Anda di halaman 1dari 39

ASITES PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

(NEFROGENIK ASITES)

dr. Haidar Alatas, SpPD-KGH, Finasim,MH,MM.

Dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan IPDI Barlingmas Cakeb


Minggu, 06 Agustus 2017
Hotel Surya Yudha Banjarnegara
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………….…. i
Daftar Isi…………………………………………………………………………………... ii
Daftar Gambar………………………………………………………………………….…. iv
Daftar Tabel…………………………………………………………………………….…. v
Bab I. Pendahuluan.....................................................................................................….. 1
Bab II. Mekanisme Patogenesis Asites Nefrogenik…...............................................…… 7
1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika…………………………………….. 7
2. Volume overload (kelebihan intake cairan)………………………………………… 8
a. Sindroma hepatorena……………………………………………………… ……. 11
3. Peningkatan permeabilitas membrane peritoneal…………………………………… 15
a. Uremic toxins…………………………………………………………….….…... 16
b. Penggunaan larutan dialisat jangka panjang…………………… ………………. 18
c. Kompleks immune………………………………………………………………. 18
d. Aktivasi renin-angiotensin-aldosterone……………………………………… …. 18
e. Hemosiderosis………………………………………………………………...…. 19
4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal………………………………………..... 19
Bab III. Gejala Klinik dan Pembagian Tingkat Asites Nefrogenik……………….…...…. 21
Bab IV. Penatalaksanaan Asites Nefrogenik…………..…………………………………. 22
1. Evaluasi Asites Nefrogenik ……………………………………………………….. 22
2. Terapi Asites Nefrogenik…………………………………………………………… 23
a. Hemodialisis intensif ……………………………………………………………. 25
b. Terapi hiperalimentasi…………………………………………………………… 25
c. Terapi parasentesis ……………………………………………………………… 26
d. CAPD …………………………………………………………………………… 27
e. Terapi shunt ……………………………………………………………………... 27
f. Transplantasi ginjal……………………………………………………………… 27

ii
3. Obat-obatan ………………………………………………………………………… 29
Bab V. Kesimpulan…………………………………………………………………... …. 30
Daftar Pustaka
Curiculum Vitae

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Persentase Diagnosa Penyakit Utama Pasien HD di Indonesia................ 3


Gambar 2. Etiologi Penyakit Ginjal di Indonesia…………………………………... 4
Gambar 3. Persentase Penyakit pada Pasien Ginjal di Indonesia…………………... 5
Gambar 4. Insidensi saat HD di Indonesia…………………………………………. 6
Gambar 5. Skema Pengaruh RAAS terhadap Volume Overload dan Asites………. 9
Gambar 6. Mekanisme retensi garam dan air………………………………………. 10
Gambar 7. Mekanisme terjadinya Sindroma Hepatorenal………………………….. 11
Gambar 8. Patogenesis Sindroma Hepatorenal dan Asites…………………………. 12
Gambar 9. Pengobatan Sindroma Hepatorenal……………………………………... 15
Gambar 10. Pengaruh Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone pada Asites………… 19

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Akibat yang ditimbulkan Volume Overload……………………................... … 8


Tabel 2. Diagnosis Sindroma Hepatorenal…………………………………………… … 13
Tabel 3. Klasifikasi Sindroma Hepatorenal…………………………………………..…. 14
Tabel 4. Sistem Organ yang terpengaruh uremic toxin dan efeknya……………………. 17
Tabel 5. Tingkatan pada Asites……………………………………………………. …… 21
Tabel 6. Pilihan terapi untuk asites nefrogenik……………………………………. …… 24
Tabel 7. Terapi asites nefrogenik yang telah dilakukan…………………………… …… 25
Tabel 8. Penilaian status nutrisi…………………………………………………….…… 26

v
BAB I
PENDAHULUAN

Asites nefrogenik atau asites yang terkait dengan gagal ginjal terlihat pada
penyakit ginjal stadium akhir. Asites nefrogenik sering terlihat pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Penyebabnya bisa multifaktorial seperti kombinasi dialisis
dan ultrafiltrasi yang tidak memadai, gizi buruk, dan permeabilitas membran
peritoneal yang meningkat pada uremia. Umumnya asites nefrogenik terjadi dalam
jangka waktu yang lama (Nayak-Rao, 2015).
Asites nefrogenik adalah kondisi langka dengan penyebab yang tidak diketahui
pasti namun mungkin multifaktorial. Asites nefrogenik dapat disembuhkan dengan
pembatasan garam yang ketat, dialisis yang efektif dan ultrafiltrasi terus-menerus.
Padahal sebelumnya dialisis dan ultrafiltrasi terus-menerus dianggap memperparah
keadaan pasien asites nefrogenik (Sethi et al, 2016).
Asites nefrogenik memiliki beberapa nama seperti asites nefrogenous, asites
berkaitan hemodialisis, asites dialisis, asites idiopatik, atau asites berkaitan gagal
ginjal stadium akhir (Gluck and Nolph, 1987). Asites nefrogenik lebih diutamakan
karena kejadian asites bisa terjadi sebelum dialisis dilakukan (Mauk et al., 1988).
Asites nefrogenik adalah suatu kondisi yang ditandai dengan adanya asites
masif pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang belum jelas penyebabnya
(Hammond and Takiyyuddin, 1994). Kejadian asites nefrogenik memiliki
kemungkinan (0.7-20%) dengan usia 11-71 tahun (rerata 42 tahun) dimana
perbandingan pria dan wanita adalah 2:1 (Mauk et al., 1988).
Asites nefrogenik dikaitkan dengan prognosis yang serius. Survival berkisar
antara 7 sampai 10,7 bulan. Lebih dari sepertiga pasien menjadi cachexia, dan
kebanyakan pasien meninggal dengan asites persisten. CAPD, peritonovenous shunt
dan transplantasi ginjal tampaknya efektif dalam mengendalikan pembentukan asites.
Asites nefrogenik dapat disembuhkan dengan pembatasan garam yang ketat, dialisis
yang efektif dan ultrafiltrasi terus-menerus. Asites nefrogenik adalah manifestasi

