan total, dan membebaskan dirinya dari konsep-konsep pengetahuan yang
membatasi pemaknaan.197
egneduta@gmail.com

Dalam hal ini dekonstruksi dilihat dapat memainkan perannya terhadap konsep-konsep
yang membatasi Yang Ilahi. Pada bagian ini kita dapat melihat Derrida dengan dekonstruksinya
yang fokus terhadap konsep inkarnasi dalam kekristenan yang dilihat memiliki permasalahan
tersendiri mengenai ide serta ikon mengenai Tuhan yang mewahyukan diri. Derrida melihat
bahwa inkarnasi memiliki konsekuensi bagi sosok Tuhan (Yang Ilahi) dalam kekristenan. Hal ini
dikarenakan inkarnasi memberikan sosok yang pasti dan jelas terhadap sesuatu yang sebenarnya
tidak dapat dipastikan, yaitu sosok akan Yang Ilahi. Untuk itu maka Tuhan sebagai yang akan
datang dideterminasi dalam inkarnasi sebagai Tuhan yang sudah datang. Tanpa disadari konsep
ini memiliki konsekuensi tersendiri pada pengkerdilan makna, dan disaat yang sama dapat
dikatakan bahwa Tuhan mati dalam konsep inkarnasi. Konsep inkarnasi ini juga berimplikasi

193
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 128
194
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 128
195
Ikonoklasi merupakan alih bahasa dari ikonoklasme yang merupakan gerakan untuk memusnahkan ikon atau
gambar-gambar (seni) religius yang dihormati. Klenden menggunakan ikonoklasi hendak menunjukkan betapa
agama reflektif hendak menghindari bahkan memusnahkan gambaran-gambaran Allah yang dianggap membatasi
tindakan moral mereka.
196
John P. Manoussakis, “The Revealation According to Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood
(Ed.), Derrida and Religion: Other Testament, h. 315
197
Derrida menegaskan hal ini melalui analisa kritisnya terhadap pemikiran Heidegger dan filsuf-filsuf lainnya. Lih.
Jacques Derrida, “Faith and Knowledge” in Gill Anidjar (Ed.), Jacques Derrida, h. 99

72
pada iman, yang dijadikan sebagai objek pengetahuan dan disaat yang sama medegradasikan-
Nya (Yang Ilahi) dari ke-Tuhan-Nya.198 Untuk itu menurut Derrida inkarnasi harus diubah
menjadi ikonoklasi. Penghadiran Tuhan sebagai sosok yang pasti dan jelas dalam sosok historis
tertentu perlu diatasi dengan pembongkaran pada gambaran tersebut serta dekonstruksi pada
ajaran-ajaran baku mengenai Tuhan.
Menurut Derrida, konsep iman yang dibatasi oleh pengetahuan (dogma, maupun
pewahyuan historis) dijadikan sumber bagi tindakan-tindakan fundamentalis, bahkan terorisme
yang mengatasnamakan agama. Berdasarkan hal inilah maka Derrida membangun konsepnya
mengenai iman untuk melihat secara kritis pandangan serta penghayatan iman yang terkurung
serta terbatas pada pengetahuan yang amat mudahnya dijadikan sarana legitimasi bagi tindakan
dan sikap yang antirasio (kekerasan radikal).

4.2.4. Membebaskan Iman dari Belenggu Pengetahuan


Jika berangkat dari analisa Derrida yang dengan kritis berupaya untuk membebaskan
iman dari belenggu pengetahuan yang dilihat amat membatasi iman ketika hendak berbicara
mengenai sosok Yang Ilahi, apakah dengan demikian iman menjadi sesuatu yang terbebas juga
egneduta@gmail.com

dari pemikiran kritis sehingga iman benar-benar terbebas dari konstruksi pemikiran sekaligus
pertanyaan-pertanyaan yang ada di sekitarnya? Hal ini menarik, bagi Derrida justru kekritisan itu
tetap harus menjadi bagian dari iman. Untuk itu Derrida amat membedakan rasionalitas (iman)
dengan pengetahuan.
Menurut Derrida rasionalitas tidak sama dengan pengetahuan. Pengetahuan dilihat justru
merupakan bagian tertentu dari rasionalitas, namun tetap keduanya berbeda. Pemikiran kritis
Derrida yang hendak membebaskan iman dari belenggu pengetahuan tidak serta merta
menghilangkan dimensi rasionalitas iman. Rasio bukanlah musuh dari iman, iman justru
irrasional ketika ia diindentikkan dengan pengetahuan.199 Yang membedakan rasionalitas iman
dengan pengetahuan adalah sifatnya yang dilihat mampu untuk menyentuh dimensi kerahasiaan
yang sebenarnya tak dapat dijelaskan/yang tak mungkin. Untuk itu rasionalitas akan tampak pada
cirinya yang tidak dapat diobjektivasi. Sedangkan objektivasi pada hal ini muncul dalam bentuk
dogmatisme atau fundamentalisme baik fundamentalisme teistis serta ateisme radikal. Menurut
Derrida kedua hal tersebut antara fundamentalisme teistis maupun ateisme radikal berangkat dari
hal yang sama. Yaitu sama-sama memiliki proyeksi bahwa manusia dapat memiliki/membuat

198
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 129
199
Disaat yang sama ketika rasionalitas mengekslusifkan iman, maka hal tersebut menjadikan iman tidak rasional.
Lih. Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 130

73
pernyataan yang pasti mengenai Tuhan, dan menurut Derrida hal ini dikategorikan dalam
wilayah pengetahuan.200 Usaha Derrida untuk membebaskan iman dari pengetahuan ini bukan
serta merta untuk memberikan/membuat konstruksi yang baru mengenai kebenaran iman. Dalam
pemikirannya Derrida hendak menunjukkan bahwa dalam struktur berfikir dan bertindak
manusia selalu ada ruang untuk yang tidak mungkin.201 Iman bagi Derrida justru sebagai struktur
yang memampukan manusia untuk memberi tempat bagi yang tidak mungkin. Hal ini dapat
dijelaskan lebih lanjut dalam konstruksi iman Derrida mengenai ketidakmungkinan yang
mungkin

4.3. Sikap Derrida: Iman Wujud Keterbukaan pada Yang Tidak Mungkin

Jika berbicara mengenai iman ada yang menarik diajukan oleh Derrida, yaitu The
Possible Impossibility. Setelah melakukan perjalanan panjang pada konsep iman yang
terbelenggu oleh pengetahuan (fundamentalisme). Maka pada bagian ini Derrida hendak
mengajak kita untuk masuk dalam dimensi iman yang memiliki keterbukaan radikal pada ke-
tidak-mungkin-an. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Rasionalitas iman yang dijelaskan
oleh Derrida merupakan rasionalitas yang terbuka pada ketidakpastian, atau yang diistilahkan
egneduta@gmail.com

olehnya adalah rasionalitas ketidakmungkinan yang mungkin (the possible impossibility). Dalam
wacana Derrida, yang mungkin (the possible) dan yang tak mungkin (the impossible) bukanlah
dua hal yang bertentangan sepenuhnya. Ketidakmungkinan perlu dilihat sebagai dasar bagi
kemungkinan dari apa yang disebut sebagai peristiwa (event).202
Secara filosofis hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, sesuatu yang
aktual senantiasa menunjukkan potensialitasnnya. Untuk itu sesuatu dapat menjadi aktual oleh
karena ada kemungkinan untuk menjadikannya seperti itu. Akan tetapi pengalaman yang
dirasakan dari aktualitas tersebut diperhadapkan pada hal-hal yang amat mengesankan, bahkan
hal-hal yang tidak dapat terbayangkan sebelumnya sebagai potensialitas. Pengalaman seperti ini
disebut sebagai peristiwa (event). Peristiwa ini hadir untuk mempertimbangkan kembali sesuatu
yang dipandang biasa terjadi dan sewajarnya diharapkan, atau yang sudah diketahui sebagai

