Asites Pada Penyakit Ginjal Kronik Nefro PDF
Asites Pada Penyakit Ginjal Kronik Nefro PDF
(NEFROGENIK ASITES)
Halaman Judul………………………………………………………………………….…. i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………... ii
Daftar Gambar………………………………………………………………………….…. iv
Daftar Tabel…………………………………………………………………………….…. v
Bab I. Pendahuluan.....................................................................................................….. 1
Bab II. Mekanisme Patogenesis Asites Nefrogenik…...............................................…… 7
1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika…………………………………….. 7
2. Volume overload (kelebihan intake cairan)………………………………………… 8
a. Sindroma hepatorena……………………………………………………… ……. 11
3. Peningkatan permeabilitas membrane peritoneal…………………………………… 15
a. Uremic toxins…………………………………………………………….….…... 16
b. Penggunaan larutan dialisat jangka panjang…………………… ………………. 18
c. Kompleks immune………………………………………………………………. 18
d. Aktivasi renin-angiotensin-aldosterone……………………………………… …. 18
e. Hemosiderosis………………………………………………………………...…. 19
4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal………………………………………..... 19
Bab III. Gejala Klinik dan Pembagian Tingkat Asites Nefrogenik……………….…...…. 21
Bab IV. Penatalaksanaan Asites Nefrogenik…………..…………………………………. 22
1. Evaluasi Asites Nefrogenik ……………………………………………………….. 22
2. Terapi Asites Nefrogenik…………………………………………………………… 23
a. Hemodialisis intensif ……………………………………………………………. 25
b. Terapi hiperalimentasi…………………………………………………………… 25
c. Terapi parasentesis ……………………………………………………………… 26
d. CAPD …………………………………………………………………………… 27
e. Terapi shunt ……………………………………………………………………... 27
f. Transplantasi ginjal……………………………………………………………… 27
ii
3. Obat-obatan ………………………………………………………………………… 29
Bab V. Kesimpulan…………………………………………………………………... …. 30
Daftar Pustaka
Curiculum Vitae
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
Asites nefrogenik atau asites yang terkait dengan gagal ginjal terlihat pada
penyakit ginjal stadium akhir. Asites nefrogenik sering terlihat pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Penyebabnya bisa multifaktorial seperti kombinasi dialisis
dan ultrafiltrasi yang tidak memadai, gizi buruk, dan permeabilitas membran
peritoneal yang meningkat pada uremia. Umumnya asites nefrogenik terjadi dalam
jangka waktu yang lama (Nayak-Rao, 2015).
Asites nefrogenik adalah kondisi langka dengan penyebab yang tidak diketahui
pasti namun mungkin multifaktorial. Asites nefrogenik dapat disembuhkan dengan
pembatasan garam yang ketat, dialisis yang efektif dan ultrafiltrasi terus-menerus.
Padahal sebelumnya dialisis dan ultrafiltrasi terus-menerus dianggap memperparah
keadaan pasien asites nefrogenik (Sethi et al, 2016).
Asites nefrogenik memiliki beberapa nama seperti asites nefrogenous, asites
berkaitan hemodialisis, asites dialisis, asites idiopatik, atau asites berkaitan gagal
ginjal stadium akhir (Gluck and Nolph, 1987). Asites nefrogenik lebih diutamakan
karena kejadian asites bisa terjadi sebelum dialisis dilakukan (Mauk et al., 1988).
Asites nefrogenik adalah suatu kondisi yang ditandai dengan adanya asites
masif pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang belum jelas penyebabnya
(Hammond and Takiyyuddin, 1994). Kejadian asites nefrogenik memiliki
kemungkinan (0.7-20%) dengan usia 11-71 tahun (rerata 42 tahun) dimana
perbandingan pria dan wanita adalah 2:1 (Mauk et al., 1988).
Asites nefrogenik dikaitkan dengan prognosis yang serius. Survival berkisar
antara 7 sampai 10,7 bulan. Lebih dari sepertiga pasien menjadi cachexia, dan
kebanyakan pasien meninggal dengan asites persisten. CAPD, peritonovenous shunt
dan transplantasi ginjal tampaknya efektif dalam mengendalikan pembentukan asites.
