Sosiologi Pedesaan)
Disusun oleh:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai kelembagaan pedesaan dilihat dari
aspek structural maupun aspek cultural.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah Sosiologi Pedesaan
beserta semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir.
Penyusun
Kelembagaan Pedesaan dilihat dari aspek cultural dan aspek struktural
“Kelembagaan” merupakan satu konsep yang tergolong membingungkan, dan dapat dikatakan
belum memperoleh pengertian yang mantap dalam ilmu sosiologi. Dalam banyak literatur
teoritis, baik berbahasa Inggris maupun Indonesia, istilah “kelembagaan” (social institution)
selalu disilangkan dengan “organisasi” (social organization). Kedua kata ini sering sekali
menimbulkan perdebatan di antara para ahli. “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of
continuing debate among social scientist….. The term institution and organixation are commonly
used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion”. “…belum terdapat istilah
yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menterjemahkan
istilah Inggris ‘social institution’……. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’
….. ada pula yang ‘bangunan sosial’”.
Meskipun belum sepakat, namun dapat diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat
organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan” menunjuk
kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat.
Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok
orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan
tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa
berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial.
Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki
pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas.
Kelembagaan adalah kelompokkelompok sosial yang menjalankan masyarakat. Tiap
kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan
pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi, dunia
berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk dalam kelembagaan. Tidak satu,
tapi sekaligus dalam banyak kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di
tempat ibadah, dan lain-lain. Dikalangan agen-agen pembangunan pedesaan dan pertanian,
kelembagaan umumnya dipersempit terutama hanya menjadi kelembagaan kelompok tani,
koperasi, subak, kelompok petani peserta program, dan kelompok pengrajin. Sebagian besar
literatur hanya membanding-banding apa beda “kelembagaan” dengan “organisasi”. Setidaknya
ada empat bentuk cara membedakan yang terlihat. Pertama, kelembagaan cenderung tradisional,
sedangkan organisasi cenderung modern. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan
dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt: “… institution do not have members,
they have followers”.
Kedua, kelembagaan dari masyarakat itu sendiri dan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan
ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern,
namun bawah-atas. Pendapat ini digunakan misalnya oleh Tjondronegoro: ”… lembaga semakin
mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi
ke atas dan kota”.
Ketiga, kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinuum, dimana organisasi adalah
kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Norman Uphoff, tujuan akhir adalah organisasi
yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda
dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu
yang akan dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari dari Huntington yang
menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of
institutionalization……Institutionalization is the process by which organizations and procedures
acquire value and stability”. Keempat, organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Dalam
konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi
menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan.
Jika ditelusuri perkembangan dalam khasanah ilmu sosiologi, pada awalnya istilah ‘institution’
dan ‘organization’ cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalanya digunakan secara bolak
balik. Lalu, semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan yang semakin tegas, bahwa
“kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda. Artinya, terjadi perubahan dari pengertian yang
“luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”.
Dari kacamata ekonomi, Binswanger dan Ruttan mengemukakan pandangan, bahwa: “An
institution is usually defined as the set of behavioral rules that govern a particular pattern of
section and relationship. An organization is generally seen as a decision making unit – a family,
a firm, a bureau – that exercise control of resources….. the concept of institution will include
that of organization” (Binswanger, Hans P. dan VW. Ruttan. 1978. Induced Innovation:
Technology, Institutions and Development. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and
London. Hal. 329).
Sumner pada tahun 1906 misalnya, masih memasukkan unsur “struktur” di bawah entry
kelembagaan. Ini karena kelembagaan merupakan bagian yang ia nilai jauh lebih penting dari
suatu kelompok sosial, karena menjadi nyawa kehidupan sosial. Sebaliknya, Durkheim (tahun
1897) dan Cooley (tahun 1909) memasukkan unsur-unsur nilai, norma, dan kepercayaan ketika
mengkaji organisasi sosial. Pembedaan yang mulai tegas terlihat misalnya pada Mac Iver dan
Page setelah setengah abad kemudian, yaitu pada bukunya yang terbit tahun 1949, serta L.
Broom dan P. Selznik tahun 1950. (Dalam: Mitchell, G. Duncan. ed. 1968. A Dictionary of
Sociology. Routledge and Kegan Paul, London).