200
Proyeksi tersebut terihat pada masing-masing wacana yang ada pada mereka. Fundamentalisme teistis
memastikan pernyataan positif tentang Tuhan, sementara ateisme radikal menolak secara pasti keberadaan Tuhan.
Lih. Paulus B. Kleden, Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman, dalam “Diskursus” Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, hlm. 131. Bdk. Jacques Derrida, ”Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and
Yvonne Sherwood (Ed.), Derrida and Religion: Other Testament, h. 46. Dimana Derrida dengan tegas menghindari
konstruksi absolut tentang Tuhan (Yang Ilahi).
201
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 131
202
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 131. Bdk. Jacques Derrida,”Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida” in Kevin Hart and
Yvonne Sherwood (Ed.), Derrida and Religion: Other Testament, h. 44

74
potensialitas. Untuk itu maka dalam sebuah peristiwa kita akan diperhadapkan dengan sesuatu
yang dianggap atau dilihat sebagai yang tidak mungkin, atau sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah terbayangkan untuk terjadi. Dalam hal ini bagi Kleden, peristiwa (event) dapat dikatakan
sebagai wujud penyingkapan kemungkinan dari yang tidak mungkin.203
Kedua, ketika kenyataan bahwa manusia sering berhadapan dengan pengalaman yang tak
terduga/melampaui akal, maka disaat yang sama hal tersebut menunjukkan adanya
ketidakmungkinan yang mungkin. Sebagaimana aktualitas menyingkapkan potensialitas,
demikian juga dengan peristiwa yang menunjuk pada ketidakmungkinan yang mungkin.
Ketidakmungkinan dalam hal ini bersifat absolut, namun ia dirindukan sebagai yang mungkin.
Oleh karena itu, ketidakmungkinan (the impossible) adalah sesuatu yang tak terkondisikan, tak
teramalkan dan hanya berupa ungkapan kemurahhatian yang senantiasa dirindukan.204
Melalui struktur the possible-impossibility kita dapat menemukan dan menganalisa
konsep iman dalam pemikiran filosofis Derrida. Pada respons kritisnya terhadap
fundamentalisme kita dapat melihat betapa Derrida menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat
dikonstruksikan kedalam unsur-unsur tertentu, di saat yang sama Tuhan pun tidak dapat
diprediksi maupun dikalkulasikan. Oleh karena itu maka Tuhan ditempatkan sebagai
egneduta@gmail.com

ketidakmungkinan. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang
tidak dapat hadir/dihadirkan secara penuh. Kehadiran Tuhan dalam dunia dan sejarah hanya
merupakan suatu kemustahilan, akan tetapi yang mustahil ini berbeda dengan tidak ada.
Mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat hadir dalam sejarah dan dunia tidak sama dengan
mengatakan Tuhan tidak ada, hal ini membuat keberadaan Tuhan baik dalam sejarah maupun
dunia dilihat sebagai suatu kemungkinan.205 Tetapi penting untuk diperhatikan bahwa
kemungkinan dari Tuhan sebagai yang tidak mungkin hanya akan dapat diterima sebagai iman.
Hal ini seakan-akan menegaskan betapa Tuhan tidak akan pernah bisa dipastikan (Impossibility).
Untuk itu beriman menjadi suatu sikap yang permanen ketika berhadapan dengan
kemungkinan.206

203
Kita sebagai manusia tentu pernah terkesan dengan sesuatu yang terjadi melampaui akan pikiran kita, dan secara
refleks/spontan mengatakan bahwa sesuatu tersebut (peristiwa) merupakan sesuatu yang amat tidak mungkin untuk
terjadi karena melampaui akal kita. Dalam situasi seperti ini pasti memberikan kesan tertentu yang membuat kita
terpesona, maupun tergugah dengan peristiwa yang tidak mungkin tersebut. Lih. Paulus B. Kleden, “Iman yang
Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober 2010, h. 131
204
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 132. Dirindukan karena ketidakmungkinan bisa saja terjadi dalam situasi yang tak terketahui.
205
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 136
206
Ketika dikatakan bahwa beriman merupakan sikap permanen maka iman jangan dilepaskan dari rasionalitas.
Rasionalitas iman dalam hal ini berperan ketika berhadapan dengan kemungkinan. Hal ini juga dijelaskan secara
implisit oleh Derrida dalam wawancaranya ketika berbicara mengenai doa. Lih. Jacques Derrida,”Epoche and Faith:

75
Iman dalam struktur the possible impossibility ini menunjukkan betapa beriman
merupakan wujud keberanian untuk mengambil resiko. Beriman berarti meyakini bahwa yang
tidak mungkin itu mungkin tanpa pernah dapat memastikannya. Ketika beriman berhadapan
dengan sesuatu yang hanya dapat dibayangkan sebagai kemungkinan menunjukkan betapa
proses ini ada dalam kebimbangan antara kegagalan atau keberhasilan. Beriman seperti ini tidak
memiliki jaminan apapun207, sehingga membuat seseorang akan berhadapan dengan
kemungkinan yang terbuka secara radikal. Pada proses ini seseorang akan mampu menemukan
segalanya, namun disaat yang sama ia dapat kehilangan segalanya.208 Oleh karena itu iman pada
tatanan inimerupakan sebuah proses pencarian yang terus menerus. Untuk itu beriman dengan
penghayatan yang seperti ini akan mengajak seseorang untuk senantiasa berfikir kritis serta
menghindarkan diri terhadap suatu pernyataan serta penjelasan secara absolut tentang iman,
maupun tentang relasinya terhadap Yang Ilahi, yang tidakmungkin itu. Kekritisan dalam iman ini
menjadi amat penting untuk menghindarkan diri dari keterarahan atau pengidentifikasian secara
absolut pada kekuasaan atau kekuatan religius, politik, dan ekonomi yang hadir dalam
sejarah/realitas kehidupan.
egneduta@gmail.com

4.4. Dilema Iman

Melalui perjalanan yang cukup panjang dalam melihat realitas fundamentalisme Kristen
dan bagaimana bersama ‘dengan’ Derrida melihat fenomena dari realitas tersebut. Berdasarkan
analisa yang ada, terungkap betapa fundamentalisme Kristen dan pemikiran Derrida amat
berlawanan ketika membahas beberapa hal, terkhusus mengenai iman. Memang
fundamentalisme seakan-akan tak berdaya dengan pemikiran dekonstruksi Derrida yang
membongkar keimanan fundamentalisme secara luar biasa. Namun, disaat yang sama
dekonstruksi dengan sifatnya pembongkarannya tersebut membuat seakan-akan iman menjadi
rumit untuk dimaknai, dihayati bahkan sekedar untuk dipahami. Meskipun begitu, setidaknya
kehadiran Derrida secara kritis mampu untuk memberikan perspektif/dimensi baru ketika hendak
melihat fundamentalisme Kristen. Fundamentalisme Kristen dalam tatanan Derrida dilihat bukan
hanya sebagai dasar bagi kelompok tertentu ketika memberikan respons dan melakukan tindakan
atas sesuatu. Fundamentalisme Kristen dilihat pada dimensi yang lebih mendalam, pada dimensi
keyakinan atas sesuatu. Ketika berbicara mengenai keyakinan maka kecenderungan pada

An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Ed.), Derrida and Religion: Other
Testament, h. 30
207
Iman tanpa jaminan ini merupakan wujud iman yang sebenarnya yang selama ini diperjuangkan oleh Derrida
ketika ia membebaskan iman dari belenggu pengetahuan.
208
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 136