1
sebagai asites refrakter pada pasien dengan gagal ginjal tahap akhir. Sebagian besar
pasien ini menjalani hemodialisis (Sethi et al., 2016).
Pada asites nefrogenik, analisis cairan asites menunjukkan eksudat (protein
tinggi), albumin serum rendah dan jumlah neutrofil rendah. Ascites sedang sampai
masif, hipertensi, edema ekstremitas minimal bawah, cachexia dan riwayat hipotensi
terkait dialisis. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata berkisar antara 7 sampai 10,7
bulan, dengan 44% pasien meninggal dalam waktu 15 bulan setelah diagnosis (Glück
and Nolph, 1987).
Asites idiopatik terjadi pada pasien hemodialisa (HD) yang disebabkan dialisis
sub-optimal. Cairan yang diaspirasi memiliki kandungan protein tinggi. Perawatan
dilakukan dengan pembatasan konsumsi cairan dan garam, pembatasan ultrafiltrasi
melalui dialisis, beralih menggunakan dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal
(Bircher and Woodrow, 2015).

2
Asites pada penyakit ginjal kronik di Indonesia belum dianggap menjadi
permasalahan bila dilihat dari laporan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2015.
Diagnosa penyakit ginjal pasien hemodialisa (HD) yang dilaporkan IRR tahun 2015
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Persentase Diagnosa Penyakit Utama Pasien HD di Indonesia tahun 2015


(IRR, 2015)

3
Penyebab penyakit ginjal pasien di Indonesia bermacam-macan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Etiologi Penyakit Ginjal di Indonesia tahun 2015 (IRR, 2015)

4
Penyakit penyerta/komplikasi yang muncul pada pasien penyakit ginjal di Indonesia
tahun 2015 terdapat lebih dari 5, dapat dilihat melalui Gambar 3.

Gambar 3. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien Ginjal di Indonesia tahun 2015
(IRR, 2015)

5
Hemodialisis (HD) pada pasien di Indonesia terdapat banyak insidensi penyulit
(pengganggu). Insidensi tertinggi adalah hipertensi, padahal secara normal
seharusnya insidensi tertinggi adalah hipotensi, hal ini terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Insidensi saat HD di Indonesia tahun 2015 (IRR, 2015)

Berdasarkan data IRR (Indonesian Renal Registry) tahun 2015 tidak terlihat
adanya penyakit asites. Berarti bahwa asites pada penyakit ginjal kronik di Indonesia
belum dianggap menjadi permasalahan yang cukup serius.

6
BAB II
MEKANISME PATOGENESIS ASITES NEFROGENIK

Penyebab asites nefrogenik kemungkinan multifaktoral karena masih belum


diketahui secara pasti penyebab utamanya (Sethi et al, 2016; Nayak-Rao, 2015;
Glück and Nolph, 1987).
Mekanisme patogenesis yang mungkin pada asites nefrogenik (Nayak-Rao, 2015):
1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika
2. Kelebihan intake cairan
3. Peningkatan permeabilitas membrane peritoneal
a. uremic toxin
b. penggunaan larutan dialisat jangka panjang
c. kompleks imun
d. aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosterone
e. hemosiderosis
4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal
Keempat mekanisme patogenesis di atas memiliki peran yang berbeda dalam
menimbulkan penyakit asites nefrogenik tetapi keempatnya memiliki keterkaitan satu
sama lain.

1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika

Peningkatan tekanan vena hepatika sering terjadi pada kasus sirosis hati. Ketika
tekanan vena meningkat, volume darah di dalam venula postcapillary, venula dan
vena yang lebih besar meningkat dan menuju ke dalam kompartemen ekstravaskular,
sehingga meningkatkan tekanan jaringan. Akibatnya matriks ekstraselular menegang
dengan meningkatkan kekuatan tensi pada serat retikuler dan cairan di dalamnya.
Akhirnya, terjadi pembengkakan kompartemen matriks ekstraselular (Scallan et al.,
2010). Penyebab peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatika adalah gagal jantung,

7
penyakit hati sirosis dan hypothyroidism (Tasneem et al., 2016). Peningkatan tekanan
hepatika akibat penyakit hati dapat menghasilkan penumpukan cairan kaya protein
(Hammond and Takiyyuddin, 1994).

2. Volume overload (kelebihan intake cairan)

Volume overload pada penyakit ginjal kronik akan menyebabkan penumpukan


cairan di dalam tubuh antara lain paru-paru, asites, edema. Penumpukan cairan di
paru-paru menyebabkan edema paru dan terjadi sesak nafas yang gejalanya seperti
pada payah jantung.
Volume overload terjadi karena retensi garam dan air, peningkatan tekanan
darah vena hapatica, dialisis, kerusakan ginjal dan hati. Yang sering terjadi pada
penyakit ginjal kronik, volume overload ini disebabkan oleh kelebihan cairan yang
diminum/konsumsi oleh penderita penyakit ginjal kronis. Pada orang normal, ginjal
dapat mengekskresi kelebihan cairan tubuh, sedangkan pada gangguan fungsi ginjal
kelebihan konsumsi cairan tidak bisa dikeluarkan melalui urine. Volume overload
mengakibatkan naiknya tekanan darah, peningkatan tekanan vena jugularis, edema,
peningkatan berat badan dan timbulnya asites (Steddon et al., 2014) seperti pada
Tabel 1.
Tabel 1. Akibat yang ditimbulkan Volume Overload

Peningkatan volume sirkulasi Peningkatan cairan interstitial


- Naiknya tekanan darah - Peripheral / edema umum
- Peningkatan tekanan vena jugularis - Edema paru
- Efusi pleura
- Naiknya berat badan
- Asites

Akumulasi cairan dan kelebihan cairan sering ditemukan pada pasien yang sakit
kritis dan pada mereka yang menderita AKI. Kelebihan cairan berkaitan dengan

8
peningkatan mortalitas pada pasien dengan AKI dan berkontribusi untuk
memperburuk hasil pada pasien yang sakit kritis (Bouchard and Mehta, 2009).

