Anda di halaman 1dari 17

PSIKOLOGI HUMANISTIS EKSISTENSIAL II

CARL ROGERS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kepribadian
yang dibina oleh Muh. Anwar Fu’ady, S.Psi, MA

Oleh:
Isnaini HardaningTyas (18410013)
Amilia Dwi Yanti (18410084)
Umi Salsabillah (18410136)
M. Zacky Maulana Arr (18410193)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Segala puji hanya layak untuk Allah SWT atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah “Psikologi Humanistis Eksistensial II: Carl
Rogers”
Dalam penyusunannya, penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Muh.
Anwar Fu’ady, S.Psi, MA yang telah memberikan dukungan, kasih, dan
kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada
langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari tugas makalah “Psikologi Humanistis
Eksistensial II: Carl Rogers” ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun
manusia selalu tak luput dari kekhilafan serta kesalahan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tugas makalah ini dapat
lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan berharap semoga tugas


makalah “Psikologi Humanistis Eksistensial II: Carl Rogers” dapat bermanfaat.

Malang, 3 September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan
pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered).
Rogers kemudian menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai
terapis selama bertahun-tahun. Teori Rogers mirip dengan pendekatan
Freud, namun pada hakikatnya Rogers berbeda dengan Freud karena
Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya baik atau sehat.
Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses
perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan, dan
persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari
kecenderungan alamiah.
Oleh karena setiap tokoh memiliki pendapat yang berbeda-beda
dalam mengartikan kepribadian itu sendiri . penulis didalam makalah ini
hanya akan fokus membahas teori-teori kepribadian yang berasal dari carl
rogers agar lebih terfokus dan mudah dipahami.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana Kepribadian menurut Rogers?
2) Bagaimana Konsep Utama dari Teori Client Centered Rogers?
3) Bagaimana Psikoterapi berpusat pada Klien?
4) Bagaimana Penelitian dan Kritik terhadap Rogers?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Menjelaskan Kepribadian menurut Rogers.
2) Menjelaskan Konsep Utama dari Teori Client Centered Rogers.
3) Menjelaskan Psikoterapi berpusat pada Klien.
4) Menjelaskan Penelitian dan Kritik terhadap Rogers.
BAB II
PEBAHASAN

A. Kepribadian menurut Carl Rogers


Carl rogers memiliki nama lengkap Carl Ransom Rogers, lahir di Oak
Park, Illinois, pada 8 Januari 1902. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh
psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis,
ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman- pengalaman
terapeutiknya.
Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan
terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Rogers kemudian
menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai terapis selama bertahun-tahun.
Teori Rogers mirip dengan pendekatan Freud, namun pada hakikatnya Rogers
berbeda dengan Freud karena Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya
baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai
proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan, dan
persoalan kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari kecenderungan
alamiah.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia sangat
menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang akan
berbeda–beda tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan
pengalaman ini disebut dengan fenomenal field. Rogers menerima istilah self
sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut.
Pendekatan fenomenologi dari Rogers menekankan pandangan bahwa
tingkah laku manusia hanya dapat difaham dari bagaimana dia memandang realita
secara subyektif (subjective experience of reality). Rogers sangat kuat memegangi
asumsinya bahwa manusianitu bebas, rasional, utuh, mudah berubah, subyektif,
proaktif, heterostatis, dan sukar difahami.

