Anda di halaman 1dari 36

PRESSENTASI KASUS

PENANGANAN TRAUMA LIMPA DENGAN


PERDARAHAN INTRA ABDOMEN

Disusun oleh:
Vianca Samara Andhary
(11141030000045)

Pembimbing:
dr. Bambang Budiarto, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulilahirabbil’alamin, puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas
segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi
kasus yang berjudul “Penanganan Trauma Limpa dengan Perdarahan Intra
Abdomen” ini. Shalawat serta salam tak lupa untuk selalu penulis haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat Muslim dari zaman kegelapan
hingga zaman yang penuh dengan perkembangan ilmu dan teknologi sehingga
penulis mampu menjadi saksi atas segala kebesaran-Nya.
Presentasi kasus ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Bedah RSUP Fatmawati. Pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Bambang Budiarto, Sp.B sebagai dokter
pembimbing presentasi kasus ini dan rekan-rekan sejawat yang turut membantu
dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam presentasi kasus ini masih terdapat
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak. Demikian presentasi kasus ini
penulis susun semoga dapat bermanfaat.

Jakarta, Desember 2018

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... I


DAFTAR ISI .................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Limpa ............................................................ 2
2.2. Trauma Limpa .................................................................................... 5
2.2.1. Epidemiologi ............................................................................ 5
2.2.2. Mekanisme Trauma ................................................................. 5
2.2.3. Diagnosis.................................................................................. 6
2.2.4. Derajat Trauma Limpa ............................................................. 11
2.2.5. Tata Laksana ............................................................................ 12
2.2.6. Komplikasi ............................................................................... 16
BAB III ILUSTRASI KASUS ......................................................................... 17
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32

II
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma didefinisikan sebagai kerusakan seluler akibat perubahan energi


dari lingkungan yang melebihi daya resilien sehingga terjadi kematian sel yang
disebabkan keadaan iskemia atau reperfusi. Ruptur limpa merupakan kondisi
rusaknya limpa akibat suatu dampak penting kepada limpa dari beberapa sumber.1,2
Trauma tetap menjadi penyebab kematian tersering pada semua individu
berusia 1-44 tahun dan merupakan penyebab kematian nomor tiga pada populasi
umum. Organ-organ abdomen merupakan organ nomor tiga yang paling sering
mengalami cedera pada saat terjadi trauma. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh
Nikhil dkk, limpa merupakan organ yang paling sering mengalami cedera (53%).1,3
Mekanisme trauma pada limpa dibagi menjadi trauma tumpul, trauma
tajam, dan trauma iatrogenik. Pada pasien dengan trauma sangat penting untuk
mengidentifikasi dengan cepat kondisi-kondisi yang membutuhkan tindakan
operatif segera. Maka dari itu, perlu dilakukan anamnesis serta pemeriksaan secara
menyeluruh.1,4
Penaatalaksana pasien dengan trauma limpa terbagi menjadi dua yaitu
nonoperatif dan operatif. Saat ini semakin banyak yang memilih untuk tata laksana
dengan cara nonoperatif namun pasien yang dipilih harus sesuai dengan kriteria.
Pada pasien yang ditatalaksana dengan cara operatif setelahnya harus
mempertimbangkan berbagai macam komplikasi yang dapat terjadi.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Limpa


Secara anatomis, limpa merupakan organ kecil yang berada dibalik os costae
9-11 dengan ukuran yang bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin. Perbedaan
ukuran ini juga dapat ditemukan pada individu dengan kondisi tertentu. Umumnya
pada orang dewasa limpa memiliki ukuran panjang 9-14 cm, lebar 6-8 cm, dan
ketebalan 3-5 cm dengan berat sekitar 80-300 gram.6,7
Limpa terletak pada kuadran kiri atas atau hipkondrium kiri abdomen.
Anterior dari limpa terdapat lambung sedangkan pada posterior dari limpa terdapat
diagragma kiri. Medial dari limpa terdapat ginjal kiri dan inferior dari limpa
terdapat fleksura kolik kiri.8
Posisi limpa dipertahankan oleh beberapa ligamen dan lipatan peritoneal ke
kolon (ligamen splenokolik), lambung (ligamen gastrosplenikus), diafgrama
(ligamen frenosplenikus), dan ginjal, kelenjar adrenal, dan cauda pankreas ligamen
splenorenal).1

Gambar 2.1. Letak Limpa di dalam Rongga Abdomen


Sumber : Moore K, Dalley A, Agur A. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7 ed.
8
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.

2
Permukaan limpa terbagi dua yaitu permukaan diafragmatik superolateral
dan permukaan inferomedial viseral. Permukaan diafragmatik limpa cembung
mengikuti bentuk diafragma yang cekung dan os costae sekitarnya. Sedangkan
permukaan viseral limpa irreguler menghadap inferomedial ke arah rongga
abdomen.7,8

Gambar 2.2. Permukaan dan Hilum Limpa


Sumber : Chaudhry S, Bhimji S. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Spleen. Florida:
StatPearls Publishing; 2018.9

Limpa berasal dari sel-sel mesenkimal pada mesogastrium dorsal yang


berkembang pada minggu ke 5-6 embriogenesis. Pada trimester kedua kehamilan,
limpa sudah mampu menjalankan fungsinya sebagai organ hematopoiesis. Fungsi
tersebut didapatkan dari sel-sel yang berasal dari dinding yolk sac dan aorta dorsal.9
Pada anak limpa memiliki ukuran yang lebih besar karena memiliki fungsi
retikuloendotelial dan memproduksi sel darah merah. Kemudian saat sumsum
tulang pada anak lebih matang maka limpa fungsinya menjadi lebih sedikit dan
ukurannya menjadi lebih kecil.9
Terdapat beberapa perbedaan pada limpa anak dan dewasa yaitu perbedaan
pada kapsul dan konsistensi dari limpa. Pada anak kapsulnya relatif lebih tebal dan
parenkimnya lebih keras dibandingkan limpa pada orang dewas. Sehingga jika
terjadi trauma, maka limpa akan lebih rentan mengalami cedera pada orang
dewasa.9