Asites nefrogenik dapat disembuhkan dengan pembatasan garam yang ketat, dialisis
yang efektif dan ultrafiltrasi terus-menerus. Asites nefrogenik adalah manifestasi
1
sebagai asites refrakter pada pasien dengan gagal ginjal tahap akhir. Sebagian besar
pasien ini menjalani hemodialisis (Sethi et al., 2016).
Pada asites nefrogenik, analisis cairan asites menunjukkan eksudat (protein
tinggi), albumin serum rendah dan jumlah neutrofil rendah. Ascites sedang sampai
masif, hipertensi, edema ekstremitas minimal bawah, cachexia dan riwayat hipotensi
terkait dialisis. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata berkisar antara 7 sampai 10,7
bulan, dengan 44% pasien meninggal dalam waktu 15 bulan setelah diagnosis (Glück
and Nolph, 1987).
Asites idiopatik terjadi pada pasien hemodialisa (HD) yang disebabkan dialisis
sub-optimal. Cairan yang diaspirasi memiliki kandungan protein tinggi. Perawatan
dilakukan dengan pembatasan konsumsi cairan dan garam, pembatasan ultrafiltrasi
melalui dialisis, beralih menggunakan dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal
(Bircher and Woodrow, 2015).
2
Asites pada penyakit ginjal kronik di Indonesia belum dianggap menjadi
permasalahan bila dilihat dari laporan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2015.
Diagnosa penyakit ginjal pasien hemodialisa (HD) yang dilaporkan IRR tahun 2015
dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Penyebab penyakit ginjal pasien di Indonesia bermacam-macan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.
4
Penyakit penyerta/komplikasi yang muncul pada pasien penyakit ginjal di Indonesia
tahun 2015 terdapat lebih dari 5, dapat dilihat melalui Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien Ginjal di Indonesia tahun 2015
(IRR, 2015)
5
Hemodialisis (HD) pada pasien di Indonesia terdapat banyak insidensi penyulit
(pengganggu). Insidensi tertinggi adalah hipertensi, padahal secara normal
seharusnya insidensi tertinggi adalah hipotensi, hal ini terlihat pada Gambar 4.
Berdasarkan data IRR (Indonesian Renal Registry) tahun 2015 tidak terlihat
adanya penyakit asites. Berarti bahwa asites pada penyakit ginjal kronik di Indonesia
belum dianggap menjadi permasalahan yang cukup serius.
6
BAB II
MEKANISME PATOGENESIS ASITES NEFROGENIK
Peningkatan tekanan vena hepatika sering terjadi pada kasus sirosis hati. Ketika
tekanan vena meningkat, volume darah di dalam venula postcapillary, venula dan
vena yang lebih besar meningkat dan menuju ke dalam kompartemen ekstravaskular,
sehingga meningkatkan tekanan jaringan. Akibatnya matriks ekstraselular menegang
dengan meningkatkan kekuatan tensi pada serat retikuler dan cairan di dalamnya.
Akhirnya, terjadi pembengkakan kompartemen matriks ekstraselular (Scallan et al.,
2010). Penyebab peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika adalah gagal jantung,
7
penyakit hati sirosis dan hypothyroidism (Tasneem et al., 2016). Peningkatan tekanan
hepatika akibat penyakit hati dapat menghasilkan penumpukan cairan kaya protein
(Hammond and Takiyyuddin, 1994).
Akumulasi cairan dan kelebihan cairan sering ditemukan pada pasien yang sakit
kritis dan pada mereka yang menderita AKI. Kelebihan cairan berkaitan dengan
8
peningkatan mortalitas pada pasien dengan AKI dan berkontribusi untuk
memperburuk hasil pada pasien yang sakit kritis (Bouchard and Mehta, 2009).