76
konsep-konsep maupun pemahaman fundamentalistik sebenarnya ada pada setiap orang ketika
menghayati relasinya dengan Tuhan. Untuk itu secara radikal Derrida masuk dan membongkar
struktur keyakinan tersebut yang tak terlepas dari pengaruh konstruksi agama dan penunggalan
makna terhadap wahyu historis dalam bentuk teks Alkitab.
Proses pembongkaran Derrida yang mampu membawa pembacanya dalam tatanan yang
membebaskan makna, seraya menunjukkan hal-hal/makna-makna tersembunyi yang selama ini
luput dan tak disadari oleh banyak orang amat patut untuk diapresiasi. Akan tetapi, penting juga
untuk melihat Derrida dengan pemikirannya yang amat radikal tersebut membawa pembacanya
pada dimensi yang sama sekali asing, sehingga membuat pembacanya seakan-akan menjadi buta
dan tak terarah ketika mencoba mendasarkan diri, atau setidaknya kembali pada realitas
keimanannya. Hal ini tentu menjadi pergumulan tersendiri bagi iman seseorang.
Untuk itu kenyataan bahwa kita diperhadapkan pada dua pemikiran yang berbeda sama
sekali berbeda/ekstrem memang tidak dapat dihindari. Hal ini dipengaruhi oleh karena kedua
pemikiran tersebut berangkat dari sudut pandang yang amat berbeda. Derrida dengan pemikiran
kritisnya walaupun menunjukkan pemaknaan-pemaknaan baru ternyata disaat yang sama juga
dilihat sebagai ancaman terhadap pola kehidupan mapan, yang terbiasa dengan kepastian dalam
egneduta@gmail.com

diri agama. Hal ini tentu menjadi ketakutan telak bagi orang-orang yang amat terbiasa dengan
kepastian dan konstruksi jelas mengenai sosok Yang Ilahi, yang dapat dijadikan pegangan hidup
maupun klaim terhadap tindakan-tindakan/realitas tertentu. Ketakutan akan konsep iman Derrida
ini menjadi wajar ketika manusia senantiasa membutuhkan proyeksi/kepastian tertentu mengenai
sosok Yang Ilahi bagi dirinya. Kepastian seperti ini tentu dirasa aman dan nyaman, bahkan
mungkin menyenangkan karena sesuai dengan harapan diri mengenai sosok Yang Ilahi tersebut.
Untuk itu pada tatanan ini dapat terlihat betapa iman memperoleh goncangan yang luar biasa,
dan iman diperhadapkan dengan ketidakpastian yang radikal. ‘Pegangan-pegangan’ dan
kepastian iman sekarang menjadi hancur dan iman menjadi amat rapuh dalam tatanan ini,
sehingga membuatnya masuk pada kebutaan dan keterasingan.
Oleh karena itu, iman sekarang diperhadapkan dengan dilema baru. Pembongkaran
radikal Derrida ternyata menghantarkan iman pada kesan akan relativisme yang tentunya
berujung pada nihilisme/kekosongan.209 Pada konteks ini iman berada dalam kebutaan dan
kerapuhan, iman seakan-akan tak memiliki kekuatan ketika hendak berelasi dengan Yang
Ilahi.Bercermin dari dilema tersebut, bukankah dalam konteks masa kini iman tentunya juga
perlu melihat serta menanggapi realitas nyata, dan disaat yang sama mempersiapkan diri dalam

209
A. Sudiarja, “Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya”, dalam Basis No.11-12, tahun ke-54, Nov-Des
2005, h. 4

77
menghadapi masa depan. Dalam konteks ini lalu bagaimana iman mampu untuk setidaknya hadir
dan bergaul dengan realitas kongkret? Bukankah iman itu merupakan wujud eksistensial
seseorang dalam realitas kongkret, terlebih dalam relasinya dengan Yang Ilahi?
Untuk menjawab pertanyaan ini memang membutuhkan perenungan yang mendalam,
akan tetapi Derrida yang hadir dengan pemikiran radikalnya tentu memberikan harapan tertentu.
Derrida dengan dekonstruksinya sebenarnya bukan bermaksud untuk menyerang agama. Ia
hanya sekedar mempertunjukkan penemuannya atas makna-makna yang tak terbayangkan/tak
terkatakan sebelumnya oleh karena disembunyikan dengan kuatnya rezim kepastian agama.
Untuk itu menjadi penting bagi kita dalam melihat dan menanggapi pemikiran Derrida ini,
apakah kita mau tertutup dan menguatkan bangunan fundamentalistik, atau justru bersedia untuk
setidaknya merenovasi secara keseluruhan konsep pemikiran dan refleksi kita akan iman. Seni
dalam iman yang disuguhkan Derrida sebenarnya memampukan kita untuk melihat dan
merefleksikan kembali kehidupan beriman secara mendalam. Derrida dalam hal ini sebenarnya
hadir sebagai penggelitik bagi iman agar ia tergugah untuk mau mereinterpretasikan dirinya
dalam melihat realitas yang ada yangtak terbayangkan, serta tidak terjebak dalam bayang-bayang
pengetahuan yang mengabsolutkan segala sesuatu.Proses ini yang disebut Kearney sebagai
egneduta@gmail.com

langkah dekonstruksi Derrida yang hadir dalam memberikan kritik tersendiri atas performasi
agama, baik dalam ajarannya, praktiknya, bahkan pada kebutuhan akan agama yang dimaknai
sebagai sumber inspirasi bagi transformasi di dalam sejarah dan dunia.210 Berdasarkan tanggapan
Kearney ini menjadi menarik untuk terjun dan masuk dalam perjalanan menyelusuri Derrida, dan
menemukan makna-makna yang tak terduga dalam rangka menghidupi iman secara baru, yaitu
keimanan yang berada dan hadir dalam konteks plural.

4.5. Iman yang Merayakan Realitas Plural

Derrida dengan penghayatan imannya tidak hendak memberikan pegangan kepastian baru
bagi orang-orang yang memaknai iman sebagai pegangan absolut dalam melihat realitas secara
tunggal. Menurut Derrida kepastian pada iman yang seperti ini akan membatasi Yang Ilahi
sebagai yang tak mungkin, dan yang tak terbatas untuk hadir dengan segala keberlainannya
dalam realitas. Untuk itu iman Derrida dalam tatanan The Possible Impossibility ini amat lekat
sekali dengan resiko-resiko maupun kegelisahan.

210
Paul Budi Kleden, “Tuhan yang akan Datang dan Inisiatif Manusia: Perubahan Dalam Sejarah Membaca Derrida
Bersama Kearney”, dalam Studia Philosophica et Theologica Vol. 10, No. 2, Oktober 2010, h. 169. Hal ini
tergambar juga dari pernyataannya yang tidak menganggap remeh agama dalam mempengaruhi kehidupan manusia.
Lih. Jacques Derrida, “Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida,” in Kevin Hart and Yvonne Sherwood
(Ed.), Derrida and Religion, h. 27-49

78
Dunia postmodern seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan dunia
dengan dimensi yang amat luas dengan keberagaman dan pluralitasnya. Pluralitasnya baik dari
segi pemikiran, penghayatan, bahkan teknologi menjadi realitas yang tak tertahankan, bahkan
kita dapat diperhadapkan dengan realitas yang sama sekali lain, yang tak pernah terfikirkan dan
tak terprediksikan sebelumnya. Dalam situasi seperti ini seseorang akan diperhadapkan pada dua
pilihan, yaitu penghindaran diri dari realitas plural tersebut, dan disaat yang sama
mengkonstruksikan kepastian pada dirinya untuk digunakan sebagai tameng maupun amunisi
untuk memberikan penilaian bahkan perlawanan ketika diperhadapkan dengan realitas plural.
Hal ini yang dapat kita saksikan secara nyata dalam diri fundamentalisme. Tapi disaat yang sama
kita juga dapat melihat pluralitas tersebut sebagai medan kekayaan makna, yang melalui Derrida
kita diajak untuk masuk serta bermain dalam pusaran kepelbagaian tersebut dalam rangka
menghayati Yang Ilahi dan berproses bersama-Nya.
Dari tatanan Possible Impossibility sebenarnya mengajak kita untuk masuk dalam
pusaran kepelbagaian tersebut sebagai bagian nyata dari permainan akbar makna-makna
kemungkinan, sebagai wujud penghadiran diri dari yang tidak mungkin. Tetapi, proses untuk
mau masuk dan bermain dalam pusaran pluralitas bukanlah hal yang mudah. Derrida
egneduta@gmail.com