3
Limpa dikelilingi oleh kapsul yang dilindungi oleh peritoneum viseral kecuali pada
bagian hilum. Kapsul ini memiliki ketebalan 1-2 mm yang terdiri dari banyak serat
kolagen dan beberap serat elastis. Dibawah kapsul tersebut terdapat parenkim limpa
yang terbagi menjadi dua jenis yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah dan
pulpa putih memiliki fungsi yang berbeda. Pulpa merah jumlahnya bisa mencapai
90% sedangkan sisanya pulpa putih. Kedua pulpa tersebut dipisahkan oleh zona
marginal yang berfungsi sebagai penyaring patogen dari darah.1,9
Pulpa putih terdari dari periarterioral lymphoid sheaths (PALS) dan nodul
limfatik. Pulpa putih berfungsi dalam maturasi sel darah putih terutama limfosit dan
juga berfungsi dalam memproduksi antibodi. Sedangkan pulpa merah terdiri dari
sinusoid splenikus (pembuluh darah lebar) dan kumpulan jaringan ikat. Fungsi dari
pulpa merah yaitu menghancurkan sel darah merah yang rusak, sudah tua, dan/atau
yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, pulpa merah juga berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sel darah putih dan platelet.9

Gambar 2.3. Struktur Mikroskopis Limpa


Sumber : Brunicardi C, Andersen D, Billiar T. Schwartz’s Principles of Surgery.
10 ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.1

4
2.2. Trauma Limpa
Trauma didefinisikan sebagai kerusakan seluler akibat perubahan energi dari
lingkungan yang melebihi daya resilien sehingga terjadi kematian sel yang
disebabkan keadaan iskemia atau reperfusi. Ruptur limpa merupakan kondisi
rusaknya limpa akibat suatu dampak penting kepada limpa dari beberapa sumber.1,2

2.2.1. Epidemiologi
Trauma tetap menjadi penyebab kematian tersering pada semua individu
berusia 1-44 tahun dan merupakan penyebab kematian nomor tiga pada populasi
umum. Kecelakaan yang tidak disengaja menyebabkan kematian sebanyak 110.000
setiap tahun dengan 40% kecelakaan tersebut merupakaan kecelakaan kendaraan
bermotor.1
Organ-organ abdomen merupakan organ nomor tiga yang paling sering
mengalami cedera pada saat terjadi trauma. Trauma abdomen ini pada 25% kasus
membutuhkan tindakan operasi dan 85% penyebab trauma abdomen adalah trauma
tumpul. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Nikhil dkk, limpa merupakan organ
yang paling sering mengalami cedera (53%).3

2.2.2. Mekanisme Trauma


Mekanisme trauma pada limpa dibagi menjadi trauma tumpul, trauma
tajam, dan trauma iatrogenik. Trauma tumpul dan tajam dapat menyebabkan cedera
yang signifikan dan mengancam nyawa. Terkadang trauma tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala yang khas sehingga sulit memprediksi tingkat
keparahan dari kerusakan organ.4,10

 Trauma Tumpul
Trauma tumpul bisa disebabkan oleh hantaman langsung misalnya saat
bagian bawah setir mobil, setang sepeda atau motor yang menyebabkan cedera
kompresi pada abdomen. Hantaman ini dapat menyebabkan deformitas organ
padat maupun berongga di dalam abdomen dan ruptur organ dengan perdarahan
sehingga menyebabkan terjadinya peritonitis. Selain itu, bentuk trauma tumpul

5
lain dapat berupa shearing injuries yang disebabkan penggunaan sabuk
pengaman yang tidak benar.11
Pada kecelakaan kendaraan bermotor, dapat juga terjadi trauma akibat
deselerasi. Gaya deselarasi tersebut menyebabkan gerakan yang berbeda antara
organ yang terfiksasi dan yang dapat bergerak. Salah satu contohnya yaitu pada
organ limpa yang dapat bergerak namun terfiksasi pada ligamen disekitarnya.11

 Trauma Tajam
Trauma tajam dapat menyebabkan kerusakan jaringan dengan laserasi dan
memotong. Luasnya kerusakan jaringan tergantung pada mekanisme traumanya
yaitu luka tusuk atau luka tembak. Pada luka tembak high energy dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih parah karena ada kemungkinan
peluru mengalami fragmentasi.4,11

 Trauma Iatrogenik
Beberapa tindakan medis dapat menyebabkan trauma pada abdomen salah
satunya kesalahan meletakkan chest tube pada saat elevasi diafragma sehingga
menyebabkan trauma pada limpa.10

2.2.3. Diagnosis
Pada pasien dengan trauma sangat penting untuk mengidentifikasi dengan
cepat kondisi-kondisi yang membutuhkan tindakan operatif segera. Maka dari itu,
perlu dilakukan anamnesis serta pemeriksaan secara menyeluruh.12

 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap harus dilakukan setelah semua keadaan yang
mengancam nyawa pasien sudah teratasi. Namun, terkadang riwayat pada
pasien sulit untuk diketahui terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Riwayat kejadian trauma pada pasien sangat penting untuk diketahui untuk
menentukan penanganan yang sesuai. Pasien dengan trauma perlu ditanyakan
juga riwayat AMPLE (Allergies, Medications, Past illness or Pregnancy, Last
meal, dan Events).1,10