9
Gambar 6. Mekanisme Retensi Garam dan Air
Sumber : O’Callaghan, 2009
AKI (Acute Kidney Injury)
AKI atau gagal ginjal akut sering terjadi pada sirosis. Sebanyak 25 % pasien asites
sirosis dapat berkembang menjadi AKI dalam 1 tahun. Timbulnya AKI akan
meningkatkan mortalitas pasien menjadi 8 kali lipat dari nilai normal (Steddon et al.,
2014).
10
a. Sindroma Hepatorenal
Proses dialisis yang dilakukan secara cepat untuk pengobatan asites dapat berpotensi
menyebabkan sindroma hepatorenal. Sindroma Hepatorenal (HRS) adalah kelainan
fungsional dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada individu dengan sirosis
atau gagal hati akut. Transplantasi hati merupakan metode terapi yang berpotensi
mengobati dan mengembalikan disfungsi hati pada sindroma hepatorenal serta
pemulihan fungsi ginjal (Goel et al., 2016).
11
Gambar 8. Patogenesis Sindoma Hepatorenal dan Asites
Sumber : Bircher and Woodrow, 2015
12
Tabel 2. Diagnosis Sindroma Hepatorenal
Kriteria Major Kriteria Minor
- Sirosis dan asites - Volume urine < 500 mL/24 jam, sodium
- Kreatinin serum > 133 µmol/L (>1.5 urine < 10 mEq/L
mg/dL) - Osmolalitas urine lebih besar dari
- Tidak ada shock dan hipovolemia ditandai osmolalitas plasma
tidak adanya peningkatan fungsi ginjal - Sodium serum < 130 mEq/L
(kreatinin turun < 133 µmol/L) setelah 2
hari penarikan diuretic, dan peningkatan
volume dengan albumin 1-100 g/kg/hari
- Tidak ada penggunaan obat nephrotoxic
sebelumnya
- Tidak ada penyakit ginjal parenkim
ditandai proteinuria < 0.5 g/hari, tidak
microhematuria (< 50 sel darah
merah/medan bertenaga tinggi), dan
ultrasonografi ginjal normal
Sumber : Goel et al., 2016
13
Sindroma Hepatorenal (HRS) menurut Ross and Damman (2015)
diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II seperti ditunjukkan pada
Tabel 3.
14
Gambar 9. Pengobatan Sindoma Hepatorenal (HRS)
Sumber : Ross and Damman, 2015
15
peritoneal dan oleh karena itu merupakan penentu yang signifikan dari tingkat
pelepasan zat terlarut (Leypoldt, 1995).
Permeabilitas membrane peritoneal dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang
beroperasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, termasuk efek racun
uremik dan pengaktifan jalur angiotensin rennin. Larutan dialisat (dialisis solution)
juga telah dikaitkan karena dapat mengubah transportasi natrium peritoneal. Selain
itu, kompleks imun yang bersirkulasi telah dianggap bertanggung jawab berdasarkan
pengamatan bahwa asites kurang parah pada pasien yang menjalani dialisis
ambulatory. Hemosiderosis adalah faktor lain yang dilaporkan berkontribusi pada
perubahan permeabilitas membran peritoneal, karena asites telah terbukti berkurang
saat agen pengelat zat besi diberikan kepada pasien hemodialisis (Tasneem et al.,
2016).
Permeabilitas membrane peritoneal yang tinggi akan membuat cairan mudah
masuk tetapi sulit untuk keluar sehingga terjadi penumpukan cairan menyebabkan
terjadinya asites. Sebaliknya permeabilitas membrane peritoneal yang rendah akan
membuat cairan mudah keluar.
16
Tabel 4 di bawah. Penghilangan uremic toxin dapat dilakukan dengan dialisis yang
memadai (Depner and Yeun, 2009).