a) Hakekat pribadi fenomenologis


Rogers mengemukakan 19 rumusan mengenai hakekat pribadi (self) sebagai
berikut:
1. Organisme berada dalam dunia pengalaman yang terus menerus
berubah, dimana dia menjadi titik pusatya.pengalaman adalah segala
sesuatu yang berlangsung dalam diri individu pada saat tertentu,
meliputi proses psikologis, kesan kesan sensorik, dan aktivitas
aktivitas motorik.
2. Oranisme menanggapi dunia sesuai dengan persepsinya. Realita yang
sebatas persepsi ini disebut realita subjektif, yang mungkin berbeda
dengan fakta yang sebenarnya.
3. Organisme memiliki kecenderungan pokok yakni keinginan untuk
mengaktualisasikan, memelihara, meningkatkan diri.
4. Organisme mereaksi medan fenomena secara total dan berarah tujuan.
5. Pada dasarnya tingkah laku merupakan tingkah laku yang berarah
tujuan untuk memuaskan kebutuhan kebutuhan mengktualisasikan,
mempertahankan, dan memperluas diri, dalam medan fenomenanya.
6. Emosi akan menyertai tingkah laku yang berarah tujuan
7. Jalan terbaik umtuk memahami tingkah laku seseorang adalah dengan
memakai keranga pandangan orang itu sendir atau persepsi, sikap dan
perasaab yang dinyatakan dalam suasana yang bebas.
8. Sebagian dari medan fenomenal secara berangsur mengalami
diferensiasi sebagai proses terbentuknya self. Self adalah kesadaran
atas keberadaan dan fungsi diri yang diperoleh dari pengalaman
dimana diri terlibat menjadi subyek atau objek.
9. Struktur self terbentuk sebagai hasil interaksi organisme dengan
medan venomenal, terutama interaksi evaluatif dengan orang lain.
10. Apabila terjadi konflik, maka organisme akan meredakan konflik
tersebut.
11. Pengalaman yang terjadi pada seseorang akan diproses oleh kesadaran
12. Umumnya tingkah laku konsisten dengan konsep self.
13. Tingkah laku yang didorong oleh kebutusan organis bisa tidak
konsisten dengan self.
14. Salahsuai psikologis, terjadi apabila organisme menolak menyadari
pengalaman sensorik yang yidak dapat disimbulkan dan disusun
dalam ksatuan struktur self.
15. Penyesuaian psikologis terjadi apabila organisme dapat
mengatur/menampung segala pengalaman sensorik
16. Setiap pengalaman yang tidak sesuai dengan self akan diamati sebagai
ancaman.
17. Dalam kondisi bebas ancaman, pengalaman yang tidak konsisten
dengan self dapat diuji
18. Apabila organisme menerima pengalaman sensoriknya, maka dia akan
lebih menerima individu lain yang berbeda
19. Semakin banyak individu yang menerima pengalaman senspris,
kemungkinan terjadinya introjeksi/revisi nilai nilai semakin besar

b) Struktur kepribadian
1. Organisme
Pengertian organisme mencakup 3 hal :
- Makhluk hidup : organisme adalah makhluk lengkap dengan
fusngsi fisik dan psikologisnya.
- Realitas subyektif : organisme menanggapi dunia seperti apa yang
diamatinya. Realita adalah medan persepsi yang sifatnya subyektif,
bukan fakta benar-salah. Realita seperti inilah yang membenuk
perilaku.
- Holisme : organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga
perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain.

2. Medan fenomena
Adalah segala pengalaman yang disadari atau tidak, internalmaupun
eksternal. Medan fenomea adalah seluruh pengalamanpribadi
seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsi
subyektifnya.

3. Self
Self, yaitu bagian medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan
terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian sadar daripada “I” atau
“me”.
Self mempunyai bermacam-macam sifat:
a) Self berkembang dari interaksi organisme dengan lingkungan.
b) Self mungkin menginteraksikan nilai-nilai orang lain dan
mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar.
c) Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan,
keselarasan).
d) Organisme bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent)
dengan self.
e) Pengalaman-pengalaman yang tak selaras dengan stuktur self
diamati sebagai ancaman.
f) Self mungkin berubah sebagai hasil dari pematangan (maturation)
dan belajar.

c) Perkembangan kepribadian – pribadi yang berfungsi utuh


Rogers mengemukakan lima sifat khas dari seseorang yang berfungsi
penuh:
1. Keterbukaan pada pengalaman, Bahwa seseorang tidak bersifat kaku
dan defensif melainkan bersifat fleksibel, tidak hanya menerima
pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tapi juga dapat
menggunakannya dalam membuka kesempatan lahirnya persepsi dan
ungkapanungkapan baru.
2. Kehidupan eksistensia, Orang yang tidak mudah berprasangka ataupun
memanipulasi pengalaman melainkan menyesuaikan diri karena
kepribadiannya terus-menerus terbuka kepada pengalaman baru.
3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri Bertingkah laku
menurut apa yang dirasa benar, merupakan pedoman yang sangat
diandalkan dalam memutuskan suatu tindakan yang lebih dapat
diandalkan daripada faktor-faktor rasional atau intelektual.
4. Perasaan bebas, Semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin
mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak.
5. Kreativitas, Seorang yang kreatif bertindak dengan bebas dan
menciptakan hidup, ide dan rencana yang konstruktif, serta dapat
mewujudkan kebutuhan dan potensinya secara kreatif dan dengan cara
yang memuaskan.

d) Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman klinisnya, Rogers sampai pada kesimpulan
bahwa dalam diri setiap manusia terdapat sebuah inti yang secara esensial
memiliki tujuan, bergerak maju, konstruktif, realistis dan dapat
diandalkan. Dia lebih melihat manusia sebagai kekuatan energi aktif yang
berorientasi pada tujuan-tujuan masa depan bagi dirinya daripada
memandang manusia sebagai makhluk ciptaan yang dipaksa oleh kekuatan
yang berada di luar dirinya. Rogers beranggapan bahwa kekuatan-
kekuatan yang memimpin perilaku manusia ada di dalam diri manusia itu
sendiri dan apabila kondisi-kondisi sosial tidak mengubahnya kekuatan-
kekuatan tersebut akan mengarahkan manusia menuju perkembangan yang
positif. Rogers percaya bahwa manusia mempunyai kecenderungan
bawaan untuk mengaktualisasi diri yang apabila dibebaskan menyebabkan
manusia berusaha untuk kesempurnaan dirinya. Secara singkat bisa
dikatakan bahwa Rogers memiliki penghargaan profan dalam memandang
manusia.

B. Teori Client Centered Theraphy


a) Basic philosophy
Carl Rogers mengembangkan terapi Client centered sebagai reaksi
terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari
psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client centered adalah cabang
khusus dari humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien
berikut dunia subjetif dan fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama
sebagai penunjang jalan terapi pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan
membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan untuk
memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan
yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan
menemukan arahnya sendiri.

b) Pandangan tentang sifat manusia


Pandangan ini menolak adanya kecenderungan negatif dasar.
Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut
kodratnya adalah irasional dan cenderung merusak terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi.
Rogers menunjjukan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia
memandang manusia tersosialisasi dan bergerak kemuka, berjuang untuk
berfungsi penuh serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang
terdalam.
Para terapis lebih berfokus pada “potensi apa yang dapat
dimanfaatkan”. Pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan
kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menyadari kenyataan
secara penuh. Klien sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri
adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi
dirinya.
Didalam terapi, terdapat dua kondisi inti yaitu congruence dan
unconditional positive regard. Congruence merujuk pada bagaimana
terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien
sadar dan memaknai pengalaman tersebut. Uncoditional positive regard
merujuk pada bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, dimana
terapis membiarkan dan menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan dan
lakukan. Model client centered menolak konsep yang memandang terapis
sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien
sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis.
Oleh karena itu, terapi client centered berakar pada kesanggupan klien
untuk sadar dan membuat keputusan.
Rogers mengajukan hipotesis bahwa ada sikap-sikap tertentu pada
pihak terapis yaitu ketulusan, kehangatan, penerimaan yang nonposesif
dan empati yang akurat. Terapis client centered memasukan konsep bahwa
fungsi terapis yaitu tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta
memusatkan perhatian pada pengalaman.
Ada beberapa konsep kepribadian yang ditemukan Rogers yaitu :
1. Pengalaman yaitu alam subjektif dari individual dimana
hanya individu spesifik yang benar-benar memahami alam
subjektif dirinya sendiri.
2. Realitas yaitu persepsi individual terhadap lingkungan
sekitarnya yang subjektif. Dimana perubahan terhadap
persepsi akan memengaruhi pandangan individu terhadap
dirinya.
3. Kecenderungan individu untuk bereaksi sebagai
keseluruhan yang beraturan (organized whole), dimana
individu cenderung bereaksi terhadap apa yang penting
bagi mereka (skala prioritas).
4. Kecenderungan individu untuk melakukan aktualisasi,
dimana individu pada dasarnya memiliki kecenderungan
untuk menunjukkan potensi diri mereka, bahkan meskipun
apa yang mereka lakukan dan pikirkan irasional.

C. Psikoterapi berpusat pada klien


a) Hubungan antara terapis dan klien
Peran terapis dalam pendekatan ini terletak pada cara-cara keberadaan
terapis dan sikapnya, bukan penggunaan teknik. Terapis menggunakan dirinya
sendiri sebagai alat untuk mengubah klien. Adapun fungsi terapis yaitu
membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan klien. Terapis
memberikan pengalaman-pengaaman dalam proses terapi untuk membangun
kepercayaan diri untuk membuat keputusan-keputusan sendiri. Membangun
kematangan psikologis klien dalam proses terapi menjadi bagian yang krusial.