6
Pada pasien yang cedera karena kecelakaan kendaraan bermotor perlu
diketahui riwayat terjadinya kecelakaan. Beberapa pertanyaan seperti kecepatan
kendaraan, tipe kendaraan, jenis tabrakan (dari depan, samping, ataupun dari
belakang). Selain itu, harus ditanyakan posisi pasien saat kecelakaan terjadi dan
keberadaan airbag.11
Anamnesis pasien trauma tajam dengan luka tusuk harus ditanyakan ukuran
dan tipe alat yang digunakan, berapa banyak luka tusuknya, posisi relatif pasien
saat kejadian, waktu terjadinya cedera, dan perkiraan perdarahan. Sedangkan
pada pasien dengan luka tembak harus diketahui jenis senjata api yang
digunakan, jarak antara pasien dengan penembak, serta perkiraan jumlah
tembakan.10
Selain itu, perlu diketahui riwayat operasi yang pernah dijalani oleh pasien.
Riwayat lain yang perlu ditanyakan yaitu riwayat penyakit yang menyebabkan
pembesaran limpa, adanya penyakit hepar, penggunaan obat-obat antikoagulasi
atau aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid.9

 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan trauma abdomen dapat menunjukan tanda yang tidak
signifikan. Secara keseluruhan akurasi pemeriksaan fisik pada pasien dengan
trauma abdomen tumpul hanya sekitar 55-65% karena pada pemeriksaan awal
dapat menunjukan hasil yang normal.10
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan trauma limpa penting untuk menilai
adanya nyeri pada tulang iga kiri bawah. Sekitar 14% pasien dengan nyeri
seperti itu mengalami trauma trauma pada limpa. Sifat plastisitas dinding dada
anak menyebabkan trauma limpa berat tanpa adanya fraktur tulang iga.
Sedangkan pada pemeriksaan fisk pasien berusia lebih dari 55 tahun dengan
trauma berat pada dada dan cedera limpa bisa saja normal.9
Adanya Kehr’s sign dapat membantu dalam penegakkan diagnosis pasien
dengan trauma limpa. Kehr’s sign ini merupakan gejala nyeri pada bahu kiri
karena nyeri alih hemidifragma yang berasal dari akar servikal 3,4 dan 5 yang
juga menginervasi ujung bahu. Nyeri ini baru muncul saat pasien pada posisi

7
trendelberg. Biasanya nyeri minimal dan pasien tidak memiliki keluhan
gangguan gerakan pada bahu kecuali jika terdapat cedera muskuloskeletal.2,9

 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk pasien dengan
cedera pada limpa namun biasanya perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
berulang dan typing serta crossmatching darah.9

 Radiologi
1. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks terkadang tidak memiliki nilai diagnostik
pada kasus trauma abdomen karena tergantung pada evaluasi awal pasien.
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui penyebab hipotensi
ekstraperitoneal. Selain itu, jika pada foto thoraks awal terlihat adanya
ruptur hemidiafragma maka ada kemungkinan terjadi trauma limpa.5,10

2. Foto Polos Abdomen


Pada pasien trauma abdomen biasanya jarang dilakukan kecuali
pada trauma tajam abdomen, misalnya untuk mengetahui lokasi dan
identifikasi peluru yang masuk pada luka tembak.10

3. DPL
Pemeriksaan diagnostic peritoneal lavage (DPL) sudah jarang
digunakan sekarag dan hanya dipilih ketika USG dan CT scan tidak tersedia.
Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk trauma limpa namun dapat mendeteksi
adanya perdarahan aktif. Pemeriksaan ini bisa saja negatif jika terdapat
cedera pada diafragma karena cairan terkumpul pada rongga pleura.9
Indikasi DPL pada pasien dengan trauma tumpul yaitu pasien
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan pemeriksaan CT scan dan
pasien dengan hipotensi yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya
dengan pemeriksaan fisik yang samar.12

8
Kontraindikasi absolut DPL adalah ketika pasien diindikasi untuk
tata laksana operatif karena pemeriksaan ini dapat menghambat transpor
pasien untuk ke ruang operasi. Sedangkan kontraindikasi relatif DPL yaitu
disfungsi hepatik berat, koagulopati berat, riwayat operasi pada abdomen,
dan hamil.12
Hasil pemeriksaan DPL positif jika pada saat aspirasi terdapat darah
lebih dari 10 mL, eritrosit lebih dari 100.000 sel/mm3, leukosit lebih dari
500 sel/mm3, atau jika terdapat sisa makanan dan garam empedu.13

4. FAST
Pemeriksaan focused assesment with sonography for trauma
(FAST) diindikasikan untuk semua pasien dengan trauma multipel dan
semua pasien yang diduga mengalami trauma abdomen. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui adanya cairan bebas intraperitoneal. Cairan
bebas ini berkumpul dibeberapa tempat yaitu kantung Douglas, fossa
splenorenal, kantung Morrison, dan perikardium.10,13
Kemampuan pemeriksaan FAST untuk mengetahui organ mana
yang mengalami perdarahan sangat terbatas. Cedera kecil dan hematom
subkapsular limpa dapat luput pada pemeriksaan FAST jika tidak
menimbulkan hemoperitoneum yang signifikan.9

5. CT scan
CT scan merupakan modalitas radiologi utama untuk pasien dengan
trauma. Pemeriksaan ini dapat menilai organ yang mengalami trauma serta
luasnya trauma tersebut. Selain itu, CT sangat akurat dalam memprediksi
perdarahan intraperitoneal
Ketika melihat CT scan pasien dengan trauma limpa, perlu dilihat
juga organ disekitarnya yaitu ginjal kiri dan distal pankreas.9
Beberapa komplikasi yang terjadi pada pemberian kontras intravena
yaitu contrast-induce nephropathy. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan
CT scan ini membutuhkan transpor pasien sehingga dapat terjadi
perburukan pada keadaan klinis pasien.10