Keterangan : NO=nitric oxide, RAAS=renin-angiotensin-aldosterone system


Gambar 5. Skema Pengaruh RAAS terhadap Volume Overload dan Asites
Sumber : Rzouq et al., 2014
Pembentukan asites merupakan konsekuensi dari ekspansi volume plasma
akibat retensi natrium ginjal pada pasien dengan sirosis. Sebagian besar pasien
dengan ESRD (End Stage Renal Disease) rentan terhadap retensi garam dan air.
Akibatnya, asupan garam dan air yang berlebihan menghasilkan ekspansi volume,
menyebabkan overflow cairan dan pembentukan edema dan asites (Glück and Nolph,
1987).

9
Gambar 6. Mekanisme Retensi Garam dan Air
Sumber : O’Callaghan, 2009
AKI (Acute Kidney Injury)
AKI atau gagal ginjal akut sering terjadi pada sirosis. Sebanyak 25 % pasien asites
sirosis dapat berkembang menjadi AKI dalam 1 tahun. Timbulnya AKI akan
meningkatkan mortalitas pasien menjadi 8 kali lipat dari nilai normal (Steddon et al.,
2014).

10
a. Sindroma Hepatorenal
Proses dialisis yang dilakukan secara cepat untuk pengobatan asites dapat berpotensi
menyebabkan sindroma hepatorenal. Sindroma Hepatorenal (HRS) adalah kelainan
fungsional dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat pada individu dengan sirosis
atau gagal hati akut. Transplantasi hati merupakan metode terapi yang berpotensi
mengobati dan mengembalikan disfungsi hati pada sindroma hepatorenal serta
pemulihan fungsi ginjal (Goel et al., 2016).

Patogenesis Sindroma Hepatorenal


Sindroma hepatorenal terjadi pada sirosis disebabkan adanya retensi air dan garam.
Mekanisme terbentuknya sindrom hepatorenal dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Mekanisme terjadinya Sindoma Hepatorenal


Sumber : Cárdenas and Ginès, 2016

11
Gambar 8. Patogenesis Sindoma Hepatorenal dan Asites
Sumber : Bircher and Woodrow, 2015

12
Tabel 2. Diagnosis Sindroma Hepatorenal
Kriteria Major Kriteria Minor
- Sirosis dan asites - Volume urine < 500 mL/24 jam, sodium
- Kreatinin serum > 133 µmol/L (>1.5 urine < 10 mEq/L
mg/dL) - Osmolalitas urine lebih besar dari
- Tidak ada shock dan hipovolemia ditandai osmolalitas plasma
tidak adanya peningkatan fungsi ginjal - Sodium serum < 130 mEq/L
(kreatinin turun < 133 µmol/L) setelah 2
hari penarikan diuretic, dan peningkatan
volume dengan albumin 1-100 g/kg/hari
- Tidak ada penggunaan obat nephrotoxic
sebelumnya
- Tidak ada penyakit ginjal parenkim
ditandai proteinuria < 0.5 g/hari, tidak
microhematuria (< 50 sel darah
merah/medan bertenaga tinggi), dan
ultrasonografi ginjal normal
Sumber : Goel et al., 2016

Menurut International Ascites Club (Ross and Damman, 2015) kriteria


diagnosis Sindroma hepatorenal adalah sebagai berikut:
1. Sirosis dengan asites
2. Serum kreatinin > 1.5 mg/dL (133 μmol/L)
3. Tidak ada perbaikan pada serum kreatinin (turun ke ≤ 1.5 mg/dL) setelah 2 hari
penarikan diuretik dan volume ekspansi dengan albumin. Dosis rekomendasi
albumin 1 g/kg BB/hari – 100g/hari.
4. Tidak ada shock
5. Tidak sedang menggunakan nephrotoxic drug
6. Tidak ada penyakit ginjal parenkim (proteinuria > 500 mg/hari, microhematuria
dan abnormal renal ultrasound finding)

13
Sindroma Hepatorenal (HRS) menurut Ross and Damman (2015)
diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II seperti ditunjukkan pada
Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Sindroma Hepatorenal (HRS)


Type I HRS Kemunduran fungsi ginjal secara cepat (SCr ≥ 2.5 mg/dL atau
221 μmol/L kurang dari 2 minggu)
Kegagalan sistem organ lain dalam waktu bersamaan
(koagulopati, ensefalopati hepatik)
Pada sirosis terjadi gagal hati
Terjadi precipitating event, infeksi bakteri
Survival 2-3 minggu tanpa perawatan
Type II HRS Gangguan ginjal sedang (SCr 2 mg/dL atau 176 μmol/L)
Menyebabkan asites
Survival 6 bulan tanpa perawatan

Pengobatan Sindroma Hepatorenal


Menurut Steddon et al. (2014) perawatan sindoma hepatorenal dapat dilakukan
dengan cara:
 Mengontrol cairan tubuh: pengurangan garam (Na+) dan konsumsi minuman
 Terapi parasentesis
 Transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS)
 Transplantasi ginjal
 Tansplantasi hati

14
Gambar 9. Pengobatan Sindoma Hepatorenal (HRS)
Sumber : Ross and Damman, 2015

3. Peningkatan permeabilitas membrane peritoneal


Asites pada penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh gangguan
permeabilitas membrane peritoneal. Pada keadaan normal adanya cairan di rongga
peritoneal akan diabsorbsi secara sempurna dan diekskresi melalui ginjal. Pada
kondisi kerusakan membrane peritoneal proses absorbsi ini terganggu, akibatnya akan
terjadi asites (Nayak-Rao, 2015).
Total pemindahan cairan dan zat terlarut selama dialisis peritoneal bergantung
pada resep dialisis (jumlah, panjang, waktu, volume dan isi larutan dialisis) dan
permeabilitas membrane peritoneal. Permeabilitas membrane peritoneal menentukan
tingkat kesetimbangan solut antara cairan tubuh dan larutan di dalam rongga