Client centered therapy membangun hubungan yang membantu, dimana


klien akan mengalam kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya
yang sekarang diingkari untuk didistorinya. Dalam suana ini klien merupakan
narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk
perubahan yang positif.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian dengan hubungan
terapeutik yaitu :
1. Keselarasan atau kesejatian
Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil
nyata, utuh dan tidak palsu serta terinigrasi selama pertemuan terapi.
Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang
ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Pendekatan pada cliend
centered beramsumsi bahwa jika terapi selaras atau menunjukkan
kesejatiannya dalam berhubungan dengan klien, maka proses terapeutik
bisa berlangsung.
2. Perhatian postif tak bersyarat
Perhatian tak bersyarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian
terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku klien sebagai hal yang
buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “saya mau menerima
asalkan... “ melainkan “saya menerima anda apa adanya. Perhatian tak
bersyarat itu seperti continuum.
3. Pengertian empatik yang akurat
Terapis yang benar-benar dituntut untuk mengguakan kemampuan
inderanya dalam berempati kegunaannya untuk mengenali dan menjelajahi
pengalaman subjektif dari klien. Konsep ini menyiratkan terapis
memahami perasaan-perasaan klien yang seakan-akan perasaannya sendiri.
Tugas yang makin rumit yaitu memahami perasaan klien yang samar dan
memberikan makna yang makin jelas. Rogers percaya bahwa apabila
terapis mampu menjangkau dunia pribadi klien sebagaimana dunia pribadi
itu diamati dan dirasakan oleh klien tanpa kehilangan identitas dirinya
yang tepisah dari klien, maka perubaha yang konstruktif akan terjadi.

b) Teknik terapi
Tidak ada metode atau teknik yang spesifik. Karena client centered
therapy menitikberatkan pada sikap-sikap terapis. Namun ada beberapa teknik
dasar yang harus dimiliki terapis yaitu mendengarkan klien yang aktif,
merefleksikan perasaan klien dan kemudian menjelaskannya.
Penekan teknik dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian, keyakinan
dan sikap-sikap terapis serta hubungannya dengn terapeutik. Dalam teknik client
centered yaitu pengungkapan dan komunikasian penerimaan, respek dan pengertia
serta berbagi upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal
dengn memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi.
Periode perkembangan terapi client centered (1970) membagi
perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode yaitu :
a. Periode I (1940-1950) :
Psikoterapi nondirektif, dimana menekankan penciptaan iklim
permisif dan nondirektif. Peerimaan dan klasifikai sebagai
tekniknya
b. Periode II (1950-1957) :
Psikoterapi reflektif. Terapi merefleksikan perasaan-perasaan klien
dan menghindari ancaman dalam hubungannya dengan klien
lainnya. Klien diharapkan mampu mengembangkan keselarasan
antara konsep diri dan konsep diri ideal.
c. Periode III (1957-1970) :
Terapi eksperiensial. Tingkah laku yang luas terapis yang
mengungkapkan sikap-sikap dasarnya yang menandai pendekatan
ini. Terapis difokuskan pada apa yang sedang dialami klien dan
pengungkapan oleh terapis.

c) Proses dan Aplikasi dari Client Centered Therapy


Wawancara awal digunakan untuk menjelaskan apa yang akan dilakukan
terapi dan apa yang diharapkan dari klien, kontrak terapeutik (tujuan, harapan,
kapan, dimana, keterbatasan, dll) serta mengetahui apa yang menjadi masalah
klien, lalu untuk sampai pada diagnosis, selanjutnya menentukan apakah klien
dapat diobati apa tidak. Terapis berama klien mengkaji dan mendiskusikan apa
yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung dan dapat diaplikasi pada
kehidupan sehari-hari. Terapi dapat berakhir jika tujuan telah tercapai, klien tidak
melanjutkan lagi atau terapis tidak dapat lagi menolong kliennya (merujuk ke ahli
lain).
Paradigma tradisonal client centered therapy menegaskan bahwa
perubahan adalah bagian dari menggali perasaan atau pengalaman yang
mendistorsi konsep diri. Sehingga menyebabkan kecemasan. Mekanisme
terapeutik berlandaskan hubungan “aku-kamu” atau “hubungan pribadi ke pribadi
dalam keamanan dan penerimaan yang mendorong klien menanggalkan
pertahanannya serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek sistem dirinya
yang sebelumna diingkari atau didistorsi.
Terapis harus beramsumsi bahwa terapi umumnya berlaku untuk siapapun,
terlepas dari label diagnostik, bertumpu pada keyakinan bahwa orang itu
mempunyai ekspresi diri antara diri dan gangguan, diri dan lingkungan.
Pendekatan ini menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif,
merefleksikan perasaan-perasaan; menjelaskan dan hadi bagi klien namun tidak
memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah dan bertanya atau
menggali informasi.