menunjukkan bahwa dalam upaya tersebut membutuhkan pembongkaran kritis. Terlebih pada
tatanan-tatanan yang membatasi diri baik terutama pada kerangka berfikir yang berimplikasi
pada sikap iman fundamentalistik. Pembongkaran yang dilakukan Derrida terhadap tatanan-
tatanan kepastian tersebut ternyata tidak serta merta membuat Derrida menghilangkan nilai-nilai
maupun unsur-unsur yang cukup berharga dalam diri keagamaan, khususnya kekristenan.211
Sama halnya ketika Derrida menyikapi teks-teks filosofis. Ia bukanlah pemikir yang tiba-tiba
muncul dengan pemikiran yang benar-benar baru, dan dengan pemikirannya tersebut ia dapat
dengan seenaknya membongkar segala bentuk teks-teks maupun pemikiran filosofis yang ada.
Sebagai contoh, melalui Chora212 ia menunjukkan proses pembacaannya dalam memahami
Plato, Aristoteles, dan filsuf lainnya. Bahkan dengan rendah hati ia mengatakan bahwa
Heidegger merupakan inspirasi terbesarnya dalam berfilsafat. Proses pemahamannya bukan

211
Dalam wawancaranya bersama dengan John Caputo, Kevin Hart, dan Yvonne Sherwood terlihat betapa Derrida
amat bersinergi dan memiliki ketertarikan besar ketika berdialog bersama mengenai keagamaan dan wacananya
terhadap iman. Dari wawancara itu juga menunjukkan betapa pemikiran Derrida hadir sebagai ajakan bagi
keagamaan untuk senantiasa mau merefleksikan dirinya kembali dalam realitas kesehariannya. Lih. Jacques
Derrida,”Epoche and Faith: An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Ed.),
Derrida and Religion: Other Testament, h. 27-49
212
Chora bukan wacana yang muncul dari Derrida. Chora merupakan suatu kata yang muncul dalam tulisan yang
berjudul Timaeus, salah satu dari trilogi Plato yang berjudul The Republik. Derrida membaca chora dari Plato ini
seraya menunjukkan pemikiran filsafatnya juga, yang merupakan suatu proses pemaknaan terus menerus. Hal ini
dikarenakan Chora tidak memiliki finalitas, dan hal tersebut membuat dirinya tidak dapat dipastikan sepenuhnya.

79
sekedar hanya mengulangi pemikiran para filsuf saja, namun ia melampauinya. Pemahamannya
pada teks filosofis memampukan dirinya untuk menemukan ketegangan, kontradiksi, serta
keberagaman yang justru ada dan muncul di dalam teks itu sendiri (bdk. Dekonstruksi).
Dalam keagamaan pun ia menerapkan proses pemahaman yang sama. Dogma-dogma
serta pewahyuan Ilahi bukanlah hal yang harus dihindari dan dibongkar sepenuhnya.
Pembongkaran itu dilakukan ketika iman terperangkap hanya pada dogma-dogma serta
pewahyuan Ilahi yang dikategorikan Derrida sebagai pengetahuan. Penghayatan iman dengan
kesadaran Possible Impossibility melihat bahwa dogma-dogma dan pewahyuan Ilahi hadir
sebagai kemungkinan dari yangtidakmungkin (Absolut). Kesadaran bahwa yang tidak mungkin
sebagai yang Absolut dan tak dapat didefinisikan secara pasti membuat kemungkinan hadir
dalam wujud yang beragam. Dalam tatanan ini menjadi menarik, bahwa keberagaman dari
ketidakmungkinan dapat mengandaikan dirinya ke dalam kemungkinan-kemungkinan yang sama
sekali lain dan tak terpikirkan/terprediksikan sepenuhnya. Derrida menjelaskan hal ini dengan
konsep the Other. Dari konsep tersebut kita diajak untuk berani masuk pada dimensi keterbukaan
iman dalam menghadapi dan menyambut wujud-wujud kemungkinan yang sama sekali lain.
Asyik dalam pemaknaan, namun disaat yang sama asing dalam perjumpaan.
egneduta@gmail.com

4.5.1. Menghayati keber – lain – an Yang Ilahi sebagai “the Other”


Dekonstruksi Derrida yang membuatnya sampai pada pemaknaan The Possible
Impossibility berpangkal akan keterbukaan iman pada masa depan absolut. Dalam tatanan ini
seseorang menyambut masa depan sebagai momen apokaliptik bagi datangnya sang Other yang
amat dinantikan, dirindukan, dan disaat yang sama tak terramalkan dan melampaui batas-batas
antisipasi diri. Bisa dikatakan bahwa kemungkinan-Nya tidak dapat dibayangkan maupun
ditebak secara pasti. The Other menjadi sesuatu yang amat mustahil, yang tak mungkin, atau
yang belum mungkin. Oleh karena itu kedatangannya akan menjadi momen yang sangat
mengejutkan dan menggetarkan.213 Pada momen ini, iman menjadi amat beresiko, rentan, tak
stabil, dan penuh dengan ketidakpastian.
Oleh karena itu tidak ada definisi mengenai the Other, dalam keabsolutannya Ia hanya
menjadi harapan untuk dapat dirasakan dan kehadiran-Nya begitu dinantikan. Dalam ajakan
apokaliptiknya kata viens, “datanglah” hendak menunjukkan nada apokaliptik yang dekonstruktif
terhadap kehadiran dan keterbukaan pada masa depan absolut.214 Kata viens terkait dengan dua

213
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 187
214
Kata viens (Datanglah!) merupakan kata yang terdapat dalam fragmen dari The Book of Elie. Dengan kata ini
Derrida hendak menunjukkan sisi apokaliptik terhadap the Other. Lih. John Caputo, The Prayers and Tears of
Jacques Derrida, (Indianapolis: Indiana University Press, 1997), h. 69. Fragmen tersebut diterjemahkan dengan baik
oleh Al-Fayyadl. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 188

80
makna pada dirinya, yaitu venir (‘datang’, come) dan a venir (‘datang-menuju’, in-coming).
Kedua makna ini venir dan a venir menunjukkan bahwa “kedatangan” the Other tidak akan
pernah dapat diantisipasi, ia melampaui momen-momen kehadiran dengan menciptakan sebuah
dimensi yang tak terkenali dan tak terpikirkan sebelumnya. 215 Oleh karena itu maka “waktu”
tidak lagi dapat dipahami secara linear atau teleologis. “Waktu” dalam hal ini lebih merujuk pada
pengalaman akan yang-tak-mungkin dengan the Other, yang selalu berubah dalam peristiwa
yang dihadirkan/dimunculkan-Nya.216
Derrida secara tegas juga menunjukkan penghindaran penamaan atau pengatributan the
Other. Hal ini karena sifat absolut yang membuat-Nya sama sekali lain (the wholly other),
sehingga Ia bebas dan tak mampu untuk dikendalikan, bahkan dikonstruksikan pada definisi-
definisi tertentu. Untuk itu maka pengalaman dengan the Other, selain apokaliptik, disaat yang
sama juga apofatik, yakni menghindari upaya apapun untuk menamai apapun dalam bentuk
apapun kepada the Other.217 Penghindaran mendekati the Other dengan penamaan ini
menunjukkan adanya keinginan untuk menghormati “keberlainan” the Other tersebut dari
pengaruh pengetahuan, penglihatan, dan hasrat untuk menguasai dan memiliki-Nya. Berangkat
dari sikap menghormati the Other ini pada akhirnya memberi kesadaran untuk menjaga
egneduta@gmail.com