9
Tabel 2.1. Perbandingan DPL, FAST, dan CT pada Trauma Abdomen11
DPL FAST CT Scan
Keuntungan  Deteksi dini  Deteksi dini  Dapat mendiagnosis
 Dapat dilakukan  Tidak invasif organ spesifik
dengan cepat  Dapat dilakukan dengan  Tidak invasif
 Dapat mengetahui cepat  Dapat diulang
cedera pada usus  Dapat diulang  Dapat menilai struktur
 Tidak membutuhkan  Tidak membutuhkan retroperitoneal
transpor dari area transpor dari area  Menilai struktur jaringan
resusitasi resusitasi lunak dan tulang
 Dapat menggambarkan
adanya udara ekstralumen
Kerugian  Invasif  Hasil bergantung  Mahal dan butuh waktu
 Spesifisitas rendah operator lebih lama
 Risiko cedera  Distorsi karena udara  Paparan radiasi dan
 Dapat mengganggu usus kontras IV
interpretasi CT scan  Trauma pada  Trauma pada diafragma,
dan FAST diafragma, usus, dan usus, dan pankreas luput
 Membutuhkan pankreas luput  Membutuhkan transpor
dekompresi  Tidak dapat menilai
 Trauma pada struktur retroperitoneal
diafragma luput secara keseluruhan
 Dipengaruhi oleh
habitus pasien
Indikasi  Pasien dengan  Pasien dengan  Pasien dengan
hemodinamik tidak hemodinamik tidak hemodinamik stabil pada
stabil pada trauma stabil pada trauma trauma abdomen tumpul
tumpul abdomen tumpul abdomen atau tajam
 Trauma tajam  Trauma tajam abdomen  Trauma tajam pada
abdomen tanpa tanpa indikasi punggung/flank tanpa
indikasi laparotomi laparotomi segera indikasi segera
segera laparotomi

10
2.2.4. Derajat Trauma Limpa
Terdapat berbagai macam sistem penilaian derajat trauma limpa
berdasarkan gambaran pada CT scan dan temuan saat intraoperatif. Berdasarkan
American Association for the Surgery of Trauma (AAST), kerusakan limpa dibagi
menjadi derajat 1-5.9

Tabel 2.2. Derajat kerusakan limpa AAST 1994 revisi9


Derajat Tipe Cedera Deskripsi Cedera
I Hematom Subkapsular, <10% luas permukaan
Laserasi Robeknya kapsul dengan kedalaman parenkim <1 cm
II Hematom Subkapsular, 10-50% luas permukaan
Laserasi Kedalaman parenkim 1-3 cm tanpa melibatkan pembuluh
darah trabekular
III Hematom Subkapsula, >50% luas permukaan atau melebar; ruptur
subkapsular atau hematom parenkim; hematom
intraparenkim >5cm atau melebar
Laserasi > 3 cm kedalaman parenkim atau melibatkan pembuluh
trabekular
IV Laserasi Laserasi melibatkan pembuluh segemental atau hilum
sehingga menyebabkan devaskularisasi berat (>25%
limpa)
V Laserasi Limpa hancur
Vaskular Cedera vaskular hilum dengan devaskularsasi limpa

Gambaran trauma limpa pada saat pemeriksaan CT scan dan intraoperatif


bisa saja berbeda. Perbedaan ini terjadi disebabkan evolusi dari trauma limpa
karena adanya perbedaan waktu dari pemeriksaan CT scan dengan operasi.
Biasanya trauma limpa yang ditemukan pada saat intraoperatif lebih berat
dibandingkan perkiraan dari pemeriksaan CT scan maupun sistem penilaian lain.9

11
Gambar 2.4. Derajat Trauma Limpa
Sumber : Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw
Hill Education; 2017.5

2.2.5. Tata Laksana


Secara umum tata laksana pasien dengan trauma limpa dibagi dua yaitu tata
laksana nonoperatif dan tata laksana operatif. Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan untuk menentukan tata laksana yang sesuai untuk pasien yaitu

12
status hemodinamik, usia, derajat keparahan trauma limpa, jumlah
hemoperitoneum, dan cedera lain yang terkait.9
Faktor yang paling penting dalam pemilihan pasien adalah hemodinamik
pasien. Pasien dengan tekanan darah sistolik kurang dari 110 mmHg memiliki
kecenderungan mengalami perburukan. Biasanya pasien yang hemodinamik nya
tidak stabil pada fase prehospital dan tetap tidak stabil saat di ruang resusitasi akan
langsung dibawa ke ruang operasi atau akan dilakukan pemeriksaan USG.9
Selain status hemodinamik pasien, hal lain yang harus dipertimbangkan
adalah pemeriksaan abdomen. Sangat penting untuk menentukan adanya peritonitis
difus pada pasien yang sadar penuh dan kooperatif saat pemeriksaan. Jika ternyata
terdapat peritonitis difus maka hal tersebut merupakan tanda adanya trauma
intestinal dan perlu dilakukan eksplorasi abdomen.9
Pertimbangan lain yang penting yaitu fasilitas yang tersedia dan
karakteristik pasien. Biasanya pasien anak merupakan kandidat untuk tata laksana
nonoperatif karena angka kejadian perdarahan yang tertunda lebih sedikit. Selain
itu, pasien dengan cedera berat lain misalnya cedera kepala merupakan
kontraindikasi relatif untuk dilakukan tata laksana nonoperatif.9