Tabel 4. Sistem organ yang terpengaruh uremic toxin dan efeknya
Sistem Efek
Kardiovaskular Peradangan parah, dengan potensi untuk memodifikasi
status vaskular
Hipertrofi jantung dan kardiomiopati dilatasi karena
kelebihan cairan dan hipoproteinemia
Neurologis Kerusakan saraf fungsional dan morfologis yang
menyebabkan neuropati (misalnya, jalur refleks yang
kompleks seperti F-waves dan H-reflexes)
Hematologis Kehilangan darah berulang atau sampling, peradangan
terbuka, dan kekurangan gizi bisa memperparah anemia
Coagulasion Adanya peradangan sebagai hasil efek procoagulatory
Imunologis Morbiditas ekstra dan mortalitas akibat kerentanan terhadap
infeksi yang meningkat
Adanya sejumlah zat terlarut uremik (guanidin, AGE, p-
cresylsulfate, sitokin) berpotensi mengubah respons
imun
Endokrinologis
-Metabolisme Respons yang kurang terhadap insulin menghasilkan
Karbohidrat serapan glukosa seluler dan pemanfaatan kalori yang
kurang
-Hormon Tiroid Pelepasan TSH sebagai respon terhadap TRH ditekan
-Hormon Pertumbuhan Pemberian hormon pertumbuhan pada pasien ICU terbukti
memiliki dampak negatif, tetapi memiliki efek
metabolik positif terhadap pasien AKI
Keterangan: AGE=advanced glycosylation end product; ICU=intensive care unit;
TRH=thyroid-releasing hormone; TSH=thyroid-stimulating hormone; AKI=acute
kidney injury
Sumber : Glorieux et al., 2009
17
mengurangi dampak perubahan membran peritoneal karena dialisis jangka panjang,
tetapi hal ini masih belum bisa dipastikan (Al-Hweish et al., 2016).
c. Kompleks immune
Antigen deposition pada glomerular capillary subendothelium dan masangium
mengikat antibodi secara in situ membentuk sirkulasi kompleks immune (CIC)
(Mount and Savige, 2009). Pada keadaan normal, kompleks immune keluar dari
sirkulasi dengan mengikat reseptor pada eritrosit, kemudian dihilangkan dan
terdegradasi saat eritrosit transit ke hati dan limfa. Tetapi jika kinerja hati terganggu
kompleks immune akan mengikat reseptor pada subendothelial dan masangium
membentuk sirkulasi kompleks immune (Johnson et al., 2015). Sirkulasi kompleks
immune (CIC) dapat mengubah permeabilitas membrane peritoneal (Han et al.,
1998). Sirkulasi kompleks immune biasanya dibersihkan dengan mekanisme
komplemen-meditasi. (Nester and Gipson, 2009).
d. Aktivasi renin-angiotensin-aldosterone
Sistem renin-angiotensin-aldosterone bertanggung jawab untuk retensi natrium
(garam) dan untuk pemeliharaan tekanan arteri, dan mengurangi perfusi ginjal
(Benardi and Gasbarrini, 1986).
18
Gambar 10. Pengaruh Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone pada Asites
Sumber : Wilkinson and Williams, 1980
e. Hemosiderosis
Hemosiderosis merupakan kelebihan penyimpanan zat besi (iron overload)
menyebabkan penumpukan hemosiderin dalam jaringan terutama hati dan limpa.
Hemosiderosis dapat meningkatkan permeabilitas membrane peritoneal karena
menyebabkan reaksi pembengkakan lokal, dapat dihilangkan dengan terapi
pengurangan zat besi (Han et al., 1998).
19
sinusoid hati yang sesak (gagal jantung) mendukung pergerakan cairan ke dalam
rongga peritoneum untuk membentuk asites. Selain itu, drainase limfatik yang
terganggu dari rongga peritoneum dapat menyebabkan pembentukan asites (Glück
and Nolph, 1987).
Penyumbatan pada channels limfatik peritoneal menyebabkan penyerapan
sistem drainase terganggu akibatnya terjadi retensi cairan di rongga peritoneal.
Sirkulasi kompleks immune dan hemosiderosis berperan dalam terjadinya
pembengkakan dan penyumbatan pada channels limfatik peritoneal. Hal ini dapat
diatasi dengan terapi penghilangan sirkulasi kompleks immune dan terapi
pengurangan zat besi (Han et al., 1998). Asites dapat disebabkan oleh penyumbatan
saluran limfatik peritoneum kecil oleh infiltrat inflamasi yang menyebabkan retensi
cairan di rongga peritoneal (Tasneem et al., 2016).