15
peritoneal dan oleh karena itu merupakan penentu yang signifikan dari tingkat
pelepasan zat terlarut (Leypoldt, 1995).
Permeabilitas membrane peritoneal dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang
beroperasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, termasuk efek racun
uremik dan pengaktifan jalur angiotensin rennin. Larutan dialisat (dialisis solution)
juga telah dikaitkan karena dapat mengubah transportasi natrium peritoneal. Selain
itu, kompleks imun yang bersirkulasi telah dianggap bertanggung jawab berdasarkan
pengamatan bahwa asites kurang parah pada pasien yang menjalani dialisis
ambulatory. Hemosiderosis adalah faktor lain yang dilaporkan berkontribusi pada
perubahan permeabilitas membran peritoneal, karena asites telah terbukti berkurang
saat agen pengelat zat besi diberikan kepada pasien hemodialisis (Tasneem et al.,
2016).
Permeabilitas membrane peritoneal yang tinggi akan membuat cairan mudah
masuk tetapi sulit untuk keluar sehingga terjadi penumpukan cairan menyebabkan
terjadinya asites. Sebaliknya permeabilitas membrane peritoneal yang rendah akan
membuat cairan mudah keluar.

Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran peritoneal


menurut Nayak-Rao (2015):
a. Uremic toxins
Peningkatan konsentrasi urea serum merupakan karakteristik perkembangan
sindrom uremik dan retensi dari variasi uremic toxin. Selain itu, akumulasi urea
sendiri diyakini mempengaruhi efek metabolik, biokimia, dan fisiologis yang
merugikan seperti peningkatan stres oksidatif, perubahan fungsi jalur Na+-K+-Cl-
kotransport penting dalam pengaturan kalium intraseluler dan air, dan perubahan pada
fungsi kekebalan tubuh (Bagshaw and Bellomo, 2009).
Uremic toxin yang berlebih dapat mempengaruhi sistem organ dalam tubuh.
Efek dari uremic toxin berupa efek negatif yang dapat menimbulkan penyakit ringan
sampai berat. Beberapa efek uremic toxin yang telah diketahui dapat dilihat pada

16
Tabel 4 di bawah. Penghilangan uremic toxin dapat dilakukan dengan dialisis yang
memadai (Depner and Yeun, 2009).
Tabel 4. Sistem organ yang terpengaruh uremic toxin dan efeknya
Sistem Efek
Kardiovaskular Peradangan parah, dengan potensi untuk memodifikasi
status vaskular
Hipertrofi jantung dan kardiomiopati dilatasi karena
kelebihan cairan dan hipoproteinemia
Neurologis Kerusakan saraf fungsional dan morfologis yang
menyebabkan neuropati (misalnya, jalur refleks yang
kompleks seperti F-waves dan H-reflexes)
Hematologis Kehilangan darah berulang atau sampling, peradangan
terbuka, dan kekurangan gizi bisa memperparah anemia
Coagulasion Adanya peradangan sebagai hasil efek procoagulatory
Imunologis Morbiditas ekstra dan mortalitas akibat kerentanan terhadap
infeksi yang meningkat
Adanya sejumlah zat terlarut uremik (guanidin, AGE, p-
cresylsulfate, sitokin) berpotensi mengubah respons
imun
Endokrinologis
-Metabolisme Respons yang kurang terhadap insulin menghasilkan
Karbohidrat serapan glukosa seluler dan pemanfaatan kalori yang
kurang
-Hormon Tiroid Pelepasan TSH sebagai respon terhadap TRH ditekan
-Hormon Pertumbuhan Pemberian hormon pertumbuhan pada pasien ICU terbukti
memiliki dampak negatif, tetapi memiliki efek
metabolik positif terhadap pasien AKI
Keterangan: AGE=advanced glycosylation end product; ICU=intensive care unit;
TRH=thyroid-releasing hormone; TSH=thyroid-stimulating hormone; AKI=acute
kidney injury
Sumber : Glorieux et al., 2009

b. Penggunaan larutan dialisat jangka panjang


Dialisis dalam jangka panjang menggunakan cairan dialisat yang banyak
digunakan adalah salah satu penyebab perubahan struktur dan fungsional dari
membran peritoneal sehingga efektivitas dialisis semakin lama semakin menurun.
Dengan menggunakan neutral solution (biocompatible solution) diharapkan dapat

17
mengurangi dampak perubahan membran peritoneal karena dialisis jangka panjang,
tetapi hal ini masih belum bisa dipastikan (Al-Hweish et al., 2016).

c. Kompleks immune
Antigen deposition pada glomerular capillary subendothelium dan masangium
mengikat antibodi secara in situ membentuk sirkulasi kompleks immune (CIC)
(Mount and Savige, 2009). Pada keadaan normal, kompleks immune keluar dari
sirkulasi dengan mengikat reseptor pada eritrosit, kemudian dihilangkan dan
terdegradasi saat eritrosit transit ke hati dan limfa. Tetapi jika kinerja hati terganggu
kompleks immune akan mengikat reseptor pada subendothelial dan masangium
membentuk sirkulasi kompleks immune (Johnson et al., 2015). Sirkulasi kompleks
immune (CIC) dapat mengubah permeabilitas membrane peritoneal (Han et al.,
1998). Sirkulasi kompleks immune biasanya dibersihkan dengan mekanisme
komplemen-meditasi. (Nester and Gipson, 2009).

d. Aktivasi renin-angiotensin-aldosterone
Sistem renin-angiotensin-aldosterone bertanggung jawab untuk retensi natrium
(garam) dan untuk pemeliharaan tekanan arteri, dan mengurangi perfusi ginjal
(Benardi and Gasbarrini, 1986).