 Nonoperatif
Penatalaksanaan pasien trauma limpa dengan nonoperatif saat ini lebih
sering dipilih. Sebuah studi menunjukkan tingkat kesuksesan tata laksana
nonoperatif pada pasien anak lebih dari 95% dan pasien dewasa sekitar 80-94%.
Namun, tata laksana nonoperatif juga harus mempertimbangkan fasilitas yang
tersedia.9
Setelah pasien dipilih untuk tata laksana nonoperatif, resusitasi awal harus
dilanjutkan dengan prosedur terapi dan diagnostik lainnya. Umumnya pasien
harus dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) jika trauma limpa lebih dari
derajat dua dan pasien dengan cedera lainnya yang membuat pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan hematokrit menjadi sulit. Pasien dengan trauma limpa derajat
1 juga bisa dirawat di ICU jika tidak memungkinkan pemantauan ketat.9
Pada tata laksana awal pasien harus tetap dalam keadaan puasa karena
dikhawatirkan akan membutuhkan intervensi operasi. Tanda vital dan

13
pengeluaran cairan pasien harus dipantau ketat. Selain itu, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan hematokrit berulang untuk mengetahui perdarahan. Perlu
juga dipertimbangkan pemberian vaksin terhadap infeksi yang disebabkan oleh
organisme seperti Streptococcus sp, meningokokus, dan Hemophilus
influenzae.9
Jika tata laksana nonoperatif berhasil dalam 24-48 jam perlu
dipertimbangkan pemberian profilaksis terhadap deep venous thrombosis
(DVT). Setelah pasien diperbolehkan pulang, edukasi yang harus diberikan
kepada pasien yaitu harus menghindari olahraga atau aktivitas tertentu yang
dapat menyebabkan hantaman langsung pada perut pasien selama 2-6 bulan.9

 Operatif
Sekitar 40% pasien dengan trauma limpa membutuhkan tata laksana
operatif segera. Secara umum, antibitoik harus diberikan sebelum dilakukan
operasi. Selain itum perlu juga dipasang nagostric tube (NGT) untuk
mengurangi volume lambung dan untuk memudahkan visualisasi dan
mobilisasi dari limpa saat operasi.9
Insisi midline merupakan insisi pilhan pada operasi abdomen karena dapat
dilakukan dengan cepat serta mudah untuk dilebarkan secara superior dan
inferior. Pada operasi trauma limpa mungkin perlu melebarkan insisi ke
superior kiri agar kuadran kiri atas lebih terlihat.9
Setelah mobilisasi limpa selanjutnya akan ditentukan tindakan yang harus
dikerjakan berdasarkan derajat trauma limpa, kondisi pasien secara
keseluruhan, dan adanya trauma organ abdomen lainnya. Jika limpa tidak
mengalami cedera atau cedera ringan tanpa perdarahan, limpa dikembalikan ke
kuadran kiri atas.9
Jika trauma limpa derajat 2-3 dan keadaan pasien stabil perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan splenorrhapi. Namun, saat ini splenorrhapi
sudah jarang dikerjakan karena tata laksana non operatif biasanya lebih dipilih.
Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa yang
fungsional. Tindakan bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital,

14
mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang
terluka.2,9
Splenektomi harus dilakukan pada pasien yang tidak stabil, ada trauma berat
lain, atau trauma limpa derajat 4-5. Splenektomi total dilakukan jika terdapat
kerusakan parenkim limpa yang luas, avulsi limpa, kerusaan pembuluh darah
hilum, dan kegagalan splenorrhapi. Sedangkan bila keadaan dan ruptur limpa
tidak total sedapat mungkin limpa tetap dipertahankan. Komplikasi yang dapat
terjadi setelah splenektomi yaitu komplikasi pada paru-paru, pankreas,
perdarahan, dan tromboemboli.1,2,9

Gambar 2.5. Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana Trauma Limpa


Sumber : Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw
Hill Education; 2017.5

15
2.2.6. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ketika trauma limpa antara lain:6
1. Syok hemoragik;
2. Disseminated inravascular coagulation (DIC) karena perdarahan masif
dan transfusi darah;
3. Cedera kauda (ekor) pankreas;
4. Splenic artery pseudoaneurysm;
5. Splenic arteriovenous fistula.

16
BAB III
ILUSTRASI KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Arman Maulana
No RM : 1636040
Tanggal Lahir : 13 Desember 1994
Usia : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ciater 2 Lengkong Karya Serpong Utara
Pekerjaan : Lain-lain
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia

3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan di UGD RSUP Fatmawati pada hari Senin tanggal 29
Oktober 2018.

 Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati karena nyeri seluruh perut
sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh perut sejak 12 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan semakin memberat setelah
pasien mengalami kecelakaan motor sekitar jam 11 malam tanggal 28
Oktober 2018. Pasien mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang ke
rumah saat cuaca hujan mengendarai motor kemudian menabrak mobil
pick up yang berhenti tiba-tiba di depannya. Akibatnya pasien terjatuh ke
arah depan sehingga perut pasien mengenai stang motor dan dagu pasien
terluka mengenai bagian belakang mobil pick up tersebut. Setelah
kejadian pasien langsung dibawa ke klinik namun langsung di rujuk ke
RS OMNI. Di RS OMNI pasien diberikan infus dan dagunya dijahit serta

17
dilakukan pemeriksaan foto thoraks dan CT scan perut. Kemudian karena
alasan fasilitas yang kurang memadai pasien dirujuk ke RS Fatmawati.
Saat perjalanan ke RS Fatmawati pasien tetap sadar penuh. Tidak ada
keluhan mual ataupun muntah. BAK dan BAB pasien spontan.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami kejadian serupa. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi maupun penyakit darah tinggi dan diabetes.
Pasien juga tidak pernah dirawat di RS sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada riwayat penyakit darah tinggi,
diabetes, ataupun penyakit berat lainnya.
 Riwayat Personal dan Sosial
Pasien tinggal bersama dengan orang tua dan kakak pasien. Selama
ini pasien jarang berolahraga dan jarang makan sayur dan buah-buahan.
Pasien tidak pernah merokok maupun mengkonsumsi alkohol ataupun
obat-obatan terlarang.