“namanya” dan membiarkan the Other itu hadir dengan segala kebesaran dan keabsolutan-Nya
dalam keberlainan-Nya.218
Penghindaran penamaan the Other menunjukkan betapa apofatik Derrida menjelaskan
bagian atau bentuk dari teologi negatif (negativa) yang senantiasa akan menjadi bayang-bayang
bagi pemahaman logosentris akan Yang Ilahi.219 Hal ini juga menunjukkan kesadaran bahwa diri
yang tidak akan sanggup untuk menjangkau “keberlainan” the Other. Atas kesadaran inilah yang
membuat diri menyadari keterbatasan sehingga menjaga keunikan-Nya. Jika kembali pada
makna apokaliptik viens, menunjukkan adanya keterbatasan bahasa ketika hendak berbicara
mengenai the Other, namun disaat yang sama ada penerimaan sepenuhnya akan kedatangan the
Other yang tak terjelaskan itu. Makna ganda ini sebenarnya dapat ditemukan juga pada tradisi

215
Caputo menjelaskan betapa kedatangan the Other tidak dapat dimengerti dan diluar pemahaman seutuhnya
karena keberlainannya. The call of “come”, the apocalyptic tone of viens, belongs to another time, other than
philosophy’s time, to a more Jewish and biblical time, a time organized around the promise not the present. John
Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida, h. 70
216
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 189
217
Menurut Al-Fayyald ketidakmungkinan untuk mengatributkan the Other disebabkan adanya keinginan diri (ego)
untuk mendekati-Nya dengan bahasa yang kita yakini mampu untuk menjelaskannya. Padahal Derrida telah
menunjukkan betapa bahasa yang ada pada kita mengandung keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan oleh
differance. Lih. Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 192
218
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 192
219
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 194. Berdasarkan, Jacques Derrida, Sauf le nom,
(Paris: Galilee, 1993), h. 15-16

81
Yahudi yang diakui dan diterima oleh kekristenan. Al-Fayyadl juga menjelaskan bahwa dalam
tradisi Yahudi Tuhan yang digambarkan sebagai Yahweh ternyata menunjukkan wajah ganda,
baik apokaliptik, maupun apofatik. Pada Keluaran 3:14 menunjukkan makna/wajah ganda dari
Yahweh. Bagi Derrida “nama” ini, walaupun hadir dalam konteks tradisi dan sejarah Yahudi
memberi penyadaran tersendiri akan sesuatu yang tak terbatas, the Other yang mentransendensi
sejarah dan tradisi, yang juga memberikan inspirasi tak terbatas dan tak kunjung selesai akan
kedatangan apokaliptik the Other dalam momen-momen yang tak terduga. Yahweh merupakan
penanda, yang memberikan sugesti kuat dan merangsang kita untuk menghadap sepenuhnya ke
masa absolut dengan segala keberlainan-Nya.220 Untuk itu the Other merupakan misteri yang tak
mampu dimengerti secara pasti.
Kemisterian-Nya menurut Derrida dapat direfleksikan dan dimaknai berdasarkan
peristiwa iman Abraham. Dalam kekristenan kisah mengenai iman Abraham ini tertulis pada
Kejadian 22:1-19. Dalam teks tersebut dijelaskan bahwa Abraham mendapatkan perintah yang
tidak wajar, dan secara etis bisa dimaknai betapa perintah Allah cukup kejam, yaitu perintah
untuk mengorbankan Ishak yang merupakan anak satu-satunya dari hasil perkawinan dengan
Sarah. Anak yang amat dikasihinya.221 Situasi yang seperti itu membuat Abraham ada dalam
egneduta@gmail.com

kebutaan, terlebih Allah tidak menyampaikan alasan maupun tujuan yang jelas kepada Abraham
mengenai perintah yang harus dilakukannya itu. Situasi ini menurut Derrida menunjukkan betapa
Allah menyatakan diri-Nya yang penuh dengan kemisteriusan yang tak terpahami. Meskipun
begitu Abraham tetap menjalani dengan setia perintah yang diberikan oleh Allah itu.222
Ada yang menarik di sini, ketika kebutaan dengan penuh kegelisahan itu melanda diri
Abraham, ternyata tidak membuat dirinya untuk melakukan analisa maupun proyeksi tertentu
terhadap pentintah Allah tersebut. Hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan oleh Abraham
ketika anaknya Ishak bertanya kepadanya. Dalam perjalanan menuju gunung Moria untuk
melakukan upacara korban, Ishak dengan polosnya bertanya kepada ayahnya mengenai
keberadaan hewan yang akan dijadikan korban bakaran. Pada situasi ini bisa saja Abraham
berandai-andai dan berbohong kepada Ishak dengan tujuan tertentu, namun hal tersebut tidak

220
Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 194
221
Menurut Derrida teror pada diri Abraham sudah dimulai ketika Abraham diperhadapkan dengan pilihan untuk
mengorbankan salah satu dari dua anak yang sama-sama dikasihi olehnya. Bagi Derrida situasi seperti ini dialami
oleh setiap manusia. Ketegangan proses pemilihan ini memang tidak ada dalam bagian Alkitab. Ketegangan tersebut
merupakan pembacaan yang Derrida lakukan terhadap Bereshith Rabba. Lih. Jacques Derrida,”Epoche and Faith:
An Interview with Jacques Derrida”, in Kevin Hart and Yvonne Sherwood (Ed.), Derrida and Religion: Other
Testament, h. 34
222
Fear and Treambling, itulah yang dirasakan oleh Abraham ketika melaksanakan perintah Allah. Perasaan tersebut
yang juga membuat Abraham tidak mampu berkata-kata dan membuat ia berada dalam ketidaktahuan yang
mendalam. Lih. Jacques Derrida, The Gift of Death, terj. David Wills, (Chicago: The University of Chicago Press,
1995), h. 58

82
dilakukan oleh Abraham. Kepada Ishak ia menjawab bahwa semuanya akan disediakan oleh
Allah.223 Jawaban yang diberikan Abraham menurut Derrida menunjukkan betapa Abraham
hendak menjaga dimensi kerahasiaan yang ada. Derrida melihat bahwa jawaban yang ada dari
Abraham tersebut disaat yang sama ia menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang
bertanggungjawab terhadap Allah dalam melaksanakan perintah-Nya. Bagi Derrida
menunjukkan tanggung jawab diri dalam menghayati Allah di saat yang sama menunjukkan
dimensi apriori yang mendalam. Tanggung jawab yang diemban Abraham ternyata di saat yang
sama menunjukkan dirinya yang tidak bertanggungjawab terhadap anaknya. Bagaimana tidak,
tindakan yang hendak dilakukan Abraham adalah membunuh anaknya sendiri, dengan alasan
apapun bukankah hal tersebut menunjukkan sikap ayah yang tidak bertanggungjawab?224
Menurut Derrida kewajiban yang ada dalam konteks ini bersifat paradoks. Secara etis
melakukan perintah Tuhan dalam situasi seperti ini adalah melakukan kejahatan. Pada situasi ini
bagi Derrida, Allah menampilkan diri-Nya dalam dimensi kemisteriusan yang amat mendalam.
Jika kembali pada tatanan the Other maka situasi seperti ini merupakan wujud dari keberlainan
the Other yang tak mampu dipahami oleh akal. Bukankah situasi seperti ini juga dihadapi oleh
setiap orang dalam realitas nyata, ketika setiap orang diperhadapkan dengan situasi yang sama
egneduta@gmail.com

sekali lain dan tak dimengerti oleh akal?225 Peristiwa iman Abraham ini senantiasa dapat hadir
dan terjadi dalam keseharian, bahkan menjadi lebih dilematis ketika tidak ada alasan yang
mampu menjelaskan secara jelas ketika diri diperhadapkan dengan realitas yang lain itu.
Kisah pengorbanan Ishak ini pada akhirnya berakhir dengan pencegahan pengorbanan
oleh Tuhan. Malaikat Tuhan tampil dan menghentikan Abraham yang sedang mengarahkan
pedang ke arah Ishak. Dalam situasi seperti ini bagi Derrida Tuhan hendak mengatakan kepada
Abraham bahwa yang terpenting bagi-Nya adalah mengetahui totalitas tanggung jawab Abraham
terhadap-Nya. Tuhan telah melihat betapa totalitas kecintaan Abraham terhadap-Nya yang
serentak berarti mengorbankan yang lain menunjukkan absoluditas kecintaan yang sepenuhnya
dan total dari diri Abraham sendiri. Oleh karena pemberian yang diberikan Abraham
menujukkan totalitas dengan tidak mengharapkan apapun maka Abraham juga mendapatkan
kembali putra yang dikasihi-Nya tersebut. Pada tatanan ini, iman merupakan penyerahan diri