D. Penelitian dan Kritik Terhadap Rogers


a) Penelitian Rogers
Pada awal kariernya sebelum menulis teori formal mengenai kepribadian,
rogers menghabiskan waktu untuk bekerja sebagai psikolog klinis di kantor yang
bernama society for the prevention of cruelty to children (persatuan pencegah
kejahatan terhadap anak-anak) dan setelah itu menjadi direktur di sebuah badan
sosial yang melayani anak-anak di komunitas local setempat
(Kirschenbaum,1979). Walaupun rogers tidak melakukan penelitian ilmiah formal
mengenai perkembangan kepribadian, ia mendapatkan banyak pengalaman
‘tangan-pertama’ dengan perkembangan anak-anak dan banyak menulis mengenai
penanganan bagi anak-anak dan orang dewasa. Pengalaman itulah yang menjadi
awal kariernya yang kemudian mengeksplorasi dari perkembangan dari suatu
sudut pandang fenomenologis.
Bagi rogers, perkembangan tidak hanya ditentukan oleh masa-masa awal
kehidupan sebagaimana yang disebutkan oleh freud. Manusia tumbuh untuk
mencapai aktualisasi diri sepanjang rentang kehidupan, mengalami kompleksitas
yang semakin besar, otonomi, sosialisasi, dan kematangan. Diri, setelah menjadi
suatu bagian yang terpisah dari bidang fenomenal pada awal kehidupan akan terus
tumbuh dalam kompleksitas sepanjang hidup. Hasil kerja rogers menyebutkan
bahwa faktor-faktor perkembangan harus dipandang melalui 2 tingkat analisis.
Tingkat analisis pertama disebut tingkat interaksi orangtua dan anak, pertanyaan
yang akan muncul adalah apakah orang tua memberikan suatu lingkungan yang
optimal bagi perkembangan psikologis anak? Karena menurut rogers lingkungan
inilah yang memberikan pandangan positif tidak terbatas kepada anak. Tingkat
analisis kedua adalah tingkat struktur psikologis internal, pertanyaan yang akan
muncul apakah individu mengalami kesesuaian antara diri dan pengalaman sehari-
hari atau sebaliknya? karena perhatian utama rogers mengenai perkembangan
adalah apakah sang anak memiliki kebebasan dalam tumbuh untuk
mengaktualisasikan dirinya atau apakah kondisi-kondisi yang berharga
menyebabkan sang anak menjadi defensive atau sesuatu kondisi yang tidak sesuai.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola pengasuhan yang
demokratis dan penerimaan terhadap anak memfasilitasi pertumbuhan yang
maksimal. Anak-anak yang diasuh dengan perilaku seperti ini akan menunjukkkan
perkembangan intelektual, orisinalitas, keamanan emosional, dan kendali. Anak-
anak dengan orang tua yang otoriter dan penuh dengan penolakkan cenderung
tidak stabil, memberontak,agresif, dan memiliki permasalahan dalam berprilaku.

b) Kritik terhadap Rogers


Menurut teori rogerian, hubungan antara penerimaan sosial dan pandangan
positif terhadap diri penting tidak hanya bagi perkembangan anak, namun juga
bagi pemfungsian psikologis sepanjang kehidupan. Penelitian terbaru menjawab
hipotesis ini.