18
Gambar 10. Pengaruh Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone pada Asites
Sumber : Wilkinson and Williams, 1980

e. Hemosiderosis
Hemosiderosis merupakan kelebihan penyimpanan zat besi (iron overload)
menyebabkan penumpukan hemosiderin dalam jaringan terutama hati dan limpa.
Hemosiderosis dapat meningkatkan permeabilitas membrane peritoneal karena
menyebabkan reaksi pembengkakan lokal, dapat dihilangkan dengan terapi
pengurangan zat besi (Han et al., 1998).

4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal


Pembentukan cairan peritoneal adalah proses dinamis. Kekuatan onkotik dan
hidrostatik mengendalikan cairan net flux antara peritoneal capillary bed dan rongga
peritoneum. Gerakan protein antara kompartemen dimodifikasi oleh membran
peritoneal dan dipengaruhi oleh sistem drainase limfatik. Perturbasi gaya ini dengan
meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler (sirosis hati, gagal jantung, perikarditis
konstriktif, obstruksi vena, atau kelebihan cairan) dan / atau penurunan tekanan
onkotik (hipoalbuminemia), perubahan membrane peritoneal (pembengkakan), atau

19
sinusoid hati yang sesak (gagal jantung) mendukung pergerakan cairan ke dalam
rongga peritoneum untuk membentuk asites. Selain itu, drainase limfatik yang
terganggu dari rongga peritoneum dapat menyebabkan pembentukan asites (Glück
and Nolph, 1987).
Penyumbatan pada channels limfatik peritoneal menyebabkan penyerapan
sistem drainase terganggu akibatnya terjadi retensi cairan di rongga peritoneal.
Sirkulasi kompleks immune dan hemosiderosis berperan dalam terjadinya
pembengkakan dan penyumbatan pada channels limfatik peritoneal. Hal ini dapat
diatasi dengan terapi penghilangan sirkulasi kompleks immune dan terapi
pengurangan zat besi (Han et al., 1998). Asites dapat disebabkan oleh penyumbatan
saluran limfatik peritoneum kecil oleh infiltrat inflamasi yang menyebabkan retensi
cairan di rongga peritoneal (Tasneem et al., 2016).
Penyakit pada sistem limfatik (Rockson, 2011):
 Lymphedema
 Lymphangioma
 Protein-losing enteropathy dan intestinal lymphangiectasia
 Complex vaskular malformations
 Infectious disease
 Lipedema
 lymphangioleiomyomatosis

20
BAB III
GEJALA KLINIK DAN PEMBAGIAN TINGKATASITES NEFROGENIK

Gejala penyakit asites nefrogenik adalah sama dengan asites pada umumnya.
Asites terjadi secara perlahan dalam periode lama (Nayak-Rao, 2015). Awalnya
hanya ada sejumlah kecil cairan di perut. Kemudian rasa sakit pada perut dan
kembung di lambung. Selanjutnya sejumlah besar cairan yang terus menumpuk akan
menyebabkan sesak napas hingga terjadi penyakit ginjal dan hati stadium akhir.
Tanda yang terlihat pada penderita asites yaitu meningkatnya ukuran perut,
volume air kencing yang dikeluarkan sangat sedikit meskipun minum air dalam
takaran normal, baju, celana, rok, atau aksesoris yang digunakan terasa sempit.
Asites memiliki 3 tingkat yaitu asites minimal/ringan, asites moderat/sedang,
dan asites akut/parah tergantung pada banyaknya cairan yang menumpuk seperti
terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkatan pada Asites
Tingkat Estimasi banyak cairan (kg)
Ringan 2.2
Sedang 6.0
Parah 14.0
Sumber : Webster-Gandy et al., 2006

21
BAB IV
PENATALAKSANAAN ASITES NEFROGENIK

1. Evaluasi Asites Nefrogenik


Evaluasi yang disarankan untuk asites nefrogenik (Nayak-Rao, 2015):
 Riwayat dan pemeriksaan fisik: riwayat asites masif dengan edema perifer
minimal pada pasien dialisis, cachexia, hipotensi terkait dialisis, anoreksia.
 Kandungan kimia dalam darah termasuk BUN, serum kreatinin, tes fungsi hati.
 Paracentesis dan analisis cairan asites untuk serum albumin rendah (<1,0 g/dL),
WBC (25-150 cells/mm3), kultur negatif dan sitologi.
 Tes fungsi tiroid, zat besi, penanda hepatitis virus, kadar hormon paratiroid,
USG, ekokardiogram dengan estimasi tekanan atrium kanan dan kiri, CT
abdomen, peritoneoskopi dengan biopsi peritoneal (bila relevan) - untuk
menyingkirkan penyakit hati, dengan hipertensi portal, infeksi peritoneal /
keganasan, penyebab pankreas, penyebab jantung seperti kardiomiopati dan
efusi perikardial.

Langkah- langkah pemeriksaan pada pasien antara lain:


 Ucapkan salam, perkenalan dan beritahukan hal apa saja yang akan kita
lakukan ke pasien.
 Pasien diminta untuk melepas bajunya bagian atas (kaos atau kemeja), lalu
diminta untuk berbaring dan rileks.
 Inspeksi bagian perut pasien, dengan dilihat bagaimanakah bentuk perutnya,
apakah datar, cembung atau cekung. Lalu dilihat apakah ada tanda peradangan
atau inflamasi atau kemerahan pada bagian perut.
Penilaian : bentuk dari perut pasien nampak cembung dan mengkilat.
 Palpasi bagian perut dengan cara pasien diminta untuk meletakkan tangannya
di bagian umbilicus, lalu tangan kita ada di sebelah kanan dan kiri sisi perut
pasien, lalu pukul dengan menggunakan lima jari sisi perut bagian kiri.