3.3. Pemeriksaan Fisik


Primary Survey
Airway
- Jalan napas tidak ada sumbatan
- snoring (-), gargling (-)

Breathing
- Spontan
- RR: 36x/menit, stridor (-)
- pergerakan dinding dada simetris
- sonor pada kedua lapang paru
- vesikuler +/+, suara napas tambahan -/-

18
Circulation
- Nadi: 128 x/menit, teraba kuat, reguler
- TD : 116/71 mmHg
- CRT <3 detik

Disability
- GCS 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan mata : pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
- Tanda lateralisasi (-)

Exposure
- Tampak jejas pada perut kiri atas

Secondary Survey
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS E4M6V5

Tanda vital
- Tekanan darah : 133/64 mmHg
- Nadi : 142 kali / menit, teraba kuat, reguler
- Pernapasan : 22 kali / menit
- Suhu tubuh : 36,5oC

Status Gizi : BB: 54 kg, TB: 165 cm, IMT : 19,83 kg/m2
Kulit : warna sawo matang, turgor baik
Kepala : normochepali, jejas (-)
Rambut : warna hitam, distribusi merata
Wajah : simetris
Mata : pupil bulat isokor, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : normotia, sekret -/-
Hidung : sekret -/-, hiperemis -/-
Leher : trakea lurus di tengah, KGB tidak membesar

19
Thoraks : simetris saat statis maupun dinamis
Paru : suara napas vesikuler di kedua lapang paru, rhonkii -/-,
wheezing -/-
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : status lokalis
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <3 detik, edema -/-, sianosis -/-

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : datar, terdapat jejas pada regio flank sinistra, Kehr’s
sign (+)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (+) pada seluruh lapang abdomen,
teraba massa (-), defans muskular (+)
Perkusi : timpani (+) di seluruh lapang abdomen

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (29-10-2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 10,9 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 33 33-45
Leukosit 7.200/uL 5,0-10,0
Trombosit 262.000/uL 150-440
Eritrosit 3,62 juta/uL 4,40-5,90
VER/HER/KHER/RDW
VER 91,8 fl 80,0-100,0
HER 30,1 pg 26,0-34,0
KHER 32,8 g/dl 32,0-36,0
RDW 14,10% 11,5-14,5
Kimia Klinik
Fungsi Hati

20
SGOT 45 U/l 0-34
SGPT 23 U/l 0-40
Fungsi Ginjal
Ureum darah 45 mg/dl 20-40
Kreatinin Darah 1,1 mg/dl 0,6-1,5
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 124 mg/dl 70-140
Jantung
Asam Laktat 4,5 mmol/L 0,5-2,2
Analisa Gas Darah
pH 7,46 7,37-7,44
PCO2 33,3 mmHg 35,0-45,0
PO2 189 mmHg 83,0-108,0
BP 747 mmHg
HCO3 23,2 mmol/l 21,0 - 28,0
Saturasi 99,40% 95,0-99,0 %
BE (Base Excess) 0,1 mmol/L -2,5 – 2,5
Total CO2 24,2 mmol/L 19,0-24,0
Elektrolit Darah
Natrium 136 mmol/l
Kalium 4,98 mmol/l
Klorida 109 mmol/l
Sero-imunologi
Golongan darah O / rhesus (+)
CT kuantitatif 20,14 ng/mL 0,5 - < 2 : sepsis sistemik
2 - <10 : sepsis berat
 10 : syok sepsis

21
Foto Thoraks

Pemeriksaan radiografi thoraks proyeksi AP dengan hasil sebagai berikut:


 Jantung kesan tidak membesar.
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
 Trakea relatif ditengah. Kedua hilus tidak menebal.
 Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
 Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua paru.
 Hemidiafragma dan sinus kostofrenikus kanan-kiri baik.
 Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak.

Kesan:
Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.

22
CT scan abdomen

23
Pemeriksaan CT-scan abdomen potongan axial mulai dari diafragma-pubis,
tanpa kontras. Hasil sebagai berikut:
 Hepar : bentuk, ukuran, densitas parenkim normal. Tidak tampak lesi
hipo/hiperdens. Vaskuler dan bile duct intra/extrahepatic tidak melebar.
 GB : bentuk dan ukuran normal. Dinding tidak menebal. Tidak tampak
batu/sludhe dalam GB. Tidak tampak fluid collection di sekitar GB.
 Lien : bentuk dan ukuran tak tervisualisasi utuh. Densitas inhomogen
dengan batas tak jelas dan tepi irreguler.

24
 Pankreas : densitas normal. Tidak tampak peradangan/SOL maupun
peripancreatic fluid.
 Kedua ginjal : letak, bentuk, ukuran normal. Densitas cortex dan
medulla baik. Pelvocalyceal system tidak dilatasi. Tidak tampak
batu/SOL.
 Vesica urinaria : bentuk normal. Tidak tampak penebalan
dinding/batu/SOL.
 Prostat dengan bentuk dan ukuran normal. Tidak tampak nodul.
 Tampak cairan bebas dalam rongga peritoneum.
 Lambung tampak normal. Tidak tampak penebalan mucosa dinding
maupun SOL.
 Loop-loop usus halus dan kolon tampak normal. Tidak jelas tampak
SOL.
 Tulang bertebra lumbal dan pelvis tampak normal dan intak.

Kesan :
Fluid collection intraperiotneal (terutama di abdomen atas) dengan ruptur
lien.