Penyakit pada sistem limfatik (Rockson, 2011):
Lymphedema
Lymphangioma
Protein-losing enteropathy dan intestinal lymphangiectasia
Complex vaskular malformations
Infectious disease
Lipedema
lymphangioleiomyomatosis
20
BAB III
GEJALA KLINIK DAN PEMBAGIAN TINGKATASITES NEFROGENIK
Gejala penyakit asites nefrogenik adalah sama dengan asites pada umumnya.
Asites terjadi secara perlahan dalam periode lama (Nayak-Rao, 2015). Awalnya
hanya ada sejumlah kecil cairan di perut. Kemudian rasa sakit pada perut dan
kembung di lambung. Selanjutnya sejumlah besar cairan yang terus menumpuk akan
menyebabkan sesak napas hingga terjadi penyakit ginjal dan hati stadium akhir.
Tanda yang terlihat pada penderita asites yaitu meningkatnya ukuran perut,
volume air kencing yang dikeluarkan sangat sedikit meskipun minum air dalam
takaran normal, baju, celana, rok, atau aksesoris yang digunakan terasa sempit.
Asites memiliki 3 tingkat yaitu asites minimal/ringan, asites moderat/sedang,
dan asites akut/parah tergantung pada banyaknya cairan yang menumpuk seperti
terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkatan pada Asites
Tingkat Estimasi banyak cairan (kg)
Ringan 2.2
Sedang 6.0
Parah 14.0
Sumber : Webster-Gandy et al., 2006
21
BAB IV
PENATALAKSANAAN ASITES NEFROGENIK
22
Rasakan apakah ada rasa semacam hentaman cairan pada tangan sebelah
kanan. Pemeriksaan ini dinamakan pemeriksaan undulisi.
Penilaian : undulasi positif.
Setelah melakukan palpasi, maka yang harus kita lakukan selanjutnya adalah
perkusi. Perkusi dimulai dari bagian umbilicus atau bagian tengan operut
pasien, terus ke arah bawah. Suara yang terdengar pada orang yang menderita
asites adalah pada awalnya timpani, tetapi semakin ke bawah, yang dirasakan
adalah semakin redup dan akhirnya redup. Pada tahap ini tentukan batas
perubahan suara antara redup dan timpani.
Setelah batas ditemukan, maka pasien diminta untuk memiringkan badannya
ke arah kita, yaitu ke arah kiri, lalu kita perkusi lagi, formatnya dari
perbatasan tadi ke atas. Suara yang terdengar adalah redup, redup, redup
sampai akhirnya timpani. Perlu diketahui, pada pemeriksaan ini batas redup
akan bergeser ke atas, hal ini disebabkan karena cairan yang berada disebelah
kiri pasien berpindah ke sebelah kanan.
Penilaian : suara terdengar redup dan timpani.
23
Tabel 6. Pilihan terapi untuk asites nefrogenik
Berdasarkan Tabel 6., maka pilihan terapi asites nefrogenik yang dianjurkan
adalah CAPD dan transplantasi ginjal, pilihan lain adalah hemodialisis terus-menerus.
Sedangkan terapi yang paling merugikan adalah parasentesis berulang.
24
Tabel 7. Terapi asites nefrogenik yang telah dilakukan
No. of
Treatment Ascites Outcome Risks and Complications
Patients
Hipotensi, supraventricular tachycardia, 1st-
Resolved in 28
Daily hemodialysis 81 degree AV block, atrial fibrillation, ectopic
patients
beats, arteriovenous shunt infection
Resolved in 10
Periotoneal dialysis 13 Peritonitis
patients
a. Hemodialisis intensif
Hemodialisis secara intensif (terus-menerus) selama beberapa jam atau hari kepada
penderita asites dapat dilakukan (Tasneem et al., 2016). Sebaiknya larutan dialisat
menggunakan biocompatible solution (Al-Hweish et al., 2016). Penyakit asites
nefrogenik dapat disembuhkan menggunakan prosedur hemodialisis tetapi pasien
dapat berisiko terkena hipotensi (Nayak-Rao, 2015).
b. Terapi hiperalimentasi
Hiperalimentasi merupakan terapi dengan pemberian nutrisi berlebih kepada pasien
tetapi prosedur ini belum teruji (Nayak-Rao, 2015).