22
Rasakan apakah ada rasa semacam hentaman cairan pada tangan sebelah
kanan. Pemeriksaan ini dinamakan pemeriksaan undulisi.
Penilaian : undulasi positif.
 Setelah melakukan palpasi, maka yang harus kita lakukan selanjutnya adalah
perkusi. Perkusi dimulai dari bagian umbilicus atau bagian tengan operut
pasien, terus ke arah bawah. Suara yang terdengar pada orang yang menderita
asites adalah pada awalnya timpani, tetapi semakin ke bawah, yang dirasakan
adalah semakin redup dan akhirnya redup. Pada tahap ini tentukan batas
perubahan suara antara redup dan timpani.
 Setelah batas ditemukan, maka pasien diminta untuk memiringkan badannya
ke arah kita, yaitu ke arah kiri, lalu kita perkusi lagi, formatnya dari
perbatasan tadi ke atas. Suara yang terdengar adalah redup, redup, redup
sampai akhirnya timpani. Perlu diketahui, pada pemeriksaan ini batas redup
akan bergeser ke atas, hal ini disebabkan karena cairan yang berada disebelah
kiri pasien berpindah ke sebelah kanan.
Penilaian : suara terdengar redup dan timpani.

2. Terapi Asites Nefrogenik


Terapi perawatan asites yang telah digunakan antara lain diet protein tinggi,
kontrol cairan yang ketat, peningkatan frekuensi hemodialisis dan parasentesis.
Dialisis peritoneal dapat membantu menyelesaikan asites pada pasien gagal ginjal
stasium akhir dengan atau tanpa sirosis. Hemodialisis di rumah, dimana pasien
menerima hemodialisis selama 8 jam terus-menerus, 5 sampai 7 kali seminggu, juga
dapat dilakukan. Meskipun demikian satu-satunya pengobatan asites yang efektif
sampai saat ini adalah transplantasi ginjal (Tasneem et al., 2016).

23
Tabel 6. Pilihan terapi untuk asites nefrogenik

Perlakuan Keuntungan Kerugian

Pembatasan minum dan garam disertai Asites berkurang Hipotensi


hemodialisis dan ultrafiltrasi secara intensif

Terapi Hiperalimentasi Nutrisi meningkat Belum teruji

Parasentesis berulang Gejala berkurang Kehilangan protein dalam


jumlah banyak

CAPD Asites berkurang dan nutrisi Kehilangan protein awal


meningkat

Peritoneovenous shunt Asites berkurang, dialisis Shunt

Tansplantasi ginjal Terapi terbaik Asites bisa kambuh saat


ginjal rusak

Sumber : Nayak-Rao, 2015

Berdasarkan Tabel 6., maka pilihan terapi asites nefrogenik yang dianjurkan
adalah CAPD dan transplantasi ginjal, pilihan lain adalah hemodialisis terus-menerus.
Sedangkan terapi yang paling merugikan adalah parasentesis berulang.

24
Tabel 7. Terapi asites nefrogenik yang telah dilakukan
No. of
Treatment Ascites Outcome Risks and Complications
Patients
Hipotensi, supraventricular tachycardia, 1st-
Resolved in 28
Daily hemodialysis 81 degree AV block, atrial fibrillation, ectopic
patients
beats, arteriovenous shunt infection

Resolved in 10
Periotoneal dialysis 13 Peritonitis
patients

Intraperitoneal steroids 13 Resolved in 5 patients Abdominal pain

Iron depletion 3 Resolved in 3 patients Anemia

Shunt infection with sepsis, thrombosis,


Peritoneovenous shunt 24 Resolved in 20 patients
coagulopathy, ascites leakage

Risks of surgery/anesthesia, altered calcium


Bilateral nephrectomy 11 Resolved in 5 patients
hermostasis, anemia

Resolved in 19 Primary graft failure, acute rejection,


Renal transplant 26
patients opportunistic infections
Sumber : Han et al., 1998

a. Hemodialisis intensif
Hemodialisis secara intensif (terus-menerus) selama beberapa jam atau hari kepada
penderita asites dapat dilakukan (Tasneem et al., 2016). Sebaiknya larutan dialisat
menggunakan biocompatible solution (Al-Hweish et al., 2016). Penyakit asites
nefrogenik dapat disembuhkan menggunakan prosedur hemodialisis tetapi pasien
dapat berisiko terkena hipotensi (Nayak-Rao, 2015).

b. Terapi hiperalimentasi
Hiperalimentasi merupakan terapi dengan pemberian nutrisi berlebih kepada pasien
tetapi prosedur ini belum teruji (Nayak-Rao, 2015).

25
Nutrisi
Nutrisi memainkan peran penting dalam memanagemen hipertensi, obesitas,
hiperlipidemia, dan diabetes yang berpengaruh terhadap timbulnya CKD. Laju filtrasi
glomerulus (GFR), retensi metabolit nitrogen, kemampuan mengatur kadar elektrolit
dan air, dan vitamin dapat dipengaruhi pola makan (Bircher and Woodrow, 2015).
Kandungan nutrisi yang teratur diharapkan menurunkan asites yang disebabkan oleh
retensi garam dan air.
Tabel 8. Penilaian status nutrisi
Penilaian Status Nutrisi
Area Penilaian
Penilaian asupan diet Riwayat diet, makanan harian, nafsu
makan, kuesioner
Pengukuran antropometri Berat, tinggi, massa, persentase
perubahan berat, ketebalan kulit, lingkar
otot lengan
Komposisi bodi Aktivitas neutron, near-infrared
reactance, bioelectrical impedance,
DXA(dual-energy x-ray absorptiometry),
potasium
Biokimia Serum elektrolit, protein, PNA(protein
equivalent of total nitrogen appearance),
PCR (protein catabolic rate), kolesterol,
kreatinin
Sistem penilaian nutrisi Penilaian global subyektif
Tes imunologi Limfosit darah, tes hipersensitif
cutaneous
Tes fungional Kekuatan grip
Sumber : Bircher and Woodrow, 2015

c. Terapi parasentesis
Terapi parasentesis dilakukan untuk menghilangkan cairan dalam jumlah besar (4-6
L/hari) (Moore and Aithal, 2006). Kelemahan prosedur ini, pasien akan kehilangan
protein dalam jumlah banyak (Nayak-Rao, 2015).