Secara sederhana, sesuatu sosial relation dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila
memiliki empat komponen, yaitu adanya:
Kebanyakan tulisan hanya membandingkan dan membedakan mana yang disebut dengan
organisasi dan mana yang kelembagaan. Penulis belum menemukan tulisan yang mengupas
bagian dalam dari kedua bentuk tersebut. Menghadapi itu, penulis mengajukan satu konsep yang
mudah dan lebih operasional. Adalah tidak produktif jika hanya sekedar membedakan bahwa
subak adalah kelembagaan, kelompok tani adalah organisasi.
Secara keilmuan, seluruh apa yang dikenal dengan organisasi formal dan nonformal, lembaga
formal dan nonformal, institusi, asosiasi, maupun kelembagaan; penulis sebut saja dengan
“kelembagaan”. Jalan ini ditempuh, karena seluruhnya mengandung aspek yang sama. Dua aspek
yang dimaksud yakni ”aspek kultural” dan ”aspek struktural”. Dalam buku terdahulu, penulis
sebut dengan “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kultural terdiri dari hal-
hal yang lebih abstrak yang menentukan “jiwa” suatu kelembagaan yaitu nilai, norma, dan
aturan, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain
Misalnya Norman Uphoff (1992. Local Institutions and Participation for Sustainable
Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London) dan A. Fowler (1992. Prioritizing
Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development.
Sustainable Agriculture Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London) terbaca bahwa
kelembagaan adalah “a complex of norms and behaviours that persist overtime by serving some
socially valued purpose”. Juga Soejono Soekanto (1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta. Cet ke 28 ), yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah sebagai
jelmaan dari kesatuan norma-norma yang dijalankan.
Sementara, aspek struktural lebih statis, yang berisi struktur, peran, hubungan antar peran,
integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riel,
struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, klik,
profil, pola kekuasaan, dan lain-lain.
Kedua aspek ini secara bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam
kelembagaan tersebut. Keduanya, merupakan komponen pokok yang selalu exist dalam setiap
kelompok sosial, selemah atau sekuat apapun ia. Keduanya ibarat dua sisi mata uang dalam
sebuah kelembagaan.
Jika dianalogkan dengan sebuah gedung. Maka aspek kultural adalah berbagai bentuk aktivitas
manusia yang bekerja di dalamnya, yang aliran manusia di dalamnya dikendalikan dan dibatasi
oleh dinding, tangga, dan pintu. Bangunan itu sendiri, berupa dinding, tangga, dan pintu-
pintunya itulah yang dimaksudkan dengan aspek strukturalnya.
Dan, jika dianalogkan kepada sistem komputer, maka aspek kultural adalah software-nya, dan
aspek struktural adalah hardware-nya. Hardware memberi kesempatan software apa yang dapat
dioperasikannya, namun sekaligus juga membatasi. Demikian pula dalam kelembagaan. Aspek
struktur organisasi misalnya merupakan wadah sehingga seluruh orientasi dan gagasan dapat
dijalankan, namun bersamaan dengan itu ia pun membatasi apa yang dapat diwadahinya.
Pembedaan atas aspek kultural dan aspek struktural akan sangat membantu untuk memahami
untuk mendiagnosa apa “penyakit” yang sedang dihadapi sebuah kelembagaan. Sehingga kita
tahu apa yang harus diperbaiki. Berdasarkan pembedaan itu pula, kita dapat mempelajari
bagaimana sebuah kelembagaan terbentuk.
Apa yang selama ini dikenal sebagai “kelembagaan tradisional” adalah kelembagaan yang
terbentuk secara alamiah, dimana aspek-aspek kultural lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-
aspek strukturalnya. Lawannya adalah “kelembagaan introduksi” yang dibentuk melalui rekayasa
sosial, dengan mendahulukan pembentukan struktur dan pengurusnya saja (aspek struktural).
Pada kondisi ini, yang ada baru rangkanya saja, isinya belum. Ibarat kantor, yang ada baru
gedungnya, namun orang-orangnya belum.
Di kalangan ahli ilmu ekonomi berkembang apa yang disebut dengan “ekonomi kelembagaan”.