25
Nutrisi
Nutrisi memainkan peran penting dalam memanagemen hipertensi, obesitas,
hiperlipidemia, dan diabetes yang berpengaruh terhadap timbulnya CKD. Laju filtrasi
glomerulus (GFR), retensi metabolit nitrogen, kemampuan mengatur kadar elektrolit
dan air, dan vitamin dapat dipengaruhi pola makan (Bircher and Woodrow, 2015).
Kandungan nutrisi yang teratur diharapkan menurunkan asites yang disebabkan oleh
retensi garam dan air.
Tabel 8. Penilaian status nutrisi
Penilaian Status Nutrisi
Area Penilaian
Penilaian asupan diet Riwayat diet, makanan harian, nafsu
makan, kuesioner
Pengukuran antropometri Berat, tinggi, massa, persentase
perubahan berat, ketebalan kulit, lingkar
otot lengan
Komposisi bodi Aktivitas neutron, near-infrared
reactance, bioelectrical impedance,
DXA(dual-energy x-ray absorptiometry),
potasium
Biokimia Serum elektrolit, protein, PNA(protein
equivalent of total nitrogen appearance),
PCR (protein catabolic rate), kolesterol,
kreatinin
Sistem penilaian nutrisi Penilaian global subyektif
Tes imunologi Limfosit darah, tes hipersensitif
cutaneous
Tes fungional Kekuatan grip
Sumber : Bircher and Woodrow, 2015
c. Terapi parasentesis
Terapi parasentesis dilakukan untuk menghilangkan cairan dalam jumlah besar (4-6
L/hari) (Moore and Aithal, 2006). Kelemahan prosedur ini, pasien akan kehilangan
protein dalam jumlah banyak (Nayak-Rao, 2015).
26
d. CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis)
CAPD merupakan dialisis yang dilakukan terus-menerus melalui membran
peritoneal. Prosedur CAPD dapat digunakan untuk mengobati asites nefrogenik
(Tasneem et al., 2016). CAPD merupakan prosedur yang disarankan pada pasien
penyakit ginjal stadium akhir (Franz and Hörl, 1997). Sebaiknya larutan dialisat
menggunakan biocompatible solution (Al-Hweish et al., 2016). Penggunaan prosedur
ini berisiko terkena peritonitis (Han et al., 1998) dan kehilangan sejumlah protein
(Nayak-Rao, 2015).
e. Terapi shunt
Prosedur ini telah terbukti mengurangi asites (Nayak-Rao, 2015). Namun, berisiko
timbul infeksi pada saluran shunt, thrombosis, koagulopati, ascites leakage (Han et
al., 1998).
f. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal dapat dilakukan jika terdapat kerusakan ginjal yang parah.
Merupakan pengobatan asites paling efektif (Tasneem et al., 2016). Transplantasi
ginjal dapat menyembuhkan penyakit asites nefrogenik, tetapi ada kemungkinan
asites muncul kembali jika ginjal hasil transplantasi mengalami kerusakan (Nayak-
Rao, 2015) serta timbulnya penolakan tubuh dan infeksi (Han et al., 1998).
27
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien asites nefrogenik:
• Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
SBP dapat timbul pada penderita asites dengan penyakit ginjal stage akhir,
umumnya bakteri berupa Escherichia coli, Streptococci dan Klebsiella
pneumoniae (Franz and Hörl, 1997).
• Sindrom hepatorenal
Retensi garam dan air menyebabkan terjadinya asites dan sindrom hepatorenal
(Cárdenas and Ginès, 2016; Bircher and Woodrow, 2015).
• Malnutrisi protein
Terapi parasentesis menyebabkan kehilangan protein dalam jumlah besar (Nayak-
Rao, 2015).