26
d. CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis)
CAPD merupakan dialisis yang dilakukan terus-menerus melalui membran
peritoneal. Prosedur CAPD dapat digunakan untuk mengobati asites nefrogenik
(Tasneem et al., 2016). CAPD merupakan prosedur yang disarankan pada pasien
penyakit ginjal stadium akhir (Franz and Hörl, 1997). Sebaiknya larutan dialisat
menggunakan biocompatible solution (Al-Hweish et al., 2016). Penggunaan prosedur
ini berisiko terkena peritonitis (Han et al., 1998) dan kehilangan sejumlah protein
(Nayak-Rao, 2015).

e. Terapi shunt
Prosedur ini telah terbukti mengurangi asites (Nayak-Rao, 2015). Namun, berisiko
timbul infeksi pada saluran shunt, thrombosis, koagulopati, ascites leakage (Han et
al., 1998).

f. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal dapat dilakukan jika terdapat kerusakan ginjal yang parah.
Merupakan pengobatan asites paling efektif (Tasneem et al., 2016). Transplantasi
ginjal dapat menyembuhkan penyakit asites nefrogenik, tetapi ada kemungkinan
asites muncul kembali jika ginjal hasil transplantasi mengalami kerusakan (Nayak-
Rao, 2015) serta timbulnya penolakan tubuh dan infeksi (Han et al., 1998).

Perbedaan penanganan asites umum dan asites nefrogenik


Penderita asites umum tidak memiliki edema perifer, maka pemberian obat diuretik
perlu dibatasi agar pembuangan cairan tubuh melalui urine tidak lebih dari 500
mL/hari sehingga tubuh tidak kekurangan cairan. Penderita asites nefrogenik
walaupun diberi diuretik lebih besar maka produksi urine tetap tidak bisa banyak
karena fungsi ginjalnya menurun (Krzesinski and Cohen, 2016).

27
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien asites nefrogenik:
• Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
SBP dapat timbul pada penderita asites dengan penyakit ginjal stage akhir,
umumnya bakteri berupa Escherichia coli, Streptococci dan Klebsiella
pneumoniae (Franz and Hörl, 1997).
• Sindrom hepatorenal
Retensi garam dan air menyebabkan terjadinya asites dan sindrom hepatorenal
(Cárdenas and Ginès, 2016; Bircher and Woodrow, 2015).
• Malnutrisi protein
Terapi parasentesis menyebabkan kehilangan protein dalam jumlah besar (Nayak-
Rao, 2015).
• Hipotensi
Terapi pembatasan garam dan air, hemodialisis dan ultrafiltrasi berakibat
timbulnya hipotensi pada penderita asites (Franz and Hörl, 1997).
• Penyakit Jantung
Penyakit gagal jantung dapat terjadi pada penderita ginjal stadium akhir, juga
sebagai penyebab naiknya tekanan hidrostatik vena hepatika (Tasneem et al.,
2016).

28
3. Obat-obatan
Pemberian obat kepada pasien:
 Pengobatan alami yang dapat dilakukan adalah mengganti atau merubah gaya
hidup dengan cara menghindari alkohol, mengurangi garam dalam makanan, dan
membatasi asupan cairan yang masuk ke dalam tubuh (Sethi et al., 2016; Bircher
and Woodrow, 2015; Franz and Hörl, 1997).
 Obat diuretik dapat diberikan untuk meningkatkan ekskresi garam dan air dari
ginjal (Krzesinski and Cohen, 2016). Obat diuretik yang direkomendasi
spironolactone, amiloride, frusemide, dan bumetanide (Moore and Aithal, 2006).
 Obat antibiotik juga perlu diberikan untuk mencegah dan mengobati gejala infeksi
dan bakteri (Franz and Hörl, 1997).

29
BAB VI
KESIMPULAN
ᴥ Asites pada penyakit ginjal kronik (Nefrogenik Asites) adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan adanya asites masif, analisis cairan dengan protein yang tinggi,
albumin serum rendah dan jumlah neutrofil rendah. Kasusnya termasuk jarang
ditemukan dan data yang ada minimal didapatkan.
ᴥ Mekanisme patogenesis nefrogenik asites
1. Peningkatan tekanan hidrostatik vena hepatica.
2. Kelebihan intake cairan.
3. Naiknya permeabilitas membrane peritoneal; uremic toxin, penggunaan
larutan dialisat jangka panjang, kompleks imun, aktivitas sistem renin-
angiotensin-aldosterone, hemosiderosis.
4. Terganggunya drainasi limfatik peritoneal.
ᴥ Data IRR tahun 2015 asites nefrogenik belum dicantumkan.
ᴥ Pilihan terapi asites nefrogenik yang dianjurkan adalah transplantasi ginjal, CAPD,
pilihan lain adalah hemodialisis terus-menerus. Sedangkan terapi yang paling
merugikan adalah parasentesis berulang.