Menurut Douglass C. North, kelembagaan ekonomi dibentuk oleh aturan-aturan formal (formal
constraints) berupa rules, laws, dan constitutions; dan aturan informal (informal constraints)
berupa norma, kesepakatan, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan penentu bagaimana
terbentuknya struktur masyarakat dan kinerja ekonominya yang spesifik. Tidak berbeda dengan
North, menurut Lionel Robin, institutions adalah “the rules of the game in economic, political
and social interactions”. Ia merupakan wadah atau lingkungan dimana organisasi-organisasi
hidup. (“Institutions determine social organization”).
Di kalangan ilmu ekonomi, “ekonomi kelembagaan” menurut Prof. Mubyarto adalah ilmu yang
memperhatikan perbedaan-perbedaan budaya di masyarakat yang dipelajarinya. Sementara
menurut Douglass C. North, kelembagaan ekonomi dibentuk oleh formal constraints berupa
rules, laws, dan constitutions; dan informal constraints berupa norma, kesepakatan, dan lainlain;
sedangkan institution adalah “the rules of the game”. Hal ini sejalan dengan Lionel Robin, yang
menyatakan bahwa institutions adalah “the rules of the game in economic, political and social
interactions. Jadi, kelembagaan merupakan wadah tempat organisasi-organisasi hidup.
Menurut Syahyuti (2003), kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek
kelembagaan” (=“aspek kultural”) dan “aspek keorganisasian” (=”aspek struktural”). Aspek
kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan
“jiwa” kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan,
doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan
aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar
peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek
solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan
membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.
Analisis kelembagaan pada prinsipnya adalah menggunakan aspekaspek kultural dan struktural
dalam memahami sebuah kelembagaan, karena setiap kelembagaan memuat kedua aspek
tersebut sekaligus. Penelitian kelembagaan pada sebuah desa misalnya, berarti mempelajari
seluruh kelembagaan yang eksis di desa tersebut. Berbagai kelembagaan yang ada di pedesaan di
antaranya adalah: kelompok tani, koperasi, kelembagaan permodalan, kelompok arisan warga,
kelompok simpan pinjam, kelompok pengguna air irigasi (P3A), pemerintahan desa,
kelembagaan pengolah hasil, kelembagaan perdagangan pupuk, kelembagaan perdagangan hasil-
hasil pertanian, dan lain-lain.
Analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu:
1. Level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan
pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki
pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi.
2. Level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana
kelembagaan tersebut hidup. Hal ini dipelajari melalui kuesioner “Community Profile”
(lihat contoh kuesioner pada lampiran).
3. Level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan
kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Hal ini dipelajari melalui kuesioner
“Organizational Profile”, dimana satu kuesioner untuk tiap kelembagaan (lihat contoh
kuesioner pada lampiran).
a. Pengamalan pancasila,
b. Gotong royong,
c. Pangan,
d. Sanddang,
e. Perumahan dan tata laksana rumah tangga,
f. Pendidikan dan keterampilan,
g. Kesehatan,
h. Pengembangan hidup berkoperasi,
i. Kelestarian lingkungan hidup,
j. Perencanan sehat.
6. Lembaga Lain-Lain
Lembaga kemasyarakatan lain yang berkembang ditengah masyarakat pedesaan antara
lain sebagai berikut :
1. Lembaga adat
2. Lembaga keagamaan
3. Yayasan sosial dan pendidikan
4. Organisasi kepemudaan (Krangtaruna, Pemuda Mrsjid, KNPI, Taruna Tani dan lain-lain)
Kesemuanya itu ada di tengah masyarakat dan mempunyai peranan penting dalam
melakukan pembangunan desa untuk jadi lebih maju serta memiliki system norma yang
mengatur mereka. Fungsinya bagi pemuda dan masyarakat pedesaan adalah tempat mereka
belajar, menyampaikan aspirasi dan karya yang berguna membangun desa dari ketertinggalan.
DAFTAR PUSTAKA
http://kelembagaandas.wordpress.com/analisis-kelembagaan/syahyuti/
http://comunitydevelopment.blogspot.com/2011/04/lembanga-lembanga-sosial-pedesaan.html