• Hipotensi
Terapi pembatasan garam dan air, hemodialisis dan ultrafiltrasi berakibat
timbulnya hipotensi pada penderita asites (Franz and Hörl, 1997).
• Penyakit Jantung
Penyakit gagal jantung dapat terjadi pada penderita ginjal stadium akhir, juga
sebagai penyebab naiknya tekanan hidrostatik vena hepatika (Tasneem et al.,
2016).
28
3. Obat-obatan
Pemberian obat kepada pasien:
Pengobatan alami yang dapat dilakukan adalah mengganti atau merubah gaya
hidup dengan cara menghindari alkohol, mengurangi garam dalam makanan, dan
membatasi asupan cairan yang masuk ke dalam tubuh (Sethi et al., 2016; Bircher
and Woodrow, 2015; Franz and Hörl, 1997).
Obat diuretik dapat diberikan untuk meningkatkan ekskresi garam dan air dari
ginjal (Krzesinski and Cohen, 2016). Obat diuretik yang direkomendasi
spironolactone, amiloride, frusemide, dan bumetanide (Moore and Aithal, 2006).
Obat antibiotik juga perlu diberikan untuk mencegah dan mengobati gejala infeksi
dan bakteri (Franz and Hörl, 1997).
29
BAB VI
KESIMPULAN
ᴥ Asites pada penyakit ginjal kronik (Nefrogenik Asites) adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan adanya asites masif, analisis cairan dengan protein yang tinggi,
albumin serum rendah dan jumlah neutrofil rendah. Kasusnya termasuk jarang
ditemukan dan data yang ada minimal didapatkan.
ᴥ Mekanisme patogenesis nefrogenik asites
1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatica.
2. Kelebihan intake cairan.
3. Naiknya permeabilitas membrane peritoneal; uremic toxin, penggunaan
larutan dialisat jangka panjang, kompleks imun, aktivitas sistem renin-
angiotensin-aldosterone, hemosiderosis.
4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal.
ᴥ Data IRR tahun 2015 asites nefrogenik belum dicantumkan.
ᴥ Pilihan terapi asites nefrogenik yang dianjurkan adalah transplantasi ginjal, CAPD,
pilihan lain adalah hemodialisis terus-menerus. Sedangkan terapi yang paling
merugikan adalah parasentesis berulang.
30
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hwiesh, A.K., Shawarby, M.A., Abdul-Rahman, I.S., et al., 2016. Changes in peritoneal
membrane with different peritoneal dialysis solutions: is there a difference?. Hong Kong
Journal of Nephrology. Vol 19: 7-18.
Bagshaw, S.M., and Bellomo, R., 2009. Kidney function test and urinalysis in acute renal failure;
in Ronco, C., Bellomo, R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.46, 2nd Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Bernardi, M., and Gasbarrini, G., 1986. The renin-angiotensin-aldosterone system in human
hepatic cirrhosis. Isr J Med Sci. Vol 22 (2): 70-7.
Bircher, G., and Woodrow, G., 2015. Gastroenterology and nutrition in chronic kidney disease;
in Johnson, R.J., Feehally, J., and Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology,
Ch.87, 5th Ed. Saunders Elsevier. Philadelphia.
Cárdenas, A., and Ginès, P., 2016. The patient with hepatorenal syndrome; in Turner, N.,
Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology Ch.169,
4th Ed. Oxford University Press. Oxford.
Elhassan, E.A., and Schrier R.W., 2015. Disorder of extracellular volume; in Johnson, R.J.,
Feehally, J., and Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.7, 5th Ed. Saunders
Elsevier. Philadelphia.
Franz, M. and Hörl, W.H., 1997. The patient with end-stage renal failure and ascites. Nephrology
Dialysis Transplantation. Vol 12: 1070-8.
Glück, M.D., and Nolph, K.D., 1987. Ascites associated with end-stage renal disease. American
Journal of Kidney Disease. Vol 10 (1): 9-18.