30
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hwiesh, A.K., Shawarby, M.A., Abdul-Rahman, I.S., et al., 2016. Changes in peritoneal
membrane with different peritoneal dialysis solutions: is there a difference?. Hong Kong
Journal of Nephrology. Vol 19: 7-18.
Bagshaw, S.M., and Bellomo, R., 2009. Kidney function test and urinalysis in acute renal failure;
in Ronco, C., Bellomo, R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.46, 2nd Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Bernardi, M., and Gasbarrini, G., 1986. The renin-angiotensin-aldosterone system in human
hepatic cirrhosis. Isr J Med Sci. Vol 22 (2): 70-7.
Bircher, G., and Woodrow, G., 2015. Gastroenterology and nutrition in chronic kidney disease;
in Johnson, R.J., Feehally, J., and Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology,
Ch.87, 5th Ed. Saunders Elsevier. Philadelphia.
Cárdenas, A., and Ginès, P., 2016. The patient with hepatorenal syndrome; in Turner, N.,
Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology Ch.169,
4th Ed. Oxford University Press. Oxford.
Elhassan, E.A., and Schrier R.W., 2015. Disorder of extracellular volume; in Johnson, R.J.,
Feehally, J., and Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.7, 5th Ed. Saunders
Elsevier. Philadelphia.
Franz, M. and Hörl, W.H., 1997. The patient with end-stage renal failure and ascites. Nephrology
Dialysis Transplantation. Vol 12: 1070-8.
Glück, M.D., and Nolph, K.D., 1987. Ascites associated with end-stage renal disease. American
Journal of Kidney Disease. Vol 10 (1): 9-18.
Glorieux, G., Schepers, E., Biesen, W.V., et al., 2009. Metabolic waste products in acute uremia;
in Ronco, C., Bellomo, R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.201, 2nd Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Goel, R.M., Patel, K.V., and Wong, T., 2016. Gastroenterology and renal medicine; in Turner,
N., Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology
Ch.130, 4th Ed. Oxford University Press. Oxford.
Hammond, T.C., and Takiyyuddin, M.A., 1994. Nephrogenic ascites: a poorly understood
syndrome. Journal of the American Society of Nephrology. Vol 5 : 1173-7.
Han, S.H.B., Reynolds, T.B., and Fong, T.L., 1998. Nephrogenic ascites; analysis of 16 cases
and review of the literature. Medicine. Vol 77 (4): 233-45.
Indonesian Renal Registry. 2015. 8th Report of Indonesian Renal Registry. Situs:
http://www.indonesianrenalregistry.org/.
Johnson, R.J., Floege, J., and Feehally, J., 2015. Introduction to glomerular disease: histologic
classification and pathogenesis; in Johnson, R.J., Feehally, J., and Floege, J.,
Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.16, 5th Ed. Saunders Elsevier. Philadelphia.
Krzesinski, J.M. and Cohen, E.P., 2016. Approach to the patient with oedema; in Turner, N.,
Lameire, N., Goldsmith, D.J., et al., Oxford Textbook of Clinical Nephrology Ch.30, 4th
Ed.Oxford University Press. Oxford.
Mauk, P.M., Schwartz, J.T., Lowe, J.E., et al., 1988. Diagnosis and course of nephrogenic
ascites. Arch Intern Med. Vol 148: 1577-9.
Moore, K.P., and Aithal, G.P., 2006. Guideline on management of ascites in cirrhosis. Gut. Vol
55 (6): vi1-12.
Mount, P., and Savige, J., 2009. Poststreptococcal glomerulonephritis; in Ronco, C., Bellomo,
R., and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.165, 2nd Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Nayak-Rao, S., 2015. Nephrogenic ascites-still an intractable problem?. Saudi Journal of Kidney
Disease and Transplantation. Vol 26 (4): 773-7.
Nester, C.M., and Gipson, D.S., 2009. Pathophysiology of vasculitis; in Ronco, C., Bellomo, R.,
and Kellum, J.A., Critical Care Nephrology Ch.36, 2nd Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Rockson, S.G., 2011. Etiology and Classification of Lymphatic Disorders; in Lee BB., Bergan J.,
Rockson S. (Eds), Lymphedema, Ch.2. Springer. London.
Ross, E.A., and Damman, K., 2015. Acute kidney injury; in Johnson, R.J., Feehally, J., and
Floege, J., Comprehensive Clinical Nephrology, Ch.75, 5th Ed. Saunders Elsevier.
Philadelphia.
Scallan, J., Huxley, V.H., and Korthuis R.J., 2010. Capillary Fluid Exchange; Regulation,
Function, and Pathology. San Rafael (CA) Morgan & Claypool Life Sciences.
Steddon, S., Ashman, N., Chesser, A., et al., 2014. Oxford Handbook of Nephrology and
Hypertension 2ed. Oxford University Press. Oxford.
Sethi, S., Sandhu, J.S., Makkar, V., et al., 2016. Nephrogenic ascites – a poorly understood
syndrome. Journal of Medical Science and Clinical Research. Vol 4 (11) : 14103-7.
Tasneem, A.A., Khan, A.A., Abbas, Z., et al., 2016. Ascites in patients on maintenance
hemodialysis; cause, characteristics and predicting factors. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan. Vol 26 (5): 413-9.
Wilkinson, S.P., and Williams, R., 1980. Renin-angiotensin-aldosterone system in cirrhosis. Gut.
Vol 21 (6): 545-54.
Webster-Gandy, J. Madden, A., Holdsworth, M., 2006. Oxford Handbook of Nutrition and
Dietetics. Oxford University Press. Oxford.
CURRICULUM VITAE

• Nama : Dr. dr. Haidar Alatas, SpPD-KGH., MH., MM.


• Tempat/tanggal lahir : Kudus / 21 Januari 1957
• Agama : Islam
• Alamat kantor : RSU Banyumas, Bagian Penyakit Dalam dan
Instalasi Hemodialisis
• Pangkat : Dokter Pendidik Klinis / IVe
• No. telepon / Fax : (0281) 796191 / (0281) 796133
• Alamat rumah : Jl. Ahmad Yani 26, Purwokerto
• No. telepon / Fax : (0281) 640795 / (0281) 640095
• Handphone : 0811261521
• Alamat email : haidar_papdi@yahoo.com

Pendidikan:
1. Dokter Umum : lulus 1985 (UNDIP)
2. Dokter Spesialis Penyakit Dalam : lulus 1996 (UNDIP)
3. Dokter Spesialis Konsultan Ginjal-Hipertensi : lulus 2012 (UGM)
4. Magister Hukum : lulus 2010 (UNSOED)
cumlaude
5. Magister Manajemen RS : lulus 2012 (UNSOED)
cumlaude
6. S3 Kedokteran : lulus 2018 (UGM)

Anda mungkin juga menyukai