223
Disaat yang sama Abraham juga tidak diam dan tak menjawab pertanyaan Ishak. Bagi Derrida jika Abraham
diam dan tidak menjawab Ishak maka kecurigaan dari Ishak akan muncul. Lih. Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis:
Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober 2010, h. 144
224
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 145
225
Sebutlah dalam tatanan pastoral, bukankah banyak sekali orang yang terheran-heran ketika orang tersayang yang
ada didekatnya meninggal oleh karena situasi tertentu yang sangat memukul batin dan jiwa (kecelakaan). Hal ini
merupakan salah satu dari beragam realitas yang terjadi oleh karena keberlainan dan kemisteriusan the Other yang
sampai-sampai membuat diri hanya mampu tertegun dan merenung, tak mampu berkata-kata.

83
sepenuhnya kepada yang lain (the Other) tanpa mampu mengetahui alasan secara rasional.
Dalam tatanan ini juga iman mengarahkan diri pada penyerahan diri sepenuhnya kepada sesuatu
yang rahasia yang menuntut ketaatan mutlak.226
Berdasarkan refleksi pada iman Abraham ini Derrida hendak menunjukkan betapa
penyerahan diri sepenuhnya pada sesuatu yang rahasia dan menuntut ketaatan mutlak maka
disaat yang sama dalam proses pemberian/penyerahan tersebut harus sepenuhnya tulus tanpa
mengharapkan apapun. Dalam tatanan ini Derrida hendak melampaui hukum ekonomi
pertukaran yang baginya sudah menjadi penghayatan iman tersendiri bagi setiap orang ketika
menghayati relasinya dengan Yang Ilahi. Dengan ketulusan tanpa mengharapkan apapun disaat
yang sama memampukan diri untuk mau menerima sesuatu yang ada diluar proyeksi dan
pemikirannya. Ketika Allah/Yang Ilahi tampil dengan keberlainan-Nya, maka disaat yang sama
menjadi kejutan tersendiri bagi diri yang senantiasa memberi dengan tulus. Pada dimensi ini juga
pencarian iman senantiasa dalam penantian akan Yang Ilahi dalam ketulusan menjadi penting
ketika berada dan diperhadapkan dengan realitas plural, dimana Yang Ilahi itu mampu
menampilkan diri-Nya dengan keberlainan-Nya.
egneduta@gmail.com

Kesimpulan
Pada bab ini dijelaskan begitu rupa betapa fundamentalisme amat terbatas ketika
berbicara mengenai sosok Yang Ilahi, Absolut. Disaat yang sama keimanan dalam tatanan
possible Impossibility mengarahkan diri pada ketidakterbatasan makna yang mengajak diri untuk
mau masuk sepenuhnya dalam medan permenungan makna. Makna-makna yang muncul dari
Impossible tersebut dapat hadir dengan berbagai macam makna yang sama sekali lain dan tak
terpikirkan, maupun terproyeksikan sebelumnya. Untuk itu the Other dengan segala
keberlainannya mengajak bahwa beriman merupakan wujud nyata terhadap perayaan dan
keterarahan radikal pada keberagaman makna dan kehadiran-Nya. Pluralitas dalam tatanan ini
menjadi realitas yang tak bisa dihindari. Pada tatanan ini yang ada adalah ajakan untuk
senantiasa mau mencari dan mengintepretasi makna secara terus menerus, sehingga
memampukan diri untuk terbuka pada proses penghadiran/kemungkinan dari Yang tidak
mungkin itu. Keterbukaan inilah juga yang memampukan diri untuk menghayati realitas plural
sebagai wujud kehadiran/keberlainan dari diri-Nya.

226
Paulus B. Kleden, “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2, Oktober
2010, h. 148

84
BAB 5
KESIMPULAN & PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Pluralitas merupakan keniscayaan dalam konteks Indonesia. Bagaimana tidak negara
yang terdiri dari ratusan pulau diliputi dengan berbagai budaya, suku, dan ras. Belum lagi dengan
banyaknya agama serta kepercayaan yang dihayati oleh setiap warganya membuat keberagaman
tidak dapat dihindari lagi. Dalam perkembangannya ternyata kekayaan yang dimiliki Indonesia
ini tidak mampu disambut dengan baik oleh warganya sendiri. Konflik-konflik suku, dan budaya,
bahkan merasuk pada agama menjadi pergumulan tersendiri, terlebih ketika konflik itu memakan
korban jiwa yang tidak sedikit. Tidak hanya mengenai budaya, suku dan ras. Keagamaan sendiri
pun memiliki pluralitas yang sama, mulai dari perbedaan dogma, sampai dengan tradisi
keagamaan yang ada, yang berpengaruh juga pada spiritualitas seseorang. Diperhadapkan
dengan realitas yang seperni ini lalu bagaimana kita dapat menyikapinya?
Pembahasan yang sudah dijelaskan menunjukkan betapa realitas plural tidak dengan
egneduta@gmail.com

mudahnya untuk dipahami, bahkan diterima. Cukup banyak orang-orang yang tidak siap dengan
realitas plural tersebut, sehingga menunjukkan sikap diri yang fundamentalistik. Dalam diri
kekristenan pun sama, kecenderungan fundamentalistik tentunya ada pada setiap orang
tergantung bagaimana seseorang melihat realitasnya. Seseorang amat bisa bersifat
fundamentalistik terhadap agama lain, suku maupun budaya lain, atau bahkan dengan yang
berbeda tradisi keagamaannya. Latar belakang yang mempengaruhi seseorang atau kelompok
tertentu untuk menjadi fundamentalistik cukup beragam, mulai dari menjaga tradisi agar tetap
suci dan murni, ketidaksiapan diri dalam menghadapi pluralitas yang dianggap dapat
mengganggu kepastian diri, sampai dengan adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang
hendak diperjuangkan/dicapai. Oleh karena itulah, menyikapi fundamentalisme agama dalam
realitas plural ini menjadi penting. Karena ketika karakter maupun sikap fundamentalistik ini
tetap terus dihidupi akan menimbulkan ketegangan, bahkan arogansi yang dihasilkan dari
kesadaran/hasrat superioritas untuk menjadi yang lebih baik dan yang terutama dibandingkan
realitas yang lain. Oleh karena kecenderungan fundamentalisme yang represif ketika ada dalam
realitas plural membuat tatanan kehidupan yang rukun, solid, harmoni serta hasrat
memperjuangkan tanggung jawab sosial bersama menjadi tidak dapat dihidupi bersama.
Melihat adanya realitas fundamentalisme agama yang dapat menjadi problem tersendiri
membuat proses pemaknaan kembali iman sebagai unsur utama dalam menghayati agama