3.5. Resume
Tn.AM, 26 tahun datang keIGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri
seluruh perut sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
semakin memberat setelah pasien mengF alami kecelakaan motor sekitar jam
11 malam tanggal 28 Oktober 2018. Pasien mengalami kecelakaan saat
perjalanan pulang ke rumah saat cuaca hujan mengendarai motor kemudian
menabrak mobil pick up yang berhenti tiba-tiba di depannya. Akibatnya
pasien terjatuh ke arah depan sehingga perut pasien mengenai stang motor
dan dagu pasien terluka mengenai bagian belakang mobil pick up tersebut.
Setelah kejadian pasien langsung dibawa ke klinik namun langsung di rujuk
ke RS OMNI. Di RS OMNI pasien diberikan infus dan dagunya dijahit serta
dilakukan pemeriksaan CT scan perut. Kemudian karena alasan fasilitas yang
kurang memadai pasien dirujuk ke RS Fatmawati. Saat perjalanan ke RS

25
Fatmawati pasien tetap sadar penuh. Tidak ada keluhan mual ataupun
muntah. BAK dan BAB pasien spontan.
Pada primary survey semua kegawatdaruratan telah teratasi. Kemudian
pada secondary survey didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
compos mentis, dan hemodinamik pasien stabil. Pada pemeriksaan status
generalis didapatkan dalam batas normal sedangkan pada pemeriksaan
abdomen pada inspeksi terdapat jejas pada regio flank sinistra, Kehr’s sign
(+), auskultasi didapatkan bising usus menurun, palpasi terdapat nyeri tekan
di seluruh lapang abdomen dan terdapat defans muskular.
Pada pemeriksaan penunjag laboratorium didapatkan adanya
penunrunan nilai Hb (10,9 g/dL) dan jumlah eritrosit yang menurun (3,62
juta/uL). Selain itu, nilai SGOT pasien juga meningkat menjadi 45 U/L
disertai juga dengan peningkatan ureum menjadi 45 mg/dL. Kemudian pada
pemeriksaan CT scan tanpa kontras didapatkan kesan adanya fluid collection
intraperiotneal (terutama di abdomen atas) dengan ruptur lien.

3.6. Diagnosis Kerja Pre Operasi


Ruptur lien ec trauma tumpul abdomen

3.7. Pemeriksaan Anjuran


-

3.8. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
 Bed rest
 Pasang NGT dialirkan
 Pasang kateter
 Observasi tanda vital per jam

26
Medikamentosa:
 IVFD RL 0,9% 500 cc/8 jam
 Metronidazole 3 x 500 mg
 Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
 Ketorolac 3 x 30 mg IV
 Ranitidin 2 x 40 mg

Laporan operasi laparotomi eksplorasi:


1. Pasien supine dalam anestesi umum
2. A dan antisepsis
3. Drapping daerah operasi
4. Insisi mediana 4 jari bawah prosesus xyphoideus sampai dengan 4 jari
di atas simfisis pubis menembus kutis, subkutis, dan linea alba. Saat
peritoneum dibuka, keluar darah kurang lebih 1500 cc, disuction
5. Eksplorasi ke arah lien, tampak hilus compang-camping, perdarahan
aktif. Diputuskan untuk splenektomi.
6. Daerah hilus lien diligasi dan dipotong. Ligmentum gastrosplenika dan
ligamentum splenocolica diligasi dan dipotong. Kemudian perdarahan
dirawat.
7. Eksplorasi dilanjutkan, tampak hematom pada zona 2 retroperiotoneal
sinistra, tidak pulsatil. Tidak dilakukan tindakan apapun. Hepar intak.
8. Tidak tampak kelainan di ileum dan colon.
9. Rongga abdomen dicuci dengan NaCl 0,9% steril.
10. Luka operasi ditutup lapis demi lapis dengan meninggalkan 1 buah drain
pada flexura linealis.
11. Operasi selesai.

Instruksi post operasi:


 Awasi kesadaran dan TNSP
 IVFD RL : D5% = 2:2/24 jam
 Awasi produksi drain
 Cek DPL post operasi (transfusi PRC jika Hb <10 g/dL)
 Ceftriaxone 2 x.2 gr

27
 Metronidazole 1 x 1500 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg
 Omeprazole 2 x 50 mg
 Asam traneksamat 3 x 500 mg
 Vitamin K 3 x 10 mg
 Puasa, NGT dialirkan

3.9. Diagnosis Post Operasi


Ruptur lien AAST grade V ec trauma tumpul abdomen

3.10. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : bonam

28
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan ini dipaparkan seorang laki-laki Tn.AM, 26 tahun datang keIGD
RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri seluruh perut sejak 12 jam sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dirasakan semakin memberat setelah pasien mengalami
kecelakaan motor sekitar jam 11 malam tanggal 28 Oktober 2018. Pasien
mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang ke rumah saat cuaca hujan
mengendarai motor kemudian menabrak mobil pick up yang berhenti tiba-tiba di
depannya. Akibatnya pasien terjatuh ke arah depan sehingga perut pasien mengenai
stang motor dan dagu pasien terluka mengenai bagian belakang mobil pick up
tersebut. Setelah kejadian pasien langsung dibawa ke klinik namun langsung di
rujuk ke RS OMNI. Di RS OMNI pasien diberikan infus dan dagunya dijahit serta
dilakukan pemeriksaan CT scan perut. Kemudian karena alasan fasilitas yang
kurang memadai pasien dirujuk ke RS Fatmawati. Saat perjalanan ke RS Fatmawati
pasien tetap sadar penuh. Tidak ada keluhan mual ataupun muntah. BAK dan BAB
pasien spontan.
Keluhan nyeri pada seluruh lapang abdomen dapat dipikirkan adanya trauma
organ abdomen yang disebabkan oleh benturan benda tumpul pada saat pasien
mengalami kecelakaan. Salah satu organ abdomen yang paling sering mengalami
cedera menurut penelitian yaitu limpa jadi pada pasien dicurigai mengalami trauma
pada limpa. Hal tersebut didukung dengan adanya temuan pada pemeriksaan fisik
berupa jejas pada regio flank sinistra. Selain itu, saat pasien posisi trendelberg
didapatkan adanya nyeri pada bahu kiri yang menunjukkan nyeri alih yang
disebabkan oleh adanya iritasi terhadap hemidiafragma sinistra. Pasien juga
dicurigai mengalami peritonitis yang didukung dari keluhan berupa nyeri perut
yang hebat dan pemeriksaan fisik yang ditemukan yaitu nyeri tekan pada seluruh
lapang abdomen dan bising usus yang menurun.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan nilai Hb dan eritrosit
yang dapat disebabkan oleh adanya perdarahan. Anemia pada pasien ini diduga
karena adanya perdarahan intra abdomen karena trauma pada limpa. Kemudian
karena hemodinamik pasien cenderung stabil maka pada pasien dapat dilakukan