Roberts dan Chapman (2000) menganalisis data dari suatu penelitian


longitudinal jangka panjang mengenai perkembangan psikologis wanita dewasa.
Pada kelompok data ini, para wanita diteliti selama periode 30 tahun dari masa
remaja hingga paruh baya. Meskipun penelitian ini tidak diorganisir menurut teori
kepribadian carl rogers, namun penlitian ini tetap mengandung dua pengukuran
yang mendasarkan pada hipotesis rogerian. Salah satunya adalah suatu indeks
kesejahteraan, termasuk perasaan menegenai self esteem pada empat poin selama
30 tahun periode penelitian. Hal yang kedua adalah indeks kualitas peran, yaitu
apakah manusia mengalami relasi sosial yang suportif dalam peran-peran
kehidupan termasuk pernikahan dan pekerjaan. Teori rogerian tentu saja akan
memprediksi bahwa relasi sosial yang positif dan membuat mereka tidak
terdorong untuk terlibat dalam pemrosesan defensive yang dapat berkontribusi
terhadap tekanan psikologis dan suatu perasaan mengenai diri yang lebih rendah.
Suatu hal penting dari penelitian longitudinal ini adalah bahwa dengan
mempelajari manusia pada titik titik kehidupan yang berbeda, maka para peneliti
dapat mempelajari akibat dari kualitas peran terhadap perubahan kesejahteraan.
Analisis ini secara umum sejalan dengan prediksi yang akan dibuat oleh seseorang
rogerian. Manusia yang mengalami tekanan dalam tingkat tinggi dalam peran
mereka di kehidupan pernikahan dan pekerjaan mereka akan merasakan tingkat
kesejahteraan yang lebih rendah, sementara manusia yang mengalami peran sosial
lebih memuaskan akan memperlihatkan perubahan positif dalam kesejahteraan
dan kematangan personal mereka (Robert & Chapman, 2000). Meskipun sukar
membangun kausalitas dalam tipe penelitian seperti ini (yaitu untuk menentukan
apakah relasi sosial benar-benar memiliki suatu pengaruh kausal terhadap
kesejahteraan), namun hasil yang diperoleh konsisten dengan hipotesis rogerian
yang memandang diri dan kesejahteraan psikologis dapat berubah sepanjang
rentang kehidupan dan bahwa tingkat pandangan positif yang diterima dari
individu-individu yang signifikan dalam kehidupan seseorang dapat langsung
berkontribusi terhadap perubahan-perubahan ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide-ide dan konsep
teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman- pengalaman terapeutiknya.
sebelum menulis teori formal mengenai kepribadian, rogers menghabiskan
waktu untuk bekerja sebagai psikolog klinis di kantor yang bernama society for
the prevention of cruelty to children (persatuan pencegah kejahatan terhadap anak-
anak) dan setelah itu menjadi direktur di sebuah badan sosial yang melayani anak-
anak di komunitas local setempat (Kirschenbaum,1979). Walaupun rogers tidak
melakukan penelitian ilmiah formal mengenai perkembangan kepribadian, ia
mendapatkan banyak pengalaman ‘tangan-pertama’ dengan perkembangan anak-
anak dan banyak menulis mengenai penanganan bagi anak-anak dan orang
dewasa. Pengalaman itulah yang menjadi awal kariernya yang kemudian
mengeksplorasi dari perkembangan dari suatu sudut pandang fenomenologis.
Pendekatan fenomenologi dari Rogers menekankan pandangan bahwa
tingkah laku manusia hanya dapat difaham dari bagaimana dia memandang realita
secara subyektif (subjective experience of reality). Berdasarkan pengalaman
klinisnya, Rogers sampai pada kesimpulan bahwa dalam diri setiap manusia
terdapat sebuah inti yang secara esensial memiliki tujuan, bergerak maju,
konstruktif, realistis dan dapat diandalkan. Dia lebih melihat manusia sebagai
kekuatan energi aktif yang berorientasi pada tujuan-tujuan masa depan bagi
dirinya daripada memandang manusia sebagai makhluk ciptaan yang dipaksa oleh
kekuatan yang berada di luar dirinya. Rogers beranggapan bahwa kekuatan-
kekuatan yang memimpin perilaku manusia ada di dalam diri manusia itu sendiri
dan apabila kondisi-kondisi sosial tidak mengubahnya kekuatan-kekuatan tersebut
akan mengarahkan manusia menuju perkembangan yang positif. Rogers percaya
bahwa manusia mempunyai kecenderungan bawaan untuk mengaktualisasi diri
yang apabila dibebaskan menyebabkan manusia berusaha untuk kesempurnaan
dirinya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Rogers memiliki penghargaan
profan dalam memandang manusia.
Carl Rogers juga merupakan seorang psikolog yang terkenal dengan
pendekatan terapi klinis yang berpusat pada klien (client centered). Rogers
mengembangkan terapi Client centered sebagai reaksi terhadap apa yang
disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada
hakikatnya, pendekatan client centered adalah cabang khusus dari humanistik
yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjetif dan
fenomenalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang jalan terapi
pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam
menemukan kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-
centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk
mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itulah penulis mengharapkan kritik dan saran
untuk pengembangan makalah agar menjadi lebih baik.

C.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Cervone,Daniel. A Lawrence & Pervin. 2011. Kepribadian Teori dan


Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.

Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi.


Bandung : PT. Refika Aditama Depdiknas (2007).

Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. 1985. Introduction to Theories


Personality. New York: John Wiley and Sons Inc.

Suryabarata, Sumadi. 2007. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja


Grafindo.

Anda mungkin juga menyukai