85
sebagai sarana dalam relasi kepada Yang Ilahi menjadi penting ketika berada dalam realitas
plural. Memaknai kembali iman berarti harus siap juga pada evaluasi dan pemikiran kritis
terhadap keagamaan, maupun tradisi yang dihayatinya. Evaluasi dan pemikiran kritis ini
mengajak untuk masuk pada peninjauan ulang doktrin-doktrin kekristenan, bahkan pada
konstruksi-konstruksi yang ada mengenai Tuhan. Peninjauan dengan pemikiran kritis ini akan
menolong kita untuk mengenal secara mendalam nilai-nilai kekristenan yang ada, dengan
berdasarkan konteks-konteksnya, baik itu mengenai konteks Alkitab dalam penulisannya
maupun world view, dan juga mengenai doktrin-doktrin yang ada pada kekristenan sendiri. Dari
peninjauan ulang maka dapat dikenali model-model pembacaan maupun doktrin-doktrin seperti
apa yang memiliki kecenderungan pada cara pandang, maupun tindakan yang fundamentalistik.
Dalam proses peninjauan ini tidak menutup kemungkinan ditemukannya pemaknaan baru
mengenai doktrin maupun rasa akan penghayatan diri kepada Tuhan sebagai sosok Yang Ilahi.
Jacques Derrida dengan segala pemikirannya ini hadir seraya mengajak untuk mau masuk
dalam proses peninjauan kembali pada nilai-nilai keagamaan. Ajakan Derrida hadir melalui
kegelisahannya pada fundamentalisme yang dilihat sebagai tatanan yang mendiskriminasi yang
lain. Struktur yang ada pada fundamentalisme amat jelas hanya untuk melakukan kekerasan
egneduta@gmail.com

‘makna’ terhadap yang lain dengan konstruksi-konstruksi pemikiran yang mengarahkan pada
legitimasi kebenaran struktural. Derrida hadir untuk menghancurkan struktur dan rezim
kebenaran tersebut dengan cara yang amat radikal. Sehingga struktur yang ada menjadi hancur
seluruhnya. Penghancuran yang dilakukan Derrida pada saat yang sama hendak menunjukkan
betapa makna pada dasarnya bebas dan tidak bisa dikonstruksikan pada struktur-struktur tertentu,
sehingga legitimasi-legitimasi atas nama keagamaan yang bersifat fundamentalistik menjadi
lemah dan tidak dapat dipertahankan sepenuhnya.
Pembongkaran yang dilakukan Derrida menunjukkan betapa kostruksi-konstruksi yang
ada pada keagamaan menjadi amat lemah. Menghadapi hal ini tentu pribadi akan berada dalam
kebutaan, dan ketidakpastian sebagai konsekuensi dari pembongkaran tersebut. Krisis seperti ini
pasti akan terjadi, dan hal tersebut perlu diakui sebagai bagian dari proses iman seperti yang
Jacobs jelaskan pada bab dua.227 Melalui pembongkaran yang membawa seseorang pada krisis
menunjukkan betapa respons iman sebaga wujud relasi dengan Yang Ilahi merupakan proses
yang tidak akan pernah selesai. Proses pencarian secara terus menerus membuat diri semakin
sadar akan dirinya yang amat lemah ketika berhadapan dengan Yang Ilahi. Dari proses pencarian
itu juga diri memahami betapa dirinya dalam realitas sama dengan yang lain sehingga

227
Tom Jacobs, Paham Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 114

86
konstruksi-konstruksi pemikiran dengan yang lain menjadi amat lemah. (untuk itu mari rayakan
realitas kepelbagaian ini bersama).
Derrida dengan dekonstruksinya menunjukkan dimensi yang tak pernah terbayangkan
sebelumnya mengenai iman, agama, bahkan sosok Yang Ilahi. Penghayatannya yang kita kenal
dengan istilah Possible Impossibility mengajak setiap pribadi untuk mau masuk pada proses
pencarian. Iman dilihat bukan sebagai wujud pengkonstruksian makna, namun iman dilihat
sebagai sikap yang sentral dalam proses pencarian makna-makna yang ada. Dari Possible
Impossibility Derrida juga hendak mengajak manusia dengan keimanannya untuk mengakui
kerapuhan diri sepenuhnya. Ketika berhadapan dengan Yang Ilahi manusia menjadi sosok yang
rapuh, dan lemah. Kerapuhan tersebut semakin nyata ketika manusia melakukan penguatan
rezim makna atas Yang Ilahi.228
Dari penghayatan Possible Impossibility ini yang mengajak kita juga untuk mau
melampaui sekat-sekat keterbatasan yang diliputi oleh pemikiran penuh praduga terhadap yang
lain dalam realitas plural oleh karena kecenderungan diri dengan ego yang mengukuhkan
‘kebenaran’ dalam diri, sehingga membuat diri amat berhasrat untuk menempatkan dan
menguatkan ‘kebenaran’ tersebut terhadap yang lain juga. Keseragaman seperti ini yang
egneduta@gmail.com

membuat makna-makna dari sosok Yang Ilahi menjadi hilang dan terbunuh oleh ego manusia.
Pada saat yang sama Possible Impossibility menyadarkan diri akan eksistensi the Other yang
menjadi harapan bagi setiap orang. Dalam harapan setiap orang ini mengarahkan diri untuk
terlibat aktif dalam pusaran makna-makna yang ditunjukkan oleh ‘keberlainan-Nya’. Dalam
harapan dan penantian terus-menerus inilah yang membuat iman memainkan peranan indah nan
elok pada proses elaborasi makna tiada henti dalam medan abstrak pemaknaan tak terkendali.
Dalam iman yang penuh harapan dan penantian ini juga yang membuat Dia yang tak
mungkin itu hanya mampu dipahami bagaikan jejak-jejak dalam gurun yang ada lalu hilang
tertiup angin, ada kembali lalu hilang kembali seiring dengan hembusan arah angin. Kehadira-
Nya yang senantiasa dinantikan membuat kemungkinan-Nya hadir dalam sosok yang lain
menjadikan kejutan dan letupan tersendiri dalam jiwa yang amat disyukuri. Kehadiran-Nya
menjadi kejutan tersendiri dalam diri dan iman. Oleh karena itu keberlainannya dalam ke-
Absolut-an-Nya membuat penghadiran makna itu dapat dihadirkan melalui apapun, siapapun,
dan dalam bentuk apapun.
Untuk itu permainan akbar pemaknaan dalam realitas plural harus disadari secara
mendalam, sehingga membuat iman melihat permainan tersebut sebagai bagian nyata yang harus

228
Kerapuhan itu tercermin dari ‘Kematian tuhan’. Konstruksi yang dilakukan tidak menunjukkan diri Tuhan itu
sendiri. Lih. Setyo Wibowo, dkk, para pembunuh Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 100

87
dirayakan bersama. Oleh karena itu maka pemaknaan akan Yang Ilahi dalam hal ini tidak
bersifat individualitsik yang ditunjukkan oleh penghayatan fundamentalistik. Permaknaan akan
Yang Ilahi menjadi wujud perayaan bersama, oleh karena Dia mewujudkan diri-Nya dalam
keberlainan-Nya (the Other) sehingga pemaknaan akan Diri-Nya dalam realitas kepelbagaian ini
menjadi perayan tersendiri yang amat perlu disyukuri. Untuk itu maka pemaknaan dapat muncul
dan hadir melalui aku, kamu, mereka, dan alam semesta ini secara keseluruhan.
Oleh karena itu dalam tatanan keberagaman, khususnya antar agama-agama penghayatan
iman Derrida menjadi penting. Wahyu histroris dari setiap agama yang dilihat oleh Derrida
sebagai kemungkinan-kemungkinan akan Yang Ilahi sebagai yang tak mungkin mengajak setiap
agama untuk mau saling terlibat aktif dalam proses pencarian. Ketegangan-ketegangan yang ada
pada setiap agama dalam dimensi ini menjadi suatu hal yang tidak perlu, bahkan hal tersebut bisa
dikatakan sebagai tindakan yang ‘membunuh Tuhan’, karena pada dasarnya tidakan kekerasan
apapun tidak dapat dibernarkan.
Dalam realitas plural ini menjadi penting untuk memaknai iman secara tulus dan rendah
hati. Iman dalam hal ini perlu dihayati dalam tatanan on-going process of exploring meaning.229
Penghayatan ini menyadarkan bahwa proses iman yang senantiasa mencari bukan bermaksud
egneduta@gmail.com

untuk menyangkal makna dogma-dogma serta pewahyuan historis yang ditradisikan dalam
agama. Dalam hal ini dokrtin-doktrin, dan pewahyuan historis perlu dimaknai sebagai jejak-jejak
(trace) dalam relasinya dengan Yang Ilahi. Derrida mengajak agar iman menjadi laku yang kritis
dan aktif bukan justru menjadi skeptis. Untuk itu pencarian melalui dogma-dogma tradisi, nilai-
nilai teologis, serta Alkitab secara kritis menjadikan pemaknaan lebih diperkaya. Iman sebagai
proses terus menerus menjadi sebuah laku reinterpretatif. Pemaknaan akan iman seperti ini yang
menjadikan diri untuk mau menghargai kehidupan plural secara utuh. Bukan hanya pada orang-
orang yang beragama lain, bukan hanya kepada orang-orang dari tradisi yang lain, bukan hanya
kepada orang-orang yang berbudaya lain, tetapi juga pada alam sebagai wujud kemungkinan
Allah yang diciptakan-Nya.