29
pemeriksaan CT scan yang mempunyai beberapa keuntungan seperti dapat melihat
secara lebih spesifik jika dibandingkan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan CT
scan tanpa kontras didapatkan kesan adanya fluid collection intraperiotneal
(terutama di abdomen atas) dengan ruptur lien. Temuan ini mendukung mendukung
diagnosis peritonitis yang dapat disebabkan adanya cairan bebas di dalam rongga
abdomen.
Pada pasien tata laksana awal yang harus dilakukan sudah sesuai dengan
algoritma yang ada yaitu tatalaksana dari kegawatdaruratan terlebih dahulu. Pasien
dipasang kateter urin bertujuan untuk menilai keseimbangan cairan dan diuresis
cairan karena pada kasus trauma sering terjadi syok hipovolemik. Tujuan lain
pemasangan kateter ini adalah untuk mengurangi tekanan intraabdomen akibat
distensi buli. Setelah teratasi pasien akhirnya diputuskan untuk dilakukan operasi
laparotomi eksplorasi untuk mengetahui sumber perdarahan selain dari limpa dan
untuk menilai kondisi organ limpa. Indikasi laparotomi pada pasien ini yaitu pasien
menunjukkan gejala dan tanda peritonitis yang jika tidak ditatalaksana dengan
segera dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih berat lagi. Sebelum
operasi pasien diberikan antibiotik dan analgetik yang bertujuan untuk persiapan
sebelum operasi serta mengurangi gejala simptomatis. Antibiotik yang diberikan
merupakan golongan spektrum luas dan sensitif terhadap bakteri anaerob yaitu
ceftriaxone 2 x 1 gr IV dan metronidazole 1 x 1,5 gr IV. Analgetik yang diberikan
adalah ketorolac 3 x 30 mg IV. Selain itu, pasien juga diberikan ranitidin 2 x 50 mg
untuk mengatasi efek samping ketorolac terhadap mukosa gaster.
Pada pasien akhirnya diputuskan untuk dilakukan splenektomi total karena
saat laparotomi ditemukan hilus limpa dalam keadaan compang-camping.
Kemudian setelah operasi pasien dipindahkan ke ruang ICU dan dilakukan
pemantauan ketat terhadap kesadaran dan tanda vitalnya karena telah kehilang
darah kurang lebih 2500 cc dan dilakukan pemeriksaan darah terutama pemantauan
Hb pasien untuk menentukan apakah pasien perlu diberiksan transfusi darah. Selain
itu, pasien juga diberikan antibiotik ceftriaxone yang merupakan antibiotik dengan
spektrum luas untuk mencegah infeksi yang merupakan salah satu komplikasi dari
operasi yang telah dilakukan. Pasien juga diberikan vitamin K 3 x 10 mg IV sebagai
terapi terhadap laserasi organ intraabdomen karena berfungsi sebagai hemostatik

30
yang dapat merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Asam
traneksamat 3 x 500 mg IV yang diberikan juga merupakan terapi terhadap laserasi
organ karena merupakan inhibitor kompetitif dari plasminogen dan penghambat
plasmin. Plasmin ini berperan dalam penghancuran fibro=inogen, fibrin, dan faktor
pembekuan darah lain.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi C, Andersen D, Billiar T. Schwartz’s Principles of Surgery. 10


ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.

2. Sander M. Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen : Bagaimana


Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaannya. J Keperawatan Fak Kedokt
Univ Muhammadiyah Malang. Januari 2013;14(1):18–28.

3. Mehta N, Babu S, Venugopal K. An Experience with Blunt Abdominal


Trauma: Evaluation, Management and Outcome. Clin Pract. 18 Juni
2014;4(2):34–7.

4. Clinical Practice Guidelines: Trauma/Abdominal Trauma [Internet].


Queensland Government; 2016. Tersedia pada:
https://www.ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Abdominal%20tr
auma.pdf

5. Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw Hill


Education; 2017.

6. Shenoy K, Shenoy A. Manipal Manual of Surgery. 4 ed. New Delhi: CBS


Publishers & Distributors; 2014.

7. Standring S. Gray’s Anatomy. 41 ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.

8. Moore K, Dalley A, Agur A. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7 ed.


Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.

9. Chaudhry S, Bhimji S. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Spleen. Florida:


StatPearls Publishing; 2018.

10. Walls R, Hockberger R, Gausche-Hill M. Rosen’s Emergency Medicine


Concepts and Clinical Practice. Vol. 2. Philadelphia: Elsevier; 2018.

32
11. Merrick C, Haskin D, Peterson N. Advance Trauma Life Support Student
Course Manual. 10 ed. Chicago: American College of Surgeons; 2018. 474
hlm.

12. Cydulka R, Cline D, Ma J. Tintinalli’s Emergency Medicine Manual. 8 ed.


New York: McGraw Hill Education; 2018.

13. Wyatt J, Illingworth R, Graham C, Hogg K. Oxford Handbook of


Emergency Medicine. 4 ed. Oxford: Oxford University Press; 2012.

33

Anda mungkin juga menyukai