Glorieux, G., Schepers, E., Biesen, W.V., et al., 2009. Metabolic waste products in acute uremia;
in Ronco, C., Bellomo, R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.201, 2nd Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Goel, R.M., Patel, K.V., and Wong, T., 2016. Gastroenterology and renal medicine; in Turner,
N., Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology
Ch.130, 4th Ed. Oxford University Press. Oxford.
Hammond, T.C., and Takiyyuddin, M.A., 1994. Nephrogenic ascites: a poorly understood
syndrome. Journal of the American Society of Nephrology. Vol 5 : 1173-7.
Han, S.H.B., Reynolds, T.B., and Fong, T.L., 1998. Nephrogenic ascites; analysis of 16 cases
and review of the literature. Medicine. Vol 77 (4): 233-45.
Indonesian Renal Registry. 2015. 8th Report of Indonesian Renal Registry. Situs:
http://www.indonesianrenalregistry.org/.
Johnson, R.J., Floege, J., and Feehally, J., 2015. Introduction to glomerular disease: histologic
classification and pathogenesis; in Johnson, R.J., Feehally, J., and Floege, J.,
Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.16, 5th Ed. Saunders Elsevier. Philadelphia.
Krzesinski, J.M. and Cohen, E.P., 2016. Approach to the patient with oedema; in Turner, N.,
Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology Ch.30, 4th
Ed.Oxford University Press. Oxford.
Mauk, P.M., Schwartz, J.T., Lowe, J.E., et al., 1988. Diagnosis and course of nephrogenic
ascites. Arch Intern Med. Vol 148: 1577-9.
Moore, K.P., and Aithal, G.P., 2006. Guideline on management of ascites in cirrhosis. Gut. Vol
55 (6): vi1-12.
Mount, P., and Savige, J., 2009. Poststreptococcal glomerulonephritis; in Ronco, C., Bellomo,
R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.165, 2nd Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Nayak-Rao, S., 2015. Nephrogenic ascites-still an intractable problem?. Saudi Journal of Kidney
Disease and Transplantation. Vol 26 (4): 773-7.
Nester, C.M., and Gipson, D.S., 2009. Pathophysiology of vasculitis; in Ronco, C., Bellomo, R.,
and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.36, 2nd Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Rockson, S.G., 2011. Etiology and Classification of Lymphatic Disorders; in Lee BB., Bergan J.,
Rockson S. (Eds), Lymphedema, Ch.2. Springer. London.
Ross, E.A., and Damman, K., 2015. Acute kidney injury; in Johnson, R.J., Feehally, J., and
Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.75, 5th Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Scallan, J., Huxley, V.H., and Korthuis R.J., 2010. Capillary Fluid Exchange; Regulation,
Function, and Pathology. San Rafael (CA) Morgan & Claypool Life Sciences.
Steddon, S., Ashman, N., Chesser, A., et al., 2014. Oxford Handbook of Nephrology and
Hypertension 2ed. Oxford University Press. Oxford.
Sethi, S., Sandhu, J.S., Makkar, V., et al., 2016. Nephrogenic ascites – a poorly understood
syndrome. Journal of Medical Science and Clinical Research. Vol 4 (11) : 14103-7.
Tasneem, A.A., Khan, A.A., Abbas, Z., et al., 2016. Ascites in patients on maintenance
hemodialysis; cause, characteristics and predicting factors. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan. Vol 26 (5): 413-9.
Wilkinson, S.P., and Williams, R., 1980. Renin-angiotensin-aldosterone system in cirrhosis. Gut.
Vol 21 (6): 545-54.
Webster-Gandy, J. Madden, A., Holdsworth, M., 2006. Oxford Handbook of Nutrition and
Dietetics. Oxford University Press. Oxford.
CURRICULUM VITAE
Pendidikan:
1. Dokter Umum : lulus 1985 (UNDIP)
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam : lulus 1996 (UNDIP)
3. Dokter Spesialis Konsultan Ginjal-Hipertensi : lulus 2012 (UGM)
4. Magister Hukum : lulus 2010 (UNSOED)
cumlaude
5. Magister Manajemen RS : lulus 2012 (UNSOED)
cumlaude
6. S3 Kedokteran : lulus 2018 (UGM)