229
Richard Kearney, “Deconstruction, God, and the Possible,” in Yvonne Sherwood and Kevin Hart (Ed.), “Derrida
and Religion: Other Testaments”, (New York-London: Roultedge. 2005), h. 303

88
5.2. Penutup

Iman melalui analisa kritis Derrida ini menjadi penting dalam khazanah teologi. Dengan
sifatnya yang senantiasa mengajak diri untuk terlibat dan masuk dalam pencarian dengan
harapan akan sosok Yang Ilahi membuat pemaknaan iman ini dapat menjadi kajian tertentu bagi
teologi dalam realitas plural. Berangkat dari pemahaman iman ini menjadi menarik untuk
melihat struktur atau konstruksi teologi agama-agama. Setidaknya mencoba mencari bersama
landasan baru ketika melakukan teologi agama-agama yang tidak berat sebelah, dan disaat yang
sama merayakan realitasnya bersama-sama. Dengan kesadaran serta perayaan akan realitas yang
berbeda ini menjadikan antar agama bisa saling memperkaya satu dengan yang lain dengan
penghayatan akan keberlainan Yang Ilahi.
Selain mempertimbangkan ‘iman Derrida’ dalam rangka berteologi agama-agama,
menjadi menarik dan juga penting untuk melihat dan menghayatinya dalam diri gereja, yang
merupakan wujud nyata dari institusi agama. Gereja seiring dengan perkembangannya waktu
memperlengkapi diri dengan peraturan-peraturan maupun regulasi sebagai wujud menggereja
dalam konteks masa kini. Tetapi penting untuk melihat peraturan/regulasi tersebut dalam konteks
egneduta@gmail.com

yang amatlah plural. Hal ini penting agar gereja juga tidak terjebak pada kecenderungan
fundamentalistik pada peraturan-peraturan/regulasi yang dibuat oleh dirinya sendiri, sehingga
tidak jarang peraturan itu yang justru menghambat gereja untuk mewujudkan panggilannya
dalam melayani dan hadir dalam konteks serta situasi dunia yang penuh dengan permasalahan,
dan penderitaan. Untuk itu menjadi menarik jika mempertimbangkan Derrida dengan
karakternya yang khas dalam kehidupan bergereja. Sehingga panggilan gereja untuk melayani
dapat dimaknai secara lebih mendalam pada konteks dunia yang plural.

89
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKIS, 2009.

Bagus. Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.

Barr, James. Fundamentalisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Bertens. K. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia, 1985.

Caputo, John D. Agama Cinta, Agama Masa Depan. Terj. Martin Sinaga. Bandung: Mizan,
2003.

__________. On Religion – Thinking in Action. London: Routledge, 2001.

__________. The Prayers and Tears of Jacques Derrida. Indianapolis: Indiana University Press,
1997.

Derrida, Jacques. Margins of Philosophy. Terj. Alan Bass. Sussex: The Harvester Press, 1982.
egneduta@gmail.com

__________. in Gil Anidjar (Ed.), Jacques Derrida: Act of Religion, New York-London:
Roultledge, 2002.

__________. The Gift of Death. Terj. David Wills. Chicago: The University of Chicago Press,
1995.

__________. Writing and Difference. Terj. Alan Bass. Chicago: The University of Chicago
Press, 1978.

Dooley, Mark (Ed.), A Passion for the Impossible. New York: State University of New York
Press, 2003.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Haryatmoko. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. Yogyakarta:


Kanisius, 2016.

Hick, John. An Interpretation of Religion. London: Macmillan Press LTD, 1989.

Hidayat, Komaruddin Hidayat & Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perenial. Jakarta: Gramedia, 2002.

Hood Jr, Ralph W. The Psychology of Religious Fundamentalism. New York: The Guilford
Press, 2005.

90
Jacobs, Tom. Paham Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Kimball, Charles. When Religion Becomes Evil. Australia: HarperCollins Publishers, 2008.

Knitter, Paul. Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Magnis-suseno, Franz. menalar tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Mangunwijaya, Y.B. Sastra dan Religiositas. Sinar Harapan: Jakarta, 1982.

McGrath, Alister. Christianity’s Dangerous Idea. Australia: HarperCollins Publishers, 2007.

McQuillan. Martin (Ed.), Deconstruction. A Reader, Edinburg: Edinburg University Press, 2000.

O’Donnell, Kevin. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2016.

Patty, Albertus. Melintas Batas. Jakarta: Grafika KreasIndo, 2014.

Ruthven, Malise. Fundamentalism: The Search for Meaning. New York: Oxford University
Press, 2004.
egneduta@gmail.com

Santoso, Thomas (Ed). kekerasan agama tanpa agama. Jakarta: PT Pustaka Utan Kayu, 2004.

Santoso, Listiyono, dkk. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2015.

Sherwood, Yvonne and Kevin Hart. Derrida and Religion: Other Testaments. New York-
London: Roultedge. 2005.

Singgih, Emanuel Gerrit, dari Babel ke Yerusalem: Sebuah Tafsir Yesaya Pasal 40-55.
Yogyakarta: Kanisius, 2014.

__________, Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

__________, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Stocker, Barry. Derrida on Deconstruction. New York: Routledge, 2006.

Stuckelberger, Christoph and Heidi (Ed.). Overcoming Fundamentalism: Ethical Respons from
Five Continents. Globethics.net Series No.2, 2009.

Sugiharto, I. Bambang. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Wibowo, A. Setyo, dkk. “Para pembunuh Tuhan”. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

91
2. Artikel dari Jurnal

Kleden, Paulus Budi. “Iman yang Ateis: Konsep Derrida tentang Iman”, dalam Diskursus Vol. 9.
No. 2. Oktober 2010.

Kleden, Paulus Budi. “Tuhan yang akan Datang dan Inisiatif Manusia: Perubahan Dalam Sejarah
Membaca Derrida Bersama Kearney”, dalam Studia Philosophica et Theologica Vol. 10.
No. 2. Oktober 2010.

Ojore, Aloys Otieno. “Religious Fundamentalism”, dalam African Ecclesiastical Review, 2001.

Sutanto, Trisno S. “Adieu. Berteologi Bersama Derrida”, dalam Diskursus Vol. 5. No. 1. April
2006.

3. Artikel dari Majalah

Sudiarja, A. “Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya”, dalam Basis No.11-12. Tahun
ke-54. Nov-Des 2005.

Sugiharto, I. Bambang. “Dekonstruksi Atas Agama: Penghancuran Diri Agama-Agama”, dalam


Basis No.11-12. Tahun ke-54. Nov-Des 2005.
egneduta@gmail.com

Tjaya, Thomas Hidya. “Diskursus Mengenai Tuhan di Luar Metafisika”, dalam Basis Nomor 09-
10. Tahun ke-64. 2015.

4. Artikel dari Surat Kabar

McKenna, Kristine. “The Three Ages of Jacques Derrida: An Interview with the Father of
Deconstructionism”, LA Weekly, 8-14 November 2002.

5. Rujukan dari Internet

http://kbbi.web.id/fundamentalis

http://www.kompasiana.com/hogiiwan/fanatik-terhadap-agama-penyebab-konflik-bangsa-
ini_55114727813311ae33bc7ee6

92

Anda mungkin juga menyukai